Anda di halaman 1dari 20

Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam

A.Arti Kata Filsafat


Kata ‘Filsafat’ berasal dari kata Yunani ‘Philosophia’. ‘Philos’ artinya ‘suka kepada’ dan ‘sophia’ artinya
‘kebijaksanaan’. Jadi philosophia secara harfiah artinya ‘suka kepada kebijaksanaan’. Kata ‘Filsafat’ atau
Philosophia pada mulanya berarti pengetahuan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam
semesta.
Penemuan-penemuan baru atas dasar pengamatan mengubah pola berpikir manusia yang cenderung
lebih percaya atas kebenaran induktif (atas dasar pengamatan) dari pada kebenaran filosof yang
didasarkan atas pola berpikir deduktif. Maka philosophia terpecah menjadi dua aliran:
1. Aliran yang mendambakan kebenaran atas dasar induktif, yang kemudian menjadi aliran
Epistemologi yang melahirkan metode ilmiah, dan
2. Aliran yang mendambakan kebenaran yang lebih hakiki sifatnya, yang tak terjangkau oleh
pengalaman manusia. Aliran ini kemudian disebut Metafisika (di luar jangkauan fisika).
B.Filsafat Sebagai Bagian dari Pengetahuan
Segala sesuatu yang kita ketahui baik melalui pengamatan panca-indera, pemikiran, atau dari manapun
asal usulnya, semua itu merupakan pengetahuan. Jadi filsafat pun merupakan pengetahuan. Pengetahuan
manusia itu dapat digolongkan menjadi dua bagian menurut sumbernya, yaitu pengetahuan yang diperoleh
melalui usaha atau pengalamannya sendiri dan pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan (wahyu Illahi).
Pengetahuan yang berasal dari usaha sendiri dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah diuji kebenarannya melalui metode ilmiah.
2. Pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran, tak terbatas pada
pengamatan panca-indera.
3. Pengetahuan yang tak termasuk golongan satu dan dua.
C.Asal-Usul Filsafat
Sedikitnya ada tiga hal yang mendorong atau memberi motivasi kepada manusia untuk berfilsafat, yaitu
keheranan, rasa ingin tahu yang sedalam-dalamnya, dan kekaguman. Dari rasa heran orang akan
terdorong untuk mencari jawab atas pertanyaan mengapa demikian. Adalah suatu naluri manusia untuk
mempunyai rasa ingin tahu.
Sebagian dari rasa ingin itu dapat dijawab melalui pengamatan panca-inderanya. Namun sebagian
besar yang lain tidak terjawab. Untuk menjawab pertanyaan itu semua manusia harus berpikir sedalam-
dalamnya melampaui batas panca-inderanya. Pendorong munculnya filsafat yang ketiga adalah kagum.
Orang yang merasa kagum selalu merasa dirinya kecil, lemah, sedangkan yang dikaguminya adalah besar
dan bagus. Hal-hal semacam itulah yang mendorong orang berpikir tentang betapa besar dan hebatnya
yang dikagumi itu. Kemudian mereka juga berpikir tentang dirinya yang merupakan bagian yang sangat
kecil dan mungkin tidak berarti terhadap apa yang mereka kagumi itu. Jadi pada hakikatnya Filsafat itu
apapun bentuknya adalah merupakan hasil olah pikir manusia yang sedalam-dalamnya tentang sesuatu
hal.

D.Persamaan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat


Persamaan yang jelas adalah bahwa keduanya berasal dari olah pikir manusia, keduanya sama-sama
mencari kebenaran. Namun berbeda dalam menetapkan kriteria kebenaran tersebut, pada Ilmu
Pengetahuan, kebenaran didasarkan atas kesesuaiannya dengan kenyataan yang konkret, sedangkan
dalam filsafat, kriteria kebenarannya ditetapkan atas dasar logika deduksi. Bidang sasaran ilmu
pengetahuan terbata pada hal-hal yang bersifat nyata (fisik) sedangkan filsafat, bidang sasarannya tidak
terbatas pada dunia fisik; ia dapat melampaui hal-hal yang bersifat fisik (metafisik).

1
E.Cabang-Cabang Filsafat
Ada berbagai cabang filsafat menurut bidang sasarannya misalnya: Filsafat alam yang bidang
sasarannya adalah alam semesta dengan segala isinya disebut juga Kosmologia. Filsafat manusia yang
bidang sasarannya adalah manusia dengan perilakunya, cara berpikirnya maupun seni dan budayanya
disebut juga Antropologia. Hal ihwal tentang tingkah laku manusia dalam bidang filsafat disebut Etika yang
mempermasalahkan baik dan buruknya perilaku manusia. Hal ihwal tentang cara berpikir manusia disebut
juga Logika, yaitu yang mempermasalahkan tentang benar dan salah. Hal ihwal budaya manusia disebut
Estetika yang mempermasalahkan tentang keindahan. Ada juga Filsafat Agama atau disebut juga sebagai
Teologia.

F. Hakikat dan Bidang Telaah Filsafat


Filsafat itu pada hakikatnya adalah penafsiran dari apa yang ada di alam semesta ini dengan segala
isinya melalui pemikiran untuk memperoleh kebenaran, makna, tujuan, dan nilai-nilai. Untuk itu semua
filsafat dapat menelaah segala sesuatu atau objeknya melalui tiga sudut pandang, yaitu:
1. Sudut pandang ontologi, yang mencari jawab atas pertanyaan “apa” sesungguhnya objek yang
diselidiki itu.
2. Sudut pandang epistemologi, yang mencari jawab atas pertanyaan dari mana asal-usul dari objek
yang diselidiki.
3. Sudut pandang aksiologis, yang mencari jawab atas pertanyaan “kemanakah akhir dari segala
sesuatu” atau dapat juga diartikan “apakah tujuan/manfaatnya”.
G.Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam
Filsafat ilmu pengetahuan alam adalah pemikiran yang sedalam-dalamnya untuk memperoleh
kebenaran, makna, tujuan, serta nilai-nilai ilmu pengetahuan tersebut bagi kehidupan manusia.

