Anda di halaman 1dari 21

ANTROPOLOGI AL-QUR’AN

(Model Dialektika Wahyu dan Budaya)

Ali Sodiqin
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: ali_sadikin6@yahoo.com

A. Pendahuluan
Islam dan kebudayaan adalah dua hal yang dapat dibedakan meskipun tidak dapat
dipisahkan. Islam adalah agama yang berasal dari wahyu Tuhan. Ajaran-ajarannya bersifat
teologis karena didasarkan pada kitab suci Al-Qur’an. Kebudayaan didefinisikan sebagai
hasil cipta, karsa, dan karya manusia sehingga bersifat antropologis. Ruang lingkup
kebudayaan meliputi keseluruhan cara hidup yang khas dengan penekanan pada
pengalaman sehari-hari. Makna sehari-hari meliputi: nilai (ideal-ideal abstrak), norma
(prinsip atau aturan-aturan yang pasti) dan benda-benda material/simbolis. Makna tersebut
dihasilkan oleh kolektivitas dan bukan oleh individu, sehingga konsep kebudayaan
mengacu pada makna-makna bersama.1 Dalam proses penciptaan kebudayaan tersebut
tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan atau keyakinan masyarakat terhadap agama.
Ajaran agama yang dipahami masyarakat membentuk pola pikir yang kemudian
dituangkan dalam bentuk tradisi yang disepakati bersama.
Islam bukanlah produk budaya, tetapi ajaran Islam mampu mewarnai berbagai
aspek kebudayaan. Dalam implementasi ajarannya, Islam memerlukan media untuk
mentransformasikan nilai-nilai universalnya ke dalam tataran praksis kehidupan. Dari
sinilah muncul keragaman kebudayaan Islam, yang disebabkan adanya perbedaan
penafsiran dan pembumian ajaran Islam. Maka kebudayaan Islam sebenarnya adalah hasil
perpaduan antara ajaran Islam yang dipahami masyarakat dengan kebudayaannya, atau
penerjemahan universalitas ajaran Islam ke dalam lokalitas kebudayaan.
Keragaman kebudayaan Islam mestinya dipahami sebagai sebuah otentisitas Islam
yang nyata. Namun tidak jarang pula yang memahaminya sebagai sebuah penyimpangan
ajaran agama. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu perbedaan persepsi tentang
kebudayaan Islam dan realitas kebudayaan masyarakat Islam yang berwarna. Sebagian
umat Islam memahami bahwa praktek umat Islam hendaknya didasarkan pada kehidupan
1
Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural Studies Center
(Yogyakarta: Bentang, 2005), hal 48-50.

1
masyarakat klasik, khususnya masa nabi Muhammad SAW. Kehidupan masyarakat Islam
masa Nabi dianggap sebagai contoh ideal yang harus diterapkan selamanya. Maka jika
terjadi perbedaan dengan praktek masyarakat Islam sekarang, maka praktek tersebut
dianggap penyimpangan yang harus diluruskan.
Dalam realitas kebudayaan masyarakat Islam, masih ditemukan adanya unsur-unsur
yang tidak Islami. Hal ini disebabkan masih kuatnya masyarakat setempat memegangi
kepercayaan lokalnya dan mengambil ajaran Islam dari aspek luarnya saja. Praktek ini
kemudian disebut sinkretisasi, yaitu percampuran kepercayaan lokal dengan keyakinan
Islam. Kepercayaan lokal masyarakat biasanya berhubungan dengan keyakinan animisme
dinamisme yang memang mendominasi pemikiran masyarakat, khususnya masyarakat
pedalaman. Kenyataan inilah yang menyebabkan munculnya kosakata takhayul, bid’ah,
dan khurafat, yang dapat menjurus kepada kemusyrikan, sesuatu yang diharamkan dalam
Islam.
Dari sinilah muncul pertanyaan apa dan bagaimana kebudayaan Islam itu. Unsur-
unsur apa saja yang dapat dijadikan sebagai bahan pembentuk kebudayaan Islam. Apakah
dasar kebudayaan Islam itu keragaman ataukah kesatuan? Pertanyaan-pertanyaan inilah
yang penting untuk dijawab dengan mencari dasar normatif-teologis yang dapat
dipertanggung jawabkan. Penelusuran analisisnya harus dimulai dari Al-Qur’an, sumber
pertama dan utama dalam agama Islam. Secara historis pewahyuan Al-Qur’an tidak dapat
dilepaskan dari konteks kebudayaan masyarakat Arab waktu itu. Bagaimana Al-Qur’an
mengislamkan masyarakat Arab dan kebudayaannya adalah kata kunci untuk menemukan
dasar teologis bagi akulturasi Islam dan tradisi lokal pada masa sekarang.

B. Al-Qur’an dan Akulturasi


Dalam antropologi, akulturasi diartikan sebagai proses sosial ketika suatu
kebudayaan tertentu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Tahap selanjutnya
unsur-unsur tersebut diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menghilangkan kepribadian kebudayaan itu sendiri.2 Dalam mendeskripsikan proses
akulturasi perlu memperhatikan bagaimana keadaan masyarakat penerima, siapa agents of
acculturationnya, saluran atau media apa yang dilalui, bagian tradisi mana yang terkena

2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 248.

2
pengaruh, dan bagaimana reaksi masyarakat terhadap pengaruh tersebut.3 Di bawah ini
dijelaskan bagaimana gambaran implementasi ajaran-ajaran Al-Qur’an ke dalam
kebudayaan masyarakat Arab.

1. Masyarakat Arab dan Kebudayaannya


Masyarakat Arab merupakan masyarakat yang sudah berperadaban tinggi pada
masa itu. Masyarakatnya terbagi dalam dua kelompok, yaitu ‘Arab atau penduduk kota
(Ahl al-Madar), dan A’rab atau penduduk desa (Ahl al-Wabar). Penduduk kota hidup
dengan berdagang sehingga lebih maju kehidupannya, sedangkan penduduk desa atau yang
dikenal dengan suku Badui hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah. Secara geografis
kota Mekkah adalah pusat perdagangan, sedangkan Madinah merupakan daerah
perkebunan. Perdagangan di wilayah ini maju karena letaknya yang strategis, yaitu
pertemuan antara tiga benua: Asia, Eropa dan Afrika.4
Struktur masyarakatnya terbagi ke dalam berbagai suku atau kabilah. Kelompok
terkecil disebut hayy yang menempati tenda-tenda. Semua anggota hayy membentuk
sebuah klan (qawm), di mana hak dan tanggung jawab bersifat kolektif berdasarkan
solidaritas kelompok atau asabiyah. Sejumlah klan yang sedarah kemudian bersama-sama
membentuk suku (qabilah).5 Masing-masing suku maupun klan diikat oleh karakter yang
sangat kuat.6 Loyalitas kesukuan begitu eratnya sehingga orang yang tanpa suku tidak
mendapat perlindungan hukum.7 Sistem kekerabatan yang berlaku adalah patriarchi.
Struktur masyarakat kesukuan dan sistem patriarchi berpengaruh terhadap tradisi
politik, ekonomi dan keagamaan. Suku yang besar dan kuat secara politik akan berkuasa
dan memegang hegemoni ekonomi. Suku Qurays menjadi suku terkuat di kalangan
masyarakat Arab waktu itu. Suku ini menguasai pengelolaan Ka’bah yang pada musim haji
mendatangkan keuntungan dari para peziarah. Ka’bah, di samping sebagai tempat

3
Ibid., hal. 251.
4
K. Ali, Sejarah Islam Pra Modern, terj. Gufron A Mas’adi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000),
hal. 14.
5
Philip K Hitti, The History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dkk., (Jakarta: Serambi,
2005), hal. 32.
6
Robert Roberts, TheSocial Law of the Qoran (New Delhi: Kitab Bhavan, 1977), hal. 4.
7
Joseph G Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford University Press, 1964), hal. 7.

3
pemujaan juga sekaligus menjadi pusat perdagangan.8 Di bidang keagamaan, masing-
masing suku memiliki berhala sendiri-sendiri sebagai dewa yang mereka puja.
Secara garis besar masyarakat Mekkah sudah memiliki hukum adat yang
sederhana, sedangkan penduduk Madinah sudah mengenal bentuk awal dari penguasaan
atas tanah.9 Adapun tradisi yang sudah mapan dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Tradisi Keagamaan
Tradisi keagamaan yang sudah dipraktekkan suku-suku Arab antara lain adalah:
haji dan umrah, jum’atan, sakralisasi bulan Ramadhan, dan mengagungkan bulan-bulan
haram yaitu: Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab.10 Tradisi-tradisi tersebut sudah
menjadi ritual yang sudah melembaga dalam masyarakat Arab.
Haji dan Umrah yang dilakukan oleh orang Arab pra-Islam juga seperti yang
dipraktekkan umat Islam saat ini. Tradisi ini dilaksanakan setiap bulan Zulhijjah. Di
kalangan orang Arab, bulan ini disebut juga bulan haji yang berarti juga bulan peribadatan
dan bulan gencatan senjata.11 Rangkaian ritualnya terdiri dari: memakai pakaian ihram,
mengumandangkan talbiyah (dengan ungkapan syirik), melaksanakan thawaf sebanyak
tujuh kali (dengan telanjang), menyembelih hewan kurban, melaksanakan sa’i, wukuf,
melempar jumrah dan mencium hajar aswad. Disamping itu mereka juga sudah mengenal
hari tarwiyah dan hari tasyri’.12 Pelaksanaan ritual ini merupakan bentuk penghormatan
mereka kepada Ka’bah dan Hajar Aswad.
Masyarakat Arab juga biasa melakukan pertemuan umum pada hari jum’at. Hari
jum’at menjadi hari yang istimewa di kalangan orang Arab sebelum Islam. Kalangan
mutahannifun (pengikut tradisi agama hanif) mensakaralkan bulan Ramadhan. Abdul
Muthalib, kakek Nabi, pada setiap bulan Ramadhan berkhalwat di gua Hira dan
menginstruksikan agar menjamu orang miskin selama bulan Ramadhan.13
Bulan Zulqa’dah, Zulhijjah, dan Muharram diagungkan oleh orang Arab. Hal ini
karena ketiga bulan tersebut merupakan rentang waktu pelaksanaan ibadah haji. Sedangkan
bulan Rajab merupakan bulan untuk melakukan umrah. Keempat bulan yang dimuliakan
8
Hafiz Ghulam Sarwar, Origin and Development of Islam: Life of Muhammad (Delhi: Adam
Publishers and Distributors, 1996), hal. 32.
9
Ibid., hal. 13.
10
Khalil Abdil Karim, Syari’ah, Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad (Yogyakarta:
LkiS, 2003), hal. 5-14.
11
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Kesatu dan Kedua, terj. Gufron A. Mas’adi
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 22.
12
Karim, Syariah…, hal. 7.
13
Ibid., hal. 8-9.

4
ini juga disepakati sebagai bulan gencatan senjata, dimana diharamkan melakukan perang
pada bulan-bulan suci tersebut.14

b. Sistem Sosial
Sistem kekerabatan yang berlaku di masyarakat Arab adalah patriarchal agnatic, di
mana sekelompok masyarakat menurun melalui garis laki-laki dan berada di bawah
otoritas laki-laki yang tua.15 Laki-laki adalah kepala keluarga, sedangkan kedudukan
wanita inferior, yakni tidak memiliki hak yang penuh sebagai warga. Hal ini berakibat
munculnya sistem sosial yang memandang rendah status perempuan. Poligami, poliandri
dan perbudakan merupakan hal yang umum berlaku di masyarakat Arab waktu itu.16
Poligami yang dipraktekkan orang Arab tanpa mengenal batasan jumlah. Suami
disebut dengan istilah ba’al (yang berarti majikan) sedangkan istri disebut haram ( apa
yang dilindungi oleh ba’al). Disamping sejumlah istri, orang Arab juga memiliki beberapa
budak baik amat, jariyah, sariyyah, atau malak yamin. Kesemuanya berkonotasi budak
yang bisa multi fungsi yang menjadi objek penyaluran seksual tanpa melalui perkawinan. 17
Masyarakat Arab pra Islam juga mengenal pengangkatan anak (adopsi). Bahkan
anak adopsi ini memiliki hak yang sama dengan anak kandung. Dalam melaksanakan
perkawinan mereka juga menyerahkan mahar. Namun mahar tersebut dianggap sebagai
alat pembayar dari laki-laki (sebagai pembeli) kepada orang tua perempuan (sebagai
pemilik atau penjual).18 Perkawinan dikategorikan sebagai transaksi jual beli antara calon
suami dengan bapak calon istri. Perempuan dalam hal ini diperlakukan sebagai objek dari
transaksi tersebut yang tidak memiliki hak apapun terhadap dirinya sendiri. Ketika terjadi
talak, maka berarti putus hubungan perkawinan tanpa syarat. Mereka tidak mengenal iddah
atau masa tunggu. Begitu talak dijatuhkan, maka laki-laki dapat langsung melakukan
perkawinan lagi saat itu juga.

c. Sistem Hukum

14
Ibid., hal. 9.
15
Lapidus, Sejarah Sosial…, hal. 42.
16
K. Ali, Sejarah Islam…, hal. 21.
17
Karim, Syari’ah…, hal. 36.
18
Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad, Jakarta: P3M,
1987), hal. 16-17.

5
Masyarakat Arab juga mengenal aturan-aturan dalam menyelesaikan pelanggaran
hukum. Istilah qisas dan diyat sudah lazim dipraktekkan. Qisas adalah penuntutan balas
terhadap pelaku pembunuhan. Sistem pidana yang menonjol pada hukum adat jahiliyah
adalah menekankan pada keadilan pribadi dan balas dendam.19 Penuntutan balas ini
dikenal dengan istilah tsa’r (balas dendam).
Diyat adalah denda yang harus dibayarkan seseorang yang melakukan tindak
pidana kepada pihak yang dirugikan. Diyat ini juga disebut dengan istilah al-aqilah, bagi
kasus pembunuhan tidak sengaja dan semi sengaja. Denda al-aqilah ini biasanya
ditanggung oleh klan sebagai wujud solidaritas.20
Di bidang muamalah orang Arab juga telah mengenal aturan-aturan perdagangan
dan pertanian. Mekkah adalah kota dagang sehingga memungkinkan hukum-hukum
berkembang maju. Dalam perdagangan muncul hukum pinjaman dan bunga. Sementara di
Madinah masyarakat sudah mengenal kontrak pertanian dan hukum property
(kepemilikan).21
Di bidang hukum keluarga mereka juga mengenal hukum waris. Corak hukum
warisnya sangat dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang berlaku. Yang berhak menjadi
ahli waris adalah laki-laki, sedangkan perempuan bahkan menjadi objek yang bisa
diwarisi.

2. Agen Akulturasi
Individu yang membawa unsur-unsur asing dalam proses ini adalah Muhammad
SAW, nabi yang mendapatkan risalah dari Allah SWT untuk disampaikan kepada
masyarakatnya. Muhammad dalam proses sosial ini menempati kedudukan sebagai agent
of acculturation. Bagaimana jalannya akulturasi, bagian mana yang terkena pengaruh serta
bagaimana reaksi para individu yang terkena pengaruh akan dijelaskan dibawah ini.
Hal pertama yang dilakukan Muhammad adalah meletakkan sistem sosial yang kuat
atas dasar persatuan yang beyond the clan. Fanatisme kesukuan (ashabiyah) dianggap
sebagai penghalang bagi upaya menciptakan ummah. Sehingga Muhammad mengubah
pola solidaritas, dari solidaritas kesukuan yang sempit menjadi solidaritas berdasarkan

19
Ibid., hal. 21.
20
Karim, Syari’ah…, hal. 94.
21
Schacht, An Introduction…, hal. 7.

6
kesamaan agama. Di samping itu juga menegaskan bahwa unit keluarga masing-masing
berdiri sendiri dan tidak lagi terikat oleh suku.22
Visi Muhammad sebagai agen akulturasi berkembang sebagai respon langsung
terhadap realitas kebudayaan masyarakat setempat. Segala upaya reformasinya didasarkan
pada kenyataan riil dalam masyarakat. Prinsip dasar ajarannya adalah merujuk kembali
kepada kemaslahatan dalam budaya yang berlaku dan mengambil pranata-pranata yang
sesuai dan tepat.23
Proses reformasi yang dilakukan Nabi terjadi melalui dua tahapan, yaitu reorientasi
kesadaran individu dan restrukturisasi institusi sosial.24 Tahap pertama ditujukan pada
penataan mental individu dan masyarakat dalam menyesuaikan dengan worldview al-
Qur’an yang berakar pada kebenaran sejati (ultimate truth) melalu transformasi kultural.
Tahap kedua adalah penataan basis institusi sosial melalui transformasi struktural. Proses
ini kemudian menghasilkan munculnya kebudayaan baru yang diimplementasikan ke
dalam realitas sosial. Keseluruhan tahapan tersebut berakhir pada terjadinya perubahan
sosial masyarakat Arab, baik dalam sistem keyakinannya (believe system), norma-norma
yang berlaku (normative system), dan pola-pola perilaku (pragmatic system).
Metode akulturasi yang dilakukan Muhammad adalah tadarruj atau gradual.
Prinsip gradual merupakan upaya efektif untuk memasukkan unsur atau kaidah asing ke
dalam kebudayaan masyarakat. Model tadarruj yang dilakukan didasarkan pada kondisi
objektif masyarakat penerima. Turunnya ayat Al-Qur’an biasanya karena munculnya
kebutuhan sosial atau sahabat meminta advis kepada Rasulullah terkait peristiwa penting. 25
Di samping itu penetapan hukum suatu persoalan tidak dilakukan sekaligus, tetapi bertahap
sesuai dengan kesiapan masyarakat.
Target perubahan sosial yang dilakukan Nabi selama masa kerasulannya meliputi
tiga tingkat (level), yaitu micro, intermediate, dan macro.26 Tingkatan mikro yang menjadi
sasaran adalah individu. Dalam tingkatan ini al-Qur'an berusaha mengubah perilaku
pribadi dengan menurunkan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah eskatologis.
22
Coulson, Hukum Islam …, hal. 28.
23
Muhammad Said Al-Asmawi, Nalar Kritis Syari’ah, terj. Luthfi Thomafi (Yogyakarta: LkiS,
2004), hal. 115.
24
Louay M. Safi, Truth and Reform, Exploring the Patterns and Dynamics of Historical Change
(Kuala Lumpur: The Open Press, 1998), hal. 83.
25
Ahmad Hassan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka,
1994), hal. 40.
26
Mengenai level-level target perubahan sosial ini lihat dalam Steven Vago, Social Change, Fourth
Edition (New Jersey: Prentice Hall, 1999), hal. 335.

7
Tingkatan intermediate merupakan garis yang menghubungkan tingkatan antara micro
dengan macro, atau antara individu dengan masyarakat. Sasaran perubahan sosial dalam
tingkatan ini adalah perubahan dalam hubungan organisasional, seperti hubungan antar
kelompok suku maupun komposisi dalam masyarakat. Targetnya adalah perubahan norma
dan aturan-aturan dalam relasi antar kelompok. Tingkatan perubahan sosial yang terakhir
adalah macro level, di mana sasarannya adalah perubahan struktur sosial.27 Target dari
tingkatan ini adalah munculnya perubahan pola budaya dalam masyarakat sasarannya
melalui inovasi.

3. Media Akulturasi
Saluran atau media akulturasi adalah kebudayaan masyarakat Arab yang
melembaga pada saat Al-Qur’an diwahyukan. Kebudayaan tersebut meliputi tradisi
keagamaan, sistem sosial, dan sistem hukum. Dalam bidang keagamaan, maka misi
akulturasi adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat pada keesaan Tuhan (tauhid).
Simbol atau tradisi keagamaan yang menyimpang dari prinsip tauhid ini dirombak dan
dimusnahkan. Kepercayaan pagan yang berlaku di kalangan orang Arab dikembalikan ke
tradisi aslinya, yaitu agama hanif. Tradisi yang tidak bertentangan dengan tauhid dibiarkan
hidup bahkan dikembangkan dan dilegitimasi. Melalui proses ini Islam berdialog dengan
tradisi dan menghasikan sistem simbol. Sistem simbol tersebut yang merupakan hasil
akulturasi membentuk pola-pola budaya yang pada gilirannya membentuk model (models
for reality), yaitu memberikan konsep atau doktrin untuk realitas.28
Ibadah haji dan umrah misalnya, tetap dilanjutkan bahkan menjadi rukun Islam
yang kelima. Hanya saja ritual ini dimodifikasi dengan spirit tauhid. Namun modifikasi ini
tidak sampai membuang unsur utama dari ritus tersebut. 29 Hari jum’at, kemuliaan bulan
Ramadhan dan bulan-bulan haram masih menempati posisi yang sama dalam ajaran Islam.
Salat jum’at diadakan, Ramadhan menjadi bulan yang sakral dan bulan Zulqa’dah,
Zulhijjah, Muharram, dan Rajab tetap memiliki kemuliaan bagi umat Islam.

27
Struktur sosial yang dimaksud meliputi komposisi atau keseimbangan bagian-bagian dalam
masyarakat, tipe organisasinya, pola perilaku sosial, norma, nilai-nilai yang berlaku, produk budaya, dan
institusi sosial seperti agama, keluarga, politik, dan sistem ekonomi. Lihat dalam Ibid, hal. 7-8.
28
Bassam Tibi, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa Elizabet, dkk.
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 13-18.
29
Karim, Syari’ah…, hal. 13.

8
Di bidang sosial, sasaran akulturasi adalah kesetaraan hubungan dan kedudukan
antara laki-laki dan perempuan. Namun sistem patriarkhal tetap dipertahankan dan
dipertegas dengan sistem nasab. Atas dasar ini maka poliandri dilarang karena
bertentangan dengan sistem patriarchi tersebut.30 Poligami tetap diperbolehkan meskipun
dibatasi. Legitimasi ini disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat: 3. Bahkan Al-Qur’an juga
melestarikan istilah ba’al untuk menyebut suami sebagaimana tercantum dalam surat An-
Nisaa ayat: 128 (tentang nusyuz) dan An-Nur ayat: 21 (tentang kebolehan menampakkan
perhiasan).
Dalam masalah perkawinan juga dimodifikasi atas dasar kesetaraan. Suami istri
dipandang memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Pemberian mahar yang sudah
dilakukan masyarakat tetap dipertahankan, tetapi peruntukannya berbeda. Perkawinan
bukanlah transaksi jual beli, tetapi ikatan antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk
suatu keluarga. Mahar menjadi hak istri yang harus ditunaikan oleh suami.
Perlindungan terhadap istri juga ditegaskan Islam dengan memberi hak iddah (masa
tunggu) bagi perempuan yang ditalak (At-Talak ayat: 6). Dengan memiliki iddah, maka
status perempuan pasca talak terlindungi dan terjamin kesejahteraannya. Islam juga
mengubah status anak angkat sebagaimana tercantum dalam surat Al-Ahzab ayat: 37.
Dalam kerangka ini Muhammad memberi contoh yang kontroversial dengan menikahi
istri bekas anak angkatnya. Pada prinsipnya adopsi dibolehkan, tetapi status anak angkat
dibedakan dengan anak kandung.
Dalam bidang hukum juga terjadi perubahan atau modifikasi. Hukum qisas tetap
berlaku tetapi dengan perbedaan epistemologi. Qisas dijatuhkan bukan atas dasar balas
dendam (tsa’r), tetapi dilakukan dengan landasan pembalasan yang setimpal. Kesetimpalan
itu dilukiskan dalam surat Al-Baqarah ayat: 178-179 dengan ketentuan orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan.31
Bahkan disebutkan juga bahwa pengampunan atau pemberian maaf dianggap lebih utama
daripada qisas.
Dalam bidang muamalah, reformasi Muhammad didasarkan pada kemaslahatan
umat dengan menghapus praktek-praktek yang mengekploitasi kaum miskin. Di samping
itu juga berusaha menciptakan konsep yang dapat menjamin kelangsungan kontrak dan

30
Lapidus, Sejarah Sosial …, hal. 43.
31
Dalam surat Al Maidah ayat 45 disebutkan bahwa qisas sudah ada dalam Taurat, yaitu
pembalasan yang setimpal, jiwa dibalas jiwa, mata dibalas mata, telinga dengan telinga dan lain-lain.

9
menguatkan solidaritas antara yang kuat dengan yang lemah ekonominya. Dalam masalah
transaksi ditegaskan perlunya mencatat transaksi.. Praktek riba yang sudah berkembang di
masyarakat dilarang, karena menyebabkan disequilibrium ekonomi dan memperkuat
kelompok orang kaya. Sebagai solusinya Nabi menetapkan kewajiban zakat dan anjuran
bersedekah.

4. Pengaruh dan Reaksi terhadap Akulturasi


Selama kurang lebih dua puluh tiga tahun al-Qur’an melakukan perubahan
mendasar pada tradisi masyarakat Arab. Al-Qur’an tidak hanya mereformasi budaya
penerimanya, tetapi mengorganisasikan tatanan sosial dan juga mengeliminasi efek-efek
negatif dari pelaksanaan institusi sosial yang ada. Kesemuanya dilakukan dengan
melibatkan masyarakat dan pranata sosialnya untuk berperan dalam pengolahan dan
pembentukan kebudayaan baru yang positif dan fungsional. Keterlibatan masyarakat dan
tradisinya menunjukkan adanya proses pembelajaran norma melalui internalisasi ajaran al-
Qur’an dalam perikehidupan sosial.
Pengaruh akulturasi Al-Qur’an terhadap tradisi Arab menembus pada level
perwujudan lahir (overt culture), dan inti kebudayaan (covert culture). Perwujudan
lahiriyah kebudayaan terdiri dari tata cara dan gaya hidup, sedangkan inti sebuah
kebudayaan meliputi: sistem nilai, keyakinan keagamaan, dan adat yang memiliki fungsi
dalam masyarakat.32 Ajaran-ajaran al-Qur’an tidak hanya berusaha mengubah tata cara dan
gaya hidup, tetapi mampu mengubah paradigma berlakunya sebuah tradisi dalam
masyarakat. Paradigma yang berubah adalah dari politeisme ke monoteisme, dari
komunitas ‘asabiyah ke masyarakat ummah, dan dari sistem sosial yang berkelas ke sistem
yang berlandaskan kesetaraan sosial (social equity).
Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu untuk disampaikan kepada masyarakat
Arab, maka repon masyarakat terbagi dua kelompok yaitu menerima dan menolak. Dua
kelompok ini berasal dari kelas sosial yang berbeda bahkan bertentangan. Kelompok yang
menerima sebagian besar berasal dari kalangan masyarakat bawah, yaitu mereka yang
secara ekonomi dan politik kondisinya memprihatinkan. Dalam struktur sosial waktu itu,
kelompok ini tidak pernah diperhitungkan keberadaannya. Mereka tidak memiliki kekuatan

32
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: UI Press, 1990), hal. 97.

10
politik maupun ekonomi. Dalam al-Qur’an kelompok ini disebut dengan istilah mukmin
dan muslim.
Kelompok kedua adalah mereka yang menolak atau menentang ajaran yang
dibawa Nabi. Mayoritas kelompok ini berasal dari golongan aristokrat Qurays, suku yang
paling disegani pada waktu itu. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok ini
menguasai bidang politik sekaligus perekonomian. Mereka adalah pemuka-pemuka suku
sekaligus para pedagang kaya. Mereka menjadi penentu kebijakan yang berlaku di
kalangan suku-suku Arab. Kelompok oposan ini disebut dalam al-Qur’an dengan istilah
kafir, musyrik, dan munafik.

