Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Imajinasi

Volume 1 Nomor 1 September 20xx


e-ISSN: 2550-102X  dan p-ISSN: 1693-3990 
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 
4.0 International License

Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan


Andi Fauziyah Hijrina Fatimah1
Penulis ke-11
Christian Budiman2
Penulis ke-22
Vissia Ita Yulianto3
Penulis ke-33

Keywords:  ABSTRAK
Transit; Penelitian ini bertujuan untuk membahas proses
Transisi; perubahan sosial yang terjadi pada lipa’ sabbe (sarung
Lipa’ Sabbe; sutera) yang merupakan warisan budaya masyarakat
Bugis; Bugis di Kabupaten Wajo yang memiliki nilai, makna,
Perubahan.
dan fungsi tertentu. Paradigma dari penelitian ini
menggunakan konsep dari Maruska Svasek yaitu proses
transit dan transisi. Proses transit ialah pergeseran
Corespondensi Author melalui ruang dan waktu yang melewati batas geografi
1
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, (lokasi) atau batas sosial, sedangkan proses transisi
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
adalah pergeseran terkait makna, nilai, dan status suatu
Jl. Ki Mangun Sarkoro Yogyakarta
Email: andi.fauziyah.h@mail.ugm.ac.id
objek. Metode yang digunakan adalah metode penelitian
2
Program Studi Kajian Budaya dan Media, etnografi yang mendeskripsikan suatu kebudayaan dari
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada sudut pandang penduduk asli. Hasil dari penelitian ini
Jl. Teknika Utara, Yogyakarta menunjukkan bahwa lipa’ sabbe mengalami proses
Email: kristologie@gmail.com transit terkait perpindahan lokasi yaitu dari Tosora ke
3
Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT), Sengkang dan pergeseran sosial yang awalnya hanya
Universitas Gadjah Mada digunakan oleh bangsawan hingga saat ini dapat
Jl. Teknika Utara, Yogyakarta digunakan secara umum, sehingga lipa’ sabbe turut
Email: vissia_ita@yahoo.com mengalami proses transisi yaitu pergesran nilai, fungsi,
dan makna, baik makna sarung, makna motif, cara
penggunaan, dan aspek lainnya.
History Artikel
Received: tgl-bln-thn; ABSTRACT
Reviewed: tgl-bln-thn 
Revised: tgl-bln-thn This study aims to describe the process of social change
Accepted: tgl-bln-thn  that occurs in the lipa' sabbe (silk sarong) which is a
Published: tgl-bln-th cultural heritage of the Bugis community in Wajo
Regency which has certain values, meanings and
functions. This research paradigm uses Maruska
Svasek's concept of transit and transition processes. The
transit process is movement through space and time that
crosses geographical or social boundaries, while the
transition process is a shift related to the meaning,
value, and status of an object. The method used is an
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
2

ethnographic method that describes a culture from the


point of view of the indigenous population. The results
of this study indicate that lipa’ sabbe has a transit
process related to location changes, from Tosora to
Sengkang and social shifts which were originally only
used by the aristocrats until now can be used in general,
so lipa’ sabbe also undergoes a process of transition
which is a shift in values, functions, and meanings, both
the meaning of sarong, motives, how to use it, and other
aspects.