1. Dalam rangka pengembangan ilmu, sebaiknya ilmu itu ‘terikat nilai’ atau ‘bebas nilai’ ? Berikan alasan
Saudara.
Filsafat ilmu adalah sejarah perkembangan ilmu dan teknologi, hakekat dan sumber pengetahuan serta
kreteria kebenaran. Disamping itu, filsafat ilmu juga membahas persoalan objek, metode dan tujuan
ilmu yang tidak kala pentingnya adalah sarana ilmiah. Filsafat ilmu memberi spirit bagi perkembangan
dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu, baik pada
tatanan ontologis, epistimologis, maupun aksiologis yang dalam hal ini penulis menempatkan filsafat
ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan terletak pada dataran aksiologinya. Yaitu agama sebagai
pemberi nilai terhadap ilmu pengetahuan.
Filsafat ilmu dan Islamisasi ilmu pengetahuan memberikan wawasan yang lebih luas bagi penuntut ilmu
untuk melihat sesuatu itu tidak hanwya dari jendela ilmu masing-masing. Ada banyak jendela
yang tersedia, ketika melihat sudut pandang sesuatu, karena itu, tidak boleh arogansi dalam sebuah disiplin
ilmu karena arogansi adalah pertanda bahwa tidak kreatif lagi dan cepat merasa puas.
Diharapkan perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama yang statis dan
universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa
adanya bimbingan agama terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin
mensejahterahkan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.
Demikianlah pembahasan kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan yang dapat penulis
sajikan, mudah-mudahan mampu mengguga kita untuk terus mencari, bertualang di dunia ilmu.

2
2. Meskipun perkembangannya ketinggalan dibandingkan ilmu alam, namun ilmu sosial mampu
memberikan sumbangan bagi kehidupan manusia. Berikan contoh riil sumbangan tersebut.
Upaya penanggulangan kemiskinan Indonesia telah dilakukan dan menempatkan penanggulangan
kemiskinan sebagai prioritas utama kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan kemiskinan merupakan
prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 dan dijabarkan lebih rinci dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun serta digunakan sebagai acuan bagi kementrian, lembaga
dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan tahunan.

Sebagai wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan pembangunan
Milenium, Strategi Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah disusun melalui proses partisipatif
dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan di Indonesia. Selain itu, sekitar 60 % pemerintah
kabupaten/ kota telah membentuk Komite penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama
penanggulangan kemiskinan di daerah dan mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan.

Adapun langkah jangka pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai berikut:
a) Mengurangi kesenjangan antar daerah dengan; (i) penyediaan sarana-sarana irigasi, air bersih dan
sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air bersih. (ii) pembangunan jalan, jembatan,
dan dermaga daerah-daerah tertinggal. (iii) redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang
memiliki pendapatan rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .
b) Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan dana stimulan untuk modal usaha,
pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan investasi dan revitalisasi industri.
c) Khusus untuk pemenuhan sarana hak dasar penduduk miskin diberikan pelayanan antara lain
(i) pendidikan gratis sebagai penuntasan program belajar 9 tahun termasuk tunjangan bagi murid yang
kurang mampu (ii) jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah
sakit kelas tiga.

3. Pada saat ini dikembangkan pendekatan multidisiplin, ilmu yang satu digunakan secara bersamaan
dengan ilmu yang lain. Jika Anda adalah pengembang ilmu, bagaimanakah sikap yang Anda lakukan ?
Berbicara tentang strategi pengembangan ilmu ini Koento Wibisono (1982:13) mengelompokkan menjadi 3
macam pendapat: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu berkembang dalam otonomi dan
tetutup, dalam rti pengaruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan. “Science for sake of science only”
merupakan semboyan yang didengungkan. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur
dalam konteks, tidak hanya memberikan refleksi, bahkan juga memberi justifikasi. Dengan ini ilmu
cendrung memasuki kawasan untuk menjadikan dirinya sebagai ideologi. Ketiga, pendapat ynag menyatakan
bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling memberi pengaruh untuk menjaga agar dirinya
beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansidan aktualitasnya. “Science for
sake of human progress” adalah pendiriannya

4. “Semua masalah hidup manusia bisa diselesaikan dengan kemampuan menalarnya” Bagaimanakah
pendapat Anda terhadap pernyataan di atas? Berikan contoh riilnya.
Proses berpikir secara rasional disebut penalaran, maka berpikir secara rasional dapat disebut berpikir
secara nalar atau secara logis. Pengetahuan yang diperoleh tanpa proses berpikir aktis atau pasif adalah
pengetahuan intuitif. Penalaran hanya terkait dengan kegiatan berpikir sadar dan aktif, dan
mempunyai

3
karakteristik tertentu untuk menemukan kebenaran. Penalaran adalah proses berpikir logis yang menganut
logika tertentu. Untuk dapat menarik konklusi yang tepat, diperlukan
kemampuan menalar. Kemampuan menalar adalah kemampuan untuk menarik
konklusi yang tepat dari bukti-bukti yang ada, dan menurut aturan-aturan tertentu.
Manusia mampu mengembangkan pengetahuan karena dua hal :
Pertama, manusia mempunyai bahasa yang dapat dipakai untuk berkomunikasi
Kedua, manusia mempunyai daya nalar, yang dipakai untuk mengembangkan
pengetahuan dengan cepat dan mantap menurut suatu alur pikir tertentu
Contoh
Proses Induksi
1. Kita menekan saklar lampu tidak menyala
2. Kita bertanya “mengapa lampu tidak menyala?”
3. Ajukan hipotesi: Lampu putus

Proses deduksi
1. Memasang lampu baru akan menyala apabila saklar ditekan
2. Kita memasang lampu baru dan saklar ditekan: Lampu menyala

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi sebagai Landasan Penelaahan Ilmu

Oleh Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

I. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu dikarenakan
pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas
manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran
filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia
adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran
dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme,
idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan
lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami
perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan wujud, tetapi juga
merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran praktis,
terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi logis dari perkembangan
pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari
kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya
(problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana
kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya
4
(kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui
kebenran dan cara untuk mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan
kata lain, pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada tataran
praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu bisa
diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas.
Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah epistemologi bertanya tentang “bagaimana”
sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang “untuk apa”.
Tiga problem filosofis inilah —ontologi, epistemologi dan aksiologi— yang hingga kini masih menimbulkan
perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan
dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
topic penting pembahasan penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk
mengetengahkan pembahasan tersebut dalam makalah ini.

