Anda di halaman 1dari 10

“ISLAM NUSANTARA”

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


DOSEN PENGAMPU
ABDURRAHMAN M.Ag

DISUSUN OLEH
FAJAR RIANSYAH
NIM
200110078
KELAS
A2

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK SIPIL
2020
ISLAM NUSANTARA

Pengertian Islam Nusantara


Banyak kalangan yang menolak labelisasi Nusantara pada Islam. Karena
bagi mereka Islam berlaku universal dan tidak bisa di sempit kan dengan pelabelan
apapun. Lebih jauh, menambahkan kata Nusantara telah menghilangkan identitas
rahmatan lil‘alamin dari Islam sebagai agama yang sem purna. Pendapat mereka ini
tidak salah, namun sesungguhnya tidaklah relevan dengan apa yang menjadi
subtansi Islam Nusantara itu sendiri.
Islam berarti “penyerahan, kepatuhan, ketundukan, dan perdamaian”. Nabi
Muhammad Saw mengungkapkan bahwa agama ini memiliki lima ajaran pokok,
yaitu “Islam adalah bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksana
kan puasa dan menunaikan haji bagi yang mampu”. Selain itu Islam memiliki dua
pedoman yang selalu dirujuk, Alquran dan Hadits. Keduanya memuat ajaran yang
membimbing umat manusia beserta alam raya ke arah yang lebih baik dan teratur.
Nusantara adalah istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan dari
Sumatera hingga Papua. Kata ini berasal dari manuskrip berbahasa Jawa sekitar
abad ke-12 sampai ke-16 sebagai konsep Negara Majapahit. Sementara dalam
literatur berbahasa Inggris abad ke-19, Nusantara merujuk pada kepulauan Melayu.
Ki Hajar Dewantoro, memakai istilah ini pada abad 20-an sebagai salah satu
rekomendasi untuk nama suatu wilayah Hindia Belanda. Karena kepulauan tersebut
mayoritas berada di wilayah negara Indonesia, maka Nusantara biasanya
disinonimkan dengan Indonesia. Istilah ini, di Indonesia secara konstitusional juga
dikukuhkan dengan Keputusan Presiden (Kepres) MPR No.IV/MPR/1973, tentang
Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E. Kata Nusantara ditambah dengan kata
wawasan.
Melalui pengertian Islam dan Nusantara di atas, maka Islam Nusantara
merupakan ajaran agama yang terdapat dalam Alquran dan Hadits yang
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW yang diikuti oleh penduduk asli
Nusantara (Indonesia), atau orang yang berdomisili di dalamnya. Namun jika
dikaitkan dengan pandangan setiap muslim atau organisasi Islam tertentu, seperti
NU, konsep Islam Nusantara akan menjadi kompleks. Hal ini terlihat ketika NU
menjadikan Muktamar ke-33 di Jombang untuk meluncurkan tema Islam Nusantara
secara resmi, yakni “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan
dunia”, begitu terlihat para tokoh di dalamnya memiliki konsep dan perspektif yang
berbeda beda.

