Anda di halaman 1dari 6

SINESS LAW

Menu

Business Law

People Innovation Excellence

Home Rubric of Faculty MembersFILSAFAT SEBAGAI SARANA PENGANTAR K...

FILSAFAT SEBAGAI SARANA PENGANTAR KE ARAH FILSAFAT ILMU

Oleh BATARA MULIA HASIBUAN (Maret 2017)

Manusia sebagai makhluk hidup memiliki kebutuhan mendasar yang tertanam dalam lingkaran nafsu
yang memerlukan pemuasan. Rasa lapar dan haus ada dalam diri manusia, bersamaan dengan
kebutuhan akan rumah, baju, pendidikan dan keinginan seksual. Hawa nafsu bertindak berdasarkan
prinsip kesenangan. Sementra pengenalan akan baik dan buruk banyak ditentukan oleh hati nurani
berdasarkan struktur kepribadiannya, yang unsurnya terdiri kepribadian perilaku, ego dan superego.

Perilaku yang baik sesuai dengan norma moral atau memenuhi tuntutan “etika” yang bersifat etis. Ego
atau keakuan berkembang melalui kesadaran atas lingkungan aktivitasnya yang dapat terbentuk pada
kondisi prasadar, sadar dan tidak sadar. Superego merupakan pelaku yang melakukan sensor terhadap
tindakan, perasaan, dorongan keinginan dan lain sebagainya, serta sering berhadapan dengan ego, yang
kadangkala menganggap ego sebagai objek yang keras. Superego juga kadangkala lembut dan halus
dalam menyesuaikan dengan persepsi ego yang mengakibatkan keseimbangan batin. Superego ini lebih
cenderung diistilahkan sebagai hati nurani. Akan tetapi, superego yang berlebihan bisa menimbulkan
penyakit dan kekurangseimbangan batin itu sendiri. Win Usuluddin Bernadien menuliskan pendapatnya:
[1]

Hampir setiap manusia dapat dikatakan sebagai seorang filsuf, artinya bahwa setiap orang itu
mempunyai filsafatnya sendiri-sendiri. Setiap diri yang berkesadaran tentu mempunyai pandangan khas
terhadap alam semesta. Oleh karena itu, maka filsafat sering diartikan sebagai usaha manusi yang gigih
untuk dapat membuat hidup ini sedapat mungkin dapat dipahami dan bermakna. Pengertian filsafat
yang demikian ini sering kita dapati, misalnya filsafat seorang pahlawan rawe-rawe rantas malang-
malang putung..
Dari kondisi yang demikian kompleks dalam diri manusia, maka filsuf meyakini perlunya mengarahkan
manusia agar memiliki kesadaran moral yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain secara lebih
luas. Jujun S. Suriasumantri menyebutkan pendapatnya:[2]

Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke
bintang-bintang. Dia mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri
di puncak tinggi, memandang ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya
dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat
menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri.
Dia melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan
moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada
dirinya.

Dengan demikian, karena tingkat pendidikan manusia berpengaruh terhadap persepsinya tentang
rasionalitas dan pemikiran dengan kesadarn moral yang penuh rasa tanggungjawab dan kemandirian,
maka kematangan diri manusia menjadi landasan dalam pengembangan pengetahuan dan kesadaran
filsafat dalam akal budinya. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan manusia semakin sesuai
untuk menerima siraman filsafat dikarenakan adanya kecintaan hatinya yang mendorongnya berjalan
kepada mencari kebenaran yang belum maupun sudah tersingkap, dengan tetap menegaskan bahwa
manusia berpendidikan rendah juga kadangkala mampu berfikir rasional dan jujur.

Dengan akal budi, rasionalitas dan kejujurannya tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk
merefleksi hasil olah pikirnya dengan lingkup dan batasan, pelembagaan, kesepakatan, pemanfaatan
dan dinamika terkait pemenuhan kehidupannya yang melahirkan ilmu dan pengetahuan, yang salah
satunya disebut sebagai filsafat.

Filsafat merupakan ilmu yang paling tua, disebabkan ilmu filsafat merupakan dasar dari segala dasar
berpikir yang membutuhkan pemecahan dari pertanyaan dan persoalan hidup di dalam olah pikir
manusia, di mana lantas melahirkan berbagai cabang ilmu.

Filsafat menyentuh berbagai dimensi hidup manusia, keterbukaan total terhadap realitas hidup,
kejujuran hati dan merefleksikan suasana jiwa yang tentram dan damai atas dasar gerak hidup
berdasarkan perilaku hukum Tuhan dan hukum horizontal yang disusun oleh dan atas kesepakatan
universal umat manusia. Hukum ciptaan Tuhan dan hukum ciptaan manusia tidak dipertentangkan,
tetapi diselaraskan melalui renungan filsafat dan pendamaian multi dimensi dalam keluhuran budi
pekerti, serta mampu menghubungkan akar masalah manusia dengan jembatan penyelesaiannya secara
rasional dan jujur.

Pembahasan mengenai filsafat ilmu baru mulai merebak di awal abad keduapuluh, namun Francis Bacon
dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad kesembilan belas dapat dikatakan sebagai
peletak dasar filsafat ilmu dalam khasanah bidang filsafat secara umum. The Liang Gie menggambarkan
“pemikiran para filsuf itu mengenai ilmu merupakan filsafat ilmu (philosophy of science)”.[3] Untuk lebih
jelasnya, The Liang Gie mengutip beberapa pendapat mengeni defenisi philosophy of science dari para
filsuf, antara lain :[4]

Robert Ackermann. Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-
pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah
dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian
itu, tetapi filsafat ilmu demikian jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah.

Lewis White Beck. Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta
menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

A. Cornelius Benjamin. Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai sifat
dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapannya, serta
letaknyadalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.

Peter Caws. Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmuapa yang
filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal:
di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta dan menyajikannya sebagai
landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di pihak lainnya, filsafat memeriksa secara kritis segala
hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teroinya
sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.”

Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu
mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir mengatakan :[5]

Ada semacam kekhawatiran di kalangan para ilmuwan dan filsuf, termasuk juga kalangan agamawan,
bahwa kemajuan Iptek dapat mengancam eksistensi umat manusia, bahkan alam beserta isinya. Para
filsuf terutama melihat ancaman tersebut muncul lantaran pengembangan Iptek berjalan terlepas dari
asumsi-asumsi dasar filosofinya seperti landasan ontologism, epistemologis, dan aksiologis yang
cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Jerome R. Ravertz menyebutkan :[6]

Sebagai suatu disiplin, filsafat ilmu pertama-tama berusaha menjelaskan unsure-unsur yang terlibat
dalam proses penelitian ilmiah, yaitu prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola argument, metode
penyajian dan perhitungan, prandaian-prandaian metafisik dan seterusnya. Kemudian mengevaluasi
dasar-dasar validitasnya berdasarkan sudut pandang logika formal, metodologi praktis dan metafisika.
Dalam bentuk kontemporer fisafat ilmu kemudian menjadi suatu topik bagi analisis dan diskusi eksplisit
yang setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya, yaitu etika, logika dan epistemologi (teori
pengetahuan).

Filsafat ilmu sebagimana halnya dengan biidang-bidang ilmu yang lainnya, juga memiliki objek material
dan objek formal. Objek material atau pokok pembahasan filsafat ilmu adalah imu pengetahuan itu
sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Disini terlihat jelas perbedaan
yang hakiki antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan lebih bersifat umum dan
didasarkan pengalaman sehari-hari, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat
ilmu khusus dengan ciri-ciri : sistematis, metode ilmiah tertentu, serta dapat diuji kebenarannya.

Semua manusia terlibat dengan pengetahuan sejauh ia hidup secara normal dengan perangkat inderawi
yang dimilikinya, namun tidak semua orang terlibat dalam aktivitas ilmiah, karena ada prasyarat yang
harus dimiliki seorang ilmuwan. Prasyarat itu menurut Rizal Mustansyir dan Misnal Munir antara lain :[7]

Pertama, prosedur ilmiah yang harus dipenuhi agar hasil kerja ilmiah itu diakui oleh para ilmuwan
lainnya. Kedua, metode ilmiah yang dipergunakan, sehingga kesimpulan atau hasil temuan ilmiah dapat
diterima, terutama bidang ilmu yang sejenis. Ketiga, diakui secara akademis karena gelar dan pendidikan
formal yang ditempuhnya. Keempat, ilmuwan harus memiliki kejujuran ilmiah sehingga tidak mengklaim
hasil temuan ilmuwan lain sebagai miliknya. Kelima, ilmuawan yang baik juga harus mempunyai rasa
ingin tahu (curiosity) yang besar.

Selanjutnya, objek formal filsafat ilmu adalah hakikat ilmu pengetahuan, artinya ilmu lebih menaruh
perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan. Menurut Ali Mudhofir, ada tiga jenis
persoalan filsafat yang utama, yaitu :[8]
Persoalan tentang keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan cabang filsafat
metafisika; Persoalan tentang pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth). Pengetahuan ditinjau
dari segi isinya bersngkutan dengan filsafat epistemologi, sedangkan kebenaran ditinjau dari segi
bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat logika. Persoalan tentang nilai-nilai (values), dibedakan
menjadi dua, nilai-nilai kebaikan tingkah laku dan nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai kebaikan tingkah laku
bersangkutan dengan cabang filsafat etika dan nilai-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat
estetika.

Bahwa dari persoalan filsafat yang utama di atas melahirkan cabang-cabang filsafat antara lain:

Metafisika. Cabang ini dapat diartikan sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda-benda fisik.
Aristoteles tidak memakai istilah metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat
pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik seperti bergerak,
berubah, hidup, dan mati. Metafisika ini dapat pula didefenisikan sebagai studi atau pemikiran tentang
sifat yang terdalam dari kenyataan atau keberadaan.

Epistimologi. Juga disebut dengan teori pengetahuan, yang dapat didefenisikan sebagai cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode , dan sahnya pengetahuan.

Logika. Yaitu cabang filsafat bersangkutan dengan kegiatan bepikir. Logika dapat diartikan sebagai ilmu,
kecakapan atau alat untuk berpikir secara lurus.

Etika. Cabang filsafat ini juga disebut filsafat moral, yang dapat diartikan sebagai mempelajari tingkah
laku dan kesusilaan. Objek materil etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang
dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan
tidak bermoral dari tingkah laku tersebut.

Estetika. Cabang filsafat ini juga disebut filsafat keindahan. Kalau etika digambarkan sebagai teori baik
dan jahat, maka estetika digambarkan sebagai kajian filsafat tentang keindahan dan kejelekan. Baik
etika maupun estetika keduanya bertalian dengan nilai-nilai. Etika bertalian dengan nilai-nilai moral
sedangkan estetika bertalian dengan nilai-nilai bukan moral.
Bahwa dari perkembangan dan permasalahan-permasalahan filsafat yang dapat dilihat, sangatlah
berpengaruh untuk mengantarkan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam
filsafat itu sendiri dengan menggunakan metoda ilmiah.

Berdasarkan pembahasan yang diuraikan dapat dibuat simpulan, titik pangkal filsafat adalah sejarah
pemikiran manusia sejak zaman Yunani kuno hingga zaman sekarang. Titik pusat perhatian filsafat
adalah isu-isu pokok yang dibawa filsuf di setiap zamannya. Perkembangan filsafat dari masa ke masa
telah mengantarkan ke satu bidang filsafat ilmu yang menjadi cabang dari filsafat itu sendiri. (***)

REFERENSI:

[1] Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 5.

[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1999, hlm. 20.

[3] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 57.

[4] Ibid.

[5] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 43.

[6] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009,
hlm. 85.

[7] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Op.Cit., hlm. 45.

[8] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm 31.

Anda mungkin juga menyukai