Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TAZKIYAT AL-NAFS

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen pengampu:
Dr. Canra Krisna Jaya M.A. Hum.

Disusun oleh:
KPI 1 C Kelompok 10

Najwa Alimah (11230510000094)


Nurul Fajriyah (11230510000095)
Padantya Gian Kennar (11230510000096)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul "TAZKIYAT AL-NAFS”.
Tak lupa shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah menjadi suri tauladan bagi umat manusia.

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas akademik dalam rangka
pemenuhan mata kuliah Akhlah Tasawuf. Penyusunan makalah ini bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai topik yang
diangkat serta meningkatkan keterampilan analisis dan sintesis dalam konteks
pembelajaran kami.

Terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang
telah memberikan bimbingan, arahan, serta dukungan selama proses penyusunan
makalah ini. Semua bantuan dan masukan yang diberikan sangat berharga bagi
peningkatan pemahaman kami terhadap materi yang disajikan. Kami juga ingin
menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada orangtua, teman-teman,
dan semua pihak yang telah memberikan dukungan moral serta motivasi kepada
kami dalam menyelesaikan tugas ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif


bagi pembaca yang ingin mendalami topik ini lebih lanjut. Kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan di masa mendatang sangat kami harapkan.

Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat diterima dengan baik, dan
semoga dapat menjadi bahan pembelajaran yang bermanfaat.

Tangerang, 21 November 2023

Penulis
2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................5
A. Pengertian Tazkiyat Al-Nafs...............................................................................6
BAB III...........................................................................................................................16
PENUTUP.......................................................................................................................16
A. Kesimpulan.........................................................................................................17
B. Saran...................................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tazkiyat al-Nafs, atau penyucian jiwa, adalah konsep yang sangat penting
dalam konteks spiritualitas Islam. Istilah ini berasal dari bahasa Arab, di mana
"tazkiyat" berarti penyucian atau pemurnian, sedangkan "al-Nafs" merujuk pada
jiwa atau diri. Konsep ini memiliki akar dalam ajaran Islam dan memiliki tujuan
untuk mencapai kedekatan dengan Allah, meningkatkan kualitas spiritualitas, dan
mengembangkan karakter moral yang baik.

Tazkiyat al-Nafs dapat ditemukan dalam Al-Qur'an dan Hadis, sumber


utama ajaran Islam. Beberapa ayat Al-Qur'an menekankan pentingnya
membersihkan jiwa dan meningkatkan kualitas moral individu. Salah satu
contohnya dapat ditemukan dalam surah Asy-syams (91:9-10), di mana Allah
berfirman, "Berhasillah siapa yang mensucikan jiwa (dirinya)," menunjukkan
bahwa penyucian jiwa adalah kunci keberhasilan spiritual.

Hadis atau perkataan dan tindakan Nabi Muhammad SAW, juga


memainkan peran penting dalam pemahaman konsep ini. Nabi Muhammad SAW
memberikan banyak petunjuk praktis tentang cara menyucikan jiwa, termasuk
melalui ibadah, introspeksi diri, dan perbuatan baik terhadap sesama.

Beberapa konsep terkait yang seringkali dibahas dalam konteks Tazkiyat


al-Nafs melibatkan:

1. Ihsan (kesempurnaan): Konsep ini merujuk pada tindakan ibadah yang


dilakukan dengan penuh kesadaran dan kecintaan kepada Allah,
menciptakan kesempurnaan dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari.
2. Taubat (pengampunan):Taubat merupakan proses mengakui kesalahan dan
dosa, serta berusaha untuk meninggalkan perilaku tersebut dengan
sungguh-sungguh. Ini merupakan langkah awal dalam penyucian jiwa.

4
3. Dzikir (mengingat Allah):Melalui dzikir, seseorang memfokuskan pikiran
dan hati kepada Allah, menciptakan hubungan yang lebih dekat dengan-
Nya.
4. Mujahadah (perjuangan): Tazkiyat al-Nafs seringkali melibatkan
perjuangan internal melawan keinginan negatif, hawa nafsu, dan godaan
syaitan.

