Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ILMU DAN PROBLEM NILAI

Disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : Mukalam

Disusun Oleh :

Huda Nasrullah Fisika 13620017

Fitroh Merkuri W. Fisika 13620023

Ahmad Khoerudin Fisika 13620029

Maulina Lutfiyah Fisika 13620049

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


2014
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat, berkah, dan hidayahNya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Filsafat Ilmu yang membahas tentang Ilmu dan Problem
Nilai ini. Sholawat dan salam tak lupa juga kami haturkan kepada baginda nabi
Muhammad SAW.

Dalam penulisan makalah kali ini kami jadi mengetahui tentang Ilmu dan Problem
Nilai. Meski hambatan dan cobaan dalam pembuatan makalah ini kami rasakan juga, tapi
berkat semangat dari teman-teman dan orang-orang terdekat, Alhamdulillah kami dapat
menyelesaikan. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Bapak Mukalam, selaku dosen Filsafat Ilmu kami.


2. Spesial untuk anggota kelompok: Huda, Fitroh, Khoerudin, dan Maulina. Terima
kasih untuk waktu kalian dan hasil kerja keras kalian, semoga ilmu yang kita
suguhkan ini bermanfaat.
Kami menyadari jika makalah yang kami sajikan ini belumlah sempurna. Untuk itu
kami menerima kritik dan saran demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini
berguna bagi siapa saja yang ingin belajar tentang filsafat ilmu.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 1 Desember 2014

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal
dengan aksiologi. Selain etika yang termasuk dalam kajian aksiologis adalah estetika
atau teori tentang keindahan. Etika sering disamakan dengan moralitas, padahal
keduanya berbeda. Moralitas adalah nilai-nilai perilaku orang atau masyarakat
sebagaimana bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, yang belum disistematisasi
sebagai suatu teori. Ketika perilaku-perilaku moral dirumuskan menjadi teori-teori
maka disebut etika. Etika mencakup persoalan-persoalan tentang hakikat kewajiban
moral, prinsip-prinsip moral dasar apa yang harus manusia ikuti dan apa yang baik
bagi manusia. Dalam etika yang lebih ditekankan adalah masalah baik dan buruknya
suatu tindakan manusia, bukan masalah kebenaran suatu perbuatan manusia.
Pada masa sekarang ini ilmu sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat
sampai mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya tetapi dapat
juga menciptakan tujuan hidupnya.Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada
hakikatnya digunakan untuk mempelajari alam sebagaimana adanya, pada saat ini
mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan? Dimana batas
wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan ilmu yang
seharusnya? Pertanyaan yang semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi
keilmuan. Namun pada abad ke-20 para ilmuwan mencoba menjawab pertanyaan ini
dengan berpaling pada hakikat moral.

Sejak saat itu, ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral dalam perspektif
yang berbeda. Contoh: Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang
kesemestaan alam dan menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari.
Dari kasus Copernicus tersebut, pada dasarnya mencerminkan suatu pertentangan
antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dengan ilmu
yang berlandaskan pada nilai-nilai di luar bidang keilmuan. Pada makalah ini, akan
dijelaskan mengenai paradigma tentang ilmu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ilmu?
2. Apa yang dimaksud dengan nilai?
3. Bagaimana paradigma ilmu?
4. Bagaimana keterkaitan ilmu dengan nilai?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ilmu.
2. Mengetahui pengertian nilai.
3. Mengetahui tentang paradigma ilmu.
4. Mengetahui keterkaitan ilmu dengan nilai.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu

Ilmu adalah pengetahuan yang pasti, sistematis, metodik, ilmiah dan mencakup
kebenaran umum mengenai objek studi. Ilmu membentuk daya intelegensi yang
melahirkan ketrampilan (skill). Ilmu artinya pengetahuan yang ilmiah.Istilah ilmu dalam
pengertian klasik diartikan sebagai pengetahuan tentang sebabakibat atau asal usul.

Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yakni
produk-produk, proses dan masyarakat. Ilmu sebagai produk, artinya pengetahuan yang
telah diketahui serta diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Ilmu sebagai proses,
artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia
alami sebagaimana adanya bukan sebagaimana yang dikehendaki.Ilmu sebagai masyarakat,
artinya dunia pergaulan yang tindak tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya
diatur oleh empat ketentuan yaitu: universalisme, komunalisme, tanpa pamrih dan
skeptisisme yang teratur.

Para filosof muslim membedakan ilmu kepada ilmu yang berguna dan yang tak
berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi, seperti
kedokteran, fisika, kiia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khusus
mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi (ilmu nujum yang
menggunakan perbilangan) dimasukkan ke dalam golongan cabang-cabang ilmu yang
tidak berguna.

Dalam pembahasan tentang ilmu seringkali kita dihadapkan dengan paradigma bebas
nilai dalam ilmu. Dalam bahasa Inggris paradigma bebas nilai disebut dengan value free,
mengatakan bahwa ilmu dan juga tekhnologi bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak
memiliki keterkaitan sama sekali denga nilai. Pembatasan-pembatasan etis hanya akan
menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai berarti semua kegiatan yang
terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu
dikatakan bernilai karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya,
yang obyektif, yang terkaji secara kritik.
B. Pengertian Nilai

Nilai atau etika memiliki banyak arti, secara etimologi istilah etika berasal dari
bahasa Yunani Kuno yaitu etos atau ethikos, yang mempunyai arti tempat yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berfikir.
Dalam pemahaman lain, etos diartikan sifat, watak, kebiasaan, atau tempat yang biasa,
sedangkan ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan atau perbuatan baik.

Nilai juga diartikan sebagai standar tingkah laku, keindahan, keadilan, dan efisiensi
yang mengikat manusia dan sepatutnya dijalankan serta dipertahankan. Nilai adalah bagian
dari potensi manusiawi seseorang, yang berada dalam dunia rohaniah (batiniah, spiritual),
tidak berwujud, tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan sebagainya. Namun sangat kuat
pengaruhnya serta penting peranannya dalam setiap perbuatan dan penampilan seseorang.
Nilai adalah suatu pola normatif, yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi
suatu sistem yang ada kaitannya dengan lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi
sekitar bagian-bagiannya. Nilai tersebut lebih mengutamakan berfungsinya pemeliharaan
pola dari sistem sosial.

Pengertian nilai dalam agama adalah prinsip, standart atau kualitas yang dipandang
bermanfaat dan sangat diperlukan. Nilai adalah suatu keyakinan dan kepercayaan yang
menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau
menilai suatu yang bermakna bagi kehidupannya.

Dari beberapa definisi tersebut dapat dirumuskan bahwasanya nilai adalah suatu tipe
kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dimana seseorang
harus bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang tidak pantas
atau yang pantas dikerjakan, dimiliki dan dipercayai.

C. Paradigma Ilmu
Ilmu terbagi menjadi dua pandangan yaitu ilmu bebas nilai (value free) dan ilmu
terikat nilai/ ilmu tak bebas nilai (value bound). Berikut penjelasannya,

1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai


Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang
menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom
tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Bebas nilai berarti semua
kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu
sendiri. Ilmu menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan ilmu itu sendiri.
Etika hanya bekerja ketika ilmu selesai bekerja. Etika hanya bisa diterapkan
pada manusianya, yaitu ilmuan. Yang harus dikenai nilai dan pernyataan normatif
adalah ilmuan sebagai manusia. Kelompok ini memegangi pandangan Francis Bacon
bahwa ilmu adalah kekuasaan, berkat atau malapetaka terletak pada orang yang
menggunakan kekuasaan tersebut. Kekuasaan terletak pada si pemilik pengetahuan.
Josep Situmorang dalam Ermi Suhasti (2013: 104) menyatakan bahwa sekurang-
kurangnya ada 3 faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti
faktor politis, ideologis, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu pengetahuan
terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan
diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.

