ABSTRACT
This research about cultural manipulation in local politic, Toraja, South Sulawesi.
The purpose of this study was to determine the local cultural forms are manipulated by
local political elites to achieve their political objectives. The methodology used in this
study is descriptive qualitative, with the determination of key informants through snowball
sampling. The research results showed there has been manipulation of culture by utilizing
culture (traditional parties, burial ceremonies, traditional houses, houses of worship, and
cultural symbols) as a political instrument to achieve political goals and is used as one
reasons in regional expansion.
masyarakat Toraja hingga saat ini. Bahkan mempertahankan budaya tradisional yang
ke dua ritus budaya tersebut telah menjadi kental (memiliki kompetensi terbatas).
komoditas politik oleh elit-elit politik lokal Reformasi politik yang terjadi di
untuk mempengaruhi masyarakat dalam Indonesia sejak tahun 1997 telah
mewujudkan ambisi pribadi atau mengubah sistim perpolitikan yang
kelompoknya. Manipulasi budaya yang memberi ruang bagi elit-elit politik lokal di
dilakukan oleh elit-elit politik lokal, saat daerah tampil dengan menyuarakan
ini bukan saja merubah makna budaya itu langsung aspirasi politiknya bersama-sama
sendiri, tapi juga telah merupakan alat dengan masyarakat untuk melakukan
politik untuk mendapatkan posisi atau pemekaran atau pembentukan daerah baru
prestise dalam masyarakat. Masyarakat terpisah dari kabupaten induknya.
dengan mudah dipengaruhi dan diatur oleh Munculnya sistem multi partai dipandang
elit-elit lokal ataupun elit-elit Toraja yang oleh sebagian besar masyarakat sebagai
bermukim di luar Toraja untuk peluang untuk ikut langsung terlibat dalam
mewujudkan tujuan politiknya tanpa berbagai proses demokratisasi dengan
disadari oleh masyarakat. memilih langsung pemimpinnya, atau
Persaingan politik dalam budaya mendirikan partai politik sebagai
khususnya dalam adat tidak sedikit kendaraan menuju kompetisi pemilihan
menimbulkan konflik. Pada umumnya kepemimpinan baik dalam skala lokal
konflik yang muncul adalah konflik yang (daerah) maupun skala nasional.
disfungsional yang menyebabkan Di Tana Toraja beberapa elit politik
perpecahan dalam kelompok masyarakat. yang kurang mendapat tempat di pusat atau
Masyarakat Toraja perantau, menganggap provinsi, memilih untuk kembali ke daerah
dirinya sebagai orang yang berpandangan asalnya masing-masing untuk berkompetisi
politik yang lebih luas dan moderen dan dengan elit-elit lokal yang ada di daerah
mempunyai cukup kemampuan (modal) dalam memperebutkan posisi
untuk bersaing dalam pemilihan kepemimpinan daerah.
kepemimpinan di daerah. Bagi masyarakat
Toraja yang menetap di Toraja • Rumusan Masalah
dianggapnya sebagai masyarakat yang
Berdasarkan uraian-uraian yang
berpandangan sempit dengan
dikemukakan di atas, maka permasalahan
yang diteliti dapat dirumuskan ”Bagaimana
38
elit yang memerintah (governing elite) dan Sejak reformasi politik tahun 1997 di
kelompok masyarakat besar (umum) yaitu Indonesia yang diperkuat dengan adanya
masyarakat menengah kebawah yang pelimpahan kewenangan pusat ke Daerah
mempunyai jumlah yang banyak (non- (otonomi), memunculkan situasi baru bagi
govrning elite). sistim perpolitikan di Indonesia. Sistim
Kelompok elit yang memerintah (the multi partai yang diberlakukan pemerintah
governing elite) dibedakan lagi dari tokoh membuka peluang bagi elit-elit politik baru
yang termasuk dalam tokoh yang berkuasa untuk ikut bersaing dengan elit-elit politik
(the rulling class) mencakup petinggi senior yang ada. Posisi elit di Toraja
birokrasi pemerintahan yang sedang selama ini dipegang oleh kaum bangsawan
berkuasa, dan kelompok elit strategis yang biasa disebut Puang dan Toparenge’.
(strategic elites) mencakup pengusaha, Puang atau setara dengan Raja di daerah
pemimpin parpol, pemimpin agama, dan lain yang dijadikan simbol kepemimpinan
pemimpin organisasi sosial yang karena kekayaannya. Sementara
mempunyai pengaruh di bidang ekonomi, Toparenge’ lebih berfungsi sebagai
politik, agama, ilmu pengetahuan, pemimpin masyarakat. Peranan kaum
komunikasi massa (Jurdi, 2004 : 30). Hal bangsawan selama ini selalu dominan
senada diungkapkan oleh Gaetano Mosca dalam segala kegiatan kemasyarakatan.
dalam Varma (2007 : 202 – 203) bahwa
dalam semua masyarakat, dari yang paling • Metodologi Penelitian
giat mengembangkan diri serta telah
Metode yang digunakan dalam
mencapai fajar peradaban, hingga pada
penelitian ini adalah deskriptif dengan
masyarakat yang paling maju dan kuat,
pendekatan kualitatif. Adapun data yang
selalu muncul dua kelas dalam masyarakat
digunakan adalah data primer maupun
yaitu kelas yang memerintah yang
sekunder. Data primer dapat berupa
jumlahnya lebih sedikit tetapi memegang
manuskrip, notulen-notulen rapat, catatan
semua fungsi politik, monopoli kekuasaan
pribadi, serta wawancara mendalam
dan menikmati keuntungan-keuntungan
dengan sejumlah responden yaitu tokoh
yang didapatnya dari kekuasaan, kemudian
agama, tokoh adat, tokoh politik, pakar
kelas yang diperintah yang jumlahnya
pendidikan (akademisi), dan masyarakat
lebih besar namun selalu dikontrol oleh
umum. Sementara data sekunder diperoleh
masyarakat yang jumlahnya kecil.
melalui studi kepustakaan, berupa buku-
41
buku, majalah, disertasi, tesis, jurnal dikenal sebagai tana’ bulaan (tongkat
ilmiah, monograf, koran yang memuat emas) karena pada saat itu sudah ada emas
pembahasan dalam kajian ini. dan merekalah yang membawanya
(Palebangan, 2007 : 69-70).
• Budaya Toraja dan Makna budaya bagi masyarakat Toraja
Perkembangannya adalah sebagai identitas untuk
mengekspresikan tentang jati dirinya,
Ditinjau dari perspektif historis,
perasaannya, dan kehidupan sosialnya,
kepercayaan lama (aluk todolo) dan segala
serta agamanya terutama dalam
aturannya mengalami perkembangan
berintereaksi dengan lingkungannya. Oleh
seiring dengan perkembangan zaman.
sebab itu hubungan kekeluargaan atau
Kemajuan di bidang pendidikan, teknologi,
kekerabatan masyarakat Toraja dikenal
dan informasi, banyak mengkikis nilai-
sangat baik, dan terpelihara secara turun
nilai budaya lama yang tidak sejalan
temurun. Hal ini dapat dirasakan dari
dengan perkembangan moderen. Bila
berbagai ungkapan yang halus bila lewat di
disimak dari cerita rakyat sebagaimana
samping rumah dengan kata “manasumo
diceritakan oleh Puang Gau’ Lembang
raka” (arti harpiahnya adalah apakah sudah
dalam Palebangan (2007) mengatakan
masak?) yang dijawab oleh orang dalam
bahwa nenek moyang orang Toraja datang
rumah ”io manasumo ta lendu’ opa (ya
di dalam tiga gelombang yaitu: (1)
sudah masak, mari mampir).
gelombang pertama, disebut To Sama’
Budaya kekeluargaan yang terbina
diturunkan di negeri Tiangka’ (Sangalla’).
sejak dari nenek moyang mereka,
Rombongan ini dikenal dengan tana’
menggambarkan bahwa masyarakat Toraja
karurung (tongkat enaung) yang diambil
sangat menghargai kebersamaan dan
dari pohon ijuk karena pada saat itu belum
memupuk semangat gotong royong serta
ada besi dan emas; (2) gelombang ke dua,
menghargai perbedaan untuk memperkuat
disebut To makaka diturunkan di
persatuan (unity in difference). Secara
Marinding. Kelompok ini adalah penganjur
umum aluk dibagi dalam dua kelompok
aluk (agama) dan dikenal sebagai tana’
besar yaitu ritus pesta adat ( rambu tuka’)
bassi (tongkat besi) karena pada saat itu
dan ritus upacara penguburan (rambu
sudah ada besi namun belum ada emas, (3)
solo’). Adat ini biasa disebut dengan
gelonbang ke tiga, disebut To matasak
upacara yang berpasangan dan bertingkat-
diturunkan di Kandora (Sangalla’) dan
42
tingkat yang teratur mulai dari bawah menurun (aluk rampe matampuk). Upacara
sampai ke puncaknya (aluk simuane penguburan adalah satu bentuk adat yang
tallang, silau’ eran) (Tangdilintin, 1985 : diwariskan dari leluhur secara turun
15). temurun dan merupakan penghormatan
terakhir bagi yang telah meninggal.
a. Ritus Pesta Adat (Rambu Tuka’)
Sesuai dengan ajaran Aluk To dolo Strata Sosial Masyarakat
(kepercayaan lama) bahwa pesta adat Implementasi dari budaya Toraja yang
(rambu tuka’) biasanya dilaksanakan dimanifestasikan dalam bentuk adat
sebagai ungkapan syukur kepada dewa- istiadat tidak lepas dari pengelompokan
dewa atau leluhur yang didewakan atas masyarakat berdasarkan atas status
segala keberhasilan manusia dalam sosialnya. Strata sosial dalam masyarakat
menjalani kehidupan baik atas berkat, Toraja terbagi dalam empat tingkatan strata
kesehatan, pendidikan, maupun hasil yaitu (1) Strata sosial yang paling tinggi
usaha. Ada berbagai jenis dan ragam pesta disebut dengan Tana’ Bulaan atau tongkat
adat yang dilakukan masyarakat, di emas (kelompok bangsawan atau Puang);
antaranya adalah ma’rara banua (pesta (2) Strata sosial yang kedua disebut dengan
pentabisan rumah adat), merok (ucapan Tana’ Bassi atau tongkat besi (kelompok
syukur atas selesainya rumah adat yang bangsawan menengah); (3) Strata sosial
bangun baru atau direnovasi). Rambu tuka’ yang ketiga disebut dengan Tana’
artinya asap yang naik ke atas menuju Karurung atau tongkat rujung enau
langit di sebelah timur laut (aluk rampe (kelompok umum atau masyarakat biasa);
matallo) yang ditempati oleh para dewa. Strata sosial yang paling rendah disebut
Ada berbagai jenis dan ragam pesta adat dengan Tana’ Kua-kua atau tongkat
yang dilakukan masyarakat (namun tidak gelagah (kelompok budak).
dijelaskan semua disini). Dalam perkembangannya, sejak
memasuki abad ke- 20, lapisan masyarakat
b. Upacara Penguburan (Rambu Solo’) bawah (budak) di Toraja yang disebut
Upacara penguburan (rambu solo’) dengan istilah kaunan mulai dihapuskan,
yaitu upacara yang dilaksanakan berkaitan karena larangan dari pemerintah kolonial
dengan orang yang meninggal dan akan dan desakan dari agama yang memandang
dikubur. Rambu solo’ berarti asap yang semua manusia sama dan sederajat.
43
elit politik diikat secara moral dalam tiga masyarakat yang dikuasainya. Begitu juga
bentuk yaitu: masyarakat yang dikuasainya, datang dan
Pertama, masyarakat sebagai anggota duduk mendengar serta duduk
jemaat, telah mendapat sumbangan dari menyelesaikan masalah mereka itu di
elit-elit politik untuk digunakan dalam tempat penguasa itu tinggal (Tangdilintin,
membangun atau merenovasi rumah 1985 : 47).
Ibadah (investasi terselubung). Kedua, Secara umum Tongkonan dapat
jemaat bila kembali ke tengah-tengah berfungsi sebagai tempat berkumpul dan
keluarga, mendapat bantuan keuangan mendengarkan penerangan/perintah adat
langsung dari elit-elit politik (dibayar) agar dari pemangku adat di Tongkonan itu serta
memberikan suara pilihannya kepada yang tempat melaksanakan ritual pesta adat dan
memberi sumbangan. Ketiga, anggota upacara penguburan. Masyarakat kelas
jemaat sebagai bagian dari komunitas menengah ke atas bila meninggal, biasanya
umum mendapat bantuan dari elit-elit disimpan dalam rumah adat menunggu
politik untuk pembangunan desa atau kota. keluarganya untuk berkumpul dan
Semua jenis bantuan ini secara politis memutuskan waktu yang tepat untuk
mengikat masyarakat untuk memberikan melaksanakan ritus penguburan.
suaranya kepada calon pemimpin tersebut Rumah adat (tongkonan) sering
pada pemilihan kepemimpinan yang akan dimanfaatkan sebagai tempat kampanye
dilaksanakan. secara terselubung melalui syukuran yang
dilaksanakan oleh elit-elit politik
c. Pemanfaatan Simbol Budaya sebagai menjelang pemilihan Legislatif atau
Instrumen Politik pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Pesta
Salah satu simbol budaya yang sering yang dilangsungkan calon atau tokoh
digunakan sebagai alat politik oleh elit-elit politik di tongkonan tersebut tidak
politik lokal adalah rumah adat memungut biaya dari anggota keluarga
(Tongkonan). Dulunya Tongkonan lainnya, namun semuanya ditanggung oleh
dibentuk pada waktu penguasa-penguasa calon atau tokoh politik itu sendiri. Karena
dari luar Toraja menguasai daerah dan semua biaya ditanggung sendiri, maka
menduduki Tana Toraja serta menentukan segala tata cara dan aturan juga ditentukan
tempat tinggalnya atau rumahnya sebagai oleh calon atau tokoh politik itu sendiri.
tempat memberi perintah kepada Masyarakat diuandang untuk hadir dan
47
bahwa pemekaran ini sangat penting untuk elit-elit politik lokal untuk tujuan politik
kemajuan masyarakat. baik untuk mencari identitas diri atau
. prestise keluarga, maupun untuk
KESIMPULAN mendapatkan posisi kepemimpinan dalam
Masyarakat Toraja memaknai budaya masyarakat.
khususnya ritus pesta adat (rambu tuka’) Pada umumnya elit-elit poltik
dan ritus upacara penguburan (rambu menggunakan berbagai cara untuk
solo’) sebagai wujud pengabdian dan rasa memanipulasi budaya dalam mewujudkan
cinta kasih oleh anak cucu terhadap orang ambisi pribadi atau kelompoknya sebagai
tua yang meninggal dunia. Ritual seperti figur yang patut dijadikan teladan oleh
ini merupakan kewajiban yang tidak bisa masyarakat. Akibatnya budaya tidak lagi
dihindari dalam kehidupan Masyarakat mencerminkan kemurnian dan kesakralan
Toraja. Salah satu faktor yang memotivasi terutama pada ritus upacara penguburan
masyarakat Toraja untuk bekerja keras dan (rambu solo’) sebagai bentuk wujud cinta
mengumpulkan uang lebih banyak di luar kasih dan pengabdian anak cucu kepada
Toraja (di rantau) adalah karena adanya orang tuanya yang telah meninggal.
ritual pesta adat (rambu tuka’) dan ritual Bahkan budaya dan politik sudah sulit
upacara penguburan (rambu solo’). dipisahkan, karena dalam kegiatan politik
Besarnya biaya yang harus disiapkan oleh selalu memanfaatkan budaya untuk
keluarga dalam melaksanakan pesta adat mewujudkan tujuan politiknya.
atau upacara penguburan, sehingga Begitu juga dalam pemanfaatan rumah
membutuhkan waktu yang panjang untuk Ibadah (Gereja dan Mesjid) untuk tujuan
mencari dan mengumpulkan modal hingga politik, para tokoh agama menyayangkan
mencukupi kebutuhan pelaksanaan ritual perilaku berpolitik oleh elit-elit politik
tersebut. yang berlindung dalam Ibadah, karena
Meningkatnya pengetahuan, ekonomi, sambil beribadah juga mereka menjalankan
dan politik masyarakat, maka dalam kegiatan politiknya baik melalui
pelaksanaan ritual pesta adat (rambu tuka’) sumbangan langsung maupun dengan
maupun upacara penguburan (rambu solo’) meminta waktu untuk menyampaikan
juga mengalami perubahan. Bahkan pesan-pesan politknya dalam rumah
budaya Toraja khususnya pesta adat dan Ibadah. Hal ini menggugah keprihatinan
upacara penguburan telah digunakan oleh dari berbagai kalangan baik dari tokoh
49
Raru, G.G. dkk. 2009. Rekam Jejak Tangdilintin, L.T. 1985. Tongkonan
Pembentukan Kabupaten Toraja (Rumah Adat) Arsitektur & Ragam
Utara, Pemda Tana Toraja. Hias Toraja, Yayasan Lepogan
Bulan (YALBU), Tana Toraja.
Rodee, C., Carlton, dkk. 2009. Pengantar
Ilmu Politik, RajaGrafindo Persada Zuro, R., Siti dan Kawan-Kawan. 2009.
Jakarta. Demokrasi Lokal, Perubahan dan
Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya
Soeaidy, Saleh, M. 2007. Otonomi Daerah Politik Lokal, di Jawa Timur,
dan Resolusi Konflik Pusat- Sumatera Barat, Sulawesi Selatan
Daerah; dalam Desentralisasi dan dan Bali Ombak, Yogyakarta.
Otonomi daerah, LIPI Press,
Jakarta. ---------. 2011. Model Demokrasi lokal,
Jawa Timur, Sumatera Barat,
Soekanto, Soerjono. 1984. Teori Sosiologi
tentang Pribadi dalam Masyarakat, Sulawesi Selatan, dan Bali, THC
Ghalia Indonesia.
Mandiri Jakarta.
Sudarsono, Juwono dan Ruwiyanto,
Wahyudi. 1999. Reformasi Sosial