Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberagaman suku dan budaya yang ada di Indonesia menjadi salah satu ciri

khas masyarakat Indonesia. Masing-masing etnis yang ada di Indonesia tentu

memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing, Raymond Williams membedakan

kata “budaya” dalam tiga arti. Pertama, saat orang menyatakan “orang berbudaya”

yang mangacu pada pemikiran yang berkembang. Kedua, dalam artian saat orang

berbicara budaya yang artinya kegiatan atau minat kultural. Dan ketiga, mengacu

pada sarana dari proses-proses, dalam artian ini, orang menunjuk seni dan karya

intelektual (Barnard, 2002:34).

Said (dalam Lebang, 2015) mengatakan, “Kebudayaan sendiri merupakan

kesatuan dari gagasan simbol-simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan

perilaku manusia, sehingga tidaklah berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu

eratnya kebudayaan dan simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia sehingga

manusia disebut sebagai Homo Simbolicum”. Dalam hal ini manusia sebagai

makhuk simbolis menggunakan simbol dalam budaya sejak dari nenek moyang

untuk mewariskan pesan kepada generasi penerus melalui tindakan sehari-hari

sebagai makhluk budaya.

Geertz (2002:115) memberi pengertian bahwa “kebudayaan berarti suatu

pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-

simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk

1
simbolis, yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan dan

mengembangkan pengetahuan mereka tentang serta sikap-sikap mereka terhadap

hidup.” Pewarisan budaya ini telah terjadi sejak dulu kala, di Indonesia sendiri

dengan adanya banyak suku yang beragam, tentu masyarakat Indonesia kaya akan

warisan budayanya. Tak luput kebudayaan suku Toraja, yang hingga sekarang tetap

menjaga kebudayaan mereka agar tak tergerus zaman yakni melalui aksesoris

Sepu’.

Berdasarkan kesimpulan dari wawancara dengan salah satu budayawan Suku

Toraja, Sismay Eliata Tulungallo 1, Sepu’ merupakan salah satu aksesoris adat yang

berasal dari Suku Toraja, Toraja, Sulawesi Selatan. Pada awal sejarahnya, Sepu’

hanya digunakan olah para kaum To Ma’dika (bangsawan) saja dan berfungsi untuk

menyimpan uang dan perlengkapan sirih, seperti kapur, kalosi, dll. Namun seiring

perkembangan zaman, Sepu’ akhirnya di gunakan oleh para masyarakat umum,

tidak hanya oleh kaum bangsawan saja, dan umumnya hanya di gunakan pada saat

upacara Rambu Solo’ (upacara kematian). Sepu’ digunakan sebagai salah satu

atribut dalam upacara Rambu Solo’ khususnya pada prosesi pemakaman, dimana

Sepu’ akan digantungkan di depan liang (kuburan) sebagai penanda bahwa liang

tersebut adalah milik keturunan bangsawan, atau dapat juga digantungkan di atas

alang (lumbung padi) jika keturunannya tidak sempat menggantungkan Sepu’ di

atas liang leluhurnya.

1Budayawan Toraja, salah satu anggota Pengurus Komite Eksekutif Badan Penelitian Aset Negara
Aliansi Indonesia Kabupaten Toraja Utara.

2
Dalam kehidupan masyarakat Toraja, dikenal empat warna dasar yang

menjadi falsafah hidup suku Toraja, yaitu warna malotong (hitam), mariri (kuning),

mararang (merah) dan mabusa (putih). Masing-masing warna memiliki makna

tersendiri dan telah melekat dalam kehidupan masyarakat Toraja sejak dulu kala

hingga pada zaman sekarang ini. Makna dari warna-warna tersebut masih

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja, tidak hanya pada saat

melaksanakan upacara adat, namun dari pakaian dan aksesoris adat, warna-warna

tersebut juga berfungsi untuk menunjukkan status sosial seseorang. Dimana dalam

masyarakat Toraja sendiri dikenal beberapa lapisan kasta yang telah ada sejak

zaman dahulu kala dan masih di terapkan di beberapa daerah di Tana Toraja hingga

saat ini. Maka dari itu, ditengah masyarakat Toraja, beberapa warna yang

digunakan sebagai pakaian atau aksesoris dalam hal ini Sepu’ tidak boleh

digunakan oleh sembarang orang karena melihat dari status sosial orang tersebut.

Gambar 1.1 Sepu’ aksesoris khas suku Toraja

Fenomena yang dilihat oleh penulis ialah, tidak sedikit generasi muda

sekarang ini menggunakan Sepu’ untuk kehidupan sehari-hari. Keberadaan Sepu’

sekarang ini hanya sekedar sebagai aksesoris belaka, namun nilai sosial, dan makna

sebenarnya yang terkandung dalam tas tersebut perlahan mulai diabaikan.

3
Penggunaan Sepu’ baik itu dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara-

upacara adat, bagi para orang tua sangat di batasi berdasarkan warnanya, kaum

biasa tidak menggunakan Sepu’ berwarna putih karena warna tersebut untuk kaum

To Ma’dika (bangsawan) atau Sepu’ yang berwarna merah, hanya Anak Patalo

(pengambil keputusan) saja yang boleh memakainya. Selain melihat dari segi

warna, motif pada Sepu’ juga memiliki makna tersendiri untuk membedakan Sepu’

yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Namun sekarang ini, sekalipun

Sepu’ dijadikan sebagai salah satu aksesoris warisan budaya dan sangat mudah di

dapatkan sebagai buah tangan dari Toraja, nilai-nilai dalam warna tersebut masih

dipegang erat oleh para orang tua di Toraja sendiri.

Chevin Yegar A. Banne2, salah satu mahasiwa asal Toraja yang berkuliah di

UKSW menyatakan bahwa dia memiliki tiga buah Sepu’ yang berwarna hitam,

merah, dan putih. Dalam wawancaranya, Chevin menyebutkan bahwa ketiga tas

tersebut sering ia gunakan dalam kegiatan sehari-hari, tidak hanya pada saat

upacara adat, namun juga kadang ia gunakan bahkan di lingkungan kampus.

“Sepu’ yang berwarna hitam hanya saya gunakan di upacara


kematian, tapi kalau yang warna merah dan putih kadang saya pakai
untuk jalan-jalan. Memang ada beberapa yang menanyakan kenapa
saya menggunakan Sepu’, padahal umumnya itu hanya di gunakan
di upacara Rambu Solo’ saja. Tapi bagi saya, Sepu’ hanya bagian
dari fashion saja.”

Namun, Chevin mengakui bahwa ia tahu dalam beberapa acara adat tertentu

bahkan di beberapa daerah tertentu yang ada di Toraja, beberapa warna seperti

2 Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis angkatan 2012 asal Toraja.

4
warna merah dan putih tidak boleh digunakan secara sembarangan, karena hanya

orang yang berasal dari strata tertentu saja yang boleh menggunakannya. Sekarang

ini, banyak generasi muda yang bahkan tidak paham mengenai makna warna-warna

dasar yang menjadi filosofi hidup orang Toraja, dan mengapa warna-warna tersebut

dijadikan sebagai penanda status sosial seseorang.

Dari pemaparan di atas, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian

yang berjudul ; Keragaman Makna di Balik Sepu’ Bagi Orang Toraja di Salatiga

(Analisa Semiotika Roland Barthes)

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti merumuskan masalah

sebagai berikut :

“Bagaimana orang Toraja yang ada di Salatiga memaknai Sepu’ ”

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui makna Sepu’ bagi orang Toraja yang tinggal di luar

Toraja, khususnya orang tua dan mahasiswa Toraja yang ada di Salatiga.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Secara praktis

Sebagai bahan masukan untuk para mahasiswa, khususnya mahasiswa

FISKOM Universitas Kristen Satya Wacana :

1. Untuk membagikan pengetahuan bagi mahasiswa lain dalam menambah

pengetahuan mengenai budaya daerah

5
2. Untuk memberikan dorongan kepada mahasiswa sebagai generasi penerus

agar dapat melestarikan tradisi budaya tersebut agat tidak punah.

b. Secara Teoritis

Sebagai bahan masukan bagi mahasiswa lain yang ingin melakukan

penelitian yang berkaitan dengan metode analisis semiotika

6
7

Anda mungkin juga menyukai