Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Fakta menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah sering tidak


menggunakan budaya sebagai konteks pembelajaran. Pembelajaran matematika hanya terpaku
pada apa yang ada dalam buku pelajaran matematika. Lingkungan budaya yang bernilai
edukatif tidak dimanfaatkan sebagai media dan sumber belajar. Guru tidak menyadari bahwa
dalam aktivitas budaya terkandung berbagai konsep matematika. Guru juga mengalami
kesulitan mengaitkan konsep matematika tertentu dengan konteks budaya yang sesuai. Apakah
dalam budaya terdapat matematika?

Proses pembelajaran matematika yang dilakukan saat ini cenderung terlalu kering,
teoritis, kurang kontekstual, dan bersifat semu. Pembelajaranpun kurang bervariasi, sehingga
mempengaruhi minat siswa untuk mempelajari matematika lebih lanjut pengajaran matematika
di sekolah terlalu bersifat formal sehingga matematika yang ditemukan anak dalam kehidupan
sehari-hari sangat berbeda dengan apa yang mereka temukan disekolah. Oleh sebab itu
pembelajaran matematika sangat perlu memberikan muatan/menjembatani antara matematika
dalam dunia sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal dengan matematika sekolah.

Di sekolah yang dominan suku atau etnis tertentu seringkali mengajarkan matematika
tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia demikian juga pada beberapa daerah dimana dalam
bahasa pengantar juga menggunakan bahasa setempat. Oleh sebab itu guru harus mengajarkan
matematika dengan menggunakan bahasa pengantar dari bahasa daerah setempat. Bahasa
daerah setempat mempunyai istilah sendiri, misalnya untuk kata ” berhitung, ditambah,
dikurang, dikali dan dibagi”.

Kata–kata semacam itu mempunyai makna begitu banyak bagi anak dan guru untuk
mengajarkan matematika formal dalam komputasi.Pertimbangan lain bahwa matematika yang
diperoleh di sekolah tidak cocok dengan cara hidup masyarakat setempat, sehingga matematika
sulit dipahami oleh siswa karena ada dua skema yang diperoleh yaitu skema yang diperoleh di
lingkungan dan skema yang diperoleh di sekolah. Dua hal tersebut diduga sebagai penyebab
sulitnya siswa mempelajari matematika.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KEBUDAYAAN
Kebudayaan didefinisikan dengan berbagai cara. Ada yang mendefenisikan
kebudayaan terkait dengan pola tingkah laku dan perolehan pengetahuan suatu kelompok
masyarakat. Ada pula mendefeniskan kebudayaan terkait dengan sistem gagasan dan tindakan
manusia. Spradley mengemukakan bahwa konsep kebudayaan terkait dengan berbagai pola
tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tetentu, seperti adat
(custom), atau cara hidup (way of life) masyarakat. Dikatakan pula bahwa kebudayaan merujuk
pada pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan
pengetahuan dan melahirkan tingkahlaku sosial (Spradley, 2007).

Dari sisi antropologi,“kebudayaan diartikan sebagai keseluruh sistem gagasan,


tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat, yang dijadikan miliknya
dengan belajar” (Koentjaraningrat, 2009). Dari sisi etnografis, kebudayaan adalah keseluruhan
hal kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat,
kemampuan, dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Demikian
juga kebudayaan adalah pola-pola perilaku yang dikemas dalam sistem simbol lalu secara
historis ditularkan kepada orang lain. Di sini sistem ini merupakan warisan konsep bawaan
yang sekaligus diekspresikan melalui symbol yang bermakna sehingga dapat dikomunikasikan
(Liliweri, 2014).

Kebudayaan dapat dipahami sebagai pengetahuan, keyakinan, dan konsep. Sebaliknya


dapat juga dipahami sebagai suatu pola arti yang dibentuk oleh sejarah dan diteruskan secara
sosial yang diwujudkan dalam bentuk simbol dan bahasa melalui mana umat manusia bisa
saling berkomunikasi, menghargai, dan mengembangkan pengetahuan mereka dan memahami
kehidupan mereka (Clarkson, 2004). Owens mengartikan kebudayaan sebagai pengetahuan
dan konsep yang diwujudkan dalam mode komunikasi secara simbol dan bukan simbol, tentang
teknologi dan keterampilan, adat kebiasaan, nilai, keyakinan, dan sikap suatu masyarakat yang
sedang berubah dari sejarahnya di masa lampau, dan mengalami perubahan dan ditautkan untuk
memberi makna dan mencakup masa kini dan mengantisipasi masalah tentang keberadaanya
di masa yang akan datang (Owens, 2012).

