Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terkenal dengan

keragaman budaya dan tradisinya. Warisan budaya yang masih ada dan terus

dikembangkan diantaranya kain tenun, kain batik, tarian, upacara adat, rumah

adat, pakaian adat dan lain-lain. Pesatnya perkembangan era perubahan dan

globalisasi, banyak warisan budaya yang mulai memudar, dimana seharusnya

diwariskan, dilestarikan dan dikembangkan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Salah satu warisan budaya adalah kain tenun tradisional. Generasi

muda sekarang banyak yang sudah melupakan kain tenun tradisional., mereka

lebih memilih kain yang diproduksi oleh pabrik. Kain yang diproduksi oleh pabrik

selain harganya yang lebih murah, motif yang ditawar juga beragam dan

ketersediaan dipaar juga tinggi, sehingga banyak generasi muda lebih suka

menggunakan kain modern dibanding kain tenun tradisional.

Sebagai salah satu kerajinan kain tradisional di Indonesia, kain tenun

harus dilestarikan dan dikembangkan. Tenun sendiri merupakan salah satu

kerajinan kain tradisional Indonesia yang dibuat diberbagai wilayah Indonesia.

Menurut Martono, Sugiyono dan Sri Isnaniadi (Martono, Sugiyono dan Sri

Isnaniadi, 1998 : 1) kain tenun dapat didefinisikan secara harafia sebagai

selembar atau sehelai kain yang dibuat dengan cara tenun. Tenun sendiri

memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi dikarenakan daerah di Indonesia yang

penghasil kain tenun memiliki ciri khas masing - masing pada kain tenunnya

baik dari segi motif, warna, dan benang yang digunakan saat membuat kain

1
2

tenun. Para perempuan menghasilkan tenun dengan motif/bunga yang berbeda

dengan cara tradisional dan masih menggunakan alat tenun yang bukan

mesin. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarenakan motif-motif tersebut

mempunyai makna, bukan sekedar sebuah gambar akan tetapi mengandung

makna tertentu. Cara pembuatan kain tenun di setiap daerah juga memiliki cara

yang berbeda - beda dan bersifat turun temurun, dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kain tenun Indonesia sangat beragam baik dari motif, cara

pembuatan serta filosofi dibalik motif - motifnya. Keunikan dari setiap kain tenun

yang ada di Indonesia membuat penulis tertarik untuk menggali lebih dalam

terkait dengan kain tenun khususnya kain tenun yang berasal dari Ternate .

Pasal 1 Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang system Pendidikan

Nasional, sebagai pedoman Pendidikan di Indonesia menyatakan : Pendidikan

adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasan belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secaraaktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukannya, masyarakat,

bangsa dan negara. Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa

dihindari dalam kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan kesatuan

yang utuh dan menyeluruh, berlaku dalam suatu masyarakat dan pendidikan

merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap individu dalam masyarakat. Hal ini

terlihat dari berbagai kelompok budaya yang berbeda telah menggunakan

pengetahuan matematika yang berbeda satu dengan lainnya (Walle, 2006:

104). Matematika merupakan bagian dari budaya dan sejarah (Fathani, 2009:

87). Kebudayaan merupakan cara khas manusia untuk mengadaptasikan diri


3

dengan lingkungannya. Yang khas pada kebudayaan ialah bahwa design

kehidupan itu diperoleh melalui proses belajar (Maran, 2007:20). Matematika itu

terwujud karena adanya kegiatan manusia (Soedjadi, 2007:6). Ketika budaya,

matematika dan pendidikan dikombinasikan, pencampuran ini sering kali

dinamakan dengan ethnomathematics. Ethnomathematics dapat disebut

sebagai matematika dalam lingkungan (math in the invironment) atau

matematika dalam komunitas (math in the community). Pada tingkat lain,

ethnomathematics dapat dideskripsikan sebagai suatu cara khusus yang

dipakai oleh kelompok budaya tertentu dalam aktivitas mengelompokkan,

mengurutkan, berhitung, bermain, membuat pola dan menjelaskan dengan cara

mereka sendiri (Sumardyono, 2004: 21-22). Jika dikaitkan dengan dunia

pendidikan, ethnomathematics adalah sebuah penelitian yang mengkaji tentang

sejarah dan konsep dari matematika, yang berimplikasi untuk pengajaran

(D’Ambrosio,2007:26).

Kota Ternate merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi

Maluku Utara, Indonesia dengan ibu kota Sofifi. Dari aspek budaya, masyarakat

Kota ternate sangat kaya akan budaya lokal, diantaranya ialah adat istiadat,

kesenian, kerajinan tangan,dan lainnya. Salah satu budaya lokal yang sampai

saat ini masih ada ialah kain tenun ikat pakan. Kain tenun ikat pakan ternate

tidak jauh berbeda dengan kain tenun dari daerah lain termasuk kain songket,

perbedaannya ada di motif, karena di motif memiliki filosofi masing-masing dari

daerah sendiri dan juga pada kain tenun ikat ternate masih menggunakan alat

tradisional pakan gedogan bukan mesin (ATBM). Kain tenun ikat merupakan

sebuah keterampilan bagi masyarakat kota ternate sejak lama. Kerajinan tenun
4

ikat bukanlah kerajinan asli dari budaya mereka. Tenun ikat dibawa oleh para

perantau dari Sulawesi yang dulunya banyak menyasar wilayah Maluku dan

Maluku Utara. Mereka turut mengajarkan orang asli Ternate untuk menenun.

Masyarakat lokal berhasil menerjemahkan teknik pembuatan sarung tenun, lalu

memasukkan unsur-unsur lokal yang original, dan akhirnya menemukan motif

mereka sendiri. Kain tenun Ternate banyak menceritakan tentang latar

belakang kehidupan masyarakatnya yang sangat dekat dengan laut. Motif ini

pulalah yang kemudian diturunkan turun temurun kepada anak dan cucu,

sehingga orang Ternate sudah mengakui sendiri bahwa ini adalah hasil karya

mereka sendiri. Motif yang sangat terkenal adalah motif wajik. Motif wajik pada

kain tenun Ternate memiliki filosofi sendiri dimana wajik merupakan salah satu

makanan adat yang dibuat saat acara pernikahan, meskipun sekarang wajik

tidak hanya dijumpai saat acara pesta pernikahan namun bisa dinikmati dihari-

hari biasa dan kita dapat jumpai di kedai-kedai kue atau pasar yang menjual

kue tradisonal. Kue wajik sendiri memiliki filosofi bahwa jika saat pernikahan

terdapat hidangan kue wajik diharapkan kedepan sepasang pengantin yang

membuat acara tersebut mendapatkan kebaikan dan keharmonisan saat

berumah tangga seperti rasa kue wajik sendiri yang manis. Filosofi motif wajik

ini penulis peroleh saat observasi awal ( 20 April 2022) di kediaman Ibu

Hj.Sehat di Kelurahan Kolongcucu. Motif kain tenun Ternate bukan hanya motif

wajik namun ad banyak motif dengan filosofi masing-masing, karenanya penulis

merasa tertarik menggali lebih dalam filosofi-filosofi motif dari kain tenun

Ternate. Seiring zaman, motif kain tenun Ternate sendiri sudah bervariasi

sesuai permintaan dari konsumen.


5

Pembelajaran dengan muatan etnomatematika dapat memuat unsur-

unsur budaya yang dialami siswa sehari-hari dengan konsep matematika yang

telah diperolehnya. Konsep etnomatematika yang akan dilakukan pada kain

tenun ikat Ternate ini dapat menjadi sumber belajar sekaligus sebagai upaya

untuk melestarikan budaya Ternate, dimana budaya tersebut memiliki kaitan

langsung dengan matematika.

