Anda di halaman 1dari 8

MEMBANGUN PARADIGMA QURANI

Oleh Kelompok 2:
1. Almas
2. Muhammad Akmal Maulana Rizqy NRP 02111940000113
3. Figo
4. Talia Kamil NRP 02111940000015
5. Meyra Nathania NRP 09311940000024
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah peradaban Islam, Islam pernah mencapai puncak kejayaannya
sehingga dunia Islam menjadi pusat peradaban serta super-power dalam ekonomi dan
politik. Ekspansi dakwah Islam semakin luas yang implikasinya kemakmuran ekonomi
juga semakin terbuka dan merata.
Faktor yang menyebabkan umat Islam dapat maju pada saat itu selama kurang
lebih lima abad tentu saja dikarenakan umat Islam menjadikan Alquran sebagai paradigma
kehidupan. Alquran bukan hanya sebagai sumber ajaran saja, namun sebagai paradigma
dan pedoman dalam pengembangan iptek, budaya, serta untuk mengatasi berbagai
problem kehidupan umat Islam.
Alquran merupakan sumber utama ajaran Islam. Ia adalah salah satu kitab suci
yang masih terjaga keasliannya hingga saat ini. Isi ajarannya sempurna dan lengkap,
mencakup seluruh problematika dalam kehidupan. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk
menjadikan Alquran sebagai tempat berkonsultasi yang kemudian menjadikannya sebagai
suluh kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Paradigma Qurani


Secara etimologis, kata paradigma berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya
adalah para dan digma. Para mengandung arti ‘disamping’, sementara digma memiliki
makna ‘sudut pandang’. Secara garis besar, paradigma merupakan cara pandang dan cara
berpikir tentang sebuah realitas. Sementara dalam kajian terminologis, paradigma adalah
cara berppikir secara holistic dan konseptualistik dalam respon sebuah kasus dnegan
metodologi keilmuan yang dapat dipercaya. Oleh karenanya, istilah paradigma qurani
dapat disimpulkan sebagai sebuah cara pandang tentang suatu realitas berdasarkan
Alquran.
Menurut Kuntowijoyo (2008), Alquran mengandung muatan-muatan keilmuan
yang sangat layak untuk dijadikan sebuah paradigma dan akan memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan umat manusia. Kegiatan tersebut tentu saja akan menjadi stimulus baru bagi
munculnya alternatif kreatif ilmu pengetahuan.
Konstruksi paradigma qurani tersebut sangat selaras dengan tujuan untuk apa
Alquran diturunkan. Yusuf Al Qardhawi menjelaskan bahwa tujuan diturunkannya
Alquran setidaknya ada tujuh macam, yaitu :
1. Meluruskan Akidah Manusia
Secara rinci, menjaga akidah itu mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
a. Menegakkan Pokok-pokok Tauhid
Menegakkan tiang-tiang tauhid sebagai landasan beragama sangat penting
eksistensinya sebab bersikap sebaliknya yaitu syirik merupakan sikap yang sangat
tercela. Bahkan hukum Islam menganggap syirik sebagai tindak pidana yang sangat
terlarang. Itulah sebabnya Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni sikap syirik dan Allah akan mengampuni dosa selain itu bagi siapa
saja yang Allah kehendaki.” (QS. An-Nisaa/4:48).
b. Mensahihkan Akidah tentang Kenabian dan Kerasulan
c. Meneguhkan Keimanan Terhadap Akhirat dan Keyakinan Akan Adanya Balasan
yang Akan Diterima di Akhirat
2. Meneguhkan Kemuliaan Manusia dan Hak-hak Manusia
a. Meneguhkan Kemuliaan Manusia
b. Menetapkan Hak-hak Manusia
c. Meneguhkan Hak-hak Duafa (orang-orang lemah secara ekonomi)
3. Mengarahkan manusia untuk beribadah secara baik dan benar kepada Allah
4. Mengajak manusai untuk menyucikan rohani
5. Membangun rumah tangga yang sakinah dan menempatkan posisi terhormat bagi
perempuan
6. Membangun umat menjadi saksi atas kemanusiaan
7. Mengajak manusia agar saling tolong menolong

