Anda di halaman 1dari 9

DAKWAH MUHAMMADIYAH

DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS


Oleh Haedar Nashir

Pengantar
Dakwah dalam makna harfiah ialah mengajak. Dalam termonologi Islam,
dakwah ialah mengajak ke jalan Allah dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan
berdialog secara baik (QS An-Nahl [16]: 125). Dakwah juga tidak bersifat ekslusif, tetapi
inklusif, artinya mendakwahkan Islam di tengah-tengah masyarakat bukanlah untuk
kemajuan hidup umat Islam sendiri. Dakwah Islam diperuntukkan untuk kebaikan
hidup seluruh umat manusia, yakni sebagai rahmatan lil-‘alamin (QS Al-Anbiya [21]:
107). Dari pemaknaan yang mendasar itu maka secara sosiologis dakwah merupakan
proses yang bersifat kultural, yakni mengajak melalui berbagai pendekatan yang
akomodatif atau adaptif untuk membentuk sistem pengetahuan manusia secara
individual maupun kolektif guna mencapai kehidupan yang penuh kebaikan menuju
jalan Tuhan yang dicita-citakan.
Karena itu dakwah merupakan proses berkelanjutan yang tidak kenal berhenti
dan mengalir bagaikan air yang merambah seluruh ranah kehidupan. Dalam
pendekatan proses yang kontinyu itu maka dakwah harus mampu menyesuaikan
keadaan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah, baik itu umat ijabah maupun umat
dakwah, yang dalam khazanah Islam disebut ‘ala uqulihim, menyesuaikan diri terhadap
kondisi dan tingkat perkembangan akal pikiran umat yang didakwahi. Dalam kaitan
ini sejatinya terdapat corak sosiologis yang bersifat kultural dari kegiatan dakwah
Islam.

Dakwah: Islamisasi
Nabi Muhammad bersama para sahabatnya memerlukan waktu 23 tahun dalam
mewujudkan Islam sebagai sistem kehidupan melalui dua fase di Makkah dan
Madinah, yang bermuara pada terwujudnya masyarakat dan peradaban yang bersifat
Madaniyah. Masyarakat dan peradaban Madaniyah ialah corak kehidupan masyarakat
dan kebudayaan yang bertumpu pada prinsip tauhid dan membentuk tata kehidupan
yang utama dalam seluruh bidang, yang menggambarkan pertautam antara habl min
Allah (hubungan dengan Allah) dan habl min al-nas (hubungan sesama manusia) secara
berkeseimbangan (QS Al-Imran [3]: 112). Tata kehidupan yang bercorak Madaniyah
sebagaimana dipraktikkan Nabi dan kaum muslimin di Madinah al-Munawwarah
melahirkan peradaban alternatif (al-badil al-tsaqafi) dari kecenderungan ekstrem yang
serba ketuhanan (teosentrisme) versus serba kemanusiaan (antroposentrisme),
sehingga berwatak tengahan atau wasithiyyah.
Kendati demikian, proses berislam atau Islamisasi, yakni mewujudkan Islam
dalam kehidupan tidaklah sekali jadi. Nabi memerlukan waktu sepuluh tahun di
Makkah dan tigabelas tahun di Madinah dalam mendakwahkan Islam dimulai dari
cara bersembunyi hingga terang-terangan serta kemudian bermuara pada

