Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH NASIONALISME ISLAMIS

KELOMPOK 6

ANGGELINA PUTRI NIRWANA 02

MUHAMAD RIDHO MAULANA 18

RAHMA OKTAVIA 25

SALSA MAULIDA KHOIRUNNISA 29

SURYA LESTANTO 32

XI DKV 2

SMK TI KARTIKA CENDEKIA PURWOREJO

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................i

BAB I...................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN............................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................................................................1

BAB II..................................................................................................................................................2

PEMBAHASAN..............................................................................................................................................2

2.1 Pengertian Nasionalisme..............................................................................................................2

2.2 Akar Nasionalisme Indonesia........................................................................................................2

2.3 Perdebatan Nasionalis sekuler dan nasionalis (religius) Islam dalam wacana pancasila...............3

ALASAN PERDEBATAN NASIONAL.............................................................................................................3

2.4 Perbedaan Nasionalisme Sekuler dan Islam...................................................................................7

2.5 Tokoh Nasionalisme Islam.............................................................................................................8

BAB III...............................................................................................................................................10

PENUTUP....................................................................................................................................................11

3.1 Kesimpulan.................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nasionalisme merupakan sikap politik masyarakat yang mempunyai kesamaan wilayah,
budaya, bahasa, idiologi, cita-cita dan tujuan, kemudian mengkristal menjadi paham kebangsaan.
Paham ini berkembang lalu mempengaruhi politik kekuasaan dunia dan berdampak luas bagi
negara-negara bangsa. Islam adalah sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi, Islam telah menjadi
akar dari gerakan massa Indonesia terhadap koloniliasme hegemoni. Awal abad ke-20 merupakan
periode transisi dari gerakan anti-kolonialisme yang tradisional dengan gerakan yang modern. SI,
Muslim Persatuan Indonesia dan Partai Islam Indonesia adalah tiga organisasi politik Islam yang
lahir di awal abad 20 dan telah memiliki pangsa besar di Indonesia untuk memobilisasi
nasionalisme terhadap hegemoni kolonialisme dan untuk penciptaan sebuah negara merdeka negara,
berdaulat dan bebas dari cengkeraman kolonialisme. Ketika nasionalisme masuk di dunia Islam,
mereka sudah memiliki nilai-nilai universal yang dianut masyarakat muslim sebagai unsur
pemersatu. Umat Islam menyikapi nasionalisme ini beragam, ada yang menerima, ada yang apriori,
dan ada yang menolak.

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa nasionalisme murni adalah nasionalisme Eropa yang
sekuler. Hanya ini yang dapat dijadikan energi Perubahan sosial politik di dunia Islam. Sebagian
lain berpendapat bahwa nasionalisme ala Eropa adalah sekuler, mengabaikan agama, yang
menyebabkan lemahnya dunia Islam. Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme, karena secara
ideologis saling berlawanan. Ia bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Sebagian
lagi umat Islam bersikap netral, nasionalisme harus memperhatikan kepentingan seluruh warga
bangsa dengan basis ukhuwah Islamiyah. Nasionalisme ini merupakan bagian integral dari konsep
“Pemerintahan Madinah” dan Ini yang disebut nasionalisme Islam. Paham nasionalisme Islam ini
lalu menjadi spirit dan inspirasi kaum muslimin secara global untuk bangkit dan membebasakan
negara-negara Islam dari kolonialisme negara-negara Eropa. Di beberapa negara Islam, paham
nasionalisme Islam menjadi alat pemersatu sekaligus alat perjuangan untuk merebut kemerdekaan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nasionalisme


