Anda di halaman 1dari 25

MANIFESTASI LAMBI TEI, TENUN IKAT ASAL ROTE

NDAO

Retno Walfiyah, Nuning Damayanti


Program Studi Magister Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut
Teknologi Bandung
Retnowalfiyah@gmail.com

Tulisan lengkap , akan tetapi kita ada di wilayah Seni Rupa, harus dicantumkan
Gambar khususnya motif2 yg memiliki makna dan filsosfi.
Salah satu produk budaya masyarakat yang tinggal di pulau Rote Ndao adalah
tenun ikat khas bernama Lambi Tei dibuat menggunakan serat daun gewang muda
atau disebut dengan hakenak. Dimasa lalu saat kapas belum ditanam di Rote atas
perintah belanda melalui cultur stelsel penduduk Rote membuat busana dari serat
daun gewang muda. Motif-motif muncul ketika kapas hadir dan kemudian orang
membuat benang dari kapas. Ketika kaum bangsawan membuat kain yang
bermotif, rakyat jelata atau orang biasa hanya menenun kain polosan dan
kemudian diwarnai hitam saja. Pulau Rote terletak di ujung selatan Indonesia dan
tenun ikat Lambi tei memiliki peranan penting dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat Rote Ndao, terutama fungsinya dalam acara ritual adat perkawinan,
upacara kematian, dan bahkan menjadi salah satu tolak ukur kedewasaan
perempuan. Awal mula yang digunakan adalah serat daun gewang muda tanpa
motif kemudian berkembang menjadi memiliki motif yang unik dan menjadi
kembanggaan setiap marga (family). Setiap marga akan memiliki motif khas yang
dimiliki, dan biasanya to’o (paman) dari keluaraga ibu menjadi pimpinan untuk
penyerahan kain. Ciri khas warna tenun ikat Rote adalah warna hitam dan putih.
Warna alami yang digunakan adalah bennang yang direndam dalam lumpur di
danau tempat berkubangnya hewan-hewan selama berbulan-bulan kemudian
direndam dalam pama’a yaitu rendaman abu dari kulit buah nitas yang dibakar.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dpengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara dan study Pustaka.Tenun ikat Rote Ndao
sangat lekat dengan kehidupan masyarakatnya. Setiap family dahulunya memiliki
motif khas, dan family lain tidak diperbolehkan untuk mengenakannya. Motif
keluarga dianggap sebagai sesuatu yang berharga karena bersifat turun temurun.
Motif tenun ikat Rote Ndao yang dihasilkan merupakan manifestasi kehidupan
mereka.
Kata Kunci: lambi tei, tenun ikat, Gewang, Hakenak.
One of the cultural products of the people who live on the island of Rote Ndao is a
typical woven cloth called Lambi Tei, which is made using young gewang leaf
fibers or called hakenak. In the past, when cotton was not planted in Rote, by
order of the Dutch, through the culture system, the people of Rote made clothes
from young gewang leaf fibers. The motifs appeared when cotton was present and
then people made thread from cotton. When the aristocrats made patterned cloth,
the commoners or ordinary people only weaved the plain cloth and then dyed it
black. Rote Island is located at the southern tip of Indonesia and Lambi tei tie
weaving has an important role in every aspect of the life of the Rote Ndao people,
especially its function in traditional wedding rituals, death ceremonies, and even
as a measure of women's maturity. Initially used are young gewang leaf fibers
without a motive then develop into a unique motif and become the flower of each
clan (family). Each clan will have its own distinctive motif, and usually the to'o
(uncle) from the mother's family is the leader for handing over the cloth. The
distinctive color of the Rote Ikat is black and white. The natural color used is
bennang soaked in mud in the lake where the animals wallow for months and then
soaked in pama'a, which is a soak of ash from the skin of the burnt fruit. The
method used in this research is qualitative, data collection is done by means of
interviews and literature study. Rote Ndao ikat is very closely related to the life of
the community. Each family used to have unique motifs, and other families are
not allowed to wear them. The family motive is considered valuable because it is
hereditary. The motif of the Rote Ndao tie weaving that was produced was a
manifestation of their life.
Keywords: lambi tei, tenun ikat, Gewang, Hakenak.

1. Pendahuluan

Pulau Rote Ndao yang merupakan bagian dari NTT dalam arsip pemerintah
Hindia Belanda ditulis dengan nama “Rotti atau Rottij “kemudian menjadi “Roti”.
Akan tetapi, masyarakat Rote yang mempunyai sembilan dialek seringkali mereka
menyebut pulau ini “Lote‘, khusus bagi mereka yang tidak bisa menyebut huruf
“R“, padahal nama asli dari pulau ini adalah “Lolo Neo Do Tenu hatu“ (gelap) ada
juga yang menyebut “Nes Do Male“ (layu), dan lainnya menyebut “Lino Do Nes“
(pulau yang sunyi dan tidak berpenghuni).

Ragam hias pada kain tenun ikat NTT khususnya Rote tidak hanya merupakan
hiasan atau dekoratif, tetapi ragam hias yang terdapat pada setiap kain tenun yang
dihasilkan merupakan manifestasi dari kehidupan mereka. menjadi suatu simbol
atau lambang. Selain ragam hias yang mempunyai arti tertentu, warna yang
dipakai pun mempunyai arti tertentu seperti warna hitam berati kedukaan, warna
merah sebagai kejantanan, warna putih berati kesucian, kuning berati
kebahagiaan, biru kedamaian dan hijau berati kesuburan.

Rote merupakan pulau yang terletak paling selatan dari kepulauan Indonesia.
Sejarah tentang penghunian sulit diketahui awalnya, karena dokumentasi-
dokumentasi tertulis yang terkonfirmasi hanya dokumen Hindia Belanda saja.
Selebihnya hanya mengandalkan cerita-cerita lisan dari para penutur yang dalam
sistem sosial di Rote dikenal dengan Mane Helo.

Kain tenun ikat Rote Ndao telah ada sejak ratusan tahun silam. Tenunan yang
dihasilkan berupa sarung disebut lambi tei dan selimut yang disebut lafe tei.
Perbedaan dialek itu sebagian besar bersifat fonetis. Dialek-dialek Dengka dan
Oenale menyimpang lebih banyak dari pada dialek-dialek lainnya. Orang Bilba di
wilayah Rote Timur menyebut sarung dengan nama Po, orang Dengka di Rote
Barat menyebutnya dengan nama Lani / Lambi, sedangkan orang Ndao menyebut
dengan nama Rabi atau Rampi.

Pulau Rote telah mengenal teknologi sejak leluhur mendiami pulau. Pada zaman
batu (Paleotikum) seorang peneliti asal Swis, Buchler melakukan penelitian
tentang peralatan yang digunakan masyarakat Rote pada zaman dahulu. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa orang Rote sudah menggunakan alat-alat sejak
zaman paleolitikum. Selain itu, ditemukan pula alat-alat dari zaman maleolitikum.
Alat-lat yang dimaksud adalah kapak genggam, kapak lonjong, ujung mata panah,
pisau, dan lain sebagainya. (Soh, dkk., 2008:7).

Sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan merupakan suatu uraian tentang


cabang-cabang pengetahuan. Cabang pengetahuan itu sebaiknya dibagi
berdasarkan pokok perhatian. Dengan demikian, setiap suku bangsa di dunia
biasanya mempunyai pengetahuan tentang: (1) alam sekitarnya, (2) alam flora dan
alam fauna di tempat tinggalnya, (3) zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda
dalam lingkungannya, (4) tubuh manusia, (5) sifat-sifat dan tingkah laku sesama
manusia, dan (6) ruang dan waktu (Koentjaraningrat, 2002:372).

Lambi tei memiliki kekhasan dan merupakan manifestasi kehidupan masyarakat


Rote Ndao. Kekhasan tersebut berupa pemberian warna dan motif yang berkaitan
dengan sejarah pulau Rotr Ndao serta falsafah hidup masyarakatnya. Hal ini yang
membedakan tenun ikat lainnya. Lambi tei memiliki fungsi tersendiri dalam kehidupan
masyarakatnya begitu pula dengan makna yang terkadung didalamnya. Dalam penelitian
ini akan mendeskripsikan fungsi lambi tei dalam kehidupan masyarakat pulau Rote Ndao
beserta maknanya dan macam-macam bentuknya.

2. Metode penelitian
Paparan metode penelitian yg saya warna merah agar disusun ulang menjadi
paragraf-paragraf tidak dibuat menjadi anak sub Bab.

4.1 Jenis dan Sumber Data

Data penelitian ini meliputi dua jenis, yakni data lisan dan data tulis. Data lisan
diperoleh melalui wawancara dengan informan. Data lisan disebut juga data
primer. Selain itu ada data tulis yang diperoleh melalui observasi, data tulis yang
diperoleh melalui buku, artikel jurnal, artikel dari internet berkaitan dengan tenun
ikat Rote Ndao.

4 Mengumpulkan data dengan metode wawancara kepada informan yang


dianggap mengetahui lebih banyak informasi mengenai lambi tei. Dalam
penelitian ini wawancara dilakukan kepada Gentry Amalo seorang
Arkeolog asal Rote yang memiliki fokus meneliti tenun Leo di Nusak
Termanu, Rote Tengah. Dilengkapi dengan Mengambil dari buku maupun
sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan penelitian.
Data mengenai lambi tei dikumpulkan, kemudian dikelompokkan dengan
memberi kode sesuai dengan kandungan fungsi dan makna. Hal ini
dilakukan untuk mengidentifikasi makna sosial budaya, makna tradisi dan
makna magis. Data yang telah dikelompokkan kemudia dianalisis
menggunaka metode kualitatif. Intrepretasi fungsi dan makna harus
didasarkan pada konteks sosial budaya masyarakat etnik. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pernyataan yang mendekati kondisi alamiah
mengenai karakter entik Rote Ndao.
Winaldhy dalam jurnal Humanis mengutip Heerzt mengatakan bahwa
kebudayaan bersifat interpretatif. Dalam kaitan dengan analisis data tenun
ikat Rote Ndao untuk menemukan karakteristik budaya diperlukan langkah
interpretasi atau penafsiran. Tenun Ikat Rote Ndao itu dipandang sebagai
simbol yang dimaknai berdasarkan konteks budaya pulau Ndao. Data yang
ada berupa data kualitatif, karena itu Karena itu penerapan metode
informal digunakan untuk menyajikan hasil analsis data. Cara ini berfokus
pada penjelasan ketiga pokok permasalahan secara kualitatif. Masalah
proses pembuatan dan bentuk atau hasil tenun ikat masyarakat Rote Ndao
dijelaskan secara rinci mulai dari bahan. Peralatan, proses menenun,
pewarnaan, dan pembuatan motif. Kemudian dijelaskan Fungsi Tenun Ikat
dan makna tenun ikat bagi masyarakat Rote Ndao, Akhirnya diambil
kesimpulan.

5. Hasil dan Pembahasan

Ada kemungkinan pulau Rote mulai didatangi pada zaman Neolitikum yaitu
sekitar 4500-2500 BC. Kemungkinan lainnya yaitu pulau ini didatangi pada
zaman perunggu. Bukti-bukti fisik berupa artefak budaya terdapat di UPTD
Museum Daerah NTT dan di Museum Nasional RI. Dua buah kapak perunggu
yang identic ditemukan di Rote yang diperkirakan berasal dari zaman perunggu.
Zaman perunggu menurut para arkeolog di mulai sekitar abad ke 4 dengan pusat
Dongson dan Vietnam. Berdasarkan situs resmi pemerintah Kabupaten Rote Ndao
terdapat 19 Nusak/ Suku di Rote. namun belum terdapat sumber yang
menjelaskan ke 19 Nusak tersebut dengan masing-masing motifmya.

No Nusak Manek
1 Landu Yohanis
2 Ringgou Daud
3 Oepao Siun
4 Bilba Lenggu dan Ngek
5 Diu Manfe
6 Termanu Amalo
7 Korbaffo Manubulu
8 Ba’a Mandala
9 Lelain Bessie
10 Thie Mesakh
11 Dengka Tungga
12 Delha Ndun
13 Oenale Giri
14. Ndao Nuse Kotten
15 Keka Malelak
16 Talae Saudale
17 Loleh Zacharias
18 Bokai Dupe
19 lelenuk Daik

Beberapa raja Rote yang terekam dalam sejarah adalah raja Tou Dengga Lilo.
Moyang Tou dengga Lilo berasal dari Bula Kay, dengan urutan keturunan: Bula
Kay memperanakan Loma Bula, Loma Bula memperanakan Ou Loma, Ou Loma
memperanakan Kadau Ou, Kadau Ou memperanakan Kasu Kadau, Kasu Kadau
memperanakan Doitama Kasu, Doitama Kasu memperanakan Tou Dengga Lilo.
Tou Dengga Lilo dinobatkan sebagai Raja Baa dan kekuasaannya meliputi Rote
Baa pada zaman penjajahan Portugis dan kolonial Belanda.
Tou Dengga Lilo memperanakkan Nduk dan Bulakh. Dari keturunan Nduk inilah
maka muncul marga-marga suku Ene, diantaranya Panie, Dae Panie, Fola Panie,
Foeh, Detaq, dan lain-lain.

Raja Baa yang terakhir tercatat dalam sejarah adalah Ishak Dae Panie yang
kemudian diserahkan kepada Paulus Dae Panie sebagai raja Baa yang terakhir,
karena raja-raja pada saat itu dijadikan pegawai negeri sipil, yang mana pegawai
negeri sipil tidak boleh menjabat sebagai raja.

Tenun ikat Rote Ndao pada awalnya digunakan hanya sebagai kebutuhan dasar
manusia (melindungi diri) hal itu ditemukan dalam syair disalah satu nusak yaitu
nusak Diu “pele pou ma ba lafa” (Bahasa Rote) (J. Fox James, hal 20). Arti
harfiah dari kata pele ialah terhalang atau menghalangi pandangan, dan arti pou
ialah sarung yang maksudnya menutup tubuh dengan sarung. Selanjutnya arti
harfiah ba adalah menghalangi dan lafa ialah selimut, memiliki arti menghalangi
pandangan orang terhadap tubuh manusia dengan cara memakai selimut.
Kemudian tenuna ikat pun memiliki fungsi lain:

1. Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian/upacara adat.


Setiap tarian-tarian Rote maka si penari wajib menggunakan tenun ikat,
begitu pun ketika acara adat.
(sumber: rotendaokab.go.id)

2. Sebagai alat pengharaan dan pemberian (belis/mas Kawin, isi peti,


penutup tempat sirih). Kain tenun ikat juga merupakan suatu sugesti yang
memberikan kekuatan terhadap suatu tindakan, misalnya pemberian
kain/sarung/selimut oleh seorang ibu kepada anaknya yang pergi merantau
atau yang akan kawin. Material ini dianggap sebagai suatu media yang
memberi kekuatan kepada si anak di rantau atau di kehidupan yang baru.
Sisca R Kana dkk. (2015) menyatakan berbekal kemampuan keterampilan
menenun yang dikuasainya, seorang perempuan khususnya di pulau Ndao
akan sangat dihargai di mata kaum pria. Kekerasan dalam rumah tangga
pun dapat dihindari dengan memiliki kemampuan menenun tersebut. Oleh
sebab itu emas kawin seorang perempuan Ndao diukur dari kemampuan
menenun yang dimilikinya.
3. Sebagai pakaian adat perkawinan
(Sumber greatnesia.id)
4. Sebagai alat/ pakaian untuk membungkus mayat.