Berbagai definisi kebudayaan sebagaimana diuraikan di atas menggambarkan bahwa


definisi kebudayaan mencakup dua hal. Pertama, istilah budaya digunakan untuk mengacu
pada pola kehidupan masyarakat, kegiatan dan pengaturan material dan sosial yang berulang
secara teratur yang merupakan kekhususan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam hal ini
pengertian budaya mengacu pada benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang bisa diamati atau
diindrai di lingkungan hidup. Kedua, istilah budaya dipakai untuk mengacu pada sistem
pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur
pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih di antara alternative yang
ada. Dalam hal ini pengertian budaya mengacu pada dunia gagasan.

Terdapat beberapa unsur kebudayaan yang lebih dikenal sebagai unsur-unsur


kebudayaan universal meliputi: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan
hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, kesenian, dan sistem religi (Koentjaraningrat,
2009). Kebudayaan suatu kelompok masyarakat umumnya dideskripsikan mengacu pada unsur
kebudayaan universal ini. Berikut ini diuraikan semua unsur kebudayaan tersebut.

1. Bahasa
Bahasa merupakan fenomena alamiah yang dipelajari manusia sejak kanak-kanak
sampai dewasa. Umumnya bahasa dipahami sebagai alat berkomunikasi yang berbentuk lisan
dan tulisan. Aspek yang menjadi focus penelitian antara lain:

a. Nama bahasa yang digunakan.


b. Dialek bahasanya.
c. Ucapan atau kata-kata tentang bilangan dalam bahasa daerah.
d. Variasi penggunaan bahasa.
2. Sistem Pengetahuan meliputi pengetahuan tentang:
a. Alam sekitarnya: musim, gejala alam, asal mula alam, penciptaan alam.
b. Tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia: sopan santun pergaulan, adat-
istiadat,sistem norma, hukum adat, silsilah dan sejarah.
c. Tumbuh-tumbuhan: sebagai bahan obat, digunakan dalam upacara keagamaan,
bahan cat (pewarna), membuat racun untuk senjata, digunakan dukun untuk
menyembuhkan penyakit.
d. Ruang dan waktu: sistem menghitung jumlah-jumlah besar, mengukur (panjang
dan jarak), menimbang, dan mengukur waktu.
3. Organisasi Sosial meliputi:
a. Kekerabatan.
b. Struktur keluarga.
c. Asosiasi dan perkumpulan.
d. Lapisan sosial masyarakat.
4. Sistem Peralatan dan Teknologi yang meliputi:
a. Alat-alat produksi: titi jagung, tumbuk padi, menenun kain, alat membuat api, alat
meniup api, tangga, alat pertanian, dan jerat penangkap.
b. Senjata: untuk berburu, untuk berkelahi atau perang.
c. Wadah tempat untuk menimbun, memuat, dan menyimpan barang, bentuk dan cara
membuat tikar, nyiru, sokal, dan lainnya.
d. Pakaian: cara memintal dan menenun, menghias kain dengan teknik ikat, mewarnai
benang, dan fungsi pemakaian pakaian.
e. Tempat berlindung dan perumahan: jenis-jenis, cara menyambung balok, cara
mengikat, ukuran, dan bahan yang dipakai untuk lantai, dinding, dan atap.
3. Sistem Mata Pencaharian yang meliputi:
a. Bercocok tanam di ladang: cara bercocok tanam, lahan untuk bercocok tanam,
sistem kerja, upacara dan ritual, dan cara dan alat yang digunakan untuk: menebang
pohon, membakar, menanam, menyiangi, menolak hama, memungut hasil,
mengangkat hasil panen, dan menyimpan hasil panen.
b. Menenun kain meliputi: proses menghasilkan benang, menyiapkan kain untuk
ditenun,menghasilkan kain tenun, alat dan perlengkapan yang digunakan dalam
keseluruhan kegiatan menenun.
c. Menangkap ikan meliputi: alat dan perlengkapan, cara-cara menangkap ikan, cara-
cara memelihara alat atau perlengkapan, cara membuat dan memelihara perahu,
cara berlayar dan mengemudikan perahu, ritual atau upacara menangkap ikan,
ritual atau ilmu keselamatan berlayar, proses mengolah hasil, dan pola pemasaran.
4. Sistem Religi meliputi:
a. Sistem keyakinan/kepercayaan: dewa-dewa, roh leluhur, roh-roh lain, dewa
tertinggi (pencipta alam semesta), konsep tentang hidup dan mati, konsep tentang
dunia roh dan dunia akhirat,dongeng suci (mitologi), dan aturan agama.
b. Sistem upacara keagamaan: tempat, waktu pelaksanaan, benda-benda dan alat-alat
yang digunakan, orang-orang yang terlibat, dan pemimpin upacara.
5. Kesenian meliputi:
a. Benda-benda hasil seni.
b. Seni rupa (patung, ukir, hias alat sehari-hari, seni lukis, dan gambar).
c. Seni music alat bunyi-bunyian.
d. Seni tari (jalannya suatu tarian dan gerak-gerik).
e. Seni drama (thema drama- dongeng atau religi).
Uraian tentang unsur dan sub unsur kebudayaan di atas akan menjadi acuan dan
pedoman dalam mengeksplorasi dan menemukan matematika atau pengetahuan matematika
dalam budaya tertentu.

B. MATEMATIKA (PENGETAUAN MATEMATIKA)


Matematika dan budaya merupakan dua hal yang saling berhubungan satu dengan yang
lain. Pada satu sisi matematika dibentuk oleh budaya dan pada sisi lain matematika digunakan
sebagai alat untuk kemajuan budaya. Kemajuan teknologi yang sangat pesat dewasa ini tidak
terlepas dari kontribusi matematika baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan
demikian matematika merupakan bagian dari budaya manusia, dan matematika dari setiap
budaya bermanfaat untuk tujuan khusus budayanya.

Ernest (1993) menyatakan bahwa matematika sebagai konstruksi sosial-budaya di


mana matematika terkandung dalam sejarah dan dalam aktivitas manusia. Dengan demikian
matematika tidak bisa dipisahkan dari ilmu humaniora dan sosial, atau dari apa yang
dinyatakan sebagai budaya manusia pada umumnya, sehingga dipengaruhi oleh nilai-nilai
kemanusiaan sebagaimana bidang pengetahuan lainnya. Disadari atau tidak bahwa banyak
aktivitas sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan matematika, sehingga dikatakan
bahwa matematika adalah aktivitas manusia (human activity), baik yang sudah atau belum
dipublikasikan (Freudenthal, 2002; Romberg, 2004; Mukhopadhyay & Greer, 2011).

Sebagai aktivitas manusia, matematika merupakan suatu fenomena yang terikat dengan
budaya, dan setiap budaya menciptakan ide-ide di mana secara jelas sebagai “matematika lain”.
Juga matematika adalah suatu fenomena budaya dan matematika sebagai pan-human activity.
Matematika (pengetahuan matematika) sudah ada dalam setiap budaya, terkandung dalam
setiap budaya sebagai suatu “matematika beku” (Bishop, 1988; Dowling, 1998; Gerdes, 1997).
Matematika tertanam dalam semua budaya jauh dari matematika sebagai suatu disiplin ilmu.
Matematika adalah suatu produk budaya, dipengaruhi oleh filsafat khusus secara budaya, di
mana semua budaya mengembangkan bentuk matematika mereka sendiri tergantung pada
kebutuhan lingkungan mereka dan tujuan masyarakat (Mukhopadhyay & Greer, 2011; Milroy,
1992).

Uraian sebelumnya menggambarkan bahwa matematika adalah suatu fenomena


budaya, terdapat dalam setiap budaya, tertanam atau terkandung dalam setiap budaya, dibentuk
oleh setiap budaya, dipengaruhi oleh budaya, dan mempunyai bentuk tersendiri sesuai dengan
kebutuhan lingkungan dan tujuan masyarakat. Hal ini berarti setiap budaya yang berbeda akan
memiliki matematika yang berbeda. Secara khusus dapat dikatakan bahwa ada matematika
yang tersembunyi (hidden mathematics) dalam budaya walaupun masyarakat tidak pernah
mengatakan bahwa mereka memiliki matematika.

C. HUBUNGAN ETNOMATEMATIKA DENGAN MATEMATIKA SEKOLAH


Berdasarkan analisis data, pembahasan, dan fakta yang ditemukan oleh peneliti
sebelumnya bahwa kaitan antara etnomatematika Adonara dan matematika sekolah dapat
dibedakan atas 3 yakni: (1) etnomatematika Adonara yang mendukung matematika sekolah;
(2) etnomatematika Adonara yang menghambat matematika sekolah; (3) etnomatematika
Adonara yang tidak memengaruhi matematika sekolah (Dominikus, 2014a,2014b, 2015,
2016a, 2016b, 2016c)

1) Etnomatematika Adonara yang mendukung matematika sekolah.


Di sekolah siswa mengukur panjang ruang kelas, lebar ruang kelas, panjang papan tulis,
dan panjang meja menggunakan satuan depa, jengkal, langkah, dan tapak kaki. Ada kesesuaian
bentuk aktivitas mengukur, membandingkan, dan mengurutkan dalam budaya Adonara dan
pembelajaran mengukur, membandingkan, dan mengurutkan di sekolah. Dengan demikian
pengalaman pengukuran dalam budaya Adonara mendukung pemahaman konsep pengukuran
dalam matematika sekolah.

Jika etnomatematika Adonara digunakan dalam pembelajaran matematika maka


etnomatematika Adonara dan matematika sekolah akan semakin berkembang. Etnomatematika
Adonara semakin banyak digunakan sebagai konteks dan media pembelajaran sehingga
semakin dikenal dan kontennya dapat dilihat dari sudut pandang matematika sekolah.
Demikian juga matematika sekolah semakin bertambah konteks pembelajarannya dan
pemahaman matematika sekolah semakin diperluas dari sisi budaya. Lihat Gambar 1..

2) Etnomatematika Adonara yang menghambat matematika sekolah.


Bentuk dan hubungan antara satuan tak baku dalam budaya Adonara mirip dan dapat
disejajarkan dengan satuan baku panjang dan berat, nilai tempat, bentuk panjang bilangan, dan
perkalian yang dipelajari di sekolah. Karena memiliki kemiripan konstruksinya maka satuan
tidak baku dalam budaya Adonara berpotensi dapat menghambat pemahaman konsep satuan
baku dalam matematika sekolah. Pemahaman dan pengalaman penggunaan satuan tak baku
tersebut di luar sekolah dapat menimbulkan kekeliruan ketika mempelajari satuan baku di
sekolah. Secara umum karena perbedaan konten di antara keduanya maka dikatakan
etnomatematika menghambat matematika sekolah (Matang & Owens, 2004).

Walaupun demikian, pembelajaran di sekolah tentang hubungan antara satuan baku


dapat diawali dengan memperkenalkan hubungan antara satuan tak baku dalam budaya
Adonara. Dalam hal ini satuan tak baku dalam budaya Adonara menjadi jembatan penghubung
antara aktivitas matematika dalam budaya dan matematika sekolah. Semakin sering
penggunaan etnomatematika Adonara dalam pembelajaran matematika maka kekeliruan
pemahaman konsep matematika sekolah semakin tereduksi dan etnomatematika semakin
berkembang. Uraian sebelumnya disajikan dalam Gambar 2 berikut.

Etnomatematika
Matematika
Adonara Mendukung Sekolah

Etnomatematika Adonara
digunakan dalam pembelajaran
matematika

Etnomatematika Matematika
Adonara Sekolah

Gambar 1. Etnomatematika Adonara yang


Mendukung Matematika Sekolah
(Dominikus, 2016:222)
Etnomatematik Matematika
a Adonara Menghambat Sekolah

Digunakan dalam
pembelajaran Tereduksi
kekeliruan

Etnomatematika Matematik
Adonara a Sekolah
Tereduksi
kekeliruan

Gambar 2. Etnomatematika Adonara yang


Menghambat Matematika Sekolah
(Dominikus, 2016:224)

3) Etnomatmatika Adonara yang tidak memengaruhi matematika sekolah.