Menurut Nor Maizan Abdul Aziz, Rokiah Embong, Zubaidah Abd Wahab

& Hamidah Maidinsah (2012), (dalam Sabilirrosyad) dimungkinkan untuk

dilakukannya studi ethnomathematics pada aktivitas bertenun. Aktivitas

bertenun, dibalik pengetahuan budaya yang melingkupinya, dipandang memiliki

karakteristik-karakteristik matematika. Pengungkapannya melalui

ethnomathematics diyakini akan menunjukkan adanya keterhubungan antara

matematika dengan budaya, juga sebaliknya. Keterhubungannya terlihat dari

aktivitas matematika yang dilakukan oleh para penenun. Aktivitas matematika

ini muncul secara alami, melalui pengetahuan dan pandangan masyarakat

Ternate sendiri tanpa melalui pendidikan atau pelatihan formal.

Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas yang

terkait dengan aktivitas matematika meliputi aktivitas berhitung dan mengukur.

Matematika merupakan ilmu dari segala ilmu pengetahuan yang tidak bisa

dihindari dalam kehidupan nyata, seperti pengrajin kain tenun sendiri yang

ketika ingin membuat kain tenun harus memperhitungkan berapa banyak

benang yang akan digunakan untuk menghasilkan selembar kain tenun, dalam

proses ini pola pikir pengrajin tersebut menggunakan pola pikir matematika

agar benang yang dibutuhkan tidak kurang atau melebihi batas agar sesuai
6

dengan panjang kain tenun yang diinginkan, dengan kata lain, secara tidak

sadar kelompok masyarakat (Ternate) yang tidak mengenyam pendidikan

mampu menggunakan konsep-konsep matematika dalam mendesain dan

menghasilkan suatu karya seni. Sehingga dapatlah dikaji penggunaan konsep

matematika dalam menghasilkan tenun dan hal ini sejalan dengan pendapat

Marcia Ascher and Robert Ascher (1997) bahwa “Ethnomathematics is the

study of mathematical ideas of nonliterate peoples” (Powell & Frankenstein,

1997: 25).

Dari uraian di atas maka peneliti tertarik mengungkapkan konsep

matematika dan filosofi apa saja yang ada pada motif dan aktivitas pembuatan

kain tenun ikat Ternate yang akan menjadi topik dalam penelitian ini.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis terdorong untuk

meneliti lebih jauh tentang “Eksplorasi Etnomatematika Kain Tenun Ikat

Ternate dan Penerapannya pada Pembelajaran Matematika”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja aspek-aspek matematika yang terdapat pada motif dan aktivitas

pembuatan kain tenun ikat Ternate?

2. Bagaimana penerapan aspek-aspek matematika yang terdapat pada motif

dan aktivitas pembuatan kain tenun ikat Ternate pada pembelajaran

matematika?

1.3 Batasan Masalah

Peneliti membatasi penelitian ini pada aspek budaya yang merupakan


7

peninggalan dari leluhur berupa fisik yaitu kain tenun Ternate dan

mendeskripsikan proses pembuatan kain tenun Ternate secara baku dari

penenun di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, serta penentuan aspek-

aspek matematis pada kain tenun Ternate. Subjek dalam penelitian ini adalah

2 penenun, 2 tokoh masyarakat setempat.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan

yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui aspek-aspek matematika yang terdapat pada motif dan

aktivitas pembuatan kain tenun ikat Ternate.

2. Mengetahui penerapan aspek-aspek matematika yang terdapat pada

motif dan aktivitas pembuatan kain tenun ikat Ternate.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian adalah

sebagai berikut :

1. Bagi masyarakat dan peserta didik, diharapkan adanya penelitian ini

sadar akan pentingnya pendidikan matematika yang tanpa disadari

masyarakat dan peserta didik telah menggunakan matematika dalam

kehidupan sehari-hari dengan adanya kesadaran itu mereka termotivasi

dalam Pendidikan.

2. Bagi guru, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber

informasi/referensi dalam mengembangkan bahan ajar bernuansa

etnomatematika.
8

3. Bagi peneliti penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana atau

acuan serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan

BAB II
KAJIAN
TEORI

2.1 Deskripsi Teori

2.1.1 Etnomatematika

A. Defenisi Etnomatematika

Ubiratan D’Ambrosio seorang matematikawan Brasil dalam Prabawati

(2016, hal. 27) menyatakan bahwa secara istilah etnomatematika diartikan

sebagai: The mathematics which is practiced among identifiable cultural

groups such as national-tribe societies, labour groups chlidern of certain age

brackets and professional classes. Artinya: matematika yang dipraktekkan di

antara kelompok budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku,

kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas

professional.

Pendapat Ubiratan D’Ambrosio pada tahun 1999 menyempurnakan

definisinya yang pernah diungkapkannya dalam Puspadewi di halaman 8,

bahwa etnomatematika terbentuk dari kata ethno, maathema, dan tics.

Awalnya etho mengacu pada kelompok kebudayaan yang dapat dikenali,

seperti perkumpulan suku di suatu negara dan kelas-kelas profesi di

masyarakat, termasuk pula bahasa dan kebiasaan mereka sehari-


9

hari..Kemudian, mathema disini berarti menjelaskan, mengerti, mengukur,

mengklasifikasi, mengurutkan, dan memodelkan suatu pola yang muncul pada

suatu lingkungan. Akhiran tics mengandung arti seni dalam Teknik.

Menurut Prabwati (2016, hal. 25) dalam jurnalnya bahwa beragam kajian

mengenai ethno telah dikenal seperti ethnomusicology, ethnobotany,

ethnopsychology. Ethnoscinece dimaknai sebagai kajian scientific berkaitan

dengan fenomena-fenomena teknologi yang berkaitan langsung dengan latar

belakang sosial, ekonomi dan budaya. Ethnolanguage dimaknai sebagai

kajian bahasa dalam hubungan dengan keseluruhan budaya dan kehidupan

sosial, sehingga dengan analogi yang sama ethnomathematics dimaknai

sebagai kajian matematika (ide matematika) dalam hubungan keseluruhan

budaya dan kehidupan social.

Ubiratan D’Ambrosio seorang matematikawan Brasil dalam Prabawati

(2016, hal. 27) menyatakan bahwa secara istilah etnomatematika diartikan

sebagai: The mathematics which is practiced among identifiable cultural

groups such as national-tribe societies, labour groups chlidern of certain age

brackets and professional classes. Artinya: metematika yang dipraktekkan di

antara kelompok budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku,

kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas

professional.

Ascher dalam Tandililing (2015, hal. 40) mendefinisikan etnomatematika

sebagai suatu studi tentang ide-ide matematika dalam masyarakat literasi.

Artinya, Secara tidak sadar karya seni yang dibuat oleh kelompok masyarakat

atau suku-suku tertentu yang tidak mengenyam pendidikan formal


10

mengandung konsep-konsep matematika.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Etnomatematika

merupakan integrasi budaya dan matematika dimana kelompok budaya

masyarakat semua kalangan dalam kehidupan sehari-hari melakukan aktivitas

yang berkaitan erat dengan matematika

D’Ambrosio (1985) menyatakan bahwa tujuan dari adanya

etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam

melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika

akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan

mempertimbangkan modus yang berbeda di mana budaya yang berbeda

merundingkan praktek matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung,

mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya).

Dengan demikian, sebagai hasil dari sejarah budaya matematika dapat

memiliki bentuk yang berbeda-beda dan berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakat pemakainya. Etnomatematika menggunakan

konsep matematika secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas

matematika, meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur,

merancang bangunan atau alat, bermain, menentukan lokasi, dan lain

sebagainya.