Namun, untuk dapat menjadikan Alquran sebagai paradigma dan kemudian


merumuskan nilai-nilai normatifnya kedalam teori-teori social, menurut Kuntowijoyo,
diperlukan adanaya 5 program reinterpretasi, yaitu :
1. Pengembangan penafsiran sosial ketika memahami ketentuan-ketentuan Alquran.
Misalnya, ketentuan larangan berfoya-foya bukan diarahkan kepada individualnya saja
tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Misalnya, zakat yang secara subjektif
adalah untuk membersihkan diri tetapi juga untuk tercapainya kesejahteraan umat.
3. Mengubah Islam normatif menjadi teoritis. Misalnya, konsep fuqara dan masakin yang
normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
4. Mengubah pemahaman yang ahistoris (berlawanan dengan sejarah) menjadi historis
(berkenaan dengan sejarah). Kisah-kisah dalam Alquran yang selama ini dipandang
ahistoris, sebenarnya menceritakan peristiwa yang benar-benar historis.
5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan
empiris.

B. Urgensi Paradigma Qurani dalam Mengatasi Problematika Era Milenial


Sebagai umat Islam yang beragama, kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah
tetap berjalan dengan baik. Salah satunya adalah berkembang menuju kemajuan dan
kemodernan yang harus diraih dan diperjuangkan tiada henti. Menurut Nurcholis Madjid
(2008) mengutarakan bahwa tolak ukur pembangunan yang berhasil adalah sebgai berikut:
1. Tingkat produksi dan pendaapatan lebih tinggi
2. Kemajuan dalam pemerintahan sendiri yang demokratis, mantap, dan sekaligus tanggap
terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kehendak-kehendak rakyat.
3. Pertumbuhan hubungan sosial yang demokratis termasuk kebebasan yang luas
kesempatan-kesempatan untuk pengembangan diri dan penghormatan kepada
kepribadian individu.
4. Tidak mudah terkena komunisme dan totalitarianisme (pemerintahan totaliter) lainnya.
Sumber norma dan kode etik yang sempurna umat Islam adalah Alquran. Maka
dari itu, seyogyanya Alquran dijadikan sebagai paradigma dalam merespon segala
problematika dalam kehidupan baik antar sesama manusia maupun antar hamba dengan
tuhannya. Tidak hanya itu, paradigma qurani juga dapat digunakan sebagai pedoman dalam
pengembangan iptek dan dapat dipastikan akan melahirkan ilmu alternatif yang khas,
bukan hanya berbasis sekularistik (hanya mementingkan dunia) saja. Pengembangan
budaya yang selalu mengiringi setiap kehidupan bermasyarakat harusnya juga berdasarkan
paradigma qurani sehingga akan menciptakan budaya masyarakat yang Islami dalam
proses, hasil, dan aktualisasinya. Apalagi jika paradigma qurani diterapkan dalam aspek
ekonomi, tentu akan membuahkan konsep serta kegiatan ekonomi yang bebas bunga dan
spekulasi yang merugikan. Hal ini dikarenakan prinsip ekonomi dalam Islam adalah tidak
boleh rugi dan tidak boleh merugikan orang lain (la dharara wa la dhirara).
Paradigma qurani dapat menjadi acuan dalam konteks pengembangan
pendidikan Islam dengan semangat memadukan ilmu umum dan ilmu agama sebagaimana
saat ini yang menjadi tren di kalangan sekolah dan perguruan tinggi Islam. Alquran
merupakan salah satu sumber pendidikan Islam disamping As-sunnah, kata-kata sahabat
(madzhab shahabi), kemaslahatan umat sosial (mashalil al-mursalah), tradisi atau adat
kebiasaan masyarakat (‘uruf), dan hasil pemikiran para ahli dalam Islam (ijtihad).
Paradigma qurani merespon seantero aspek kehidupan masyarakat milenial, agar
umat Islam tidak kehilangan eksistensi dirinya sebagai muslim dan tidak terjebak dalam
arus kehidupan sekularis yang hanya mengikis keimanan dan melahirkan generasi yang
ambivalen (bersikap mendua). Di satu sisi dia seorang muslim, disisi lainnya dia
menyingkirkan nilai Islam dari zona hidupnya. Salah satu fakta yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat era modern saat ini adalah seseorang yang beragama Islam tidak
menjalankan syariat Islam. Misalnya, mengonsumsi makanan dan minuman haram serta
melakukan perbuatan zina.
Sejarah membuktikan kemunduran umat Islam pada abad ke-18 atau yang biasa
disebut dengan abad stagnasi keilmuan adalah karena beberapa faktor, diantaranya :
1. Umat Islam meninggalkan peran Alquran sebagai paradigma dalam menghadapi segala
persoalan hidup
2. Hilangnya semangat berijtihad dikalangan umat Islam
3. Umat Islam menerima paham Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat
statis, sedangkan dalam terminologi Islam justru bersifat dinamis dan berkembang
4. Para ilmuwan salah kaprah dalam memaknai pemikiran Al-Ghazali yang dianggap
mengharamkan filsafat melalui karyanya “Tahafutul Falasifah”, padahal Al-Ghazali
menawarkan sikap kritis, analitis, dan skeptis terhdap filsafat agar dapat dielaborasikan
dengan lebih jauh menggunakan paradigma qurani
5. Sikap para khalifah yang berkuasa saat itu kurang mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan karena takut kehilangan pengaruh yang berakibat terhadap hilangnya
kekuasaan mereka.
Karena sikap demikian, kehidupan politik umat Islam pun pada abad itu menjadi
lemah, pecah, dan semrawut di tengah hegemoni kekhilafahan Islam yang mulai memudar
dalam menghadapi peradaban barat yang mulai menggeliat dan perlahan maju dengan
percaya diri. Perkembangan berikutnya, dunia Islam masuk ke dalam perangkap
kolonialisme barat dan bangsa barat menjadi penjajah ynag mengausai segala aspek di
dunia Islam.
Pada era milenial saat ini, salah satu langkah untuk lebih maju agar tidak
tertinggal oleh peradaban barat, menurut pemikiran Ismail Razi Al-Faruqi sebagaimana
ditulis Juhaya S. Praja (2002 : 73), kunci sukses dunia Islam tentu saja adalah kembali
pada Alquran. Al-Faruqi menjabarkannya dengan langkah sebagai berikut.
1. Memadukan sistem pendidikan Islam, menghilangkan dikotomi (pembagian atas dua
kelompok yang saling bertentangan) pendidikan umum dan pendidikan agama.
2. Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam melalui dua
tahapan; tahap pertama yaitu mewajibkan bidang studi sejarah peradaban Islam; tahap
kedua yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan.
3. Untuk mengatasi persoalan metodologi ditempuh langkah-langkah berupa penegasan
prinsip-prinsip pengetahuan Islam, sebagai berikut.
a. The unity of Allah (kesatuan Allah)
b. The unity of creation (kesatuan suatu ciptaan)
c. The unity of truth and knowledge (kesatuan kebenaran dan pengetahuan)
d. The unity of life (kesatuan hidup)
e. The unity of humanity (persatuan umat manusia)

Berikutnya, Al-Faruqi menyebutkan bahwa langkah-langkah kerja yang harus


ditempuh adalah sebagai berikut.
1. Menguasai disiplin ilmu modern
2. Menguasai warisan khazanah Islam
3. Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah penelitian
pengetahuan modern
4. Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara warisan Islam dan
pengetahuan modern
5. Mengarahkan pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu sunnatullah.