Pembagian waktu dalam budaya Adonara didasarkan pada posisi matahari, kokok
ayam, munculnya bintang timur, dan aktivitas tertentu yang dilakukan. Waktu dalam satu hari
terdiri 16 penggalan waktu yang terdiri dari 8 penggalan waktu siang hari dan 8 penggalan
waktu malam hari dengan interval waktu yang berbeda. Hal ini sangat berbeda dan
bertentangan dengan pembagian waktu yang dikenal di sekolah dan di masyarakat. Waktu yang
dipelajari di sekolah meliputi jam, menit, detik, hari, minggu, bulan, dan tahun. Waktu satu
hari yang dipelajari di sekolah terdiri dari pagi, siang, dan malam hari yang terdiri dari 24 jam
dengan penanda waktunya adalah jam 01,00 – jam 24.00.

Konsep waktu dalam budaya Adonara memang berbeda dengan yang dipelajari di
sekolah,tetapi dapat digunakan dalam pembelajaran di sekolah untuk memperkaya wawasan
pemahaman tentang waktu. Sebaliknya jika tidak digunakan dalam pembelajaran di sekolah
maka makin lama akan hilang penggunaanya di masyarakat. Dalam hal ini konstruksi waktu
dalam budaya Adonara tidak memengaruhi pemahaman konsep matematika sekolah secara
langsung karena keduanya memiliki konstruksi yang berbeda.

Dalam budaya Adonara ditemukan juga operasi penjumlahan pupu dan tali’. Tindakan
pupu berkenaan dengan menggabungkan atau menjumlahkan dua kumpulan yang berbeda
sedangkan tindakan tali’ berkenaan dengan menambah jumlah pada kumpulan yang sama.
Terdapat perbedaan yang sangat menyolok bahkan betentangan antara tindakan pupu dan
bentuk aljabar serta penjumlahan bentuk aljabar. Sebagai ilustrasi, tindakan pupu dalam budaya
Adonara, 5 (ekor kambing) + 2 (ekor babi) = 7 (ekor hewan) yang dapat ditulis dalam bentuk
aljabar sebagai 5k + 2b = 7h, di mana, k: kambing, b: babi, dan h: hewan. Jika k, b, dan h
menyatakan benda kambing maka bentuk aljabar di atas salah karena sebagai variabel maka
k,b, dan h mewakili bilangan bukan benda. Sebaliknya jika k, b, dan h mewakili bilangan yang
menyatakan banyaknya kambing, babi, dan hewan maka penjumlahan bentuk aljabar di atas
juga salah karena penjumlahan bentuk aljabar hanya berlaku pada suku-suku sejenis saja.
Uraian sebelumnya dapat disajikan dalam Gambar 3 berikut.

Etnomatematik
a Adonara Tidak Memengaruhi Matematika
Sekolah

Degradasi Memperkaya Wawasan

konsep

Etnomatematika
Adonara Matematika
Sekolah

Gambar 3. Etnomatematika Adonara yang Tidak


Mempengaruhi Matematika Sekolah
(Dominikus, 2016:228)
BAB III

PENUTUP

Matematika atau pengetahuan matematika terdapat dalam semua budaya.


Pembelajaran matematika di sekolah seyogyanya berorientasi pada budaya. Dalam hal ini
matematika mempunyai kekuatan dalam melestariakan dan mengembangkan budaya.
Pewarisan budaya secara sistematis melalui pendidikan khususnya pendidikan matematika
berdampak ganda pada peningkatan kognitif dan penaaman nilai budaya dan karakter. Dampak
ikutannya adalah budaya semakin dikenal dan semakin dihargai baik oleh orang dalam budaya
itu dan mereka yang dari luar budaya itu.
DAFTAR PUSTAKA

Bakker,J.W.M., 1984, Filsafat Kebudayaan sebuah Pengantar, Penerbit Kanisius, Yogyakarta