Pandangan Para Ahli dan Tokoh Mengenai Islam Nusantara


Beberapa definisi tentang Islam Nusantara yang dikemukakan oleh para ahli
antara lain : “Islam Nusantara ialah paham dan praktek keislaman di bumi
Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas dan budaya
setempat.” (Muhajir dalam Sahal & Aziz, 2015: 67). Definisi ini menunjukkan
bahwa secara substantif, Islam Nusantara merupakan paham Islam dan
implementasinya yang berlangsung di kawasan Nusantara sebagai akibat sintesis
antara wahyu dan budaya lokal, sehingga memiliki kandungan nuansa kearifan
lokal (local wisdom).
“Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai
Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air.”
(Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015: 239). Definisi ini merupakan Islam yang
berkarakter Indonesia, tetapi juga sebagai hasil dari sintesis antara nilai-nilai Islam
teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal. Hanya saja, wilayah geraknya dibatasi pada
wilayah Indonesia, sehingga lebih sempit daripada wilayah gerak dalam pengertian
yang pertama yang menyebut bumi Nusantara.
“Islam Nusantara adalah metodologi dakwah untuk memahamkan dan
menerapkan universalitas (syumuliyah) ajaran Islam sesuai prinsip-prinsip
Ahlussunnah waljama’ah, dalam suatu model yang telah mengalami proses
persentuhan dengan tradisi baik (‘urf shahih) di Nusantara, dalam hal ini wilayah
Indonesia, atau merupakan tradisi tidak baik (‘urf fasid) namun sedang dan/atau
telah mengalami proses dakwah amputasi, asimilasi, atau minimalisasi, sehingga
tidak bertentangan dengan diktum-diktum syari’ah.” (Anam, t.t: 22). Definisi ini
dari skala berlakunya memiliki kesamaan seperti definisi yang disampaikan oleh
Bizawie, Namun, definisi ini mengandung penekanan, disamping pada metodologi
dakwah, juga pada universalitas ajaran Islam, prinsip - prinsip ahlussunnah
waljama’ah, dan proses dakwah amputasi, asimilasi, atau minimalisasi untuk
mensterilkan metodologi dakwah itu dari tradisi - tradisi lokal yang menyesatkan.
Alur berpikir yang tercermin dalam definisi ini juga kurang jelas, untuk tidak
dikatakan kacau, sehingga tidak mudah dipahami kecuali dilakukan telaah secara
cermat dan teliti, karena alur berpikirnya yang berkelok-kelok.
Perdebatan istilah Islam Nusantara terletak pada label kata “Nusantara”
yang mengikuti kata “Islam”. Kata ini bisa mempengaruhi makna Islam yang tidak
hanya dimaknai secara normatif, tapi juga variatif. Ketika Islam dan Nusantara
menjadi frase Islam Nusantara, artinya sangat beragam. Tergantung cara pandang
atau pendekatan keilmuan yang dipakai. Sementara, menurut guru besar fisiologi
Islam UIN Jakarta, Oman Fathurrahman, Islam Nusantara yang di maksud bukan
Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi. “Oleh kerena itu kita
mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara
yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi,
penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan
sastra di Indonesia.
Sedangkan menurut Akhmad Sahal, dalam memahami Islam Nusantara,
harus meyakini ada dimensi keagamaan dan budaya yang saling berjalin-kelindan
satu sama lain. Dimensi ini adalah suatu cara Islam ber kompromi dengan batas
wilayah teritorial yang memiliki akar budaya tertentu. Hal ini meng akibatkan Islam
sepenuh-penuhnya tidak lagi menampilkan diri secara kaku dan ter tutup, namun
menghargai keberlainan. Islam dengan begitu sangat mengakomodir nilai-nilai
yang sudah terkandung dalam suatu wilayah tertentu.
Menurut KH. Mustofa Bisri, kata Nusantara itu akan salah maksud jika
dipahami dalam struktur na’at-man’ut (penyifatan) sehingga berarti, “Islam yang
dinusantarakan.” Akan tetapi akan benar bila diletakkan dalam struktur idhafah
(penunjukan tempat) sehingga berarti “Islam di Nusantara.” Melalui penjabaran ini,
setidak nya turut meminimalisir perspektif keliru dari suatu kelompok yang salah
dalam memahami Islam Nusantara. Akan tetapi, penunjukkan tempat juga berarti
menguak unsur - unsur yang ada dalam suatu tempat tersebut. Maka, akhirnya
dalam konteks Nusantara, perlu kemudian merangkul watak dan karakteristiknya.
Untuk menjawab sangkaan terhadap pelabelan kata Nusantara dalam Islam,
maka buku Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, karya
Ahmad Baso dapat dijadikan rujukan untuk memahami Islam Nusantara secara
gamblang. Pada buku tersebut, Ahmad Baso menulis bahwa Islam Nusantara
diibaratkan sebagai pertemuan dua bibit pohon unggulan yang berbeda jenis, namun
ketika disatukan dalam proses persilangan akan menghasilkan sebuah bibit baru
yang lebih unggul. Persilangan Islam dan Nusantara diperlukan untuk memeroleh
genius baru dengan karakter atau sifat - sifat unggulan yang diinginkan. Bibit ini
akan tumbuh sehat dan mampu bertahan dalam situasi dan cengkeraman lingkungan
manapun, toleran dan adaptif terhadap lingkungannya sehingga bisa tumbuh dan
besar dengan sehat, tidak cepat aus, rusak atau gagal tumbuh. Dengan persilangan
dua spesies berbeda itu maka diharapkan muncul spesies baru yang populis, kualitas
peradaban yang tinggi serta tahan banting terhadap berbagai kondisi dan tantangan.
Dan spesies baru itulah yang disebut Islam Nusantara. Maka kalau kita yakin betul
Islam Nusantara itu adalah hasil persilangan dua bibit unggul maka ijtihadkunyit
lebih mendukung keunggulan kekayaan alam Nusantara kita dibandingkan,
misalnya mengimpor habbatussawda (jinten hitam).

Pro dan Kontra Terhadap Perspektif Islam Nusantara


Adanya gerakan atau istilah islam Nusantara menimbulkan perspektif pro
dan kontra. Pihak yang pro berjuang keras menggunakan penalarannya dalam
beragumentasi agar Islam Nusantara dapat diterima semua kalangan. Semantara
pihak yang kontra berusaha menyerang dan mematahkan semua argumen yang
dibangun pihak pro Islam Nusantara. Tuduhan pihak kontra terasa agak ambigu
dengan mencurigai gagasan Islam Nusantara merupakan produk Barat. Pihak
kontra meyakini bahwa Islam itu hanya satu, yaitu Islam yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW. Islam tidak bisa diberikan julukan berdasarkan metode
pendekatan maupun kawasan seperti Islam Nusantara. Islam dengan ciri khas
seperti Islam Nusantara dipandang negatif dan diyakini hal itu salah. Di mata
mereka, kelompok pro Islam Nusantara dianggap sebagai ahli bid’ah, karena
berbeda dengan Islam ideal dalam pandangan mereka. Islam Nusantara, menurut
mereka, tidak lagi murni karena dimasuki paham dari luar.
Pihak pro, di sisi lain, mendapat dukungan dari para pemikir Muslim. Dalam
kesimpulan mereka, Islam memang satu namun ekspresinya beragam. Islam
Nusantara menunjukkan ekspresi karakteristik Islam Indonesia yang khas dan tidak
dimiliki Islam di belahan bumi lain. (Ali, 2006: 10) menjelaskan bahwa Islam itu
satu. Tetapi, ketika Islam telah membumi, pemahaman dan ekspresi umatnya sangat
beragam. (Fanani, 2004: 116) juga menyatakan bahwa fenomena keberagaman
umat dewasa ini seperti pendulum yang sangat warna warni. Islam tidak dipandang
lagi secara tunggal melainkan majemuk. (Shihab, 1998: 249) mensinyalir bahwa
ada cendekiawan kontemporer memperkenalkan adanya ‘versi’ Islam regional dan
Islam universal. Adapun (Ma’arif, 2009: 181) mengungkapkan, “Sebuah Islam,
seribu satu ekspresi.”
Sebagian orang menilai gagasan Islam Nusantara adalah reinkarnasi dari
gagasan “Islam Liberal”, “Islam Moderat”, “Islam Indonesia” dan label lainnya
yang disifatkan pada Islam. Jualan Islam Liberal sendiri sudah tidak laku di
Indonesia. Lalu mereka beralih ke jualan nama lain, yakni Islam Nusantara.
Mungkin ada benarnya jika dikatakan gagasan Islam Nusantara adalah peralihan
dari gagasan Islam Liberal. Karena jika dilihat, nama-nama tokoh yang menjadi
pelopor, pengusung dana atau yang setuju dengan gagasan Islam Nusantara
mayoritas adalah nama-nama yang tercantum di dalam buku yang berjudul 50
Tokoh Islam Liberal di Indonesia, yang dikarang oleh Budi Handrianto tahun 2007,
terbitan Hujjah Press.
Azyumardi Azra, misalnya. Ia setuju dengan gagasan Islam Nusantara. Ia
termasuk ke dalam list 50 tokoh Islam Liberal di Indonesia tersebut. Begitu juga
dengan nama-nama lainnya seperti Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Said
Aqiel Siradj, Abdul Moqsith Ghazali, Ahmad Sahal dan lainnya. Dalam
penjelasannya tentang Islam Nusantara, Azyumardi menjelaskan bahwa model
Islam Nusantara bisa dilacak dari sejarah kedatangan ajaran Islam ke wilayah
Nusantara yang dia sebut melalui proses vernakularisasi. “Vernakularisasi itu
adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa
lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa
Indonesia.”
Kemudian proses ini diikuti pribumisasi (indigenisasi). Karena itu, menurut
dia, Islam menjadi embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia. “Jadi, tidak lagi
menjadi sesuatu yang asing. Karena itu dalam penampilan budayanya, Islam
Indonesia jauh berbeda dengan Islam Arab. Telah terjadi proses akulturasi, proses
adopsi budaya-budaya lokal, sehingga kemudian terjadi Islam embedded di
Indonesia,” jelas mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tersebut. Adapun Masdar F. Mas’udi berpendapat bahwa meskipun posisi
Indonesia jauh dari tempat turunnya wahyu Al-Qur’an, pada aspek pemahaman,
pengamalan dan tradisi, Indonesia sangat menjanjikan untuk dijadikan pegangan
dunia Islam.
Sementara pandangan lain menurut pihak yang kontra, ide Islam Nusantara
merupakan paham atau gagasan yang membahayakan. Menurut Ketua Komisi
Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat, KH M Cholil Nafis, ada dua
makna Islam Nusantara, yakni objektif dan subjektif, “Objektif adalah memaknai
Islam itu berdasarkan sesuatu yang berlaku di Indonesia tetap berdasar al-Quran
dan Hadis. Hanya saja pada saat dalam al-Quran dan Hadis tidak ada, ia
mengkayakan dengan budaya di Indonesia, yang menurut ilmu ushul fiqh
berdasarkan ‘urf,” terangnya pada Rabu, 04/07/2018. Adapun yang subjektif,
menurut Kiai Cholil, dapat memalingkan makna Islam dan istilah Islam Nusantara
tersebut sehingga dapat dijadikan sebuah alat baru untuk memecah belah umat
Islam itu sendiri, “Yang subjektif itu dapat memalingkan makna Islam Nusantara
menjadi berlawanan dengan Islam yang turun di Arab, dan kadang-kadang rasis
kepada Arab dan memaknai Islam untuk menghancurkan islam itu sendiri.”
KH Yahya Zainul Ma’arif (Pengasuh PP. Al-Bahjah, Cirebon) yang biasa
dipanggil Buya Yahya, saat menjelaskan persoalan yang di bawakan dalam tema,
“Solusi Dinamika Islam Kekinian Di Indonesia dan Dunia”, dalam seminar ilmiah
yang diadakan Pondok Pesantren Sidogiri pada hari ahad 24 Juni 2016,
menjelaskan, “Ketentuan ini adalah ajaran ulama sejak zaman dulu dan menjadi
identitas Ahlussunnah wal Jamaah di seluruh dunia sejak generasi awal. Dengan ini
tidak perlu ada Islam Arab, Islam Inggris ataupun Islam Nusantara.”
KH Muhammad Najih Maimoen (Gus Najih), menolak dengan tegas
rumusan Islam Nusantara. Gus Najih beranggapan rumusan itu mengarah pada
penyesatan opini publik. Apalagi Islam Nusantara tersebut dicetuskan dan
didakwahkan oleh tokoh-tokoh yang sudah dikenal berpaham liberal bahkan Syiah.
Gus Najih khawatir gerakan Islam Nusantara itu menjadi gerbong besar liberalisasi
dan syiahisasi bagi umat Islam Idonesia.
Ide Islam Nusantara ini adalah sebuah ide yang berbahaya. Mengapa?
Karena bisa jadi ke depan akan muncul Islam versi yang lain, seperti Islam Timur
Tengah, Islam Asia, Islam Afrika, dan sebagainya. Istilah-istilah ini akan semakin
membuat perpecahan di tengah-tengah umat Islam. Jika perpecahan itu terjadi, hal
demikian akan mengamini strategi Barat dalam memecah belah umat Islam. Ini
sebagaimana yang terungkap dalam dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga
think-tank (gudang pemikir) AS, yakni Rand Corporation yang berjudul: Civil
Democratic Islam. Karena itu gagasan Islam Nusantara ini harus dihentikan.
Gagasan ini akan membuat perpecahan di kalangan Umat Islam di dunia. Bahkan
ia akan mencegah umat Islam di seluruh dunia bersatu di bawah naungan institusi
Khilafah Islamiyyah.

