Anda di halaman 1dari 6

Disertasi Husein Jayadiningrat telah membuka jalan bagi penelitian tentang

historiografi Indonesia sehingga ia pun dikenal pula sebagai “bapak metodologi penelitian


sejarah Indonesia”. Dialah pribumi Indonesia pertama yang menjadi guru besar.

Kedua duta besar itu bernama Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan Kyai Ngabehi
Jaya Sedana. Mereka menjadi tamu Raja Inggris, Charles II, selama tiga
setengah bulan di Istana Windsor.

Mr. Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah atau Maria Ulfah Santoso atau Maria Ulfah Soebadio
Sastrosatomo (18 Agustus 1911 – 15 April 1988) atau dahulu dikenal sebagai Maria Ulfah
Santoso adalah salah satu mantan Menteri Sosial pada Kabinet Sjahrir II. Nama Santoso diambil
dari nama suami pertama dan nama Soebadio Sastrosatomo diambil dari nama suami kedua
setelah suami pertama meninggal dunia.

Ia adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar sarjana hukum, memangku


jabatan menteri dan anggota Dewan Pertimbangan Agung.[1] Ia memulai kariernya sebagai
tenaga honorer bagian perundang-undangan Kabupaten Cirebon.[1] Ia juga menjadi
guru AMS Muhammadiyah Jakarta pada tahun 1943.[1]
Selama pendudukan Jepang ia bekerja di Departemen Kehakiman, kemudian pindah
ke Departemen Luar Negeri.[1] Pada tahun 1946, setahus setelah Deklarasi Kemerdekaan
Republik Indonesia, Subadio diangkat menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir.
[1] Pada tahun 1946-1947, ia menjabat sebagai sekretaris Perdana Menteri/Dewan
Menteri di Jakarta.[1] Pada tahun 1950-1961, Subadio menjadi ketua Panitia
Sensor Film di Jakarta
Maria Ullfah menjadi sarjana hukum perempuan pertama Indonesia dan Menteri
Wanita Pertama ( Mensos).

Sjafruddin Prawiranegara; 28 Februari 1911 – 15 Februari 1989) adalah seorang negarawan


dan ekonom Indonesia. Ia memimpin Indonesia sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Selama masa Demokrasi Liberal, ia menjabat sebagai Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pertama. Selanjutnya, ia menjadi Perdana
Menteri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pemerintah tandingan yang
ditumpas dengan operasi militer.

Lantas dari daftar tersebut, adakah tokoh yang berfokus di sektor pertanian?
Berdasarkan penelusuran Sariagri, ada satu sosok yang memiliki gagasan di bidang
pertanian. Sosok tersebut yaitu Sultan Ageng Tirtayasa yang berasal dari Kesultanan
Banten.
Gagasan itu diteliti oleh Sonny C. Wibisono dalam artikel berjudul "Irigasi Tirtayasa:
Teknik Pengelolaan Air Kesultanan Banten Pada Abad ke-17 Masehi."

Daftar Provinsi Paling Tidak Bahagia di Indonesia 2021, Banten


Nomor 1
Kompas.com, 16 April 2022, 18:05 WIB

KOMPAS.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan daftar sejumlah provinsi di


Indonesia yang dinilai tidak bahagia, menurut indeks kebahagiaan. 
Adapun penghitungan indeks kebahagiaan provinsi-provinsi tersebut melalui tiga dimensi,
yakni kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).
Baca juga: 
 10 Negara Paling Bahagia di Dunia Versi World Happiness Report
 10 Laut Terdalam di Dunia, Nomor 3 Ada di Indonesia
Berangkat dari tiga dimensi tersebut, diketahui beberapa provinsi di Pulau Jawa memiliki tingkat
kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan yang lain. 
Salah satunya Banten yang menduduki peringkat pertama untuk provinsi paling tidak bahagia di
Indonesia. Indeks kebahagiaan di Banten mengalami penurunan dibandingkan tahun 2017, dari
69,83 ke 68,08 pada 2021. 
Sejatinya Edmond Scot merupakan seorang utusan dagang dari Kerajaan Inggris. Ia tiba di
Banten bersama kapal Red Dragon yaitu armada dagang East India Company (VOC-nya Inggris)
yang dinahkodai oleh Sir James Lancaster VI pada tahun 1602.
Tugasnya sederhana yaitu mengamati dan mengumpulkan segala macam informasi penting bagi
kepentingan dagang Kerajaan Inggris. Hasil pengamatannya itu dia sajikan ke dalam catatan
perjalanan yang disajikan ulang oleh Abbé Prévost ke dalam buku Histoire générale des voyages
ou Nouvelle collection de toutes les relations de voyages par mer et par terre (Sejarah umum
perjalanan-perjalanan atau Kompilasi baru yang seluruhnya berkaitan dengan perjalanan laut
dan darat,  penl.) pada volume ke-3 yang terbit pada tahun 1746.
SEARCH

Tujuh Perilaku Buruk Orang Banten di Zaman Kerajaan


Banten yang termasyhur sebagai pelabuhan terbesar di Nusantara pada abad 16-17, selalu
digambarkan sebagai sebuah wilayah yang tengah berkembang dan menjadi kota tujuan
pedagang-pedagang asing di dunia yang tertarik dengan kekayaan hasil pertanian di Banten.

Dalam rubrik Babad Banten kali ini, redaksi Banten Hits akan menyajikan catatan harian


seorang warga negara Inggris bernama Scott yang bertugas untuk kompeni Inggris di Hindia
Timur. Dia tinggal di Banten dari tahun 1603-1605.
Yang menarik dari tulisan Scott adalah tentang kondisi Banten yang diceritakan sebagai sebuah
negeri yang dipenuhi kekacauan; kemiskinan melanda, wabah penyakit merajalela, keadaan alam
yang mengkhawatirkan serta perilaku manusia-manusia di wilayah itu yang sangat buruk.

Seluruh tulisan bersumber dari buku Banten; Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII yang ditulis
Claude Guillot. Dalam pembahasan tentang tulisan Scott mengenai Banten, Guillot memberi
catatan; pada saat kedatangan Scott, Banten sedang dilanda sebuah krisis politik sangat parah.
Scott sendiri dinilai tak mengetahui penyebab kiris yang melanda Banten itu.

Pertama-tama dalam catatannya itu, Scott menyebut Banten sebagai wilayah yang rawan
terhadap peristiwa kebakaran. Tercatat, selama kurun 15 bulan telah terjadi 15 kali kebakaran di
Banten. Pada saat itu, rumah-rumah di Banten terbuat dari bambu beratapkan jerami.

BACA :  Paguyuban Pasundan, Warisan Si Jalak Harupat di Banten

Lalu, Scott juga menggambarkan lingkungan Banten sebagai negeri maut. Tanahnya tertutup
rawa, kumuh, dan gersang. Selain biji lada, Banten tak menghasilkan apapun sehingga tak
mampu menyediakan makanan bagi penduduknya.

Air yang menjadi sumber kehidupan di tempat lain, berubah menjadi racun yang membuahkan
penyakit dan kematian. Seluruh penduduk–kecuali orang kaya–tulis Scott, terpaksa harus
menelan makanan yang hanya pantas diberikan kepada binatang.

Scott bahkan menggambarkan, kondisi Banten saat itu adalah kebalikan dari sebuah peradaban.
Di sana binatang liar dan buas yang menyerang serta memangsa manusia berkembang biak
dalam jumlah yang tak terhitung. Cuaca panas dan lembab menghancurkan barang-barang dan
orang-orang yang setelah menjadi lemah karena makanan yang buruk, terserang berbagai macam
penyakit khususnya diare dan pembengkakan.

Setelah memberikan gambaran soal kondisi lingkungan di Banten, Scott kemudian memberi
penilaian moral terhadap orang-orang Banten. Menurutnya ada beberapa kejahatan yang sudah
berakar dalam diri orang-orang Banten.

BACA :  Perang-perang di Banten Girang dan Pengaruhnya


Pertama, kemaksiatan karena sistem poligami hewani. Menurut Scott, saat itu di Banten, setiap
orang Jawa yang bukan budak dapat memiliki tiga isteri. Setiap isterinya itu diharuskan untuk
mengambil sepuluh budak perempuan, bahkan sampai 40 orang. Budak-budak perempuan
mereka ini diperlakukan juga seperti isteri mereka sendiri.

Kedua, kemalasan. Scott mencatat, hampir tak ada satu persen pun orang Banten yang saat itu
mau bekerja.

Ketiga, nafsu mendapat keuntungan. Orang Banten, disebutkan Scott, siap memenggal kepala
salah seorang kerabat dekatnya untuk dijual kepada para pemburu kepala. Raja hanya menikmati
pembunuhan yang terjadi di kerajaannya, karena perbuatan ini memperkaya dirinya. Karena,
semakin sering mereka saling bunuh, raja akan semakin banyak mengantungi denda dan menarik
keuntungan.

Keempat, pencurian. Godaan untuk mendapat keuntungan yang ditambah dengan kemalasan dan
sifat tak bermoral ini, tak pelak lagi berakhir dengan pencurian. Namun, dalam tulisannya itu,
Scott disebut hanya dua kali mendapatkan pengalaman menjadi korban percobaan pencurian.
Scott lebih banyak menuliskan soal korupsi di Banten yang dilakukan terbatas oleh orang-orang
yang berkuasa.

BACA :  Meretas 'Kesaktian' Golok Ciomas yang Masyhur

Kelima, kebengisan. Scott menyebut, orang-orang Banten sebagai orang yang haus darah.

Keenam, sifat pengecut. Menurut Scott, orang-orang Banten jarang menanggapi tantangan
berkelahi satu lawan satu dengan orang sebangsa ataupun dengan warga asing. “Mereka semua
berusaha membalas dendan terhadap musuh mereka dengan cara pengecut,” tulis Scott.

Ketujuh, ketidakadilan sosial. Penduduk Banten saat itu terbagi atas dua golongan: kaum
bangsawan dan kaum budak. Golongan pertama mengangkangi seluruh kekayaan dan kekuasaan
dengan mengabaikan golongan kedua yang berada dalam keadaan serba kekurangan dan
ketergantungan yang memalukan. Bahkan, kaum bangsawan ini disebut berani menghukum mati
kaum budak sekecil apapun kesalahan mereka.

Terhadap tujuh daftar keburukan masyarakat Banten yang dituliskan Scott, Claude Guillot
memberikan catatan kritis. Menurutnya, daftar keburukan masyarakat Banten ini, sebagaimana
dalam petikan-petikan yang seperti apa adanya dari scott, jauh dari lengkap. Pasalnya, kata
Guillot, seluruh bangsa di Asia dibidik oleh gambaran yang tidak terpuji itu, walaupun memang
Scott menyusun tingkat-tingkatan kebuasan mereka. (Rus)

Anda mungkin juga menyukai