Dengan mengimplementasikan konsep-konsep ini dalam kehidupan sehari-


hari, umat Islam diharapkan dapat mencapai penyucian jiwa, menciptakan
keseimbangan spiritual dan moral, dan mendekatkan diri kepada Allah. Tazkiyat
al-Nafs merupakan perjalanan spiritual yang berkelanjutan, memerlukan
kesungguhan, kesabaran, dan ketekunan dalam menghadapi tantangan kehidupan
sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Tazkiyat Al-Nafs?
2. Apa saja pembagian nafs (jiwa) menurut Al-Qur’an?
3. Apa saja penyucian jiwa menurut Al-Qur’an?

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami apa itu Tazkiat Al-Nafs
2. Mengetahui pembagian nafs (jiwa) menurut Al-Qur’an
3. Mengetahui apa saja penyucian jiwa menurut Al-Qur’an

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tazkiyat Al-Nafs


A. Takziyat Al-Nafs

Tazkiyat al-nafs terdiri dari dua kata, tazkiyat dan al-nafs. Secara
etimologi. kata tazkiyat berasal dari zaka atau zakat yang berarti al-
numuwwu, yaitu tumbuh kembang, sedangkan nafs berarti jiwa. Jadi,
tazkiyat al-nafs berarti menumbuhkembangkan jiwa seorang muslim
sehingga menjadi baik dan melahirkan kebaikan. Kata zaka, zakat, dan
tazkiyat, selain berarti tumbuh kembang, juga berarti taharah yang berarti
bersih atau membersihkan. Oleh sebab itu, tazkiyat al-nafs berarti
membersihkan dan mengembangkan jiwa hingga bersih dan melahirkan
kebaikan.1

Sementara itu, kata nafs dari segi etimologi memiliki beberapa arti,
yaitu 1) kata nafs merupakan kosakata Al-Qur'an yang sudah terserap ke
dalam bahasa Melayu-Nusantara menjadi nafsu yang berarti dorongan,
keinginan, atau hasrat; 2) kata nafs menjadi kata kerja naffasa yang berarti
bernafas atau hidup; 3) kata nafs menjadi kata kerja nafasa yang berarti
berlomba; 4) kata nafs menjadi kata sifat nafisah yang berarti berharga,
bernilai, atau penting. 5) kata nafs berarti diri, orang, person, atau pribadi;
6) kata nafs atau anfus (bentuk jamak) berarti ruh; dan 7) kata nafs berarti
senang hati.2

Jika tujuh arti nafs tersebut dirangkai dalam sebuah kalimat yang
lengkap dan menyeluruh, kalimat tersebut akan menggambarkan bahwa

1
Al-Raghib al-Isfahani, Mu'jam Mufradat Alfach Al-Quran, (ed) Nadim Mar'asyili.
2
Beirut Dar al-Fikr, t.t.), h. 218. Ibid, h. 522-523

6
nafs adalah kehidupan yang ditandai dengan bernafas, melahirkan
dorongan, keinginan, atau hasrat untuk melakukan sesuatu yang dianggap
penting oleh masing- masing pribadi, kemudian berlomba untuk
mendapatkannya dan akan merasa senang jika berhasil mendapatkannya.
Keadaan ini merupakan gejala umum yang terus berputar dan baru
berhenti setelah Allah mencabut roh dari tubuh manusia. Sementara itu,
dalam psikologi, jiwa adalah benih kehidupan yang menyebabkan
sesorang hidup, mencakup kehidupan mental dan kepribadian yang
meliputi perasaan, pikiran, keinginan, kognisi, ke- putusan, dan perilaku
dalam hubungan dengan dirinya dan dunia di luar dirinya.

