Anda di halaman 1dari 4

KRITIK EPISTEMOLOGI PLURALISME

ALA GAMAL AL-BANNA

Oleh : baim

Pluralisme merupakan gejala yang sudah lama dalam sejarah peradaban


manusia . Gejala ini semakin menjadi isu sentral tatkala kenyataan pluralistik semakin
canggih (sophisticated), kompleks dan serba paradoks.

Fenomena ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah disebabkan


oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang berimplikasi pada perbedaan cara pandang
dalam memaknai kehidupannya. Termasuk pula dalam kehidupan beragama, yang pada
gilirannya melahirkan pluralisme agama.

Pluralisme menurut istilah berasal dari kata plural yang berarti sesuatau atau
bentuk yang lebih dari satu. Pluralisme dapat dimaknai sebagai sebuah kesadaran yang
melahirkan sebuah prinsip atau sikap terhadap kenyataan keberagaman dalam suatu
kelompok masyarakat. Baik dilatarbelakangi oleh perbedaan ras, pilihan politik maupun
perbedaan kepercayaan agama. Akan tetapi mereka mampu hidup secara damai dalam
perbedaan tersebut.

Paham pluralisme biasanya dikaitkan dengan pola pikir filosofis yang merujuk
pada perkembangan Barat. Secara umum paham pluralisme selalu merujuk pada
mainstream pergerakan pemikiran pasca pencerahan yang dikembangkan oleh Eropa
dan Amerika. Pergerakan pemikiran ini lebih populer dengan istilah Postmodernisme.

Gerakan Postmodernisme gencar menyuarakan isu pluralisme yang bertolak


belakang dengan gerakan modernisme. Postmodernisme menolak ide dasar filsafat
modern yang meligitimasi kesatuan ontologi. Jean Francois Lytord sebagai tokoh
Postmodernisme yang paling populer. Ia menolak modernisme yang memutlakkan
kebenaran tunggal dan bersifat universal sekaligus terpusat. Ia memandang bahwa
hakekat kebenaran adalah majemuk yang bersifat particular sekaligus tanpa pusat.

Ide pokok gerakan Postmodernisme ini yang telah mengilhami Sebagian besar
kaum intelektual kontemporer, termasuk pula para kaum intelektual muslim. Sebagian
besar konsep pluralisme dipengaruhi oleh mainstream ide pluralisme yang
dikembangkan oleh para pemikir barat.

Paul Knitter, David Kreiger, Rosemary Ruether, Raimundo Panikkar, Jurgen


Moltmann, WC Smith, Tom Driver, John Cobb Dan Leonard Swidler serta banyak lagi
tokoh pluralisme barat lainya. Tokoh-tokoh inilah yang dijadikan rujukan oleh para
intelektual dalam mengkaji konsep pluralisme.
Gamal Al-Banna merupakan salah seorang penggagas pluralisme dari kalangan
intelektual muslim. Akan tetapi berbeda dengan para intelektual muslim lainya, ia
menggali konsep pluralisme dari nash Al-Qur’an sebagai sumber rujukan.

Menurut Al-Banna umat Islam sudah terlalu jauh meninggalkan gagasan


pluralisme yang sarat dengan nilai Islam. Yaitu yang merujuk pada Al-Qur’an sebagai
sumber otentik bagi pluralisme. Dengan kata lain Al-Qur’an sebagai pondasi pluralisme
bagi umat Islam.

Paham pluralisme menurut Al-Banna pada hakekatnya berangkat dari ajaran


Islam tentang tauhid (kesatuan). Paradigma tauhid adalah metode satu-satunya yang
diusung oleh Islam dalam mengafirmasi eksistensi Allah dan menegasikan selain Dia.
Tidak ada satu agamapun yang berhasil menjelaskan ke-Esaan Tuhan secara gamblang
seperti keberhasilan Islam.

Dengan kalimat tauhid Laa ilaha illallah ( tiada Tuhan selain Allah), di sini Islam
memastikan (Itsbat) eksistensi Allah begitu pasti. Pada waktu yang bersamaan
menegasikan (nafyun) eksistensi selain Dia. Implikasi dari aksioma ini bahwa tiada
sesuatupun Yang Maha Esa selain Allah. Berarti tidak ada keesaan dalam alam dan
masyarakat, yang ada adalah pluralitas yang mungkin mencapai jutaan dalam segala
dimensinya. Sehingga pluralisme dapat dikatakan sebagai prinsip dasar masyarakat.

Oleh karena itu isu “Negara Tauhid” yang digembar-gemborkan oleh sebagian
kalangan intelektual muslim menurut Al-Banna menjadi kurang relevan. Sebab Islam
bukan negara tapi Islam adalah umat. Umat sebagaimana berangkat dari konsep tauhid
tidaklah tunggal. Akan tetapi memiliki sifat plural. Begitu pula Islam bukanlah negara.
Implikasinya adalah tidak ada “Negara utama (daulah al-fadhilah)” di dunia ini.

Sebuah fakta yang tidak dapat kita hindari bahwa tugas negara sering kali gagal
dalam menegakkan kebijaksanaan bagi masyarakat. Bahkan intervensi negara kadang
disalahgunakan menjadi kebijakan yang bersifat represif dan otoriter dengan
mengatasnamakan agama.

Maka dari itu istilah yang paling tepat untuk komunitas Islam menurut Al-Banna
bukanlah “negara tauhid”, akan tetapi ” umat keadilan”. Karena masyarakat Islam
sebagai komunitas dalam masyarakat, maka Islam dikatakan sebagai umat. Islam
Sebagai umat seharusnya memiliki karakter dominan dan menjunjung tinggi nilai-nilai
dalam kehidupan sosial yaitu keadilan.

Islam menjunjung tinggi prinsip keadilan yang menjadi falsafah hidup bagi
umatnya. Hal ini dipertegas dalam ayat Al-Qur'an yang menganjurkan manusia untuk
berfikir, merenungkan ayat-ayat dan hukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah. Agar
manusia dapat mengetahui dan memahami bukti keadilan Allah dengan akal dan
kesadaran jiwanya.

Al-Qur'an banyak menyebut kata hikmah yang berdampingan dengan kitab


dalam Al-Qur'an yang ditujukan kepada Rasulullah. Sebagaimana terdapat dalam surat
Al-Jum’ah: “Dialah yang mengutus kepada orang-orang yang tidak
berperadaban(al-ummiyin) seorang Rasul dari golongan mereka. Dia
membacakan ayat-ayat (untuk)mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
Kitab dan Hikmah kepada mereka. Sebelumnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata. ” (QS. Al-Jum’ah: 2)

Hikmah menurut Al-Banna adalah akal budi, ilmu pengetahuan, pengertian dan
kesadaran akan jiwa Islami dan nilai-nilai Islam. Hikmah adalah pondasi Islam dan
sumber hukum Islam yang sempat terlupakan oleh para tokoh intelektual Islam.

Menurut Al-Banna hal ini terjadi karena kemungkinan para ahli fiqih (fuqoha’)
enggan untuk mengakui adanya pondasi dan sumber inklusif dan toleran yang
menopang pluralisme. Tujuanya adalah untuk mempersempit tradisi masyarakat agar
kekuasaan tradisi yang berlaku tetap berada ditangan mereka.

Maka menjadi keharusan bagi para tokoh pembaharuan Islam untuk


menyingkirkan sikap, pemikiran dan prilaku yang menutup hikmah. Dan
mengembalikanya sesuai dengan kehendak Allah sebagai pendamping kitab dan risalah
Nabi.

Allah menghendaki hikmah sebagai wahyu subyektif yang membawa spirit Ilahi
dalam diri manusia. Dengan demikian hikmah menjadi penopang kesempurnaan agama.
Sehingga terciptalah kehidupan yang sejahtera manusiawi pluralis yang
menghubungkan antar berbagai ras, budaya dan perbedaan bahasa.

Ilmu pengetahuan filsafat dan sastra seni adalah pendukung hikmah yang telah
ditegaskan dalam al-Qur'an. Hikmah adalah manifestasi perkembangan pemikiran
manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah. Di dalam hikmah terdapat potensi yang
mampu mengungkap fenomena alam serta kesejatian akan kreasi-kreasi Ilahi.

Hati menjadi bahagia sementara akal menemukan ruang aktualisasinya. Segala


kebutuhan manusia dalam tiap dimensinya dapat terpenuhi. Pluralitas pengetahuan
yang diperoleh dari media akal merupakan hukum Tuhan yang tak dapat dihindari. Hal
ini telah disinyalir dalam al-Qur'an, bahkan sunnahpun mengakui perbedaan itu.
Sehingga ijtihad menjadi keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri.

Maka dapat dipastikan setiap usaha untuk membentuk masyarakat dalam satu
model, satu warna dan monoton dengan alasan persatuan Islam yang merupakan agama
tauhid tanpa memperhatikan pluralitas sebagai faktor yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat, akan mengalami permasalahan akut.

Maka dari itu pembangunan yang tepat menurut Al-Banna adalah harus dimulai
dengan pembangunan kesadaran akan ilmu pengetahuan. Karena dengan ilmu
pengetahuan manusia dapat membedakan mana yang benar dan yang salah. Serta
membimbing manusia pada kebenaran yang memiliki orientasi dan tujuan. Keniscyaan
akan pluralitas dalam masyarakat akan terkendali dan terhindar dari berbagai
benturan. Karena telah dilandasi oleh keimanan pada nilai-nilai Islam yang tertanam
kuat di setiap individu dalam masyarakat. Karakter inilah yang menjadi ciri khas yang
membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat yang lainnya.

Kata kunci: artikel


Sebelumnya: Kritik Epistimologi Mark Slouka : RUANG YANG HILANG ; Pandangan
Humanis Tentang Budaya Cyberspace Yang Merisaukan
Selanjutnya : PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KURIKULUM

Anda mungkin juga menyukai