Matematika dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam

kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan kesatuan yang utuh dan

menyeluruh, berlaku dalam suatu masyarakat sedangkan matematika


11

merupakan pengetahuan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan

masalah sehari-hari. Namun terkadang matematika dan budaya dianggap

sebagai sesuatu yang terpisah dan tidak berkaitan.

Bishop (1994) menyatakan bahwa matematika merupakan suatu bentuk

budaya. Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah terintegrasi

dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Selanjutnya Pinxten (1994)

menyatakan bahwa pada hakekatnya, matematika merupakan teknologi

simbolis yang tumbuh pada ketrampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat

budaya (dalam Hardiarti, 2017).  Dengan demikian matematika seseorang

dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang mereka lakukan berdasarkan

apa yang mereka lihat dan rasakan. Budaya akan mempengaruhi perilaku

individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan pemahaman

individual, termasuk pembelajaran matematika.

Astri Wahyuni, dkk (2013:2) menyatakan bahwa salah satu yang dapat

menjembatani antara budaya dan pendidikan matematika adalah

etnomatematika. Kalimat diatas mengandung makna bahwa membuat jembatan

antara budaya dan matematika adalah langkah penting untuk mengenali

berbagai cara berpikir yang dapat menyebabkan berbagai bentuk matematika,

inilah bidang yang disebut etnomatematika. Hal ini dapat diartikan bahwa

berbagai konsep matematika dapat digali dan ditemukan dalam budaya

sehingga dapat memperjelas bahwa matematika dan budaya saling berkaitan,

matematika dapat lahir dari budaya, matematika dapat digali dalam budaya

sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber belajar matematika

yang konkret dan ada di sekitar siswa.


12

Lebih lanjut, Bishop dalam Hardiarti (2017) menyatakan bahwa

etnomatematika dapat dibagi menjadi enam kegiatan mendasar yang selalu

dapat ditemukan pada sejumlah kelompok budaya. Keenam kegiatan

matematika tersebut adalah aktivitas: menghitung/membilang, penentuan

lokasi, mengukur, mendesain, bermain dan menjelaskan.

Objek etnomatematika merupakan objek budaya yang mengandung

konsep matematika pada suatu masyarakat tertentu. Sebagaimana pendapat

Bishop, maka objek etnomatematika digunakan untuk kegiatan matematika

seperti aktivitas menghitung, penentuan lokasi, mengukur, mendesain, bermain

dan menjelaskan. Objek etnomatematika tersebut dapat berupa permainan

tradisional, kerajinan tradisional, artefak, dan aktivitas (tindakan) yang berwujud

kebudayaan.

B. Sejarah Etnomatematika

Etnomatematika merupakan bidang yang tertarik pada titik temu antara

matematika dan kebudayaan. Secara tradisional, pandangan yang dominan

melihat bahwa matematika bebas dari budaya, sebuah fenomena umum, dan

etnomatematika muncul setelah etnosains lainnya. Diantara para

matematikawan, etnografer, psikologis dan edukasionalis, Wilder, White,

Fettweis, Luquet dan Raum dapat dianggap sebagai pelopor utama dari

etnomatematika.

Dalam sebuah pidato yang berjudul ‘Dasar-dasar Kebudayaan

Matematika’, tahun 1950 pada kongres matematika internasional, Raymode L.

Wilder meyatakan bahwa bukan merupakan hal yang baru untuk melihat

matematika dari persfektif kebudayaan.  Antropologis telah melakukannya,


13

tetapi karena pengetahuan mereka tentang matematika secara umum

sangatlah terbatas, reaksi mereka biasanya terdiri dari komentar yang tersebar

mengenai jenis-jenis aritmatika yang ditemukan dalam bentuk budaya primitif.

Wilder menegaskan bahwa ada beberapa pembatas antara latihan dan

konsep yang sulit untuk menentukan apakah etnomatematika termasuk dalam

matematika ataupun di luar matematika. Wilder kemudian menguraikan idenya

dalam dua buku, Evolution of Mathematical Concepts (1968) dan Mathematics

as a Cultural System (1981).

Sementata itu, White memulai penyelidikannya dengan pertanyaan ‘apakah

kebenaran matematis berada di dunia luar, yang ditemukan oleh manusia, atau

kebenaran tersebut adalah rekaan manusia?’. Dalam mencari jawabannya, ia

menegaskan bahwa ‘matematika secara keseluruhan, kebenaran dan

kenyataanya, adalah bagian dari kebudayaan manusia, dan menyimpulkan

dengan pernyataan bahwa kebenaran matematis ditemukan tetapi juga rekaan

manusia. Dia menegaskan bahwa meskipun kebenaran matematis adalah hasil

dari pemikiran manusia, kebenaran ditemui dan ditemukan oleh setiap

individual dalam kebudayaan matematis yang ia kembangkan. Bagi White,

matematika tidak berpangkal dari Euclid dan Phytagoras – atau bahkan Mesir

Kuno ataupun Mesopotamia – tetapi matematika adalah perkembangan dari

pemikiran yang bermula dari asal usul manusia dan kebudayaan satu juta tahun

yang lalu.

Wilder dan White tampaknya tidak mengetahui penelitian yang dilakukan

oleh matematikawan, etnologis dan pedagogis Jerman, Fettweiss (1881-1967)

pada pemikian matematis dan kebudayaan, atau refkleksi dari psikolog


14

Perancis Luquet pada asal usul kebudayaan dari gagasan matematis. Selain

itu, buku Raum (1938), Arithmetica in Africa, tidak begitu dikenal bagi para

matematikawan dan antropologis di masanya. Buku tersebut memuat materi-

materi dari kuliah yang diberikan di Colonial Department of the University of

London Institute of Education. Prakata menyampaikan bahwa pendidikan tidak

bisa menjadi efektif kecuali jika pendidikan berdasarkan pada kebudayaan dan

minat siswa. Salah satu prinsip pembelajaran yang baik menetapkan

pentingnya pemahaman dari latar belakang kebudayaan dari murid dan

menghubungkan pembelajaran di sekolah dengannya.

Matematikawan, antropologis dan pendidik lainnya lambat untuk

mengambil refleksi dari Wilder, White, Fettweis, Luqet dan Raum ini. Ide yang

berlaku di setengah pertama abad tersebut adalah bahwa matematika adalah

universal, pada dasarnya merupakan bentuk apriotistik dari ilmu pengetahuan.

Reduksionis cenderung mendominasikan pendidikan matematika, dengan

model bebas budaya tentang pengertiannya secara penuh.

Pada tahun 1970-an, faktor-faktor pervasif dikombinasikan untuk

mendorong pikiran bukan hanya pada kedudukan matematika di sekolah tetapi

juga secara umum di dalam masyaratakat. Sekaligus, pertaanyaan tentang

peran penelitian pendidikan matematika, dan semua implikasi dari penelitian

tersebut untuk pengembangan kurikulum dan untuk proses belajar mengajar,

mulai ditanyakan. Di antara faktor-faktor pervasif tersebut adalah:

1. Kegagalan pemindahan kurikulum “Matematika Baru” yang dilakukan

secara tergesa-gesa dari utara ke selatan pada tahun 1960-an.

2. Kepentingan yang dikaitkan dengan negara dari Dunia Ketiga tentang


15

konsep “Pendidikan untuk semua”, termasuk pendidikan matematika,

dalam pencarian untuk kemandirian ekonomi.

3. Kekhawatiran publik tentang keterlibatan matematika dan pendidikan

matematika dalam perang Vietnam.

Di akhir 1970-an dan di awal 1980-an, kesadaran yang tumbuh tentang

aspek sosial dan kebudayaan matematika dan pendidikan matematika mulai

muncul dalam jajaran matematikawan. Bukti untuk mendukung pernyataan ini

bisa ditemukan dalam rangkuman sidang di beberapa pertemuan Internasional

dari matematikawan, pendidik matematika, dan pembuat kebijakan publik di

mana tujuan kemasyarakatan dari pendidikan matematis sungguh dianggap.

Contohnya, di kongres Pendidikan Matematika Internasional 1976 (ICME3,

Karlsruhe, Jerman), konferensi pada pengembangan matematika di negara

dunia ketiga 1978 (Khartoum, Sudan), Workshop 1978 pada Matematika dan

Dunia Nyata, sidang pada matematika dan masyarakat di kongres

matematikawan international (Helsinki, Finlandia), symposium 1982 konferensi

karibia pada matematika pada manfaat untuk masyaratakat (Paramaribo,

Suriname).

Ubiratan D’Ambrosio, matematikawan dan pendidik matematika Brazil,

memainkan peranan yang dinamis dalam inisiatif ini. Selama periode tersebut,

dia meluncurkan program etnomatematisnya, dan di Kongress Pendidikan

Matematika Internasional keempat di 1984 (ICME4, diadakan di Adelaide,

Australia), ia menyampaikan kuliah dalam pleno pembukaan tentang

pemikirannya pada ‘dasar-dasar sosial-budaya untuk pendidikan matematika’.

D’Ambrosio (1990) mengajukan program etnomatematis sebagai sebuah


16

metodologi untuk membawa dan manganalisa proses generasi, transmisi,

penyebaran dan pelembagaan dari pengetahuan matematis dalam sistem

kebudayaan yang berbeda-beda. D’Ambrosio mambandingkan “matematika

akademik”, yatu matematika diajar dan dipelajari di sekolah, dengan

etnomatematika, yang ia deskripsikan sebagai matematika ‘yang dipraktekkan

di antara kelompok budaya yang dapat diidentifikasi, seperti masyarakat suku

nasional, kelompok buruh, anak-anak dengan usia tertentu, kelas profesional,

dan sebagainya’.

2.1.2 Kebudayaan

Kebudayaan lahir dan berkembang dalam sistem kehidupan masyarakat.

Ada berbagai macam pengertian dari kebudayaan.

Menurut bahasa, Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa

Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi

atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal

manusia. Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti

cipta, karsa, dan rasa. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di

istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan

dalam bahasa Latin dari kata colera. Kata budaya merupakan bentuk majemuk

Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan

tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu

sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah

alam.
17

Menurut Abu Ahmadi (2003) mengatakan bahwa kebudayaan

merupakan cultuur (bahasa Belanda), culture (bahasa Inggris), tsaqafah

(bahasa Arab); sedangkan dari bahasa Latin “Colere” yang berarti mengelolah,

mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengelolah tanah

atau bertani. Dari segi arti berkembanglah culture sebagai “segala usaha dan

aktivitas manusia untuk mengelolah dan mengubah alam”.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang

kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,

moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat

seseorang sebagai anggota masyarakat.

Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil

budi atau akal manusia yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan

meliputi sistem ide atau gagasan untuk mencapai kesempurnaan hidup,

sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak,

sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh

manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda

yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,

organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk

membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

2.1.3 Tenun Ikat

A. Defenisi Tenun Ikat

Tenun ikat atau kain ikat adalah karya tenun Indonesia berupa kain yang

ditenun dari helaian benang pakan atau benang lungsin yang sebelumnya diikat

dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami (Therik, 1989). Alat tenun yang
18

dipakai adalah alat tenun tradisional bukan mesin. Kain ikat dapat dijahit untuk

dijadikan pakaian dan perlengkapan busana, kain pelapis mebel, atau penghias

interior rumah.

Sebelum ditenun, helai-helai benang dibungkus (diikat) dengan tali

plastik sesuai dengan corak atau pola hias yang diingini. Ketika dicelup,

bagian benang yang diikat dengan tali plastik tidak akan terwarnai. Tenun ikat

ganda dibuat dari menenun benang pakan dan benang lungsin yang

keduanya sudah diberi motif melalui teknik pengikatan sebelum dicelup ke

dalam pewarna.

Untuk membuat satu kain tenun, biasanya sang pengrajin harus

memakan waktu sekitar 1 minggu. Namun demikian, dapat menjadi 1 bulan

bila motif kain yang dibuat cukup rumit. Pertama, benang yang menjadi bahan

dasar harus diurai dan diregangkan secara vertikal dengan menggunakan

peralatan yang umumnya terbuat dari bambu dan kayu. Selanjutnya, sang

pengrajin harus menyilangkan benang lainnya hingga membentuk motif dan

mengikatnya hingga kuat dan membentuk kain. Inilah sebabnya mengapa kain

ini disebut tenun ikat. Setelah terus dikerjakan selama beberapa waktu, kain

tersebut pun siap dilipat dan dikemas untuk selanjutnya dijual.

Teknik tenun ikat terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Daerah-

daerah di Indonesia yang terkenal dengan kain ikat di antaranya: Lombok, Bali,

Sumbawa, Sumba, Toraja, Sintang Flores, dan Timor. Kain gringsing dari

Tenganan, Karangasem, Bali adalah satu-satunya kain di Indonesia yang

dibuat dari teknik tenun ikat ganda.

B. Tenun Ikat Ternate


19

Sejenis  kain tua yang sudah dikenal di Indonesia sejak zaman dahulu

kala, adalah kain tenun ikat. Hampir di setiap wilayah Indonesia memiliki kain

tenunnya sendiri. Mulai dari wilayah Indonesia Barat hingga Timur memiliki ciri

khas tersendiri pada kain tenunnya. Kain tenun biasanya memiliki harga yang

tidak murah, namun sangat wajar karena proses pengerjaan yang rumit dan

memakan waktu berhari-hari. Salah satu kain tenun yang unik dan memiliki

karakter kuat adalah kain tenun asli Ternate. Orang Ternate menyebut tenun

Ternate dengan sebutan Rapidino. Kata Rapidino berasal dari bahasa Ternate

yang artinya “kain yang rapi”. Kain tenun ternate termasuk kain tenun pakan

dengan menggunakan gedongan, dimana proses pengerjaannya masih

menggunakan alat tradisional.

Pada dasarnya, kain tenun Ternate tidak berbeda dari kain tenun lain di

Indonesia. Mulai dari benang yang menjadi bahan dasar, peralatan hingga

teknik pembuatan pun sama dengan kain tenun dari daerah lain.perbedaan dari

kain berharga mahal ini adalah motif yang menjadi ciri khasnya. Sejarah kain

tenun Maluku di Ternate di awali oleh para perantau dari pulau Sulawesi yang

dulunya banyak menyasar wilayah Maluku dan Maluku Utara. Mereka yang

membawa ketrampilan membuat tenun ikat ke daerah ini.Para perantau dari

Sulawesi ini yang mengajarkan orang asli Ternate untuk menenun. Masyarakat

setempat pun mengembangkan teknik pembuatan kain tenun tradisional ini

terutama dalam motif atau corak khas. Pengrajin tenun di Ternate mulai

memasukkan unsur-unsur lokal yang original, dan akhirnya menemukan motif

khas Ternate Maluku Utara.

Motif kain tenun Ternate diantaranya motif iris pondak, potong wajik,
20

kepala tumbak, bunga popia, bunga rica, bunga tanjong, dan motif suji-suji.

Motif pada kain khas Maluku Utara ini yang kemudian diturunkan turun temurun

kepada anak dan cucu, sehingga orang Ternate sudah mengakui sendiri bahwa

motif pada kain tradisional tersebut adalah hasil karya khas daerah Ternate.

Motif-motif pada kain tenun Ternate sendiri memiliki filosofi masing-masing.

