Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplor bentuk-bentuk etnomatematika yang ada pada
oring masyarakat Nileknoheng dan menganalisis hubungannya dengan konsep matematika di
Sekolah Dasar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa lain-lain secara
holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Dalam penelitian ini, data
kualitatif diperoleh dari observasi terhadap aktivitas petani dalam membuat oring dan juga
wawancara terhadap masyarakat Nileknoheng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk
etnomatematika yang ada pada oring dalam budaya masyarakat Nileknoheng meliputi Repa,
Paga, Nu’ong, Uwung, Nepi, Soro, Sugor, umang dan Dong. Oring tersebut memiliki
hubungan tertentu dengan konsep matematika di sekolah dasar, yaitu konsep pengukuran
(pengukuran satuan tidak baku), konsep dua dimensi (persegi panjang, segitiga, lingkaran,
trapezium) dan konsep tiga dimensi (balok). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa oring dalam budaya masyarakat Nileknoheng mengandung unsur etnomatematika
yang memiliki hubungan erat dengan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar.
Kata Kunci: Etnomatematika, oring
Pendahuluan
Pendidikan dan kebudayaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan,
laksana dua sisi mata uang, keduanya saling mendukung dan menguatkan. Kebudayaan
menjadi dasar falsafah pendidikan, sementara pendidikan menjadi penjaga utama
kebudayan, karena peran pendidikan adalah membentuk orang untuk berbudaya.
Indonesia memiliki keberagaman budaya dan suku bangsa, sehingga banyak hal yang akan
didapat dari kebudayaan itu sendiri. Keberagaman dari segi bahasa, agama, adat istiadat, dan
sebagainya itulah yang menjadi ciri khas dan keunikan bangsa Indonesia. Kebudayaan
masyarakat Indonesia akan tetap kokoh apabila terjaga pelestariannya. Cara melestarikan
kebudayaan dapat dilakukan dengan cara yang bermacam-macam, salah satunya adalah
melalui dunia pendidikan.
Perkembangan zaman dan teknologi yang semakin canggih saat ini, siswa cenderung
lebih familiar dengan budaya asing dan kurang memahami kebudayaan dan kearifan lokal
yang dimiliki masyarakat Indonesia, sehingga rasa nasionalisme siswa mulai memudar. Eddy
(dalam Rasyid 2013) mengemukakan agar pelestarian kebudayaan daerah dan pengembangan
kebudayaan nasional dapat diterapkan melalui pendidikan baik pendidikan formal maupun
nonformal, dengan mengaktifkan kembali segenap wadah dan kegiatan pendidikan. Dengan
demikian budaya akan tetap terjaga dan tak mudah pudar dari kehidupan generasi yang
mendatang.
Kurikulum 2013 mendukung agar pendidikan di Indonesia dapat menerapkan
pembelajaran dengan memberdayakan budaya. Selain menanggapi pembelajaran berbasis
teknologi digital, kurikulum pun harus dapat membangun keingintahuan siswa tentang
kebudayaan. Melalui pendidikan siswa dapat mengenal, memahami, mempelajari dan
mengembangkan nilai-nilai budaya khususnya budaya masyarakat di lingkungannya. Salah
satu pembelajaran di sekolah yang dapat dikaitkan dengan budaya adalah pembelajaran
matematika.
Pembelajaran matematika merupakan muatan pelajaran yang wajib dipelajari disetiap
jenjang pendidikan. Pembelajaran matematika memiliki hubungan yang erat dengan
kehidupan sehari-hari dan dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit sehingga matematika
kurang diminati oleh siswa. Permasalahan yang biasa ditemukan dalam pembelajaran
matematika diantaranya adalah matematika merupakan pembelajaran yang abstrak, rumus
matematika yang terkesan sukar dan bahasa serta symbol dalam bentuk ilmiah. Kecemasan
matematika yang dialami siswa hendaknya dapat diminimalisir melalui perbaikan proses
pembelajaran matematika yang mana alur pembelajaran matematika perlu dialihkan dengan
membiasakan peserta didik belajar aktif, kreatif, dan menyenangkan sehingga proses
pembelajaran matematika dapat dikemas dalam pembelajaran yang bernuansa budaya. Oleh
sebab itu, diperlukan sebuah terobosan pendidikan yang menjembatani antara budaya dengan
matematika atau biasa disebut dengan etnomatematika (Wahyuni, dkk 2013).
Etnomatematika dikenal dengan suatu metode khusus yang terkait dengan budaya
dalam lingkungan aktivitas matematika. Rosa dan Orey (2011) mengutarakan bahwa
etnomatematika menyajikan konsep matematika yang sesuai dengan kurikulum di sekolah
dengan mengaitkan budaya dan pengalaman sehari-hari siswa. D’Ambrosio (Marsigit,
2016:2) menyatakan “The term requires a dynamic interpretatation because it describes
concept that are themselves neither rigid nor singular-namely, ethno and mathematics”.