Secara bahasa nasionalisme berasal dari dua kata, yaitu “nation” yang berarti “bangsa” atau
“kebangsaan” dan isme artinya paham atau aliran. Jadi nasionalisme adalah paham kebangsaan.
Dalam kamus politik, kata nasionalisme berarti masyarakat yang bentuknya diwujudkan oleh
sejarah. Didalamnya terdapat kesatuan bahasa, kesatuan daerah, kesatuan ekonomi dan kesatuan
jiwa yang terlukis dalam kesatuan kebudayaan. Menurut Ernest Renan nation (bangsa) adalah jiwa
atau suatu azas kerohanian yang disebabkan oleh dua hal, yaitu:
1. Kemuliaan bersama di waktu lampau, dari aspek ini nasionalisme dapat disebut sebagai produk
historis.
2. Adanya keinginan untuk hidup bersama di waktu sekarang.
Dalam hal ini nasionalisme merupakan suatu persetujuan atau solidaritas besar dalam
menggunakan warisan masa lampau untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Pedapat
Ernest Renan ini disampaikan dalam pidato ilmiahnya di Universitas Sarbone Paris pada tahun
1882. Menurut Otto Bauer, tokoh social democrat Austria, bahwa yang dimaksud dengan
nation (bangsa) adalah suatu masyarakat yang memiliki kesamaan perangai atau karakter yang
timbul karena adanya kesamaan nasib dan pengalaman. Pendapat ini dikemukakan oleh Otto
Bauer pada tahun 1907. Secara geopolitik, maka yang dimaksud dengan nation (bangsa) adalah
kesatuan orang dengan tempatnya. Pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI Soekarno
menjelaskan, bahwa secara geopolitik, maka yang dimaksud dengan bangsa Indonesia adalah
Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, bukan Boeneo saja, bukan
Celebes saja, bukan Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang diciptakan oleh Allah Subhana
wa Ta’ala menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita.

2.2 Akar Nasionalisme Indonesia


Akar nasionalisme Indonesia adalah Islam. Prof. Simuh dalam bukunya “Islam dan
Pergumulan Budaya Jawa” mengatakan bahwa akar nasionalisme adalah Islam. Prof. Simuh
menambahkan, bahwa hampir seluruh perlawanan terhadap penjajah dalam sejarah Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari simbol simbol Islam. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Prof. Dr. Deliar
Noer. Dalam bukunya “Gerakan Modern Islam di Indonesia”, Prof. Deliar Noer mengungkapkan
bahwa Islam telah menjadi dasar nasionalisme Indonesia dalam berperang melawan penjajah.
Berikut ini berbagai fakta yang membuktikan, bahwa Islam telah menjadi azas pemersatu
perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme.
Bangsa Portugis adalah bangsa Eropa yang pertamakali datang menjajah Indonesia. Sebagai
bangsa penjajah, Portugis telah mendapatkan perlawanan sengit dari berbagai Kesultanan Islam
yang ada di Bumi Nusantara. Kesultanan Aceh, setidaknya telah melakukan tujuh kali penyerangan
terhadap Portugis. Serangan itu dilakukan pada tahun 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1628 dan
1629. Pada tahun 1513, Raden Fatah dari Kesultanan Demak telah mengirimkan putranya sendiri,
Adipati Unus untuk berperang melawan Portugis. Pada tahun 1527, Pasukan Fatahillah mampu
mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Pada
tahun 1574-1578, Kesultanan Ternate dibawah pimpinan Sultan Babullah mampu mengepung dan
mengusir portugis keluar dari jazirah Moloku Kie Raha. Bangsa Belanda adalah bangsa Eropa yang
paling lama menjajah Indonesia. Sebagai bangsa penjajah, Belanda telah mendapatkan perlawanan
serius dari umat Islam Nusantara. Di Jawa, perlawanan terhadap Belanda dipimpin oleh Sultan
Agung, Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Al- Makassari4, Trunojoyo, dan Pangeran
Diponegoro. Di Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap Belanda dipimpin oleh Sultan Hasanuddin,
Karaeng Galessong dan Sultan Bima.

2.3 Perdebatan Nasionalis sekuler dan nasionalis (religius) Islam dalam wacana
pancasila

ALASAN PERDEBATAN NASIONAL


Alasan Kultural

Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku, bangsa dengan adat istiadat, tradisi dan bahasa
yang berlainan. Disamping itu, berbagai bentuk keyakinan baik yang tumbuh dari adat istiadat
maupun dari agama dan pemikiran-pemikiran modern muncul, berkembang dan diyakini oleh
masing-masing pengembannya.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan beragamnya bentuk keyakinan yang ada di
Indonesia. Dan pada akhirnya dalam keadaan-keadaan tertentu dapat muncul gesekan dan
perdebatan (war of thinking) dalam interaksi diantara sesama anggota masyarakat.

Muaranya, adalah adat istiadat mana, atau agama mana, atau pemikiran mana yang muncul
sebagai suatu faktor yang dominan dalam masyarakat Indonesia. Merekalah yang akan muncul
dalam wacana yang lebih luas dan akan memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Maka dapat dikatakan, suku Jawa, agama Islam dan pemikiran nasionalisme merupakan
kultur yang dominan yang berkembang dan mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia.

Alasan Politis-Ideologis
Kemunculan organisasi-organisasi politik modern pada awal abad ke-20, memberikan pengaruh
yang besar terhadap perjuangan untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Keberadaan organisasi-
organisasi tersebut tidak lepas dari latar berlakang pendiriannya. Ada yang berbasiskan kesukuan,
keagamaan dan nasionalisme. Namun yang dominan setidaknya ada dua yakni yang berdasarkan
Islam dan nasionalis.
Kalangan nasionalis berpandangan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan dimulai dengan
berdirinya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908, yang dianggap sebagai organisasi pertama diantara
bangsa Indonesia yang disusun dengan bentuk modern dan yang besar artinya
Dari akar inilah muncul gerakan-gerakan nasionalis sekural lainnya seperti Partai Nasional
Indonesia (PNI) 4 Juli 1927, Partai Indonesia (Partindo) April 1931, Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI-baru) Desember 1933, Partai Indonesia Raya (Parindra) 26 Desember 1935, Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo) 24 MEi 1937
Gerakan-gerakan ini lahir sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan mencita-citakan Indonesia
Merdeka berdasarkan kebangsaan. Itulah yang menjadi tujuan dan titik berat pergerakan-pergerakan
ini.
Pada tahun-tahun kehadirannya yang pertama, Boedi Oetomo tidak mengarakhan perhatiannya pada
seluruh Indonesia, melainkan semata-mata merupakan suatu himpunan untuk seluruh Jawa.
Pandangan dan perhatiannya secara sosio kultural hanya menarik penduduk Jawa Tengah, itu pun
terbatas pada orang-orang terpelajar dan ningrat.
Sementara kelompok nasionalis Islami banyak yang berpendapat bahwa berdirinya Sarekat Islam
(Sarekat Dagang Islam) pada tanggal 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan nasional.
Sarekat Islam sejak berdirinya diarahkan kepada rakyat jelata dengan ruang lingkup Indonesia.
Namanya diubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada tahun 1923,kemudian menjadi Partai
Syarekat Islam Hindia Timur (PSIHT) pada tahun 1927 dan akhirnya menjadi Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) pada tahun 1930.
Pada tahun 1932 Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) didirikan di Sumatera dan pada tahun 1938
Partai Islam Indonesia (PII) didirikan juga di Jawa. Partai-partai ini semuanya berdasarkan Islam.
Peranan Islam Dalam Gerakan Nasionalisme Modern Indonesia Pada Awal Abad ke-
20M
Pada awal abad ke-20, setelah Belanda merasa begitu frustasi dalam mengatasi pergerakan
Islam yang tidak pernah berhenti, maka Belanda merancang sebuah strategi baru untuk
menyingkirkan dan melemahkan Islam dari kaum pribumi Indonesia. Penerapan sistem pendidikan
sekuler adalah cara yang paling efektif dalam menyingkirkan dan melemahkan Islam sebagai
ideologi pergerakan terhadap Belanda. Prof. Christian Snouck Hurgronje merupakan ilmuan
Belanda yang paling bertanggung jawab atas digunakannya strategi sistem pendidikan sekuler
dalam menyingkirkan dan melemahkan Islam dari kaum pribumi Indonesia. Tujuan utama atas
diterapkannya sistem pendidikan sekuler ini adalah untuk menanamkan logika berpikir sekuler pada
anak-anak kaum pribumi yang belajar pada sekolah-sekolah Sekuler yang didirikan Belanda.
Setelah mereka dididik dengan logika berpikir sekuler, maka anak-anak kaum pribumi tersebut akan
memandang Islam dengan pandangan negatif dan menjadikan peradaban Barat sebagai simbol
peradaban maju yang harus ditiru. Generasi inilah yang kemudian melahirkan generasi sekuler
Indonesia, seperti Soetomo, Tjipto Mangunkusumo, Soekarno, dan lain-lain. Soekarno merupakan
generasi sekuler Indonesia yang paling berpengaruh di Indonesia hingga saat ini.
1. Sarekat Islam
Sarekat Islam merupakan gerakan politik nasional pertama di Indonesia. Hal ini bertentangan
dengan asumsi umum yang berkembang dalam masyarakat, bahwa Budi Utomo yang dianggap
sebagai awal kebangkitan nasional di Indonesia. Budi Utomo didirikan di Jakarta pada tanggal 20
Mei 1908, yang mana tanggal 20 Mei telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari Kebangkitan
Nasional. Jika kita mengkaji lebih jauh sejarah pergerakan nasional Indonesia, maka kita akan
menemukan informasi yang berbeda, bahwa Budi Utomo bukanlah organisasi pergerakan pertama
di Indonesia, melainkan Syarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam. Sarekat Islam adalah miniatur
awal bagi kebangkitan nasionalisme Indonesia. Sarekat Islam lahir pada tanggal 16 Oktober 1905
di Kota Solo, Jawa Tengah dengan nama Syarekat Dagang Islam. Syarekat Dagang Islam didirikan
oleh H. Samanhudi dan delapan orang temannya, yaitu: Sumowardoyo. Wiryotirto, Suwandi,
Suryopranoto, Jarmani, Harjosumarto, Sukir, dan Martodikoro.
2. Partai Muslimin Indonesia
Partai Muslimin Indonesia (Permi) adalah partai politik Islam yang pertama lahir dari alam
Minangkabau. Permi didirikan pada tahun 1930. Permi adalah kelanjutan daripada organisasi
Sumatera Thawalib yang bergerak dalam bidang pendidikan. Perubahan Sumatera Thawalib yang
berbasis pendidikan menjadi Permi yang berbasis politik adalah berkat usaha H. Ilyas Yakub dab H.
Mochtar Lutfhi. Permi menjalankan politik Non-Koperasi dan bercita-cita untuk memuliakan Islam
dan mensentosakan Indonesia melalui Indonesia yang merdeka. Permi juga menyalahkan
kapitalisme dan imperialisme sebagai sebab bagi penderitaan rakyat Indonesia dan menyatakan,
bahwa kemakmuran dan penegakan Sarekat Islam hanya dapat dicapai apabila Indonesia merdeka
dari cengkraman Belanda. Permi berhasil mendirikan cabang-cabang di Sumatera Tengah,
Bengkulu, Tapanuli, Sumatera Timur dan Aceh. Permi memang dipandang sebagai partai yang
dapat menyalurkan aspirasi politik umat Islam di Sumatera, terutama setelah mundurnya Sarekat
Islam Keberadaan Permi yang memperjuangkan Syariat Islam dan Indonesia merdeka di Sumatera,
khususnya di alam Minangkabau, mendapat tantangan yang berat dari kaum adat dan Belanda.
3. Partai Islam Indonesia
Partai Islam Indonesia (PII) didirikan oleh Sukiman dan kawan-kawan pada tahun 1938.
Sukiman mendirikan PII, karena mereka dikeluarkan dari Sarekat Islam, karena mereka dianggap
tidak sejalan lagi dengan Tjokroaminoto dan H. Agus Salim sebagai pengurus teras Sarekat Islam.
Sukiman dikeluarkan dari Sarekat Islam pada tahun 1933. Raden Wiwoho adalah orang pertama
yang menduduki jabatan sebagai Ketua PII. Raden Wiwoho adalah seorang mantan Ketua Umum
Jong Ialamieten Bond dan juga anggota Volkstraad. Raden Wiwoho dipilih sebagai ketua PII,
karena ia dianggap sebagai tokoh muda Islam yang masih bersih, dimana ia belum pernah terlibat
dengan berbagai perbedaan pendapat yang terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam pada masa
sebelumnya. Dengan dipilihnya Raden Wiwoho sebagai ketua, pengurus PII berharap partainya
dapat berkembang dan diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Tokoh-tokoh Muhammadiyah
menguasai pimpinan pusat partai baru ini, tetapi di daerah Priangan cabang-cabangnya dipimpin
oleh tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis). Di Sumatera, PII mendapat dukungan dari mantan
anggota Permi. Pada awalnya PII tidak menyusun suatu program yang bersifat menyeluruh. Partai
ini juga tidak menyusun dasar-dasar perjuangannya. Kelihatannya para anggota PII lebih
mempunyai saling pengertian dan oleh karena itu membiarkan partai tumbuh dan berkembang
dengan sendirinya. Partai kelihatannya memberikan perhatian pada hal-hal yang praktis saja, seperti
masalah tuntutan Indonesia berparlemen.