Seiring zaman motif yang digunakan sekarang sudah beragam tidak terfokus

pada motif yang dulu. Sekarang banyak motif yang menggunakan motif bangun

datar dan motif abstrak.

Kain Tenun Ternate memang jarang kita dengar dan kurang populer di

dunia busana Indonesia. Namun demikian, kain ini adalah sesuatu yang langka

dan sudah ada cukup lama di Ternate. Satu daerah di Ternate yang bernama

Koloncucu adalah pusat pembuatannya dan kerajinan kain ini telah diturunkan

secara turun-temurun di tempat ini. Banyak pengrajin kain tenun Ternate yang

berasal dari tempat ini, dan biasanya menenun tidak hanya mereka jadikan

sumber pemasukan uang tetapi sebuah hobi yang akan mengisi setiap waktu

luang mereka.Untuk membuat satu kain tenun, biasanya sang pengrajin harus

memakan waktu sekitar 1 minggu. Namun demikian, dapat menjadi 1 bulan bila

motif kain yang dibuat cukup rumit.

2.1.4 Matematika Sebagai Hasil Budaya

James dan james (1976) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu

tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang

berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang

terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.

Perkembangan dalam dunia matematika tidak hanya di satu wilayah


21

tertentu, melainkan di berbagai Negara. Di Indonesia pertumbuhan dan

perkembangan matematika dapat terlihat dari segi kehidupan bermasyarakat,

baik dari segi hubungan sosial maupun budaya.Tantangan hidup yang dihadapi

masyarakat di berbagai wilayah dengan latar belakang budaya yang berbeda,

maka pertumbuhan dan perkembangan dunia matematika tersebut secara garis

besar tidak dapat disamakan. Setiap budaya mengembangkan matematika

dengan cara mereka sendiri, sehingga matematika dipandang sebagai hasil

pikiran manusia dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Hal ini didukung oleh

Sembiring (dalam Prabowo, 2010) bahwa matematika adalah konstruksi

budaya manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika

sebagai hasil budaya yang merupakan hasil abstraksi pikiran manusia dan alat

pemecahan masalah.

Pengrajin kain tenun diturunkan dari nenek moyang bangsa Indonesia

pada kelompok masyarakat. Dalam pembuatan kain tenun alat yang digunakan

sederhana serta tidak menggunakan peralatan berbasis teknologi.

Pada jaman dahulu konsep matematika dalam menenun belum mengenal

materi dasar konstruksi yang sekarang diajarkan pada sekolah formal yaitu

konsep – konsep geometri dan translasi, akan tetapi mereka dapat mendesain

motif yang sempurna pada kain tenun dengan perhitungan sendiri dan tidak

kalah bagus dengan motif kain yang menggunakan perhitungan saat membuat

motif yaitu kain yang diproduksi oleh mesin. Penenun kain tradisional hanya

menggunakan perkiraan, satuan lokal, dan menerapkannya dengan tata cara

sesuai dengan landasan filisofis, etis serta ritual yang mereka yakini.

Konsep matematika sebagai hasil budaya telah mengimplementasikan


22

salah satu ilmu matematika yaitu geometri dan translasi dalam produksi kain

tenun. Proses penenunan didalamnya tanpa sadar para penenun telah

menggunakan konsep matematika. Konsep matematika tersebut dapat terlihat

pada pengukuran kain, benang, pembuatan motif dan masih banyak lagi pada

aktivitas pembuatan kain tenun

2.1.5 Aspek – Aspek Matematis

Aspek matematis merupakan segala hal yang berkaitan dengan

aktivitas matematis. Menurut Alan J. Bishop (1989) ada 6 fundamental

mathematical activities (6 aktifitas dasar matematis), yaitu:

a. Counting (Menghitung) : Quantifiers (each, some, many, none);

Adjectival number names; Finger and body caunting; Tallying;

Numbers; Place value; Zero; Base 10; Operations on numbers;

Combinatories; Accuracy; Approximation; Errors; Fractions: Decimals;

Positive, Negatives; Infinitely large, small; Limit; Number patterns;

Powers; Number relationship; Arrow diagrams; Algebraic

representation; Events; Probabilities; Frequency representations.

Artinya : Penghitung (masing-masing, beberapa, banyak, tidak ada);

Nama nomor kata sifat; Causing jari dan tubuh; Menghitung; Angka;

nilai tempat; Nol; Basis 10; Operasi pada angka; Kombinasi; Ketepatan;

Perkiraan; Kesalahan; Pecahan: Desimal; Positif, Negatif; Sangat

besar, kecil; Membatasi; Pola angka; Kekuatan; Hubungan nomor;

Diagram panah; Representasi aljabar; Acara; Probabilitas; Representasi

frekuensi

b. Locating (Menempatkan) : Prepositions; Route descriptions;


23

Environmental locations; N.S.E.W. Compass bearings; Up/down;

Left/right; Forwards/Backwards; Journeys (distance); Straight and

Curved lines; Angle as turning Rotations; Systems of location: Polar

coordinates, 2D/3D coordinative, Mapping; Latitude/ Longitude; Loci;

Linkages; Circle; Ellipse; Vector; Spiral. Artinya : Preposisi; Deskripsi

rute; Lokasi lingkungan; N.S.E.W. Bantalan kompas; Atas/bawah; Kiri

kanan; Maju/Mundur; Perjalanan (jarak); Garis Lurus dan Melengkung;

Sudut sebagai memutar Rotasi; Sistem lokasi: Koordinat kutub,

koordinat 2D/3D, Pemetaan; Garis lintas garis bujur; Lokus; Keterkaitan;

Lingkaran; Elips; Vektor; Spiral.

c. Measuring (mengukur) : Comparative quantifiers (faster, thinner);

Ordering; Qualities; Development of units (heavy – heaviest – weight);

Accuracy of units; Estimation; Length; Area;Volume; Time;

Temperature; Weight; Conventional units; Standard units; System of

units (metric); Money; Compound units.

d. Designing (Merancang) : Design; Abstraction; Shape; Form;

Aesthetics; Objects compared by properties of form; Large, small;

Similarity; Congruence; Properties of shapes; Common geometric

shapes, figures and solid; Nets; Surfaces; Tesselations; symetry;

Proportion; Ratio; Scale-model Enlargements; Rigidity of shapes.

Artinya Kuantor komparatif (lebih cepat, lebih tipis); Memerintah;

Kualitas; Pengembangan unit (berat – terberat – berat); Akurasi unit;

Perkiraan; Panjangnya; Luas;Volume; Waktu; Suhu; Berat; Unit

konvensional; Satuan standar; Sistem satuan (metrik); Uang; Satuan


24

majemuk.

e. Playing (Bermain) : Games; Fun; Puzzles; Paradoxes; Modelling;

Imagined reality; Rule-bound activity; Hypothetical reasoning;

Procedures; Plans Strategies; Cooperative games; Competitive games;

Solitaire games; Chance, prediction. Artinya Permainan; Seru; Teka-

teki; Paradoks; Pemodelan; Realitas yang dibayangkan; Aktivitas yang

terikat aturan; Penalaran hipotetis; Prosedur; Rencana Strategi;

permainan kooperatif; Game kompetitif; game Solitaire; Peluang,

prediksi.

f. Explaining (Menjelaskan) : Similarities; Classifications; Conventions;

Hierarchical classifying of obyects; Story explanation; logical

connectivies; Linguistic explanations: Logical argument, Proofs; Symbolic

explanations: Graphs, Diagrams, Charts, Matrices; Mathematical

modelling; Criteria: internal validity, external genenralisability.” Artinya

Kesamaan; Klasifikasi; Konvensi; Klasifikasi objek secara hierarkis;

Penjelasan cerita; konektivitas logis; Penjelasan linguistik: Argumen logis,

Bukti; Penjelasan simbolik: Grafik, Diagram, Bagan, Matriks; Pemodelan

matematika; Kriteria: validitas internal, generalisasi eksternal.”

2.1.6 Peran Etnomatematika pada Pembelajaran Matematika

Matematika merupakan ilmu yang bersifat deduktif aksiomatis. Objek

matematika ada 4 (empat), yakni fakta, konsep, prinsip, dan skill. Objek

matematika berada di alam pikiran manusia. Hasil budidaya manusia dapat

berupa bangunan, seperti candi, masjid, kelenteng, gereja, pura, rumah tinggal,

dan berbagai bentuk bangunan lainnya. Setiap manusia berusaha mencipta,


25

berdasar rasa dan karsanya. Hasil cipta manusia membentuk kebudayaan,

yang dapat berupa bangunan fisik dan nilai-nilai budaya.

Pengamatan secara detail pada kain tenun misalnya, akan ditemukan

berbagai jenis bangun datar, seperti persegi, persegi panjang, segitiga, dan

lingkaran. Dari berbagai jenis bangun datar tadi dapat direkonstruksi bangun

datar layang-layang, belah ketupat, maupun trapesium. Pada Candi Borobudur

juga akan ditemukan berbagai jenis bangun ruang, seperti kubus, balok, bola,

prisma, maupun tabung. Secara khusus dapat direkonstruksi adanya bangun

kerucut.

Berbagai jenis bangun datar dan bangun ruang ternyata dapat ditemukan

pula pada masjid, gereja, klenteng, maupun wihara, termasuk juga pada kain

tenun sendiri. Pertanyaan sederhana yang mengemuka adalah, mana yang

lebih dulu ada, konsep-konsep bangun datar yang ada di pikiran manusia

ataukah bentuk-bentuk bangun datar dan bangun ruang yang tersebar di

berbagai jenis bangunan dan hasil karya seni di atas.

Materi matematika yang diajarkan di sekolah merupakan konsep-konsep

matematika yang ada di pikiran manusia. Pembelajarannya dimulai dengan

merumuskan unsur-unsur yang tidak didefinisikan (titik, garis, dan bidang) dan

unsur-unsur yang didefinisikan. Konsep lingkaran misalnya, didefinisikan

sebagai tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap titik tertentu,

yang kemudian disebut pusat lingkaran. Benda yang berbentuk lingkaran dalam

kehidupan sehari-hari dapat berupa uang logam dan roda (sepeda, motor atau

mobil). Benda berbentuk lingkaran terbentuk bila seorang petani memutar

cemeti saat membajak tanah.


26

Konsep matematika yang ada di pikiran manusia terkadang berbeda

dengan matematika yang ada di kenyataan. Hal ini sejalan dengan Hiebert &

Carpenter (1992), pengajaran matematika di sekolah dan matematika yang

ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Oleh sebab itu

pembelajaran matematika sangat perlu memberikan muatan/menjembatani

antara matematika dalam dunia sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal

dengan matematika sekolah.

Pembelajaran matematika membutuhkan suatu pendekatan agar dalam

pelaksanaanya memberikan keefektifan. Sebagaimana dari salah satu tujuan

pembelajaran itu sendiri bahwa pembelajaran dilakukan agar peserta didik

dapat mampu menguasai konten atau materi yang diajarkan dan

menerakannya dalam memecahkan masalah. Untuk mencapai tujuan

pembejaran ini mestinya guru lebih memahami faktor apa saja yang

berpengaruh dalam lingkungan siswa terhadap pembelajaran. Salah satu faktor

yang berpengaruh dalam pembelajaran adalah budaya yang ada di dalam

lingkungan masyarakat yang siswa tempati. Budaya sangat menentukan

bagaimana cara pandang siswa dalam menyikapi sesuatu. Termasuk dalam

memahami suatu materi matematika. Ketika suatu materi begitu jauh dari

skema budaya yang mereka miliki tentunya materi tersebut sulit untuk

dipahami. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan dalam pembelajaran

matematika yang mampu menghubungkan antara matematika dengan budaya

mereka.

Etnomatematika merupakan jembatan matematika dengan budaya,

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa etnomatematika


27

mengakui adanya cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dalam

aktivitas masyarakat. Dengan menerapkan etnomatematika sebagai suatu

pendekatan pembelajaran akan sangat memungkinkan suatu materi yang

dipelajari terkait dengan budaya mereka sehingga pemahaman suatu materi

oleh siswa menjadi lebih mudah karena materi tersebut terkait langsung dengan

budaya meraka yang merupakan aktivitas mereka sehari-hari dalam

bermasyarakat. Tentunya hal ini membantu guru sebagai fasilitator dalam

pembelajaran untuk dapat memfasilitasi siswa secara baik dalam memahami

suatu materi. Salah satu contoh keberhasilan dari pembelajaran berbasis

enomatematika adalah pembelajaran di Jepang dan Cina (Achor dkk, 2009).

Penelitian tentang etnomatematika terus dikembangkan,terutama

Etnomatematika dalam pembelajaran matematika. Richardo (2016) melakukan

penelitian mengenai peran etnomatematika dalam penerapan pembelajaran

matematika pada kurikulum 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

hadirnya etnomatematika dalam pembelajaran matematika memberikan nuansa

baru bahwa belajar matematika tidak hanya terkungkung di dalam kelas tetapi

di dunia luar dengan mengunjungi atau berinteraksi dengan kebudayaan

setempat sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran matematika.

Sementara itu, dilihat dari sisi pendekatan pembelajaran, maka etnomatematika

selaras dengan pendekatan pembelajaran matematika yang cocok jika

diterapkan dalam kurikulum 2013.

2.2 Kerangka Berpikir

Masyarakat Kota Ternate Maluku Utara merupakan daerah yang kaya

akan budaya, salah satunya adalah budaya kain tenun Ikat. Kain tenun Ikat ini
28

merupakan salah satu peninggalan budaya yang sangat berharga. Data

tentang aspek-aspek matematika pada kain tenun Ternate ini diperoleh dari

hasil pengamatan dan studi pustaka. Setelah data diperoleh, kemudian

dianalisis kembali untuk mengetahui aspek-aspek matematika yang terdapat

pada kain Ternate tersebut.

Etnomatematika adalah suatu kajian yang mengkombinasikan antara

matematika dengan budaya. Untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik

dan akan menjadi salah satu bentuk untuk melestarikan budaya yang ada pada

masyarakat Ternate maka perlu untuk dikaji lagi mengenai motif kain tenun ikat

Ternate yang mengandung aktivitas matematika di dalamnya. Etnomatematika

merupakan penghubung antara pembelajaran yang dikaitkan dengan budaya

yang memiliki karakteristik/khas yang berbeda-beda. Sehingga dengan

demikian hubungan konsep-konsep matematika dengan etnomatematika

berbeda pula.

Peneliti akan menganalisis bentuk motif pada kain tenun ikat Ternate

dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Dengan menggunakan

alat bantu berupa pedoman observasi, pedoman wawancara, dan

dokumentasi. Setelah semua data terkumpul, kemudian dianalisis hasil

observasi, hasil wawancara, dan hasil dokumentasi tersebut. Penelitian ini

terfokus pada kajian bentuk-bentuk motif kain tenun ikat Ternate dan

aktivitasnya, kemudian dikaitkan dengan pembelajaran matematika.

Dari uraian diatas, maka peneliti ingin mengeksplorasi etnomatematika

motif kain tenun ikat dalam pembelajaran matematika


29

Tabel 2.1 Skema Kerangka Berfikir

Matematika Bernuansa
Budaya Ternate

Aktivitas
Budaya Ternate Bentuk Etnomatematika Konsep Matematika

Peluang, pola bilangan, bangun


Aktivitas Kain tenun (motif dan proses produksi) datar (trapesium, persegi,
persegi panjang, lingkaran,
belah ketupat), bangun ruang ,
Aritmatika Sosial, translasi

Eksplorasi budaya kedalam Hubungan antara bentuk


bentuk etnomatematika etnomatematika dan konsep
matematika

Eksplorasi etnomatematika dan hubungannya dengan konsep matematika pada


Kain Tenun Ternate

Mengimplementasikan hasil analisis dan hubungannya dengan pembelajaran


matematika pada kain tenun Ternate

2.3 Penelitian yang Relevan

Melengkapi kajian teori berikut ini diuraikan dalam Tabel 2.2 tentang

hasil penelitian yang relevan terkait dengan “Eksplorasi Etnomatematika Kain

Tenun Ikat ternate dan Penerapannya Pada Pembelajaran Matematika”.

Tabel 2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Peneliti
No Masalah Hasil
(Tahun)
30

Terdapat etnomatematika pada motif


kain songket minang kabau. Terbukti
adanya etnomatematika motif kain
songket minang kabau melalui
berbagai hasil aktivitas matematika
yang diterapkan di motif kain songket
minang kabau, meliputi konsep-
konsep matematika pada: 1. Motif
Songket Pucuak Rabuang 2. Motif
Songket sirangkak 3. Motif Songket
Konsep
Syahriannur Sejamba Makan 4. Motif Songket Tirai
matematika apa
(2019) 5. Motif Songket Saluak Laka.
saja yang ada
1 Konsep matematika yang terdapat
pada Kain
pada kain songket tersebut
Songket Minang
diantaranya geometri seperti simetri,
Kabau
transformasi, refleksi, garis lurus, garis
lengkung, lingkaran dan bangun
polygon seperti segitiga, segiempat,
bentuk bintang, hexagon, octagon,
piramid dan parallelogrammotif. dan
pengulangan dalam menghasilkan
kain sonket minang kabau.

Bagaimana Berdasarkan hasil penelitian


Faiq Al Hadi Eksplorasi didapatkan bahwa 1) bentuk-bentuk
Etnomatematika etnomatematika di Suku Samin
2 (2020)
pada Suku termuat dalam upacara adat berupa
Samin dan waktu pelaksanaan upacara adat,
Hubungannya tidak memiliki kesenian, bangunan
dengan Konsep- berupa rumah Bekuk Lulang, mata
Konsep pencaharian berupa tani (kelender
Matematika musim Suku Samin, taun,
Dalam tuwan/wulan,dino, wengi,suro,
Pembelajaran mangsa udan,mangsa garing ) dan
Kontekstual? peternak (sapi dan kambing),
anyaman berupa Klasa Pandan,
tenunan berupa ikat kepala
(Blangkon), permainan tradisional
berupa Dakon ,delikan dan jamuran,
makanan tradisional berupa Tumpeng
dan Ketupat. 2) Hubungan bentuk-
bentuk etnomatematika Suku Samin
dengan konsep-konsep matematika
yaitu pola bilangan, operasi bilangan
bulat, geometri dan pengukuran. 3)
Pembelajaran matematika di kelas
31

VIII-A dengan model Kontekstual


efektif meningkatkan hasil belajar
siswa
Hasil penelitian menunjukan bahwa:
1) aktivitas fundamental yang
ditemukan pada proses pembuatan
Ratih Bagaimana kerajinan kain ecoprint di Galery El
Puspasari, Anis aspek Hijaaz antara lain counting,
Rinawati, matematika yang measuring, design, locating, playing
Anung terkandung dari dan explaining. 2) Konsep matematis
Pujisaputra proses yang dapat diungkap adalah
(2021) pembuatan kain perbandingan, konversi waktu,
3 ecoprint ? konversi suhu, konsep membilang,
himpunan, konsep pecahan, konsep
pengukuran, refleksi, kesebangunan,
kongruensi, program linier, aritmatika
sosial.

Terdapat konsep matematika pada


Estevania Bagaimana kain tenun masyarakat Desa
Ferrer eksplorasi Lamaksenulu, baik pada proses awal
4 Mendoca , etnomatematika maupun tahapan proses menenun.
Hermina pada kain tenun Konsep matematika pada proses
Disnawati, masyarakat awal menenun adalah panjang dan
Sulasri desa lebar tenunan, dengan menggunakan
Suddin Lamaksenelu ukuran jengkalan orang dewasa
(2021) dengan lebarnya 4 jengkal, dan
panjangnya 7 jengkal. 1 jengkal ini
sama dengan 20 cm. Sedangkan
konsep matematika pada setiap
setiap tahap dan proses pembuatan
adalah pemilihan benang pada
kombinasi warna kain yang cocok,
konsep kesebangunan dan
pengukuran, bangun datar yang
kongruen, bangun datar, garis sejajar,
belah ketupat, garis, segi enam
beraturan, dan belah ketupat.
32

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dengan desain

penelitian etnografi, dengan tujuan untuk mengeksplorasi etnomatematika

motif kain tenun ikat Ternate, serta mengetahui aspek-aspek matematika yang

terdapat pada kain tenun ikat Ternate sehingga dapat digunakan dalam

pembelajaran matematika. Menurut Burns (2011) penelitian kualitatif dilakukan

untuk memperkenalkan pemahaman tentang pengalaman dan kondisi

masyarakat,kemudian mengembangkan teori yang menggambarkan tentang


33

pengalaman dan kondisi tersebut. Menurut Sukmadinata (2013: 60) penelitian

Kualitatif (Qualitative research) adalah suatu penelitian yang ditunjukan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis fenomena atau peristiwa, aktifitas sosial,

sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individu maupun

kelompok.

Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui hubungan atau kaitan proses

pembuatan kain tenun ikat Ternate dan matematika dari segi budaya dan

dari segi matematika sebagai ilmu pengetahuan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kerajinan tenun ibu Hj.Sehat dan

Ibu Ita, yang lokasinya berada tepat di kelurahan Kolongcucu kecamatan

ternate Utara kota Ternate.

3.3 Subjek Penelitian

Subyek penelitian ini orang-orang yang dianggap bisa menjawab

rumusan masalah yang akan diteliti, seperti penenun, guru matematika, dan

masyarakat setempat di Kota Ternate. subyek pelaksana adalah 2 orang

penenun dari kelompok penenun yaitu ibu Sehat dan ibu Ita.

3.4 Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah tradisi menenun di kalangan

masyarakat Kota Ternate, Provinsi Maluku, dan aspek-aspek matematis yang

terdapat dalam tradisi menenun pada masyarakat kota Ternate sendiri.


34

3.5 Sumber Data

Menurut Lovland dalam Lexi (1988) sumber data utama dalam penelitian

kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah tambahan dokumen

dan lain-lain. Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil dari studi lapangan

yang berupa hasil Wawancara, dokumentasi berupa Foto, Video dan

rekamakan dan buku-buku referensi

3.6 Metode dan Instrumen Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang

diperlukan oleh peneliti dengan cara melakukan observasi dengan tujuan untuk

mengetahui keberadaan objek penelitian, setelah itu peneliti melakukan

wawancara dengan para pengrajin tenun. Sebelum kegiatan wawancara

dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti mengajukan permohonan izin penelitian

kepada subjek yang telah ditunjuk dan mengatur jadwal penelitian, agar akan

tiba waktunya, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kemudian subjek

menjawab dan menjelaskan secara detail kepada peneliti sesuai pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan. Tujuan dari pertanyaan yang diajukan untuk

menggali berbagai informasi agar semua data yang diharapkan dapat diperoleh

secara lengkap.

Selain itu, teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi

dilakukan dengan dua cara yaitu berupa foto-foto dan rekaman. Kegiatan

dokumentasi dilaksanakan setiap penelitian berlangsung dengan bantuan

seorang dokumentator dalam hal ini teman sejawat

3.7 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitian adalah alat bantu untuk memperoleh data-data


35

yang diperlukan (Arikunto, 2000:150). Dalam penelitian ini peneliti sebagai

instrumen kunci dan dibantu dengan instrumen pendukung lainnya berupa:

3.7.1 Observasi

Observasi atau dapat disebut sebagai pengamatan merupakan suatu

teknik pengumpulan data yang sangat berkontribusi dalam sebuah

penelitian kualitatif. Pada saat melakukan observasi , peneliti akan melihat

proses yang terjadi dilapangan,sehingga dapat membantu peneliti itu sendiri

untuk mengumpulkan data. Metode observasi yang digunakan yaitu jenis

observasi tak terstruktur, observasi yang tidak disiapkan secara sistematis

tentang apa yang diobservasi (Sugiyono, 2016), sehingga peneliti dapat

melakukan pengamatan bebas, mencatat hal-hal yang ada dan akan

berkembang selama kegiatan observasi berlanngsung.

3.7.2 Wawancara

Peneliti melakukan tanya jawab dengan subjek menggunakan pedoman

wawancara dalam bentuk daftar pertanyaan yang diberikan kepada

informan seputar sejarah, motif, makna, dan motif yang sering digunakan

dalam kain tenun ikat Ternate.

3.7.3 Dokumentasi

Dokumentasi dalam penelitian ini berupa foto-foto yang peneliti dapatkan

saat melakukan penelitian. Dokumentasi yang dilakukan berupa gambar

bermacam-macam motif kain tenun ikat Ternate.

3.8 Pemeriksaan Keabsahan Data


36

Pemeriksaan keabsahan data sangatlah perlu dilakukan agar data yang

dihasilkan dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

pemeriksaan keabsahan data merupakan suatu langkah untuk mengurangi

kesalahan dalam proses perolehan data penelitian. Dalam proses pengecekan

keabsahan data pada penelitian ini melalui triangulasi data dengan dua

pendekatan yaitu triangulasi sumber dan triangulasi metode:

1. Triangulasi sumber data yaitu peneliti berupaya untuk membandingkan data

yang diperoleh dari salah satu sumber dengan sumber yang lain.

2. Triangulasi metode yaitu upaya untuk mengecek keabsahan data sesuai

dengan metode yang absah. Disamping itu pengecekan data dilakukan

secara berulang pada beberapa metode pengumpulan data.

3.9 Teknik Analisis Data

Data hasil penelitian yang diperoleh kemudian dianalisis dan dikaji untuk

menjawab rumusan masalah berdasarkan pada teknik analisis data kualitatif

menurut Miles dan Huberman, yang akan diuaraikan berikut ini:

Analisis data kualitatif dalam penelitian ini mengacu pada Miles dan

Huberman (Emzir 2010), dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini, yaitu

pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian

data (data display), dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclutions).

1. Pengumpulan data: pada tahap ini, peneliti akan melakukan proses

pengumpulan data dari hasil wawancara, dan berbagai dokumentasi

berdasarkan kategori yang sesuai dengan kebutuhan penelitian dan

kemudian dikembangkan penajaman data melalui pencarian data

selanjutnya.
37

2. Reduksi data: reduksi data berlangsung secara terus menerus sepanjang

penelitian belum diakhiri. Produk dari reduksi data adalah berupa

ringkasan dari catatan lapangan, baik dari catatan awal, perluasan,

maupun penambahan. Tujuannya untuk menajamkan, mengarahkan

serta membuang data yang tidak perluh agar dapat disimpulkan dan

diverifikasi data tersebut.

3. Penyajian data dilakukan untuk menemukan pola-pola yang bermakna

serta memberikan kemungkinan adanya penarikan simpulan serta

memberikan tindakan. Sajian data berupa narasi kalimat, gambar/skema,

jaringan kerja dan tabel sebagai narasinya.

4. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan bagian dari suatu

kegiatan konfigurasi yang utuh dan juga perluh diverifikasi selama proses

penelitian berlangsung. Verifikasi mungkin sesingkat pemikiran kembali

yang melintas dalam pikiran penganalisis (peneliti) selama ia menulis,

suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan. Kesimpulan akhir

tidak hanya terjadi pada waktu proses pengumpulan data saja, akan tetapi

perlu diverifikasi agar benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Secara skematis proses analisis data menggunakan model analisis data

interaktif Miles dan Huberman dapat dilihat pada bagan berikut:


38

Penjelasan :

DAFTAR PUSTAKA

Abi, A. M. (2016). Integritas Etnomatematika dalam Kurikulum Matematika Indonesia.


Jurnal Pendidikan Metamatika Indonesia. 1. (1): 1-6. ISSN.2477-8443

Abu Ahmadi. 2003. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Adam, S., Alangui, W., & Barton, B. 2003. A Comment on: Rowlands &
Carson``Where would formal, academic mathematics stand in a curriculum
informed by ethnomathematics? A critical review. Educational Studies in
Mathematics, 52 (3): 327-335

Baby, Mariane. 2005. Ethnomathematics: An Investigation of the Mathematics


Embedded in The Cultural Activities of The Damara People in The Khorixas
Area.

Bishop. J. A. 1989. Culture Conficts in Mathematics Education: Developing a


39

Research Agenda Vancouver, British Columbia Canada: FLM Publishing


Association.

Burns R. B. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Creswell John. W. 2014. Penelitian Kualitatif & Desain Riset. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

D’Ambrosio, U. & Rosa, M. 2008. A dialogue with Ubiratan D’Ambrosio: aBrazilian


conversation about ethnomathematics. RevistaLatinoamericana de
Etnomatemática, Vol 1 No 2. 88-110.

D''Ambrosioa. 1985. Ethomatematics and Its Palace in the History and Pedagogy of
Mathematics. For Learning of Mathematics: Libgan.

Lexy. J. 1988. Metode Penelian Kualitatif. Jakarta: Ghalia Indonesia

Mendoca,EF.,Dkk, 2021. Eksplorasi etnomatematika pada kain tenun masyarakat


desa lamaksenulu. Jurnal Pendidikan Matematika, Vol 6 No 3

Miles, Huberman. 1984. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara.

Syahriannur. 2019. Eksplorasi Etnomatematika Kain Songket Minang Kabau Untuk


Mengungkap Nilai Filosofi Konsep Matematika. Jurnal Math Education
Nusantara, vol 2 No 1.

Pattinama W (2010), “ Kain Tenun Tradisional Tanimbar Di Kabupaten Maluku


Tenggara Barat” dalam Jurnal Penelitian Seri Penerbitan Penelitian
Sejarah Budaya, Vol. 4 No.3, November 2010.

Puspadewi, K. R., & Gst. Ngurah Nila Putra, I. (2014). Etnomatematika di Balik
Kerajinan Anyaman Bali. Jurnal Matematika. 4. (2): 80–89.

Puspasari,R.,Dkk, 2021. Pengungkapan Aspek Matematis pada AKtivitas


Etnomatematika Produksi Eoprint di Butik El Hijaaz. Jurnal Pendidikan
Matematika, Vol10 No 3 .

Utami R., Muhtadi D., Ratnaningsih N., Sukirwan, Hamid Hasan, Etnomatematika:
Eksplorasi Candi Borobudur, Jurnal Penelitian Pendidikan dan Pengajaran
Matematika, Vol. 6 No. 1, Pp.13-26, 2020

Anda mungkin juga menyukai