Dalam psikologi tasawuf, pembicaraan tentang nafs berfokus pada


upaya pengembangan jiwa karena keterasingan dari Allah dengan
bimbingan dan konseling agar jiwa yang terasing itu terhubung kembali
dengan Allah. Jika hati resah, jiwa tidak akan tenang dan pikiran akan
kacau. Oleh karena itu, segeralah bermuhasabah, yaitu evaluasi diri dari
perilaku buruk dan perbuatan maksiat dengan mendekatkan diri kepada
Allah, memperbanyak istigfar, dan tobat nasuhah agar mendapat pen-
cerahan, ketenangan, dan kedamaian. Tazkiyat al-nafs merupakan salah
satu langkah pengembangan diri agar menjadi pribadi bersih, dekat dengan
Allah, dan dekat dengan hamba-hamba Allah dengan membuang penyakit
hati dan sifat-sifat tercela agar jiwa tercerahkan dengan cahaya Allah

Manusia adalah makhluk terbaik dan puncak ciptaan Allah 35.


Allah berfirman dalam Q.S. At-Tin [95]: 4 yang artinya berbunyi,
"Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya." Manusia merupakan sebaik-baik makhluk Allah
jika dilihat dari tiga unsur yaitu jasmani, rohani, dan nafsiah. Dilihat dari
asepek jasmani, manusia memiliki susunan anatomi yang indah dan
sempurna yang dilengkapi dengan sistem saraf, sistem pernafasan, sistem
jantung dan pembuluh darah, sistem pencernaan, sistem pembuangan,
sistem reproduksi, sistem hormonal, dan sistem kekebalan tubuh.

7
Ketiganya (jasmani, rohani, dan nafsiah) memiliki sifat dasar dan
kecenderungan tertentu. Kecenderungan jasmani tersimpul pada perut dan
di bawah perut yang memiliki tiga kebutuhan, yaitu makan, minum, dan
hubungan seksual. Kecenderungan rohani tercermin pada ke- rinduan
manusia terhadap Allah dan pemihakan manusia kepada keadilan,
kejujuran, persahabatan, serta nilai-nilai kemanusian yang universal dan
primordial. Dikatakan universal karena fenomena ini berlaku bagi seluruh
manusia tanpa terkait dengan aspek kultural, bahasa, budaya, dan agama,
sedangkan disebut primordial karena kecenderungan biologis dan spiritual
tersebut merupakan akar, asal, dan asli sifat manusia yang autentik dan jati
dirinya yang asli sejak Allah meniupkan roh ke dalam embrio.

Adapun nafsiah merupakan kekuatan yang memadukan dua kecen-


derungan, yaitu kecenderungan biologis dan rohani yang berhadapan dan
saling tarik-menarik sehingga melahirkan tiga model jiwa manusia.
Pertama, jiwa al-ammarah yang cenderung mengikuti kebutuhan perut dan
di bawah perut tanpa kendali. Kedua, jiwa al-mutma'innah yang cenderung
mengikuti kebutuhan rohani. Ketiga, jiwa al-lawwamah yang galau di
antara tarikan hawa nafsu dan rohani. Sementara itu, tazkiyat al-nafs
merupakan salah satu dari tiga serangkai pengamalan tasawuf, yaitu
penyucian jiwa, pendekatan diri kepada Allah, dan perjuangan untuk
merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan. Ketiga inti pengamalan
tasawuf itu disebut dengan mendekatkan diri tazkiyat al-nafs, taqarrub ila
Allah, dan hudur al-qalb ma'a Allah.

Tazkiyat al-nafs adalah upaya membersihkan jiwa dari berbagai


penyakit hati dan sifat-sifat tercela dengan langkah-langkah yang
sistematis dan terencana.3 Taqarrub ila Allah adalah perjuangan untuk
kepada Allah⁴. Al Qur'an membimbing manusia agar sujud dan
mendekatkan diri kepada Allah dan hudur Al-qalb ma'a Allah yaitu
merasakan kehadiran Allah SWT dalam kalbu.
3
Azyumardi Azra dan Asep Usman Ismail, "Pengantar Dewan Redaksi" dalam Ensiklopedi
Tasawuf (Bandung: Penerbit Angkasa 2008)

8
B. Pembagian Takziyat Al-Nafs
1. Jiwa Al-Ammarah
Jenis jiwa pertama adalah jiwa Al-ammārah. istilah nafs Al-ammārah
diambil dari ayat Al Qur'an berikut.

‫ٌۢة‬
‫َو َم ٓا ُأَبِّرُئ َنْفِس ٓى ۚ ِإَّن ٱلَّنْفَس َأَلَّم اَر ِبٱلُّس ٓو ِء ِإاَّل َم ا َر ِح َم َر ِّبٓى ۚ ِإَّن َرِّبى َغُفوٌر َّرِح يٌم‬
"Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena
sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali
(nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (Yusuf: 53)

Pada firman Allah di atas, terdapat penggalan ayat yang artinya


berbunyi, "Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan."
Nafs berarti jiwa, ammarah secara etimologi berasal dari kata kerja amara
yang berarti memerintahkan atau mendorong, sedangkan kata al-sü'i (‫)السوء‬
yang terdapat pada ayat di atas berarti keburukan atau kejahatan. Jadi al-
nafs al-ammārah (jiwa al-ammārah) adalah jiwa yang selalu mendorong
untuk melakukan keburukan atau kejahatan. Jiwa al-ammārah melahirkan
hedonisme dengan dua perspektif.
Pertama, hedonisme melahirkan etika bahwa perbuatan yang baik
adalah perbuatan yang mendatangkan kepuasan, kelezatan, dan
kenikmatan seksual. Kedua, hedonisme adalah keinginan, dorongan, atau
hasrat untuk melakukan kepuasan, kelezatan, dan kenikmatan seksual.
Jiwa al-ammarah melahirkan cita rasa tentang baik dan buruk, salah dan
benar, serta perlu dan tidak perlu berdasarkan keinginan hawa nafsu
semata.
Kaum hedonisme memandang bahwa setiap perbuatan yang menda-
tangkan kepuasan, kelezatan, dan kenikmatan seksual dalam hidup adalah
baik dan perlu dilakukan. Mereka mengukur kesuksesan hidup, kelayakan,
kepantasan, baik, indah, perlu, dan penting dalam hidup hanya dengan

9
materi. Mereka tidak mengikuti pertimbangan akal sehat, pikiran jernih,
suara nurani, dan jeritan batin karena tertutup kepentingan perut dan ke-
pentingan di bawah perut. Al-Qur'an menegaskan pada ayat yang berikut.

‫َو َلَقْد َذ َر ْأَنا ِلَج َهَّنَم َك ِثيًر ا ِّم َن ٱْلِج ِّن َو ٱِإْل نِسۖ َلُهْم ُقُلوٌب اَّل َيْفَقُهوَن ِبَها َو َلُهْم َأْع ُيٌن اَّل ُيْبِص ُروَن‬
‫َٰٓل‬ ‫َٰٓل‬
‫ِبَها َو َلُهْم َء اَذ اٌن اَّل َيْس َم ُعوَن ِبَهٓاۚ ُأ۟و ِئَك َك ٱَأْلْنَٰع ِم َبْل ُهْم َأَض ُّل ۚ ُأ۟و ِئَك ُهُم ٱْلَٰغ ِفُلوَن‬
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-
orang yang lalai,” (Al-Araf: 179)

Para penghuni neraka itu bukan orang-orang miskin, melainkan orang-


orang yang kaya, pintar, dan berkuasa, tetapi pola hidup mereka menganut
hedonisme. Mereka bersemboyan bahwa hidup ini hanya satu kali
sehingga harus dinikmati dengan pesta ganja, dansa, dan wanita. Mereka
menganut paham materialisme-sekularis, yaitu hanya memikirkan materi
dan tidak percaya kepada kehidupan setelah mati. Manusia dengan model
seperti ini, menurut Al-Qur'an, merupakan manusia berjiwa al-ammārah
yang mencurahkan perhatiannya kepada pemenuhan kepentingan perut dan
di bawah perut, yaitu makan, minum, dan hubungan seksual, sehingga
obsesi, cita-cita, harapan, keinginan, kebanggaan, kehormatan,
keberhasilan, dan kesuksesan hidup diukur oleh kepemilikan materi dan
pemenuhan ke- pentingan perut dan di bawah perut tanpa
mempertimbangkan kebutuhan rohani. Mereka mengalami dehumanisasi,
tercabut dari akar kemanusiaannya sebagaimana dinayatakan pada ayat Al-
Qur'an yang berikut.
‫َٰٓل‬
‫َو اَل َتُك وُنو۟ا َك ٱَّلِذ يَن َنُس و۟ا ٱَهَّلل َفَأنَس ٰى ُهْم َأنُفَسُهْم ۚ ُأ۟و ِئَك ُهُم ٱْلَٰف ِس ُقوَن‬