2.4 Persamaan dan Perbedaan Nasionalisme Sekuler dan Nasionalisme Islam

Persamaan
Walaupun memiliki banyak sudut pandang yang berbeda dalam cara menjalani atau mengatasi
masalah kenegaraan, paham sekuler dan paham Islam pun mempunyai relasi yang sama dan positif.
Keduanya sama-sama memiliki tujuan terhadap negaranya, yaitu ingin ikut serta dalam
pembangunan negara dan memajukan kehidupan bernegara.

Perbedaan

Sekularisme memiliki ciri yang meyakini bahwa nilai keagamaan haruslah dibedakan dari nilai-nilai
kehidupan dunia dan seluruh aspeknya. Ia menyebarkan paham ideologisnya melalui prinsip
pragmatisme dan ulitarianisme, kegiatan yang sifatnya politis bebas dari pengaruh agama. Bagi
umat islam, sekularisme merupakan suatu paham atau ideologi yang dianggap menyesatkan.
Karena, agama tidak dapat mencampuri urusan duniawi. Di dalam sistem sekuler, pemerintah pun
juga tidak dapat mencampuri urusan agama bahkan sebaliknya. Munculnya paham sekularisme ini
di benua Eropa karena pengalaman buruk daerah-daerah Eropa terhadap peran agama dalam
pemerintahan maupun kehidupan sosial keagamaan. Penerapan sistem sekuler pada negara-negara
Eropa menjadikan masyarakat berkembang bebas dari kungkungan dogma-dogma agama yang pada
waktu itu sangatlah mendominasi. Bentuk dari sekularisme di antaranya adalah tidak peduli dengan
urusan agama, landasan hukumnya adalah hak asasi manusia dan lain ideologi saintisme
sebagainya. Bahkan pada saat ini sekularisme bertumbuh menjadi sebuah trend bagi anak muda
dengan gaya hidup ala kebarat-baratan, jauh dari nilai sosial budaya yang telah berlaku di Indonesia
ini. Sekularisme sangat menggoda penghayatan hidup manusia dalam aspek keagamaan dan
keimanan. Sekularisme menggoda manusia dalam hal godaan materi. Sering sekali sekularisme
menggoda diri manusia dan mendorong manusia untuk bersikap melampaui batas yang telah
ditentukan oleh ajaran agama. Sehingga seolah-olah manusia beragama lupa apa saja yang telah
diajarkan agama dan menyesuaikan diri dengan ciri-ciri dari sekularisme. Misalnya ketika kita
sedang bekerja terdapat beberapa teman yang sudah memiliki pengetahuan letak-letak yang bisa
dijadikan celah untuk melakukan kecurangan yaitu meraup materi yang lebih banyak. Di tempat itu
itu namanya korupsi sebagai godaan materi. Bahkan dengan melebihkan isi tagihan nota yang tidak
sesuai dengan harga aslinya alias mark up. Namun karena kita menilai itu merupakan sesuatu yang
salah, maka kita tidak boleh mengikutinya. Banyak sekali hal-hal yang mungkin dapat kita lakukan
untuk menjadi seperti orang-orang di lingkungan kantor kita lakukan namun karena tetap
mengetahui bahwa itu adalah hal yang salah, maka kita tidak serta mengikutinya dan tidak juga
langsung menolak secara terang-terangan. Karena kita menghargai mereka. Namun terkadang kita
tidak ingin mengikut campurkan urusan tersebut dengan mereka. Jadi jika mereka sedang
membahasnya kita harus langsung menghindar atau tidak banyak bertanya lebih lanjut. Dalam
Islam, sekularisme tidak dapat diterima karena bertentangan dengan ajaran Islam. Karena menurut
pandangan Islam apabila sebuah urusan dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan maka urusan itu
akan bertabrakan dengan nilai-nilai yang terdapat pada urusan yang lain. Misal kekuasaan yang
tidak dilandasi dengan nilai-nilai agama, maka akan terjadi kezaliman yang seharusnya dilakukan
sebagai seorang pemimpin untuk menjunjung sebuah keadilan, hukum tidak berjalan sesuai dengan
kaidah agama, timbul kerusuhan sosial, ekonomi terganggu, dan seterusnya. Jadi, dari sudut
pandang Islam banyak sekali kerugian yang akan ditimbulkan daripada keuntungannya. Islam
memang menghargai paham yang dianut orang, bangsa, negara, dan pemeluk agama lain. Namun
Islam mewanti-wanti orang agar tidak menyebarkan paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

2.5 Tokoh Nasionalisme Islam


1.) Mohammad Natsir

Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang
kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan
tokoh Islam terkemuka Indonesia. Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia
dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940-1942. Selama masa
pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi
Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi) dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun
1945 hingga dibubarkannya Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia oleh Presiden Soekarno pada
tahun 1960. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat. Ia diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus
1950. Namun ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan
paham dengan Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai
ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan
Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan
menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi.

2. Haji Agus Salim

Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq yang berarti “pembela kebenaran”. Dia Lahir di
Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884. Karir politik Agus Salim
berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 915. Ketika kedua
tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap
pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di
lembaga itu. Dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu
meninggal dunia pada 1934. Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu
pendiri Jong Islamieten Bond. Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927,
Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk
perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir;
perempuan di belakang, laki-laki di depan. Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia
diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Perjuangannya dalam mempersiapkan
kemerdekaan bangsa kita adalah bukti bahwa dia adalah seorang yang berjiwa nasionalisme.

3. Mas Mansoer

Mas Mansoer adalah putra bangsa kelahiran Surabaya, 25 Juni 1896. Namanya dikenal sejak aktif
di dunia politik dan ikut terjun dalam memperebutkan tanah air dari tangan Belanda dan Jepang. Ia
memutuskan untuk bergabung dengan partai politik Sarekat Islam (SI) yang dipimpin oleh HOS
Cokroaminoto. Di sana, ia ditunjuk sebagai Penasehat Pengurus Besar SI. Pada masa itu, Sarekat
Islam dikenal sebagai sebuah organisasi yang radikal dan revolusioner. Tak hanya bergabung
dengan sebuah organisasi politik, Mansur juga aktif menulis artikel dan menuangkan opininya di
berbagai media massa. Pada tahun 1921, Mansur bergabung dengan organisasi Muhammadiyah dan
diangkat menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937 setelah kesadaran
panjang karena sebelumnya dirinya enggan sebagai Ketua. Tahun 1942 saat menduduki Jepang
menduduki wilayah Indonesia, Mansur memiliki peran penting dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Ia membentuk PETA (Pembela Tanah Air) bersama Ir. Soekarno, Bung
Hatta, dan Ki Hajar Dewantara yang semula merupakan organisasi yang berkembang dari PUTERA
(Pusat Tenaga Rakyat).

4.) K. H. Wachid Hasjim

K. H. Abdul Wahid Hasjim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914) adalah pahlawan nasional
Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Pada tanggal 24 Oktober 1943 ia
ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku
pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat
Islam mewujudkan kemerdekaan. Pada tahun 1939 Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian Wahid
menjadi ketua MIAI. Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan
Sukiman). Banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan bangsa. Rumusan
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila sebagai pengganti dari “Kewajiban Menjalankan
Syariat Islam bagi Pemeluknya” tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasjim.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Islam sebagai ideologi pergerakan telah lama menjadi akar nasionalisme Indonesia dalam
rangka menentang kaum Kolonial di Indonesia. Awal abad ke-20 tidaklah dapat dikatakan sebagai
awal kebangkitan Nasionalisme Indonesia, tetapi waktu itu dapat dianggap sebagai kelanjutan dari
nasionalisme yang sudah berakar pada masa-masa sebelumnya. Awal abad ke-20 hanya dapat
dilihat sebagai awal perubahan metode pergerakan, yaitu dari metode tradisional yang lebih
mengedepankan senjata berupa keris dan parang menuju metode modern yang lebih
mengedepankan organisasi. Dalam konteks inilah kita bisa melihat bagaimana besarnya sumbangan
Islam terhadap gerakan Nasionalisme Indonesia. Sarekat Islam, Persatuan Muslimin Indonesia dan
Partai Islam Indonesia merupakan tiga organisasi politik Islam yang telah berjasa dalam
mempertajam dan memodernkan gerakan nasionalisme Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawijaya. 2016. “Islam dan Nasionalisme Indonesia”,dalam Jurnal Etnohistori Vol.III, No.2,
April 2016.

https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/4881

http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/JIA/article/view/492

https://alkhairat.ac.id/2018/09/30/politik-dalam-islam/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir

https://bctemas.beacukai.go.id/profil/haji-agus-salim/

https://m.merdeka.com/mas-mansur/profil

https://nublitar.or.id/team/kh-abdul-wahid-hasyim/

Anda mungkin juga menyukai