Orang yang mendukung bebas nilai dalam ilmu akan melakukanya berdasarkan
nilai khusus yang diwujudkan ilmu pengetahuan. Karena kebenaran dijunjung tinggi
sebagai nilai, dan fakta merupakan suatu yang independen terhadap pengamat,
sehinga pengamat yang lain bisa mengamati dalam posisi dan prosedur yang sama.
Kemudian fakta-fakta dikelompokan satu dengan yang lain dan keterhubungan ini
menjadi sesuatu yang mengikat secara prinsip yang disebut hukum dan kaidah. Untuk
bisa menjelaskan suatu hukum di balik fakta diperlukan metode dan pendekatan.
Kebenaran itu dikejar secara murni dan semua nilai di kesampingkan. Maka itu
tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas nilai pada kenyataanya agak dekat dengan
tuntutan yunani agar ilmu pengetahuan itu tanpa pamrih. Hal semacam ini dapat
dikatakan juga dengan tuntutan yang mirip dengan tuntutan agar ilmu pengetahuan
bebas dari perandaian. Tuntutan ini pun tidak mungkin dimaksudkan mutlak, karena
jika demikian berarti ia meniadakan dirinya sendiri. Orang yang menuntut suatu dari
ilmu pengetahuan dengan sendirinya mengandaikan sesuatu. Karena setiap ilmu
berpangkal pada perandaian-perandaian yang tersimpul dalam metode ilmu
pengetahuan itu sendiri. Mengesampingkan perandaian-perandaian itu sama saja
dengan melumpuhkan setiap pendekatan metodis dan dengan demikian
menghilangkan ciri khas segala ilmu pengetahuan. Jadi, tuntutan agar suatu ilmu
jangan bertolak dari perandaian-perandaian, mestinya mempunyai maksud lain.

Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat
dibenarkan, karena hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkadang
hal tersebut dapat merugikan lingkungan. Contoh untuk hal ini adalah teknologi air
condition, yang ternyata berpengaruh pada pemanasan global dan lubang ozon
semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat pendingin ruangan ini semata untuk
pengembangan teknologi itu dengan tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulkan
pada lingkungan sekitar. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut,
tetapi ilmu bebas nilai menganggap nilai ekologis tersebut menghambat
perkembangan ilmu. Dalam ilmu bebas nilai tujuan dari ilmu itu untuk ilmu.

2. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai


Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu
terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Perkembangan nilai tidak lepas dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-
nilai yang lainnya. Dalam pandangan terkait nilai ini, kata nilai juga memiliki makna
bahwa nilai tidak hanya berlaku bagi ilmuan tetapi juga bagi ilmu itu sendiri, sehingga
memasuki wilayah epitimologis. Keduanya saling terkait.

Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan
nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu jelas tidak
mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi,
sosial, keagamaan, lingkungan dan sebagainya.

Beberapa filosof menunjukkan bahwa ilmu tidak lepas dari kepentingan.


Pertama, menurut Jurgen Habermas berpendapat bahwa, sekalipun ilmu alam tidak
mungkin bebas nilai, karena setiap ilmu selalu ada kepentingan-kepentingan. Dia juga
membedakan ilmu menjadi 3 macam, sesuai kepentingan-kepentingan masing-masing;
a. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-
analitis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan
hasil penyelidikan untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula
disusun teori-teori yang ilmiah agar dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan
terapan yang besifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi
sebagai upaya manusia untuk mengelola dunia atau alamnya.
b. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuan yang pertama, karena
tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami
manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek
kemasyarakatan yang dibicarakan adalah hubungan sosial atau interaksi,
sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuan ini adalah pemahaman
makna.
c. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan
mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat
dipentingkan disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan
dan kepentingan yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.

Kedua, menurut Gadamer, ilmu hanya bisa bekerja karena ia tertancp dalam
tradis yang telah berlangsung lama sehingga seseorang tidak mungkin netral terhadap
seluruh tradisi. Justru tradisi yang memungkinkan manusia membangun pengetahuan
atau ilmu. Michel Foucault juga menunjukkan bahwa ilmu merupakan kekuasaan.
Ilmu melahirkan kekuasaan, dan kekuasaan melahirkan ilmu. Kuasa adalah kekuatan
untuk mendefinisikan dan mendisiplinkan, normalisasi dan regulasi pihak lain melalui
pertukaran wacana. Ilmu merupakan bangunan kompleks wacana.