10
Artinya: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada
Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka
itulah orang-orang yang fasik,” (Al-Hasyr : 9)

Melupakan Allah bisa diwujudkan dengan mengingkari ajaran Allah


sebagian/seluruhnya, atau dengan beriman, tetapi berani meninggalkan
salat dan berbuat maksiat, dan dengan menjadikan hidup ini tanpa
kesadaran tentang Allah dan Allah hanya dipanggil ketika dibutuhkan.
Manusia yang melupakan Allah akan dilupakan Allah, dan Allah akan
menjadikan mereka lupa terhadap dirinya sendiri sehingga tercabut dari
akar kemanusiaannya. Manusia yang berjiwa al-ammarah menurut Al-
Qur'an adalah al-fäsiqün, yaitu pribadi yang terbelah, bukan pribadi yang
utuh. Manusia yang melupakan Allah akan dilupakan Allah. Manusia yang
dilupakan Allah akan mengalami dehumanisasi, tercabut dari akar
kemanusiaannya. Mereka adalah orang-orang yang berani hidup tanpa
iman kepada Allah tanpa ilmu, tanpa ketajaman berpikir, tanpa kepekaan
intuisi, tanpa kekokohan keyakinan, tanpa keluasan wawasan, dan tanpa
keteguhan sikap.
Dengan tazkiyat al-nafs, seorang muslim berusaha menjauhi sifat ke-
binatangan dan menjunjung tinggi akhlak mulia. Kesucian jiwa
melahirkan akhlak mulia dan akhlak mulia dilahirkan oleh kesucian jiwa.
Menyucikan jiwa bertujuan mengembalikan jiwa manusia seperti waktu
dilahirkan, yakni terbebas dari segala dosa dan noda. Tazkiyat al-nafs
merupakan perjuangan orang-orang beriman untuk mewujudkan
kehidupan tanpa dosa. Mohon ampun kepada Allah dari segala kesalahan
dan melaksanakan tobat.
2. Jiwa Mutmainnah

Istilah mutma'innah berasal dari kata al-itmi'nan yang berarti al-sukun,


yaitu diam atau tenang setelah gelisah. Jiwa mutma'innah adalah jiwa yang
berhasil menghadapi dorongan dari dalam dirinya untuk berbuat kejahatan

11
hingga jiwanya mantap dalam merasakan manisnya iman, indahnya ilmu
dan amal, serta menemukan makna hidup dan hidup bermakna dalam rida
Allah. al-nafs al-mutma'innah yang berarti jiwa yang tenang. Maksudnya,
Allah memanggil orang-orang beriman yang berjiwa mutma'innah ketika
menghadapi kematian agar kembali kepada Allah dengan menerima
keputusan Allah yang diberlakukan terhadap dirinya. Allah menerima jiwa
mutma'innah dengan kerelaan serta suka cita dalam keadaan radiyah
mardiyyah, yaitu meridai dan diri- dai. Kemudian Allah mempersilahkan
orang yang berjiwa mutma'innah untuk masuk ke dalam surga dan segera
bergabung dengan hamba-hamba Allah yang terlebih dahulu wafat.
Mereka adalah para nabi, para rasul, dan para syuhada, yaitu orang-orang
yang dalam hidupnya berhasil mewujudkan sikap dan perbutan yang
menjadi bukti atas keimanannya. Selain itu, orang- orang yang berjiwa
mutma'innah akan bergabung dengan hamba-hamba yang saleh, termasuk
leluhur mereka yang sama-sama beriman kepada Allah. Mereka akan
mendapatkan kehormatan masuk surga dengan kebahagiaan yang prima.