Tanggapan Masyarakat Mengenai Islam Nusantara


Sosialisasi identitas Islam Nusantara ternyata mendapat respons yang
beragam di kalangan umat Islam terutama para pemikirnya. Terjadi kontroversi
pandangan dan penilaian di kalangan mereka hingga terbelah menjadi beberapa
kelompok. Menurut Sahal (dalam Sahal & Aziz, 2015: 16), Islam Nusantara yang
dijadikan tema utama Muktamar NU itu telah menimbulkan debat publik yang
serius. Kesaksian senada diungkapkan oleh Fatoni (dalam Sahal & Aziz, 2015:
229). Ada sikap pro dan kontra terhadap Islam Nusantara di kalangan mereka; ada
yang berjuang keras dan berargumentasi dengan mendayagunakan penalarannya
agar Islam Nusantara bisa diterima baik di kalangan umat Islam maupun non Islam,
sebaliknya ada yang menghadang perjuangan itu dan berusaha mematahkan
argumentasinya; ada yang memiliki harapan besar dengan kehadiran Islam
Nusantara itu, namun ada yang justru menaruh berbagai kecurigaan sebagai
rekayasa yang canggih dari Barat; ada yang kurang menyetujui Islam Nusantara itu
tetapi mereka diam, tidak melakukan serangan - serangan yang berusaha
mematahkan argumentasi kelompok yang menyetujui Islam Nusantara; dan ada
juga yang menyetujui penggunaan istilah Islam Nusantara tersebut, namun bersikap
diam dan pasif sehingga tidak berusaha mempromosikannya.
Mereka yang menolak Islam Nusantara memiliki pandangan bahwa Islam
itu hanya satu. Islam yang satu itu merupakan Islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Islam tidak bisa diberikan identitas berdasarkan suatu
pendekatan, corak, peranan maupun kawasan sehingga membentuk identitas Islam
khusus seperti Islam Nusantara itu. Kalau terdapat Islam lain di luar Islam yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad itu harus segera menyesuaikan diri dengan Islam
standar tersebut, sehingga keunikan identitas Islam tertentu justru dipandang
negatif karena telah melakukan penyimpangan dari format Islam yang ideal (Islam
yang sebenarnya). Keunikan Islam Indonesia sedang menghadapi gugatan seiring
dengan kehadiran fenomena radikalisme belakangan ini (Rahmat dalam Rahmat et
al., 2003: xvi). Pemahaman keagamaan mainstreamumat Islam Indonesia dinilai
sebagai pemahaman yang salah, karena berbeda dengan Islam ideal, Islam yang
dicontohkan oleh salaf al-shalih. Keunikan ekpresi keislaman masyarakat Indonesia
dicerca sebagai ‘jahiliyah modern’ yang menyimpang dari Islam yang benar,
otentik, dan asli. Otensitas Islam hilang ketika bercampur dengan unsur luar,
termasuk unsur Nusantara.
Islam senantiasa satu kapan pun dan dimanapun. Islam tidak akan
mengalami perubahan meskipun menghadapi masa modern sekalipun, dan Islam
juga tidak akan mengalami perubahan ketika agama yang dibawa Nabi Muhammad
ini disebarluaskan dan dikembangkan di luar Makkah, termasuk misalnya ketika
disebarkan dan dikembangkan di Indonesia. Ada pandangan seolah-olah Islam
Indonesia itu berbeda dengan Islam kawasan lain (Langgulung dalam Azhari &
Saleh, 1989: 157). Islam adalah Islam dimana saja berada. Jadi, sifat Islam itu
mutlak, kekal, dan abadi. Kemungkinan berbeda hanya pada tataran
pelaksanaannya. Ketiga sifat Islam itulah yang mengawal kesatuan identitas Islam
sehingga Islam berada dimanapun dan kapanpun tetap sebagai Islam seperti Islam
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Pada bagian lain dalam posisi yang berlawanan dengan pandangan -
pandangan yang menolak Islam Nusantara itu, terdapat beberapa pemikir yang
justru menyetujuinya. Azra (dalam Sahal & Aziz, 2015: 171-172) menyatakan
bahwa Islam satu itu hanya ada pada level al Quran. Namun al Quran (serta hadits)
membutuhkan rumusan yang rinci, sehingga ayat-ayatnya perlu ditafsirkan dan
dijelaskan maksudnya. Hasilnya berupa kemunculan penafsiran dan penjelasan
yang berbeda-beda, kemudian menjadi madzhab atau aliran. Inilah menurut penulis,
realitas yang kita hadapi dan harus kita sadari. Islam satu itu hanya terdapat pada
substansi ajarannya, tetapi penampilan luarnya sangat beragam. Sebagaimana
menjadi acuan Muhammad, Qatadah menyatakan al-din wahid wa al-syari’ah
mukhtalifah/agama hanya satu, sedangkan syariat berbeda-beda (dalam Sahal &
Aziz, 2015: 98). Agama di sini yang dimaksudkan adalah agama Islam.
Bagi pemikir - pemikir Islam yang mendukung identitas Islam Nusantara
ini tampaknya mereka memandang bahwa substansi Islam memang satu, namun
ekpresinya sangat beragam. Ketika mereka mengakui keberadaan identitas Islam
Nusantara, mereka hanya memandang identitas Islam itu dari tinjauan ekpresinya.
Ekpresi Islam Nusantara ini ketika menunjukkan fenomena - fenomena yang sama
secara berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya, pada gilirannya
akan membentuk karakteristik - karakteristik tertentu yang dapat diidentifikasi,
diketahui dan dipahami sehingga memudahkan orang lain dalam memahami Islam
Nusantara tersebut.

Sumber Reverensi
media.neliti.com. 2015. ISLAM NUSANTARA – Neliti.
https://media.neliti.com/media/publications/23806-ID-islam-nusantara-sebuah-
alternatif-model-pemikiran-pemahaman-dan-pengamalan-islam.pdf. Diakses Pada
12januari 2021.

al-waie.id. 25 Agustus 2018. Pro-kontra Islam Nusantara – Al-Wai’e. https://al-


waie.id/fokus/pro-kontra-islam-nusantara/. Diakses pada 13 januari 2021.

syariah.iain-surakarta.ac.id. 16 Januari 2019. Islam Nusantara, Why Not? –


Fakultas Syariah. https://syariah.iain-surakarta.ac.id/islam-nusantara-why-not/.
Diakses pada 13 Januari 2021.

Anda mungkin juga menyukai