Anda di halaman 1dari 8

Pembangunan Berwawasan Lingkungan di Banten

Di dalam istilah sehari-hari, pembangunan berwawasan lingkungan hidup sering


dikemukakan sebagai pembangunan berkelanjutan. Adapun pengelolaan lingkungan hidup
merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan,
dan pengendalian lingkungan hidup.

Pembangunan berwawasan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan (sustainable


development) adalah adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan dan mengelola
sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk
meningkatkan mutu hidup.

Pengertian pembangunan berwawasan lingkungan tersebut memberikan gambaran


bahwa minimal terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan berwawasan
lingkungan hidup yang berkelanjutan yaitu:

1. pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana;

2. pembangunan berkesinambungan sepanjang masa; dan

3. peningkatan kualitas hidup generasi.

Pembangunan berwawasan lingkungan juga merupakan pengelolaan sumber daya


secara bijaksana, pembangunan yang berkesinambungan dan peningkatan mutu hidup.
Dalam era sekarang ini pembangunan dilaksanakan hampir di segala bidang. Pembangunan
mempunyai sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Aktivitas pembangunan
ada yang menimbulkan efek yang tidak direncanakan yang disebut dampak lingkungan.

Dampak lingkungan merupakan pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang


diakibatkan oleh suatu usaha atau kegiatan. Kegiatan itu dapat bersifat alamiah, baik kimia,
fisika maupun biologi. Kegiatan alamiah misalnya semburan asap gunung berapi. Kegiatan
biologi misalnya pertumbuhan enceng gondok di sungai, Sedangkan kegiatan fisik seperti
kegiatan manusia berupa pembangunan tanggul untuk pengendalian banjir dan
penyemprotan sawah dengan pestisida.

Agenda dunia untuk mencegah degradasi lingkungan akibat pembangunan adalah


menyebarluaskan misi pembangunan berkelanjutan. Misi ini tertuang dalam agenda 21 hasil
dari Konfrensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio De Jeneiro Brasil yang dilaksanakan pada tahun
1992. Dalam program itu terdapat empat hal utama yaitu:
a. Program aspek sosial dan ekonomi, seperti penanggulangan kemiskinan, kependudukan,
perubahan pola konsumsi dan produksi, permukiman, kesehatan, pemaduan lingkungan dan
pembangunan, dan kerjasama internasional.
b. Program konservasi dan pengelolaan SDA, seperti perlindungan atmosfer, pengelolaan
tanah, hutan, air tawar, pesisir, dan kelautan, pedesaan dan pertanian, bioteknologi,
pengendalian bahan dan limbah beracun termasuk radioaktif di dalamnya.
c. Program penguatan peranan kelompok utama dalam masyarakat, seperti masyarakat adat,
kalangan perempuan, pemerintah daerah, pekerja petani, pengusaha dan industriawan,
komunitas ilmuwan dan pakar teknologi
d. Program pengembangan sarana pembangunan, seperti pembiayaan, alih teknologi,
pegembangan ilmu, pendidikan, kerjasama nasional maupun internasional dan
pengembangan informasi.
Untuk mengatasi berbagai masalah keterbatasan ekologi akibat dampak negatif
pembangunan, pemerintah Indonesia telah menerapkan usaha penanggulangan atau
pelestarian lingkungan. Upaya mempertahankan kelestarian lingkungan hidup itu disebut
konservasi. Konservasi meliputi usaha-usaha sebagai berikut:

a. Mencegah perladangan berpindah dan melatih penduduk untuk tinggal secara menetap
b. Mengatur, mengawasi, dan mengendalikan penebangan hutan.
Penebangan hutan dilakukan dengan cara tebang pilih,
c. Mencegah terjadinya kebakaran hutan
d. Melakukan penanaman lahan gundul dan rebosisai serta reservasi hutan
e. Pelestarian insitu dan eksitu. Insitu (In site) adalah melakukan perlindungan agar
tumbuhan dan hewan dapat hidup sesuai dengan habitat aslinya. Sedangkan eksitu (ex
site) adalah melakukan perlindungan dan pemeliharaan tumbuhan dan hewan di luar
habitat aslinya.
f. Penangkapan ikan di laut, atau hewan-hewan lain yang diperlukan hendaknya tidak
dilakukan secara terus menerus melainkan dilakukan secara musiman
g. Penganekaragaman makanan, sebagai upaya menjaga kelestarian hewan dan tumbuhan
yang digunakan sebagai bahan makanan.
1. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Wilayah Baduy