PENDAHULUAN Tanasitolo, dan Majauleng serta Kota Sengkang


yang menjadi ibu kota kabupaten dengan
Lipa’ sabbe atau sarung sutera merupakan benda sebutan “Kota Sutera” sebagai pusat pemasaran
budaya hasil kerajinan rumah tangga perempuan dan pembuatan produk sutera.
Bugis di Kabupaten Wajo yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan sandang, baik pribadi Seiring waktu, lipa’ sabbe turut mengalami
maupun kerajaan yang memiliki peran penting perkembangan baik dari teknologi maupun
dalam kehidupan adat, ritual, kepercayaan, dan pengetahuan baru yang menyebabkan terjadinya
upacara besar masyarakat Bugis karena memiliki perubahan mulai dari bentuk, makna, fungsi,
nilai, makna, dan fungsi tertentu. nilai, dan faktor-faktor lainnya menjadi bergeser.
Perubahan yang terjadi dapat berdampak baik
Lipa’ sabbe dibuat dengan cara ditenun maupun buruk bagi masyarakat Bugis yang
menggunakan alat sederhana yang disebut tergantung dari bagaimana cara masyarakat
tennung walida (gedogan) dan diolah dengan menyikapi perubahan tersebut, sehingga dalam
berbahan dasar sutera yang diambil dari serat penelitian ini akan meninjau lebih dalam
ulat sutera jenis bombyx mori. Saat ini, produksi mengenai berbagai perubahan-perubahan yang
sutera terdiri dari 2 jenis yang dihasilkan oleh terjadi pada lipa’ sabbe.
dua alat tenun yang berbeda, yaitu kain sutera
dari ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan Penelitian mengenai tenun lipa’ sabbe
sarung sutera dari alat tenun gedogan. sebelumnya telah dilakukan melalui buku, tesis,
skripsi, dan jurnal dengan berbagai perspektif
Bagi masyarakat Bugis, lipa’ sabbe telah yang ditulis oleh Christian Pelras (1996) yang
menjadi bagian dan identitias dari kehidupan menjelaskan alat tenun gedogan dan teknik yang
mereka, sehingga dapat dikatakan bahwa ‘bukan digunakan pada kerajinan tenun masyarakat
orang Bugis jika tidak memiliki lipa’ sabbe Bugis, Simon Sirua Sarapang, dkk (2012)
(sarung sutera)’. Lipa’ sabbe digunakan sebagai membahas daya lentur tenun Wajo dalam
pakaian adat bawahan yang dipadukan dengan menghadapi berbagai krisis ekonomi yang
jas tutup bagi laki-laki dan baju bodo bagi terjadi di Indonesia.
perempuan, serta telah ditetapkan sebagai
Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTB) Penelitian dalam bentuk tesis oleh Muhammad
pada tanggal 27 Oktober 2016 oleh Kementerian Nawawi (2001) yang melihat tantangan dan
Pendidikan dan Kebudayaan. harapan yang terjadi pada tenun sutera Bugis
Wajo dalam industri pariwisata, Supratiwi Amir
Pusat sentra pembuatan lipa’ sabbe yang ada di (2016) yang mengkaji bentuk estetis dan makna
Sulawesi Selatan dari hulu ke hilir berada di yang terkandung pada lipa’ sabbe. Selain itu,
Kabupaten Wajo mulai dari pemeliharaan ulat penelitian skripsi oleh Andi Fauziyah Hijrina
sutera yang berada di Kecamatan Sabbangparu, (2016) yang merancang corporate identity dan
pertenunan tersebar di Kecamatan Tempe, kemasan lipa’ sabbe pada salah satu perusahaan
lokal agar dapat bersaing di pasar global, serta
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
3

jurnal yang ditulis oleh Sulvinajayanti (2015) mendeskripsikan suatu kebudayaan yang
mengenai pesan komunikasi pada motif lipa’ bertujuan untuk memahami suatu pandangan
sabbe. hidup dari sudut pandang atau perspektif dari
penduduk asli atau pemilik kebudayaan tersebut.
Perubahan yang terjadi pada lipa’ sabbe di
Kabupaten Wajo akan ditinjau lebih dalam Melalui metode ini, lipa’ sabbe akan dikaji
dengan mewacanakan konsep perubahan sosial secara terbuka, jelas, dan terstruktur. Peneliti
dari Maruška Svašek yaitu perubahan atau sebagai etnografer akan turun langsung ke
pergeseran yang terjadi pada suatu artefak atau lapangan untuk mengobservasi dan menjadi
objek melalui ruang dan waktu melewati batas partisipan dalam kehidupan masyarakat yang
geografi atau batas sosial disebut dengan transit, akan diteliti untuk mengumpulkan data empiris
serta pergeseran terkait makna, nilai, dan fungsi sebanyak-banyaknya, baik data primer maupun
akibat dari transit yang disebut dengan transisi. sekunder.

Peneletian ini sebagai salah satu upaya penulis Posisi peneliti adalah sebagai insider atau
untuk membantu melestarikan dan mengenalkan pemilik dari kebudayaan lipa’ sabbe itu sendiri,
nilai-nilai kebudayaan serta tradisi warisan dari sehingga data perimer dari penelitian ini
masyarakat Bugis kepada masyarakat luas, serta berdasarkan pada pengalaman serta pengetahuan
diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam peneliti yang didapatkan dari lapangan melalui
pengembangan ilmu pengetahuan seni rupa pengamatan dan interaksi langsung dengan
khususnya mengenai lipa’ sabbe. masyarakat yang berhubungan dengan lipa’
sabbe seperti penenun, peternak ulat, pengusaha,
METODE pengguna, budayawan, dan anggota pemerintah
sebagai narasumber.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah
antropologi seni dengan menggunakan konsep Lokasi dari penelitian ini dilakukan di wilayah
perubahan sosial yang dikembangkan oleh Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan di antaranya
Maruška Svašek dalam buku “Anthropology, Kecamatan Tempe, Sabbangparu, dan
Art, and Cultural Production” yang melihat Majauleng yang merupakan pusat-pusat wilayah
bagaimana cara pergerakan benda dan orang daerah pembuatan lipa’ sabbe mulai dari
saling berinteraksi satu sama lain. peternak ulat, penenun, hingga pengusaha yang
memasarkan produk lipa’ sabbe.
Svašek menggambarkan “transit records the
location or movement of objects over time and Data sekunder sebagai data awal diperoleh dari
across social or geographics boundaries” berbagai sumber lain, seperti buku, jurnal,
(Svašek, 2007:4), proses transit mencatat lokasi artikel, tesis, skripsi, disertasi, media cetak, arsip
atau pergerakan objek dari waktu ke waktu dan daerah, makalah seminar, data internet, karya
melintasi batas sosial atau geografi, sedangkan ilmiah, dan dokumentasi dari tulisan, gambar,
konsep transisi dijelaskan “…analyses how the atau suatu karya yang terkait dengan penelitian
meaning, value, and status of those objects, as lipa’ sabbe mengenai transit dan transisi.
well as how people experience them, is changed
by that process” (Svašek, 2007:4) untuk Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalis
menganalisis bagaimana makna, nilai, dan status untuk menghasilkan kejelasan atau ‘simpulan’
dari objek tersebut, serta bagaimana orang yang logis, benar, dan alamiah yang kemudian
(subjek) mengalaminya yang diubah oleh proses dideskripsikan secara rinci sejalan dengan
tersebut. permasalahan yang telah ditentukan serta untuk
mencapai tujuan penelitian yaitu mengatahui dan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini memahami proses transit dan transisi lipa’
adalah metode etnografi yang menurut Spradley sabbe di Kabupaten Wajo.
(1997:3) merupakan penelitian yang
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
4

napopuang” artinya merdeka orang Wajo hanya


PEMBAHASAN adat yang dipertuankan.

Transit Lipa’ Sabbe Tidak hanya pengaruh politik dan ekonomi,


Proses transit dari Svašek merujuk pada proses dimensi agama turut mempengaruhi terjadinya
pergeseran manusia, objek, gambar atau ide malekke dapureng yaitu ketika masa
yang bergerak melalui ruang dan waktu dengan pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara
melintasi batas sosial atau geografis. Pergeseran Islam Indonesia) oleh Kahar Muzakkar pada
lipa’ sabbe terkait transit dalam hal batas tahun 1952 yang menjalankan operasi toba’
geografi maupun sosial tidak dapat dilepaskan (taubat) untuk menghilangkan berbagai hal yang
dari sejarah awal mula dari lipa’ sabbe. menyimpang dari ajaran agama Islam.

Berdasarkan sejarahnya, pusat pertenunan Berbagai kejadian-kejadian inilah yang


sebagai kerajinan rumah tangga pertama berada menyebabkan adanya tradisi massompe’
di daerah Tosora tepatnya di Kecamatan (merantau), sehingga terjadi cultural lag atau
Majauleng kemudian menyebar diberbagai tidak berkembangnya tradisi dan nilai
wilayah di Wajo. Pada awalnya Tosora kebudayaan di daerah Wajo. Pemerintahan
merupakan ibu kota kerajaan Wajo yang dengan sistem kerajaan ditiadakan mulai tahun
memiliki peran sebagai pusat aktivitas 1957 yang berubah menjadi daerah tingkat dua
pemerintahan dan ekonomi saat itu. biasa dengan kepala daerah disebut dengan
Bupati.
Pergeseran transit melewati batas geografi mulai
terjadi pada tahun 1670, ketika daerah Tosora Tosora yang awalnya menjadi ibukota kerajaan
sebagai ibukota mengalami kekalahan akibat berpindah ke Sengkang, Kecamatan Tempe
peperangan dengan kerajaan Bone dan VOC. sebagai ibukota kabupaten. Perpindahan yang
Kondisi ini menyebabkan kekacauan politik dan terjadi turut merubah pusat kegiatan
ekonomi, sehingga masyarakat Wajo di Tosora pemerintahan dan perekonomian di Wajo,
dengan terpaksa melakukan “malekke dapureng” termasuk dalam bidang pertenunan.
atau memindahkan dapur.
Setelah Sengkang ditetapkan sebagai ibukota,
Malekke dapureng merupakan perpindahan produksi lipa’ sabbe menunjukkan peningkatan
besar-besaran satu kelompok atau keluarga ke dan menjadi lebih dikenal dibanding daerah lain
suatu daerah dan menetap di sana untuk mencari oleh masyarakat luar, sehingga memiliki sebutan
penghidupan baru yang lebih baik dari sebagai “Kota Sutera” yang menjadikan daerah
sebelumnya. Selain karena pengaruh politik dan Sengkang sebagai pusat sentra pemasaran dan
ekonomi, hal ini juga dikarenakan sifat orang pembuatan kerajinan tenun sutera, termasuk
Bugis yang menyukai kebebasan, bersifat lipa’ sabbe.
terbuka, dan sangat teguh dalam memegang janji
atau prinsip. Kota Sengkang sebagai kontinuitas inilah yang
menjadi bagian dari proses transit yang terjadi
Dalam hal memegang janji atau prinsip pada lipa’ sabbe di Kabupaten Wajo. Selain
merupakan bagian dari pandangan hidup perubahan yang terjadi, sentra produk tenun
masyarakat Bugis yaitu konsep siri’ yang mengalami perkembangan dalam teknologi alat
diartikan sebagai harga diri, rasa malu, harkat, dan pengetahuan baru mengenai teknik tenun,
dan martabat dirinya sebagai manusia. Selain bahan baku, dan pewarnaan yang kemudian
itu, masyarakat Wajo memegang teguh prinsip menjadi beragam.
adat yang telah ditetapkan yaitu ade’
ammaradekangeng (adat kemerdekaan) yang Perkembangan tersebut tentu membawa
berbunyi “maradeka to-Wajo’e ade’ mi perubahan diantaranya ialah lipa’ sabbe pada
awalnya ditenun dengan menggunakan alat
tenun sederhana yang disebut dengan tennung
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
5

walida (tenun gedogan). Hasil dari alat ini berkembang dengan cara teknik tenun angkat
memiliki kuantitas yang sangat kurang karena untuk menghasilkan motif-motif yang beragam
proses pembuatan kain sarung sepanjang 400 cm serta terjadinya peradaban motif dari babak
dengan lebar 60 cm hanya menghasilkan 2 corak tak bergambar, babak corak kotak-kotak,
sarung dengan membutuhan waktu pengerjaan dan terakhir babak corak bergambar.
selama 1 hingga 2 bulan lamanya. Akan tetapi,
lipa sabbe dari hasil alat tenun ini memiliki nilai Adanya perubahan dan perkembangan tersebut
jual dan kualitas yang sangat tinggi karena menghasilkan produk yang beragam mulai dari
memerlukan ketelitian dan harus berhati-hati. jas, baju, rok, dan produk fashion lainnya. Lipa’
sabbe yang awalnya berupa kain panjang yang
Perkembangan teknologi alat terjadi pada tahun tepi pangkal dan ujungnya dijahit berhubungan
1950-an, ketika masyarakat mulai menenun membentuk seperti tabung atau pipa, serta
dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin memiliki struktur yang terdiri dari wiring lipa’
(ATBM) atau dalam bahasa Bugis disebut (tepi sarung), watang lipa’ (badan sarung), dan
tennung bola-bola. Hasil dari produk ini berupa kapala lipa’ (kepala sarung) sudah tidak menjadi
kain dengan kuantitas yang lebih banyak karena acuan karena bentuknya telah berubah. Selain
dalam jangka waktu 1 minggu dapat itu, gaya berpakaian masyarakat Bugis juga saat
menghasilkan kain sepanjang 12 meter dengan ini lebih kepada yang sederhana dan praktis,
lebar kain 110 cm. Namun, kualitas yang sehingga mereka memilih menggunakan rok
dihasilkan tidak sebaik dari produksi dibandingkan sarung.
menggunakan tennung walida dan tidak semua
motif dapat ditenun menggunakan ATBM, serta Perkembangan tersebut turut menciptakan
memiliki nilai jual yang rendah. keanekaragaman produk sutera dan semakin
banyaknya motif-motif lipa’ sabbe yang tidak
Selain ATBM, alat tenun mesin atau ATM juga hanya sebagai identitas pakaian dari adat suku
digunakan untuk lebih meningkatkan produksi Bugis yang memiliki makna dan fungsi tertentu,
kain sutera, sehingga kebutuhan pasar dapat tetapi saat ini telah dijadikan sebagai ekonomi
terus terpenuhi. Alat ini sepenuhnya dijalankan kerakyatan yang diproduksi secara massif.
dengan mesin, sehingga secara keseluruhan Selain itu, lipa’ sabbe memiliki karakteristik
tidak dapat menggunakan benang sutera dan pada motifnya yang unik, warna sarung yang
tentunya kualitas serta nilai jual yang dihasilkan cerah dan full color yang terkesan mewah, serta
jauh lebih rendah dari produksi menggunakan kualitas bahan yang tinggi dan pembuatannya
tennung walida dan ATBM. yang sulit membuat lipa’ sabbe bernilai tinggi di
pasar dan menjadi komoditi tekstil unggulan
Bahan baku benang dan pewarnaan dalam daerah Kabupaten Wajo dan terkenal di
pembuatan lipa’ sabbe juga mengalami masyarakat dalam negeri maupun luar negeri.
pergeseran. Awalnya pewarnaan menggunakan
bahan-bahan dari alam, seperti daun-daunan dan Proses transit lipa’ sabbe dalam hal batas sosial
buah-buahan, namun saat ini lebih banyak lebih kepada aturan-aturan adat terdahulu yang
menggunakan pewarna tekstil kimia, serta membedakan golongan berdasarkan strata
benang sutera yang mengalami kelangkaan sosialnya sebagai penanda identitas. Pelapisan
berganti ke benang sintetis, seperti poliyester masyarakat yang terbagi atas 4 golongan, yaitu:
dan viscose. Selain karena kelangkaan benang (1) ana’ mattola (pewaris takhta), (2) anakarung
sutera, konsumsi sebagian masyarakat Wajo (kaum bangsawan); (3) maradeka (orang biasa
juga lebih condong kepada lipa’ sabbe dan kain yang merdeka); dan (4) ata (hamba sahaya).
sutera yang lebih murah. Selain pelapisan ini, to-panrita (cendikiawan),
to-warani (pemberani), dan to-sugi (orang kaya)
Perkembangan yang terjadi juga mempengaruhi akan dipandang sama seperti kaum bangsawan,
pengetahuan teknik bertenun, yang awalnya meskipun mereka termasuk golongan maradeka.
penenun Wajo bertenun dengan cara teknik
tenun polos, kemudian tenun ikat hingga
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
6