II.Pembahasan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji
hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri
tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu
sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering
dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan
masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan
cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara
filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana
keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai
hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan
mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?
Cara atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk
apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral atau profesional?
Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di atas maka yang pertama adalah persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan masalah ontologis. Kedua, masuk dalam wilayah kajian epistemologis. Sedangkan
yang ketiga adalah problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti mempunyai tiga landasan ini. Di bawah ini
penulis akan memaparkan sekilas pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.

A.Ontologi
“Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti “ada” dan logos
yang berarti “ilmu”. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakekat yang ada sebagai
yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu, Mulyadi Kartanegara menyatakan bahwa
ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska.
Metafisika disebut sebagai “induk semua ilmu” karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan

5
paling penting yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan sebagai wujud murni’. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi bahwa alam
merupakan emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato berpendapat bahwa cunia yang
sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia atau pikiran univewrsal (the universal mind).
Aristoteles tidak menyangsikan pendapat gurunya (Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita
lihat adalah riil. Sedangkan Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak
tahu pasti apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal
dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah fisika, matematika dan Metafisika. Fisika sebagai
tingkatan yang paling rendah, matematika sebagai tingkatan tengah-tengah sedangkan teologi sebagai
tingkatan yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah karena ilmu itu ada kalanya berhubungan
dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu yang berbenda, yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan
dengan benda tetapi mempunyai wujud tersendiri, yaitu matematika. Dan ada yang tidak berhubungan
dengan suatu benda yaitu metafisika.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat atau filsafat
yang pertama atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan,
sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah, eksistensi dan esensi,
keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita, malaikat, pahala, surga, neraka
dan dosa.
Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat dasar dari
wujud, sebagai kategori paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi juga pembagian
wujud. Wujud dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib al-wujud), yaitu wujud yang niscaya
ada dan selalu aktual, mustahil (mumtani’al wujud) yaitu wujud yang mustahil akan ada baik dalam potensi
maupun aktualitas, dan mungkin (mumkin al-wujud), yaitu wujud yang mungkin ada, baik dalam potensi
maupun aktualitas ketika diaktualkan ke dalam realitas nyata.
Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf kuno maupun
modern. Ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas realitas. Realitas adalah kenyataan yang
selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-
pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas yang ada ini; apakah realitas yang tampak ini suatu realita
materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu; apakah realita ini terdiri dari satu unsur (monisme), dua
unsur (dualisme) atau serba banyak (pluralisme).” Di bawah ini adalah berbagai macam pandangan
tentang ontologi.

a.Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu saja, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun
berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah
satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah
monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam
dua aliran yaitu materialisme dan idealisme.
Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi. Sedangkan ruh atau jiwa
bukanlah suatu kenyataan yang bisa berdiri sendiri bahkan ia hanya merupakan akibat saja dari proses
gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga disebut dengan naturalisme
artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah alam saja. Sedangkan yang di luar alam tidaklah ada. Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh para filosof pra-sokratik seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes,

6
Democritos dan lainnya. Thales misalnya beranggapan bahwa unsur dari semua makhluk hidup adalah air.
Sedangkan Anaximandros beranggapan bahwa alam semesta ini berasal dari apeiron artinya “yang tak
terbatas” yaitu yang bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan dan meliputi segalanya. Anaximenes beranggapan
lain, bahwa prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan Democritos menganggap
bahwa alam ini tersusun dari atom-atom yang tak terhingga jumlahnya.
“Sedangkan sebagai lawan dari materialisme yaitu idealisme yang berarti juga spiritualisme berarti serba
cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari
ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi
atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.”
“Perintis dari aliran ini adalah Plato yang selanjtunya akan dikembangkan oleh George Barkeley, kemudian
oleh Kant, Fichte, Hegel hingga Schelling. Menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari dua
“dunia”. Satu “dunia” mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indera. Pada taraf ini
diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus, keesokan harinya sudah
layu. Lagi pula dunia inderawi ditandai oleh pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus
juga. Harus diakui juga bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping “dunia” inderawi
itu terdapat satu “dunia” lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri atas ide-ide. Dalam dunia ideal ini
sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak
ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu ide “yang bagus”. Demikian halnya dengan ide-ide yang lain.
Dan setiap ide-ide bersifat sama sekali sempurna.” Oleh sebab itu, menurut Plato yang benar-benar real itu
hanyalah idea atau dunia ide sedangkan yang materi merupakan pengejawantahan dari ide.
Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato bercerita mitos tentang gua. Ia menggambarkan
kehidupan di dunia ini ibarat tahanan dalam gua yang hanya mempunyai pengalaman di dalam gua saja.
Sebaliknya mereka tidak mengetahui realitas di luar gua yang nyata adanya. Baru ketika mereka keluar
dari gua mereka baru percaya bahwa ada realitas selain pengalaman yang mereka lihat selama di dalam
gua. Artinya gua itu adalah dunia yang disajikan kepada panca indera kita. Kita menerima semua
pengalaman secara spontan begitu saja. Padahal sebenarnya pengalaman inderawi itu tak lebih dari
sekedar bayang-bayang semata.

b.Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat
materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh dan ruh bukan
muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri
sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh
yang paling jelas tentang adanya kerja sama ini kedua hakikat ini adalah dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai pendobrak filsafat modern Descartes mempunyai
concern yang jauh lebih rumit. Ia tidak lagi melihat alam yang secara terus-menerus dijadikan objek kajian
dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi ia melihat relasi antara subjek yang mengetahui dengan objek
yang diketahui. Dengan demikian ia memosisikan manusia tidak hanya sebagai subjek saja tetapi
sekaligus sebagai objek. Pertanyaannya adalah apakah pengetahuan yang kita miliki itu karena memang
ada realitas di luar sana atau justru karena faktor keberadaan manusia sebagai subjek yang berpikir.
Diktum Descartes Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku” ada jelas sekali memosisikan manusia
sebagai subjek berpikir yang bebas. Karena saya berpikir maka saya menjadi ada demikian realitas yang
lain menjadi ada pula. Manusia merupakan subjek yang sadar akan keberadaan dirinya. Paham inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal aliran eksistensialisme.

7
c.Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari
keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam
Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam
ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno
adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri
dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James seorang
filosof dan psikolog kenamaan asal Amerika. Ia berpendapat bahwa dunia ini terdiri dari banyak kawasan
yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-versum. Dunia adalah suatu
dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.

d.Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak
mengakui validitas alternative yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam
novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu Bazarov sebagai
tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima nihilisme. Doktrin tentang nihilisme
sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang memberika
tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak
ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu sumber ilusi.
Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung oleh
dilema subjektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada
orang lain.

e.Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi
maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme berasal dari bahasa Yunani yaitu agnostos yang berarti
“unknown”. A artinya not dan no artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang
mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri dan dapat kita
kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat
transcendent.” Beberapa tokoh aliran ini misalnya Soren Kiekegaar, Heidegger, Sartre, dan Jasper.
Masalah ontologi ini semakin lama semakin berkembang tidak hanya di dunia filsafat Barat tetapi juga di
dunia filsafat Islam. Misalnya dalam Islam kita kenal ada aliran Isyraqi dengan tokohnya Suhrawardi dan
Hikmah Mutaalliyah oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya mendiskripsikan realitas ini bagaikan cahaya
yang mempunyai gradasi dari sumber cahaya itu sendiri yang paling terang hingga yang paling lemah.
Sumber cahaya itu adalah Tuhan dan cahaya yang semakin meredup itu bagaikan ciptaan-Nya yang
bermacam-macam dari yang paling sempurna hingga yang paling rendah. Sedangkan Mulla Sadra
terkenal dengan pandangan Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra beranggapan bahwa yang
primer itu adalah wujud. Tanpa wujud segala sesuatu tidak akan pernah ada. Dan wujud dari semua hal
adalah sama. Oleh sebab itu ia meyakini kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan yang membuat
sesuatu itu berbeda dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti warna dan lainnya.
Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang paling serius dalam filsafat ilmu. Sebab ia
bertanggungjawab atas kebenaran dari suatu ilmu itu. Oleh sebab itu, ia tidak berbicara tentang apa yang
tampak tapi apa yang nyata. Sebab penampakan itu belum tentu sesuai dengan kenyataannya.. Wilayah
ontologi bukan berbicara pada tataran penampakan tapi kenyataan. Mampu mengetahui kenyataan yang
hakiki itulah sebagai ilmu pengetahuan yang valid. Jadi, pembahasan wujud dalam ontologi merupakan

8
realitas mutlak dan lawan dari ketiadaan. Wujud dalam hal ini mencakup segala hal, mulai dari Dzat Ilahi,
realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan.

B.Epistemologi
Jika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, apakah anda pernah memikirkan apa itu pengetahuan?
Pastinya anda menganggap bahwa saya orang yang aneh. Kalau saya bertanya, apakah kita tahu?
Pastinya kita semua tahu. Tentang nama kita sendiri, Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, Manusia terdiri
dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa 2+2 = 4. Sebuah lompatan drastis yang dilakukan Socrates pada
zamannya, dan mungkin sampai sekarang ini masih, dengan pernyataannya “apa yang saya ketahui
adalah apa yang tidak saya ketahui” bagaimana akal kita bisa menerima pernyataan yang kontradiksi ini?
Akar permasalahan adalah pengetahuan yang rupanya menuntutut sejenis kepastian tertentu yang tidak
dimiliki oleh kepercayaan yang biasa. Tetapi sekali saja anda bertanya, apa yang akan membenarkan
kepastian ini, anda mulai merasakan sangatlah sulit menemukan jawabannya.
Mudah mengetahui mengapa begitu banyak pemikir memperdebatkan pengetahuan yang menuntut
adanya sebuah kepastian. “Mengetahui” bisa kita sebut dengan kata yang sukses. Demikian dengan kata
“belajar”. Untuk mengetahui seseorang telah mempelajari sesuatu, sama denga mengatakan mereka telah
mempelajari sesuatu dengan sukses dan kini telah menyerap apa saja yang telah mereka pelajari.
(mengatakan mereka sedang belajar jelas tidak menunjukkan bahwa mereka telah menguasai secara
sempurna, hanya sedang mengejar kesempurnaan itu. Misal; anda sedang mempelajari aritmatika, apakah
bisa dikatakan anda menguasai aritmatika?). kita bisa mengatakan bahwa seseorang telah sukses dengan
apa yang telah mereka pelajari apabila mereka dapat menyatakan kembali apa yang telah mereka peroleh
di masa lalu.
Epistemologi merupakan tahapan berikutnya setelah pembahasan ontologi dalam filsafat. “Istilah
epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara dua
cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam metafisika pertanyaannya
adalah apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apa yang dapat saya
ketahui?”
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau
kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori
pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya
menjadi theory of knowledge.
Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam
berbagai jenis dan ukuran kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah
epistemologi adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai gradasi
(tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan menggunakan apakah kita bisa
mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana
kaum rasionalis atau bahkan dengan menggunakan intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh sebab itu
yang perlu dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah
serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang berasal dari manusia dan dari
luar manusia. Pengetahuan yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal) dan
filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal dari Tuhan) adalah wahyu.
Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau teori pengetahuan, kebenaran pengetahuan,
batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta klasifikasi ilmu pengetahuan.

9
1.Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan. Dengan
fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh manusia?
Sampai batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan
sumber-sumber pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber pengetahuan
tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah. Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih
menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam
mencapai pengetahuan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat. Agaknya karena alasan inilah bahwa
fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan
Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi—yang merupakan cabang filsafat. Ada
juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-
daya lain lebih sebagai sumber sekunder.
Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb, fu’ad). Adapun
wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab suci), tidak dimasukkan sebagai
sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks, yang akan berbicara ketika seseorang
membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-teks suci tersebut yang dimasukkan sebagai
sumber pengetahuan (Suteja, 2006).
Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan pengetahuan membutuhkan
penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang
penahu dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk menangkap
pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan fakultas indriawi, jadi, pemahaman
fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang
dimasukkan sebagai sumber pengetahuan.

a.Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan dengan
menggunakan indera yang dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan hidung kita bisa
mencium, dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan dengan lidah kita bisa
merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah benda-benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik
indera tidak mampu menangkapnya atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui indera disebut
dengan empirisme. Aliran ini berpendapat, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal
mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan
adalah induksi. Para Filosof empirisme antara lain John Locke, David Hume dan William James. David
Hume termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada sensasi-
sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan. Wiliam James
mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda, sama banyaknya dengan
pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung dengan indera.
John Locke dengan teori tabula rasanya mengatakan bahwa manusia itu ketika lahir bagaikan kertas putih
tanpa goresan apa pun artinya ia sama sekali belum memiliki pengetahuan. Baru kemudian ia
mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan panca inderanya untuk mengenali objek-objek yang ada
di sekelilingnya. Begitu seterusnya hingga semua pengalaman dalam hidupnya tersimpan dalam memori

10
pikirannya. Metode ilmiah yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan empiris ini adalah eksperimentasi
atau kalau di dalam Islam kita kenal metode tajribi.

b.Akal
Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan selanjutnya setelah indera. Akal semakin diperhitungkan sebagai
sumber pengetahuan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh indera yang hanya sebatas pada
benda-benda fisik saja. Padahal di luar fisik masih terhampar luas samudera pengetahuan. Selain itu juga
pengetahuan inderawi cenderung menempatkan antara subjek yang mengetahui dengan objek yang
diketahui sama-sama hadir artinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika demikian sungguh manusia
akan mengalami kerepotan. Misalnya jika kita tidak mengenal pengetahuan matematis—sebagai salah
satu produk ilmu akal—seseorang akan kesulitan dalam melakukan perhitungan. Tidak mungkin kita
menghadirkan benda-benda dalam jumlah yang banyak karena hal itu akan menyulitkan. Maka cukuplah
dengan menggantinya dengan konsep-konsep angka dalam matematika.
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu
juga akal bekerja dengan menggunakan hukum-hukum logika yang diakui kebenarannya. Akal dengan
tegasnya bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber kebenaran. Misalnya ketika sebatang
kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera akan tampak membengkok. Tapi apakah benar
kayu tersebut mengalami pembengkokan setelah dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak
mungkin melihat karakter kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke dalam
air. Di sinilah akal diakui sebagai sumber kebenaran. Dan tentu saja banyak bukti yang lain. Faham
filosofis yang yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan disebut rasionalisme.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat
yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan
ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal
dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode
yang diterapakan adalah deduktif. Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof
rasionalis adalah Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.” Rasionalisme memakai prinsip koherensi
dalam pembenarannya. Jadi apa yang benar adalah apa yang koheren dengan akal. Metode ilmiah yang
dipakai adalah metode burhani.
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai bapak filosof
modern. Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku ada”.
Sejak itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung sebagai sumber pengetahuan. Manusia
mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek yang berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah
subjek yang sadar akan keberadaan dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, ia berusaha membangun landasan filososif tentang
kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan keberadaan
dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia sanksikan bahwa ia dalam
keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya
dan semakin pula ia yakin akan keberadaan dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan
keberadaan yang lain. Namun bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir, ketika dalam keadaan tidur
misalnya? Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti
dari semua aktivitasnya.
c.Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk memperoleh pengetahuan maka demikian halnya dengan
intuisi. Bahkan pengetahuan yang berasal dari intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab indera dan

11
akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa sedangkan intuisi bisa menghadirkan
pengetahuan secara langsung ke dalam diri seseorang. Maka pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut
sebagai pengetahuan ushuli artinya pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan
pengetahuan intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir ke dalam diri
subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara apapun. Sehingga pengetahuan hushuli cenderung
rentan terhadap kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan indera maupun akal kita.
Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-benar
merasakan secara langsung apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung terhadap sebuah
realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi berbeda dengan pengetahuan
inderawi dan akal yang hanya memperlihatkan penampakannya saja.
Di antara para filosof intusionisme—sebuah aliran yang menjadikan intuisi sebagai sumber
pengetahuannya—adalah Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga sangat
familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita kenal dengan metode irfani.

d.Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa diusahakan oleh manusia adalah wahyu. Artinya ia
benar-benar bersumber dan pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu disanksikan lagi.
Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan Tuhan dalam bentuk kitab
suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan menjadi salah satu pilar keyakinan beragama. Orang
yang beragama harus meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci biasanya
terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka, pahala dan dosa. Tentu saja yang tak
kalah pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-
berita yang lainnya. Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah
metode bayani.

2.Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori kebenaran terlebih dahulu penting kiranya untuk mendefinisikan apa arti
kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu pengetahuan karena tujuan dari ilmu
pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta ditemukan arti kebenaran, yakni
keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya). Menurut
William James yang dikutip oleh Titus dkk (1984: 344), kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil
cara kita berpikir dan kebenaran adalah yang menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan
menurut Louis Kattsoff (1992: 178) ‘kebenaran’ menunjukkan bahwa makna sebuah ‘pernyataan’ artinya,
proposisinya sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka kita
mengatakan bahwa proposisi itu “sesat”. Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada beberapa
macam.

a.Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley.
Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi dijelaskan “….suatu
proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-
proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan

12
pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap
benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti mati” adalah suatu pernyataan yang
benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
b.Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang pada pendirian
fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut paham ini, kebenaran
adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta
dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya
keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Misalnya pernyataan
“Kota Bandung berada di wilayah Jawa Barat” bukan karena pernyataan ini berguna atau apa, tapi karena
secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti empiris memang demikian.
c.Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang
terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan
oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering
dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George
Herbert Mead dan C. I. Lewis.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia memberikan
manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia baik dan
benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme
meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu
untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar.
Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun
dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun
penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.

3.Batasan Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi memang sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya berbicara soal
keberadaan yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang materi bisa diketahui dengan
menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita yakini keberadaannya begitu saja.
Paling kita percaya karena wujud yang immateri itu—seperti keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnya
—diterangkan dalam kitab suci (wahyu) bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham
ateisme tentu saja mereka tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan
menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek
ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua
pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti
di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah
tidak sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari
sebab musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu berada di

13
luar jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi setelah
kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan yang hanya bisa dijangkau oleh
akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara empiris. Sebuah ilmu harus memenuhi
standar metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada
di luar jangkauan pengalaman manusia bagaimana kita bisa menguji kebenarannya dengan standar
metodologis dan metode-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini nampaknya sangat sempit sekali. Memang hal ini tidak
bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang dalam bahasa Barat disebut
dengan science merupakan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya karena ia
memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan secara empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga
suatu ilmu yang tidak memenuhi kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal yang
sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan ia dianggap tidak ada. Seperti itulah
asumsi para saintis tentang ilmu terutama yang berkembang di dunia Barat.

4.Klasifikasi Ilmu Pengetahuan


Ada berbagai macam kalsifikasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh para ahli. Tapi dalam kesempatan
ini saya hanya akan memberikan gambaran klasifikasi ilmu yang disusun oleh Ibn khaldun dalam kitab al-
Muqaddimah. Ia memberikan gambaran yang sangat komprehensif mulai dari yang paling utama—dalam
arti mencapai tingkat kematangannya—hingga yang paling bawah yaitu ilmu fisik. Ia membagi ilmu ke
dalam dua kategori besar yaitu:
I. Ilmu-ilmu Naqliyyah (Transmitted Science) yang terdiri dari:
(1) Tafsir al-Qur’an dan Hadits
(2)Ilmu fiqih yang meliputi fiqh, fara’id dan ushul fiqh
(3)Ilmu Kalam
(4) Tafisr-tafsir ayat Mutasyabihat
(5) Tasawuf
(6) Tabir Mimpi (ta’bir al-Ru’yah)
II.Ilmu-ilmu Aqliyyah (Rational Science)
(1)Ilmu logika, yang terdiri dari
a.Burhan (Demonstrasi)
b.Jadal (Dialektika)
c.Khitbah (Retorik)
d.Syi’r (Puitik)
e.Safsathah (Sofistik)
(2)Fisika, yang terdiri dari:
a.Minerologi
b.Botani
c.Zoologi
d.Kedokteran
e.Ilmu Pertanian
(3)Matematika, yang terdiri dari:
a.Aritmetika
- Kalkulus
- Aljabar
14
b.Geometri
- Figur Sferik
- Kerucut
- Mekanika
- Surveying
- Optik
c.Astronomi
(4)Metafisika
a.Ontologi
b.Teologi
c.Kosmologi
d.Eskatologi
Selain itu, ada kelompok ilmu-ilmu praktis yang meliputi etika, ekonomi dan politik. Ibn Khaldun juga
terkenal sebagai bapak sosiologi Islam yang telah melahirkan sebuah disiplin ilmu sosial yang disebut ilmu
budaya atau yang biasa kita sebut “sosiologi” yang meliputi:
1.Sosiologi secara umum
2.Sosiologi politik
3.Sosiologi ekonomi
4.Sosiologi kota
5.Sosiologi ilmu

5. Metode Ilmiah
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal
ini membawa kita kepada pertanyaan lain, mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita telaah
lebih lanjut ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu kalau kita mempunyai perhatian tertentu
terhadap objek tersebut. Perhatian tersebut dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau
kesukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan
pertanyaan.
Selanjutnya setelah seseorang mendapatkan suatu permasalahan, tahapan selanjutnya adalah berusaha
mencoba menyelesaikan permasalahan itu. Hanya saja dalam penyelesaian suatu masalah itu seseorang
mempunyai cara yang berbeda-beda. Mungkin itu hanyalah kenyataan yang sering terjadi di dalam
kehidupan sehari-hari.
Namun dalam tradisi keilmuan kita mengenal apa yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ilmiah ini
merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh supaya mendapatkan ilmu pengetahuan yang valid.
Oleh sebab itu metode ilmiah ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui mulai dari awal—yaitu
perumusan masalah—hingga tahap yang paling terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Jika suatu ilmu
didapatkan dengan melalui tahapan-tahapan ini kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi.
Metode ilmiah pada dasarnya sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu
alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok ilmu ini maka
perbedaan itu sekedar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir atau aspek
metodologisnya.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang
mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logic-
hypothetico verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
(1)Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya
15
serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya
(2)Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah
yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan
permasalahan.
(3)Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang
diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan
(4)Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang
diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak
(5)Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apkah sebuah hipotesis yang diajukan itu diterima
atau ditolak. Kiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka
hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup
mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi
bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai
kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji
kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat
ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Semua itu adalah langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah.
Meskipun antara langkah yang satu dengan yang lain saling terkait dan langkah yang awal menjadi dasar
bagi langkah yang selanjutnya tapi dalam praktiknya bisa berbeda. Seorang peneliti bisa memulainya
dengan menemukan fakta-fakta di lapangan kemudian merumuskannya dan mengambil kesimpulan
secara umum (induksi) atau membuktikan premis-premis yang sudah ada kemudian disesuaikan dengan
fakta (deduksi).
Dalam sebuah tradisi keilmuan, ilmu bisa berkembang bila dilakukan sebuah proses falsifikasi. Artinya kita
sesuaikan antara teori-teori yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan (mencari pembuktian).
Artinya jika teori yang kita miliki tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan maka kewajiban kita adalah
merumuskan teori baru. Demikian proses itu berlangsung secara terus menerus hingga dicapai kesesuaian
antara teori dengan fakta. Dari sinilah sebuh ilmu itu akan selalu mengalami perkembangan. Bukan
sebaliknya mencari pembenaran terhadap teori yang sudah ada. Artinya teori yang sudah ada tersebut
dianggap sudah benar sehingga tinggal mencari pembenaran fakta-faktanya di lapangan. Jika tidak sesuai
antara fakta dengan teori fakta tersebut disingkirkan sampai menemukan fakta yang sesuai dengan teori.
Jika demikian maka suatu ilmu itu tidak akan mengalami perkembangan.

C.Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara tentang
bagaimana yang ada itu bisa diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan manfaat
dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan kaidah-kaidah moral.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti “nilai” dan logos yang
berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam
bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nalai
secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau

16
profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral conduct,
tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression, ekspresi
keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini
melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.

1.Teori Nilai (Etika)


Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai sebenarnya
telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini akan dibahas
beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema yang
muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian. Ada yang
berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun
waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah
karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan
sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita
memandang dari segi objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat
subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang
terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan
juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi
orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan
terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang
Islam hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini
tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi
orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi
hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu
bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa yang baik bagi
satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu
benar misalnya lukisan porno tentu bagus—setiap orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-
pura dan sok bermoral—tapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu
orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena ada hubungan
antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Susuatu itu baru
mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada,
sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada,
sekalipun tidaak ada mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak
ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia
yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai subjek
dan barang sebagai objek.”
Namun yang paling penting dari masalah etika adalah implikasi praksisnya. Artinya sesuatu yang buruk itu
seharusnya ditinggalkan sedangkan yang baik seharusnya dilaksanakan. Dengan demikian ilmu
pengetahuan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia bukan justru malah mengancam
eksistensi manusia itu sendiri.

17
Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang ini—dunia modern—bagaimana sebuah ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak yang disalahgunakan untuk tujuan-tujuan kejahatan. Misalnya
saja dalam kejahatan perang. Banyak kasus yang bisa kita utarakan berkaitan dengan masalah ini seperti
Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam hingga perseturuan antara Palestina dan Israel yang tidak
ada henti- hentinya. Mereka yang secara persenjataan lebih maju seolah dengan alasan pembelaan
membenarkan tindakan pengeboman dan pembantaian masal di mana seringkali korbannya adalah warga
sipil. Tindakan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan, tak berperikemanusiaan dan amoral. Selain itu juga
misalnya pembuatan senjata nuklir dan senjata pemusnah masal yang jelas sekali mengancam eksistensi
manusia itu sendiri. Itu adalah sekedar contoh dari pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna. Tentunya
masih banyak yang lainnya. Oleh sebab itu aksiologi dalam hal ini berfungsi untuk memberikan tuntunan
bagaimana suatu hal itu bisa digunakan secara tepat guna.
Memang segala sesuatu itu—termasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan—mempunyai
dampak negatif dan positif. Tapi sebenarnya dampak yang negatif itu bisa dihindari atau setidaknya
diminimalisir. Semua itu adalah demi kepentingan kehidupan manusia itu sendiri.
2.Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori tentang pencerapan penghayatan pengalaman indera, sesuai
dengan istilah Kant dengan transzendentale asthetik (teori tentang susunan penghayatan panca-indra
dalam ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale logic: pengetahuan rasional dan penuturan).
Perlawanan yang dikemukakan oleh Kant itu juga dinyatakan oleh Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian pemikiran yang benar dan estetika sebagai teori tentang
penghayatan sempurna panca-indera. Masalah yang timbul tentang estetika yang dihadapi oleh banyak
ahli pikir semenjak Plato dan Aristoteles ialah pernyataan tentang hakikat keindahan dan seni. Dengan
demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana keindahan dan seni merupakan bagiannya, dinamakan
lapangan estetika, dikordinasikan dengan logika dan estetika. Estetika dalam pengertian baru itu diapakai
oleh Kant dan Schiller sehingga menjadi umum di Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.”
Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan dengan masalah estetika adalah tentang keindahan,
apakah keindahan itu sesuatu yang sifatnya objektif atau subjektif? Jika teori tentang nilai mengatakan
bahwa persoalan nilai itu adalah masalah yang subjektif maka sebaliknya dengan persoalan estetika.
Persoalan estetika lebih berpihak pada pandangan objektivisme. Artinya bahwa keindahan itu merupakan
sifat yang objektif yang dimiliki oleh suatu benda. Ia bukanlah penilain subjektif seseorang. Diantara yang
berpandangan seperti ini adalah Hegel. Hegel menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari
Cita Mutlak, Absolut Idea. Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui saluran indera. Ia adalah
sejenis pernyataan ruh. Seni, agama dan filsafat merupakan tingkat-tingkat tertinggi dari perkembangan
ruh.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali dalam mencari keterangan tentang estetika.
Dengan Kant dimulailah studi ilmaih dan psikologi tentang teori estetika. Ia mengatakan dalam The Critique
of Judgement bahwa akal memiliki indera ketiga di atas pikiran dan kemauan. Itulah inder rasa. Yang khas
pada rasa atau kesenangan estetika ialah ia tidak mengandung kepentingan. Ini membedakannya
daripada kesenangan-kesenangan yang lain yang mengandung unsur keinginan atau terlibat dalam
kepentingan pribadi atau hayat. Gula misalnya tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya
untuk menikmatinya. Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik. Kita menyetujuinya karena
kepadanya kita mempunyai kepentingan. Sebaliknya dengan keindahan. Selalu Ia merupakan objek
kepuasan yang tidak mengandung kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang lain. Indah,
sekalipun ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek penilaian. Kita mengatakan:
“Barang ini indah”. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan itu merupakan sifat objek, tidak hanya sekedar
18
selera yang subjektif. Demikianlah teori Kant.
Di dalam Islam sendiri konsep “keindahan” itu sangat jelas sekali. Sumber keindahan itu bahkan
bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa “Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan”. Demikian juga
alam sebagai ciptaannya merupakan sesutau yang indah dan menakjubkan. Bagaimana kita seringkali
mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar kita. Hal ini merupakan sebuah ekspresi nyata yang sering
kali kita ungkapkan. Artinya suatu nilai estetika benar-benar merupakan sesuatu yang objektif bukan
subjektif sebagaimana nilai etika.

3.Sosio Politik
Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang sosio-politik. Sosio-politik ini merupakan ilmu praksis. Yang
pertama mengenai ilmu sosial, dalam hal ini ia berfungsi sebagai ilmu yang mengatur bagaimana manusia
hidup bermasyarakat. Hanya saja ia mempunyai concern yang lebih spesifik yaitu berkaitan dengan
masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia itu harus bergaul, berinteraksi antara yang satu
dengan yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial pasti tidak bisa dilepaskan dari manusia yang lain
untuk mempertahankan hidup. Artinya mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam
perkembagannya, ilmu sosial ini nantinya akan menjadi disiplin ilmu trsendiri yaitu sosiologi.
Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak bisa dilepaskan dari yang namanya ilmu ekonomi karena
masalah sosial juga mencakup masalah ekonomi. Misalnya bagaimana manusia membutuhkan
keberadaan manusia yang lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana dipahami juga di dalam tradisi Yunani, harus dipahami
sebagai manajemen rumah tangga (tadbir al-manzil), yang tujuannya adalah memberi bimbingan kepada
semua anggota keluarga—terutama anggota keluarganya—tentang berbagai masalah yang berkaitan
dengan pengelolaan rumah tangga. Jadi bukan dalam arti ekonomi makro atau ekonomi perusahaan
seperti yang layaknya dipelajari pada masa sekarang di sekolah-sekolah. Karena itu sebagaimana etika
memberikan petunjuk-petunjuk praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai individu, demikian
juga ekonomi memberikan bimbingan praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai anggota
keluarga.”
Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga juga adalah bagaimana caranya mencari nafkah
yang halal, cara menyimpannya, membelanjakannya dan sebagainya. Bahkan juga dibahas bagaimana
mencari pembantu yang baik, apa kriteria pembantu yang baik dan bagaimana sikap kita terhadapnya.
Yang tidak kalah pentingnya dalam membangun sebuah rumah tangga adalah bagaimana mencari istri
yang baik. Karena istri merupakan tiang dari sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian juga dibahas
alasan-alasan apa yang menyebabkan seseorang butuh rumah tangga. Apa prinsip-prinsipnya dan hal apa
saja yang diperlukan dalam pengelolaan sebuah rumah tangga.
Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana etika dan ekonomi, politik juga dipandang dalam tradisi
ilmiah Islam, sebagai ilmu praktis, yang tujuannya member bimbingan kepada manusia, bagaimana
menjadi manusia sebaik-baiknya sebagai seorang anggota masyarakat atau dengan kata lain sebagai
makhluk sosial. Ilmu politik ini terutama penting sekali bagi para pemimpin masyarakat ataupun
pemerintah, karena Ia juga memberi kita arahan tentang bagaimana memerintah atau mengelola
masyarakat yang dipimpinnya.
Masalah politik juga menyangkut masalah kenegaraan sehingga ia juga berbicara tentang bagaimana
mencari seorang pemimpin yang baik dan adil. Apakah kualifikasinya. Demikian juga dibahas tipe-tipe
negara. Misalnya ada negara utama dan tidak utama. Negara utama hanya punya satu jenis saja
sedangkan negara tidak utama ada yang disebut negara bodoh, negara yang durjana dan negara yang
keliru.

19
III.Penutup
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari masalah ontologis,
epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut merupakan masalah yang paling
fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu
dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”,
“Bagaimana mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam
kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan
semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut harus segera
dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan
kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut
(ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa
yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan
manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia filsafat, ini. Kami
mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan demi perkembangan pemikiran manusia.
Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan
dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasaekan pada aliran
filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian
“kebenaran yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi.
Walaupun, sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal
itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai kebenaran tersebut
sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.

Daftar Pustaka

Bakar, Osman. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah. 2008


Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2004
Berten, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. 2006
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori nilai. Jakarta: Bulan Bintang.
1978
Idi, Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidika:Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007
Kartanegara, Mulyadi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan. 2006.
Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003.
Mulyana. Filsafat Agama, Diktat Kuliah Filsafat Agama UIN Bandung. Bandung: Fak
Ushuluddin. 2001
Surajiyo. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Total Grafika
Indonesia. 2003

20

Anda mungkin juga menyukai