Keywords: ABSTRAK
Transit; Penelitian ini bertujuan untuk membahas proses
Transisi; perubahan sosial yang terjadi pada lipa’ sabbe (sarung
Lipa’ Sabbe; sutera) yang merupakan warisan budaya masyarakat
Bugis; Bugis di Kabupaten Wajo yang memiliki nilai, makna,
Perubahan.
dan fungsi tertentu. Paradigma dari penelitian ini
menggunakan konsep dari Maruska Svasek yaitu proses
transit dan transisi. Proses transit ialah pergeseran
Corespondensi Author melalui ruang dan waktu yang melewati batas geografi
1
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, (lokasi) atau batas sosial, sedangkan proses transisi
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
adalah pergeseran terkait makna, nilai, dan status suatu
Jl. Ki Mangun Sarkoro Yogyakarta
Email: andi.fauziyah.h@mail.ugm.ac.id
objek. Metode yang digunakan adalah metode penelitian
2
Program Studi Kajian Budaya dan Media, etnografi yang mendeskripsikan suatu kebudayaan dari
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada sudut pandang penduduk asli. Hasil dari penelitian ini
Jl. Teknika Utara, Yogyakarta menunjukkan bahwa lipa’ sabbe mengalami proses
Email: kristologie@gmail.com transit terkait perpindahan lokasi yaitu dari Tosora ke
3
Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT), Sengkang dan pergeseran sosial yang awalnya hanya
Universitas Gadjah Mada digunakan oleh bangsawan hingga saat ini dapat
Jl. Teknika Utara, Yogyakarta digunakan secara umum, sehingga lipa’ sabbe turut
Email: vissia_ita@yahoo.com mengalami proses transisi yaitu pergesran nilai, fungsi,
dan makna, baik makna sarung, makna motif, cara
penggunaan, dan aspek lainnya.
History Artikel
Received: tgl-bln-thn; ABSTRACT
Reviewed: tgl-bln-thn
Revised: tgl-bln-thn This study aims to describe the process of social change
Accepted: tgl-bln-thn that occurs in the lipa' sabbe (silk sarong) which is a
Published: tgl-bln-th cultural heritage of the Bugis community in Wajo
Regency which has certain values, meanings and
functions. This research paradigm uses Maruska
Svasek's concept of transit and transition processes. The
transit process is movement through space and time that
crosses geographical or social boundaries, while the
transition process is a shift related to the meaning,
value, and status of an object. The method used is an
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
2
jurnal yang ditulis oleh Sulvinajayanti (2015) mendeskripsikan suatu kebudayaan yang
mengenai pesan komunikasi pada motif lipa’ bertujuan untuk memahami suatu pandangan
sabbe. hidup dari sudut pandang atau perspektif dari
penduduk asli atau pemilik kebudayaan tersebut.
Perubahan yang terjadi pada lipa’ sabbe di
Kabupaten Wajo akan ditinjau lebih dalam Melalui metode ini, lipa’ sabbe akan dikaji
dengan mewacanakan konsep perubahan sosial secara terbuka, jelas, dan terstruktur. Peneliti
dari Maruška Svašek yaitu perubahan atau sebagai etnografer akan turun langsung ke
pergeseran yang terjadi pada suatu artefak atau lapangan untuk mengobservasi dan menjadi
objek melalui ruang dan waktu melewati batas partisipan dalam kehidupan masyarakat yang
geografi atau batas sosial disebut dengan transit, akan diteliti untuk mengumpulkan data empiris
serta pergeseran terkait makna, nilai, dan fungsi sebanyak-banyaknya, baik data primer maupun
akibat dari transit yang disebut dengan transisi. sekunder.
Peneletian ini sebagai salah satu upaya penulis Posisi peneliti adalah sebagai insider atau
untuk membantu melestarikan dan mengenalkan pemilik dari kebudayaan lipa’ sabbe itu sendiri,
nilai-nilai kebudayaan serta tradisi warisan dari sehingga data perimer dari penelitian ini
masyarakat Bugis kepada masyarakat luas, serta berdasarkan pada pengalaman serta pengetahuan
diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam peneliti yang didapatkan dari lapangan melalui
pengembangan ilmu pengetahuan seni rupa pengamatan dan interaksi langsung dengan
khususnya mengenai lipa’ sabbe. masyarakat yang berhubungan dengan lipa’
sabbe seperti penenun, peternak ulat, pengusaha,
METODE pengguna, budayawan, dan anggota pemerintah
sebagai narasumber.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah
antropologi seni dengan menggunakan konsep Lokasi dari penelitian ini dilakukan di wilayah
perubahan sosial yang dikembangkan oleh Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan di antaranya
Maruška Svašek dalam buku “Anthropology, Kecamatan Tempe, Sabbangparu, dan
Art, and Cultural Production” yang melihat Majauleng yang merupakan pusat-pusat wilayah
bagaimana cara pergerakan benda dan orang daerah pembuatan lipa’ sabbe mulai dari
saling berinteraksi satu sama lain. peternak ulat, penenun, hingga pengusaha yang
memasarkan produk lipa’ sabbe.
Svašek menggambarkan “transit records the
location or movement of objects over time and Data sekunder sebagai data awal diperoleh dari
across social or geographics boundaries” berbagai sumber lain, seperti buku, jurnal,
(Svašek, 2007:4), proses transit mencatat lokasi artikel, tesis, skripsi, disertasi, media cetak, arsip
atau pergerakan objek dari waktu ke waktu dan daerah, makalah seminar, data internet, karya
melintasi batas sosial atau geografi, sedangkan ilmiah, dan dokumentasi dari tulisan, gambar,
konsep transisi dijelaskan “…analyses how the atau suatu karya yang terkait dengan penelitian
meaning, value, and status of those objects, as lipa’ sabbe mengenai transit dan transisi.
well as how people experience them, is changed
by that process” (Svašek, 2007:4) untuk Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalis
menganalisis bagaimana makna, nilai, dan status untuk menghasilkan kejelasan atau ‘simpulan’
dari objek tersebut, serta bagaimana orang yang logis, benar, dan alamiah yang kemudian
(subjek) mengalaminya yang diubah oleh proses dideskripsikan secara rinci sejalan dengan
tersebut. permasalahan yang telah ditentukan serta untuk
mencapai tujuan penelitian yaitu mengatahui dan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini memahami proses transit dan transisi lipa’
adalah metode etnografi yang menurut Spradley sabbe di Kabupaten Wajo.
(1997:3) merupakan penelitian yang
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
4
walida (tenun gedogan). Hasil dari alat ini berkembang dengan cara teknik tenun angkat
memiliki kuantitas yang sangat kurang karena untuk menghasilkan motif-motif yang beragam
proses pembuatan kain sarung sepanjang 400 cm serta terjadinya peradaban motif dari babak
dengan lebar 60 cm hanya menghasilkan 2 corak tak bergambar, babak corak kotak-kotak,
sarung dengan membutuhan waktu pengerjaan dan terakhir babak corak bergambar.
selama 1 hingga 2 bulan lamanya. Akan tetapi,
lipa sabbe dari hasil alat tenun ini memiliki nilai Adanya perubahan dan perkembangan tersebut
jual dan kualitas yang sangat tinggi karena menghasilkan produk yang beragam mulai dari
memerlukan ketelitian dan harus berhati-hati. jas, baju, rok, dan produk fashion lainnya. Lipa’
sabbe yang awalnya berupa kain panjang yang
Perkembangan teknologi alat terjadi pada tahun tepi pangkal dan ujungnya dijahit berhubungan
1950-an, ketika masyarakat mulai menenun membentuk seperti tabung atau pipa, serta
dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin memiliki struktur yang terdiri dari wiring lipa’
(ATBM) atau dalam bahasa Bugis disebut (tepi sarung), watang lipa’ (badan sarung), dan
tennung bola-bola. Hasil dari produk ini berupa kapala lipa’ (kepala sarung) sudah tidak menjadi
kain dengan kuantitas yang lebih banyak karena acuan karena bentuknya telah berubah. Selain
dalam jangka waktu 1 minggu dapat itu, gaya berpakaian masyarakat Bugis juga saat
menghasilkan kain sepanjang 12 meter dengan ini lebih kepada yang sederhana dan praktis,
lebar kain 110 cm. Namun, kualitas yang sehingga mereka memilih menggunakan rok
dihasilkan tidak sebaik dari produksi dibandingkan sarung.
menggunakan tennung walida dan tidak semua
motif dapat ditenun menggunakan ATBM, serta Perkembangan tersebut turut menciptakan
memiliki nilai jual yang rendah. keanekaragaman produk sutera dan semakin
banyaknya motif-motif lipa’ sabbe yang tidak
Selain ATBM, alat tenun mesin atau ATM juga hanya sebagai identitas pakaian dari adat suku
digunakan untuk lebih meningkatkan produksi Bugis yang memiliki makna dan fungsi tertentu,
kain sutera, sehingga kebutuhan pasar dapat tetapi saat ini telah dijadikan sebagai ekonomi
terus terpenuhi. Alat ini sepenuhnya dijalankan kerakyatan yang diproduksi secara massif.
dengan mesin, sehingga secara keseluruhan Selain itu, lipa’ sabbe memiliki karakteristik
tidak dapat menggunakan benang sutera dan pada motifnya yang unik, warna sarung yang
tentunya kualitas serta nilai jual yang dihasilkan cerah dan full color yang terkesan mewah, serta
jauh lebih rendah dari produksi menggunakan kualitas bahan yang tinggi dan pembuatannya
tennung walida dan ATBM. yang sulit membuat lipa’ sabbe bernilai tinggi di
pasar dan menjadi komoditi tekstil unggulan
Bahan baku benang dan pewarnaan dalam daerah Kabupaten Wajo dan terkenal di
pembuatan lipa’ sabbe juga mengalami masyarakat dalam negeri maupun luar negeri.
pergeseran. Awalnya pewarnaan menggunakan
bahan-bahan dari alam, seperti daun-daunan dan Proses transit lipa’ sabbe dalam hal batas sosial
buah-buahan, namun saat ini lebih banyak lebih kepada aturan-aturan adat terdahulu yang
menggunakan pewarna tekstil kimia, serta membedakan golongan berdasarkan strata
benang sutera yang mengalami kelangkaan sosialnya sebagai penanda identitas. Pelapisan
berganti ke benang sintetis, seperti poliyester masyarakat yang terbagi atas 4 golongan, yaitu:
dan viscose. Selain karena kelangkaan benang (1) ana’ mattola (pewaris takhta), (2) anakarung
sutera, konsumsi sebagian masyarakat Wajo (kaum bangsawan); (3) maradeka (orang biasa
juga lebih condong kepada lipa’ sabbe dan kain yang merdeka); dan (4) ata (hamba sahaya).
sutera yang lebih murah. Selain pelapisan ini, to-panrita (cendikiawan),
to-warani (pemberani), dan to-sugi (orang kaya)
Perkembangan yang terjadi juga mempengaruhi akan dipandang sama seperti kaum bangsawan,
pengetahuan teknik bertenun, yang awalnya meskipun mereka termasuk golongan maradeka.
penenun Wajo bertenun dengan cara teknik
tenun polos, kemudian tenun ikat hingga
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
6
Untuk menunjukkan identitas golongannya, makna bahwa segala sesuatu yang diciptakan
terdapat aturan-aturan khusus termasuk dalam adalah satu kesatuan yang seimbang. Sulapa’
berpakaian menggunakan lipa’ (sarung) yang eppa mewakili 4 anasir kehidupan, warna sakral,
ada pada simbol, motif, dan warna. Bagi dan sifat manusia sempurna yaitu tanah-hitam-
golongan bangsawan menggunakan lipa’ dengan getteng (tegas), udara-kuning-ada tonging
bahan sutera yang bermotif kotak-kotak (balo (berkata benar), air-putih-lempu (jujur), dan api-
lobang) dan untuk orang biasa (maradeka) merah-warani (berani).
menggunakan lipa’ dengan benang kapas (lipa’
garusu’) yang bermotif horisontal atau garis Selain makna sarung, motif tradisional lipa’
melintang yang disebut dengan balo makkalu. sabbe juga memiliki makna dan fungsi khusus,
yaitu (1) balo tettong bermakna hubungan antara
Aturan ini mulai bergeser ketika Islam masuk di Tuhan dan hamba-Nya, biasanya digunakan
Wajo yang mengajarkan kesetaraan, sehingga untuk melamar gadis Bugis karena memiliki
motif kotak-kotak (balo lobang) dapat makna sebagai suatu keteguhan; (2) balo
digunakan oleh siapa saja dan karena adanya makkalu bermakna hubungan antara sesama
pengaruh politik perkawinan antara raja dan manusia; (3) balo lobang yang terdiri dari 2
golongan di bawahnya bertujuan untuk jenis yaitu balo lobang cora lebba digunakan
penguatan dan perluasan kekuasaan. Golongan oleh laki-laki yang belum menikah dan
yang mendapatkan kenaikan derajat dapat maknanya adalah mereka memiliki tanggung
menggunakan lipa’ dengan bahan sutera, hingga jawab yang besar dan ruang lingkup yang luas,
pada akhirnya dapat digunakan oleh siapa saja sedangan balo lobang cora renni digunakan oleh
dengan bebas tanpa memandang atau perempuan yang belum menikah dengan makna
memperhatikan aturan-aturan batas sosial yang bahwa mereka mempunyai ruang lingkup yang
telah ditetapkan. sempit; (4) balo co’bo memiliki makna bahwa
kehidupan akan ada naik dan turun; dan (5) balo
Transisi Lipa’ Sabbe lagosi bermakna kemakmuran dan kebahagiaan.
Terjadi proses transit yaitu pergeseran objek
yang melewati ruang dan waktu dengan Hal inilah yang membuat aturan-aturan
melintasi batas geografi atau sosial tentunya penggunaan lipa’ sabbe turut mengalami
membuat makna, nilai, status, dan aspek lain perubahan. Aturan penggunaan lipa’ sabbe
pada lipa’ sabbe menjadi bergeser, dalam awalnya ditentukan sesuai dengan warna baju
konsep Svašek disebut sebagai transisi. bodo yaitu hijau untuk kalangan bangsawan,
merah untuk orang yang sudah menikah, warna
Bagi masyarakat Bugis di Wajo, lipa’ sabbe lembut bagi yang belum menikah, dan warna
tidak hanya sebagai pakaian, akan tetapi juga gelap bagi orang yang sudah tua.
memiliki makna yang tinggi bagi mereka, hal ini
karena lipa’ sabbe merupakan simbol Selain aturan warna, penggunaan lipa’ sabbe
representasi dari kehidupan adat yang dimiliki. bagi perempuan adalah dengan cara memegang
salah satu bagian ujung atas sarung yang disebut
Lipa’ sabbe mengandung simbol kesucian, dengan kingking lipa’, cara ini akan
penghormatan, kebanggan, dan kesatuan yang memperlihatkan mata kaki hingga betis dari
ditunjukaan pada sulapa’ eppa yang ada di motif perempuan tersebut. Hal ini karena pada bagian
dan bentuk sarung, sehingga lipa’ sabbe tersebut merupakan daya tarik seksual (sex
memiliki makna sebagai pemersatu, appeal) bagi masyarakat Bugis.
penyeimbang, representasi sifat perempuan
Bugis yang anggun dan sabar, serta sebagai Ma’kingking dengan tangan kanan memiliki
penjaga siri’. makna bahwa orang tersebut adalah bangsawan
dan tangan kanan adalah masyarakat biasa.
Sulapa’ eppa atau empat sisi berbentuk Kingking sendiri terbagi atas 3 cara untuk
segiempat merupakan simbol falsafah menandakan statusnya, yaitu (1) kingking
pandangan hidup orang Bugis yang memiliki saliweng (ke luar) berarti perempuan tersebut
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
7
itu, upaya lain yang dapat dilakukan adalah Kahdar, Kahfiati. 2009. “Adaptasi Estetik Pada
dengan memberi label dan sertifikat keaslian Corak Lippa Sabbe Bugis”. Disertasi
sutera lipa’ sabbe yang secara langsung dapat Sekolah Pascasarjana Institut Teknologi
membantu konsumen mengetahui bahan dari Bandung.
produk sutera tersebut. Kesuma, Andi Ima. 2004. Migrasi dan Orang
Bugis. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Perlunya perhatian pengusaha-pengusaha sutera Mattulada. 1985. Latoa: Satu Lukisan Analitis
untuk tidak memproduksi kain tenun di luar Terhadap Antropologi Politik Orang
wilayah Kabupaten Wajo, sebagai upaya untuk Bugis. Yogyakarta: Gadjah Mada
membantu dan melestarikan produk-produk University Press.
sutera, serta menghargai dan tidak merugikan Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan
penenun tennung walida dan penenun ATBM, Bugis: Refleksi Status Sosial dan
selain itu sebagai pencegahan agar tidak Budaya di Baliknya. Makassar:
merusak citra budaya suku Bugis. Ininnawa (terjemahan Ininnawa).
Nawawi, Muhammad. 2001. “Seni Kerajinan
DAFTAR RUJUKAN Tenun Sutera Tradisional Bugis Wajo
Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo pada Abad Sulawesi Selatan”. Tesis Program Studi
XV-XVI: Suatu Penggalian Sejarah Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Terpendam Sulawesi Selata dari Rupa Universitas Gadjah Mada.
Lontara. Bandung: Alumni. Pabittei, St. Aminah. 2011. Adat dan Upacara
Amir, Supratiwi. 2016. “Kajian Bentuk dan Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan.
Makna Kain Tenun Lipa’ Sabbe Makassar: Dinas Kebudayaan dan
Sengkang Kabupaten Wajo Sulawesi Kepariwisataan Provinsi Sulawesi
Selatan”. Tesis Program Studi Selatan.
Penciptaan dan Pengkajian Seni Rupa Pelras, Christian. 1996. Manusia Bugis. Jakarta:
Pascasarjana Institut Seni Indonesia. Nalar (terjemahan oleh Abdul Rahman
Arif, Muhammad Mursyidin. 2014. “Strategi Abu, Hasriadi, Nurhady Sirimorok).
Adaptasi Penenun Bugis Wajo dalam Rahman, Nurhayati. 2012. Suara-Suara dalam
Arus Modernisasi”. Tesis Program Studi Lokalitas. Makassar: La Galigo Press.
Sosiologi Pascasarjana Universitas Rustan, Ahmad Sultra. 2018. Pola Komunikasi
Hasanuddin Makassar. Orang Bugis. Yogyakarta: Pustaka
Fatimah, Andi Fauziyah Hijrina. 2016. Pelajar.
“Perancangan Komunikasi Visual Sarapang, Simon Sirua., Rismawidiawati.,
Corporate Identity Lipa’ Sabbe (Sarung Taufik., dan Srimuryati. 2012. Tenun
Sutera Bugis) Arni Kurnia dan Wajo dalam Menghadapi Badai Krisis
Kemasannya”. Skripsi Program Studi Ekonomi 1930-1998. Makassar: de La
Desain Komunikasi Visual Sekolah Macca.
Tinggi Seni Rupa Desain Visi Sulvinajayanti., Havied Cangara., dan Tuti
Yogyakarta. Bahfiarti. “Makna Pesan Komunikasi
Hamdat, Supriadi Hamdat. 2019. Kemilau Motif Kain Sutera Sengkang Pilihan
Sutera di Tanah Bugis. Yogyakarta: Konsumen di Kota Makassar” dalam
Penerbit Ombak. Jurnal Komunikasi Kareba, volume 04,
Inanna. 2014. Kearifan Lokal Pada Industri nomor 01, Januari 2015, hal. 9,.
Kerajinan Kain Tenun Sutera di Makassar: Universitas Hasanuddin.
Kabupaten Wajo. Prosiding Seminar Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi.
Nasional Pluralisme dalam Ekonomi Yogyakarta: Tiara Wacana (terjemahan
dan Pendidikan. Misbah Zulfa Elizabeth).
Indonesia, Cita Tenun. 2010. Tenun Handwoven Svasek, Maruska. 2007. Anthropology, Art and
Textiles of Indonesia. Jakarta: Bab Cultural Production. London: Pluto
Publishing Indonesia. Press.
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
9
Syukur, Muhammad., Arya Hadi Dharmawan., Indo Gallong, Penenun Lipa’ Sabbe, Desa
Satyawan Unito., dan Didin S. Tosora, Kecamatan Majauleng,
Damanhuri. “Kearifan Lokal dalam Kabupaten Wajo.
Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat Jemma, Penenun dan Penghani Sutera, Desa
Penenun Bugis-Wajo” dalam Jurnal Tosora, Kecamatan Majauleng,
Mudra, volume 28, nomor 02, Juli 2013, Kabupaten Wajo.
hal. 14,. Denpasar: Institut Seni Kurnia Syam, Pengusaha Tenun Sutera “Arni
Indonesia Denpasar. Kurnia”, Kota Sengkang, Kabupaten
Wajo.
NARASUMBER Lina, Penenun Lipa’ Sabbe, Kecamatan Tempe,
Andi Ima Kesuma, Guru Besar Bidang Sejarah Kabupaten Wajo.
Antropologi dan Kepariwisataan Sudirman Sabang, Budayawan dan Kepala Seksi
Universitas Negeri Makassar. Sejarah dan Tradisi Bidang Kebudayaan
Atira, Penenun Lipa’ Sabbe, Desa Tosora, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kecamatan Majauleng, Kabupaten Kabupaten Wajo.
Wajo. Suryadin Laoddang, Penggiat Budaya Bugis,
Cundung, Penenun Lipa’ Sabbe, Kecamatan Yogyakarta.
Tempe, Kabupaten Wajo.
Cut Mini, Pemeran Athirah (Aktris), Jakarta.