C. Implementasi Paradigma Qurani di Era Milenial


Generasi milenial memiliki kecerdasan intelektual dan kekuatan fisik lebih
unggul dibanding generasi sebelumnya, namun dalam kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual mereka mengalami banyak kendala. Menurut Guru Besar Universitas Pendidikan
Indonesia, Prof. Syahidin, ada 2 kendala utama dalam mengembangkan kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual yaitu; pertama, adanya pemikiran dikotomis yang
memisahkan bahkan menjauhkan agama dengan iptek; kedua, adanya perbedaan dalam
memahami dan meyakini kebenaran ilmiah yang bersifat universal bersumber dari agama
atau wahyu, dengan kebenaran ilmiah yang bersifat temporer bersumber pada budaya. Kedua
kendala tersebut menjadi pemicu terjadinya perbedaan-perbedaan dalam membina karakter,
perbedaan pilihan nilai, dan perbedaan dalam memahami dan menyikapi fenomena alam
yang selalu berubah secara cepat.
Sakib Arselan dalam bukunya “Limadza Ta’akhara Muslimuna Wa Taqaddama
Ghairuhum”, pernah mengatakan bahwa umat Islam mundur karena meninggalkan
ajarannya, sedangkan non-Islam maju justru karena mereka meninggalkan ajarannya. Para
pembaharu Islam juga sepakat bahwa demi kemajuan, umat Islam harus berkomitmen
terhadap ajarannya yang murni sebagaimana tercantum dalam Alquran dan As-Sunnah.
Tidak sedikit orang berpandangan bahwa untuk maju justru mereka harus
meninggalkan ajaran agama mereka sehingga mereka harus mengembangkan budaya
sekuler dalam segala segi kehidupan. Sementara bagi umat Islam, untuk maju tidak perlu
mengambil sekularisas, malah sebaliknya, harus berkomitmen terhadap ajarannya.
Pernyataan tersebut didasari karena beberapa aspek, antara lain :
1. Ajaran Islam yang sumbernya Alquran dan Al-hadist bersifat syummul,
artinya mencakup segala aspek kehidupan.
2. Ajaran Islam bersifat rasional artinya sejalan dengan nalar manusia sehingga
tidak bertentangan dengan iptek.
3. Ajaran Islam berkarakter tadarruj artinya bertahap dalam implementasinya.
4. Ajaran Islam bersifat taqlilat-takaalif artinya tidak banyak beban, karena
beragama itu memang mudah, dalam arti untuk melaksanakannya tidak ada
yang diluar batas kemampuan manusia.
Sebagai contoh implementasi paradigma qurani dalam kehidupan sehari-hari
misalnya tentang isu rasisme dan rasialisme yang melibatkan warga dari papua yang baru-
baru ini terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Peristiwanya bermula dari dugaan ucapan
rasis dan rasialis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Masyarakat Papua sangat
tersinggung dan marah mendengar ucapan semacam itu. Akibatnya, meletus demonstrasi
massa secara besar-besaran yang diikuti perusakan dan pembakaran yang menyebabkan
kericuhan, kekacauan, dan kerusuhan di beberapa kota di Papua, misalnya di Sorong.
Sudah 14,5 abad silam Alqur'an memperingatkan dan melarang ucapan,
perilaku, dan perbuatan rasis ini. Secara gamblang Allah dalam Alquran mengingatkan dan
menyadarkan manusia bahwa manusia itu diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
dengan tujuan agar manusia saling mengenal (QS Al-Hujurat ayat 13): "Wahai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu kenal mengenal.”
Setelah mengingatkan dan menyadarkan manusia tentang ide kesamaan dan
prinsip persamaan derajat manusia di hadapan-Nya, Allah melarang manusia berbuat rasis:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (kaum yang diperolok-olok itu) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan lain
(karena) boleh jadi perempuan yang diperolok-olok itu lebih baik dari perempuan (yang
mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan janganlah memanggil dengan gelar-
gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah
beriman (QS Al-Hujurat: 11).
Apabila kita sebagai warga negara yang baik sudah memahami paradigma qurani
tersebut.Tentu isu rasisme ini takkan terjadi.Disinilah pentingnya membaca dan memahami
isi Al-Qur’an.Setelah paham maka kita dapat mengamalkan dan mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga kita tidak bertingkah laku melampaui batas.

Anda mungkin juga menyukai