C. Model dan Dasar Akulturasi


Jika berpijak pada definisi akulturasi, maka yang dilakukan Nabi Muhammad
terhadap masyarakat Arab bukanlah akulturasi. Akulturasi terjadi karena adanya dua
kebudayaan yang saling pengaruh mempengaruhi sehigga terjadi integrasi. Hasil integrasi
melalui akulturasi tersebut masih menampakkan unsur-unsur kebudayaan yang saling
berpadu. Nabi Muhammad menyampaikan ajaran Al-Qur’an dengan tujuan mengubah tata
kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Sehingga yang kemudian berpadu adalah
wahyu (Al-Qur’an) dengan tradisi (kebudayaan Arab). Proses ini lebih dekat dengan
konsep inkulturasi, yaitu penanaman nilai-nilai atau ajaran Al-Qur’an ke dalam
kebudayaan setempat.33
Dalam proses pewahyuannya, secara historis-kontekstual, ajaran-ajaran Al-Qur’an
berhadapan bahkan bersinggungan dengan kebudayaan masyarakat setempat (Arab). Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan berbagai
kebiasaan atau adat istiadat masyarakat Arab. Bahkan terdapat beberapa ayat yang
berbicara langsung (berdialog) dengan penduduk Arab yang menjadi sasaran pertama
ajaran Al-Qur’an. Dalam proses inilah Al-Qur’an melakukan inkulturasi dalam rangka
33
Inkulturasi memperhatikan pada akuisisi terhadap berbagai aturan, pemahaman, dan orientasi
yang menyediakan landasan kehidupan masyarakat serta petunjuk berpartisipasi secara efektif. Lihat dalam
Fitz John Porter Poole, “Socialization, Enculturation and The Development of Personal Identity”, dalam Tim
Ingold (ed.), Companion Encyclopaedia of Anthropology: Humanity, Culture, and Social Life (London:
Routledge, 1994), hal 833-834. Istilah padananannya adalah sosialisasi yang mengimplikasikan proses
penyatuan ke dalam suatu kultur spesifik dan mempelajari norma-norma serta pola-pola di dalamnya. Lihat
dalam Charlotte Seymour-Smith, Macmillan Dictionary of Anthropology (London: Macmillan Press Ltd.,
1986), hal 93. Lihat juga dalam Thomas Barfield (ed.), The Dictionary of Anthropology (Oxford: Blackwell
Publisher Ltd., 1997), hal 149-150. Proses ini ditekankan pada adaptasi, pemeliharaan, dan pengembangan.
Lihat dalam Judith A Dwyer (ed.), The New Dictionary of Catholic Social Thought (Collegeville: Minnesota,
1994), hal 48.

11
untuk membenahi, merekonstruksi, dan bahkan mendekonstruksi tradisi yang berlaku di
masyarakat. Dalam kondisi ini kedudukan tradisi masyarakat Arab adalah sebagai media
atau sarana inkulturasi ajaran Al-Qur’an.
Tradisi masyarakat Arab dibentuk secara bertahap sesuai dengan world view Al-
Qur’an, yaitu tauhid (monoteisme). Prinsip inilah yang menjadi dasar bagaimana respon
Al-Qur’an terhadap keberadaan dan keberlakuan sebuah tradisi. Artinya prinsip tauhid
menjadi barometer bagi diterima tidaknya sebuah tradisi oleh Al-Qur’an. Ketika tradisi
masyarakat Arab tersebut tidak bertentangan dengan prinsip tauhid, maka Al-Qur’an
membiarkannya tetap berlaku, atau memberikan penyempurnaan dalam kaifiyahnya.
Namun jika tradisi tersebut tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan prinsip tauhid,
maka Al-Qur’an mengubahnya atau bahkan melarang keberlakuannya.
Berdasarkan prinsip tauhid, respon Al-Qur’an terhadap tradisi Arab dapat
dikelompokkan dalam tiga model, yaitu menerima dan menyempurnakan (tahmil),
mengubah/merekonstruksi (tagyir), dan melarang atau menghentikan berlakunya
(tahrim).34 Model tahmil menunjukkan respon Al-Qur’an yang mengapresiasi tradisi
masyarakat Arab. Termasuk dalam model ini adalah tradisi perdagangan dan
penghormatan bulan-bulan haram. Dalam masalah perdagangan, al-Qur’an memberikan
respon yang apresiatif dan komplemen terhadap sistem yang sudah berlaku. Masyarakat
Arab, yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, sudah memiliki sistem ekonomi yang
mapan dan diakui keberadaannya.35 Ayat-ayat yang berbicara tentang transaksi sebagian
besar terdapat dalam surat-surat mada>niyah, terutama surat al-Baqarah.36 Ajaran-ajaran al-
Qur’an yang berhubungan dengan perdagangan hanya berusaha mengubah tata cara dan
gaya hidup (overt culture) dan bukan mengganti sebuah adat istiadat. Tata cara dan gaya
hidup yang dipromosikan bertujuan untuk menghapus disequilibrium ekonomi dan sosial
masyarakat Arab.

34
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an, Model Dialektika Wahyu dan Budaya (Yogyakarta: Arruz
Media, 2008), hal. 117-135.
35
Suku Qurays yang mendominasi perdagangan di Mekkah, memiliki suatu tradisi yang dapat
dikatakan perkotaan-perdagangan (mercantile-urban). Lihat dalam Bassam Tibi, Islam and the Cultural…,
hal 17.
36
Terdapat lima ayat yang mengatur masalah perdagangan dan etika pelaksanaannya. Ayat-ayat
tersebut menjelaskan tentang: pembedaan antara praktek jual beli dengan praktek riba (Q.S. 2: 275), larangan
transaksi dengan cara tipu daya (Q.S. 2: 188), perdagangan harus terjadi atas dasar suka rela (QS. 4: 29),
aturan tentang pencatatan trasaksi (Q.S. 2: 282), dan meluruskan timbangan saat transaksi (QS. 17: 35,
26:181-182 , dan 55: 9).

12
Penghormatan terhadap bulan-bulan haram juga diapresiasi oleh al-Qur’an. Bulan-
bulan tersebut adalah: Rajab, Zul qa’dah, Zul Hijjah, Muharram, dan Rajab.37 Dalam
bulan-bulan ini masyarakat dilarang melakukan peperangan, permusuhan, kezaliman, dan
mengganggu jalannya upacara haji dan pasar umum. Al-Qur’an melanjutkan dan
mengabsahkan keberlakuan bulan-bulan haram ini, bahkan menganggapnya sebagai bagian
dari syiar-syiar Islam.38 Artinya terdapat kesejajaran kedudukan antara bulan haram
dengan syiar-syiar Islam. Hal ini juga menegaskan adanya pengakuan sekaligus
penerimaan terhadap tradisi yang ada.
Model tagyir adalah respon Al-Qur’an yang menerima keberadaan sebuah tradisi
tetapi mengubah tata cara pemberlakuannya. Dalam konteks ini bentuk tradisi ini tetap
dilanjutkan, tetapi pelaksanaannya direkonstruksi sehingga tidak bertentangan dengan
prinsip tauhid. Temasuk dalam model ini adalah pakaian dan aurat perempuan, tradisi
perkawinan, waris, adopsi, dan qisas-diyat.
Al-Qur’an merekonstruksi dan membenahi masalah pakaian dan aurat
perempuan, meliputi: aturan pergaulan antara perempuan dan laki-laki yang bukan
muhrim39 serta aturan pakaian perempuan muslim.40 Lembaga perkawinan yang terjadi di
masyarakat Arab juga direkonstruksi al-Qur’an. Rekonstruksi tersebut meliputi: model
perkawinan,41 ketentuan mahar,42 dan aturan tentang talak. Sedangkan ketentuan baru yang
diberikan al-Qur’an adalah dalam hal hak dan kewajiban suami istri serta masa iddah bagi
istri yang tertalak.43
Al-Qur’an merespon praktek hukum waris ini dengan model adoptif-rekonstruktif
melalui dua tahapan, yakni sistem wasiat dan desain pembagian warisan. 44 Perubahan dari
wasiat ke pembagian warisan menunjukkan metode al-Qur’an dalam mentransformasikan

37
Bagi masyarakat Arab, bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram merupakan bulan
pelaksanaan ibadah haji, sementara bulan Rajab, yang dianggap bulan ganjil, adalah waktu pelaksanaan
umrah.
38
Sikap ini ditunjukkan dalam QS. 2: 194, 197, dan 217, serta QS. 5: 2 dan 97.
39
Aturan tersebut dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab (33):53, cara berpakaian perempuan diatur Al-
Qur’an dalam QS. An-Nur (24): 31.
40
Lihat dalam QS. Al-Ahzab (33): 59.
41
Model perkawinan yang masih ditolerir al-Quran adalah poligami dengan ketentuan; istri-istri
itu tidak berstatus saudara (QS. 4: 23), batasan jumlah istri (QS. 4: 3),
42
Al-Qur’an mengubah paradigma mahar dari sebagai alat transaksi (diberikan kepada wali)
menjadi hadiah perkawinan bagi perempuan. Lihat dalam QS. 4: 4, dan 24.
43
Ketentuan tentang iddah termaktub dalam QS. 33: 49, QS. 2: 228, 234.
44
Ketentuan tentang wasiat turun lebih dahulu daripada ayat-ayat tentang waris. Baca Al-
Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, , hal 71

13
risalahnya, yaitu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat penerima dan juga
perubahan-perubahan yang terjadi.45
Dalam masalah adopsi, secara tegas al-Qur’an menyatakan bahwa anak angkat
tidak dapat berubah statusnya menjadi anak kandung, sehingga kedudukannya berbeda
dengan anak kandung.46 Anak angkat tidak dapat menjadi ahli waris, karena keberadaan
ahli waris ditetapkan berdasarkan hubungan darah.47 Namanyapun semestinya dinisbahkan
kepada bapak kandungnya bukan kepada bapak angkatnya.48
Dalam hal qis}a>s}-diyat al-Qur’an merespon kebiasaan ini sebagaimana terekam
dalam berbagai ayat-ayatnya. Al-Qur’an melegitimasi keberlakuan hukum qis}a>s}-diyat,49
dan menggariskan prinsip pembalasan yang seimbang.50 Keluarga korban tetap memiliki
wewenang untuk menuntut balas tetapi tidak boleh melampui batas. 51 Jika pembunuhan
dilaksanakan dengan tidak sengaja, maka sanksinya adalah memerdekakan budak atau
puasa dua bulan berturut-turut dan membayar diyat kepada keluarga korban.52 Pembatasan
ini berarti al-Qur’an memperbarui hukum qis}a>s}-diyat Arab jahiliyah. Al-Qur’an tetap
mengadopsi lembaga hukum qis}a>s}-diyat, tetapi mengubah sistem dan prosedur berlakunya.
Model tahrim adalah respon Al-Qur’an yang melarang atau menghentikan
berlakunya sebuah tradisi karena bertentangan dengan prinsip tauhid. Tradisi tersebut
sebenarnya sudah berlaku dalm keseharian masyarakat Arab, atau dipahami masyarakat
sebagai sebuah kebiasaan yang ditolerir. Namun demikian respon Al-Qur’an tegas
menolak berlakunya kebiasaan tersebut dan mendekonstruksi berlakunya. Termasuk dalam
model ini adalah tradisi judi, minum khamr, riba, dan perbudakan.
Al-Qur’an melarang keberadaan tradisi berjudi dan minum khamr melalui lima
ayat, yaitu surat an-Nahl (16) ayat 67, surat al-Baqarah (2) ayat 219, surat an-Nisa (4) ayat
43, dan surat al-Maidah (5) ayat 90-91. Adat istiadat lain yang juga mengalami nasib yang
sama adalah praktek riba, atau menarik tambahan dalam pembayaran hutang. Ayat-ayat
yang mengomentari praktek riba adalah surat ar-Rum (30) ayat 39, surat al-Baqarah (2)

45
Atas dasar ini Asymawi mengkategorikan hukum waris sebagai hukum sipil, yang dapat
diperbarui (pada tingkat individu dan publik) dengan kaidah-kaidah baru yang sesuai dengan peristiwa yang
belum pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. lihat Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, hal 110.
46
Lihat dalam surat Al-Ahzab (33) ayat 4.
47
Lihat ketentuan dalam ayat 6 surat Al-Ahzab.
48
Penjelasannya lihat dalam ayat 5 surat Al-Ahzab (33).
49
Ketentuan tersebut terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 178.
50
Lihat ketentuan dalam surat An-Nahl (16) ayat 126.
51
Lihat juga ketentuan dalam surat Al-Isra (14) ayat 33.
52
Lihat dalam surat An-Nisa (4) ayat 92 dan 93.

14
ayat 275-276, 278-279, dan surat Ali Imran (3) ayat 130. Ayat-ayat yang memuat
pelarangan tradisi berjudi, minum khamr, dan riba menggambarkan ketegasan sikap al-
Quran yang menolak keberadaan tradisi ini.
Perbudakan juga termasuk tradisi yang dilarang oleh Al-Qur’an, meskipun tidak
ada satu ayat pun yang secara tegas melarangnya. Namun perbudakan bertentangan dengan
konsep dasar al-Qur’an mengenai kesamaan derajat manusia.53 Meskipun tidak secara
tegas menolaknya, tetapi beberapa ayat al-Qur’an di atas mengindikasikan adanya upaya
mengeliminir keberadaan budak.54
Dialektika al-Qur’an dengan budaya Arab bukanlah sekedar mengadaptasi tradisi
yang ada (model of reality) dan menyesuaikannya dengan ajaran al-Qur’an. Namun proses
tersebut menghasilkan dan membentuk model baru (model for reality) sebagai hasil
pengolahan selama proses inkulturasi. Hal ini ditunjukkan dengan respon al-Qur’an yang
berbeda-beda terhadap tradisi yang ada. Tidak semua tradisi diterima dan atau ditolak,
tetapi terdapat juga tradisi yang diolah kembali (direkonstruksi).
Dari paragraf di atas dapat dipahami bahwa, sejak awal turunnya ajaran Islam
sudah melakukan kontak dengan kebudayaan masyarakat. Artinya proses pembentukan
ajaran Islam, sebagaimana digambarkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sudah melibatkan
tradisi lokal. Tradisi-tradisi tersebut menjadi media penyampai ajaran universal Islam.
Nilai-nilai universal ajaran Islam terinkulturasikan dalam kebudayaan masyarakat Arab
sehingga membentuk kebudayaan baru yang islami. Kebudayaan Islam bentukan Al-
Qur’an melalui Nabi Muhammad SAW memiliki basis kebudayaan lokal. Sehingga
implementasinya pada masa kini dapat belajar dari bagaimana Al-Qur’an melakukannya
ketika dalam proses pewahyuan hingga terbentuknya masyarakat Islam di Madinah.

D. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal pada Masa Kini


Proses akulturasi membuktikan bahwa Islam tidak terputus dari masa lalu. Akar-
akarnya lahir dari masyarakat di mana ayat Al-Qur’an turun. Bahkan ia menjadikan
sesuatu dari kaidah-kaidah budaya dan kebiasaan masyarakat sebagai hukum. Sehingga

53
Lihat dalam QS. Al-Hujurat (49): 11.
54
Diantara ayat-ayat tersebut antara lain: peningkatan kesejahteraan budak dengan
memasukkannya sebagai penerima zakat (QS. At-Taubah (9): 60), menganjurkan untuk memerdekakan
budak (QS. al-Baqarah (2): 177, al-Balad (90): 12, 13), menikahi mereka lebih baik daripada wanita musyrik
(QS. al-Baqarah (2): 221, an-Nur (24): 32), dan memasukkan memerdekakan budak sebagai salah satu
bentuk sanksi atau kafarat bagi pelanggar aturan atau pelaku kriminal (QS. an-Nisa (4): 92, al-Maidah (5):
89, al-Mujadalah (58): 3.

15
risalah Muhammad pada dasarnya adalah melakukan islamisasi kebudayaan Arab.
Islamisasi merupakan proses sejarah dan akulturasi terjadi di mana-mana dan tidak pernah
berakhir,55 termasuk saat ini dan di sini.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kerangka teori yang dapat digunakan
untuk mendialogkan Islam dengan kebudayaan lokal masyarakat sekarang? Bagaimana
pula mengolah kebudayaan sebuah masyarakat agar menjadi kebudayaan Islam? Apa ciri-
ciri dari sebuah kebudayaan Islam itu dan bagaimana kemungkinan keragamannya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab setelah terlebih dahulu ditemukan dasar
teologis sekaligus epistemologis bagi akulturasi Islam dan budaya lokal.
Kerangka teori yang dapat digunakan dalam mendialogkan Islam dengan
kebudayaan lokal adalah konsep reproduksi kebudayaan Al-Qur’an. Proses ini merupakan
penegasan dan konstruksi identitas budaya, yang mensyaratkan adanya adaptasi dalam
kehidupan sosial. Hal ini berimplikasi pada munculnya gejala budaya, baik pada tataran
individu maupun sosial. Pada tingkatan individu reproduksi budaya menyebabkan adanya
resistensi di dalam reproduksi identitas kultural. Dalam tataran sosial akan terjadi dominasi
dan subordinasi budaya secara dinamis.56
Konsep reproduksi kebudayaan Al-Qur’an bertumpu pada tauhid sebagai basis
implementasinya. Dalam mereproduksi kebudayaan, prinsip tauhid diterjemahkan dalam
dua prinsip pokok yaitu kesetaraan sosial (social equity) dan humanisasi tradisi.57 Prinsip
inilah yang menjadi tolok ukur, apakah sebuah tradisi lokal dapat diterima atau ditolak
keberadaannya. Sebuah tradisi dapat diterima dan dilanjutkan berlakunya jika secara
simbolik maupun substansial tidak bertentangan dengan prinsip tauhid, mempromosikan
penegakan kesetaraan sosial, dan tidak bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.
Kebudayaan Islam masa Nabi Muhammad SAW terbentuk melalui proses
reproduksi kebudayaan Al-Qur’an, sehingga menghasilkan kebudayaan baru. Reproduksi
kebudayaan yang dilakukan Al-Qur’an terjadi melalui tahapan adopsi, adaptasi, dan
integrasi. Tahap adopsi dilakukan dengan merespon keberadaan tradisi dan pelaksanaannya
dalam masyarakat. Al-Qur’an terkadang mengkritik, mengapresiasi, dan atau
mempertanyakan keberadaan tradisi tersebut kepada masyarakat pelakunya. Tahap

55
Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 1993), hal. 150.
56
Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hal. 41-45.
57
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an, hal. 164.

16
adaptasi adalah upaya mengukur, mengubah keberadaan, dan keberlakuan tradisi tersebut
dalam masyarakat. Dalam tahap ini Al-Qur’an merespon keberadaan sebuah tradisi, apakah
diterima, diubah, atau bahkan ditolak.
Tahap terakhir adalah integrasi antara simbol tradisi dengan nilai-nilai Al-Qur’an.
Tradisi baru sebagai hasil perpaduan ini berkedudukan sebagai model for reality bagi
kehidupan sosial waktu itu. Tahap ini juga merupakan sikap final Al-Qur’an terhadap adat
istiadat masyarakat setempat. Dengan demikian reproduksi kebudayaan yang dilakukan Al-
Qur’an tidak meninggalkan tradisi lokal tetapi menjadikannya sebagai bahan dasar bagi
terwujudnya sistem sosial-budaya yang baru sesuai dengan mainstream ajarannya.
Konsep reproduksi kebudayaan Al-Qur’an adalah dasar teologis bagi akulturasi
Islam dengan budaya lokal pada masa kini. Apa yang ditunjukkan Al-Qur’an, melalui Nabi
Muhammad sebagai agent of cultural change, merupakan sebuah metode bagaimana
membentuk kebudayaan Islam dengan tetap menghargai tradisi lokal. Namun demikian
ajaran-ajaran Al-Qur’an tetap dalam posisi dominan, karena menjadi barometer untuk
menentukan keabsahan sebuah tradisi. Ajaran-ajaran Al-Qur’an yang transenden dan
immaterial ditransformasikan ke dalam kebudayaan masyarakat yang historis dan material.
Dengan demikian keabsahan tradisi lokal dalam perspektif kebudayaan Islam
tidak dilihat dari sisi bentuk, melainkan ditekankan pada sisi substansinya. Bentuk
kebudayaan masyarakat memiliki keragaman karena perbedaan pola pikir, keyakinan, dan
kreativitas pendukungnya. Selama substansi tradisi tesebut tidak bertentangan dengan
prinsip dasar ajaran Islam, maka tetap dapat diadopsi keberadaannya. Keabsahannya tidak
diukur berdasarkan ada tidaknya tradisi tersebut pada masa Nabi. Kebudayaan Islam masa
nabi berbahan dasar tradisi Arab, sehingga pengembangannya pada masa sekarang lebih
menekankan sisi keislamannya, bukan kearabannya.
Pengolahan tradisi masyarakat menjadi tradisi Islam dapat dilakukan melalui
proses adopsi, adaptasi dan integrasi. Dalam kaitannya dengan dakwah Islam, maka setiap
tradisi masyarakat harus dipandang sebagai sebuah produk yang bernilai luhur dan
mengandung kearifan lokal. Tradisi-tradisi yang sudah berlaku di masyarakat selayaknya
diapresiasi sambil dilihat apakah fungsional atau tidak, bertentangan dengan prinsip tauhid,
social equity, fitrah kemanusiaan, atau justru sejalan meskipun dengan variasi yang lain.
Dalam konteks ini perlu dipahami konsep keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan lokal yang
menjadi dasar pembentuk tradisi.

17
Pemahaman terhadap konstruksi kebudayaan lokal sangat penting untuk
menentukan tahap adaptasi. Bagian-bagian mana dari sebuah kebudayaan lokal tersebut
yang harus tetap diapresiasi, bagian mana yang harus direkonstruksi, dan bagian mana
yang harus dihilangkan. Jika bagian-bagian dari kebudayaan tersebut menjurus pada
pelanggaran tauhid, membuat masyarakat dekat dengan kemusyrikan, maka bagian
tersebut harus dihilangkan. Demikian juga jika pelaksanaan tradisi tersebut menyebabkan
terjadinya diskriminasi sosial atau menyebabkan kastanisasi masyarakat, maka
pelaksanaannya harus diubah. Atau jika kegiatan kebudayaan tersebut justru merendahkan
derajat kemanusiaan atau melanggar fitrahnya, maka sudah selayaknya kebudayaan
tersebut direkonstruksi atau bahkan didekosntruksi keberlakuannya.
Jika tidak semua bagian dari kebudayaan lokal bertentangan dengan prinsip
tauhid, maka perlu dilakukan rekonstruksi. Dalam proses ini maka tahap integrasi ajaran
Islam ke dalam tradisi lokal tersebut mulai dijalankan. Apa yang dilakukan para
pendakwah Islam pertama ke Nusantara merupakan bukti nyata adanya upaya reproduksi
kebudayaan. Maka hasilnya dapat kita lihat, dalam masyarakat Islam di Indonesia terdapat
keragaman tradisi yang itu disebabkan adanya proses integrasi atau akulturasi antara ajaran
Islam dengan tradisi lokal. Masyarakat Jawa misalnya, memiliki tradisi selametan yang
berakar dari kebudayaan lokal, sehingga praktik ini mungkin tidak ditemukan di
masyarakat Islam daerah yang lain.
Dengan demikian yang dinamakan kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang
tumbuh, berkembang, dan dijalankan oleh masyarakat Islam, serta tidak bertentangan
dengan prinsip dasar ajaran Islam. Pengertian ini menimbulkan konsekuensi bahwa
kebudayaan Islam memiliki dua ciri. Pertama, ciri yang berkaitan dengan wilayah
kebudayaan. Kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang berkembang di kawasan wilayah
masyarakat Islam. Kedua, ciri yang berhubungan dengan substansi dan kaifiyahnya.
Kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang isinya, nilai-nilai fundamentalnya, serta tata
cara pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Dengan berpedoman pada dua ciri kebudayaan Islam di atas, maka keragaman
dalam kebudayaan Islam adalah sebuah keniscayaan. Justru keragaman tersebut merupakan
implikasi dari keuniversalan ajaran Islam yang dapat bersinergi, berintegrasi dengan
kebudayaan masyarakat. Keragaman kebudayaan adalah sunnatullah, yang harus disikapi
secara positif dan toleran. Ajaran Islam tidak mengharuskan uniformitas atau keseragaman

18
dalam hal-hal yang instrumental. Kebudayaan, termasuk di dalamnya tradisi masyarakat,
adalah sesuatu yang instrumental, karena diciptakan oleh masyarakat sebagai manifestasi
keyakinan dan pemikirannya. Selama keyakinan dan pemikiran tersebut tidak bertentangan
dengan nilai fundamental ajaran Islam (tauhid), maka keragaman implementasinya dapat
ditolerir.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa corak kebudayaan Islam adalah
keragaman dan bukan kesatuan. Keragaman kebudayaan Islam merupakan wujud
dinamisnya ajaran Islam yang selalu mampu membumi dan menjadi pedoman kehidupan
masyarakat. Kebudayaan Islam merupakan cerminan spirit umat Islam dalam
mengapresiasi dan mengimplementasikan ajaran agama yang diyakini dan dipegang teguh.
Kesatuan umat Islam terletak pada kesamaan world’s view ajaran Islam, yaitu tauhid.
Keyakinan tauhid inilah yang menjadi tolok ukur kesatuan umat Islam meski tetap
memberi ruang keragaman kebudayaan.

E. Penutup
Reproduksi kebudayaan al-Qur’an menunjukkan adanya proses islamisasi dan
bukan arabisasi. Hal ini menuntut perlunya memahami secara kontekstual berbagai aturan
yang memiliki kaitan dengan tradisi Arab. Implementasi ajaran al-Qur’an ditekankan pada
sisi universalnya bukan menonjolkan sisi partikularnya. Simbol kearaban tidak identik
dengan simbol keislaman, karena Islam bukan produk budaya Arab. Islam adalah agama
universal, yang ajarannya dapat diaplikasikan di semua jenis kebudayaan. Menganggap
simbol keraban sebagai satu-satunya simbol keislaman berarti melakukan arabisasi, yang
berarti juga menstagnasi kedinamisan ajaran al-Qur’an.
Berdasarkan keuniversalannya, ajaran Islam mampu berakulturasi dengan
kebudayaan masyarakat manapun, sejak awal pewahyuannya hingga akhir zaman nanti.
Dalam proses akulturasinya ajaran Islam berada dalam posisi dominan dan tradisi lokal
dalam posisi subordinat. Implementasinya menekankan pada substansi dan bukan pada
simbolnya, sehingga keragaman kebudayaan Islam tetap dapat diakomodir selama tidak
bertentangan dengan prinsip tauhid, mempromosikan kesetaraan sosial, dan tidak
bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2006.

Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Erlangga, 1993.

Al-Asmawi, Muhammad Said, Nalar Kritis Syari’ah, terj. Luthfi Thomafi, Yogyakarta:
LkiS, 2004.

Ali, K., Sejarah Islam Pra Modern, terj. Gufron A Mas’adi, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2000.

Barfield, Thomas (ed.), The Dictionary of Anthropology, Oxford: Blackwell Publisher Ltd.,
1997.

Barker, Chris, Cultural Studies, Teori dan Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural Studies
Center, Yogyakarta: Bentang, 2005.

Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad, Jakarta:
P3M, 1987.

Dwyer, Judith A (ed.), The New Dictionary of Catholic Social Thought, Collegeville:
Minnesota, 1994.

Hassan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Ahsin Muhammad, Bandung:
Pustaka, 1994.

Hitti, Philip K., The History of the Arabs, terj. R. Cecep Yasin dkk., Jakarta: Serambi,
2005.

Ingold, Tim (ed.), Companion Encyclopaedia of Anthropology: Humanity, Culture, and


Social Life, London: Routledge, 1994.

Karim, Khalil Abdil, Syari’ah, Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad,
Yogyakarta: LkiS, 2003.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

_____________, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: UI Press, 1990.

Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Kesatu dan Kedua, terj. Gufron A.
Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Roberts, Robert, TheSocial Law of the Qoran, New Delhi: Kitab Bhavan, 1977.

Safi, Louay M., Truth and Reform, Exploring the Patterns and Dynamics of Historical
Change, Kuala Lumpur: The Open Press, 1998.

20
Sarwar, Hafiz Ghulam, Origin and Development of Islam: Life of Muhammad, Delhi:
Adam Publishers and Distributors, 1996.

Schacht, Joseph G., An Introduction to Islamic Law, Oxford University Press, 1964.

Seymour-Smith, Charlotte, Macmillan Dictionary of Anthropology, London: Macmillan


Press Ltd., 1986.

Sodiqin, Ali, Antropologi Al-Qur’an, Model Dialektika Wahyu dan Budaya, Yogyakarta:
Arruz Media, 2008.

Tibi, Bassam, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa Elizabet, dkk.,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Vago, Steven, Social Change, Fourth Edition, New Jersey: Prentice Hall, 1999.

21

Anda mungkin juga menyukai