Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan Tenun Troso

Oleh: Ahmad Sofyan Nur Ubaidillah (1912925021)


Institusi : Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Alamat institusi : Jl.Parangtritis, kec. Sewon, kab. Bantul, DIY 55188
E-mail : ahmadsofyannur86@gmail.com

Abstrak
Tenun Troso merupakan kerajinan Tenun ikat tradisional khas Jepara. Industri
Tenun Troso kini makin berkembang, produknya tersebar di berbagai kota seperti
Jakarta, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali. Namun para
pengrajin Tenun Troso kini lebih mengutamakan aspek dagang, yang mana motif
tenun dibuat sesuai dengan permintaan konsumen, sehingga bentuk motif selalu
berubah dan tidak memiliki ciri khas yang identik dengan wilayah Jepara. Oleh sebab
itu penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan motif Tenun Troso yang sesuai ciri
khas potensi wilayah Jepara dengan pengolahan komputer grafis. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan
penciptaan seni yang terdiri dari tahap eksplorasi, perancangan, dan perwujudan
karya. Hasil dari penelitian ini adalah motif yang dihasilkan dapat gunakan sebagai
acuan bagi para pengrajin Tenun Troso.

A. Pendahuluan
seni telah ada sejak zaman dahulu ketika manusia pertama kali muncul dimuka
bumi dalam artian seni telah ada dari zaman prasejarah seni merupakan hal yang
tidak lepas dari kehidupan manusia dan bagian dari kebudayaan yang diciptakan dari
hubungan manusia dalam lingkungan sosialnya seni memiliki berbagai pengertian
tergantung dengan konsep atau pandangan yang mendasari sebuah teori atau kajian
mengenai seni itu sendiri (Sumanto, 2006:5)
Tenun merupakan kerajinan yang berupa bahan atau kain yang dibuat dari benang
(kapas, serat, sutera) dengan menggunakan pakan (benang yang melintang) pada
lungsi (dua kelompok benang yang membujur). Secara garis besar Tenun merupakan
teknik dalam membuat kain yang menggunakan prinsip sederhana dengan
menggabungkan benang secara memanjang dan melintang. Dengan kata lain
bersilang antara benang lungsi dan benang pakan secara bergantian dengan
mengikuti suatu pola tertentu dengan alat bantu Tenun. Dengan proses
pembuatannya menggunakan bahan baku serta yang dipintal atau digulung menjadi
benang kemudian ditenun menjadi kain
Industri tekstil di Indonesia sudah mulai dikenal sejak abad XVII. Proses
pembuatannya menggunakan bahan serat yang dipintal menjadi benang, kemudian
ditenun menjadi kain. Macam-macam alat yang digunakan untuk menenun kain
antara lain : Alat Tenun Gedongan yang dijalankan dengan tangan, Alat Tenun Bukan
Mesin (ATBM) yang dijalankan dengan tangan dan kaki, serta Alat Tenun Mesin (ATM)
yang dijalankan dengan motor

Desa Troso salah satu daerah yang memproduksi jenis kain tenun ikat di antara
beberapa daerah lainya di Indonesia. Namun demikian jenis-jenis motif tenun ikat
yang dikembangkan bukan merupakan jenis asli dari desa ini atau jenis tenun dari
Jawa. Motif tenun ikat di Desa Troso mengambil alih atau mengapdosi dari daerah 4
lain, terutama dari daerah-daerah Indonesia bagian timur seperti Bali, Lombok,
Kalimantan dan Sulawesi. Motif yang digunakan tidak sama persis namun ada
modifikasi atau melakukan penambahan di sana-sini. Di samping itu masyarakat
Troso juga mengembangkan kedua jenis tenun, baik tenun ikat pakan maupun tenun
ikat lusi yang berasal dari daerah tersebut. Pada dasarnya masyarakat Desa Troso
telah mampu membuat jenis tenun lurik dan sarung ikat yang pernah berkembang di
Jawa.
Tenun Ikat Troso dapaat meningkatkan bagi perkembangan ekonomi dan pariwisata
bagi Kabupaten Jepara. Tenun Ikat Troso juga mampu mengangkat perekonomian
masyarakat di daerah tersebut. Jenis tenun ikat ini memiliki nilai seni atau keunikan
tersendiri karena masi menggunakan teknik tradisional (Muhamaad Ulil Albab, 2019).
Namun perlu diketahui banyak masyarakat luar Jepara yang tidak mengetahui bahwa
produksi kain tenun troso diproduksi dari Jepara. Sedangkan minat masyarakat yang
di Jepara tehadap kain tenun juga masih minim. Hal ini terjadi karena masih
terbatasanya wilayah pemasaran kain tenun. Selain itu apabila masyarakat yang
ingin membeli kain ternun tersebut harus datang langsung ke desa tersebut yang
membuatnya. Di dalam pasar tradisional yang ada di Jepara jarang sekali dijumpai
toko atau pedagang kain yang menjual kain tenun, bahkan pasar Pecanganan yang
merupakan pasar kecamatan dari Desa troso tidak dijumpai menjual kain tenun
(ROKHAYATI, 2014)