Dari pendapat ketiga filsuf tersebut diatas dipahami bahwasanya ilmu itu sebagai
terikat nilai, baik pada ilmu itu sendiri maupun pada ilmuannya. Prosedur ilmu tidak
senetral yang disangka. Didalamnya telah terserap tradisi, kepentingan, dan
kekuasaan. Maka dengan sendirinya keterkaitan ilmu juga berlaku bagi ilmuannya.

D. Keterkaitan Ilmu dengan Nilai


Etika mempunyai sifat yang mendasar, yaitu sifat kritis. Etika mempersoalkan
norma-norma yang dianggap berlaku, menyelidiki dasar norma-norma itu,
mempersoalkan hak dari setiap lembaga, seperti orang tua, negara, dan agama untuk
memberi perintah atau larangan yang hars ditaati. Hak dan wewenang untuk menuntut
ketaatan dari lembaga tersebut harus dan perlu dibuktikan, dengan demikian etika
menurut orang bersikap rasional terhadap semua norma. Sehingga etika akhirnya
membantu manusia menjadi lebih otonom.
Menurut Suriasumantri (1995: 233) antara ilmu dan etika mempunyai hubungan
yang sangat erat. Ada yang berpendapat bahwa ilmu bebas nilai karena sesungguhnya
ilmu itu memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Ada dua paham yang berkaitan dengan
nilai. Pertama, fase empiris yang pada fase ini di zaman Yunani dulu Aristoteles
mengatakan bahwa ilmu tidak mengabdi pada pihak lain. Ilmu dipelajari manusia demi
ilmu itu sendiri. Pada fase ini tugas suatu generasi terbatas pada mencapai ilmu dan
meneruskan pada generasi berikutnya. Belum ada tuntutan supaya mengembangkan
ilmu baru pada abad ke-17 ilmu giat dikembangkan dan orang sudah mulai mencari
apa tujuan sebenarnya dari ilmu tersebut. Kedua, paham prakmatis yang berpendapat
bahwa di dalam ilmu terdapat nilai yang mendorong manusia bersikap hormat pada
ilmu. Hormat ini mula-mula ditujukan pada ilmu yang diterapkan pada kehidupan saja
karena nilai dari ilmu terletak pada penerapannya. Ilmu mengejar kebenaran yang
merupakan inti etika ilmu tetapi kebanaran itu ditentukan oleh derajat penerapan
praktis dari suatu ilmu.
Di dunia modern ini, ilmu sangatlah mendominasi. dipandang dari segi masa
depan, ilmu dianggap sebagai sumber nasihat tentang perilaku. Dalam pandangan
Habermas, jelas sekali bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-
kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan alam, manusia dan
manusia, manusia dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu itu
terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja terlepas dari nilai.
Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut tanggungjawab
terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di
masa-masa lalu. Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan
penerapan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara tepat dalam kehidupan manusia.
Kaitan ilmu terhadap nilai-nilai membuatnya tak terpisahkan dengan nilai.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Ilmu adalah pengetahuan yang pasti, sistematis, metodik, ilmiah dan mencakup
kebenaran umum mengenai objek studi. Ilmu membentuk daya intelegensi yang
melahirkan ketrampilan (skill). Ilmu dibagi menjadi dua golongan yaitu ilmu yang
berguna dan yan tak berguna.
2. Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem
kepercayaan, dimana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan,
atau mengenai suatu yang tidak pantas atau yang pantas dikerjakan, dimiliki dan
dipercayai.
3. Ilmu terbagi menjadi dua pandangan yaitu ilmu bebas nilai (value free) dan ilmu
terikat nilai/ ilmu tak bebas nilai (value bound). Yang ilmu bebas nilai yaitu ilmu
menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan
ilmu itu sendiri, sedangkan ilmu terikat nilai yaitu ilmu itu selalu terikat dengan
nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Perkembangan nilai tidak lepas dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan
nilai-nilai yang lainnya.
4. Antara ilmu dan etika mempunyai hubungan yang sangat erat karena
sesungguhnya ilmu itu memiliki nilai dalam dirinya sendiri.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Ghazali, Bachri dkk. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga

Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis,
dan Aksilogis. Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai