Anda di halaman 1dari 15

 

TRANSFORMASI PENENUN BUGIS-WAJO MENUJU ERA


MODERNITAS
Muhammad Syukur1, Arya Hadi Dharmawan2, Satyawan Sunito2, Didin S Damanhuri3
1) Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Makassar,
muhsyukur_sosiologi_unm@yahoo.co.id
2) Program Studi Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor,
3) Program Studi Manajemen Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT ABSTRAK

This study aims to reveal the transformation Penelitian ini bertujuan mengungkapkan proses
process of weaving activity of Wajo people in transformasi kegiatan tenun rakyat di Kabupaten
South Sulawesi. This study uses a constructivist Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini
paradigm with a qualitative approach. Data was menggunakan paradigma konstruktivis dengan
collected through in depth interviews, observa- pendekatan kualitatif. Pengumpulan data di-
tion, documentation, and historical sociology. lakukan dengan metode wawancara mendalam,
The analysis data uses data reduction, data observasi, dokumentasi, dan studi sosiologi se-
presentation, and taking conclusion. The results jarah. Analisis data menggunakan reduksi data,
shows that the weaving activities of Wajo people sajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil
in design patterns and developing the loom stuffs penelitian menunjukkan bahwa kegiatan
by cultural fusion from outside of Bugis commu- pertenunan rakyat di Kabupaten Wajo dalam
nity and local elements of creativity and local menunjukkan adanya perpaduan kebudayaan
intelligence communities of Wajo. The transfor- dari luar komunitas Bugis dan unsur kreatifitas
mation process began with the use of a loom ge- dan kecerdasan lokal masyarakat Wajo. Transfor-
dogan in the 13th century, then loom machines in masi alat tenun bermula pada penggunaan alat
1950, and the use of looms machine in 2004. tenun gedogan pada abad ke-13, kemudian Alat
Pattern Transformation is begun from plain pat- Tenun Bukan Mesin pada tahun 1950, dan
tern (1400-1600), squares pattern/palekat (1600- penggunaan Alat Tenun Mesin tahun 2004.
1900), and the pictorial pattern (1900-now). Transormasi corak bermula dari corak tidak ber-
  gambar (tahun 1400-1600), corak kotak-kotak/
palekat (1600-1900), dan corak bergambar (1900
Keywords: Transformation, Weaver, Bugis-Wajo -sekarang).

Kata Kunci: Transformasi, Penenun, Bugis-


Wajo

PENDAHULUAN Nusantara termasuk etnis Bugis-


Makassar yang kemudian diperkaya
Para ahli sejarah memperkirakan dengan adanya interaksi antara India,
bahwa kebudayaan menenun awalnya dan Cina. Keterampilan menenun
dikenal pada kurang lebih 5000 SM di adalah semacam local genius yang
daerah Mesopotamia dan Mesir yang dimiliki oleh etnis Bugis (Nawawi dan
kemudian tersebar ke daerah Eropa dan Gustami, 2002).
Asia termasuk di Indonesia. Menurut Geldem (Kahdar, 2009)
Pelras (2006) keterampilan menenun mengemukakan bahwa kebudayaan
adalah keterampilan lokal yang dimiliki menenun bagi masyarakat Bugis sudah
oleh nenek moyang berbagai etnis di

Paramita Vol. 24 No. 1 - Januari 2014 [ISSN: 0854-0039]  63


Hlm. 63—77
Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014 

dijalankan sejak abad ke-13. Fenomena jumlah produksi sekitar 99.640 sarung
tersebut dibuktikan dengan adanya ar- per tahun. Adapun penenun yang
tefak bahan pakaian yang terbuat dari m e n g g u n a k a n A l a t T e n un B u k a n
kulit kayu yang ditemukan pada sekitar Mesin (ATBM) berjumlah 227 orang
abad ke-13 di wilayah Bugis. Hal ini di- dengan jumlah ATBM sebanyak 1.914
perkuat dengan hasil penelitian Pelras dan kapasitas produksi sekitar 1.589.000
(2006) yang menemukan bahwa ket- meter kain pertahun, serta hanya satu
erampilan bertenun merupakan salah orang pengusaha yang menggunakan
satu sumber penghasilan orang Bugis Alat Tenun Mesin (ATM). Khusus untuk
pada masa kerajaan. pemintal benang sebanyak 91 orang,
Persistensi (ketahanan) sedangkan 301 kepala keluarga
menghadapi berbagai periode waktu bergerak dibidang penanaman murbey
dalam kegiatan para penenun Wajo dan pemeliharaan ulat sutera dengan
tidak bisa dilepaskan dari keterlekatan produksi 4.250 kilogram benang
tindakan penenun pada kontur budaya pertahun (Badan Pusat Statistik Kabu-
yang membentuknya. Orang Bugis- paten Wajo, 2012).
Wajo memiliki sistem budaya yang telah Penetrasi sistem ekonomi global
melekat (embedded) dan membentuk kedalam kegiatan pertenunan di
kepribadian dalam menghadapi Sulawesi Selatan khususnya masyarakat
tantangan hidup. Kemampuan adaptasi Wajo merubah tatanam kehidupan
merupakan aspek penting yang sosial ekon omi dalam komunitas
menopang persistensi mereka sehingga penenun. Fenomena ini bermula ketika
dapat moving out of poverty, baik sebagai terjadi kontak dagang antara orang
individu maupun sebagai kolektif Bugis dan pedagang dari berbagai nega-
(Lewis, 1988). Kontur budaya ini ra di dunia. Kondisi ini berlanjut sampai
terbukti memberikan kontribusi masa pendudukan kolonial Belanda dan
terhadap kemampuan mereka bertahan Jepang di Sulawesi Selatan serta ber-
dalam rentang waktu yang begitu lama. lanjut sampai awal keme rdekaan
Hal ini juga memberikan kemampuan bahkan sampai pada saat sekarang ini.
untuk dapat mencari alternatif peker- Adopsi corak dan warna serta
jaan lain ketika mata pencaharian utama penggunaan alat tenun semi modern
sebagai petani atau nelayan tidak lagi dan modern terjadi dalam kegiatan
mencukupi kebutuhan hidup. Salah satu pertenunan rakyat di Kabupaten Wajo.
alternatif yang memungkinkan adalah Fenomena ini menarik untuk dikaji
kegiatan menenun. Menenun lebih jauh terkait proses transformasi
merupakan salah satu kegiatan penting yang terjadi dalam kegiatan pertenunan
bagi masyarakat Bugis-Wajo yang bisa pada masyarakat penenun di Kabupa-
berperan sebagai katub pengaman bagi ten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan.
sebagian penenun gedogan sedangkan Berdasarkan latar belakang terse-
kalangan pengusaha tenun bisa ber- but maka, penelitian ini bertujuan untuk
peran sebagai bentuk usaha untuk mendeskripsikan dan menganalisis
mengakumulasi modal. Kegiatan tenun mengenai proses transformasi kegiatan
umumnya dilakukan oleh kaum per- pertenunan mulai dari zaman kerajaan
empuan dalam rangka membantu sua- sampai pada masa kini. Penelitian ini
mi mencari nafkah (Chabot, 1996) juga bertujuan untuk mendeskripsikan
Data statistik Kabupaten Wajo dan menganalisis proses transformasi
menunjukkan bahwa terdapat sekitar corak kain tenun dan peralatan tenun
5.113 orang penunun gedogan dengan yang digunakan oleh penenun di

64
  Transformasi Penenun Bugis-Wajo … —Muhammad Syukur, dkk.  

Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi HASIL DAN PEMBAHASAN


Selatan.
Transformasi Penenun Bugis-Wajo
dari Masa Kerajaan Sampai Kolonial
METODE PENELITIAN
Kerajaan Wajo berdiri sejak tahun
Penelitian ini dilaksanakan di 1436. Kegiatan menenun di Wajo di-
Kabupaten Wajo sebagai pusat perkiraan sudah ada sejak abad ke-13
pengembangan kegitan pertenunan di atau hampir dengan terbentuknya Kera-
Provinsi Sulawesi Selatan. Sasaran jaan Wajo. Tenun mulai berkembang
penelitian adalah masyarakat yang pada abad ke-15 pada saat Islam masuk
terlibat dalam kegiatan usaha tenun di Sulawesi Selatan. Orang Wajo pada
yang bermukim di lokasi penelitian awalnya menenun untuk memenuhi
pada saat penelitian ini dilaksanakan, kebutuhan di lingkungan keluarga. Kain
baik penenun gedogan, penenun ATBM sarung dibuat untuk dipakai sehari-hari,
skala rumah tangga, maupun kemudian menghadiri upacara adat,
pengusaha tenun. Penentuan responden misalnya perkawinan dan kenduri. Para
dilakukan secara purposive. penenun menjalankan aktivitasnya di
Paradigma penelitian yang rumah. Di antara hasil tenun tersebut,
digunakan adalah konstuktivis (Guba terdapat juga untuk kebutuhan
dan Lincoln, 2000: 109). Pengumpulan pelayaran, misalnya kain layar perahu
data menggunakan metode wawancara (Kartiwa, 2007). Bahan tenun awalnya
mendalam, observasi, dan dokumentasi. diperoleh dari serat batang pisang dan
Analisis data dilakukan melalui tiga serat nenas. Kemudian mereka
tahap yaitu; proses reduksi data, mengenal kapas yang dipilin sendiri.
penyajian data, dan penarikan Sementara benang sutera baru dikenal
kesimpulan (Miles dan Huberman, 1994; di Nusantara pada sekitar abad ke-15 -
Moleong, 1999). 16, ketika pedagang-pedagang dari luar
Mengingat gejala transformasi membawa benang sutera.
penenun Bugis-Wajo memasuki era Menelusuri jejak sejarah
modern adalah gejala yang pertenunan Wajo, maka Tosora
mengandung dimensi struktural merupakan ruang yang tidak dapat
(sosiologis) dan prosesual (historis) diabaikan. Diyakini oleh orang Wajo
sekaligus, agar kedua dimensi bisa bahwa pertenunan di Wajo
dipahami maka digunakan pendekatan sebagaimana yang ada sekarang ini
sosiologi sejarah terkait mengapa terjadi bermula dari Tosora, kemudian
sesuatu (konteks sosial kejadian) dan menyebar ke berbagai tempat di Wajo.
sejarah sosiologis terkait bagaimana Hal ini berdasarkan sejarah bahwa
terjadi sesuatu atau konteks urutan Tosora merupakan Ibukota Kerajaan
kejadian (Kartodirdjo, 1992). Proses Wajo pada masa lalu sehingga aktivitas
analisis konteks sosial terjadinya ekonomi berpusat di Tosora (Lembaran
sebuah peristiwa dan urutan kejadian Berita Sejarah Lisan. Nomor 9 Maret
peristiwa oleh Gootschalk (1985: 32) 1982).
disebut sebagai proses menguji dan Kegiatan menenun sebagai
menganalisa secara kritis rekaman dan produk kebudayaan pada masa awal
peninggalan masa lampau. kemunculannya diperuntukkan bagi
kepentingan upacara adat dan kerajaan,
karena itu adalah rasional jika dikatakan

 65
Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014 

Tosora merupakan pusat pertenunan yang berjarak sekitar ±10 KM dari


pertama di Wajo. Fenomena tersebut Sengkang (Ibukota Kabupaten Wajo)
sejalan temuan Maxwell (2003) bahwa Kegiatan menenun pada abad ke-
kain tenun Asia adalah salah satu 14 dan ke-15 bermula dengan teknik
bentuk seni yang paling kuat dan tenun pakan dan lungsi. Sitem menenun
menarik. Kain tenun memainkan peran ikat pakan masuk ke Indonesia
penting dalam kehidupan praktis bersamaan ketika mulai dikenal benang
upacara adat dan agama dari rakyat sutera dalam kegiatan perdagangan
Asia selama berabad-abad. Tenun se- sekitar abad ke-15 dan ke-16. Benang
bagai kegiatan ekonomi yang menda- sutera pada awalnya merupakan barang
tangkan keuntungan baru muncul yang diimpor dari Cina, India dan Siam.
kemudian ketika permintaan pasar akan Dalam kontak dagang inilah benang
produk kain tenun mulai masuk ke Wa- dan kain sutera mulai dikenal di
jo. Gejala tersebut mirip temuan Sulawesi Selatan termasuk di
Yukimatsu et.al, (2008) pada kain tenun Kabupaten Wajo. Sejalan dengan itu,
Thai-Lao Matmii di Thailand dan kain suku Bugis juga senantiasa terlibat
tenun Tumugi Kasuri di Jepang. dalam pengembaraan nilai budaya
Masyarakat di kedua negara tersebut dengan menjadi pelaut-pelaut ulung.
awalnya memproduksi kain tenun un- Masyarakat Bugis menyerap budaya
tuk keperluan upacara adat sedangkan dari luar dan selanjutnya dikembangkan
aspek ekonomi muncul kemudian keti- pada masyarakat Bugis.
ka kain semakin diminati oleh masyara- Faktor lain menunjang meluasnya
kat luas. penggunaan tenun oleh masyarakat
Sengkang yang juga bagian Bugis-Wajo adalah jatuhnya Malaka ke
penting dalam pembahasan ini adalah tangan Portugis tahun 1511 karena sejak
Ibukota Kabupaten Wajo sekarang ini. itu Makassar mulai berperan penting
Dalam sejarah Kerajaan Wajo, setelah sebagai bandar transit di kawasan
penghancuran Tosora oleh pasukan Indonesia Timur yang ramai dikunjungi
Kerajaan Bone, kemudian Ibukota bangsa-bangsa lain. Sumber lain,
Kerajaan Wajo dipindahkan ke mengatakan bahwa benang sutera
Sengkang (Lembaran Berita Sejarah impor dibawa masuk ke Indonesia oleh
Lisan. Nomor 11 Maret 1985). Oleh pedagang Islam yang berasal dari India
karena itu, menelaah Tosora dan dan Arab, melalui Sumatra, Jawa, serta
Sengkang dalam konteks penelitian ini daerah-daerah pantai yang ramai
penting dalam rangka memahami dikunjungi oleh pedagang dari luar
perkembangan pertenunan Wajo. negeri. Sejak masa inilah diperkirakan
Perpindahan Ibukota Kerajaan Wajo di benang sutera sudah meluas digunakan
masa lalu diikuti dengan perpindahan dalam kegiatan tenun di Sulawesi
pusat kegiatan ekonomi, termasuk Selatan (Kahdar: 2009).
pertenunan. Kota Sengkang kemudian Kegiatan monopoli perdagangan
berkembang kegiatan pertenunan dan kain di Sulawesi Selatan terjadi ketika
menjadi pusat usaha industri/ diadakannya penjanjian Bongaya pada
perdagangan sutera sampai sekarang tanggal 18 November 1667 antara pihak
ini. Sementara di Tosora masih Kerajaan Gowa-Makassar dan pihak
mempertahankan tradisi tenun ge- Belanda. Salah satu butir isi perjanjian
dogan. Pengembangan kegiatan per- Bongaya tersebut disebutkan bahwa se-
suteraan di Wajo saat ini berpusat di luruh orang Portugis dan Inggris harus
Desa Pakkanna Kecematan Tanasitolo diusir dari wilayah Makassar dan tidak

66
  Transformasi Penenun Bugis-Wajo … —Muhammad Syukur, dkk.  

boleh bertempat tinggal di sini atau memperlihatkan perspektif istana


melakukan perdagangan. Tidak ada kerajaan Wajo yang menggunakan
orang Eropa (kecuali Belanda) yang sarung adat yang terbuat dari sutera
boleh masuk berdagang di Makassar. dan berwarna-warni. Keberadaan kain
Orang India atau Moor (muslim India), sutera pada awalnya diperuntukkan
Jawa, Melayu, Aceh, Siam, tidak boleh ornamen istana dan keluarga kerajaan.
memasarkan kain dan barang-barang Pada abad ke-15 sampai abad ke-
dari Koromandel, Persia, dan Bengal, 17 tekstil impor masuk ke Indonesia
atau barang-barang dari Cina, karena dari India dan Cina, namun terdapat
hanya kompeni yang boleh juga perdagangan tekstil yang
melakukannya. Rakyat Makassar dan diproduks i di Nusa ntara sendiri,
Bugis tidak boleh berlayar, kecuali ke terutama di Sulawesi Selatan (Ricklefs,
Bali, Pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, 1981). Kontak dagang antara Cina dan
Palembang, Johor, dan Kalimantan dan kerajaan Wajo terutama dalam abad ke
harus meminta izin dari komandan Bel- 17-18 Masehi. Fenomena tersebut dibuk-
anda di Makassar (Andaya, 2004: 387- tikan dengan adanya sebuah makam
388). Masa ini merupakan masa suram saudagar Cina di daerah Wajo. Makam
dalam kegiatan perdagangan kain tenun terbsebut memunculkan penafsiran
Bugis ke berbagai wilayah di Nusantara, bahwa hubungan dagang dengan Cina
karena adanya pembatasan kegiatan di masa lampau telah tercipta, sehingga
pelayaran yang ditetapkan dalam per- sebagian penduduk Wajo meyakini
janjian Bongaya tersebut. bahwa keterampilan bertenun banyak
Monopoli perdagangan kain yang dipengaruhi oleh kebudayaan Cina
sebelumnya diimpor perlahan mengala- terutama dalam hal penggunaan benang
mi penurunan pada tahun 1780. sutera sebagai bahan baku pembuatan-
Perdagangan ini digantikan oleh peda- nya.
gang Indonesia, termasuk pedagang Sejak tahun 1905 daerah Wajo
Bugis yang memperdagangkan kain menjadi daerah kekuasaan langsung
tenun dari daerah Bugis dan sekitarnya Belanda. Memasuki periode pemerinta-
dengan corak kain kotak-kotak Bugis. han kolonial Hindia Belanda, tradisi
Para pedagang ini tidak mudah diatur bertenun pernah mendapat perhatian
oleh Belanda karena kecepatan armada dari pemerintah. Pada tahun 1920-an,
kapal dan persenjataan yang dimiliki, kegiatan menenun di Wajo mengalami
mereka mampu menghindari kejaran kemajuan seiring dengan peningkatan
dari kapal Belanda sehingga pedagang aktivitas ekonomi dan perdagangan.
Bugis mampu memenuhi sebagian Tahun 1920-an industri tenun
keperluan kain masyarakat di kepu- tradisional telah berkembang di daerah
lauan nusantara. Menurut Laarchoven Sulawesi Selatan. Pejabat pemerintah
bahwa hal inilah yang membuat mo- kolonial dari bagian tekstil dari
nopoli Belanda terputus atas kain impor Departemen Pertanian, Tenaga Kerja,
(Kahdar: 2009). dan Perdagangan, mengadakan
Menurut catatan Conte tahun 1540 perjalanan dinas ke Sengkang dan
-an bahwa sumber penting dari kain Parepare. Kunjungan ini adalah tindak
sutera adalah Sulawesi Selatan, khu- lanjut dari kunjungan dua tahun
susnya Bugis-Wajo. Pengolahan sutera sebelumnya oleh Dalenoord diikuti oleh
ini melahirkan sarung Bugis yang Burliegh ke Sengkang dan Parepare
berwarna-warni (Reid, 2011: 106). Apa sebagai pejabat yang diutus untuk
yang dicatat oleh Conte nampaknya mengembangan industri tekstil (Nieuwe

 67
Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014 

Rotterdamse Courant, tanggal 5 Setelah pemerintahan Hindia


November 1929). Kunjungan Belanda berakhir dan digantikan oleh
peme rinta h ini be rmaksud untuk pemerintahan Jepang, industri tenun
memajukan industri tekstil pribumi, tradisional Wajo mengalami penurunan
baik dari segi metode kerja, bahan- drastis karena kelangkaan bahan baku.
bahan mentahnya dan memperkenalkan Sebagian besar penenun menghentikan
alat tenun semi-modern kepada aktivitasnya untuk sementara waktu
penduduk yang masih menggunakan sehingga terjadi krisis pakaian pada
alat tenun tradisional. Kegiatan periode pemerintahan Jepang. Untuk
bertenun di Wajo tidak dikembangkan mengatasi krisis pakaian tersebut, para
lebih jauh oleh pemerintah kolonial Bel- menenun menggunakan serat pisang
anda karena kelangkaan tenaga kerja. untuk ditenun menjadi kain. Salah
Pemerintah lebih memilih mengem- seorang pengusaha sutera di Sengkang
bangkan pertenunan di wilayah Maja- menuturkan bahwa usaha keluarganya
laya - Jawa Barat dan Balige - Sumatera mengalami kehancuran pada periode
Utara (Oki, 1977). pemerintahan Jepang sehingga orang
Palmer dan Castles (Sitorus, 1999) tuanya menggunakan serat pisang, dan
mengemukakan bahwa, sejak tahun beberapa kali mengambil kaus kaki para
1929 sampai awal 1930-an, terjadi tentara Jepang yang rusak dan dibuang,
depresi besar perekonomian dunia telah la lu mem i ntaln ya kemba l i un tuk
memukul sektor pertanian/perkebunan dijadikan pakaian.
di Hindia Belanda sehingga tenaga kerja Masa pendudukan Jepang (1942 –
di sektor itu terpaksa harus diciutkan 1945) dan masa revolusi (1945 – 1950),
dan sebagai akibatnya tingkat kegiatan tenun di Wajo mengalami ma-
pengangguran melonjak drastis. sa sulit. Masa perang Dunia II dan
Dampak langsung kesulitan ekonomi perang revolusi kemerdekaan waktu itu
tersebut adalah kemerosotan tingkat menyebabkan terganggunya lalu lintas
pendapatan sehingga penduduk perdagangan antara Asia (termasuk In-
mengalami kesulitan memenuhi donesia) dan Eropa serta Amerika Seri-
kebutuhan pokoknya. Sebagai jalan kat. Kondisi ini menyebabkan pasokan
keluar, maka pemerintah kolonial benang sutera sebagai bahan baku pem-
kemudian mendorong perkembangan buatan kain tenun menjadi terganggu.
industri tenun lokal skala kecil. Terjadi kelangkaan benang sutera di
Dorongan tersebut diwujudkan dalam pasar sehingga penenun di Wajo banyak
bentuk peraturan yang menciptakan yang menghentikan usahanya. Pada
iklim kondusif bagi perkembangan masa pemerintahan Jepang, Wajo juga
industri tenun sekaligus disertai dengan mengalami penguasaan yang sama
penyebarluasan teknologi Alat Tenun dengan daerah-daerah lainnya di Indo-
Bukan Mesin (ATBM). Menurut Sitorus nesia.
(1999) tahun 1930 merupakan tonggak Pada periode pendudukan Jepang
awal terjadinya ledakan industri tenun kegiatan ekonomi diarahkan untuk
dan sekaligus revolusi teknologi tenun kepentingan perang, maka seluruh
dari alat tenun gedogan ke Alat Tenun potensi sumber daya alam digunakan
B u ka n Me s in ( A T BM ) . Ke b i ja ka n untuk mendukung kegiatan perang.
pemerintah kolonial Belanda ini tidak Jepang memprioritaskan pada ekonomi
memberikan dampak bagi penenun di pertanian padi. Pertanian padi menjadi
Wajo, karena kebijakan tersebut diara- amat penting bagi Jepang, karena
hkan ke wilayah Sumatera dan Jawa. persediaan beras bagi tentara militernya

68
  Transformasi Penenun Bugis-Wajo … —Muhammad Syukur, dkk.  

mengalami kekuarangan akibat perang Transformasi Penenun Bugis-Wajo


dengan sekutu. Untuk menanggulangi Masa Kemerdekaan – Sekarang
kekurangan beras, maka Jepang mulai
mengambil kebijakan untuk menggenjot Setelah Indonesia mencapai
produksi padi. Kebijakan tersebut kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
mengganggu penyediaan benang untuk negara yang baru lahir itu pun
kegiatan pertenunan. Petani murbey mengalami masa kekacauan yang baru.
dan ulat sutera yang bergerak dalam Masa ini ditandai dengan krisis politik
bidang penyediaan bahan baku tidak dan ekonomi yang tidak menentu.
dapat memenuhi permintaan benang. Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lahan yang biasa digunakan untuk me- sudah terbentuk dihadapkan pada krisis
nanam murbey diganti tanaman padi. politik yang ditandai dengan beberapa
Sementara tanaman kapas yang pemberontakan daerah seperti DI/TII di
dikembangkan di Selayar harus diganti Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan,
dengan tanaman jarak dan padi. pemberontakan PRRI/Permesta di Su-
Pemerintah Jepang kemudian matera dan Sulawesi. Kondisi ini me-
menyadari pentingnya pakaian yang nyebabkan kegiatan menenun di Wajo
langkah di pasaran sehingga me- mengalami kelesuan, karena terpu-
merintahkan masyarakat untuk me- tusnya hubungan dengan berbagai wila-
nanam kembali kapas. Jepang berusaha yah. Pasokan bahan baku menjadi ter-
mengembangkan produksi kapas lokal ganggu, demikian pula pemasaran kain
untuk menunjang kegiatan pertenunan, tenun.
namun usaha tersebut tidak berjalan Setelah Konferensi Meja Bundar
dengan baik karena kebutuhan beras (KMB) dan Indonesia kembali ke bentuk
jauh lebih diprioritaskan. Pengem- negara kesatuan pada tahun 1950, mun-
bangan tanaman kapas di Wilayah Sula- cul ruang baru bagi penenun Wajo.
wesi Selatan dilaksanakan di Kabupaten Hubungan ekonomi dengan Jawa
Selayar dan Tanah Toraja. Hasil kembali terjalin. Pada periode ini
produksi tanaman kapas dari kedua penenun Wajo mulai mengadopsi
daerah tersebut berupa benang kapas teknologi Alat Tenun Bukan Mesin
banyak dipasarkan di daerah Wajo un- (ATBM) dari Jawa. Industri tekstil Wajo
tuk kalangan penenun. Menjelang akhir kembali memperlihatkan gairahnya.
masa pendudukan Jepang, penduduk Teknologi baru adalah upaya menjawab
Sulawesi Selatan termasuk di Wajo kebutuhan pakaian di wilayah
mencoba mengatasi krisis bahan baku Indonesia Timur, terutama, Sulawesi
dengan menanam kapas di halaman Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku
rumah. Gejala ini bukanlah fenomena dan Kalimantan yang merupakan pasar
baru, sebab penenun di Sulawersi bagi penenun Wajo sejak periode
Selatan sebelumnya sudah mampu kolonial.
memproses kapas menjadi benang Setelah ATBM mulai digunakan di
terutama di daerah sekitar Selayar dan Wajo dan gairah pertenunan
Tanah Toraja. Pengetahuan tersebut menemukan momentum untuk bangkit,
kemudian diadopsi oleh orang Wajo justru keadaan tersebut tidak bertahan
ketika mereka menghadapi kesulitan lama karena situasi keamanan regional
terutama pada masa krisis politik dan di Sulawesi Selatan terguncang oleh
krisis bahan baku. gerakan DI/TII dan Permesta sehingga
sektor pemasaran mengalami kendala.
Pemasaran produk tenun mengalami

 69
Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014 

hambatan ketika pecah gerakan DI/TII masyarakat penenun menurun karena


tahun 1952 dan PRRI/Permesta pada kurangnya produksi yang mereka
tahun 1957, produksi terpaksa hasilkan.
m e lam bat bah kan seba gian besa r Memasuki tahun 1997 ketika
berhenti selama dua tahun. Ketika terjadi krisis ekonomi yang
pecah pemberontakan, aktivitas menghantam Asia Tenggara merupakan
ekonomi rakyat nyaris lumpuh, petani puncak krisis yang dihadapi para
tidak dapat bercocok tanam karena penenun di Wajo. Kegiatan menenun di
mereka harus mengungsi ke tempat Wajo pada masa ini nyaris lumpuh total
yang aman. Penenun dan keluarganya karena kehilangan bahan baku. Pada
banyak yang melakukan migrasi. masa lalu ketika terjadi kelangkaan
Sebagian penenun yang bermigrasi bahan baku di pasaran, para penenun
memilih menetap di Makassar dan masih bisa berharap dari benang lokal
menjadi pedagang kain. Pasar-pasar yang diproduksi petani di Wajo dan
yang ada di Makassar seperti; Pasar sekitarnya. Akan tetapi setelah krisis
Sentral, Butung, dan Pasar Terong ekonomi 1997 kelangkaan bahan baku
menjadi tempat orang-orang Wajo tidak dapat diatasi. Ketika terjadi krisis
menjual bahan pakaian. Sebagian mig- ekonomi tahun 1998, industri
ran dari Wajo menuju ke daerah seperti pertenunan mengalami kemandekan.
Donggala dan Samarinda. Ditemukan Sebagian besar usaha pertenunan tutup
teknik tenun di kedua daerah tersebut karena kelangkaan bahan baku dan
menggunakan teknik orang Wajo dan melambungnya kebutuhan pokok.
beberapa jenis corak kain yang Upaya menutupi kelangkaan bahan
dihasilkan mirip dengan corak yang baku, maka pemerintah
dihasilkan orang Wajo (Idris, dkk, 2009). mengembangkan perkebunan murbey
Penenun Wajo kembali di Kabupaten Enrekang, Soppeng,
mengalami kendala tahun 1980-an Sidarap dan Wajo yang merupakan
ketika terjadi kelangkaan bahan baku, sentra produksi bahan baku. Akan
sementara pemerintah pusat lebih tetapi upaya yang dilakukan
memprioritaskan industri tekstil yang pemerintah belum menjawab persoalan
berkala besar. Para penenun tradisional kelangkaan bahan baku yang dihadapi
dan pengusaha sutera kehilangan bahan penenun. Meskipun sulit, kegiatan
baku di pasaran. Perkembangan bidang menenun di Wajo tidak pernah punah.
pertanian bernilai ekspor Para penenun bertekad melanggengkan
mengakibatkan para petani murbey warisan leluhur mereka. Beberapa
mulai beralih ke tanaman bernilai penenun memilih merantau untuk
ekspor seperti kakao sehingga bahan mencari pekerjaan ditempat lain seperti
baku sutera menjadi langka. Sementara yang dialami Ridwan. Pak Ridwan me-
untuk mengimpor bahan baku, para rantau ke Sulawesi Tenggara dan mem-
penenun harus mengeluarkan biaya buka perkebunan kakao. Namun karena
lebih besar sehingga produksi semakin usaha kebunnya gagal dan setelah
menurun. Kebijakan pemerintah yang keadaan membaik barulah kemudian ia
mementingkan impor bahan baku kembali menggeluti kegiatan tenun.
benang pada tahun 1980-an menjadikan Rantau menjadi salah satu alternatif dari
sektor pertenunan di Wajo kehilangan krisis ekonomi tahun 1997 kendatipun
bahan baku. Benang impor tak terbeli sebagian besar dari mereka pada
oleh penenun karena harganya akhirnya kembali ke kampung halaman
melambung tinggi. Di sisi lain daya beli bertenun.

70
  Transformasi Penenun Bugis-Wajo … —Muhammad Syukur, dkk.  

Pengalaman berbeda dialami oleh produksi telur untuk sutera sampai


Kurnia Syam ketika terjadi krisis kokon pintal dan kokon akhir. Para
ekonomi. Sebagai pengusaha sutera pelaku industri hulu ini adalah para
yang diwariskan keluarga secara turun petani sutera, perusahaan swasta,
temurun, Kurnia Syam merespon krisis pemerintah melalui Perhutani.
ekonomi dengan melakukan Kemudian industri hilir meliputi
penghematan. Untuk menemukan celah kegiatan pertenunan dan industri
dari krisis ekonomi, Kurnia Syam kerajinan sutera. Namun disayangkan
mendatangkan pekerja dari Jawa untuk karena organisasi SIC ini tidak melibat-
menciptakan tenun batik. Konteks ini kan penenun tradisional (gedogan).
memperlihatkan terjadinya diversifikasi Upaya pengembangan
produk dari sarung sutera menjadi kain persuteraan alam di daerah ini,
sutera batik untuk bahan pakaian, tas, khususnya dalam memberikan bantuan
dan lain sebagainya. Demikian pula dan bimbingan teknis pada masyarakat,
beragam variasi motif bermunculan pemerintah pusat melalui Surat
untuk menarik selera pasar. Pengelolaan Keputusan Meteri Kehutanan No. 097/
organisasi usaha ke arah yang lebih Kpts-II/1984 tgl 12 Mei 1984
profesional (masih melibatkan membentuk Balai Persuteraan Alam.
manajamen keluarga) namun telah Penanganan pembinaan persuteraan
menetapkan standar kerja yang alam pada masyarakat di Sulawesi
profesional. Selatan, sudah sejak lama dilakukan
Persaingan yang tidak sehat di oleh pemerintah Indonesia. Hal ini
antara pengusaha sutera sering terlihat dengan didirikannya Stasiun
mengakibatkan terjadinya Persuteraan Alam (SPA) pada tahun
ketidakstabilan harga sehingga memicu 1970, di Tajuncu Kabupaten Soppeng
hubungan yang kurang harmonis di sebagai pusat pengembangan sutera
antara pengusaha sutera. Muncul upaya pada waktu itu. Pada tahap selanjutnya
monopoli bahan baku dan produk untuk lebih mendukung pengembangan
tenun dari pengusaha yang lebih besar persuteraan alam di Sulawesi Selatan,
sehingga beberapa pengusaha kecil dibentuk Proyek Pembinaan
harus jatuh bangun mempertahankan Persuteraan Sulawesi Selatan. Pada
usahanya. Para spekulan membuat tahun 1978 Pemerintah Indonesia
harga produk ten un tidak stabil. melakukan kerjasama teknis dibidang
Kondisi ini diperparah ketika persuteraan alam dengan Pemerintah
pemerintah daerah tidak melakukan Jepang. Proyek kerjasama ini berakhir
kontrol terhadap harga sutera. Untuk pada tahun 1985. Keberadaan proyek
mengatasi persoalan tersebut, maka tersebut merupakan cikal bakal dari
dibentuklah asosiasi sutera di Sulawesi pembentukan Balai Persuteraan Alam.
Selatan yang bernama SIC (Silk Solution Tahun 1984 melalui Surat Keputusan
Centre). Asosiasi ini diharapkan dapat Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-
menjembatani berbagai kepentingan, II/1984 tanggal 12 Mei 1984 dibentuklah
mengatur etika pemasaran kain tenun Balai Persuteraan Alam (BPA) Sulawesi
dan meningkatkan segala aspek yang Selatan.
berkaitan dengan persuteraan. Salah Pada tahun 1976, masyarakat Sula-
satu sasaran dari asosiasi persuteraan wesi Selatan melalui proyek BANPRES
adalah mengembangkan usaha (Bantuan Presiden) mendapatkan 4 me-
persuteraan dari hulu ke hilir. Industri sin pemintalan semi otomatis yang
hulu meliputi kegiatan mulai dari ditempatkan di Kabupaten Soppeng,

 71
Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014 

Wajo, Sidrap dan Enrekang. Mulai ta- masyarakat setempat sudah mulai
hun 1975 - 1984, pemerintah Indonesia mengenal tenun dengan lebih baik se-
melakukan kerjasama dengan Jepang hingga garis-garis horizontal dan
melalui proyek ATA-72 mengem- vertikal dipadukan menjadi corak kotak
bangkan proyek persuteraan alam di -kotak, pada masa ini lippa sudah ban-
Sulawesi Selatan. Sekarang ini produksi yak mengalami perubahan yang cukup
kokon dan benang sutera Sulawesi Se- signifikan, baik pada corak maupun ba-
latan mengalami pasang surut tapi han baku. Corak berkembang dengan
masih yang tertinggi di Indonesia. dikenalnya benang emas dan perak
Berbagai kebijakan pemerintah tersebut hasil perniagaan yang dilakukan oleh
berkontribusi terhadap kelangsungan masyarakat setempat.
penenun di Wajo. Sumber inspirasi penciptaan corak
kain tenun pada Kotak-kotak (1600-
1900) bersumber dari dalam masyarakat
Transformasi Corak Kain Tenun dan pengaruh luar. Sumber inspriasi
yang berasal dari dalam masyarakat yai-
Babak Pertama, dikategorikan co- tu adanya kepercayaan masyarakat
rak tidak bergambar (perkiraan tahun Bugis-Wajo pada “sulapa eppa” (segi em-
1400-1600), pada kurun waktu ini pat) sebagai sumber penghidupan yaitu;
masyarakat baru mengembangkan api, air, udara dan tanah. Bagi masyara-
tenunan dengan corak berupa garis- kat Bugis, kehidupan bisa dijalani jika
garis, baik vertikal (mattetong) maupun tersedia keempat unsur kehidupan yaitu
horizontal (makkalu) berkeliling bahkan api, air, udara dan tanah. Kepercayaan
masih banyak yang tidak bergambar/ ini mengilhami terciptanya corak kotak-
polos. Bahan baku yang digunakan ada- kotak sebagai pakaian tradisional
lah serat katun dengan menggunakan masyarakat Bugis. Pengaruh dari luar
alat tenun walida (gedokan). Menurut yang juga mengilhami penciptaan corak
kepercayaan masyarakat Bugis-Wajo kotak-kotak dengan aksen benang emas
bahwa kehidupan manusia senantiasa dan perak berasal dari pengaruh ke-
melibatkan hubungan antara manusia budayaan India dan Cina. Kontak da-
penciptanya dan hubungan antar sesa- gang antara pelaut-pelaut Bugis dengan
ma manusia (Fitria, 2011). Berdasarkan para pedagang yang berasal dari India
kepercayaan masyarakat Bugis-Wajo dan Cina yang membawa benang emas
t e rse b u t , m a ka c o ra k k a i n te n un dan perak, benang sutera, dan jenis kain
dihasilkan melambangkan adanya hu- pelekat membuat penenun Bugis mulai
bungan antara manusia dengan Tuhan mengadopsi penggunaan benang emas
(corak mattettong/vertikal) sedangkan dan perak serta penggunaan benang
corak makkalu atau horisontal me- sutera dalam kegiatan pertenunan.
lambangkan hubungan antar manusia. Sekitar tahun 1785, Forrest (Pelras,
Konsepsi manusia Bugis-Wajo akan ke- 2006; Kahdar: 2009; Andaya, 2004)
hidupan yang baik dimana harus ter- mengemukakan bahwa penduduk
jalin hubungan manusia dan Tuhan, dan Sulawesi sangat terampil menenun,
hubungan sesama manusia umumnya mereka menenun kain kapas
menginspirasi penenun untuk membuat bergaya kambai yang mereka jual ke
kain tenun yang bercorak vertikal dan seluruh Nusantara. Kain-kain tersebut
horisontal. bermotif kotak-kotak merah bercampur
Babak Kedua, dikenal dengan co- biru. Kain tenunan Kambai di sini
rak kotak-kotak/palekat (1600-1900) adalah sejenis kain kapas dengan motif

72
  Transformasi Penenun Bugis-Wajo … —Muhammad Syukur, dkk.  

kotak-kotak yang mula-mula diimpor meramunya, mudah luntur dan sudah


dari kota Cambay (Khambat) di pesisir mulai langka bahan bakunya sehingga
Gujarat, India Barat. (Sahriah, 1993; pewarnaan secara alami mulai
1992; Kahdar, 2009). Coraknya serupa ditinggalkan. Memudarnya penggunaan
dengan corak kain palekat, yang berasal bahan alamiah dalam proses pewarnaan
dari kota Pulicat, di pesisir Koromandel juga dipengaruh oleh maraknya
(Coromandala), India Tenggara. kegiatan perdagangan zat pewarna sin-
Tenunan sutera dari India yang tetik yang terjadi sejak pada tahun 1900
dibawah ke Indonesia khususnya di sampai pada saat ini.
Sulawesi Selatan dengan corak dan Berdasarkan corak kain tenun,
desain khusus yang disebut “patola” nampak bahwa permasalahan kain
memberikan pengaruh terhadap tenun dipengaruhi oleh masalah
perkembangan ragam hias tenun di perekonomian dan teknologi yang
Bugis, Makassar dan Toraja. Kain tenun mengakibatkan terjadinya penyesuaian
semacam ini dikenal di daerah Bugis corak. Sumber gagasan menjadi sasaran
sebagai kain tenun sarita (Sahriah, 1993: utama dalam penyesuaian corak kain
7). Bugis. Sebelum tahun 1900 sumber ga-
Babak Ketiga, yaitu babak corak gasan pada corak bersumber dari mitos
bergambar (1900 - Sekarang), berkem- atau pengalaman budaya masyarakat
bangnya teknologi alat tenun dari alat pada saat itu. Sesudah tahun 1900 sum-
tenun gedogan menjadi Alat Tenun ber gagasan berubah mengikuti perkem-
Bukan Mesin (ATBM) sampai pada Alat bangan selera pasar. Permintaan kon-
Tenun Mesin (ATM). Gejala ini membu- sumen akan jenis corak dan warna ter-
at perkembangan corak semakin dina- tentu, mempengaruhi penciptaan corak
mis. Paduan antara keterampilan yang dan warna kain tenun sejak tahun 1900
tinggi dan teknologi yang memadai sampai saat sekarang ini.
maka corakpun mulai bergambar bunga
dan binatang. Selera pasar lebih meru-
pakan pertimbangan dalam membuat Transformasi Peralatan dari Tradisio-
corak dan warna kain tenun. nal (Walida) ke Modern
Hal lain yang menarik dari kain
tenun Bugis Wajo adalah dalam hal Penenun di Kabupaten Wajo da-
pewarnaan kain. Pewarna kain tenun lam kegiatan produksinya
Bugis Wajo pada masa 1400-1900 menggunakan tiga macam alat tenun
menggunakan bahan-bahan alami non- yaitu alat tenun gedogan, Alat Tenun
kimia. Masyarakat setempat Bukan Mesin (ATBM), dan Alat tenun
menggunakan zat pewarna yang berasal Mesin (ATM). Penggunaan alat tenun
dari tumbuh-tumbuhan yaitu dari akar, gedogan oleh masyarakat setempat di-
batang pohon, kulit kayu, dan buah- mulai sejak abad ke-13 atau sejak ada-
buahan. Warnah merah dari daun jati nya kerajaan Wajo sampai pada saat ini.
dan daun pacar, warna kuning dari Alat tenun gedogan adalah alat tenun
kunyit, warna hijau dari daun pandan, tradisional yang semua peralatannya
pohon mahoni untuk warna cokelat digerakkan oleh tangan atau tenaga
kemerahan, biji asam untuk warna manusia. Alat tenun ini tersebar ke
cokelat tanah, dan batang pisang yang berbagai pelosok pedesaan dan bi-
sudah membusuk untuk warna cokelat asanya digunakan oleh ibu-ibu rumah
tua. Namun karena warna alami tangga dan para gadis desa. Kain yang
membutuhkan waktu yang lama untuk dihasilkan dari alat tenun gedogan ini

 73
Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014 

lebih banyak dalam bentuk sarung. Amin dan Ibrahim Daeng Manrapi.
Model alat tenun gedogan yang Keduanya merupakan pedagang antar
digunakan di Wajo termasuk alat tenun pulau yang sering bolak-balik Makassar
berpenyangga belakang. Bentuknya - Surabaya. Keduanya membeli ATBM
mirip dengan alat tenun berkeliling di- di wilayah Gresik – Jawa Timur, dan
sambungkan, walau benang lungsinya membawanya ke Wajo sekaligus mem-
tidak bersambung. Model seperti itu bawa tenaga teknis dari Gresik yang
belakangan hanya ditemukan di bagian akan menjalankan ATBM dan sekaligus
tenggara Sulawesi Selatan, sepanjang mengajarkan masyarakat di Wajo
teluk Bone, dan pemukiman orang Bajo menggunakan ATBM.
di Kepulauan Sembilan. Sebelumnya, Penggunaan Alat Tenun Bukan
model tersebut juga digunakan pada Mesin (ATBM) di Kabupaten Wajo se-
berbagai lokasi di Sulawesi dan Flores. makin berkembang sejak tahun 1965
Penenun gedogan tersebar di berbagai melalui seorang tokoh perempuan yang
desa yang ada di Kabupaten Wajo. juga seorang bangsawan Bugis bernama
Hampir semua wilayah Kecamatan di Datu Hj. Muddariyah Petta Balla’sari.
Wajo kita bisa menemui adanya Beliau mendatangkan ATBM tersebut
penenun gedogan. Sampai tahun 2012 dari Thailand sekaligus mendatang
terdapat 5113 alat tenun gedongan. seseorang yang akan mengajarkan
Kegiatan pertenunan gedogan penggunaan alat tenun tersebut kepada
(walida) tersebar di semua kecamatan masyarakat di Kabupaten Wajo. Berkat
yang ada di Kabupaten Wajo dan prakarsa Datu Hj. Muddariyah Petta
umumnya memproduksi kain sarung Balla’sari (Ranreng Tua Wajo) inilah
sutera. Kegiatan tenun gedogan di sehingga memacu ketekunan dan
masyarakat tersebut umumnya dil- wawasan kreativitas masyarakat dan
akukan oleh kalangan perempuan se- pengrajin tenun gedogan yang lainnya
bagai bagian tradisi yang diwariskan untuk mengembangkan kegiatan
secara turun-temurun dan menda- pertenunan di Kabupaten Wajo dengan
tangkan keuntungan ekonomis. mengadopsi ATBM tersebut (Armayani,
Kegiatan tenun gedogan bagi masyara- dkk, 2009). Para gadis-gadis desa di-
kat Wajo merupakan katup pengaman panggil ke rumah Petta Balla’sari untuk
dalam menunjang ekonomi keluarga belajar menggunakan ATBM. Dengan
pada saat pendapatan suami sebagai semakin banyak gadis yang pintar
petani atau nelayan tidak cukup untuk menggunakan ATBM, maka semakin
memenuhi kebutuhan keluarga. tersebarlah penggunaan ATBM dalam
Pada tahun 1951, terjadi revolusi kegiatan pertenunan di masyarakat Wa-
tenun jilid pertama dalam hal jo.
penggunaan alat tenun di kalangan ATBM biasa juga disebut dengan
masyarakat Bugis pada umumnya dan alat tenun Model TIB (Textile Inricthing
masyarakat Wajo pada khsusunya. Hal Bandung), karena lembaga ini yang per-
ini ditandai dengan digunakannya Alat tama kali menciptakan alat tenun ini
Tenun Bukan Mesin (ATBM) dalam pada tahun 1912. Pada awalnya ATBM
kegiatan pertenunan di Kabapaten Wa- di Wajo hanya memproduksi kain sar-
jo. Wajo merupakan salah daerah di ung Samarinda yang berbentuk kotak-
Provinsi Sulawesi Selatan yang pertama kotak. Sejak tahun 1980-an ATBM mulai
kali menggunakan ATBM. Alat tenun memproduksi balo mattettong (corak te-
Bukan Mesin (ATBM), masuk ke Wajo gak lurus), bahkan dalam perkem-
dibawa dua orang sahabat yaitu Akil bangan selanjutnya ATBM sudah mulai

74
  Transformasi Penenun Bugis-Wajo … —Muhammad Syukur, dkk.  

memproduksi berbegai jenis kain yang ATBM walaupun belum menggunakan


lebih bervariasi seperti motif tekstur po- mesin sebagai pendukung pertenunan
los, selendang, perlengkapan pakaian, tersebut, namun sudah mulai mengarah
asesoris rumah, hotel, restauran, kantor, pada pengelolaan yang semakin cepat.
dan lain-lain. Kegiatan produksi Umumnya penenun yang menggunakan
penenun yang menggunakan ATBM ATBM mampu menghasilkan kain
dewasa ini lebih berdasarkan per- tenun 4 – 8 meter tiap hari.
mintaan pasar atau selera konsumen. Memasuki awal tahun 2004, ter-
Penenun ATBM memproduksi kain jadi revolusi tenun jilid kedua dalam
sutera maupun kain non-sutera. Gam- kegiatan pertenunan di Wajo. Hal ini
baran mengenai persebaran ditandai masuknya Alat Tenun Mesin
penggunaan ATBM, baik yang (ATM) yang dibeli salah seorang pengu-
memproduksi kain tenun sutera mau- saha tenun asal Wajo yang bernama Haji
pun non sutera di Kabupaten Wajo ter- Arifuddin dari seorang pengusaha
dapat 1914 alat tenun ATBM. tenun yang ada di Majalaya – Jawa Bar-
Kegiatan pertenenunan ATBM di at. Sejumlah besar ATM yang dibeli
Kabupaten Wajo lebih dominan berada bapak Haji Arifuddin seharga kurang
di Kecamatan Tanasitolo dengan jumlah lebih 1 milyar. Sebagian besar ATM
ATBM untuk sutera dan non-sutera yang dimiliki oleh Hj. Arifuddin terse-
sebanyak 1.012 Sekitar 75% dari jumlah but tetap dioperasikan di daerah Maja-
ATBM tersebut dimiliki oleh kalangan laya dan sebagian lainnya dibawa ke
pengusaha tenun di Wajo sedangkan Kabupaten Wajo. Gejala masuknya
sisanya dimiliki oleh penenun ATBM ATM di wilayah Wajo, mirip dengan
skala rumah tangga. Dominannya gejala masuknya ATBM, yaitu kalangan
penggunaan ATBM di Kecamatan Ta- pengusaha tenun Wajo membawa
nasitolo tidak terlepas dari banyaknya peralatan tenun sekaligus membawa
kalangan pengusaha tenun yang berasal tenaga tekhnis dari Jawa yang akan
wilayah tersebut. menjalankan alat tenun tersebut
Pada awal kehadirannya, ATBM sekaligus mengajarkan penduduk lokal
hanya digunakan untuk tenunan kain cara-cara menggunakan ATM tersebut.
biasa bukan untuk sutera sehingga para Penggunaan ketiga alat tenun ter-
penenun sutera masih menggunakan sebut tetap hidup berdampingan dalam
sistim gedogan untuk memproduksi satu kawasan, sehingga menjadi
sarung sutera Bugis. Keadaan ini menarik proses transformasi yang di-
memberi ruang kepada tenun gedogan lakukan oleh penenun, karena moderni-
masih dapat bertahan. Pada tahun 1980, sasi peralatan tenun tidak mematikan
seorang pengusaha sutera mengujicoba kegiatan tenun tradisional yang ada.
menenun sutera dengan menggunakan Gejala ini berbeda dengan yang terjadi
ATBM. Hasil uji coba ini ternyata Inggris pada masa awal revolusi indus-
berhasil sehingga sejak itu, ATBM tri di mana kegiatan pertenunan mod-
sudah dapat digunakan untuk menenun ern mematikan kegiatan pertenunan
sutera. tradisional.
Produksi sutera mengalami
peningkatan setelah penggunaan ATBM
untuk menenun sutera. Sistem tenun SIMPULAN
gedogan yang masih tradisional
menggunakan alat-alat yang sangat Keberadaan tradisi menenun di
sederhana. Sedangkan pada sistem Wajo pada masa lalu sebagai high

 75
Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014 

culture, di mana awalnya diperuntukkan Badan Pusat Statistik, 2012. Kabupaten Wajo
untuk kebutuhan sehari-hari dan kebu- Dalam Angka. Sengkang: Badan Pusat
tuhan adat mengalami perubahan Statistik Kabupaten Wajo.
Dinas Perindustrian dan UKM Kabupaten
dengan diproduksi secara massal untuk
Wajo, 2013. Data Pertenunan Gedogan
kebutuhan pasar. Sebagai aktivitas bu- dan ATBM (sutera dan non sutera tiap
daya dan ekonomi, kegiatan menenun Kecamatan). Sengkang: Dinas Perin-
di Wajo telah mengalami proses trans- dustrian dan UKM Kabupaten Wajo.
formasi yang cukup panjang sejak abad Chabot, H.Th. 1996. Kinship Status and
ke-13 sampai saat sekarang ini. Para Gender in South Celebes. Leiden:
penenun Wajo senantiasa melakukan KITLV. Prees.
inovasi produk untuk menyesuaikan Gootschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah.
perkembangan yang ada atau selera Terjemahan Nugroho Notosusanto.
pasar. Keadaan ini didukung oleh Indonesia: UI Press.
Guba, Egon G. and Yvonna S. Lincoln. 2000.
kebudayaan tenun mereka yang
Competing Paradigms in Qualitative
memiliki daya lentur menghadapi Research. in Denzin, N.K. & Yvonna.S.
berbagai periode waktu. Lincoln (eds). 2000. Handbook of
Proses transformasi corak mulai Qualitative Research. (Second Edition),
dari era corak vertikal dan horisontal Thousand Oaks: Sage Publication. Inc.
(balo mattettong dan makkalu) (tahun 1400 Fitria, Dwi. 2011. Antara Kearifan Lokal dan
-1600), corak kotak-kotak/palekat (1600- Modernitas. Jurnal Nasional. http://
1900) masyarakat setempat sudah mulai nasional.jurnas.com/halaman/8/2011-09-
mengenal tenun dengan lebih baik se- 11/181757.
Idris, Rabihatun., Hasnawi, Haris dan Surai-
hingga garis-garis horizontal), yaitu
dah, Hading. 2009. Perpaduan Tenun
babak corak bergambar (1900-sekarang), Tradisional Bugis-Malaysia (Penelusuran
yang terjadi dalam kegiatan pertenunan Tenunan Tradisional Bugis-Malaysia
di Wajo tidak serta menghilangkan co- yang Mencerminkan Hubungan Antar
rak sudah ada sebelumnya. Demikian Bangsa). Laporan Hasil Penelitian
pula dalam hal proses transformasi da- Fundamental, Makassar: LPM-UNM
lam penggunaan alat tenun yaitu mulai (Tidak Dipublikasikan).
digunakannya alat tenun gedogan pada Kahdar, Kahfiati. 2009. Adaptasi Estetik Pada
abad ke-13, penggunaan ATBM pada Corak Lippa Bugis. Bandung: PPS -
Institut Teknologi Bandung. Disertasi
awal tahun 1950, serta penggunaan
(Tidak Dipublikasikan).
ATM pada tahun awal tahun 2004. Kartiwa, Suwandi. 2007. Ragam Kain
Tradisional Indonesia: Tenun Ikat,
Jakarta, PT. Gramedia.
DAFTAR PUSTAKA Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu
Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Gramedia Pustaka Utama.
Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Lewis, Oscar. 1988. Kisah Lima Keluarga:
ke-17. Makassar: Ininnawa. Telaah-Telaah Kasus Orang Meksiko da-
Arsip Nasional Republik Indonesia., 1982. lam Kebudayaan Kemiskinan. Jakarta:
Lembaran Berita Sejarah Lisan. Nomor 9 Yayasan Obor Indonesia.
Maret 1982. Maxwell, Robyn. 2003. Textiles of Southeast
Arsip Nasional Republik Indonesia., 1985. Asia. Revised Edition, Australia:
Lembaran Berita Sejarah Lisan. Nomor Oxford University Press.
11 Maret 1985. Miles, B. Mattew dan A. Michael Haberman,
Armayani., Nuryamin., Mahaliha A. Gele., 1994. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
dan Ridwan A. Pamelleri. 2008. Profil UI Press.
Persuteraan di Kabupaten Wajo. Moleong, Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian
Sengkang: Pemda Wajo. Kualitatif. Bandung: Remaja
76
  Transformasi Penenun Bugis-Wajo … —Muhammad Syukur, dkk.  

Rosdakarya. Bagian Proyek Pembinaan


Nawawi, Muhammad dan SP. Gustami, Permeseuman Sulawesi Selatan
2002. Seni Kerajinan Tenun Sutera bekerjasama dengan Proyek
Tradisional Bugis Wajo Sulawesi Selatan Pembinaan Permeseuman Sulawesi
Antara Tantangan dan Harapan. Jurnal Tenggara.
Sosiohumanika (15) 1: 1-14, Januari _____,.1992. Tenunan Nusantara. Ujung
2002. Yogyakarta: Fakultas Sastra – Pandang: Bagian Proyek Pembinaan
UGM. Permeseuman Sulawesi Selatan.
New Rotterdam Courant, tanggal 5 Oktober Sitorus, M.T. Felix. 1999. Pembentukan
1929. Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha
Oki, Akira. 1977. Social Change in West Tenun dalam Masyarakat Batak Toba.
Sumatran Village: 1908-1945. Ph.D. Diser tasi pada SPS-IPB. Bogor :
Thesis. Canberra: Australian National Institut Pertanian Bogor (Tidak
University. Dipublikasikan).
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Yukimatsu, Keiko. Chantachon, Songkoon,.
Terjemahan Abdurrahman Abu dkk. Pothisane, Souneth., Kobsiripha,
”The Bugis. Indonesia: Nalar. Wissanu. 2008. The Added Values of
Reid, Anthony. 1974. Indonesian National Local Silk Textile: Thai-Lao Matmii and
Revolution. Hawthorn, Australia: Japanese Tumugi Kasuri. SOJOURN:
Longmans. Journal of Social Issues in Southeast
Ricklefs., M.C. 1981. A Histrory of Modern Asia. Volume 23, Number 2, October
Indonesia. Bloomington: Indiana Uni- 2008, pp. 234-251.
versity Press.
Sahriah, M. 1993. Tenunan Khas Sulawesi
Selatan dan Tenggara. Ujung Pandang:

 77

Anda mungkin juga menyukai