Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Matematika adalah sebuah ilmu pengetahuan yang berguna untuk segala


aspek kehidupan. Keterampilan matematika dibutuhkan untuk memecahkan
berbagai permasalahan yang muncul di tengah-tengah perkembangan zaman ini.
dalam perkembangan zaman ini teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang
pesat, untuk mengimbangi perubahan tersebut dibutuhkan cara berpikir
sistematis, logis dan kritis dalam mengolah dan memanfaatkan iptek.
Kemampuan tersebut dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika.
Kualifikasi kemampuan pada mata pelajaran matematika yang hendak
dicapai peserta didik pada jenjang tingkat sekolah dasar diantaranya adalah
mengenal dan menggunakan berbagai informasi tentang lingkungan sekitar
secara logis, kritis dan kreatif serta menunjukkan kemampuan memecahkan
masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari
Pengetahuan dasar yang diperoleh dari pembelajaran matematika menjadi
dasar berbagai cabang ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan. Oleh
karena itu penting bagi siswa untuk memiliki kemampuan matematika yang
berguna untuk memecahkan berbagai permasalahan baik yang berkaitan dengan
pengetahuan lain maupun permasalahan kehidupan sehari-hari.
Matematika sendiri penting untuk dipelajari karena apa yang dipelajari
dalam matematika bisa berguna atau bisa diterapkan dalam kehidupan sehari–
hari siswa dalam kepentingan lingkungannya.
Udin Syaefudin (2010, hlm. 103) mengemukakan bahwa “Pendidikan
yang berbasis pada masyarakat memiliki pengaruh yang positif pada anak,
salah satunya yaitu untuk mengajarkan kebiasaan pada anak agar akrab
dengan lingkungan tempat tinggal mereka”. Dengan mengenalkan siswa pada
kebudayaan setempat bertujuan agar siswa terbiasa dengan budaya dan adat
istiadat, serta dapat mencintai lingkungan dan kebudayaan yang ada di tempat
mereka tinggal.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam rumusan masalah dalam makalah ini ialah untuk menelaah
Bagaimana Dimensi,Perspektif dan Kedudukan Etnomatematika.

C. TUJUAN
Tujuan dari penusunan makalah ini adalah unjuk mengetahui
Dimensi, Perspektif dan Kedudukan Etnomatematika.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DIMENSI ETNOMATEMATIKA
Istilah ethnomathematics dalam bahasa Indonesia masih sangat
jarang ditemukan, baik dalam kamus bahasa Indonesia maupun dalam
kajian matematika yang dilakukan oleh para pemerhati disiplin ilmu
matematika. Sebaliknya, ethnomathematics telah banyak dikaji dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Salah seorang ahli sains dari
Malaysia, Shaharir Mohamad Zain menurunkan tulisannya dalam Berita
Harian Online (18 Juni, 1997) menulis tentang Ethnomathematics ke
dalam bahasa Melayu menjadi “etnomatematik” yang merujuk kepada
upaya mengangkat etnis Islam Melayu yang selama ini berada dalam
tatanan pengetahuan yang masih rendah baik di dalam bidang science pada
umumnya maupun dalam bidang matematika khususnya.
Menurut Shaharir, sejak tahun 1991, bidang “etnomatematik”
dikaji secara bersama-sama melalui bidang ilmu sains dan menjadi satu
sub-bidang sains matematik untuk diajarkan dalam ruangan kelas. Jika
kata ethnomathematics telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu
menjadi “etnomatematik,” seharusnya istilah ini dapat diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi “etnomatematika” yang dibangun dari
sufiks etno- yang merujuk pada kelompok budaya dan matematika yang
merupakan istilah yang sudah lama dikenal dan sudah menjadi disiplin
ilmu tersendiri yang diajarkan di lingkungan pendidikan formal dan
informal di Indonesia.
Selain itu Etnomatematika adalah matematika yang diterapkan oleh
kelompok budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anak-anak dari
masyarakat kelas tertentu, kelas-kelas profesional, dan lain sebagainya
(Gerdes, 1994). Para pakar etnomatematika berpendapat bahwa pada
dasarnya perkembangan matematika sampai kapanpun tidak terlepas dari
budaya dan nilai yang telah ada pada masyarakat.
Etnomatematika sarat dengan masalah dalam kehidupan sehari-
hari. Hal ini sejalan dengan pandangan Freudental dan Gravemeijer,
bahwa matematika sebagai aktivitas manusia (Athar, 2012). Menurut
Freudenthal (Heuvel & Panhuizen, 1996), matematika harus dihubungkan
dengan realitas, tetap dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan
masyarakat. Sudut pandang ini melibatkan tentang matematika bukan saja
sebagai subyek, melainkan sebagai aktivitas manusia, yang sangat lekat
dengan budaya lokal.
Astri Wahyuni, dkk (2013: 2) menyatakan bahwa salah satu yang
dapat menjembatani antara budaya dan pendidikan matematika adalah
etnomatematika. Secarasingkat, pengertian dari etnomatematika adalah
matematika dalam budaya. Etnomatematika terdiri atas dua kata, etno
(etnis/budaya) dan matematika. Itu berarti bahwa etnomatematika
merupakan matematika dalam budaya. Istilah etnomatematika
diperkenalkan oleh D’Ambrosio seorang matematikawan Brazil pada
tahun 1977. Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang
sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa,
jargon, kode perilaku, mitos dan simbol. Kata dasar “mathema” cenderung
berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan
seperti pengkodean, mengukur, mengklarifikasi, menyimpulkan, dan
pemodelan. Akhiran “tics” berasal dari katatechne dan bermakna sama
seperti teknik (D’Ambrosio, 1994: 449).
Lebih lanjut, D’Ambrosio (1985: 44) menyatakan bahwa,
On the other hand, there is a reasonable amount of literature on this by
anthropologists. Making a bridge between anthropologists and historians
of culture and mathematicians is an important step towards recognizing
that different modes of thoughts may lead to different forms of
mathematics; this is the field which we may call ethnomathematics.
Maksudnya, membuat jembatan antara budaya dan matematika
adalah langkah penting untuk mengenali berbagai cara berpikir yang dapat
menyebabkan berbagai bentuk matematika; Inilah bidang yang disebut
etnomatematika. Hal ini dapat diartikan bahwa berbagai konsep
matematika dapat digali dan ditemukan dalam budaya sehingga dapat
memperjelas bahwa matematika dan budaya saling berkaitan, matematika
dapat lahir dari budaya, matematika dapat digali dalam budaya sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber belajar matematika yang
konkret dan ada di sekitar siswa.
D'Ambrosio (Marsigit, 2016: 2) bahwa "The term requires a dynamic
interpretation because it describes concepts that are themselves neither
rigid nor singular-namely, ethno and mathematics". Istilah etno
menggambarkan semua hal yang membentuk identitas budaya suatu
kelompok, yaitu bahasa, kode, nilai-nilai, jargon, keyakinan, makanan dan
pakaian, kebiasaan, dan sifat-sifat fisik. Sedangkan matematika mencakup
pandangan yang luas mengenai aritmetika, meng-klasifikasikan,
mengurutkan, menyimpulkan, dan modeling. Etnomatematika berfungsi
untuk mengekspresikan hubungan antara budaya dan matematika. Dengan
demikian, etno-matematika adalah suatu ilmu yang digunakan untuk
memahami bagaimana matematika diadaptasi dari sebuah budaya.
Lebih lanjut, Bishop (1994) menyatakan bahwa etnomatematika
dapat dibagi menjadi enam kegiatan mendasar yang selalu dapat
ditemukan pada sejumlah kelompok budaya. Keenam kegiatan matematika
tersebut adalah aktivitas: menghitung/membilang, penentuan lokasi,
mengukur, mendesain, bermain dan menjelaskan.
Objek etnomatematika merupakan objek budaya yang mengandung
konsep matematika pada suatu masyarakat tertentu. Sebagaimana pendapat
Bishop, maka objek etnomatematika digunakan untuk kegiatan matematika
seperti aktivitas menghitung, penentuan lokasi, mengukur, mendesain,
bermain dan menjelas-kan. Objek etnomatematika tersebut dapat berupa
permainan tradisional, kerajinan tradisional, artefak, dan aktivitas
(tindakan) yang berwujud kebudayaan.

Berdasarkan istilah-istilah yang dikemukakan oleh D’Ambrosio


tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa etnomatematika adalah
pembelajaran matematika yang dikaitkan dengan hasil kebudayaan yang
ada di masyarakat, baik berupa artefak maupun kebiasaan adat istiadat.
Salah satu contoh pembelajaran berbasis etnmatematika adalah
pembelajaran bangun ruang di Candi Prambanan.

B. PRESPEKTIF ETNOMATEMATIKA
Perubahan perspektif dalam proses pengajaran matematika diperlukan
adanya perubahan untuk mengakomodasi perubahan berkelanjutan dalam
demografi siswa di kelas. Beberapa ahli telah melakukan studi
pengembangan teori pedagogi yang relevan dan sesuai secara budaya pada
proses belajar-mengajar dalam suatu pandangan kritis dan melalui
hubungan eksplisit antara budaya siswa dan materi pelajaran di sekolah
(D'Ambrosio, 1990; Gay, 2000; Ladson-Billings, 1995).
Sesuai dengan pandangan ini, Rosa dan Orey (2006) menegaskan
bahwa “Ketika masalah praktis atau berbasis budaya dalam konteks sosial
yang tepat, matematika praktis kelompok sosial bukanlah hal yang sepele
karena mereka mencerminkan tema yang sangat terkait dengan kehidupan
sehari-hari. kehidupan siswa ”(hal. 34). Kurikulum matematika yang
relevan secara budaya harus fokus pada peran matematika dalam konteks
sosiokultural yang melibatkan ide dan konsep yang terkait dengan
ethnomathematics, menggunakan perspektif ethnomathematic untuk
memecahkan masalah kontekstual (Rosa dan Orey, 2008).
Konsep matematika dalam kehidupan sehari hari telah banyak
diterapkan pada penerapan konsep - konsep matematika yang terdapat pada
pada Batik Madura seperti garis lurus, garis lengkung, garis sejajar, simetri,
titik, sudut, persegi panjang, segitiga, lingkaran, jajar genjang dan konsep
kesebangunan (Zayyadi, 2017). Selain itu, Pembuatan bangunan yang
berbentuk lingkaran dengan memanfaatkan ujung kayu sebagai pusat
lingkaran dan ujung kayu lainnya digunakan sebagai alat pemberi tanda
pembuktian bahwa konsep-konsep matematika telah banyak diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat (Wijayanti, 2009).
Senada dengan hal tersebut, konsep matematika lahir dari pemikiran
suatu kelompok (budaya) masyarakat, yang dapat menggunakan konsep
matematika dalam memecahkan permasalahan yang ada di lingkungan
mereka sesuai dengan tingkat kebudayaan yang mereka miliki serta dapat
dikembangkan untuk dijadikan sebagai alat berfikir dalam
menyederhanakan permasalahan yang kompleks (Budiharto, 2016).
Konsep matematika yang ada di pikiran manusia terkadang
berbeda dengan matematika yang ada di kenyataan. Hal ini sejalan dengan
sinyalemen Hiebert & Carpenter (1992), pengajaran matematika di sekolah
dan matematika yang ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari sangat
berbeda. Oleh sebab itu pembelajaran matematika sangat perlu
memberikan muatan/menjembatani antara matematika dalam dunia sehari-
hari yang berbasis pada budaya lokal dengan matematika sekolah.
Bishop (1994) menegaskan, matematika merupakan suatu bentuk
budaya dan sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan
masyarakat dimanapun berada. Pada hakekatnya matematika merupakan
teknologi simbolis yang tumbuh pada keterampilan atau aktivitas
lingkungan yang bersifat budaya. Dengan demikian matematika seseorang
dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang mereka lakukan
berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Raymond (Gie, 1999)
menegaskan, tidak dapat disangkal, matematika merupakan salah satu
bagian kebudayaan yang terpenting pada setiap masyarakat modern.
Budaya adalah bagaimana anggota-anggota suatu kelompok
berpikir dan cara yang mereka lakukan untuk mengatasi masalah dalam
kehidupan kolektif (Arends, 2008:61). Budaya akan mempengaruhi
perilaku individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan
pemahaman individual, termasuk pembelajaran matematika (Bishop, 1991).
Pendidikan matematika sesungguhnya telah menyatu dengan kehidupan
masyarakat itu sendiri. Kenyataan tersebut bertentangan dengan aliran
"konvensional" yang memandang matematika sebagai ilmu pengetahuan
yang "bebas budaya" dan bebas nilai.
C. KEDUDUKAN ETNOMATEMATIKA
Etnomatematika tumbuh dari perdaban manusia dan akan selalu
tumbuh berkembang selama masih ada peradaban manusia.
Etnomatematika mengandung unsur masyarakat, sejarah dan matematika.
Dalam sejarah kita dapat mempelajari Matematika dari jaman dahulu
hingga sekarang. Matematika terikat dengan sejarah dan orang Matematika
murni bisa mendapatkan inspirasi dari hal tersebut.
Menurut Emmanuel Kant kriteria ilmu yaitu bersifat sintetik apriorik.
Matematika murni menurut Emmanuel Kant bukanlah suatu ilmu
melainkan hanya apriorik dan hanya merupakan ide-ide tanpa ada
pengalaman serta tidak mempedulikan apakah ada manfaatnya atau tidak.
Ilmu bersifat sintetik dan sintetik ada di dunia pengalaman yaitu sintetik
aposteriorik, sedangkan matematika hanya ada dipikiran yaitu apriorik
analitik. Etnomatematika merupakan ilmu jika dipikirkan dan erat
kaitannya dengan pengalaman.
Etnomatematika berkaitan dengan pembelajaran secara hakiki, hakikat
ilmu adalah apabila memiliki obyek, maka obyek Etnomatematika adalah
semua gagasan Etnomatematika yang berada di dalam masyarakat. Setelah
mengetahui obyeknya maka kita perlu mengetahui kedudukannya.
Etnomatematika menyediakan variasi sumber belajar, variasi kegiatan,
variasi pengalaman dan variasi konteks, karena menyediakan variasi
tersebut maka Etnomatematika berada pada tingkatan bawah yaitu konkrit.
Tingkatan ini masih pada tingkatan siswa dan belum abstrak.
Namun kebanyakan pendidik berpikir bahwa Matematika merupakan
ilmu yang bersifat deduktif dan abstrak, ini tidak fleksibel dan tidak sesuai
bagi siswa karena tidak sesuai dengan kondisi. Hal ini menunjukkan
ketidakpedulian pendidik yang selalu menggunakan definisi kepada siswa
tanpa melihat tingkatannya. Tidak semua bisa didefinisikan seperti hal
yang intuitif, karena hal itu merupakan intuisi yang sudah kita ketahui
tanpa perlu didefinisikan.
DAFTAR PUSTAKA

D’Ambrosio, U. (1990). Etnomatemática [Ethnomathematics]. Sao Paulo, SP,


Brazil: Editora Ática. Gay, G. (2000). Culturally responsive teaching:
Theory, research, and practice. New York, NY: Teachers College Press
Sylviyani Hardiarti (2017)etnomatematika:aplikasi bangun datar
segiempat pada candi muaro jambi.jambi.2, November 2017
D’Ambrosio, U. (1994). ‘Cultural framing of mathematics teaching and
learning’, in R.Biehler, R.W. Scholz, R. Sträßer and B.
Winklelmann (eds.). Didactics of Mathematics as a Scientific
Discipline. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. pp. 443–455.

Anda mungkin juga menyukai