Anda di halaman 1dari 4

“ISLAM NUSANTARA”

Islam Nusantara baru-baru ini hangat diperbincangkan di media social oleh tokoh politik,
ormas Islam, dan masyarakat (netizen). Islam Nusantara muncul dengan logika baru yaitu
mengindonesikan Islam bukan mengIslamkan indonesia. Hal ini patut dikritisi karena di tengah
panggung politik yang memanas saat ini yaitu pilkada,pileg dan pilpres 2019 diiringi kondisi
umat Islam Indonesia yang semakin melek politik Islam semakin sangat ditakuti oleh rezim anti
Islam yang dimotori dari aksi 212. Muncul gerakan umat #GantiPresiden #GantiSistem yang
tidak asing lagi bagi masyarakat. Masyarakat mulai sadar bahwa Islam bukan hanya agama
ritual tetapi juga agama politik.
Krisis kedamaian di berbagai wilayah Timur Tengah pada tahun terakhir ini juga semakin
marak puncaknya isu Yerussalem yang dijadikan Ibu kota Israel. Muslim Indonesia sebagai
muslim yang terbesar se-Dunia yang mencapai 12,7 % dari total Muslim dunia atau sekitar 205
juta jiwa memiliki andil besar untuk bersikap solutif dalam masalah tersebut, lebih khususnya
dalam bidang politik negara baik politik dalam negeri (dakhili siyasi) dan politik luar negeri
(khoriji siyasi). Oleh karena itu, tidak berlebihan, jika sikap yang diambil muslim Indonesia
berdampak besar terhadap masa depan Islam di dunia, apakah maju ataukah mundur, damai atau
teror, dan rahmatallil alamin atau tertindas. Kesadaran persatuan umat Islam khusunya di
Indonesia semakin kuat terliha aksi bela bela palestina atas yerussalem merupakan aksi terbesar
seluruh dunia.

Di tengah ketakutan tezim anti Islam dan negera Amerika sekutunya atas kekuasaanya,
Islam Nusantara diboomingkan kembali seakan-akan Islam Nusantara adalah Islam yang terbaik,
toleran, nonradikal, dan mengatasi segala permasalahan. Apakah ini benar?. Ormas NU
(Nahdhatul Ulama) sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia pertama kali
memberikan gagasan Islam Nusantara sebagai wujud kearifan lokal Indonesia dengan jargon
“Islam yang ramah, anti radikal, inklusif, dan toleran”. Gagasan Islam Nusantara terus
digalakkan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj dengan menjadikan gagasan ini sebagai
tema Muktamar NU ke 33 di Jombang pada tahun 2015. Gagasan Islam Nusantara
dilatarbelakangi dua alasan yaitu: Pertama, Islam Nusantara didakwahkan dengan merangkul
budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya Islam.
Kedua, Islam Arab selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara (BBC Indonesia,
15/6/2015). Sebelum Islam Nusantara sebenarnya muncul gagasan ‘Islam, Keindonesiaan dan
Kemodernan’ yang digagas Cak Nur dan pribumisasi Islam’ yang pernah digagas Gus Dur,
‘Islam inklusif’, ‘Islam moderat’, ‘Islam substantif’, dan sebagainya.
Islam Nusantara hadir untuk mensinkronkan Islam dengan budaya dan kultur Indonesia.
Islam Nusantara mengajak umat untuk mengakui dan menerima berbagai budaya. Mereka
menginginkan Islam yang fleksibel, toleran, dan sinkretis. Istilah Islam Nusantara memiliki
perngertian yang berbeda-beda sehingga terjadi kerancuan yang mengakibatkan dapat multitafsir.
Oleh karena itu, tak ayal pro kontra terjadi baik pemikiran maupun aplikasi dari gagasan Islam
Nusantara baik dari internal Nahdhatul Ulama (NU) maupun ormas-ormas Islam dan masyarakat.
Pendapat pro Islam Nusantara adalah dakwah Islam di Nusantara mengalami proses
vernakularisasi (pembahasaan ulang), indigenisasi (pribumisasi), emmbended (tertanam) dalam
budaya Indonesia. Sehingga dalam penampilan budayanya, Islam Indonesia jauh berbeda dengan
Islam Arab. Selain itu, pendapat kontradiksi Islam Nusantara antara lain jelas secara sengaja
menafikan faktor ‘Arab’ yang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari Islam, konflik di Timur
Tengah yang terus bergolak sesungguhnya bukan karena faktor Islam melainkan karena strategi
penjajah Barat. Bahasa “Nusantara” juga dinilai bertentangan dengan Islam. Islam Nusantara
disebut ditunggangi oknum liberal. Selain itu, secara historis penyebaran Islam di Indonesia tidak
terlepas dari Khilafah Islam yang berasal dari Timur Tengah. Berikut beberapa pendapat yang
pro dan kontra dari internal pengurus Nahdhatul Ulama’ :
Pro ISLAM NUSANTRA Kontra ISLAM NUSANTARA
1. KH Maruf Amin, Negara Islam di 1. KH Muhsyiddin Abdusshomad, Rais Syuriah
Irak dan Suriah (NIIS) pun mengaku PCNU Kabupaten Jember juga minta agar Panaitia
sebagai pengikut Ahlussunnah Muktamar NU ke-33 memakai Islam Rahmatan Lil
Waljamaah, tetapi sepak terjang Alamin yang selama ini sudah jadi jati diri NU.
mereka selama ini sangat ditentang “Istilah Islam Rahmatan lil Alamin yang dipakai
NU. Karena itu, Islam Nusantara selama ini sudah benar karena ada rujukannya
adalah cara dan sekaligus identitas dalam Al Quran,”katanya, Menurut dia, istilah
Aswaja yang dipahami dan Islam Nusantra tak punya sumber baik dalam al
dipraktikkan para mua’sis (pendiri) Quran, hadits, ijma’ maupun qiyas. ”Justru
dan ulama NU yang bersifat banyak pihak baik di internal maupun eksternal NU
peneguhan identitas yang distingtif, menyerang NU karena persoalan istilah Islam
tetapi demokratis, toleran, dan Nusantara,” kata Kiai Muhyiddin.
moderat. (Arrahmah Nusantara 2. KH. A. Muhith Muzadi, juga mengaku tak setuju
Network . 31/08/ 2015) dengan islah Islam Nusantara. Alasannya, Islam itu
2. Azyumardi Azra mengatakan model satu. Yaitu Islam
Islam Nusantara dibutuhkan oleh yang sudah jelas ajarannya. “Rumusan khittah itu
masyarakat dunia saat ini, karena ciri sudah jelas dan itu adalah ideologi NU. Kalau
khasnya mengedepankan "jalan Islam Nusantara pasti ada mafhum mukholafah.
tengah, tidak ekstrim kanan dan kiri, Berarti Islam non Nusantara,” kata kiai penggagas
selalu seimbang, inklusif, toleran dan khittah NU 26 yang diratifikasi KH Ahmad Siddiq
bisa hidup berdampingan secara itu.(NU garis Lurus. 9/07/2015)
damai dengan penganut agama lain, 3. Pakar aswaja NU center Gus Muhammad Idrus
serta bisa menerima demokrasi Ramli, Nusantara adalah istilah pra islam sehingga
dengan baik."Menurutnya, memang tidak boleh dipakai, bahwa sejak sebelum
ada perbedaan antara Islam Indonesia munculnya istilah islam nusantara, islam
dengan 'Islam Timur Tengah' dalam ahlussunnah waljamaah telah berjalan dengan baik,
realisasi sosio-kultural-politik. istilah islam nusantara mengaburkan aswaja,
"Sektarian di Indonesia itu jauh, jauh konsep islam nusantara asal-asalan.
lebih kurang dibandingkan dengan
sektarianisme yang mengakibatkan
kekerasan terus-menerus di negara- 4. KH. Yahya Zainul Ma’arif atau yang akrab
negara Arab," jelasnya. (BBC disapa Buya Yahya menyatakan tidak perlu ada
Indonesia, 15/6/2015). Islam Arab, Islam Inggris, ataupun Islam
Nusantara, sebagian cendekiawan NU ada yang
teridentifikasi liberal karena melanggar Ijmak (NU
Garis Lurus, 26/01/2016).

Dari semua itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan, dalam memahami Islam Nusantara
yakni
1. Batasan atau definisi dan manhaj.
a. Dari sisi definisi, definisi “Islam Nusantara” itu meluas tanpa batasan yang jelas. Jargon
“Islam Nusantara” salah-kaprah alias latah karena rancu dari asasnya. Definisinya tak
memenuhi syarat yang harus “jâmi’[an] mâni’[an], yakni mencakup semua bagian yang
didefinisikan dan mencegah hal lain di luar yang didefinisikan.
b. Dari segi manhaj, jargon “Islam Nusantara” jelas bertentangan dengan Islam. “Islam
Nusantara” identik dengan upaya mensinergikan ajaran Islam dengan adat-istiadat lokal di
Indonesia. Itu sama saja dengan “memperkosa” Islam. Islam dipaksa tunduk pada adat-
istiadat lokal, tak peduli apakah adat itu sejalan atau bertentangan dengan Islam. Akhirnya,
yang terjadi adalah sinkretisme Islam, Islam lokal.
Oleh karena itu “Islam Nusantara” berbahaya bagi umat Islam karena akan mengakibatkan
minimal dua hal. Pertama: bisa mengarah pada sinkretisme Islam. Produknya
adalah Islam sinkretis yang tak lain adalah paduanIslam dengan adat atau budaya lokal. Tentu ini
tidak sejalan dengan sifat Islam yang universal. Sayidina Muhammad saw. diutus di tengah
masyarakat yang telah memiliki budaya. Ada yang baik dan ada yang buruk. Saat beliau datang,
beliau mengislamkan budaya-budaya itu; dalam arti mengarahkan pada budaya yang baik dan
membuang budaya jahat. Bukan disinkronkan, lalu Islam disesuaikan dengn budaya mereka.
Beliau bersabda, “Alâ kullu syay’in min amril-jâhiliyyah tahta qadamî mawdhû’ (Ketahuilah,
segala perkara jahiliah terkubur di bawah telapak kakiku [batal]).” (HR muslim). Begitulah
sikap Rasulullah saw. terhadap tradisi. Beliau menolak setiap tradisi jahiliah yang bertentangan
dengan wahyu. Jadi, budayalah yang harus disesuaikan dengan Islam, bukan sebaliknya.
2. “Islam Nusantara” akan memecah-belah umat dan umat makin sulit dipersatukan.
Pasalnya, saat Islam dibingkai dengan nasionalisme, umat Islam sedunia akan terkotak-kotak
atas dasar negara-negara nasional. Padahal umat Islam haram mengadopsi dan menyerukan
nasionalisme. Nasionalisme itu bertentangan dengan prinsip kesatuan umat sedunia yang
diwajibkan oleh Islam. Kesatuan umat Islam wajib didasarkan pada ikatanakidah, bukan
ikatan ‘ashabiyah kebangsaan atau nasionalisme. Allah SWT berfirman, “Innamâl Mu’minûna
ikhwah (Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara).” (QS al-Hujurat [49]: 10).
Salah satu alasan yang terkuat Islam Nusantara yaitu Islam di Timur Tengah merupakan
penyebab terjadi krisis yang berkepanjangan akibat peperangan. Alasan ini tanpa disertai yang
bukti yang kuat. Menurut penelitian Fajar (2016) bahwa masyarakat menilai krisis Timur Tengah
lebih mengarah pada inteferensi asing yang dikomando Amerika Serikat dan Yahudi. Hal ini
sejalan dengan pernyataan wakil Presiden Jusuf Kalla dalam Seminar ICIS(Islamic conference
Internasional Submit) tahun 2015 di UIN Maluan Malik bahwa interferensi asinglah yang telah
membuat krisis di Ttmur Tengah saat ini. Adapun masalah ISIS menurut Pangdam V Brawijaya,
Mayor. Jend. Eko Wiratmoko, dalam seminar Kebangsaan yang diselenggarakan Di Universitas
Negeri Malang pada tahun Oktober 2014, mengatakan bahwa ISIS hanya kelompok kecil yang
tidak perlu ditakuti karena di Suriah pun kekuatan ISIS tidak diperhitungkan namun media
membesarkannya. Selain itu, Timur Tengah dengan semua perniknya saat ini tidak bisa dijadikan
dan dianggap sebagai model atau mewakili penerapan Islam yang ideal. Bukan hanya Timur
Tengah yang begitu. Seluruh Dunia Islam saat ini, termasuk Indonesia, tidak bisa dijadikan dan
dianggap model ideal atau mewakili penerapan Islam. Pasalnya, secara faktual seluruh Timur
Tengah dan negeri-negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia, kurang lebih sama. Seluruhnya
didominasi oleh sistem kapitalisme demokrasi sekular yang bertentangan dengan Islam. Oleh
karena itu, bertolak belakang denga alasan ide Islam Nusantara yang mengacu pada Islam Arab
yang keras tidak seperti Islam di Indonesia kurang selaras dengan fakta yang ada.

Pemaparan diatas dapat diketahui adamya upaya rezin anti Islam dan Amerikan sekutunya untuk
menghilangkan pemahaman kaum muslimin terhadap syariah Islam yang kaffah. Sebenarnya
masyarakat yang dapat memecahkan segala permasalahan kaum muslimin adalah
masyarakat Islam yang diatur oleh syariah Islam baik dalam kehidupan individu, bernegara
maupun bermasyarakat. Itulah masyakarat Islam yang hidup di bawah
naungan Khilafah Islam yang sebenarnya, yang dipimpin oleh seorang khalifah. Kewajiban
mengangkat khalifah telah menjadi ijmak ulama, juga umat. Bahkan Ijmak Sahabat pun
menegaskan bahwa kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang paling penting. Al-‘Allamah
al-Imam Ibn Hajar al-Haitami al-Makki asy-Syafii menyatakan, “I’lam aydh[an] anna ash-
Shahâbah ridhwânulLâh Ta’âla ‘alayhim ajma’în ajma’û ‘ala anna nashbal-imâm ba’da
inqirâdh zamanin-nubuwwah wâjib[un] bal ja’alûhu ahammal-wâjibât haytsu isytaghallû bihi
‘an dafni RasûlilLâh. Wakhtilâfihim fit-ta’yîn lâ yuqdahu fil-ijmâ’ al-madzkûr (Ketahuilah juga
bahwa sesungguhnya para Sahabat ra. telah berijmak bahwa mengangkat imam setelah
lewatnya masa kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan hal itu sebagai kewajiban
yang paling penting saat mereka lebih menyibukkan diri dengan mengangkat imam daripada
memakamkan jenazah Rasulullah. Perbedaan mereka dalam penunjukkan—siapa yang paling
layak menjadi khalifah—tidak mencederai ijmak yang disebutkan itu).” Inilah masyarakat yang
kita idamkan dan kita perjuangkan. Betul memang, sekarang ini sejak
keruntuhan KhilafahIslam tahun 1924 yang lalu, sistem tersebut tidak ada. Karena itu kewajiban
kita adalah mewujudkan kembaliKhilafah itu. Nas-nas syariah menegaskan bahwa kita wajib
memperjuangkan Khilafah agar tegak kembali.

Anda mungkin juga menyukai