1
pembentukan masyarakat Madaniyah yang dicita-citakan. Namun proses Islamisasi di
zaman Nabi pun tidaklah linier atau berjalan secara garis lurus, tetapi gradual atau
bertingkat-tingkat dan penuh dengan dinamika pasang-surut. Turunnya Al-Quran
kepada Nabi yang berlangsung bertahap dan diwarnai situasi-situasi tertentu
memperkuat pandangan betapa Islamisasi atau dakwah Islam itu berlangsung terus-
menerus dalam proses kontinyuitas disertai perubahan dan perkembangan yang
penuh warna. Bahkan setelah Nabi wafat beragam peristiwa terjadi seperti peristiwa
Tsaqifan bani Saidah dalam suksesi kepemimpinan Islam yang penuh tarik-menarik
hingga perang Unta yang melibatkan ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, yang melukiskan
betapa Islam terwujud dan terbentuk tidak sekali jadi dan final.
Islamisasi atau dakwah Islam di Indonesia pun mengalami proses dinamika
yang tidak jauh berbeda dengan pola Islamisasi Islam di banyak penjuru dunia sejak
dulu hingga saat ini, terus berproses diwarnai dinamika pasang-surut antara
kesinambungan (kontinyuitas) dan perubahan atau perkembangan (change,
diskontinyuitas). Kehadiran Islam di kepulauan Nusantara juga beragam corak,
bahkan masuknya pun masih diwarnai perdebatan antara abad ke-7 atau abad ke-13,
yang menandakan Islam datang ke sebuah negeri memang tidaklah bersifat sekali jadi
dan dengan pola yang tunggal, sehingga sejarah Islampun baik dari waktu kedatangan
hingga proses Islamisasi menunjukkan keragaman. Kendati demikian pesan utama
Islam tetap sama, yakni hadir bagai agama pembawa misi risalah rahmatan lil-‘alamin.
Kehadiran Islam melalui dakwah atau Islamisasi di Indonesia tidak lepas dari
dinamika yang penuh warna, baik sejak awal ketika masa Islam di Nusantara maupun
pada kurun terakhir. Taufik Abdullah (1974: 1-8) mencatat betapa Islam di negeri ini
mengalami dinamika penghadapan antara ajaran dan sejarah, antara keyakinan
doktrin agama dengan realitas zaman yang selalu berubah, sehingga Islamisasi
mengalami persambungan dan perubahan sekaligus jawaban terhadap zamannya.
Islamisasi bukan sekadar berarti penerimaan ajaran secara doktrinal tetapi sekaligus
pengorbanan untuk akomodasi terhadap perubahan dan tuntutan zaman dalam proses
akulturasi yang normal tanpa kehilangan esensi dan prinsip ajaran. Di sinilah
Islamisasi bukan sekadar proses internalisasi ajaran sebagaimana doktrin ortodoksi
Islam, tetapi sekaligus penghadapan Islam dengan sejarah dan kebudayaan di mana
Islam itu hadir, tumbuh, dan berkembang. Dalam proses Islamisasi yang diwarnai
persambungan dan perubahan itulah gerak pemurnian Islam yang berpijak pada
ortodoksi Islam berjalan dinamik dengan pembaruan sebagai jawaban atas tantangan
zaman, yang melahirkan corak Islam yang pusparagam di kepulauan Nusantara.
Sejak awal abad ke-20 bersama dengan menyingsingnya fajar kebangkitan
nasional untuk kemerdekaan, lahir sejumlah organisasi Islam dengan aliran paham
dan orientasi gerakan yang beragam yaitu Jamiat Khair (1905), Sarekat Dagang Islam
yang kemudian menjadi Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1913),
Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), dan lain-lain yang terpolarisasi ke
dalam dua arus besar yakni Islam modernis dan tradisionalis. Muhammadadiyah dan
Persatuan Islam termasuk ke dalam gerakan Islam pembaru atau modernis, tetapi
Muhammadiyah bersifat toleran dan Persuatuan Islam tergolong keras, namun semua
organisasi Islam tersebut bersifat gerakan (Deliar Noer, 2004: 320). Perkembangan
Islam di Indonesia tersebut terus berlangsung hingga pada penghujung abad ke-20 dan
awal abad ke-21 dengan lahirnya gerakan neo-modernisme, Islam liberal, Islam trans-