Baduy, jika mendengar kata ini pasti pikiran kita langsung tertuju pada suku yang primitif, miskin
dan konservatif.Namun, mereka memiliki karifan lokal dalam mengelola lingkungannya.Di Baduy banyak
hunian pendudukan berdekatan dengan sungai, tetapi tidak terjadi bencana banjir melanda
permukiman.Hal ini karena masyarakat Baduy memiliki metode pengelolaan alam khususnya hutan di
kawasan Bumi Baduy.

Ignas Triyono, Pemenang Terbaik Kategori Umum Lomba Opini Hutan Lindung, PP 02/2008 dan
Keselamatan Rakyat menulis dalam Belajarlah Lingkungan Hidup ke Bumi Baduy.Tanah di Baduy dibagi
menjadi tiga peruntukan; yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung.Suku
Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung.Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air.
Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang. Hutan ini
juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam.

Kesadaran masyarakat Baduy terhadap lingkungan hidup, khususnya dalam menjaga kelestarian
hutan dan air sungguh luar biasa. Ada di sana ada pikukuh (adat yang kuat) yang diturunkan dari
generasi ke generasi. Salah satu pikukuh itu berbunyi

”Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak, Larangan teu meunang dirempak, Buyut
teu meunang dirobah, Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang disambung”

(Gunung tidak boleh dihancurkan, Lembah tidak boleh rusak, Larangan tidak boleh langgar,Amanat tidak
boleh dirubah, Panjang tidak boleh dipotong, Pendek tidak boleh    disambung)

Makna pikukuh itu antara lain tidak mengubah sesuatu, atau dapat juga berarti menerima apa
yang sudah ada tanpa menambahi atau mengurangi yang ada. Insan Baduy yang melanggar pikukuh
akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi) seperti dikeluarkan dari
kelompoknya..Pengamalan pikukuh yang taat menyebabkan masyarakat Baduy memiliki kearifan dalam
berhubungan dengan alam.

Harim Zone

Salah satu kearifan yang berasal dari ajaran agama adalah harim zone. Fachruddin Mangunjaya
penulis buku Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi seperti yang dikutip oleh Majalah
Sabili mengatakan bahwa, harim zone mewajibkan setengah dari lebar sungai ke kiri dan ke kanan,
terbebas dari bangunan dan membiarkan vegetasi serta tumbuhan bebas sebagai penyangga sungai.
”Selain itu, hal ini untuk membuat daerah resapan sungai.Di zaman Rasulullah pendirian bangunan di
bantaran sungai dilarang untuk memelihara ekstensi air,” jelasnya.Tradisi ini dihidupkan kembali sebagai
sumbangan pada pemeliharaan lingkungan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Sekilas suku baduy memiliki cirri  Baju tak pernah ganti, kemana-mana selalu jalan kaki. Tapi
tunggu dulu, jangan lupa pepatah bijak tersurat: “jangan lihat jeruk dari kulitnya”.   Suku Baduy
menempati 53 kampung di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak.Perkampungan
masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng -
Banten Selatan.Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan
ibukota Provinsi Banten.Baduy dibagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Secara garis
besar, adat yang dipegang Baduy Dalam dan Baduy Luar sama. Secara tradisional pimpinan tertinggi
pemerintahan pada masyarakat Baduy disebut puun.  

Kearifan lokal masyarakat Baduy adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif untuk
hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berkeadaban.Hidup damai.Hidup
rukun.Hidup bermoral.Hidup saling asih, asah, dan asuh.Hidup dalam keragaman.Hidup penuh maaf dan
pengertian.Hidup toleran dan jembar hati.Hidup harmoni dengan lingkungan.Hidup dengan orientasi
nilai-nilai yang membawa pada pencerahan.Hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri.Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat
Baduy.

            Lewat sistem kepercayaan, adat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku Baduy
terbukti mampu menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam. Bagi orang-orang Baduy,
secuilpun tak akan berani mengganggu keutuhan dan kelestarian hutan-hutan titipan. Karena derajat
kedosaannya bila mengganggu hutan jauh lebih tinggi dari dosa membunuh sesama manusia.Apalagi
bagi orang Baduy yang beragama Sunda Wiwitan, menjaga alam merupakan kewajiban dan tiang dasar
agamanya, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan dengan penuh kepasrahan. Kewajiban tersebut
tersirat dalam pegangannya: Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (Panjang
tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). 

Kehidupan suku Baduy memiliki ketergantungan besar terhadap alam.Ketergantungan ini


diimbangi dengan menjaga alam dari kerusakan.Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan, yaitu
sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung.Suku Baduy mempunyai areal yang
dijadikan hutan lindung.Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak
boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang.Hutan ini juga membantu menjaga
keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam.

            Pada era otonomi daerah, Desa Kenekes ditetapkan sebagai tanah hak ulayat, seperti yang
tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan
atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Dengan tanah hak ulayat seluas 5.136,58 hektar, masyarakat Baduy
mendapat kewenangan untuk mengelola sendiri kawasan adat tersebut.Dan, inilah satu-satunya
masyarakat adat di Indonesia yang sudah memiliki regulasi yang mengakui hak-hak masyarakat
adat.Kiranya, kearifan lokal Baduy ini bisa menjadi cermin bagi wilayah-wilayah lainnya pada masa
otonomi daerah saat ini.

Selain itu, orang baduy menambah ketatnya pelastarian alam mereka dengan upacara adat,
salah satu upacara tersebut yang bernama, upacara kawalu.Upacara ini pada dasarnya bagi orang baduy
adalah melakukan bersih-bersih kampung, baik baduy luar, baduy dalam, dan baduy dangka.Di moment
upacara kawalu ini pula, orang baduy melakukan pembersihan terhadap sampah-sampah yang berada di
sungai ciujung. Sedikit informasi, bulan kawalu adalah bulan suci bagi orang baduy, selama bulan lawalu,
akan diadakan beberapa upacara adat lama orang baduy khususnya di kampung baduy dalam. 

Mengenai soal keramatnya hutan lembur atau hutan larangan tersebut, ada hal yang ternyata
bertujuan lain dengan adanya label keramat di hutan tersebut, secara tersirat Puun menyebut bahwa
adanya mata air di dalam hutan tersebut menjadi hal yang wajib untuk dilindungi oleh masyarakat
baduy dengan berbagai cara. Artinya label keramat semata dilekatkan untuk membuat orang luar baduy
menjadi enggan untuk mengunjungi hutan tersebut. 

Belajar kembali dari pikukuh Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang
disambung  bahwa orang masih mewarisi siat nenek moyang kita yaitu pola hidup sederhana. Mereka
adalah kelompok otonom yang selalu bersukur dengan apa yang di dapat dan tidak bergantung pada
kelompok lain. Mereka mencukupi diri sendiri begitu rupa sehingga kalau ada anak yang tidak
menghabiskan nasi maka akan di takut takuti dengan peringatan bahwa nasi itu akan menangis.

Itulah sebabnya ada beberapa ritual untuk panen dan sebagainya semata mata karena mereka
sangat menghormati padi sehingga muncul kepercayaan metafisik.

            Pada masyarak petani ladang, hutan adalah bagian dari ladang dan masyarakat
manusia.Hancurnya hutan berarti hancurnya ladang dan akhirnya hancurnya manusia. Oleh sebab itu
mereka selalu mengenal adanya hutan larangan.dengan adanya pikukuh Gunung teu meunang dilebur,
Lebak teu meunang diruksak, Larangan teu meunang dirempak,   jelaas bahwa suku baduy telah jauh
mengenal dirinya mengenal alam lingkunganya dan mengenal penciptanya. Mereka mempunyai
pengatahuan yang lebih dari kita sebagai manusia modern dan telah menerapkanya sejak lama.

2. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Wilayah Gunung Halimun

            Kawasan Gunung Halimun di Jawa Barat adalah suatu kompleks pegunungan yang secara
administrative berada di wilayah tiga Kabupaten dalam dua Provinsi. Yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten
Sukabumi (Provinsi Jawa Barat) dan Kabupaten Rangkasbitung (Provinsi Banten).  Kompleks Gunung
Halimun termasuk kawasan hutan hujan tropis yang relatif masih “utuh” yang tersisa di Pulau Jawa.
Kawasan hutan ini masih mampu menyimpan berbagai jenis habitat tumbuhan yang masih hidup di
Pulau Jawa yang cukup lengkap.

            Masyarakat desa di sekitar Gunung Halimun pada umumnya merupakan penduduk asli yang
bermukim di kawasan yang cukup datar di sepanjang jalan desa. Kelompok sosial yang bermukim di
sekitar bukit-bukit dan gunung-gunung di kawasan kompleks Gunung Halimun itu menamakan dirinya
warga kasatuan atau kesatuan. Mereka lazim pula disebut oleh masyarakat desa pada umumnya
warga kasepuhan.

            Di daerah Banten Selatan warga kasepuhan bermukim di sekitar Kecamatan Bayah yang antara
lain terkonsentrasi di Kampung Tegalumbu, Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, Sirnagalih, dll. Kawasan
Kompleks Gunung Halimun dari arah selatan ke utara dan timur dibangun oleh gunung-gunung Cisarua
(855 m), Bodas (965 m), Batu (1.323 m), Talang (1.329 m), Pangkulahan (1.315 m), Kendeng (1.764 m),
dll. Gunung Halimun sendiri merupakan gunung tertinggi diantara gunung-gunung yang ada. Namun,
menurut keterangan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan gunung tersebut, nama “halimun”
bukan menunjukan salah satu gunung yang ada di seputar kawasan tersebut. Nama “Halimun” mewakili
semua gunung disana yang puncaknya selalu ditutupi awan atau halimun dalam bahasa Sunda.

            Sebagai masyarakat yang masih mempertahankan pola hidup tradisional dalam keseharianya, ada
beberapa hal yang masih dijaga oleh masyarakat kasepuhan, diantaranya adalah keberadaan konsep
hutan sebagai bagian penting dari kehidupan masyarakat adat.

a)            Leuweung kolotatau biasa pula mereka sebut leuweung geledegan   yaitu hutan yang masih lebat
ditumbuhi berbagai jenis pohon besar dan kecil (geledegan). Ciri-ciri  jenis hutan tersebut ialah
pepohonanya rimbun, tingkat kerapatanya tinggi, dan berbagai jenis binatang masih hidup di dalamnya.
Di sekitar wilayah desa Bungur, jenis hutan seperti diatas, terdapat di sekitar kawasan cagar alam
gunung Halimun.

b)            Leuwueng sampalan   yaitu hutan yang dapat dieksploitasi manusia secara luas. Pada jenis hutan ini,
manusia boleh membuka ladang, menggembalakan ternak, mengambil kayu bakar dll. Di desa Bungur
jenis hutan itu biasa pula disebut leuwung bukaan atau hutan yang dapat dibuka. Jenis hutan ini terletak
di sekitar tempat pemukiman.

c) leuweung titipan  adalah hutan yang diakui oleh semua warga kasepuhan  sebagai hutan keramat. Jenis
hutan semacam ini sama sekali tidak boleh dieksploitasi oleh siapa pun pun tanpa seizing sesepuh
girang.  Kelestarianya harus dipertahankan. Penggunaan hutan tersebut dimungkinkan apabila telah
diterima semacam wangsit  atau ilapat   dari nenek moyang melalui sesepuh girang.  Di kalangan
warga kasepuhan  , gunung Ciawitali dan Gunung Girang Cibareno dipercayai sebagai leuweung titipan.

                        Baik di kalangan warga kasepuhan maupun kalangan orang Baduy di daerah Banten Selatan


tampaknya memiliki konsep dan penggolongan  yang sama tentang pengetahuan mereka mengenai
hutan. Leuweung lembur  di kalangan orang Baduy merupakan hutan yang ada di sekitar kampong yang
pada mulanya merupakan leuweung kolot   yang kemudian dibuka atau digarap untuk dijadikan lading
dan lahan pemukiman. Leuwueng lembur   itu agaknya identik dengan leuweung sampalan yang bagi
masyarakat kasepuhan  pada awalnya merupakan leuwueung kolot yang berada di sekitar kampung yang
kemudian dibuka untuk menjadi lading dan penggembalaaan.

            Berdasarkan pandangan tradisional, sebagaimana yang berlaku di kalangan warga kasepuhan,


hutan yang termasuk leuweung kolot sesungguhnya tidak boleh dieksploitasi sedangkan leweung titipan
hanya boleh digunakan apabila sudah ada perintah dari nenek moyang (karuhun) yang disampaikan
melalui wangsit atau ilapat yang diterima sesepuh girang.Hanya leweung sampalan yang terbuka untuk
digarap setiap saat oleh warga kasepuhan dalam usaha mendukung kebutuhan hidup mereka.
            Namun, seiring dengan berjalanya waktu, konsep-konsep pengetahuan tradisional tentang hutan
ini sedikit tergeser oleh kehadiran oknum-oknum yang terus saja berusaha mengambil keuntungan di
tengah lahan yang terus saja semakin berkurang di pulau Jawa.Kehadiran perusahaan-perusahaan besar
baik skala nasional maupun asing yang muncul untuk mengeksploitasi hasil alam di sekitar kawasan
Gunung Halimun, mau tidak mau terkadang menjadi tekanan bagi masyarakat kasepuhan sendiri.

Tekanan-tekanan dari luar yang terus menerus berlangsung cukup lama itu, membawa pengaruh
psikis yang dalam terhadap masyarakat setempat. Hal itu dapat diamati dalam pola kehidupan warga
kasepuhan antara lain dalam cara memahami hutan. Pengaruh luar yang selama ini mereka dapatkan
melalui eksploitasi hutan tidak sesuai dengan penggolongan system pengetahuan mereka tentang
hutan. Hal demikian sesungguhnya sangatlah membingungkan mereka bahkan mengakibatkan hilangnya
pandangan akan pengetahuan tradisional bagi sebagian penduduk. Salah satunya bagi masyarakat yang
berprofesi sebagai peladang dimana berarti huttan adalah tempat penghidupan mereka, tentu
kelestarian hutan haruslah dijaga.Sikap yang demikian tersebut dapat dipahami dari terminology kata
huma yang berarti lading dan kata leuwueng yang berarti hutan.

Bagi warga kasepuhan kata huma berarti imah atau rumah.Hal tersebut sesuai dengan arti kata
tersebut.Dalam pandangan yang demikian, maka rumah bagi warga kasepuhan bukan hanya tempat
untuk tidur, tetapi juga merupakan sumber utama rohani dan jasmani.

Ada 5 (lima) jenis interaksi dan cara memanfaatkan lingkungan dalam masyarakat Kasepuhan,
diantaranya adalah :

a)      Pekarangan

Bagi kebanyakan masyarakat, pengertian pekarangan bukanlah lagi sebagai sebuah lahan  di
sekitar rumah, namun terkadan pekarangan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang bersifat
ekonomis. Namun, pada pola pemukiman masyarakat sunda yang masih mengenal system peladangan,
sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat kasepuhan, masyarakat kampong naga  dan masyarakat
baduy, sesungguhnya mereka tidak mengenal pekarangan. Dalam pola pemukiman ketiga masyarakat
adat di sekitar pulau jawa bagian barat ini hanya dikenal buruan atau halaman yang lebih menekankan
pada fungsi sosial daripada fungsi ekonomi.

b)      Ladang (huma)

Pada umumnya, masyarakat kasepuhan berladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari


mereka terutama dalam  kebutuhan sehari-hari. Namun, tekanan para petugas kehutanan terhadap
penduduk, khususnya anggota warga kasepuhan yang melakukan perladangan, benar-benar telah
mengurangi kawasan garapan mereka walaupun hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri.
Pelarangan berladang bagi masyarakat kasepuhan tampaknya menimbulkan penderitaan sosial ekonomi
yang cukup berat bagi masyarakat kasepuhan. Larangan tersebut juga secara sosial menghancurkan
kesatuan kelompok. Dengan kata lain pelarangan akan menimbulkan disintegrasi sosial dan secara
ekonomi mencuatkan kemisikinan baru pada mereka.

c)      Talun

Talun adalah kebun yang terletak jauh dari perkampungan yang frekusensi pemeliharaanya
tidak begitu intesnsif dibandingkan dengan kebun yang letaknya berdekatan dengan pemukiman. Jenis
tumbuhan yang biasanya ditanam antara lain rambutan, nangka, durian, petai dan mangga.

d)     Sawah

e)      Hutan

Anda mungkin juga menyukai