Untuk menunjukkan identitas golongannya, makna bahwa segala sesuatu yang diciptakan
terdapat aturan-aturan khusus termasuk dalam adalah satu kesatuan yang seimbang. Sulapa’
berpakaian menggunakan lipa’ (sarung) yang eppa mewakili 4 anasir kehidupan, warna sakral,
ada pada simbol, motif, dan warna. Bagi dan sifat manusia sempurna yaitu tanah-hitam-
golongan bangsawan menggunakan lipa’ dengan getteng (tegas), udara-kuning-ada tonging
bahan sutera yang bermotif kotak-kotak (balo (berkata benar), air-putih-lempu (jujur), dan api-
lobang) dan untuk orang biasa (maradeka) merah-warani (berani).
menggunakan lipa’ dengan benang kapas (lipa’
garusu’) yang bermotif horisontal atau garis Selain makna sarung, motif tradisional lipa’
melintang yang disebut dengan balo makkalu. sabbe juga memiliki makna dan fungsi khusus,
yaitu (1) balo tettong bermakna hubungan antara
Aturan ini mulai bergeser ketika Islam masuk di Tuhan dan hamba-Nya, biasanya digunakan
Wajo yang mengajarkan kesetaraan, sehingga untuk melamar gadis Bugis karena memiliki
motif kotak-kotak (balo lobang) dapat makna sebagai suatu keteguhan; (2) balo
digunakan oleh siapa saja dan karena adanya makkalu bermakna hubungan antara sesama
pengaruh politik perkawinan antara raja dan manusia; (3) balo lobang yang terdiri dari 2
golongan di bawahnya bertujuan untuk jenis yaitu balo lobang cora lebba digunakan
penguatan dan perluasan kekuasaan. Golongan oleh laki-laki yang belum menikah dan
yang mendapatkan kenaikan derajat dapat maknanya adalah mereka memiliki tanggung
menggunakan lipa’ dengan bahan sutera, hingga jawab yang besar dan ruang lingkup yang luas,
pada akhirnya dapat digunakan oleh siapa saja sedangan balo lobang cora renni digunakan oleh
dengan bebas tanpa memandang atau perempuan yang belum menikah dengan makna
memperhatikan aturan-aturan batas sosial yang bahwa mereka mempunyai ruang lingkup yang
telah ditetapkan. sempit; (4) balo co’bo memiliki makna bahwa
kehidupan akan ada naik dan turun; dan (5) balo
Transisi Lipa’ Sabbe lagosi bermakna kemakmuran dan kebahagiaan.
Terjadi proses transit yaitu pergeseran objek
yang melewati ruang dan waktu dengan Hal inilah yang membuat aturan-aturan
melintasi batas geografi atau sosial tentunya penggunaan lipa’ sabbe turut mengalami
membuat makna, nilai, status, dan aspek lain perubahan. Aturan penggunaan lipa’ sabbe
pada lipa’ sabbe menjadi bergeser, dalam awalnya ditentukan sesuai dengan warna baju
konsep Svašek disebut sebagai transisi. bodo yaitu hijau untuk kalangan bangsawan,
merah untuk orang yang sudah menikah, warna
Bagi masyarakat Bugis di Wajo, lipa’ sabbe lembut bagi yang belum menikah, dan warna
tidak hanya sebagai pakaian, akan tetapi juga gelap bagi orang yang sudah tua.
memiliki makna yang tinggi bagi mereka, hal ini
karena lipa’ sabbe merupakan simbol Selain aturan warna, penggunaan lipa’ sabbe
representasi dari kehidupan adat yang dimiliki. bagi perempuan adalah dengan cara memegang
salah satu bagian ujung atas sarung yang disebut
Lipa’ sabbe mengandung simbol kesucian, dengan kingking lipa’, cara ini akan
penghormatan, kebanggan, dan kesatuan yang memperlihatkan mata kaki hingga betis dari
ditunjukaan pada sulapa’ eppa yang ada di motif perempuan tersebut. Hal ini karena pada bagian
dan bentuk sarung, sehingga lipa’ sabbe tersebut merupakan daya tarik seksual (sex
memiliki makna sebagai pemersatu, appeal) bagi masyarakat Bugis.
penyeimbang, representasi sifat perempuan
Bugis yang anggun dan sabar, serta sebagai Ma’kingking dengan tangan kanan memiliki
penjaga siri’. makna bahwa orang tersebut adalah bangsawan
dan tangan kanan adalah masyarakat biasa.
Sulapa’ eppa atau empat sisi berbentuk Kingking sendiri terbagi atas 3 cara untuk
segiempat merupakan simbol falsafah menandakan statusnya, yaitu (1) kingking
pandangan hidup orang Bugis yang memiliki saliweng (ke luar) berarti perempuan tersebut
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
7

masih gadis dan dapat dinikahi; (2) kingking Simpulan


tama (ke dalam) berarti perempuan tersebut Saat ini, lipa’ sabbe sudah mulai jarang ditenun
sudah menikah, dan; (3) kingking i’subbu dan digunakan karena beralih kepada pakaian
(sembunyi) berarti perempuan tersebut sudah yang lebih praktis seperti baju dan rok, sehingga
ada yang melamar. dengan itu lipa’ sabbe kemudian diposisikan
Bagi laki-laki untuk menunjukkan status sebagai produk eksklusif yang bernilai ekonomi
identitasnya lebih kepada bagian kapala’ lipa’ tinggi. Demikianlah lipa’ sabbe menjadi
dengan garis/motif maksimal 13 untuk raja dan komoditi unggulan dari Kabupaten Wajo.
minimal 7 untuk kaum maradeka. Selain itu,
status, kekuasaan, dan kekayaan juga Selain lipa’ sabbe, kain sutera dengan motif
ditunjukkan pada penggunaan genggang atau tradisional yang dihasilkan dari ATBM juga
benang emas pada lipa’ sabbe dan songkok turut menjadi komoditi, namun di sisi lain
pammiring. terjadinya kelangkaan bahan baku sutera saat ini
membuat sebagian penenun menggunakan
Sebelumnya lipa’ sabbe memiliki nilai-nilai benang sintetis yang mirip sutera seperti
yang sakral seperti nilai budaya, nilai poliyester dan viscose. Tentu hal ini yang
kepercayaan, nilai tradisi, dan nilai sosial, membuat kain sutera dan khususnya lipa’ sabbe
sehingga lipa’ sabbe berfungsi sebagai alat kehilangan nilai orisinalitas dan kesakralannya
komunikasi non-verbal untuk menunjukkan turut memudar.
identitas dan status sosial seseorang, pakaian
adat untuk menunjukkan identitasnya sebagai Pertenunan di Wajo sekarang telah menjadi
suku Bugis, hadiah pemberian sebagai salah satu industri yang menggerakkan
penghormatan, dan alat pelengkap ritual adat. perekonomian daerah, sebagian masyarakat
menjadikan industri pertenunan baik
Nilai sakral dari lipa’ sabbe dikarenakan oleh menggunakan tennung walida maupun ATBM
berbagai faktor, salah satunya dalam proses merupakan mata pencaharian utama dan
pembuatan lipa’ sabbe diperlukan persiapan, sebagian juga menjadikan pekerjaan sampingan
mulai dari menentukan hari baik melalui untuk menambah keuangan keluarga. Sehingga,
penanggalan Bugis yang disebut esso ompo’na posisi penenun lebih kepada pekerjaan yang
ulengnge dan kemudian menentukan waktu pada semata-mata adalah sebuah kegiatan yang harus
hari itu yang disebut sebagai pananrang. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kehidupan mereka
bertujuan agar hasil tenunnya mendapatkan dan permintaan kebutuhan pasar.
rezeki, keberkahan, dan kebaikan lainnya. Selain
itu, terdapat juga berbagai pemmali yang harus Saran
dihindari oleh penenun seperti nalejja uleng, Saran dari hasil penelitian ini diharapkan,
tidak diperbolehkan menenun jika ada orang khususnya masyarakat Bugis di Kabupaten
yang meninggal, dilarang berbicara saat Wajo selain mempertahankan dan menjaga lipa’
menghani sebelum 7 kali putaran, dan tidak sabbe sebagai budaya miliknya juga perlu
diperbolehkan memakai benang yang seluruhnya mengetahui nilai-nilai budaya dan makna yang
warna hitam. terkandung, baik pada lipa’ sabbe itu sendiri
maupun motif-motif lipa’ sabbe sehingga dapat
Perubahan dan perkembangan yang terjadi saat menciptakan rasa kebanggaan, kepemilikan, dan
ini membuat makna sarung maupun motif, kecintaan yang tinggi pada lipa’ sabbe.
simbol, aturan-aturan penggunaan, dan pemmali
sudah tidak menjadi suatu perhatian dan tidak Adanya pergeseran nilai orisinalitas memerlukan
menjadi aspek penting bagi masyarakat, baik bantuan peran pemerintah Kabupaten Wajo
dari penenun maupun pembeli. untuk mengedukasi masyarakat setempat
maupun pendatang agar mengetahui perbedaan
SIMPULAN DAN SARAN produk dengan menggunakan benang sutera asli
dan benang sintetis, sehingga keaslian benda
budaya masyarakat Bugis tetap terjaga. Selain
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
8

itu, upaya lain yang dapat dilakukan adalah Kahdar, Kahfiati. 2009. “Adaptasi Estetik Pada
dengan memberi label dan sertifikat keaslian Corak Lippa Sabbe Bugis”. Disertasi
sutera lipa’ sabbe yang secara langsung dapat Sekolah Pascasarjana Institut Teknologi
membantu konsumen mengetahui bahan dari Bandung.
produk sutera tersebut. Kesuma, Andi Ima. 2004. Migrasi dan Orang
Bugis. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Perlunya perhatian pengusaha-pengusaha sutera Mattulada. 1985. Latoa: Satu Lukisan Analitis
untuk tidak memproduksi kain tenun di luar Terhadap Antropologi Politik Orang
wilayah Kabupaten Wajo, sebagai upaya untuk Bugis. Yogyakarta: Gadjah Mada
membantu dan melestarikan produk-produk University Press.
sutera, serta menghargai dan tidak merugikan Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan
penenun tennung walida dan penenun ATBM, Bugis: Refleksi Status Sosial dan
selain itu sebagai pencegahan agar tidak Budaya di Baliknya. Makassar:
merusak citra budaya suku Bugis. Ininnawa (terjemahan Ininnawa).
Nawawi, Muhammad. 2001. “Seni Kerajinan
DAFTAR RUJUKAN Tenun Sutera Tradisional Bugis Wajo
Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo pada Abad Sulawesi Selatan”. Tesis Program Studi
XV-XVI: Suatu Penggalian Sejarah Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Terpendam Sulawesi Selata dari Rupa Universitas Gadjah Mada.
Lontara. Bandung: Alumni. Pabittei, St. Aminah. 2011. Adat dan Upacara
Amir, Supratiwi. 2016. “Kajian Bentuk dan Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan.
Makna Kain Tenun Lipa’ Sabbe Makassar: Dinas Kebudayaan dan
Sengkang Kabupaten Wajo Sulawesi Kepariwisataan Provinsi Sulawesi
Selatan”. Tesis Program Studi Selatan.
Penciptaan dan Pengkajian Seni Rupa Pelras, Christian. 1996. Manusia Bugis. Jakarta:
Pascasarjana Institut Seni Indonesia. Nalar (terjemahan oleh Abdul Rahman
Arif, Muhammad Mursyidin. 2014. “Strategi Abu, Hasriadi, Nurhady Sirimorok).
Adaptasi Penenun Bugis Wajo dalam Rahman, Nurhayati. 2012. Suara-Suara dalam
Arus Modernisasi”. Tesis Program Studi Lokalitas. Makassar: La Galigo Press.
Sosiologi Pascasarjana Universitas Rustan, Ahmad Sultra. 2018. Pola Komunikasi
Hasanuddin Makassar. Orang Bugis. Yogyakarta: Pustaka
Fatimah, Andi Fauziyah Hijrina. 2016. Pelajar.
“Perancangan Komunikasi Visual Sarapang, Simon Sirua., Rismawidiawati.,
Corporate Identity Lipa’ Sabbe (Sarung Taufik., dan Srimuryati. 2012. Tenun
Sutera Bugis) Arni Kurnia dan Wajo dalam Menghadapi Badai Krisis
Kemasannya”. Skripsi Program Studi Ekonomi 1930-1998. Makassar: de La
Desain Komunikasi Visual Sekolah Macca.
Tinggi Seni Rupa Desain Visi Sulvinajayanti., Havied Cangara., dan Tuti
Yogyakarta. Bahfiarti. “Makna Pesan Komunikasi
Hamdat, Supriadi Hamdat. 2019. Kemilau Motif Kain Sutera Sengkang Pilihan
Sutera di Tanah Bugis. Yogyakarta: Konsumen di Kota Makassar” dalam
Penerbit Ombak. Jurnal Komunikasi Kareba, volume 04,
Inanna. 2014. Kearifan Lokal Pada Industri nomor 01, Januari 2015, hal. 9,.
Kerajinan Kain Tenun Sutera di Makassar: Universitas Hasanuddin.
Kabupaten Wajo. Prosiding Seminar Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi.
Nasional Pluralisme dalam Ekonomi Yogyakarta: Tiara Wacana (terjemahan
dan Pendidikan. Misbah Zulfa Elizabeth).
Indonesia, Cita Tenun. 2010. Tenun Handwoven Svasek, Maruska. 2007. Anthropology, Art and
Textiles of Indonesia. Jakarta: Bab Cultural Production. London: Pluto
Publishing Indonesia. Press.
Andi Fauziyah, Christian Budiman, Vissia Ita. Transit dan Transisi Lipa’ Sabbe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
9

Syukur, Muhammad., Arya Hadi Dharmawan., Indo Gallong, Penenun Lipa’ Sabbe, Desa
Satyawan Unito., dan Didin S. Tosora, Kecamatan Majauleng,
Damanhuri. “Kearifan Lokal dalam Kabupaten Wajo.
Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat Jemma, Penenun dan Penghani Sutera, Desa
Penenun Bugis-Wajo” dalam Jurnal Tosora, Kecamatan Majauleng,
Mudra, volume 28, nomor 02, Juli 2013, Kabupaten Wajo.
hal. 14,. Denpasar: Institut Seni Kurnia Syam, Pengusaha Tenun Sutera “Arni
Indonesia Denpasar. Kurnia”, Kota Sengkang, Kabupaten
Wajo.
NARASUMBER Lina, Penenun Lipa’ Sabbe, Kecamatan Tempe,
Andi Ima Kesuma, Guru Besar Bidang Sejarah Kabupaten Wajo.
Antropologi dan Kepariwisataan Sudirman Sabang, Budayawan dan Kepala Seksi
Universitas Negeri Makassar. Sejarah dan Tradisi Bidang Kebudayaan
Atira, Penenun Lipa’ Sabbe, Desa Tosora, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kecamatan Majauleng, Kabupaten Kabupaten Wajo.
Wajo. Suryadin Laoddang, Penggiat Budaya Bugis,
Cundung, Penenun Lipa’ Sabbe, Kecamatan Yogyakarta.
Tempe, Kabupaten Wajo.
Cut Mini, Pemeran Athirah (Aktris), Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai