Anda di halaman 1dari 6

Resume kelompok 2

Kata kosmologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti bumi, yang tersusun menurut
peraturan dan bukan kacau tanpa aturan. Kosmos juga berarti alam semesta. Alam semesta
berarti jagat raya, kemudian menjadi cabang ilmu kosmolagi yang memandang alam semesta
sebagai suatu integral. Pembahasan mengenai penciptaan alam didalam kajian para filosuf,
biasanya dimasukkan kedalam pembahasan mengenai kosmologi. Sedangkan kosmologi term
asuk bagian dari filsafat alam yang didalamnya membicarakan inti alam, isi alam, dan
hubungannya satu sama yang lain. Dahulu ilmu yang mempelajari tentang asal usul alam semesta
disebut kosmogoni, sekarang para ahli astronomi modern, kosmogoni yang mempelajari asal
usul dan evolusi alam semesta telah di perluas menjadi kosmologi.
Sejak zaman dahulu orang ingin menerangkan alam semesta. Penyelidikan antariksa
sudah dikerjakan oleh bangsa Yunani kuno, dan penyelidikan itu berkembang terus hingga
sekarang dengan menggunakan peralatan dan pengetahuan yang tinggi. Diantara tokoh-tokoh
dari filosuf Yunani kuno yang menerangkan tentang asal usul alam semesta adalah Thales yang
berpendapat bahwa ia tidak mempercayai prinsip creation ex nihilo, yakni bahwa “ alam tidak
mungkin merupakan sesuatu yang diciptakan dari ketiadaan mutlak.” Sehingga Thales
mengatakan bawa air merupakan asal usul dari segala sesuatu yang ada.
Kemudian Empedocles, salah satu filosuf Yunani kuno yang mengatakan bahwa alam
semesta yang ada ini berasal dari empat unsure yaitu air, tanah, udara, dan api. Keempat unsusr
inilah yang menjadi asal usul alam semeta. Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para
filosuf Yunani kuno ini ditolak oleh para filosuf modern, tentu saja para filosuf modern
mempunyai kelebihan cara berpikir dari pada filosuf Yunani kuno, para filosuf modern lebih
mementingkan riset, percobaan, perhitungan, perbandingan dan penelitian yang cermat dibantu
dengan alat-alat yang modern. Sedangkan para filosuf Yunani kuno mengutamakan pikiran saja
sebagai sentral untuk mengetahui segala sesuatu dan sifatnya tidak ilmiah.
Dalam filsafat manusia ini akan membahas mengenai hakikat manusia, sebagaimana Al-
Farabi dalam menyikapi hakikat manusia menggunakan teori emanasi yang dinamakan
nadhariatul-faidl dengan uraiannya sendiri, walaupun ia menyetujui teori Al-Kindi . pada
mulanya Al-Farabi menerima prinsip Aristotealisme yang menyatakan bahwa Tuhan itu ialah
Akal yang berpikir, Al-Farabi menanamkan akal murni. Akal murni itu Esa adanya, dalam arti
bahwa akal itu berisi suatu pikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Sedangkan
Ibnu Sina, seperti pendahulunya Al-Farabi, juga menyatakan bahwa manusia itu terdiri dari
unsure jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa
untuk melakukan aktifitas atau kerja. Jasad selalu berubah, berganti, tumbuh, bertambah, dan
semakin berkurang sesuai dengan berjalannya waktu (usia). Sehingga ia mengalami.

Alam merupakan tubuh, sedangkan sisi mental dan struktur fisikal alam adalah jiwa
tuhan. Jadi antara tuhan dan alam adalah prinsip identitas dari prespektif bagian yang berbeda.
Karena Tuhan immanent bersama-sama alam, maka tuhan merupakan transedent. Dalam tradisi
intelektual, berbicara tentang kosmologi dan antropologis filosofis sama artinya berbicara
tentang Tuhan. Bahkan bagi islam secara umum, tidak ada artinya sama sekali berbicara tentang
kosmologi dan antopologi filosofis tanpa berbicara tentang Tuhan. Tuhan adalah pondasi bagi
seluruh pemikiran bermakna, terutama segenap konseptualisasi yang berpengaruh positif
terhadap menjadi manusia utuh.

RESUME KELOMPOK 3

Al-Quran telah mengajak dan mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk berfikir,
menggunakan akal sesuai dengan fungsinya guna mencapai pengetahuan yang benar. Selain itu,
Allah telah menugaskaan Rasulullah untuk mengajarkan ilmu kepada umat manusia. Akan tetapi,
lain halnya jika pengetahuan atau pendidikan Islam dikaitkan dengan politik (dikotomi).
Dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam telah berjalan cukup lama, terutama sekali semenjak
madrasah Nizhamiyah mempopulerkan ilmu-ilmu agama dan mengesampingkan logika dan
falsafah, hal itu mengakibatkan terjadinya pemisahan antara al-‘ulum al-diniyah dengan al-‘ulum
al-aqliyah. Terlebih lagi dengan pemahaaman bahwa menuntut ilmu agama itu tergolong fardhu
‘ain dan menuntut ilmu non-agama itu tergolong fardhu kifayah, maka hal itu menimbulkan
banyaknya umat yang mempelajari agama sebagai suatu kewajiban seraya mengabaikan
pentingnya mempelajari ilmu-ilmu non-agama.

Pendidikan juga dapat dipahami sebagai alat untuk membentuk karakter setiap
manusia didalam upaya untuk menciptakan penyadaran atas kemerdekaan yang dimilikinya.
Namun, seiring dengan tumbuh berkembangnya dinamika peradaban didunia, kemudian tumbuh
pula lah sebuah budaya Positivisme yang dibawa oleh masyarakat kapitalis, yang telah
mengakibatkan tereduksinya hakikat dari pendidikan itu sendiri.

Pengaruh Kapitalisme dan budaya positivisme terhadap pendidikan tersebut sangat jelas,
yaitu ilmu yang didiseminasikan kepada peserta didik adalah ilmu yang mengorientasikan
mereka untuk beradaptasi dengan dunia masyarakat Industri, dengan mengorbankan aspek
Critical Subjectivity, yaitu kemampuan untuk melihat dunia secara kritis. Sehingga dengan
pendidikan yang mengakar pada budaya positivisme ini, maka karakter yang terbentuk dari hasil
pendidikan tersebut adalah karakter-karakter manusia yang berpegang tegus pada prinsip
pragmatisme-oportunis dan meninggalkan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Yaitu prinsip demokrasi, kesadaran kritis, kepedulian sosial, bertanggung jawab
serta prinsip Kemerdekaan dan memerdekakan.

Terperasuknya dunia pendidikan didalam kungkungan budaya positivisme ini, akan


mengakibatkan semakin jauhnya dunia pendidikan kita dengan hakikat pendidikan yang
sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantoro, yaitu pendidikan yang seharusnya
adalah “Untuk memerdekakan manusia lahir maupun batin”. Dengan logika pragmatis-oportunis
yang dibawa oleh Budaya Positivisme ini, akibat yang ditimbulkannya adalah terciptanya para
Pelajar atau murid yang berkarakter serba praktis. Hal tersebut memiliki korelasi terhadap
fenomena-fenomena yang berkembang di Indonesia dewasa ini. Seperti fenomena maraknya
tindakan Korupsi, fenomena suburnya money politik di setiap ajang kontestasi politik dan
fenomena-fenomena lainnya.

Menurut mereka, pendidikan kritis pada dasarnya bermula dari gagasan Freire. Menurut
mereka ada beberapa ciri pendidikan kritis.

1. Pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural, bahwa semua
pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh relasi bahasa yang dibentuk secara sosial
dan historis.
2. Eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang lebih luas baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan. Artinya kesadaran
seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif yang dibentuk melalui
mediasi keluarga, masyarakat, sekolah dan sebagainya.
3. Fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai. Ini berarti bahwa
berbagai aktifitas yang terjadi dalam realitas-empirik merupakan perwujudan atau
cermin nilai dari sang pelaku.
4. Bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini
kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan
melalui media bahasa. Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk
aksentuasi pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh masyarakat.
5. Munculnya perbedaan status di kalangan anggota masyarakat baik secara ekonomi
maupun sosial disebabkan oleh pemberian previlise secara tidak adil oleh pihak lain,
seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena kepentingan tertentu.

RESUME KELOMPOK 4

Pokok pertama dan utama yang harus ditanamkan pada seorang anak yang sudah masuk
jenjang pendidikan adalah pendidikan aqidah. Suatu kewajiban bagi orang tua muslim
menjadikan anak-anaknya sebagai pribadi shalih-shalihah yang siap menghadapi zamannya.
Agar anak-anak itu membawa izzah (kemuliaan) bagi orang tua dan menjadi investasi dunia
akhirat. Penanaman akidah yang lurus menjadi kunci utama manusia dalam menjalani
kehidupan. Sejak anak usia dini pengenalan Tuhan inilah yang perlu diupayakan. Tidak
menyekutukan tuhan dengan apapun karena syirik perbuatan yang tak diampuni.
Tauhid sangatlah penting untuk membentuk pendidikan yang islami karena bertauhid
adalah kunci pokok bagi orang yang mengaku dirinya umat Islam karena seseorang baru
dikatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid yaitu syahadatain.
Kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah SWT. dan meninggalkan semua
larangannya.
Dalam pendidikan yang pertama kali dan paling urgen harus diajarkan kepada anak
adalah tauhid atau akidah. Tauhid yang benar menunjukkan jalan bagi manusia untuk hidup di
dunia. Tauhid yang lurus pangkal kesuksesan hidup dan dapat menyatukan dan menghimpun
kaum mukminin dalam wadah persaudaraan hakiki. Tauhid menjadi rambu-rambu kehidupan
dalam memandang dunia sekitar. Tauhid menjadi worldview seseorang dalam menentukan
bebagai sikap dan perbuatan, produk hukum, rancangan, dan perencanaan. Tauhid yang baik
menjadikan worldview yang benar. Worldview yang shahih berasal dari sistem keyakinan dan
sistem kepercayaan atau tauhid yang benar. Maka tauhid menjadi prioritas wajib untuk diajarkan
kepada anak, sebelum materi yang lain.
Menurut Imam al-Ghazali, akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan
terlebih dahulu. Sedangkan menurut Ibnu Maskawih, Akhlak ialah keadaan jiwa seseorang yang
mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa pertimbangan akal fikiran terlebih
dahulu. Dengan demikian akhlak merupakan perbuatan yang tetap yang muncul dari dalam jiwa
seseorang serta tidak memerlukan daya pemikiran dalam melakukannya alias reflek.
Kedudukan akhlak dalam Islam sangat penting, sebagai mana dijelaskan dalam hadis
Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”(HR.
Bukhari). Bahkan dikatakan bahwa definisi Agama adalah akhlak yang mulia, berakhlak mulia
merupakan bukti kesempurnaan Iman dan berakhlak mulia juga menjadi penyebab masuk surga
dan terhindar dari api neraka. Akhlsk bersangkut paut dengan gejala jiwa sehingga dapat
menimbulkan perilaku. Bilamana perilakau yang timbul ini adalah baik, maka dikatakan akhlak
yang baik. Sebaliknya, bilamana perilaku yang timbul adalah buruk, maka dikatakan akhlak ang
buruk.
Keluhuran akhlak merupakan manifestasi hakikat dan inti sistem pendidikan Islam. Itulah
sistem ibadah, sistem berpikir, dan sistem aktivitas, semuanya berjalan seiring bersama dasar-
dasar pendidikan yang integral dan seimbang.

RESUME KELOMPOK 5
Aliran ini memandang manusia sebagai kumpulan dari organ tubuh, zat kimia, dan unsur
biologis yang semuanya itu terdiri dari zat dan materi. Orang yang berpandangan materialistik
tentang manusia dapat berimplikasi pada gaya hidupnya yang juga materialistik, tujuan hidupnya
tak lain demi materi, dan kebahagiaan hidupnya.

Bagi spiritualisme hakikat manusia adalah roh atau jiwa (spirit and soul), sedangkan zat
atau materi adalah manefistasi roh atau jiwa. Fichet berkata bahwa segala sesuatu yang lain
(selain roh atau jiwa) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis, perupaan, perubahan
atau penjelmaan dari roh. Dasar pikiran aliran ini adalah bahwa roh itu lebih berharga, lebih
tinggi nilainya daripada materi. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya seorang wanita atau pria yang kita cintai, kita tak mau pisah dengannya. Tetapi, kalau
roh wanita atau pria yang kita cintai tadi tidak ada pada badannya, berarti dia meninggal dunia,
maka mau tak mau kita harus melepaskan dia untuk dikuburkan.

Humanisme, sebagaimana rekonstruksionisme, menurut skema George R, Knight,


merupakan perkembangan dari progresivisme. Fokus perhatian humanisme adalah manusia
(human). Tendetensi pemikiran edukatif Dewey dalam kaitan ini lebih mengarah pada sisi-
antroposentris. Artinya humanisme itu merupakan refleksi timbal balik antara kepentingan
individu dengan masyarakat.

Falsafah al-hadhariyah bertumpu pada prinsip keterpaduan antara dimensi ketuhanan (


teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris), sesuatu yang berbeda secara diametral dengan
falsafah umum yang hanya berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan semata. Falsafah al-hadhariyah
mengakui adanya alam nyata sekaligus ghaib, fisik dan metafisik, sementara falsafah umumnya
dibatasi oleh gejala yang tampak dan tertangkap oleh indra. Falsafah al-hadhariyah memandang
penting peran wahyu, dan nilai-nilai moral dalam pendidikan, sementara falsafah umumnya
mengambil posisi sekularistik dan mendasarkan pada peranan akal, budaya, dan nilai-nilai sosial.

Anda mungkin juga menyukai