Istilah etnno menggambarkan bahwa semua hal yang membentuk identitas budaya suatu
kelompok, yaitu bahasa, kode nilai-nilai, jargon, keyakinan, makanan, dan pakaian, kebiasaan
dan sifat-sifat fisik. Sedangkan matematika mencakup pandangan yang luas mengenai
aritmatika, meng-klasifikasikan, mengurutkan, menyimpulkan dan modeling.
Etnomatematika berfungsi untuk mengekspresikan hubungan antar budaya dan matematika.
Dengan demikian etnomatematika adalah ilmu yang digunakan untuk memahami matematika
di adaptasi dari sebuah budaya atau ilmu yang memiliki keterkaitan antara matematika dan
budaya.
Pemanfaatan budaya dalam pembelajaran matematika bukanlah digunakan
sebagai motivasi atau sebagai pengantar, melainkan sebagai bagian dari
memahami bagaimana ide matematika dikembangkan dan bagaimana mereka dibangun ke
dalam sistem, dirumuskan, dan diterapkan dalam berbagai cara dalam budaya. Dengan kata
lain, budaya tersebut digunakan sebagai sumber belajar (Rosa dan Orey, 2011). Pembelajaran
dengan pendekatan etnomatematika sangat memungkinkan suatu materi yang dipelajari dari
budaya dapat membangkitkan motivasi belajar serta pemahaman suatu materi oleh peserta
didik menjadi lebih mudah karena materi tersebut terkait langsung dengan budaya yang
dimiliki dan merupakan aktivitas dalam bermasyarakat. Sirate (2012) mengemukakan bahwa
penerapan etnomatematika sebagai sarana untuk memotivasi, menstimulasi siswa, dapat
mengatasi kejenuhan dan kesulitan dalam belajar matematika. Hal ini disebabkan
etnomatematika merupakan bagian dari keseharian siswa yang merupakan konsepsi awal
yang telah dimilki dari lingkungan sosial budaya setempat.
Suatu daerah pasti memiliki kebudayaannya masing-masing yang menjadi ciri khas
dari daerah tersebut dan memiliki kaitannya dengan konsep matematika. Salah satu budaya
lokal masyarakat Nileknoheng yang masih ada sampai saat ini adalah pondok lumbung padi
tradisional yang secara turun temurun proses pembuatan, bentuk dan fungsinya tidak berubah
yang dalam bahasa daerah Nileknoheng disebut oring. Oring adalah sebuah bangunan
tradisional yang terbuat dari bahan kayu, bambu, dan beratapkan rumput alang-alang yang
dijadikan sebagai tempat penyimpanan padi dan jagung. Selain sebagai tempat menyimpan
bahan pangan, oring juga berfungsi sebagai tempat istirahat dan berteduhnya para petani
dikala hujan dan panas dalam kegiatan bertani, dari masa bercocok tanam hingga memanen
hasil tani dan sebagai tempat menjalankan serimonial adat kebun/ladang. Oring memiliki
ukuran dan kapasitas berdasarkan kebutuhan para petani dan terdiri atas beberapa bangun
datar, memiliki banyak titik sudut, dan beberapa aktivitas matematika lainnya yang bisa
dipelajari dalam pembelajaran matematika di Sekolah Dasar.
Hasil penelitian sebelumnya berhasil mengekplorasi etnomatematika dan kaitannya
dengan matematika di Sekolah Dasar, diantaranya adalah Bunga, dkk (2018) menyatakan
bahwa kegiatan sosial dan artefak masyarakat Palue dalam budaya Palue mengandung unsur
etnomatematika yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran matematika di Sekolah Dasar.
Aritsya, dkk (2017) menyatakan bahwa arsitektur lumbung padi “Leuit” terdapat unsur
matematis diantaranya adalah geometri, teselasi/pengubinan dan kesebangunan dan dapat
digunakan sebagai inovasi dan bahan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar, sehingga
akan menambah pengetahuan siswa terkait dengan penerapan matematika di kehidupan
sehari-hari.
Dalam etnomatematika bukan berarti harus menjadi manusia primitive dan kembali
ke zaman dahulu kala, namun bagaimana budaya yang sudah menjadi suatu karakter atau ciri
khas suku bangsa dapat terus bertahan dengan disesuaikan pada waktu dan zaman saat ini,
sehingga ketika guru mengajarkan mengenai unsur matematika guru dapat mengungkapkan
budaya yang dimiliki oleh siswa. Dengan begitu, dapat membuat siswa selama belajar
matematika semakin memahami, menghargai dan mencintai segala sesuatu yang mereka
miliki.
Metode
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa lain-
lain secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong,
2017:6). Berdasarkan yang disampaikan Moleong tentang penelitian kualitatif maka
penelitian yang akan dilakukan, peneliti akan mencoba memahami bentuk-bentuk
etnomatematika yang ada pada oring dalam kebudayaan masyarakat Nileknoheng.
Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi oring masyarakat Nileknoheng.
Penelitian dilakukan dengan cara mengamati secara langsung aktivitas petani dalam membuat
oring, mewawancarai Ilu Alate (tua adat yang berperan dalam adat kebun), tokoh masyarakat
dan berdiskusi bersama guru SDI Nileknoheng serta mengumpulkan bukti-bukti terkait
dengan oring. Wawancara dilakukan untuk mengetahui informasi budaya oring yang
berkaitan dengan etnomatematika atau bentuk matematika. Studi dokumentasi dilakukan
untuk mengetahui bukti-bukti terkait oring masyarakat Nileknoheng.
Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti akan mengeksplor bentuk-bentuk
etnomatematika pada oring. Bentuk-bentuk etnomatematika tersebut dianalisis dengan
mengkaitkan dan menghubungkan dengan konsep-konsep matematika di SD.
Berdasarkan observasi terhadap aktivitas petani dalam membuat oring dan wawancara
terhadap ilu alate (tua adat yang berperan dalam adat kebun) dan tokoh masyarakat, hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut :
b. Nu’ong
Nu’ong (tampak pada gambar 2) merupakan pemasangan kerangka dasar dong
untuk mengukur panjang dan lebar pada bidang tanah yang akan digali untuk
mendirikan tiang dong. Nu’ong memiliki empat titik sudut yang akan ditanda untuk
digali tiang. Nu’ong juga merupakan proses mengukur sudut agar setiap sudut sama
besarnya sehingga terlihat seimbang dan simetri. Dari gambar dibawah ini dilihat
bahwa Nu’ong termasuk dalam konsep persegi panjang.
A C
B D
d. Nepi
Nepi (tampak pada gambar 4) merupakan meja tradisional dan tempat tidur
tradisional yang dibuat dalam bangunan oring. Nepi merupakan salah satu bagian
penting dalam oring karena selain sebagai meja dan tempat tidur, nepi adalah tempat
untuk melakukan serimonial adat kebun yaitu ekak. Seperti pada gambar, nepi
merupakan etnomatematika yang berkaitan dengan konsep persegi panjang.
A C
B D
Gambar 4. hubungan antara bentuk etnomatematika dan persegi panjang
e. Soro
Soro (tampak pada gambar 5) merupakan sisi samping dari oring yang dibuat
sebagai tambahan untuk memperluas oring dan menahan angin musim barat. Dengan
adanya soro, dapat dibangun nepi untuk menyimpan barang dan sebagainya. Seperti
pada gambar, soro merupakan etnomatematika yang berkaitan dengan konsep
segitiga.
f. Sugor
Sugor (tampak pada gambar 6) merupakan kayu yang bersilang pada sisi dong.
Sugor ini berfungsi untuk menopang dong agar lebih kuat dan tetap simetri. Dari
gambar dibawah ini dilihat bahwa sugor termasuk dalam konsep segitiga.
g. Umang
Umang (tampak pada gambar 7) merupakan lubang yang dibuat pada bambu
untuk memasang kerangka dong (lumbung padi). Lubang ini dibuat dengan bentuk
lingkaran sehingga disesuaikan dengan besarnya kayu yang akan dipasang dalam
membuat kerangka tersebut. Dari gambar dibawah ini dilihat bahwa umang termasuk
dalam konsep lingkaran.
Gambar 6. hubungan antara bentuk etnomatematika dan lingkaran
Simpulan
Abdulah, J., Saidin, M., Koon, P., & Molijol, P. (2016). Bukti Kebudayaan Paliolitik di
Lahad Datu, Sabah: Laporan Awal. Jurnal Arkeologi Malaysia, 21.
Bunga, M. H. D., Zaenuri, Z., & Isnaeni, W. (2018). “Ethnomathematical Exploration Of
Palue Cultural Tribe And Its Integration Toward Learning Process At Elementary
School In Nusa Tenggara Timur”. Jurnal Pendidikan Dasar, 7 (1) : 64 – 73
D’Ambrosio, U. (1985). Ethnomathematics and its place in the history and pedagogy of
mathematics. For the Learning of Mathematics, 5(1), 44-48.
Hasmira (2016). “Analisis Kesulitan Belajar Matematika Pada Peserta Didik Tunarungu
Kelas Dasar III DI SLB YPAC Makassar”. Skripsi di Jurusan Pendidikan Luar Biasa
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar.
Imswatama Aritsya, Saprudin2, Rohmat Widyanto (2017). “Etnomatematika: Arsitektur
Lumbung Padi “Leuit” Di Kawasan Geopark Ciletuh Sukabumi Sebagai Bahan
Pembelajaran Matematika Di Sekolah Dasar”. Seminar Nasional Kedua Pendidikan
Berkemajuan dan Menggembirakan, 978-602-361-102-7
Moleong, Lexy J. (2017) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Rosa, M. & Orey, D. C. (2011). Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics.
Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, dan (R&D). Bandung:PT
Alfabeta
Susantya, P. I., Zaenuri Ma, Iqbal Kharisudin (2019). “Eksplorasi Etnomatematika Alat
Musik Gong Waning Masyarakat Sikka”. Seminar Nasional Pasca Sarjana, Issn:
2686-6404
Wahyuni, A., Tias, A. A. W., & Sani, B. (2013,). Peran Etnomatematika Dalam Membangun
Karakter Bangsa. In Makalah Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan
Matematika, Prosiding, Jurusan Pendidikan Matematika Fmipa Uny, Yogyakarta: Uny,
ISBN: 978-979-16353-9-4.