2
nasional dan kelompok-kelompok Islam yang berhaluan fundamentalis atau garis
keras atau bercorak neo-revivalisme Islam, dan lain-lain.
Perkembangan mutakhir yang paling menyolok terjadi dua arus “radikal”
dalam gerakan Islam, yakni neo-modernisme Islam yang menampilkan corak Islam
liberal di satu pihak dan di pihak lain revivalisme Islam yang bermetamorfosa menjadi
neorevivalisme Islam yang lebih keras (radikal, fundamentalis, militan) yang
ditampilkan oleh gerakan-gerakan Salafi, Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Gerakan
Tarbiyah, Jama’ah Tabligh, dan lain-lain yang lebih memiliki nasab ideologis dengan
dan beralam-pikiran Wahhabbiyyah (Saudi Arabia), Ikhwanul Muslimin (Mesir),
Jama’at Islamy (Pakistan), dan Taliban (Afghanistan). Pergumulan pemikiran dan
gerakan Islam tersebut hampir mengikuti tesis the clash of fundamentalism (benturan
antarkaum fundamentalis) baik yang radikal-tekstual maupun radikal-liberal bahkan
antar sesma kelompok di masing-masing golongan sebagaimana ditulis oleh Tariq Ali
atau mendekati tesis Shadeq Nayhoum Islam dhiddu al-Islam (Islam versus al-Islam).
Kehadiran gerakan-gerakan Islam yang beraneka-ragam tersebut tentu tidak
lepas dari dan melekat dengan karakter Islam sebagai agama atau ajaran yang
multiasepk, serta mewujud dalam bermacam-macam ekspresi dalam aktualisasinya di
tangan umat pemeluknya. Bahwa fenomena gerakan-gerakan kebangkitan Islam dalam
berbagai corak dan karakteristiknya dapat ditelaah baik dalam ciri-ciri Islam yang
bersifat spesifik yang melekat dalam kaitan Islam sebagai ajaran maupun dalam
dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi ruang sosiologis yang bersifat
kontekstual dalam kehidupan umat Islam (Hunter, 2001: xxii). Gerakan-gerakan Islam
tersebut lahir dalam pergumulan paham teologis dan historis-sosiologis, sehingga
sepenuhnya tidak bersifat qothiy atau identik dengan Islam itu sendiri. Antar gerakan
Islam yang satu dengan yang lain mengalami perbenturan pemikiran dan aksi, yang di
satu pihak menunjukkan keragaman Islam dalam realitas pemeluknya sehingga
melahirkan tesis “satu Islam banyak warna”.

Dakwah Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sebenarnya memahami betul hakikat
dakwah yang multidimensi sekaligus pendekatan dakwah yang bersifat sosiologis atau
kultural yang beragam itu. Dakwah bagi Muhammadiyah merupakan Islamisasi
bersifat multiaspek dan berlangsung terus menerus. Karena itu dakwah meliputi
pembinaan paham dan praktik keagamaan sebagaimana tuntunan tarjih, tabligh,
pendidikan, kesehatan, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, peran kebangsaan, dan
berbagai usaha lainnya yang berangkat dari misi Muhammadiyah, yang semuanya
diletakkan dalam sistem dakwah yang menyeluruh dan berlangsung tidak kenal
berhenti sepanjang kehidupan.
Pemikiran dan konsep dakwah Islam dalam Muhammadiyah bersifat
mendalam, luas, dan fundamental. Dalam buku “Islam Dan Dakwah” (1988: 1-5)
dinyatakan bahwa dakwah adalah “panggilan atau seruan bagi umat manusia menuju
jalan Allah (QS Yusuf: 108) yaitu jalan menuju Islam (QS Ali Imran: 19)”. Dakwah juga
sebagai “upaya tiap muslim untuk merealisasikan (aktualisasi) fungsi kerisalahan dan
fungsi kerahmatan”. Fungsi kerisalahan dari dakwah ialah “meneruskan tugas
Rasulullah (QS Al-Maidah: 67) menyampaikan dinul-Islam kepada seluruh umat
manusia (QSAli Imran: 104, 110, 114)”. Sedangkan fungsi kerahmatan berarti “upaya
3
menjadikan (mengejewantahkan, mengaktualkan, mengoperasionalkan) Islam sebagai
rahmat (penyejahtera, pembahagia, pemecah persoalan) bagi seluruh manusia (QS Al-
Anbiya; 107)”. Dengan demikian, bagi Muhammadiyah, bahwa seluruh kegiatan
Muhammadiyah dengan segala usahanya tidak lain merupakan manifestasi dari dari
dakwah Islam di berbagai aspek kehidupan manusia.
Dalam “Islam Dan Dakwah” juga ditegaskan bahwa fungsi kerisalahan dakwah
menempatkan Islam sebagai sumber nilai, sehingga dakwah merupakan proses alih-
nilai (transfer of value) yang dikembangkan dalam rangka perubahan perilaku. Hal itu
berarti bahwa dakwah Islam adalah “upaya mengembangkan objek dakwah untuk
menjadi manusia masa depan yang yang ‘lebih lengkap’ dalam dimensi
keberagamaannya. Dakwah adalah suatu proses pengkondisian agar objek dakwah
menjadi lebih mengetahui, memahami, dan mengamalkan Islam sebagai pandangan
dan pedoman hidupnya. Dengan ungkapan lain, hakekat dakwah adalah suatu upaya
untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan lain yang lebih baik menurut tolok
ukur ajaran Islam.”. Dengan pengertian dakwah tersebut maka dakwah pun
merupakan “proses komunikasi dan perubahan sosial”, sehingga dakwah bukan hanya
dan tidak cukup memadai sekadar proses dialog-lisan (tabligh, dakwah bil-lisan)
seperti selama ini, namun sekaligus merupakan “dialog-amal (karya), dialog-seni,
dialog-intelektual (filsafati), dan dialog-budaya (nilai)”.
Dalam fungsi kerahmatan dakwah Islam berarti “upaya menjadikan Islam
sebagai sumber konsep bagi manusia dalam meniti kehidupannya di dunia”. Dakwah
kerahmatan itu meliputi dua hal penting, yakni: “(1) menterjemahkan (menjabarkan)
nilai-nilai normatif Islam menjadi konsep-konsep yang operasional di segala aspek
kehidupan manusia (budaya-sosial-ekonomi-politik-ilmu pengetahuan dan teknologi);
dan (2) Implementasi konsep-konsep tersebut dalam kehidupan aktual (individu,
keluarga, dan masyarakat)”. Dalam konsep dakwah kerahmatan tersebut, “dakwah
menghendaki validitas dan aktualitas Islam sebagai sumber konsep untuk
mengantisipasi permasalahan yang dihadapi manusia dan juga untuk
mengembangkan sistem budayanya”. Dalam pengertian ini, bahkan dakwah Islam
berarti “menunaikan juga tugas kekhalifahan (pengaturan, pembangunan)”.
Dengan pemahaman dakwah kerahmatan itu, dikatakan dalam buku “Islam
Dan Dakwah” (1988: 6) bahwa: “Pemahaman fungsi kerahmatan dakwah akan
mengantarkan kepada kita bahwa tugas dakwah meliputi kawasan yang amat luas.
Sebagai ilustrasi misalnya, dalam pengertian da’i bukan saja mencakup mubaligh
(dalam makna yang sempit), melainkan juga mereka yang tekun mengkaji dan
menjabarkan nilai-nilai normatif Islam menjadi konsep-konsep yang secara teknis
mudah dijalankan dalam masyarakat (operasional). Termasuk juga dalam pengertian
da’i, mereka para pekerja sosial, para penggerak masyarakat, para penyantun fakir-
miskin dan anak yatim, para pendidik, para penulis, dan siapapun yang kegiatan-
kegiatannya itu dalam rangka menterjemahkan Islam sebagai rahmatan lil’alamien.”.
Di sisi lain, “fungsi kerahmatan dakwah juga mengisyaratkan adanya tuntutan bagi
mereka yang terpanggil sebagai ‘khaira ummah’ (QS Ali Imran: 110) untuk melakukan
tugas kolektif , yaitu membuktikan kebenaran Islam sebagai rahmatan lil’alamien.
Suatu ‘tugas akbar’, yakni menterjemahkan Islam dalam konsep-konsep kehidupan
yang di samping operasional, juga secara akurat mampu menjawab persoalan-
persoalan yang timbul dalam sistem budaya manusia”.

4
Aplikasi dakwah Muhammadiyah yang bersifat menyeluruh sekaligus
sosiologis dapat dicermati dalam konsep Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jam’aah serta
Dakwah Kultural. Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah ialah usaha Persyarikatan
Muhammadiyah melalui anggotanya yang tersebar di seluruh tanah air untuk secara
serempak teratur dan berencana meningkatkan keaktifannya dalam membina
lingkungannya ke arah kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Sistem Dakwah
dalam rangkah melahirkan hidup berjama’ah yang multiaspek itu disebut dengan
Dakwah Jama’ah. Kegiatannya meliputi pembinaan keagamaan, pendidikan, sosial,
ekonomi, budaya, hukum, solidaritas, dan aspek-aspek lainnya, yang menggunakan
pendekatan pembangunan masyarakat atau community development. Gerakan Jama’ah
dan Dakwah Jama’ah tersebut sebenarnya sangat realitik dan strategis untuk langsung
menggarap masyarakat di akar-rumput, tetapi disayangkan pelaksanaannya tidak
sebaik konsepnya, sehingga menjadi khazanah yang terlantar. Di sinilah pentingnya
mengembalikan spirit dan gerakan langsung dakwah di masyarakat dengan konsep
yang strategis tersebut, yang jika diintegrasikan dengan Dakwah Kultural, akan
melahirkan gerakan dakwah Muhammadiyah yang secara ideologis maupun sosiologis
sejalan dengan misi Muhammadiyah dan realitas yang berkembang di masyarakat
Indonesia.
Adapun Dakwah Kultural (2004: 26) merupakan upaya menanamkan nilai-nilai
Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan
kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dakwah kultural mencoba
memahami potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya, berarti
memahami ide-ide, adat-istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma, sistem aktivitas, simbol,
dan hal-hal yang memiliki makna tertentu dan hidup subur dalam masyarakat.
Pemahaman tersebut dibingkai oleh pandangan dan sistem nilai ajaran Islam yang
membawa pesan rahmatan lil’alamin. Dengan demikian dakwah kultural menekankan
pada dinamisasi dakwah, selain pada purifikasi.
Dalam melaksanakan dakwah Muhammadiyah juga memiliki pedoman agar
dakwah dijalankan secara tersistem dan tidak serampaangan. Sebagaimana terkandung
dalam “Pedoman Pelaksanaan Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah Islam dan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar” hasil Tanwir tahun 1967, dinyatakan bahwa dalam berdakwah
amar ma’ruf nahi munkar Muhammadiyah harus selalu berusaha: (a) Tajdid dalam faham
Agama dan masyarakat; (b) Keberanian memasuki masyarakat dengan tujuan membangun atas
dasar ajaran Islam; (c) Tabsyir dalam beramal/gembira mudah meng-Islamkan dan tidak
mengkafirkan; (d) Ajakan Islam untuk masyarakat umum dengan tak memandang
golongannya, pekerjaannya, politiknya, kebangsaannya; yang belum Islam Islam diajak kepada
Islam, yang sudah mengaku Islam diajak menyempurnakan ke-Islamannya; (e) Dimengertinya
ajaran-ajaran Islam dalam hal yang menjadi keperluan masyarakat baik yang mengenai
ekonomi, politik, dan sosial sampai yang sekecil-kecilnya umpamanya dalam tata rumah tangga
perorangan; (f) Agar bagian dan badan-badan otonom Muhammadiyah benar-benar dapat
dipergunakan sebagai alat-alat dakwah. Sebuah mozaik dakwah yang kaya dan senapas dengan
jiwa dan prinsip gerakan Muhammadiyah sebagaimana diletakkan dasar-dasarnya oleh pendiri
gerakan Islam ini, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan, dan menjadi manhaj gerakan