B. Pembahasan
Kain tenun merupakan salah satu hasil seni budaya tradisional yang telah lama
berkembang di Indonesia. Dalam perkembangannya kain tenun mempunyai fungsi
sosial yang melambangkan status sosial atau identitas kelompok individu tertentu.
Jenis ataupun ragam hias kain tenun misalnya dapat menunjukkan apakah
seseorang itu keturunan raja, kepala adat atau hanya rakyat biasa. Untuk
meunjukkan identitas kelompok biasanya kain tenun tampak dipergunakan misalnya
dalam upacara kelahiran, inisiasi, perkawinan ataupun kematian (Eko Punto Hendro,
2000: 1).
Tenun ikat Troso merupakan suatu industri kreatif yang mencerminkan kemandirian
masyarakat. Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas, keterampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan
serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan
daya cipta individu (http://id.wikipedia.org/wiki/Industri_kreat if).
Di Jepara inilah tradisi industri kreatif seperti mengukir dan menenun telah ada
cukup lama. Bila mendasarkan pada oral tradition, keberadaan tenun Troso
diperkirakan bersamaan dengan proses Islamisasi pada masa kerajaan Mataram yaitu
sekitar abad ke-17. Di sisi lain, bila mendasarkan pada sumber Belanda dan hasil
wawancara, eksistensi tenun sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, zaman Jepang,
zaman orde lama, orde baru, hingga orde reformasi (Alamsyah, 2012: 419). Tidaklah
berlebihan bila kreativitas masyarakat yang melahirkan diversifikasi ekonomi yang
berbasis soft skill ini telah eksis secara historis dan menjadi tradisi masyakarat lokal
Jepara dari waktu ke waktu.
Menurut Eko Punto Hendro keberhasilan produk Desa Troso dalam mempertahankan
industri tenunnya adalah faktor adaptasi. Mereka mampu beradaptasi dengan
perkembangan zaman. Selain faktor adaptasi, kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi
di Desa Troso merupakan variabel-variabel yang saling berkait dalam hubungannya
dengan tumbuh dan bertahannya industri-industri tenun di Desa Troso. Meskipun
variabel lingkungan alam tidak langsung terkait mempengaruhi aktifitas tenun,
namun telah memicu munculnya 13 aktifitas tenun tersebut di Desa Troso, yang
didorong pula oleh variabel lingkungan (eksternal) lainnya. Dalam kaitannya dengan
variabel ekonomi dan sosial, variabel ini merupakan variable internal, telah
mendorong munculnya pilihan keputusan terhadap kegiatan bertenun sebagai suatu
bentuk mekanisme yang adaptif. Variabel ekonomi yang di dalamnya terkandung
sistem niali dan makna simbol ekonomi, yang diliputi pula oleh adanya konsep
maksimalisasi, minimilasi, dan efisiensi, telah mendorong munculnya keputusan
masyarakat terhadap bentuk kegiatan bertenun ikat tersebut. Variabel sosial telah
mendorong dan menjembatani bentuk-bentuk hubungan yang muncul dari proses-
proses ekonomi tersebut. Buku ini sangat bermanfaat bagi penulis mengingat
permasalahan dan pokok bahasan dalam karya ini mempuyai dengan pokok kajian
penulis sehingga dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan sumber pembanding.
Menurut penduduk setempat, pada masa awal pertumbuhannya teknik menenun
dilakukan beberapa warga masyarakat Troso dengan menggunakan alat tenun
gendong dan hasil produksinya berupa lurik dan mori kasar. Demikian pula bahan-
bahan dasar produksinya berasal dari lingkungan sekitarnya, misalnya bahan
kapasnya yang kemudian dipintal sendiri dan bahan-bahan pewarna yang diambil
dari tumbuhan-tumbuhan sekitar desa. Dimulai sejak tahun 1950-an, berangsur-
angsur alat tenun gendong digantikan oleh Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), dan
hasil produksinya, 25 baik kualitas maupun kuantitasnya berangsur-angsur
meningkat dan lebih bervariasi (Hendro, 2000: 5).
Beberapa jenis kain tenun yang kini masih dapat dikenal, yaitu kain yang sering
disebut ulos, songket, dan ikat. Jenis tenun ikat memang mempunyai variasi paling
banyak dan mempunyai persebaran paling luas yang diproduksi hampir di seluruh
kepulauan Nusantara. Secara mendasar ada dua jenis tenun ikat yaitu tenun ikat
pakan dan tenun ikat lusi, namun ada jenis dobel ikat. Menurut L. Langewis, jenis
tenun ikat pakan diproduksi di daerah-daerah di Indonesia yang banyak mendapat
pengaruh kebudayaan Hindu, Budha dan Islam, yang ditandai dengan adanya benang
emas dan perak serta warna-warna kain yang cerah dan meriah. Sedangkan jenis
tenun ikat lusi terdapat di daerah - daerah yang kurang mendapat pengaruh
kebudayaan-kebudayaan tersebut, karena itu warna maupun motif kain tenun lebih
sederhana. 7 Dalam hal ini persebaran jenis tenun ikat pakan di Indonesia lebih luas,
meliputi daerah Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, sedangkan
persebaran jenis tenun ikat lusi umumnya hanya di daerah Indonesia bagian timur,
meliputi daerah Sumba, Flores, Timor dan daerah sekitarnya (Eko Punto Hendro,
2000: 3).
1. Perkembangan tenun troso
Proses perkembangan sentra industri tenun ikat di Desa Troso, menurut beberapa
pengusaha tenun yang berhasil ditemui, bahwa kondisi usaha tenun di Desa Troso
dari tahun ke tahun memang mengalami pasang surut. Pada tahun 1960-an saat
ATBM mulai membudaya di desa ini sampai tahun 1970- an, Desa Troso cukup
dikenal sebagai produk tenun lurik, mori dan sarung ikat. Namun di akhir tahun
1970-an kondisinya mulai mengalami kelesuan, sehinga banyak pengusaha yang
gulung tikar.
Awal tahun 1970 dipandang sebagai masa sulit bagi eksistensi tenun Troso. Usaha
tenun Troso yang dirintis masyarakat mengalami kebangkrutan karena hasil
produksinya sulit dipasarkan. Pemasaran hasil tenun ikat hanya dalam lingkup
terbatas. Hasil tenun ikat berupa sarung hanya diminati pasar lokal Jepara saja.
Pada periode ini, secara kuantitas produksinya melimpah atau over product, tetapi
yang membutuhkan produk tenun Troso tidak terlalu banyak. Dari sisi permodalan,
pengrajin tenun Troso juga mengalami kesulitan karena tidak didukung oleh
perbankan. Kondisi ini membuat pengrajin sulit berkembang. Akibatnya banyak
masyarakat yang merantau ke luar daerah dengan berbagai profesi (Bappeda Jepara,
2006: 69; wawancara dengan Sunarto, Januari 2013). Mereka melakukan migrasi
atau boro ke daerah lain seperti ke Pekalongan, Klaten, dan ke Bali. Di Bali beberapa
warga Troso mempelajari teknologi dan motif tenun ikat yang ada di daerah Bali
tersebut. Pekerja dari Troso ini tidak hanya mengenal jenis tenun dari Bali, namun
juga mengenal motif tenun ikat dari beberapa daerah sekitarnya seperti Sumba,
Flores, dan sebagainya. Sangatlah wajar bila pada masa ini motif tenun banyak
dipengaruhi oleh motif Bali dan Sumba atau yang biasa dinamakan motif Sumba.
Interaksi warga Troso dengan orang Bali inilah membuka jalan bagi masyarakat Troso
untuk menekuni kembali kegiatan tenun Troso (Wawancara dengan Sunarto, Januari
2013).
Pada tahun 1988, perkembangan tenun Troso didorong dengan adanya surat edaran
Gubernur Jawa Tengah nomor 025/219/1988 tentang pemakaian baju Tenun bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan surat
edaran tersebut, para PNS diwajibkan mengenakan produk tenun pada setiap hari
Jumat. Instruksi Gubernur ini sangat menolong para pengrajin sekaligus mengangkat
sentra-sentra tenun yang ada di Jawa Tengah. Saat itu tenun Troso mencapai puncak
popularitas dan pengrajin kewalahan melayani pesanan. Pada tahun 2000-an Bupati
Jepara juga membuat surat edaran yang substansinya sama dengan surat Gubernur
tersebut. Sinergi antara pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten
Jepara membuat aktivitas tenun meningkat pesat. Pada periode ini, produk tenun
tidak hanya berupa sarung, tetapi juga kain tenun dan produk dari tenun lainnya.
Adapun produk tenun baju untuk kepentingan seragam pegawai terbuat dari jenis
katun (Wawancara dengan Ali Azhar, Januari 2013).
Pada bulan Agustus 2010 Gubernur Jawa Tengah kembali mengkampanyekan
penggunaan seragam tenun lurik Troso untuk pakaian kerja PNS. PNS diwajibkan
memakai pakaian tenun Troso pada hari Rabu. Pemakaian tenun lurik Troso
diharapkan mampu mengangkat produk lokal, menghidupkan perekonomian
pedesaan, serta melestarikan kekayaan local. Dukungan pemerintah ini turut
mendorong perkembangan Tenun Troso.

Gambar 1 tenun troso (sumber: httpswww.aidatenunjepara.comfungsi-kain-tenun-


troso)
Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dalam belajar. Perkembangan
melibatkan tujuan untuk perubahan, maksudnya setiap tahun atau setiap harinya
perlu adanya perkembangan agar terjadi perubahan yang lebih baik dan semakin
matang. Perkembangan terjadi secara berkesinambungan, diberbagai bidang dapat
berkembang dengan kecepatan yang berbeda-beda. Sama halnya dengan tenun, pada
tenun Troso telah mengalami proses perkembangan dari segi motif yang cukup lama
dari tahun ke tahun. Perkembangan motif tenun Troso yang mengikuti perkembangan
zaman dan perubahan selera konsumen dari tahun ke tahun menunjukkan dinamika
yang beragam. Tenun ikat Troso sebagai produk seni mempunyai nilai jual yang
cukup tinggi sesuai dengan bahan dasar pembuatannya dan jumlah tenunannya.
perkembangan zaman sehingga disukai oleh konsumen. Motif yang dikembangkan
ada yang sama dengan pengusaha lain dan ada yang berbeda sama sekali karena
dibuat sendiri. Selain membuat motif sendiri, pengusaha juga menerima pesanan
motif sesuai keinginan pemesan/ pembeli. Motif yang dibuat mengikuti
perkembangan dan kebutuhan pasar. Inovasi-inovasi dan perpaduan dengan motif
pesanan dari setiap daerah juga memiliki andil dalam perkembangan motif tenun ini.
Motif tenun Troso antara lain sarung (goyor), baju barong, kaos Barong, Kain Motif
Sumba, motif SBY, motif Sumba, dan motif-motif yang lain. Moitif Sumba merupakan
icon daerah Sumba yang diproduksi secara massal di Troso karena diminati dan
menjadi booming. Motif ini pada tahun 2013 mulai mengalami kejenuhan karena
tebal dan tidak dapat dijadikan baju untuk seragam. Pesanan luar Jawa rata-rata
motifnya ditentukan oleh pemesan. Misalnya dari Bali rata-rata meminta dibuatkan
tenunan dengan motif khas Bali. Sistem pembelian dalam jumlah besar ada yang
menggunakan cek dan ada yang cash. Bila menggunakan sistem cek maka potensi
ditipu tinggi karena sering mendapatkan cek kosong. Oleh karena itu sistem
pembelian ada yang diubah menjadi pembayaran tunai yaitu ada barang- ada uang.
Namun untuk pemasaran di mall berbeda. Di mall yang dihitung adalah barang yang
laku terjual saja, barang yang tidak laku dikembalikan dan ditukar dengan produk
baru. Produk yang tidak laku dijual di mall kemudian di jual di daerah lain
((Wawancara dengan Rian Hidayat, Agustus 2014)
Inovasi-inovasi juga dikembangkan oleh pengrajin tenun agar kain Troso dapat lebih
berkembang dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Hubungan perajin tenun
dan pasar menyebabkan persaingan antar penenun. Persaingan ini mengharuskan
penenun memunculkan strategi untuk membuat inovasi-inovasi pembaharuan motif.
Semakin rumit motif yang dihasilkan maka harga kain troso juga akan semakin
mahal. Adanya perkembangan dalam bidang motif juga menyebabkan peminat tenun
Troso meningkat. Peningkatan Motif ditunjukkan bahwa yang semula motif tenun
Troso hanya ada 2 motif yaitu Motif Cemara (Pohon Cemara) dan Motif Lompong
(daun tales) (Sunarto, 29 wawancara: 29 Desember 2018), dan sekarang dengan
adanya motif-motif tiruan dari berbagai daerah seperti Bali, Lombok, Toraja dan lain
sebagainya membuat permintaan akan tenun ikat Troso juga mengalami peningkatan.
Motif-motif tiruan tersebut di dapat dari permintaan distributor yang memesan tenun
ikat Troso. Selain itu, para pengusaha pengusaha tenun ikat sendiri yang selalu
mengikuti perkembangan pasar.
Di Troso saat ini terdapat ratusan pengusaha denganAlat ATBM-nya sekitar 5.000
unit. Sedangkan tenaga kerja yang terserap sekitar 7.500 orang. Tenaga kerja yang
diserap oleh perusahaan tenun ini dilakukan secara gethok tular. Proses perekrutan
tenaga kerja dilakukan tanpa melalui proses test formal. Maksudnya, biasanya anak-
anak kecil yang masih sekolah baik di SD, SMP, maupun SMA itu bermain-main
dengan alat tenun yang ada di rumahnya karena orang tuanya memiliki pekerjaan
sambilan sebagai penenun. Ada yang suka membantu ngelos benang, mencoba
menenun, atau bahkan memperhatikan cara menggambar dan proses pengikatan
serta pewarnaan. Pasca pulang sekolah, anak ini ikut membantu orang tuanya,
sehinggaa setelah mereka lulus sekolah biasanya mereka ikut pada indung semang
orang tuanya, atau pada orang lain (wawancara dengan Ikram, dengan Subiah,
dengan Handiri, dengan Komsin, dengan Hamin, Agustus 2014) Selain pekerja tenun
berasal dari Troso dan dari kecamatan di sekitar Jepara, banyak juga pekerja yang
berasal dari Demak, Pati, Jepara, Rembang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Lasem.
Biasanya mereka bekerja di industri tenun Troso karena ada saudaranya atau
tetangganya yang pernah bekerja di Troso, sehingga mereka tertarik untuk
melakukannya. Saat ini tenaga kerja merupakan permasalahan utama pada
perkembangan industri pertenunan di Troso. Banyak tenaga kerja unggul yang
diperlukan, akan tetapi SDM yang tersedia tidak seperti yang diharapkan. Pada
awalnya, Pekerja industri tenun Troso yang berasal dari luar desa Troso berangkat
pagi dan pulang menjelang sore hari. Namun semenjak ada peminjaman alat tenun
dari pengusaha kepada pekerja di tempat tinggal pekerja, maka pekerja menjadi lebih
ringan dan upah yang diterima lebih banyak karena tidak terpotong biaya
transportasi (wawancara dengan Subiah, dengan Handiri, dengan Komsin, dengan
Hamin, Agustus 2014)
2. Motif motif tenun troso
a. Motif Polos
Motif polos merupakan motif tanpa gambar atau corak, hanya berupa kain polos
dengan satu warna. Motif ini menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Proses
pengerjaannya cukup cepat karena tidak menggunakan corak yang rumit.
b. Motif Lurik
Lurik berasal dari bahasa Jawa, “lorek” yang artinya garis-garis. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalur-
jalur. Motif ini terinspirasi dari kain lurik Yogyakarta. Motif lurik melambangkan
kesederhanaan.

C. Simpulan
Tenun Troso adalah industri kerajinan yang lebih dekat ke arah usaha kecil. Hampir
semua kegiatan usaha tenun Troso dikelola oleh pemiliknya. Pada tahap perintisan
usaha, jenis usaha ini mengalami kesulitan mencari modal dari bank. Baru setelah
berkembang, pinjaman dari bank akan mudah diperoleh. Hampir sebagaian besar
pengusaha dan pengrajin lemah dalam pembukuan. Biasanya tidak melakukan
pembukuan dengan tepat atas transaksi yang dilakukan. Selain itu manajemen
dikelola oleh pemilik. Yang menjadi pengelola adalah individu yang mempunyai
hubungan dengan pemilik. Semua kontak bisnis dan transaksi hanya dia yang
mengetahuinya.

D. Daftar Pustaka
Sumanto. 2006. Pengembangan Kreativitas Seni Rupa Anak TK. Jakarta: Direktorat
Jendral Perguruan Tinggi Direktorat Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Tenaga
Perguruan Tinggi.
Hendro, Eko Punto. 1992. Ketika Tenun Mengubah Desa Troso. Semarang.
http://st289154.sitekno.com/article/13949/tenun-ikat-
troso karyaleluhuryangditinggalkan.html, dikunjungi April 2014
Tim Dinas Koperasi, UMKM dan Pengelolaan Pasar Jepara, 2013. Profil Usaha Mikro
Kecil dan Menengah Kabupaten Jepara 2013. Jepara: Dinas Koperasi, UMKM dan
Pengelolaan Pasar.

Anda mungkin juga menyukai