Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Tugas Bedah Kasus

Disusun Oleh:
Ridha Naafia
19513249001
Kelas D2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BUSANA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2020
KASUS

Jangan Buru-Buru Keluarkan Siswa Nakal dari Sekolah!

Siswa nakal makin banyak? Itu sebuah kewajaran, bahkan sejak dulu kala sudah banyak siswa
yang nakal. Entah itu siswa SD, SMP, SMA maupun STM semua sama saja, pasti ada yang
nakal. Hanya saja, kata "nakal" yang direkatkan kepada siswa masih terkesan subjektif dan
timpang.
Nakal sebenarnya bukanlah sesuatu yang ternilai "rusak berat". KBBI hanya mengartikan kata
nakal sebagai perilaku ringan yang bertentangan dengan norma masyarakat, perilaku
mengganggu, dan tidak menurut.
Jika kata nakal ini direkatkan kepada siswa, berarti siswa itu hanya menunjukkan perilaku
ringan yang melanggar tata krama dan etika di sekolah.
Kata nakal sejatinya cocok direkatkan kepada orang-orang yang kesalahannya masih dalam
kategori ringan. Misalnya, siswa A nakal, anak itu nakal, karena mereka bolos sekolah, atau
karena bertindak sesuka hatinya di sekolah.
Kata nakal ini tentu tidak akan cocok jika direkatkan pada perilaku-perilaku menyimpang
sudah dalam kategori berat. Misalnya koruptor nakal, perampok nakal, dan pembunuh nakal.
Jika pengertian ini dipaksakan, maka hukum-hukum yang diberlakukan juga akan ringan.
Tidak seru donk!
Maka dari itulah, para siswa yang nakal tidak boleh dihukum berat-berat. Namun, beberapa
hari yang lalu kita dihadapkan pada kenyataan pelik bahwa ada dua orang siswa SMK yang
dikeluarkan dari sekolah karena partisipasi mereka dalam aksi unjuk rasa.
Dua siswa ini bersekolah di salah satu SMK Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Keduanya
sempat ikut aksi demonstrasi di Magelang dan kedapatan membawa pisau lipat saat diamankan
petugas kepolisian.
Kalimat "siswa dikeluarkan" dari sekolah yang agaknya terlalu vulgar dan menjatuhkan
martabat sekolah segera dibantah oleh Kadisdikbud Jateng.
Beliau menyatakan bahwa dua pelajar tersebut sebenarnya tidak dikeluarkan, tapi dengan
kesadaran sendiri ditarik atas inisiatif dari orangtua masing-masing.
Meski demikian, Mendikbud segera menanggapi para pelajar yang ikut aksi demo dengan
memberlakukan larangan agar sekolah tidak seenaknya memberi sanksi kepada siswa yang ikut
aksi demo.
Selain itu, pihak sekolah pula tidak boleh bertindak semena-mena dengan mengancam siswa
yang ikut demo akan dikeluarkan dari sekolah. Ia menambahkan bahwa:
"Anak-anak yang tidak masuk sekolah saja disuruh masuk kok, ini yang masuk malah disuruh
keluar. Jadi, pendekatannnya harus pendidikan."
Terang saja, masih banyak anak-anak di luar sana yang sangat ingin untuk bisa sekolah,
meskipun yang bermalas-malasan saat sekolah juga banyak. Ini fenomena yang semestinya
bisa disikapi dengan bijak oleh para praktisi dan penanggungjawab pendidikan.
Terapkan Status "Siaga" Pada Siswa Nakal
Lagi-lagi, anak nakal harus diperhatikan secara khusus. Dengan sendirinya, guru dan orangtua
dapat menetapkan status anak nakal, dari mulai Waspada, Siaga 1, Siaga 2, Siaga 3, Hingga
Status Awas!
Bukannya meminta guru untuk sok sibuk di sekolah, namun sekadar menegaskan kembali
peran mereka sebagai orangtua siswa saat di sekolah. Siswa-siswa nakal yang mendapat
perhatian khusus harus sering diawasi gerak-gerik mereka.
Jikapun mereka tidak masuk sekolah, maka guru mesti segera mengomunikasikannya dengan
orangtua siswa. Apakah siswa itu sakit, atau pamit berangkat sekolah tetapi mampir di warnet,
guru dan orangtua harus segera memastikannya.
Biarpun siswa-siswi ini masih tetap nakal saat di sekolah, setidaknya kenakalan mereka bisa
dibatasi hanya di dalam lingkungan sekolah saja. Karena jika kenakalan mereka menyebar
sampai ke luar lingkungan sekolah, maka pihak luarlah yang akan ikut campur.

DESKRIPSI KASUS
Siswa bermasalah adalah siswa yang perilakunya atau tindakannya tidak diharapkan oleh
guru, orang tua, atau masyarakat dan tindakan tersebut cenderung merugikan diri sendiri
dan orang lain (Yonohadi 2012).

Siswa bermasalah sering dikonotasikan suatu bentuk perilaku siswa yang menyimpang dari
aturan sekolah. Siswa bermasalah ini juga sering diartikan sebagai siswa yang nakal. Siswa
bermasalah yang dimaksud disini tidak hanya dibatasi oleh pemahaman siswa yang nakal
saja, tetapi banyak macamnya, ada yang memiliki masalah kesulitan belajar, , masalah
kesulitan berkomunikasi, krisis kepercayaan diri, masalah kehadiran (sering
membolos/pulang sebelum jampembelajaran selesai), nilai yang belum tuntas, korban
teknologi (kecanduan game online misalnya), dan masalah – masalah pelanggaran tata tertib
lainnya.. Setiap siswa memiliki karakteristik pribadi atau perilaku yang berbeda dengan
siswa lain. Masalah – masalah tersebut bisa bermuara dari keluarga, lingkungan, maupun
dari diri siswa sendiri.
Akibat siswa bermasalah kebanyakan akan mengalami ketinggalan dalam beberapa
pelajaran, ketinggalan dalam kegiatan – kegiatan penilaian yang di adakan oleh guru mata
pelajaran, meskipun teorinya guru harus tetap membantu siswa dalam mengejar
ketinggalannya, tetapi dalam praktiknya tidak semudah itu. Selain ketinggalan dalam
pelajaran, hilangnya rasa disiplin, siswa kadang juga merasa tersisih dari teman – temannya,
apalagi bila masalah siswa tersebut sudah parah sehingga muncul anggapan dari teman dia
itu siswa yang nakal yang akhirnya dikucilkan dari teman – temannya.

ANALISIS KASUS
Dalam kasus di atas, penanganan yang digunakan ialah menggunakan pendekatan
humanistik dalam mengadapi perilaku bermasalah siswa yang nakal atau bermasalah.
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa
dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik
adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi,
kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Salah satu caranya ialah dengan
menciptakan kondisi di mana siswa dapat belajar secara efektif, misalnya dengan menunjukkan
kepada siswa bahwa guru peduali dan mengahargai mereka sebagai manusia, serta memberikan
kesempatan untuk berpedapat tentang apa yang terjadi si kelas.
Dalam kasus diatas, guru atau pendidik dapat mengatasinya dengan cara membangun
hubungan yang lebih positif dengan siswa-siswa yang bermaslah itu dengan cara bersikap
hangat kepadanya, menyapanya, mengobrol dengannya, dan mengajaknya untuk aktif dan
berpartisipasi dalam kegiatan kelas.
Adapun siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan
potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif
yang dikembangkan Carl Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai
kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan
dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan siswa
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera
dari siswa)
7. Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa,
meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik
termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem
yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa
menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan
analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa
senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan
sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak
terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang
berlaku.
Daftar Pustaka
https://www.kompasiana.com/ozzyalandikzz/5d98c0ad0d82300638022dd2/jangan-buru-
buru-keluarkan-siswa-nakal-dari-sekolah?p

Anda mungkin juga menyukai