Muhammadiyah secara kelembagaan organisasi.
Dari pemikiran, pendekatan, dan perspektif dakwah kerisalahan, kerahmatan,
dan dakwah kultural yang diuraikan tersebut itu maka menjadi tidak tepat bagi
5
gerakan dakwah Muhammadiyah manakala orientasinya bersifat parsial dan terbatas.
Dalam pendekatannya pun dakwah Muhammadiyah harus berproses sebagaimana
prinsip dakwah yang pokok yakni dengan hikmah yang baik, edukasi, dan
bermujadalah secara ihsan. Karena itu dakwah Muhammadiyah perlu menjauhkan diri
dari cara-cara konfrontatif yang merugikan dakwah Islam itu sendiri. Termasuk
manakala dakwah selalu menyerang, menyesat-nyesatkan, dan mengkafirkan objek
dakwah lebih-lebih bagi kalangan muslim sendiri. Dakwah konfrontatif seperti itu
tidak senapas atau sejiwa dengan dakwah dan kepribadian Muhammadiyah. Kendati,
tentu saja bukan berarti dakwah Muhammadiyah juga harus membiarkan hal-hal yang
tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Tantangan dakwah
Dakwah Islam saat ini baik yang dilakukan Muhammadiyah maupun gerakan-
gerakan Islam lain dihadapkan pada masalah atau tantangan yang multidimensi atau
kompleks.
Pertama, perkembangan masyarakat modern di satu pihak membawa
perubahan dan kemajuan yang spektakuler dalam banyak bidang kehidupan, tetapi
pada saat yang sama melahirkan pola kehidupan yang serba berorientasi pada materi
(materialisme), kesenangan serba inderawi (hedonisme), menjauhkan nilai-nilai agama
dari kehidupan (sekulerisme), paham serba bebas (liberalisme), bahkan menegasikan
nilai-nilai agama (nihilisme, agnotisme) hingga mengingari Tuhan atau ateisme.
Kedua, krisis masyarakat akibat perubahan-perubahan yang cepat dan
melampaui kemampuan untuk menyangganya, yang ditandai oleh munculnya
berabagai macam penyakit sosial (patologi sosial) seperti kriminalitas, kekerasan,
konflik sosial, keterasingan diri (alienasi), kejutan budaya (cultural shock), yang
menggambarkan kegersangan dan kerusakan ruhaniah. Hal itu terjadi karena budaya
materi jauh berkembang lebih pesat ketimbang budaya ruhani, sehingga melahirkan
kesenjangan kebudayaan (cultural lag) dalam masyarakat.
Ketiga, praktik kehidupan yang membesar-besarkan klenik, perdukunan,
kemusyrikan, gaya hidup mewah, dan budaya inderawi yang memuja hidup serba
duniawi yang ditampilkan dalam kehidupan nyata dan dikonstruksi melalui media
massa terutama media elektronik secara masif dan besar-besaran. Hal-hal yang
demikian dapat memperlemah dan merusak moral, ruhani, akal pikiran, dan
dayatahan umat maupun masyarakat pada umumnya, yang berimplikasi pada
rusaknya mental dan karakter bangsa.
Keempat, benturan pemikiran dalam beragama antara yang radikal-tekstual
versus radikal-liberal, yang melahirkan konflik di tubuh golongan agama termasuk di
lingkungan umat Islam. Konflik pemikiran tersebut merambat ke tubuh massa umat
sehingga melahirkan polarisasi keagamaan yang saling menegasikan dan sesat-
menyesatkan, yang berakibat lebih jauh melahirkan fragmetasi atau keterpecahbelahan
umat secara tajam dan ekstrem. Apabila perbedaan pemikiran tersebut masih
berkembang di level elite dan terbuka dialog tentu mudah diatasi, tetapi manakala
dikembangkan hingga ke akar rumput dapat menimbulkan polarisasi sekaligus konflik
horizontal atau kekerasan atasnama yang tidak diharapkan. Di sinilah pentingnya
sikap tengahan (tawasuth), keseseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), dan

6
menghindari dari ghulul atau sikap berlebihan atau ekstrem bagi seluruh pihak dalam
menjalankan agama.
Kelima, perkembangan misi atau ‘dakwah’ agama lain yang lebih ofensif
dengan menggunakan berbagai macam pendekatan, model, dan cara sehingga terkesan
lebih canggih dan mempengaruhi kehidupan umat Islam. Perkembangan tersebut
harus dihadapi secara objetif, artinya bagaimana dakwah Islam tampil jauh lebih
unggul ketimbang misi agama lain dalam merebut hati masyarakat dan membangun
kehidupan yang lebih baik. Perlu dikedepankan pula dialog dengan agama lain agar
masing-masing agama lebih baik terfokus pada pembinaan umat agamanya masing-
masing daripada saling berkekspansi. Dalam hal ini perlu dibangun paradigma baru
dalam hubungan antar umat beragama dan kelompok-kelompok atau organisasi-
organisasi keagamaan di negeri ini yang lebih berorientasi pada upaya membangun
toleransi, perdamaian, dan saling memajukan.
Keenam, kondisi umat Islam maupun mayoritas masyarakat Indonesia yang
masih miskin, marjinal, dan tertinggal dalam sejumlah bidang kehidupan. Kondisi
yang demikian dapat menjadi titik rawan bagi berbagai masalah yang saling tumpang-
tindih, sehingga semakin menambah beban masalah dalam kehidupan umat Islam dan
masyarakat di negeri ini. Masyarakat yang miskin dan marjinal bahkan menjadi titik
rawan bagi eksploitasi politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Di sinilah pentingnya
dakwah bil-hal yang tersistem dan berorientasi pada penguatan dan pemberdayaan,
selain dakwah bi-lisan yang selama ini secara konvensional banyak dilakukan
lembaga-lembaga dakwah.
Ketujuh, perkembangan dunia yang berada dalam pusaran globalisasi disertai
makin kuatnya pengaruh kapitalisme dan neoliberalisme, yang menjanjikan
kesejahteraan hidup luar biasa tetapi sekaligus menimbulkan kesenjangan,
ketidakadilan, dan berbagai masalah krusial dalam tatanan hubungan antar bangsa
dan di setiap bangsa dengan beragam krisis kemanusiaan dan ekosistem yang
menyertainya. Perkembangan dunia kontemporer tersebut di satu pihak tidak
terhindarkan, di pihak lain melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia
kemanusiaan sejagad. Ranah ini sungguh seolah tak terjangkau oleh dakwah Islam
karena demikian raksasanya globalisme dan kapitalisme dunia.
Menghadapi tantangan dakwah yang demikian segenap komponen gerakan
Muhammadiyah jangan sampai lengah dan acuh-tak acuh tetapi juga tidak harus panik dan
kemudian melahirkan pendekatan-pendekatan yang serba ekstrim dan radikal dalam berdakwah
Islam. Dalam melaksanakan dakwah Islam perlu cerdas, arif, dan sesuai dengan prinsip-prinsip
utama dakwah yakni dengan pendekatan dan cara-cara bil-hikmah, wa almauidhat al-hasanah,
dan bermujadalah bi-lati hiya ihsan. Di pihak lain dakwah memerlukan pelembagaan yang
semakin sistematik dan mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer secara lebih cerdas
dan jelas, kendati diakui bahwa daya dukung dana dan insfrastruktur dakwah yang dimiliki
organisasi-organisasi dakwah masih terbatas.
Dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks dakwah Islam perlu memperkaya
pendekatan terhadap sasarannya. Dakwah yang bersifat sserba konfrontasi kendati diyakini
berpijak pada kebenaran tidak lagi memadai dan harus diubah dengan pendekatan-pendekatan
yang lebih objektif dengan tetap berpijak pada prinsip ajaran Islam yang kokoh. Pendekatan
dakwah yang bercorak “al-jihad li al-muaradhah” (perjuangan melawan) sebagaimana
ditunjukkan oleh para pejuang di msa lampau atau ketika menghadapi musuh,

7
semakin kehilangan objektivitas dan relevansinya. Kini perlu dikembangkan tetapi
yang lebih proaktif harus menampilkan “al-jihad li al-muwajahah” (perjuangan untuk
menghadapi kehidupan) yang menampilkan alternatif baru yang bangunan
fondamentalnya menjulang kokoh ke Langit sekaligus mampu menjadi agama bagi
kehidupan di bumi yang nyata. Dengan dakwah yang menampilkan alternatif itu maka
umat Islam di mana pun akan hadir sebagai masyarakat yang menghadirkan
peradaban alternatif yang mencerahkan.

Penutup
Dakwah dan Islamisasi dalam kehidupan berlangsung tidak sekali jadi, linier,
dan bersifat final tetapi berproses dalam dinamika sosiologis yang gradual dan
diwarnai persambungan, perubahan, serta perkembangan. Karena itu dakwah sebagai
jalan menuju jalan Allah memerlukan pendekatan dan cara yang lebih sesuai dengan
alam pikiran dan keadaan masyarakat, yang dilakukan dengan dengan hikmah,
pelajaran yang baik, dan perdebatan yang lebih baik sehingga tumbuh kesadaran yang
mantap dalam meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam. Kewajiban
dakwah hanyalah mengajak dan berusaha mewujudkan kehidupan yang sejalan
dengan risalah Islam, selebihnya menjadi wilayah hidayah Allah kepada manusia.
Karena itu tidak boleh ada paksaan dalam berdakwah dan menjalankan ajaran Islam,
lebih-lebih dengan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan misi utama
Islam sebagai agama penyebar rahmatan lil-‘alamin.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi minkar
dan tajdid, sejak berdirinya berkomitmen untuk menyebarluaskan dan memajukan
ajaran Islam dalam kehidupan umat sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Dakwah yang dilaksanakan Muhammadiyah tidak hanya bergerak
dalam ranah lisan dan pemikiran tetapi juga amaliah, sehingga selain terbangun
kesadaran keagamaan sekaligus kehidupan umat yang lebih baik sepanjang kemauan
ajaran Islam. Dakwah Muhammadiyah selalu dalam koridor fungsi kerisalahan dan
kerahmatan, sehingga mampu mempengaruhi dan merambah ke dalam seluruh
dimensi kehidupan. Dakwah amaliah Muhammadiyah bahkan menyatu dalam denyut
nadi kehidupan masyarakat, sehingga memberi manfaat dan kemaslahatan yang
konstruktif bagi masyarakat dan dunia kemanusiaan sebagai perwujudan dari fungsi
rahmatan lil-‘alamin.
Dakwah Islam maupun usaha-usaha dakwah yang dilakukan Muhammadiyah
saat ini menghadapi masalah dan tantangan yang kompleks seiring dengan kehidupan
masyarakat yang berada dalam ranah dunia modern yang bergerak ke segala corak
dan arah. Masalah dan tantangan yang dihadapi dakwah Islam bersifat kompleks baik
dalam ragam pemikiran maupun sikap hidup yang diwarnai oleh kecenderungan
globalisme, materialisme, sekularisme, bahkan hedonisme dan paham-paham
kehidupan yang serba inderawi. Masalah kemiskinan, kekerasan, dan beragam krisis
sosial juga menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat saat ini yang membawa
implikasi pada perkembangan mental dan moral. Di tengah masalah dan tantangan
yang kompleks itu gerakan-gerakan dakwah dan organisasi-organisasi keagamaan
menunjukkan keragaman orientasi pemikiran dan aksi gerakan, sehingga di satu pihak

8
menggambarkan pluralitas gerakan tetapi juga menjadi beban tertentu dalam dinamika
dakwah Islam menuju pada keberhasilannya.
Karena itu diperlukan revitalisasi dan reorientasi dalam gerakan-gerakan
dakwah Islam dalam menghadapi dunia yang penuh dinamika yang kompleks dan
sarat tantangan itu. Dakwah Islam khususnya dakwah Muhammadiyah baik yang
bersifat dakwah lisan/pemikiran (dakwah bi-lisan al-qaul) maupun dakwah tindakan
(dakwah bi-lisan al-hal) memerlukan pembaruan dan peningkatan kualitas dalam
berbagai elemen sistemnya, sehingga mampu mengatasi bahkan melampaui tantangan
dan masalah yang dihadapi. Dengan pembaruan atau revitalisasi dakwah itu maka
diharapkan Islam tidak saja dipeluk sebagai ajaran dengan penuh keyakinan dan
pemahaman yang tercerahkan, sekaligus mampu mewujudkan kehidupan dan
peradaban alternatif yang utama sebagaimana keyakinan kolektif yang tumbuh di hati
umat selama ini: Islam ya’lu wa la yu’la ‘alaihi, Islam itu unggul dan tidak ada yang
mengungguli.

--------------------------
Makalah keynote speech yang disampaikan dalam Seminar Pra-Muktamar Satu Abad Muhammadiyah
yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara, tanggal 18 s/d 19 Desember 2009
di kampus UMSU, Medan.

Anda mungkin juga menyukai