(sumber: kupang.tribunnews.com)
5. Kain tenun tidak hanya dipakai untuk menutup jenazah, kain tenun juga
dibentang di bagian bawah plafon rumah menutup tempat tidur jenazah.
Pada saat jenazah di angkat keluar rumah untuk dimakamkan, kain tenun
yang dibentang diambil kembali dan disimpan oleh to’o (paman) dari
pihak ibu atau keluarga yang masih satu marga dari pihak ibu yang sangat
menarik dalam hubungan kekeluargaan dengan adanya istilah to’o atau
paman. To’o adalah saudara laki-laki dari pihak ibu. Tugas dan tanggung
jawab adat seorang to’o adalah mengurus seluruh keperluan dari sejak
lahir, terutama di dalam hal perkawinan, kematian, pembagian warisan,
dan lain-lain. Jika sang paman dari pihak ibu sudah meninggal terlebih
dahulu maka tugas itu beralih ke to’o yang msih satu family dari pihak ibu.
Semuanya diatur dalam norma-norma adat istiadat yang apabila dilanggar
akan mendapat sanksi.(wawancara dengan Gentry Amalo)
6. Sebagai tolok ukur kedewasaan seorang gadis. zaman dahulu tenun
merupakan bagian dari proses akil baligh seorang gadis, selain dapat
memasak, berkebun kecil dekat rumahnya serta memelihara babi maka
dianggap layak untuk menikah. Alasannya adalah dengan menenun
seseorang butuh kesabaran, ketekunan, kelemah-lembutan, dan
pengorbanan.
7. Sebagai alat denda adat. dahulu ketika kain masih menggunakan bahan
alami, ketika kain belum menjadi komersil kain sangat mahal dan susah
didapat.
8. Sebagai Prestise dalam strata sosial masyarakat.
9. Di Rote Khususnya di Termanu ada 3 stratifikasi. Pertama suku Raja-raja
(Faloa Saon), kedua suku-suku fetor (wakil raja) dan ketiga adalah rakyat
jelata (orang biasa). Dimasa lalu saat kapas belum ditanam di Rote atas
perintah belanda melalui cultur stelsel penduduk Rote membuat busana
dari serat daun gewang muda. Motif-motif muncul ketika kapas hadir dan
kemudian orang membuat benang dari kapas. Ketika kaum bangsawan
membuat kain yang bermotif, rakyat jelata atau orang biasa hanya
menenun kain polosan dan kemudian diwarnai hitam saja. Setiap keluarga
memiliki motif sendiri, misal keluarga Pellokila, Amalo, Ndaumanu punya
motif sendiri dalam nusak termanu terdapat 9 keluarga yang berati terdapat
9 motif yang berbeda pula di masa lalu motif ini tidak boleh di pakai oleh
keluarga lainnya, misal keluarga Amalo memakai motif keluarga Pellokila
atau sebaliknya maka mendapatkan denda adat. Di masa lalu terdapat
hukuman dari yang denda ringan hingga hukuman mati.

Motif Hua Ana Langi. Motif raja yang spesial karena dianggap keramat.
Corak hua ana langi tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Bila ada rakyat
biasa ketahuan mengenakan motif raja, maka kain tenun tersebut akan
dimusnahkan saat itu juga dengan cara dipotong potong kecil lalu dibakar.
Dalam perkembangannya kemudian terjadilah interaksi antara bangsawan
dan warga biasa, maka motif itu kemudian bisa di tenun warga biasa
dengan syarat-syarat yang cukup berat, yakni hanya boleh dikenakan oleh
dirinya sendiri dan tidak diperjual belikan. Terdapat hukum adat mengenai
larangan menitu motif asli para bangsawan, artinya disinilah mulai muncul
kreatifitas yaitu dengan membuat motif-motif baru dengan variasi dari
motif sebelumnya. Jadi kain tenun sudah pasti tidak sama baik dalam
ukuran, teknik pewarnaan dan sudah pasti motif yang berbeda dengan
yang dikenakan para bangsawan. Jika di Termanu motif raja dan para
bangsawan akan cenderung padat, detail dan kaya warna (hitam, merah
maroon, putih dan kuning) yang disebut sebagai motif halus. Sedangkan
warga biasa biasanya motif berukuran besar dan disebut tenun kasar.
Karena jarak penempatan motifnya longgar. Tetapi di masa 20 tahun
terakhir sudah jarang orang menenun menggunakan ketentuan adat yang
berlaku. Jadi motif raja dicampur dengan motif orang biasa. (wawancara
pribadi, Gentry Amalo, 2 Mei 2021).
10. Alat penghargaan kepada tamu yang datang.
Kain tenun juga merupakan suatu hal yang dapat dijadikan kebanggan bagi
seseorang/sebuah keluarga. Hal ini tampak bila seorang /keluarga yang
didatangi tamy untuk bermalam, maka suatu kewajiban yang merupakan
kebanggaan bagi tuan rumah ialah menyediakan selimut.
11. Dalam perkembangannya merupakan sumber pendapatan masyarakat.
Tenun ikat masyarakat Rote merupakan salah satu mata pencaharian yang
diturunkan dari leluhur. Tenun ikat itu menghasilkan tiga jenis produksi,
yaitu sarung, selendang, dan selimut. Ketiga jenis itu memiliki fungsi bagi
masyarakat pendukungnya. Kegunaaan meliputi fungsi adat, fungsi sosial,
dan fungsi ekonomis, fungsi simbol identitas, dan fungsi sejarah.

Proses pembuatan tenun ikat Rote Ndao

Kain tenun dibuat sesuai fungsinya untuk digunakan sebagai penutup tubuh.
Sebelum adanya pengetahuan membuat benang, masyarakat Rote menggunakan
kaloro, sejenis penutup tubuh yang dianyam dari daun gewang masyarakat Rote
menyebutnya dengan hakenak, setelah jadi disebut lambi tei kain tersebut ada di
Museum NTT dengan keterangan. Ketika saya mewawancarai salah satu
sekertaris camat Edu Pellondou di Rote Timur beliau membenarkan adanya serat
gewang yang digunakan sebagai bahan dalam pembuatan lambi Tei, beliau
mengetahuinya dari cerita neneknya, yang menurut neneknya ada sekitar abad 15-
18. Namun ada pula yang mengatakan pada tahun 1994 tim survey dan pengadaan
koleksi museum mengunjungi pulau Rote dan menjumpai seorng nenek di
kampung Boni kec. Rote Barat Daya yang msih menggunakan kain dari bahan
serat gewang. Begitu dalamnya kecintaan sang nenek terhadap kain tenun dari
serat gewang sehingga ia tidak mau menggunakan kain tenun dari benang kapas.
Sebelum adanya tali rafia, pengikatan motif menggunakan tali dari daun gewang
(heknak). Tali heknak terbagi dua, yang berwarna putih (halus) untuk tenun ikat
dan yang berwarna coklat (kasar) sebagai tali untuk kebutuhan sehari-hari).
Kemudian pembuatan kain dari benang mulai ada setelah dikenalnya kapas. Pada
zaman dahulu kapas didatangkan dari luar Rote. Kapas diolah menjadi benang
dengan cara dijemur, dikeluarkan biji-bijinya, kemudian dikabutkan pada alat
pengabut/ gasing/kine (dalam bahasa Rote Timur) (pengabutan: gumpalan kapas
digelar pada alat pengabut hingga setipis mungkin, sehingga tampak seperti
kabut) dan selanjutnya dipilin hingga menjadi untaian benang. Benang yang
dihasilkan cenderung kasar/tebal. Untuk membuat kain, benang kapas digulung,
lalu di rentangkan satu per satu (lolo / hani), lalu ditenun menggunakan alat tenun
tradisional, dan menghasilkan kain dalam bentuk selimut untuk laki-laki dan
sarung untuk perempuan.
Motif terbentuk karena adanya teknik pewarnaan. Ciri khas warna tenunan Rote
yaitu hitam dan putih. Cara mewarnainya dengan bahan-bahan alami yang unik.
Orang Rote sudah dapat menghasilkan warna tenunan yang tidak luntur dengan
ramuan yang disebut Pama`a. Pama`a adalah air rendaman abu dari kulit buah
nitas yang dibakar. Untuk menghasilkan warna hitam, benang direndam dalam
Pama’a, kemudian direndam dalam lumpur di danau tempat berkubangnya
kerbau. Benang tersebut direndam di lumpur yang dalam dan ditinggal selama
berbulan-bulan hingga akhirnya menjadi warna hitam. Pewarna yang digunakan
biasanya menggunakan pewarna tradisonal, seperti mengkudu, tarum, kunyit dll.
Ciri khas warna kain rote adalah Hitam dan Putih.
Seiring dengan perkembangan zaman, sebelum adanya bahan-bahan pewarna
sintetik, orang Rote memodifikasi warna motif tenun ikatnya dengan warna
orange dan biru. Orange dihasilkan dari pohon mangkudu (akar mangkudu
ditumbuk halus kemudian direndam bersama-sama benang), sedangkan warna
biru dihasilkan dari pohon nila / tauk (daun nila dicampurkan dengan garam dan
diaduk2 dalam air hingga menjadi biru, kemudian airnya tersebut digunakan
untuk merendam benang).
Mulai tahun 1940an, pekerjaan menenun mulai diajarkan kepada rakyat biasa (non
keluarga raja). Setiap gadis yang akan menikah harus dapat menenun. Biasanya
kemampuan menenun si gadis diuji menjelang upacara peminangan (masominta),
jika si gadis belum dapat menenun maka pernikahan tersebut harus ditunda
bahkan dibatalkan. Tingkat kehormatan si gadis dinilai dari berapa banyak kain
tenun yang dibuatnya sebelum menikah. Semakin banyak kain yang dimiliki
semakin tinggi nilai gadis tersebut bagi keluarga pria. Rakyat biasa diperbolehkan
menggunakan kain tenun, tetapi dilarang keras menggunakan motif Raja (motif
asli). Jika kedapatan rakyat biasa menggunakan kain tenun yang ada motif rajanya
maka saat itu juga kain tersebut harus dimusnahkan (dicincang dan dibakar).
Motif Raja dianggap hal keramat dan sangat dihormati oleh rakyat biasa.
Ketika semakin banyak wanita di pulau Rote dan Ndao dapat menenun, didukung
dengan mulai adanya benang dan pewarna dari pabrik, pekerjaan tenun mulai
ditinggalkan oleh masyarakat di Pulau Rote. Mereka lebih fokus pada pekerjaan
bercocok tanam dari pada menenun kain. Hanya kaum wanita Pulau Ndao saja
yang tetap melakukan pekerjaan tenun. Mereka biasanya duduk di halaman rumah
dan seharian membuat tenun ikat, sedangkan kaum pria bekerja keras di luar
rumah untuk mendapatkan makanan. Oleh karena itu, masyarakat Rote member
julukan bagi orang Ndao “Tou Ndao Loi-loi, Ina Ndao Na`a Mu`dak “ artinya “
pria Ndao membanting tulang (bekerja keras di luar), Perempuan Ndao berpangku
tangan (makan gampang).
Hingga saat ini, pekerjaan tenun hanya dikuasai oleh perempuan-perembuan
Ndao. Jarang sekali ditemukan perempuan Rote yang dapat menenun. Industri
tenun ikat terus berkembang, menggunakan alat yang lebih modern, bahan-bahan
yang instan dan proses yang lebih cepat. Perkembangan zaman menjadikan tenun
ikat lebih modern dan nilai-nilai budayanya semakin pudar. Motif-motif terus
dimodifikasi dan warna-warnanya pun mulai berkembang luas, tidak hanya hitam
dan putih. Tenun ikat kini tidak hanya digunakan pada upacara adat atau sebagai
upeti, tetapi berkembang luas menjadi kain fashion, souvenir budaya dan lain-lain.
Pada suku atau daerah tertentu corak/motif binatang atau orang lebih banyak
ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, singa,
orang-orangan, tengkorak dan lain-lain, sedangkan TTS banyak menonjolkan
corak motif burung, cecak, buaya, dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak
motif bunga-bunga, atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif
binatang hanya sebagai pemanisnya saja.
Pola dasar dari bentuk corak motif/ragam hias tenunan ikat NTT yang dihasilkan
dapat dikelompokan sebagai berikut:

a. Ragam hias zoomorpic (bentuk fauna). Yaitu lamak nen merupakan bentuk
anak belalang, hewan yang berkeliaran di ladang, Mada Karoko merupakan duri
laut atau tek, serta motif Hua analangi yaitu makna ikan garagahing motif yang
sangat dilarang dipakai oleh orang biasa.
b. Ragam hias antropomorph (bentuk/figure manusia)
c. Ragam hias flora (stilisasi tumbuhan)
d. Ragam hias geometri (kerucut, segitiga, setengan jajaran genjang) motif Lafa
Langgak yang artinya kombinasi lilin dan salib. Makna yang berhubungan dengan
kepercayaan local.
(sumber: Tokotenun)
e. Ragam hias replica, ragam hias kain Patola (India).
Motif tenun ikat Rote Ndao berakar dari kepercayaan dan mata pencaharian
masyarakat. Terdapat ritual menyembah roh leluhur dan meminta dukungan para
leluhur untuk membantu proses pembuatan sebuah motif kain ritual tersebut
dinamakan songgo-songgo. Karena motif juga merupakan sesuatu yang bersifat
turun temurun, maka motif tertentu tidak bisa dikerjakan oleh orang lain. Apalagi
orang yang tidak punya garis keturunan maka biasanya tikang tenun tersebut akan
sakit berhari-hari jika ia mengerjakan motif tertentu. Apa lagi jika tidak memiliki
izin dari sang empunya motif. Pada dasarnya bentuk motif tenun ikat Rote adalah
persegi empat yang disambung-sambung.
Motif utama seluruh Rote terdapat pada kain slimut untuk pria (lafa). Ciri khas
motif Rote terdapat pada kepala selimut (lafa langgak) berupa lambing lilin dan
salib. Kemudian motif selanjutnya setelah kepala selimut dibedakan berdasarkan
wilayah kerajaan. Motif tenun ikat yang ada di Rote terbagi menjadi 2 aliran
utama yaitu Rote bagian barat (henak anan = anak pandan / hendak) dan Rote
bagian timur (lamak nen = anak belalang). Rote barat meliputi Nusak Ba`a hingga
Lelenuk, sedangkan Rote Timur meliputi Nusak Landu hingga Renggo. Motif
Rote Timur terinspirasi dari makanan belalang berupa daun-daun halus (ngganggu
dok = daun kangkung), pada umumnya motif-motifnya berbentuk jalinan daun-
daun kecil (bertalian).
Motif Rote Barat terinspirasi dari buah pandan, motifnya berbentuk daun-daun
atau jajar genjang yang ukurannya lebih besar dari motif Rote Timur. Motif Rote
Barat terbagi lagi dalam 3 aliran yaitu:
- Thie, Dengka, Dela, Oenale: motif Pending
- Ndao Nuse: motif Hua Ana Langi dan Mada Karoko (Hua Ana Langi adalah
motif Raja).
Ba’a Lelain, Keka, Talae, Lole, Bokai, Lelenuk: Motif daun-daun besar (dalam
Bahasa Ndao: “roa’ ju”, dalam Bahasa Ba’a “su’u dok”)
Motif pending ditiru dari bentuk pending (ikat pinggang tradisional Rote). Motif
Ndao Nuse berasal dari hewan-hewan laut, (hua ana langi: ikan garagahing ; mada
karoko: duri laut / tek). Motif su’u dok berasal dari bentuk daun sukun (sukun
adalah makanan rakyat Baa ketika zaman perang). Hingga saat ini motif terus
mengalami modifikasi oleh para penenun, dan menghasilkan beraneka ragam
motif, tetapi jika diperhatikan baik-baik, seluruh motif tersebut tetap
mempertahankan aliran motif Rote (persegi empat yang disambung-sambung
berbentuk daun, jajar genjang dan salib).
Secara umum ragam hias (dulak) pada tenunan orang Rote Ndao merupakan
replika (peniruan secara cermat) dari warna-warni kulit buaya dengan kombinasi
dari struktur pola patola/cinde – India (menurut Dra. Aurora Murnayati bahwa
ragam hias yang ada tidak lepas dari arti simbolis ragam hias patola). Ragam hias
orang Rote Ndao, sebagai berikut:
a. Bentuk-bentuk geometri (kerucut, segi tiga/tumpal).
b. Kembang delapan yang disebut motif hitam (dula nggeok).
c. Setengah jajaran genjang, yang disebut dula pendik.
d. Tangkai bunga, disebut dula bunak.
e. Pohon, disebut dula aik.
f. Rumput laut, disebut dula latu dok.
Oleh karena tenunan adat orang Rote-Ndao tidak dipakai sebagai busana harian
atau busana kerja, kecuali sudah tua/usang, maka sebelum adanya tekstil yang
diperoleh dari toko, mereka membuat pakaian harian/kerja tanpa motif bunga.
Benang yang telah diolah cukup dihitamkan (tatabu) lalu ditenun menjadi selimut
dan sarung, disebut lafa/lafe nggeok dan rombo/lambi/pou nggeok. Sedang untuk
baju tidak diberi warna hitam tetapi tetap putih. Pakaian kerja/tani bisa dibuat juga
dari serat halus pucuk daun gewang (lafa soka/lafe teik untuk laki-laki dan
rombo/pou soka atau lambi teik untuk perempuan).
Masing-masing daerah/suku di NTT mempunyai sejarah/mitos tentang ragam hias
tenun ikatnya. Untuk orang/suku Rote Ndao, asal-usul ragam hiasnya adalah
sebagai berikut:

“Pada zaman dahulu terdapat dua orang puteri kakak-beradik yang sangat
cantik. Mereka adalah orang Lole. Nama mereka adalah Pua Kende dan No
Kende. Keduanya telah mengikat janji percintaan dengan dua perjaka orang Ndao.
Sesudah itu kedua perjaka orang Ndao tersebut kembali ke Ndao.

Kemudian muncullah dua orang raja muda dari Sain do Liun (Dasar
Samudera). Nama mereka ialah Dula Foek (Buaya) dan Pata Iuk (Hiu). Kulit Dula
Foek terdiri dari beberapa corak bunga yang indah. Kedua puteri itu tertarik lagi
dengan kedua pemuda Sain tersebut lalu mereka kawin.

Tidak lama kemudian kedua perjaka orang Ndao tersebut kembali dari
Ndao. Mereka kaget karena pacar mereka yaitu Pua Kende dan No Kende telah
kawin dengan orang-orang lain. Kedua pemuda Ndao itu merasa dipermainkan
bahkan dipermalukan. Akibatnya mereka membunuh kedua mantan pacar mereka.
Sebelum menghembuskan napas, kedua gadis bersumpah dengan mengatakan
bahwa ‘mulai dari saat itu sampai seterusnya, orang Lole yang asli tidak akan
melahirkan anak gadis yang cantik, kecuali darah campuran’.

Karena kecewa dan malu, kedua raja muda Sain itu pun (Dula Foek dan Pata Iuk)
kemudian mengakhiri hidup mereka di tempat yang bernama Oli Ba’i. Kulit Dula
Foek yang berwarna-warni itu membuat orang Rote tertarik lalu
mayat/bangkainya dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada setiap
suku/subetnis. Bunga kulit Dula Foek itu memberi inspirasi kepada orang
Rote Ndao lalu kemudian mereka mencipta bunga (dulak) selimut dan sarung adat
sesuai dengan warna kulit Dula Foek seperti tersebut.

Orang Lole mendapat ekor karena itu tenunan adat mereka bercorak hitam di
tengah. Orang Thie mendapat sirip (Hinggik) sehingga tenunan adat mereka
bercorak belalang, disebut “keketak”. Orang termanu dan orang Ndao mendapat
bagian belakang sehingga tenunan adat mereka bagus. Orang Korbafo mendapat
paru-paru sehingga tenunan adat mereka seperti warna paru-paru, disebut
‘masakea bak’. Dan Lamak Anan (Rote Timur) mendapat dada, sehingga tenunan
adat mereka bercorak silang, disebut “nggangge”.

Untuk menghasilkan tenunan yang coraknya seperti kulit buaya itu, dibutuhkan
bahan baku dengan warna: hitam, putih, merah, dan kuning. Untuk warna hitam,
bahan bakunya ialah pohon tarum/nila; untuk warna putih, benang cukup
ditutup/diikat dengan futus; untuk warna merah, bahan bakunya adalah
mengkudu; dan untuk warna kuning, bahan bakunya adalah kunyit. Oleh karena
bahan-bahan baku tersebut tidak banyak yang tumbuh secara liar, maka orang
Rote Ndao mulai memelihara/menanamnya.

Berikut 10 motif dan gambar tenunan Rote Ndao yang terkenal:

1. Motif Lafa Langgak. Merupakan ciri khas seluruh tenun Rote yang
berupa kepala selimut yang berupa lambang kombinasi dari lilin dan salib.
Makna yang berhubungan dengan kepercayaan agama yang banyak dianut
masyarakat lokal.
2. Motif Henak Anan. Bermakna anak pandan
3. Motif Lamak Nen. Merupakan corak bentuk anak belalang, hewan yang
banyak berkeliaran di sekitar tempat berladang.
4. Motif Ngganggu Dok. Menggambarkan daun kangkung dan daun daun
kecil lain yang biasanya menjadi makanan belalang.
5. Motif Hua Ana Langi. Motif raja yang spesial karena dianggap keramat.
Corak hua ana langi tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Bila ada rakyat
biasa ketahuan mengenakan motif raja, maka kain tenun tersebut akan
dimusnahkan saat itu juga dengan cara dipotong potong kecil lalu dibakar.
6. Motif Roa`ju atau Su`u Dok. Berupa motif daun-daun besar yang dalam
bahasa Ndao disebut roa`ju, sedangkan dalam bahasa Ba`a disebut su`u
dok.
7. Motif Pending. Motif ini ditiru dari bentuk pending yakni ikat pinggang
tradisional Rote.
8. Motif Hua Ana Langi. Motif yang mempunyai makna ikan Garagahing.
9. Motif Mada Karoko. Berupa gambar duri laut atau tek.
10. Motif Su’u Dok. Motif yang berasal dari bentuk daun sukun. Sekadar
info, sukun adalah makanan rakyat Ba’a ketika zaman perang melawan
penjajah.

Kesimpulan
Tenun ikat Rote Ndao merupakan hasil kebudayaan yang mengalami revolusi
teknologi. Awal adanya kain tenun dikenal dengan lambi tei dengan bahan serat
daun gewang atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan gebang. Setelah itu
bahan digantikan dengan kapas yang dibawa oleh Belanda, di awal masa-masa
tersebut masyarakat Rote Ndao masih menggunakan pewarna alami. Kemudian
munculah benang katung dan pewarna alami yang makin mempermudah.
Pada perjalananya tenun ikat pulau Rote Ndao merupakan kebutuhan pokok
sebagai pelindung dari pandangan seperti yang dituturkan dalam syair Nusak Diu.
Setelah itu ketika tenun ikat mulai mengenal motif, kain juga digunakan sebagai
salah satu penanda strata sosial, selain itu juga digunakan dalam kegiatan adat,
pernikahan, bahkan kematian. Tenun ikat Rote Ndao sangat lekat dengan
kehidupan masyarakatnya. Setiap family dahulunya memiliki motif khas, dan
family lain tidak diperbolehkan untuk mengenakannya. Motif keluarga dianggap
sebagai sesuatu yang berharga karena bersifat turun temurun. Motif tenun ikat
Rote Ndao yang dihasilkan merupakan manifestasi kehidupan mereka. Menjadi
simbol dan lambang. Namun sekarang penenun bebas mencampurkan berbagai
motif dalam satu kain dan penenun keluarga sudah tidak ada lagi.

Daftar Pustaka

https://balitka.litbang.pertanian.go.id/potensi-gewang-di-provinsi-nusa-tenggara-
timur/ (diakses pada tanggal 20 Mei 2021 pukul 20.03 WIB).
https://www.wikiwand.com/id/Pulau_Rote (diakses pada tanggal 25 Mei 2021
pukul 21.25 WIB)

J. Fox, James. 1960. Master Poets, Ritual Master The Art of Oral
Composition Among the Rotenese of Eastern Indonesia. Australia
Nation University: Australia.
Winaldy S. Blanc. 2016. Tenun ikat masayarakat kampung Ndao kecamatan
Lobalain kabupaten Rote Ndao Provinsi NTT. Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu
Budaya Unud, vol 16.2 2016: 270-278.
Wawancara
Gentry Amalo, 2 Mei 2021
http://paulahaning.blogspot.com/2016/02/fungsi-kain-tenun-ikat-ntt.html (diakses
pada tanggal 22 Mei 2021 pukul 10.13 WIB)
https://rotendaokab.go.id/industri.php (diakses pada tanggal 24 Mei 2021 pukul
15.34 WIB)
https://satutimor.wordpress.com/2014/05/09/nostalgia-flobamora-5/ (diakses pada
tanggal 25 Mei 2021 pukul 21.20 WIB)
http://v1.rotendaokab.go.id/album-rote-ndao/video/ (diakses pada tanggal 25 Mei
2021 pukul 02.45 WIB)

Lampiran

Pohon Gewang
Lambi Tei yang terbuat dari serat daun Gewang.
Anak-anak sekolah Misi di Rote sedang melakukan tarian tradisional di bawah bimbingan seorang guru di
tahun 1930-an. [Foto: P. Middelkoop, diberikan oleh H. Schulte Nordholt kepada KITLV dari kepemilikan
Conelia Middelkoop-Koning]

Para perempuan pada saat sebuah upacara [kemungkinan perkawinan] di Rote sekitar tahun 1930. [Foto:
KITLV]
Para Perempuan Rote dalam sebuah tarian tradisional [Kemungkinan Kebalai] sekitar tahun 1930. [foto:
KITLV/Middelkoop]
Raja Bilba dan permaisuri (masa Hindia Belanda)
Potret lima gadis dari Rote, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 1926

Contoh motif dari Rote Timur : daun-daun kecil yang bertalian


motif buah pandan

motif su'u dok

Anda mungkin juga menyukai