3. Jiwa Lawwamah

Secara bahasa, kata lawwāmah terambil dari kata lama-yalumu-


laumatan yang berarti menyesali, menyalahkan, dan mengecam.
Sementara itu, yang dimaksud dengan jiwa al-lawwāmah dalam psikologi
tasawuf adalah jiwa yang menyadari bahwa perbuatannya salah, kemudian
menyesali dan mengecam dirinya, tetapi kesadaran itu bersifat
kondisional, tergantung keadaan dan stimulus yang diterimanya. Jiwa
lawwāmah menggambarkan suasana kejiwaan orang-orang yang mengakui
dirinya bersalah, tetapi pengakuan tersebut tidak mengubah kebiasaan berbuat
maksiat yang sudah melekat pada dirinya . Manusia yang berjiwa lawwāmah
ketika mendengarkan ceramah agama mungkin akan tersentuh hatinya
sehingga muncul niat untuk tobat guna mengakhiri gaya hidupnya yang
bergelimang dosa, tetapi sikap ini kandas ketika kembali kepada
lingkungan kehidupannya yang busuk. Manusia seperti ini tidak bisa

12
keluar dari kebiasaan buruk yang terorganisir secara sistematis dalam
budaya hedonisme. Dirinya terpenjara dalam konflik batin yang
diciptakannya sendiri serta terus-menerus memperkuat penjara itu dengan
menjaga solidaritas, keterpautan hati, dan kesetiaan terhadap jaringan
persahabatan yang selama ini menjadi mitra dalam berbuat maksiat. Jiwa
al-lawwāmah menimbulkan kon- flik batin berkepanjangan dalam
kehidupannya antara kesadaran untuk tobat dan kesetiaan untuk tetap
maksiat sehingga orang yang berjiwa lawwāmah akan kehilangan peluang,
kesempatan, dan kekuatan batin untuk keluar dari lingkaran maksiat dan
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi pribadi
mutma'innah. Sementara itu, pada sisi lain, kita harus waspada dari
kemungkinan jiwa kita mengalami fluktuasi, yaitu bergeser dari jiwa
mutma'innah ke jiwa lawwāmah atau degradasi menuju jiwa ammārah.
Masalahnya adalah bagai- mana mempertahankan agar jiwa kita istikamah
dalam suasana muļma'innah? Pada kondisi ini dibutuhkan mujāhadah,
yaitu perjuangan menjadi pribadi istikamah dalam merawat jiwa
mutma'innah, sebab jiwa mutma'innah itu tidak datang tiba-tiba, tetapi
membutuhkan jihad al-nafs, yaitu perjuangan memerangi sifat-sifat buruk
pada diri kita sendiri yang memengaruhi perasaan,

penghayatan, sikap, dan persepsi kita tentang hidup dan kehidupan ini.

C. Penyucian Jiwa Menurut Al-Quran


Orang beriman yang menyucikan jiwanya, menurut Al-Qur'an, adalah
orang yang beruntung, sedangkan orang beriman yang mengotori jiwanya
atau membiarkan jiwanya dalam keadaan kotor terus-menerus hingga akhir
hayat adalah orang yang rugi. Jiwa orang-orang beriman menjadi kotor
dan bertambah kotor setiap kali mereka mengikuti langkah-langkah setan
dalam hidup dan kehidupannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada ayat
Al-Qur'an berikut.

13
‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َتَّتِبُعو۟ا ُخ ُطَٰو ِت ٱلَّش ْيَٰط ِن ۚ َو َم ن َيَّتِبْع ُخ ُطَٰو ِت ٱلَّش ْيَٰط ِن َفِإَّن ۥُه َيْأُم ُر ِبٱْلَفْح َش ٓاِء‬
‫َو ٱْلُم نَك ِرۚ َو َلْو اَل َفْض ُل ٱِهَّلل َع َلْيُك ْم َو َر ْح َم ُت ۥُه َم ا َزَك ٰى ِم نُك م ِّم ْن َأَحٍد َأَبًدا َو َٰل ِكَّن ٱَهَّلل ُيَز ِّك ى َم ن َيَش ٓاُء ۗ َو ٱُهَّلل‬
‫َسِم يٌع َع ِليٌم‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan,
maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang
keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu
bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Menurut Al-Qur'an, di antara langkah-langkah setan dalam


mencelakakan manusia adalah membujuk manusia untuk mencoba
minuman keras, mengajak berjudi, memberikan sesajen kepada roh leluhur
dan makhluk halus, serta berkurban untuk berhala, termasuk melarungkan
kepala kerbau untuk Nyi Loro Kidul guna mendatangkan kebaikan dan
menolak bencana. Manusia yang mengikuti langkah-langkah setan akan
kehilangan akal sehat dan pemikiran jernih karena lebih tertarik mengundi
nasib dengan anak panah daripada mengubah nasib dengan kerja keras dan
pengembangan kualitas. Manusia mengetahui bahwa semua itu merupakan
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, tetapi mereka tetap
melakukannya karena mencari sensasi, Manusia mengetahui bahwa Allah
melarang orang- orang beriman mendekati zina, tetapi mereka tetap
melakukannya karena alasan petualangan, mencari pengalaman baru, dan
tidak puas hanya dapat berhubungan dengan suami atau istri, yakni
sekadar selingan indah, tetapi ingin keluarga tetap utuh dan berniat untuk
bertobat setelah berbuat.
Al-Thabrani menjelaskan alasan alasan zina merupakan perbuatan keji
dan jalan hidup yang busuk menurut Al-Qur'an. Pertama, karena orang
yang berzina itu mengabaikan larangan Allah Yang Maha Benar. Allah

14
melarang zina dengan maksud menjaga kehormatan manusia sesuai
dengan martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Kedua,
berzina itu berarti menghancurkan kehormatan sesama manusia. Orang
yang berzina, lebih-lebih perempuan bersuami atau pernah bersuami
dan/atau laki-laki beristri atau pernah beristri, adalah manusia yang
menghancurkan kehormatan dirinya, pasangan hidupnya, keluarganya,
bahkan keturunannya. Ketiga, berzina itu menghancurkan nasab atau
keturunan. Keempat, berzina itu menghancurkan keharmonisan hubungan
suami istri karena munculnya kemarahan dan rasa dendam yang tidak
mudah dipadamkan. Berzina itu bukan hanya mengkhianati akad nikah
yang merupakan perjanjian luhur (mīšāqan galíza) suami istri dan menodai
kesucian perkawinan, tetapi juga menyakiti perasaan pasangan hidup.

Dapat dipahami bahwa tazkiyat al-nafs atau menyucikan jiwa dari


kotoran dosa besar yang pernah dilakukan manusia dengan tobat nasuhah
adalah solusi bagi manusia untuk mengakhiri hidup dengan jiwa bersih.
Keberhasilan seseorang dalam menyucikan jiwanya tergantung kepada
kesungguhan, kejujuran, dan ketulusan. Namun kuncinya kembali kepada
karunia dan kasih sayang Allah. Menyucikan jiwa bukan hanya keharusan
bagi orang-orang yang me lakukan dosa besar, tetapi juga keharusan bagi
setiap orang.
Al-Qur'an membimbing manusia untuk menghentikan kebiasaan
berbuat dosa meskipun kebiasaan tersebut sudah mengakar dalam kebu-
dayaan mereka. Kebudayaan yang tak sejalan dengan ajaran Al-Qur'an dan
sunah harus ditinggalkan karena kebudayaan yang harus menyesuaikan
dengan ajaran Islam, bukan ajaran Islam yang harus menyesuaikan dengan
kebudayaan. Manusia harus memastikan bahwa dirinya benar-benar men-
jauhi dosa besar dan perbuatan keji, tetapi tetap tidak menilai dirinya suci
karena menurut Al-Qur'an tidak ada manusia yang bersih dari noda-noda
dosa.

15
Dalam melakukan proses tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa), Al-Qur'an
membimbing orang-orang beriman agar mendahulukan tindakan pen-
cegahan daripada tindakan penyembuhan (curative). Menurut Al-Qur'an,
memprioritaskan tindakan pencegahan lebih strategis, hemat, dan aman
daripada tindakan penyembuhan. Tindakan penyembuhan ditujukan ke-
pada orang-orang yang sudah berbuat dosa agar bertobat, sedang tindakan
pencegahan ditujukan kepada orang-orang bersih supaya tidak tergoda
untuk berbuat dosa.
Allah memilih, mengangkat, dan menetapkan seorang hamba-Nya
yang bernama Muhammad bin Abdullah menjadi rabi dan rasul, lalu
menugaskan beliau mengajarkan kepada manusia bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan selain Allah, yakni tidak ada ibadah kecuali kepada Allah,
tidak menyekutukan Allah dengan apa pun dan siapa pun, dan tidak
mempertuhankan sesama manusia atau makhluk-makhluk lain.
Para ulama tasawuf telah sampai pada kesimpulan bahwa kalbu meru-
pakan tempat terhujamnya niat, sedangkan niat merupakan rüh al-'amal,
jiwa amaliah atau aktivitas yang kita lakukan setiap hari. Seluruh amal
ibadah harus didasarkan atas niat. Setiap orang yang beramal akan
memperoleh nilai sesuai dengan apa yang diniatkannya. Syariat Islam
tidak hanya mengatur pekerjaan lahiriah yang berhubungan dengan
gerakan fisik (al-jawarih), tetapi juga mengandung pekerjaan hati, seperti
sikap membenarkan (taşdıq), ikhlas, mengenal Allah (ma'rifah), kerelaan
(al-rida), cinta (al-hubb), penyerahan (al- tafwid), dan merasakan
pengawasan Allah is (al-murāqabah). Semua perbuatan hati tersebut,
meskipun lembut dan tersembunyi, tetapi berhubungan langsung dengan
Allah Yang Maha Mengawasi segala rahasia.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembagian Takziyat Al-Nafs dibagi menjadi tiga, yaitu jiwa Al-
Ammarah (cenderung mengikuti kebutuhan perut dan bawahnya), jiwa Al-
Muthmainnah (cenderung mengikutin kebutuhan rohani), dan jiwa Al-
Lawwamah (galau di antara daya tarik hawa nafsu dan rohani).
Menyucikan jiwa itu adalah perjuangan mengembalikan kesucian
manusia seperti pada waktu dilahirkan dengan beristigfar, tobat nasuhah,
serta menjauhkannya dari sifat kebinatangan. Menyucikan jiwa itu dengan
mengikuti pesan Al-Qur'an yang meminta manusia agar tidak merasa
dirinya suci, tetapi terus berjuang melakukan tazkiyat al-nafs dengan
merawat iman agar tetap kuat. Dengan bekal keimanan dan ketekunan
beribadah, kita mendidik diri kita agar menjadi pribadi yang dekat kepada
Allah dengan mengorientasikan hidup.

B. Saran
Dengan berakhirnya pembahasan makalah ini, kami juga menghimbau
kepada para pembaca untuk dapat memahami lebih lanjut mengenai
Tazkiyat Al-Nafs. Lalu penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan menjadikan kita semua menjadi pribadi lebih baik
kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, P. D. (2023). Kuliah Akhlak Tasawuf. Jakarta Timur: Sinar Grafika Offset.

Imam Al-Jurjani, At-Ta'rifat, (Al-Haromain: Surabaya), hal.59

Azyumardi Azra dan Asep Usman Ismail, "Pengantar Dewan Redaksi" dalam
Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Penerbit Angkasa Bandung, 2008), hxiv.

Ibn Khaldun, "Syifa' al-Masa'il li Tahdzīb al-Masa'il" dalam Abd al-Qadir


Mahmud, Al- Falsafat al-Shufiyyah fl al-Islam, (Cairo: Dar al-Fikr al-'Arabi,
1966), h. 92.

Abu Hamid al-Ghazali, Fasyhal al-Tafarruqah bayn al-islam wa Zindiqah,


(Beirut: al-Maktab al-Islami, 1390), h. 6.

Hamka, Tasawuf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 6.

18

Anda mungkin juga menyukai