Bishop, A.J., 1988, The Interaction of Mathematics Education with Culture, Culture Dynamics
1988:1; pp. 145-157. DOI:10.1177/92137408800100200
Clarkson,P.C.,2004, Multiculture Classrooms: Contexts for Much Mathematics Teaching and
Learning, Ethnomathematics and Mathematics Education, Proceeding of the 10th ICME,
2004, pp. 9-16
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2014a, Ethnomathematics in Shifting
Cultivation of Adonara Societty and Integration Within Curriculum of Primary Schools,
Proceedings: The 1st Sriwijaya University Learning and Education International Conference
(SULE-IC) 2014, Sriwijaya University, May 16-18, 2014, Palembang, pp. D16-786 – D16-
793.
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2014b, Etnomatematika Dalam Permainan
Masyarakat Adonara dan Kaitannya Dengan Matematika Sekolah Dasar, Prosiding Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
13 September 2014, Yogyakarta, pp. 531-542
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2015, Ethnomathematics of Adonara
Society in The Weaving Activity, Paper presented on International Conference of Mathematics
and Scince Education (ICMSE), Mataram University, November 4-6, 2015, Mataram, pp. 1-
10.
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2016a, Ethnomathematics in Marriage
Tardition in Adonara Island-East Flores, Proceedings: 3rd International Conference on
research Implementation, and Education of Mathematics and Science 2016 ( 3rd ICRIEMS),
Yogyakarta State University, May 16-17, 2016 Yogyakarta, pp. ME-269 – ME-274.
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2016b, Link Between Ethnomathematics in
Marriage Tradition in Adonara Island and School Mathematics, IOSR Journal of Research &
Method in Education (IOSR-JRME), Volume 6, Issue 3 Ver. IV (May-June 2016), pp. 56-62,
DOI:10.9790/7388-0603045662
Dominikus, W.S., 2016c, Etnomatematika Adonara dan Kaitannya dengan Matematika Sekolah,
Disertasi, Universitas Negeri Malang, Malang.
Dowling, P., 1998, The Sociology of Mathematics Education, Studies in Mathematics Education
Series 7, The Falmer Press, London
Ernest,P., 1993, The Philosophy of Mathematics Education, The Falmer Press, London
Freudenthal,H., 2002, Rivisiting Mathematics Education (China Lectures), Kluwer Academic
Publisher, New York/Dordrehct/Boston/London
Gerdes,P., 1997, Survey of Current Work on Ethnomathematics, In A. Powell & M.
Frankenstein (eds), Ethnomathematics, Challenging Eurocentrism in Mathematics
Education (pp. 331-372), Albany: State University of New York Press.
Gerdes, P., 2011, African Basketry: Interweaving Art and Mathematics in Mozambique,
Bridges 2011: Mathematics, Music, Art, Architecture, Culture, pp. 9 – 16,
Keesing, R.M., 1981, Cultural Anthropology:A Contemporary Perspective, Edisi 2
terjemahan S. Gunawan , Antropologi Budaya : Suatu Perspektif Kontemporer,
Erlangga, Jakarta
Kuntjaraningrat, 2009, Pengantar Antropologi I, Rineka Cipta, Jakarta
Liliweri, A., 2014, Pengantar Studi Kebudayaan, Nusa Media, Bandung
Matang, R. & Owens, K.,2004, Rich Transition from Indigenous Counting Systems to
English Aritmetic Strategies: Implications for Mathematics Education in papua New
Guinea, Proceeding of the 10th ICME: Ethnomathematics and Mathematics
Education, 2004, pp. 107-118
Milroy, W.L., 1992, An Ethnography Study of The Mathematics Ideas of a Group of
Carpenters, Journal for Research in Mathematics Education - Monograph, No.5,
National Council of Teachers of Mathematics, USA
Mukhopadhyay,S. & Greer, B., 2011, Can Ethnomathematics Enrich Mathematics
Education?, For The Learning of Mathematics, 5 (1), 2011, pp. 62-66
Owens, K., 2012, Policy and Practices: Indigenous Voices in Education, Journal of
Mathematics & Culture, ICEM 4 Focus Issue, pp.51-75.
Romberg, T.A., 2004, Standards-Based Mathematics Assessment in Middle Schools, Teachers
College Press, New York and London
Spradley,J.P., 2007, The Ethnographic Interview, terjemahan Indonesia: Metode Etnografi
oleh : Misbah Zulfa Elisabeth, Tiara Wacana, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai