Anda di halaman 1dari 119

BAB I

PENDAHULUAN

Permasalahan etis saat ini tidak hanya menyangkut seorang pribadi, tetapi juga senantiasa
berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya. Bahkan persoalan etis yang terjadi pada
pribadi seseorang akan selalu berdampak pada orang lain langsung ataupun tidak langsung.
Dan tidak tertutup kemungkinan pula bahwa persoalan etis yang terjadi di suatu daerah atau
negara akan senantiasa dirasakan di daerah atau negara lain, sebab antara satu daerah atau
dengan daerah-daerah lain atau satu negara dengan negara-negara lain saat ini seakan
menjadi sebuah kampung besar yang dipersatukan oleh kemajuan di bidang teknologi
komunikasi belakangan ini. Karena itu, kita perlu melihat persoalan etis dalam skala global
dan lokal yang masing-masingnya juga berdampak luas terhadap satu dengan yang lainnya.

1.1. PERSOALAN ETIS KONTEMPORER

1.1.1 Pada Lingkup Global


Belakangan terjadi pelbagai tindakan manusia yang mendatangkan persoalan dalam hidup
manusia sendiri dalam skala global, antarmanusia dengan manusia, manusia dengan
lingkunganya. Diantara pelbagai persoalan yang muncul yang paling menonjol adalah:
ketidak-adilan sosial, Terorisme dan ancaman terhadap perdamaian dunia, ekologi dan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), kloning manusia. Kita membahas
satu demi satu dalam uraian di bawah ini sambil tidak menutup mata terhadap persoalan etis
terbaru di hampir semua bidang kehidupan manusia.

1.1.1.a. Ketidakadilan Sosial yang Bersifat Internasional


Globalisasi ekonomi dengan ideologi pasar bebasnya mengundang persoalan etis kontemporer
yang serius. Persoalan tersebut menyangkut ketidakadilan sosial yang bersifat internasional.
Dunia bisnis internasional yang semakin dikendalikan oleh para pemilik modal raksasa dunia
yang semakin dapat bergerak ke mana mereka suka dan tidak lagi kenal tapal batas negara,
ternyata tidak dengan sendirinya membuat hidup semua umat manusia di dunia ini lebih
sejahtera. Globalisasi tidak serta merta menghilangkan kemiskinan. Sebaliknya, globalisasi
ekonomi membuat masalah kemiskinan dunia menjadi lebih parah. Di mana pertumbuhan
perekonomian dunia dengan kekuatan modal besar yang semakin lepas dari ikatan kenegaraan
dan tenaga kerja, ternyata telah membawa kesenjangan ekonomi antara negara-negara belahan
utara (dunia pertama) dan selatan (dunia ketiga). Keuntungan globalisasi ekonomi hanya
dinikmati oleh sekelompok elit pemilik modal besar dan para CEO perusahaan.

Krisis ekonomi yang banyak melanda negara-negara berkembang dan telah membuat banyak
orang kehilangan pekerjaan yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan mereka,
sebenarnya juga disebabkan oleh ketergantungan ekonomi negara-negara tersebut pada sistem
perekonomian global. Sistem perekonomian global yang berorientasi pasar bebas telah
membuat pemerintah di dunia ketiga terpaksa mau dikendalikan oleh lembaga keuangan dunia
seperti IMF, World Bank. Dalam rangka melakukan apa yang disebut reformasi ekonomi,
pemerintah negara berkembang yang kehidupan perekonomiannya tergantung pada pinjaman
luar negeri, terpaksa harus menghentikan berbagai subsidi yang sebelumnya biasa diberikan
dan dapat meringankan beban kehidupan rakyat miskin. Orientasi persaingan di pasar global
telah membuat para petani semakin tidak lagi menjadi tuan atas tanahnya sendiri. Mereka
hanya menjadi pekerja bagi para pemilik modal agribisnis yang karena mengejar target-target
keuntungan yang cepat, cenderung memerkosa tanah dengan berbagai obat-obatan yang
dalam jangka panjang justru akan merugikan petani. Mereka semakin kehilangan lahan

1
mereka yang subur dan semakin tergantung pada pabrik pupuk buatan dan penjual bibit
pertanian yang semakin dikuasai oleh para pemilik modal.

Di samping itu semakin berkembangnya industrialisasi, kehidupan para buruh di negara-


negara dunia ketiga juga tidak menjadi lebih baik. Banyak buruh di dunia ketiga dalam sistem
perekonomian global terjebak dalam kondisi kerja yang buruk dengan bayaran yang rendah.
Ancaman akan hengkangnya para pemilik modal dari satu negara karena gejolak sosial kaum
buruh, membuat perjuangan para buruh sia-sia, akibatnya buruh tetap dalam posisi yang
lemah. Industrialisasi di Negara-negara dunia ketiga yang dilakukan melalui penanaman
modal asing ternyata juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan alam dan
sosial di tempat-tempat tersebut. Ketidakadilan internasional ikut berperan dalam
menciptakan ketidakadilan dalam lingkup nasional.

1.1.1.b. Terorisme Internasional dan Ancaman terhadap Perdamaian Dunia


Terorisme global dewasa ini sangat mencemaskan masyarakat dunia. Bahkan sudah dicap
sebagai persoalan etis kedua terbesar setelah ekonomi global. Hal ini dianggap demikian
karena, peluang terjadinya perang antara bangsa yang mengancam perdamaian dunia. Sebut
saja tragedi-tragedi yang mencabut nyawa manusia seperti tragedi WTC 11 September 2002,
Bom London Juli 2005 (luar negeri) dan Bom Bali Oktober 2003 (dalam negeri), dan
sejumlah ledakan lainnya. Ledakan seperti itu, mungkin berniat memberikan pelajaran
terhadap pihak lain yang dianggap telah menindas atau merampas hak-hak pihak peledak bom
tersebut, tetapi persoalan etis justru muncul di sini bahwa hanya dengan cara tersebut kita bisa
memberi pelajaran? Bila ya maka jangan-jangan kita sedang terjebak pada cara berpikir dan
bertindak untuk mencapai tujuan tetapi dengan menghalalkan cara.

Muncul dan berkembangnya terorisme internasional memang tidak dapat dilepaskan dari
persoalan ketidakadilan internasional yang antara dunia pertama dan dunia ketiga. Namun
upaya melawan kejahatan dengan membalas melakukan kejahatan, tidak akan menyelesaikan
persoalan. Tindak kekerasan sebagai luapan kemarahan dan kebencian hanya akan
membuahkan tindak kekerasan balasan yang juga meluapkan kemarahan dan kebencian. Bila
kita melakukan hal demikian maka, jadinya, kita terjebak dalam lingkaran balas dendam
tanpa henti.

Dengan kesadaran akan terjerembabnya manusia dalam lingkaran balas dendam tersebut
belakangan muncul gerakan anti terorisme yang sejak tragedi WTC, bom Bali dan sejumlah
tragedi lainnya terasa meluas dan menguat. Hal ini akan melahirkan hal positif bila itu
dilakukan demi terciptanya kehidupan manusia yang lebih aman, damai, dan beradab di bumi
ini dengan melindungi kehidupan manusia dari ancaman kelompok-kelompok yang cenderung
menggunakan segala cara, termasuk yang amat keji sekalipun. Sebaliknya, gerakan anti
terorisme secara etis menjadi bermasalah bila dijadikan dalih untuk membenarkan berbagai
tindakan kekerasan yang sesungguhnya melanggar hak azasi manusia sendiri.

1.1.1. c. Persoalan Ekologi dan Pembangunan Berkelanjutan


Pertemuan demi pertemuan antarberbagai pemimpin dunia dan lembaga-lembaga pejuang
lingkungan mengindikasikan bahwa persoalan ekologi sudah menjadi kepedulian masyarakat
dunia. Betapa tidak! Begitu seringnya diadakan pertemuan di hampir lima benua menunjukan
komitmen bersama dan kerja sama negara-negara di dunia guna menjamin terlaksananya
pembangunan yang berkelanjutan erat kaitannya dengan persoalan ekologi.

2
Masalah keadilan, perdamaian, dan ekologi dewasa ini semakin erat terkait satu dengan yang
lainnya. Globalisasi ekonomi kapitalis dengan industrialisasi dan ideologi pasar bebasnya
serta pendekatan teknokratis terhadap alam menyebabkan terjadinya pengurasan sumberdaya
alam secara besar-besaran yang menimbulkan, pengotoran, kerusakan serta
ketidakseimbangan alam yang semakin parah. Pengotoran, kerusakan, dan ketidak-
seimbangan dengan limbah beracunya, industri perkayuan yang banyak membabat hutan,
industri pertambangan yang menguras berbagai bahan tambang dan mineral, dan juga
disebabkan oleh revolusi hijau dalam industri pertanian. Penggunaan pupuk buatan dan obat-
obatan kimiawi pembasmi hama secara besar-besaran ternyata telah merusak kesuburan tanah
dan keseimbangan ekologis. Dengan cara mengolah tanah dan menguras sumber daya alam
yang terkandung di dalamnya seperti saat ini, ternyata kekayaan bumi akan cepat habis dan
tak sanggup lagi menopang kehidupan manusia.

Di samping itu, gaya hidup konsumtif yang dipicu oleh ideologi pasar bebas dengan iklan-
iklannya yang merangsang minat beli, telah membuat manusia selalu merasa kurang. Sikap
serakah yang mau mengejar keuntungan sebesar-besarnya juga mendorong pengusaha untuk
menggenjot produksi agar semakin bertambah besar. Itu berarti sumber daya alam semakin
dikuras dan sumber daya manusianya dituntut semakin keras bekerja. Maka daya tahan bumi
dan rasa tanggung jawab terhadap generasi mendatang, tidak lagi masuk dalam pertimbangan.

Maka pembangunan berkelanjutan (sustainable developmen) dalam dunia dewasa ini hanya
mungkin terjadi bila para pemimpin negara-negara di dunia ini berkomitmen bersama untuk
mendahulukan kepentingan dunia secara keseluruhan dan bukan hanya kepentingan
negaranya sendiri. Mereka perlu mengambil pendekatan holistik, organismik, dan ekologis
dan tidak memakai pendekatan yang melulu pragmatis, mekanistik, dan sektoral.

Era globalisasi ekonomi dewasa ini, pemegang kekuasaan dunia dalam kenyataan sudah
bergeser dari negara ke pemilik modal raksasa yang bergerak ke mana-mana demi mengejar
keuntungan yang semakin besar maka penanganan terhadap berbagai permasalahan ekologis
dalam perspektif pembangunan berkelanjutan pada lingkup global juga akan membutuhkan
mekanisme kontrol publik terhadap kiprah para pemilik modal dan pelaku bisnis raksasa
tersebut.

1.1.1.d. Kloning Manusia


Persoalan etis kontemporer berikutnya adalah masalah kloning manusia. Belum lama ini
dalam Sidang Umum PBB terjadi perdebatan kembali atas sebuah usulan dari Komite Ad
Hoc tentang perlunya implementasi larangan kloning manusia untuk tujuan reproduktif.
Komite tersebut menyatakan bahwa kloning manusia untuk tujuan reproduktif merupakan
suatu perkembangan baru di bidang bioteknologi yang menggusarkan dan tidak etis.
Tindakan tersebut membawa persoalan etis, moral religius, dan ilmiah yang mempunyai
implikasi amat besar bagi kehidupan keluhuran martabat manusia.

Awalnya seorang dokter bernama Severino Antinori yang menyatakan bahwa ia telah
melakukan kloning pada bayi. Cukup banyak ilmuwan juga telah mengingatkan bahwa upaya
membuat kloning manusia akan membahayakan. Belajar dari kasus kloning domba Dolly,
keberhasilan dalam mengkloning domba tersebut baru terjadi setelah 247 percobaan
dilakukan. Itu artinya bahwa 246 percobaan sebelumnya gagal. Apa lagi banyak janin hasil
kloning pada binatang terjadi dalam pertumbuhannya membawa cukup banyak abnormalitas
yang tergolong berat dan mudah terjadi keguguran sehingga sering juga membahayakan induk
yang mengandungnya. Dolly sendiri secara umum tidak tumbuh sehat dan mengalami

3
penuaan yang lebih cepat dari domba seumurnya. Antinori menyatakan bahwa ia telah
menemukan cara untuk membuat ‘screening’ atau penyaringan embrio yang dapat memerkecil
risiko kegagalan dalam kehamilan, tetapi cukup banyak dokter lain menyangsikan apakah
penyaringan seperti itu dapat sungguh dilakukan.

Alasan pokok yang dikemukakan sebagai keberatan etis terhadap kloning manusia serta
berbagai bentuk pembuatan bayi manusia dengan rekayasa genetika adalah tindakan yang
membahayakan keluhuran martabat manusia itu sendiri. Tindakan tersebut juga dapat
merusak hak-hak azasi manusia yang melekat pada manusia sebagai manusia. Modifikasi
genetik seperti ini memungkinkan pembuatan spesies baru manusia yang dapat membawa ke
arah pembunuhan dan perbudakan. Karena ada sekelompok manusia yang mempunyai kendali
penuh atas manusia lain. Dengan keberhasilan pemetaan genom manusia, para perekayasa
genetika manusia nantinya akan dapat merekayasa dan memodifikasi manusia sebagaimana
diinginkannya. Kalau apa yang secara teknologis mungkin dilakukan itu dengan sendirinya
boleh dilakukan maka nasib banyak manusia akan terancam oleh mereka yang memegang
kendali atas kekuasaan teknologis tersebut. Dalam menghadapi persoalan ini maka disamping
penetapan pagar hukum yang jelas, rambu-rambu etis dalam skala global dan lokal
secepatnya diletakan agar perkembangan ilmu dan teknologi pada umumnya dan bioteknologi
khususnya tidak menjadi malapetaka bagi manusia sendiri tapi dapat sungguh menjadi berkat
bagi umat manusia.

1.1. 2. Pada Lingkup Lokal


Disamping persoalan etis kontemporer dalam skala global, tak ketinggalan dalam skala lokal/
nasional muncul pula berbagai persoalan etis terkini. Dintara sejumlah persoalan etis yang
muncul dapat disebuntukan dua yang paling menonjol yakni tingginya tingkat kejahatan
korupsi dan ketidakadilan sosial sebagai kelanjutan dari kejatahan korupsi. Kita akan
membahas satu persatu sambil coba melihat persoalan-persoalan etis yang lain.

1.1.2.a. Tingginya Tingkat Kejahatan Korupsi


Persoalan etis yang paling menonjol dalam skala lokal di Indonesia adalah tingginya tingkat
kejahatan korupsi. Sebagai tindak kejahatan, korupsi tidak hanya merupakan persoalan etis,
tetapi juga hukum. Sementara itu, hampir semua lembaga pemerintahan negara terlibat dalam
lingkaran korupsi baik dalam skala kecil maupun skala besar. Seruan dan slogan-slogan moral
bertubi-tubi dilontarkan oleh semua pihak, tetapi harapan akan terjadinya pembersihan
tindakan korupsi di negeri ini tinggal tetap menjadi sebuah harapan. Betapa tidak! Lembaga-
lembaga hukum baik itu kepolisian maupun jaksa dan hakim juga terlibat dalam jaringan
korupsi ini. Maka menjadi hal yang mungkin adalah melakukan kontrol dan tekanan terus
menerus terhadap para pejabat dan terutama terhadap para penegak hukum baik secara
langsung maupun lewat media massa, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai gerakan
rakyat yang dimotori para mahasiswa dan kelompok intelektual yang mempunyai kepedulian.

1.1.2.b. Ketidakadilan Sosial yang Bersifat Nasional


Persoalan etis lokal kedua yang masih berhubungan dengan persoalan etis lokal pertama
adalah terjadinya ketidakadilan sosial yang bersifat nasional. Uang negara yang seharusnya
digunakan untuk kepentingan rakyat banyak, hanya dinikmati oleh segelintir orang yang
memegang kekuasaan politik dan ekonomi. Ketidakadilan sosial secara nasional akan selalu
terjadi apabila struktur-struktur dalam masyarakat baik itu politik, ekonomi, hukum, sosial
maupun budaya suatu negara tidak menjamin terciptanya kesejahteraan umum masyarakat,
tetapi sebaliknya cenderung menguntungkan dan melindungi kepentingan elit penguasa di
negara tersebut. Sistem ekonomi neoliberal yang menekankan pasar bebas ternyata ikut

4
menciptakan iklim yang membenarkan tindakan-tindakan yang menguntungkan elit penguasa
dan merugikan sebagian besar rakyat jelata. Ketidakadilan sosial internasional membawa
dampak pula terhadap ketidakadilan sosial pada tingkat nasional dan lokal. Salah satu bentuk
ketidakadilan sosial yang paling mencolok adalah kemiskinan struktural, yakni kemiskinan
yang tidak disebabkan oleh kemalasan atau kebodohan pribadi atau kelompok yang
bersangkutan, tapi oleh struktur sosial yang ada tidak memungkinkan mereka untuk keluar
dari lingkaran belenggu kemiskinannya. Para petani, buruh, dan nelayan adalah kelompok
yang amat rentan terhadap dampak kemiskinan struktural.

Ketidakadilan sosial yang bersifat nasional juga tampak dari kesenjangan sosial yang semakin
melebar di Indonesia. Hal ini tampak pada wajah kehidupan di kota-kota besar. Sejumlah
mobil mewah bersliweran di jalan-jalan raya, sementara sejumlah orang miskin untuk makan
sekali sehari saja bingun luar biasa untuk mendapatkan sesuap nasi. Ketidakadilan sosial
secara nasional juga tampak dari banyak bentuk pelanggaran hak azasi manusia yang banyak
diderita rakyat jelata dan kelompok minoritas di Indonesia. Antara lain: kaum miskin kota
semakin terpinggirkan dan kehilangan ruang gerak mereka untuk hidup dan berusaha. Para
petani semakin kehilangan lahan dan kebebasan mereka untuk menentukan diri. Kaum buruh
semakin lemah posisinya dalam tawar-menawar berhadapan dengan kekuatan pemodal besar
yang cenderung berkolusi dengan pejabat pemerintah yang tidak segan-segan menggunakan
kekuatan militer untuk meredam gejolak buruh. Gerakan penegakan otonomi daerah, selain
membawa ekses pemindahan koruptor dari pusat ke daerah juga membawa dampak negatif
bagi kelompok minoritas di daerah. Sentimen berbau SARA sangat mungkin membuahkan
berbagai bentuk diskriminasi dan bahkan penyingkiran secara sistematis. Karena lemahnya
negara dalam menghadapi gejolak sosial masyarakat, hak masyarakat atas rasa aman juga
semakin tak terlindungi. Banyak tindak kekerasan berbau teror dan perusakan harta milik
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fanatik dan radikal dalam masyarakat tanpa mampu
diredam dan memberi kesan malah dibiarkan membesar. Tindak kejahatan perampokan yang
kadang disertai dengan pembunuhan juga merajalela. Bahkan, orang yang menginap di hotel
berbintang pun dapat mengalami perampokan. Sadis memang. Tetapi itulah kenyataan yang
sudah tidak asing lagi di negeri ini.

1.1.2.c. Pertanyaan: ‘apa yang harus kita lakukan?’


Ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan etis tersebut maka akan muncul pertanyaan,
apa yang dapat dan perlu dilakukan? Jawaban sepintas bisa disebuntukan di sini, yakni;
pertama, perlu segera membangun jaringan kerjasama internasional bagi perjuangan
kemanusiaan. Kedua, perlunya mengembangkan etika kepedulian dan etika tanggung jawab.
Ketiga, perlunya penegakan hukum dalam masyarakat dan pendidikan moral sejak dini.

Dari jawaban-jawaban tersebut bisa menjadi kemungkinan untuk mengatasi persoalan-


persoalan etis kontemporer sebagaimana disebuntukan di atas. Tetapi, menjadi sia-sia
kemungkinan-kemungkinan tersebut bila kita tidak memahami terlebih dahulu sebab-sebab
yang menjadi akar terjadinya semua persoalan etis di atas. Maka perlu kita mengetahui
terlebih dahulu sebab-sebab terjadinya krisis moral, agar bisa mengambil keputusan yang
tepat sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan tidak mengorbankan manusia sebagai subjek.

1.2. TERJADINYA KRISIS MORAL

1.2.1. Perubahan Pandangan Hidup dan Pergeseran Nilai


Etika merupakan salah satu disiplin filsafat yang menyelidiki kewajiban moral serta baik
buruknya tindakan manusia. Tetapi, kewajiban moral dan baik buruknya tindakan atau

5
tingkah laku manusia selalu ditemukan dan dinilai dalam situasi konkret di mana manusia
hidup. Kita tidak pernah menemukan nilai moral dalam situasi vakum atau keadaan netral
tanpa keterlibatan manusia. Dan situasi konkret hidup kita saat ini ditandai oleh kemajuan
ilmu dan teknologi dan arus globalisasi yang sangat dahsyat, yang mengakibatkan perubahan
besar-besaran di pelbagai bidang kehidupan. Misalnya, dunia bagai sebuah kota besar dan
negara-negara dunia laksana sebuah kampung besar dengan segala persoalan yang
ditimbulkanya baik dalam skala lokal maupun global.

Dalam bidang moral tampak pergeseran dan perubahan itu. Kita bisa menyebut beberapa
contoh perubahan dalam bidang moral; Dulu masalah seks dianggap tabu. Sekarang orang
membicarakannya secara lebih terbuka dan terus terang. Pergaulan muda-mudi jauh lebih
bebas, dengan segala dampak positif dan negatifnya. Positifnya, orang bisa memilih pasangan
hidup yang sungguh dikenal dan dicintainya. Negatif, banyak terjadi hubungan seksual
pranikah yang biasanya merugikan pihak wanita. Masalah, desakralisasi perkawinan,
pembatasan kelahiran, euthanasia, inseminasi buatan dan bayi tabung, manipulasi genetik,
kloning, pembabatan hutan secara besar-besaran karena semata-mata tujuan ekonomis, politik
aliran yang menghalalkan cara, pengalihan fungsi uang dari tanda menjadi barang yang dijual
belikan di pasar uang, dan lain-lainnya.

Perubahan tersebut terjadi begitu cepat. yang menimbulkan krisis dalam masyarakat dan
dalam hidup pribadi seseorang. Namun, krisis bisa dialami sebagai disorientasi, kehilangan
arah yang jelas. Bahkan krisis yang lebih berat terjadi dalam bentuk disintegrasi: pola hidup
serta nilai-nilai lama hancur, sementara pegangan baru belum ada. Krisis memang bisa
dipandang secara positif, sebagai suatu fase peralihan untuk mencari dan menciptakan yang
baru. Tetapi krisis yang berkepanjangan tentulah merugikan hidup manusia secara pribadi dan
masyarakat secara umum.

Maka, muncul pertanyaan mendasarnya adalah ‘apa latar belakang krisis tersebut?’ Sebuah
jawaban singkat dapat diajukan di sini, yakni terjadinya pergeseran paradigma kebudayaan.
Supaya lebih jelasnya kita perlu menguraikan seperti apa terjadinya pergeseran paradigma
kebudayaan tersebut yang mengakibatkan terjadinya krisis moral.

1.2.1.a. Pergeseran Paradigma Kebudayaan


Di atas kita menyebut beberapa pergeseran nilai dan perubahan terjadi di bidang moral. Tetapi
sebenarnya sedang terjadi perubahan besar-besaran di pelbagai bidang kehidupan: sosial,
ekonomi, politik, pendidikan, agama dan seterusnya. Semua ini termasuk bidang kebudayaan,
apabila kita mengerti kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu sebagai keseluruhan
proses dan hasil budidaya manusia. Apa yang saat ini sedang terjadi di kampung-kampung,
kota-kota di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pelbagai pengaruh asing yang terus menerus
menyerbu kesadaran kita melalui sarana telekomunikasi modern. Arus informasi telah
menjadi demikian dahsyat. Arus informasi yang demikian dahsyat itu membawa pengaruh
terhadap perkembangan kehidupan masyarakat.

Sementara itu dengan peningkatan kemakmuran rakyat banyak sanggup membeli barang-
barang dan peralatan baru menyiapkan basis material bagi perkembangan ataupun perubahan
kebudayaan. Suatu kemudahan yang membawa manusia untuk secepatnya juga berubah.

Pergeseran nilai dan perubahan di bidang moral hanyalah satu bagian kebudayaan yang luas.
Maka untuk mengerti krisis di bidang moral baiklah kita membicarakan dahulu pergeseran
paradigma kebudayaan.

6
Yang dimaksud dengan paradigma adalah pola utama yang mendasari pandangan hidup dan
tingkah laku sekelompok manusia. Kita akan membicarakan tiga paradigma yang besar dari
kebudayaan, yaitu paradigma pramodern, modern dan postmodern. Yang terutama
diperhatikan dalam uraian mengenai tiap-tiap paradigma adalah pandangan tentang dunia,
pandangan tentang masyarakat, dan tentang perwujudan pribadi manusia di tengah dunianya.

1.2.1.a.1. Paradigma Kebudayaan Pramodern


Dalam kebudayaan pramodern dunia merupakan sebuah kosmos. Kata kosmos dalam bahasa
Yunani mempunyai tiga arti yang saling berhubungan, yaitu semesta alam, susunan yang
teratur, dan keindahan. Arti kata ini sudah menunjukkan bahwa untuk manusia pramodern
dunia atau alam semesta merupakan kesatuan hidup yang teratur. Di Indonesia hal itu
dibenarkan dalam penelitian antropologis baik mengenai suku-suku peramu di pedalaman
Irian Jaya, suku-suku petani ladang di Nusa Tenggara, maupun suku-suku petani sawah di
Jawa dan Bali. Di tengah kosmos, tatanan yang teratur itu, setiap benda atau makhluk
mempunyai arti dan nilainya sendiri dalam harmoni dengan keseluruhan. Oleh karena ada
harmoni dasariah ini maka segala sesuatu secara ontologis baik dan indah.

Kosmos itu besifat sakral. Sebab tertib semesta ini terjelma melalui sebuah hierofani
(pewahyuan diri yang kudus). Kosmos sakral ini dikisahkan dalam mitologi dan dirayakan
dalam upacara keagamaaan. Menurut pandangan paradigmatis yang pertama ini, waktu
bersifat siklis mengikuti siklus musim dan siklus ritual kehidupan yang terus berulang.
Manusia hidup dalam kedekatan dengan Yang Sakral. Dunia sakral dan dunia profan saling
meresapi. Kehadiran Tuhan (Dewa, Roh) tidak dipersoalkan karena orang mengalami
kehadiran-Nya di tengah hidup keseharian manusia.

Perwujudan diri yang ideal berarti menemukan tempat dalam orde sakral itu. Harmoni
kolektif lebih penting daripada hak pribadi sehingga orang tidak boleh menonjolkan diri atau
mencari kepentingan sendiri di luar tata tertib yang sudah berlaku turun temurun. Tingkah
laku yang baik dan benar dihayati menurut figur mitologis, seperti yang dituturkan dalam
hikayat atau dipentaskan dalam pewayangan.

Masyarakat merupakan satu kesatuan hidup yang dilukiskan sebagai satu organisme, dimana
setiap anggota sudah mempunyai peranan tertentu. Orang hidup dalam semangat
kekeluargaan yang kental. Manusia hidup sebagai individu yang otonom belum lagi muncul.

1.2.1.b. Paradigma Kebudayaan Modern


Kebudayaan modern lahir pertama-tama melalui afirmasi diri aku sebagai subjek . Secara
epistemologis semua yang lain bisa disangsikan, kecuali aku. Cogito ergo sum, aku berpikir
maka aku ada, kata Rene Descartes. Aku subjek ini dibimbing oleh rasio dengan hukum aku
sebagai subjek. Secara epistemologis semua yang lain bisa disangsikan kecuali aku. -hukum
akal budi yang bersifat universal. Kalau tingkah laku manusia pramodern dihayati menurut
model figur mitologis maka tingkah laku manusia modern dihayati menurut semboyan
"sapere aude", beranilah memakai akal budi sendiri (Kant).

Oleh afirmasi diri aku sebagai subjek, dunia menjadi objek penyelidikan rasional yang
melahirkan ilmu dan teknologi. Dengan demikian dunia bukan lagi kosmos sakral, melainkan
alam sekular, universum yang dikuasai hukum-hukum mekanistik dan karena itu bisa
diselidiki, dieksploitasi, direkayasa, digunakan untuk kepentingan manusia. Dalam dunia
sekular ini yang ada bukan lagi waktu siklis, melainkan waktu linear yang bisa diukur secara

7
matematis. Waktu seperti ini tidak pernah terulang dan kerena itu harus digunakan dengan
sebaik-baiknya.

Perwujudan diri berarti menemukan dan merealisasikan aku yang unik. Individu dalam arti
yang tegas baru muncul dalam kebudayaan modern. Perwujudan diri ini dibimbing oleh
rasionalitas universal, dengan cita-cita kemajuan terus menerus menuju penyempurnaan dan
kebahagiaan manusia pribadi.

Karena individu ditekankan sebagai yang primer maka adanya masyarakat dilihat sebagai
sesuatu yang sekunder. Masyarakat perlu demi kepentingan individu. Dengan kata lain,
sebuah masyarakat timbul karena sejumlah individu berkumpul untuk memerjuangkan
kepentingan tertentu. Hubungan aku-engkau bersifat fungsional. Orang menghormati
sesamanya bukan semata karena dia adalah manusia, melainkan juga karena predikat yang
melekat pada diri sesama sebagai manusia itu. Karena itulah para teoretisi sosial dari zaman
modern seperti John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rouseau mengajarkan "kontrak sosial"
mengenai timbulnya masyarakat.

1.2.1.c. Paradigma Kebudayaan Postmodern


Kebudayaan postmodern lahir pertama-tama sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme.
Rasionalisme universal manusia modern dengan cita-cita penyempurnaan manusia oleh
manusia sendiri menemui keterbatasannya secara sangat spektakuler dalam abad ini.
Rasionalitas universal itu seolah-olah ambruk dalam tindakan rasional perang dunia I dan II
dimana puluhan juta manusia dibunuh; juga dalam pembantaian manusia yang paling brutal di
kamp-kamp konsentrasi. Demikian pula pengolahan alam melalui ilmu dan teknologi demi
kepentingan manusia menemui keterbatasannya dalam dampak negatif yang ditimbulkannya,
seperti pencemaran lingkungan, meningkatnya suhu global, dan hancurnya lapisan ozon.

Sementara itu, dari dalam ilmu sendiri muncul reaksi yang menunjukan keterbatasan radikal
rasio manusia. Menurut Sigmund Freud, bagian terbesar dari kehidupan psikis manusia adalah
lapisan yang tak sadar. Karena itu, tindakan manusia seringkali dilandasi motif-motif
irasional. Strukturalisme mampu dan bahkan berhasil menyadarkan kita bahwa pola hidup
dan tingkah laku manusia selalu dikondisi oleh kerangka struktural dimana dia hidup. Dan
Habermas, filsuf Jerman yang terkenal dewasa ini, membuka kedok prasangka-prasangka
yang ada dibalik ilmu yang paling 'murni' sekalipun.

Istilah (dan ide) postmodern pertama kali muncul ke permukaan di dunia Latin sekitar 1930-
an. Adalah Frederico de Onis yang memerkenalkannya. Namun, istilah ini mulai masuk ke
dalam diskursus ilmiah sejak 1970-an, terutama dalam ranah budaya, khususnya seni, dan
sastra. Sejak 1980-an, istilah postmodernisme mulai diperbincangkan secara luas dan
dipergunakan dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka yang terlibat dalam perdebatan seputar
postmodernisme, menggunakan istilah itu dalam pengertian yang cukup berbeda, dan bahkan
saling bertolak belakang. Tapi kita tidak akan masuk ke dalam perdebatan para pakar itu. Satu
hal yang ingin dikemukakan di sini adalah bahwa pandangan postmodern mendefinisikan diri
dalam hubungan dan oposisi dengan dua paradigma terdahulu (pramodern dan modern)..

Kalau manusia pramodern melihat dirinya sebagai bagian dari kosmos sakral, dan seorang
modern melihat diri sebagai subjek otonom yang dibimbing oleh rasionalitas universal dalam
hubungan dengan dunia yang dijadikan objek maka seorang postmodern melihat dirinya
sebagai makhluk yang mengada bersama orang lain dalam dunia. Hubungan dengan dunia
ditandai dialektika antara keterlibatan dan distansi. Karena keterlibatan ontologis, dunia ini

8
bukanlah objek melainkan lingkup hidup (home) dimana manusia mewujudkan diri. Tetapi
oleh distansi manusia sanggup mentransformasikan dunia yang terberi. Dunia bukanlah
sekadar keterangan tempat. Dunia adalah kompleks nilai dan arti dimana manusia mengada
bersama yang lain. Dalam arti bahwa dunia selalu merupakan dunia manusia. Tanpa manusia
dunia tidak ada. Dalam pandangan dunia seperti ini waktu eksistensial bukanlah waktu
matematis yang linear; bukan pula waktu siklis yang senantiasa berulang. Dewasa ini ada
kecenderungan melihat waktu eksistensial dalam bentuk spiral.

Hubungan aku - sesama dan aku - dunia diperantarai oleh bahasa. Bahasa pada tempat
pertama bukanlah alat, melainkan mediasi eksistensial. Mediasi antara aku dan dunia disebut
referensi. Mediasi aku dan sesama disebut komunikasi. Sedangkan mediasi aku dan diriku
sendiri tidak lain daripada pengenalan diri. Hubungan antarmanusia dan hubungan manusia
dengan alam merupakan sebuah dialog. Dan dialog mengandaikan keterbukaan untuk
mendengar dan menjawab. Pada hemat saya, semakin kuatnya gerakan demi keadilan,
perdamaian, dan kelestarian lingkungan di seluruh dunia adalah manifestasi pada tingkat
sosio-politik dari hubungan ontologis manusia dengan sesama, alam, dan dirinya sendiri
sebagai manusia.

Manusia postmodern juga menemukan lagi simbol-simbol dan mitos-mitos purba


(pramodern), dan menafsirnya secara kritis (modern), untuk menemukan lagi arti baru bagi
manusia saat ini. Mengapa? Karena manusia tidak mungkin hidup tanpa simbol dan mitos
(postmodern).

Bertolak dari bahasa sebagai kondisi eksistensial, postmodern sangat menghargai pluralitas
kebudayaan. Setiap kebudayaan bersifat khas, unik. Tetapi sekaligus ada persamaan tertentu
antara kebudayaan-kebudayaan yang berbeda itu. Kalau hanya ada keunikan maka dialog
antarkebudayaan tidak mungkin. Kalau hanya ada persamaan maka dialog tidak perlu.
Sehubungan dengan itu cita-cita universal ilmu pengetahuan selalu harus dihubungkan secara
dialektis dengan pluralitas kebudayaan. Sebab, seperti telah ditunjukkan oleh Habermas, ilmu
pengetahuan tidak pernah bersih dari prasangka-prasangka sosial dan kultural.

Perwujudan diri sebagai makhluk yang mengada bersama yang lain dalam dunia adalah
anugerah (Gabe) dan tugas (Aufgabe) sekaligus. Manusia pertama-tama harus menerima
dirinya sebagai keterberian di tengah situasi sosial-kultural konkret dan baru dari titik itulah ia
sanggup mengembangkan diri dan dunianya. Berhubungan dengan ini, kebudayaan harus
dipahami serentak sebagai warisan dan proses (kerja) penciptaan baru. Warisan tanpa
penciptaan baru akan mati. Penciptaan baru tanpa warisan mustahil. Sebab tak ada seorang
manusiapun sanggup mencipta dari titik nol.

1.2.1.d. Perbenturan Paradigma Kebudayaan Di Indonesia


Terjadinya pergeseran paradigma kebudayaan yang tentu saja memungkinkan terjadi benturan
kebudayaan yang satu dengan yang lainnya maka segera pula muncul sejumlah pertanyaan.
Hanya saja ada satu pertanyaan besar dan penting yang menantang pemikiran kebudayaan
saat ini adalah: ‘Apa dampak sosial-kultural yang diakibatkan oleh benturan kebudayaan
besar-besaran yang terjadi di zaman komunikasi satelit ini? Bagaimana konsekuensi
pembauran dan kerancuan lapisan-lapisan kebudayaan pramodern, modern, dan
postmodern?’

Di Eropa pergeseran paradigma kebudayaan itu berlangsung secara perlahan selama berabad-
abad sehingga melahirkan sebuah peradaban yang kita kenal saat ini. Di Indonesia, baik di

9
kota-kota besar maupun kota-kota yang relatif kecil, khususnya di wilayah perdesaan,
semuanya berlangsung secara sangat cepat dan tumpang tindih dalam satu dua dasawarsa
belakangan ini sehingga sulit untuk mencerna secara baik perubahan tersebut. Sebagaimana
sudah dikatakan di atas, tumpang tindihnya paradigma kebudayaan tersebut mengakibatkan
disorientasi dan / atau disintegrasi kultural, yang biasanya dialami sebagai krisis. Tentu saja
krisis ini bisa dihayati secara positif sebagai peralihan menuju reorientasi dan transformasi
kebudayaan, asalkan kita sungguh menjadi agen kebudayaan sendiri, dan bukan sekadar
resipien pasif.

Di bidang moral terjadinya krisis itu berarti memungkinan kita memikirkan dan
merumuskan pendirian-pendirian moral kita secara kritis-rasional. Dan itulah ikhtiar yang
hendak kita bahas dalam perkuliah dan traktat etika ini.

1.2.1.b. Paham-paham Filsafat


Dalam sejarah pemikiran filsafati muncul berbagai aliran dalam memahami sesuatu, termasuk
manusia dan segala tindakannya. Khusus untuk manusia dan tindakannya terdapat dua
kelompok besar dalam melihat sebab terjadinya tindakan manusia dengan segala
perubahanya.

1.2.1.b.1. Paham-paham Menyangkut Manusia


Etika atau filsafat moral sangat bergantung pada pandangan tentang hakikat manusia sendiri.
Dalam pembahasan antropologi metafisika atau filsafat manusia kita mengenal bermacam-
macam aliran. Aliran-aliran yang ada sangat berbeda pendapat tentang manusia. Seperti
materialisme yang melihat manusia semata-mata sebagai benda, barang. Idealisme yang
memandang manusia dengan segala optimisme, cita-cita dan harapannya. Dualisme
antropologis yang melihat manusia yang memiliki jiwa dan badan seolah-olah sebagai dua
benda yang berpisah satu dari yang lainnya. Eksistensialisme, dan strukturalisme yang
memandang manusia sebagai yang muncul dari dan dibesarkan oleh struktur. Setiap
pandangan ini bersifat radikal. Artinya bertolak dari asumsi dasar yang dikembangkan secara
sangat konsekuen. Setiap pandangan filosofis tentang manusia secara langsung atau tidak
langsung mempunyai konsekuensi etis, yang tampak dalam tindakan manusia terhadap
sesamanya, dirinya sendiri, dan lingkungannya..

1.2.1.b.2. Paham-paham dalam Etika


Dalam bidang etika atau filsafat moral, kita menemukan banyak pemikiran dan sistem nilai
yang berbeda, malah saling bertentangan, misalnya hedonisme, utilitarianisme,
eudaimonisme, etika peraturan, dan etika situasi (situation ethics). Sementara itu, dalam era
modernisasi dan globalisasi dewasa ini terjadi pertemuan dan perbenturan begitu banyak
paham dan sistem filsafat. Akibatnya banyak orang menjadi bingung karena tidak sanggup
mengolahnya secara kritis-rasional. Kritis, baik terhadap norma-norma maupun terhadap
lembaga-lembaga dan pranata sosial yang memberlakukan norma-norma tersebut.

1.3. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ETIKA

1.3.1. Pengertian Etika Secara Etimologis


Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani, “ ethos”, yang berarti kebiasaan, adat
istiadat. Dalam bahasa Inggris dikenal “custom.” Kata Yunani ethos ini mempunyai sinonim
dalam bahasa Latin, yaitu “mos” (jamaknya mores). Dan mores berarti kebiasaan, adat
istiadat. Pengertian etimologis ini sudah menunjukkan bahwa refleksi filsafat, dalam hal ini
etika, tidak pernah mulai dari titik zero, tetapi dari apa yang sudah ada dalam masyarakat.

10
Etika bertolak dari situasi pra-refleksif, dari kebiasaan, yaitu tindakan-tindakan manusia yang
sudah terpola sehingga menjadi semacam norma bagi tingkah laku manusia yang hidup dalam
satu masyarakat. Kalau dalam refleksi nanti kita mengambil contoh satu tindakan konkret,
tindakan inipun mengandaikan seluruh jaringan kebiasaan dan adat istiadat yang
melingkunginya sehingga ia jadi bermakna.

Kebiasaan atau adat istiadat menjadi norma kelakuan dalam masyarakat tradisional. Hidup
masyarakat modern pun terikat pada banyak aturan yang menjadi norma tingkah laku
anggotanya. Kalau di atas kita mengatakan bahwa etika bersifat kritis, pertama-tama ia secara
kritis memeriksa segala norma yang ada dalam masyarakat. Etika menyelidiki apakah dasar
suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma
tersebut. Terhadap norma-norma yang de facto berlaku, etika mengajukan pertanyaan tentang
legitimasi rasionalnya. Norma yang tidak tahan terhadap ujian kritis ini harus ditolak.

Selanjutnya etika juga bersifat kritis terhadap setiap lembaga dan pranata sosial. Baik itu
orangtua, sekolah, negara maupun agama yang memberi perintah-perintah dan larangan-
larangan untuk ditaati. Etika tidak menolak adanya norma-norma ataupun pranata sosial.
Tetapi etika juga menuntut pertanggunganjawaban rasional, mengapa satu lembaga berhak
menentukan orang lain untuk bertindak: melakukan A dan tidak boleh melakukan B.

Karena etika bersifat kritis, dia bisa juga dianggap subversif terhadap kemapanan dalam
masyarakat. Sebab ia senantiasa mempertanyakan setiap situasi yang ada dalam masyarakat.
Dan masyarakat yang sedang terbuai dan tenggelam dalam situasi yang ada sering merasa
sangat terganggu. Hal ini sudah tampak dan dirasakan sejak munculnya gugatan Socrates di
zaman lampau di Athena, Yunani.

1.3.2. Beberapa Kemungkinan Definisi Etika


Ketika etika mulai dipelajari layaknya sebuah ilmu pengetahuan maka ketika itu juga muncul
pelbagai macam rumusan definisi tentang etika. Sebab itu, sebelum kita merumuskan sendiri
sebuah definisi etika maka terlebih dahulu kita memeriksa sejumlah definisi yang pernah
dirumuskan.

1.3.2.a. Ethics is the study of right and wrong. Etika adalah studi tentang yang benar dan
yang salah. Yang dimaksudkan di sini tentulah benar atau salah-nya tindakan manusia.
Definisi ini masih terlalu sempit karena terlalu legalistik. Sebab etika jadinya terjebak hanya
memerhatikan benar atau salahnya tindakan manusia menurut peraturan yang berlaku.
Padahal dalam etika dipersoalkan juga nilai baik buruknya tindakan manusia itu. Di samping
itu, etika membicarakan juga tujuan akhir yang dikejar manusia dalam segala tindakannya,
misalnya kebahagiaan, kebenaran, dan keadilan.

Dari segi legal pun definisi ini masih bisa dipersoalkan, seperti yang diperlihatkan dalam
contoh berikut ini. "Engkau wajib membayar utangmu!" "Tindakan ini benar." Kalimat
pertama menunjukkan kewajiban yang harus dilaksanakan menurut peraturan atau hukum
yang berlaku. Sedangkan kalimat kedua dari segi legal jauh lebih lemah. "Tindakan ini
benar", tetapi mungkin sekali saya tidak wajib melaksanakannya. Sebaliknya, moralitas
selalu berhubungan dengan kewajiban yang harus ditunaikan.

1.3.2.b. Ethics is the study of morals. Etika adalah suatu studi tentang pandangan moral dan
tindakan manusia yang merupakan konsekuensi dari pandangan tersebut. Definisi ini secara
tepat menunjukkan objek material etika. Tetapi, ia belum secara persis memberi pembatasan

11
pada objek formalnya. Sebab moralitas seseorang atau sekelompok manusia bisa juga
dipelajari oleh ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi maupun juga anthropologi. Bedanya ialah
bahwa antroplogi dan sosiologi bersifat empirik-deskriptif. Sedangkan etika tidak hanya
bersifat deskriptif, tetapi juga perskriptif atau normatif.

1.3.2.c. Ethics is not the study of what is, but of what ought to be. Etika bukanlah suatu studi
tentang apa yang ada, melainkan tentang apa yang wajib secara moral. Definisi ini secara
tegas membedakan apa yang dalam bahasa Jerman disebut 'das Sein dan das Sollen'. Tetapi
pembatasan ini bisa menyesatkan. Sebab, sebagaimana dikatakan di atas etika berurusan juga
dengan praksis, dengan tindakan manusia yang konkret. Dan dalam arti ini etika sungguh
berurusan dengan apa yang 'ada'.

1.3.3. Merumuskan Sebuah Definisi Etika


Eika adalah sebuah disiplin filsafat yang mempelajari tindakan manusia, dipandangn dari
segi kewajiban moral serta baik buruknya tindakan itu sehubunngan dengan
penyempurnaan diri manusia sebagai manusia.

Definsi ini langsung menyebut etika sebagai salah satu disiplin filsafat. Itu berarti etika
adalah satu penyelidikan ilmiah yang dilakukan secara metodis (tidak semrawut, tapi berjalan
secara teratur dengan mengikuti satu demi satu segala tahap yang telah direncanakan
sebelumnya), sitematis (tidak membatasi diri pada salah satu sisi saja, tapi menyoroti suatu
bidang sebagai keseluruhan, secara komprehensif), dan radikal (mencari sampai ke akar-
akarnya) dengan menggukan akal budi manusia. Objek studinya jelas, yakni tindakan
manusia. Dan penelitian atas tindakan manusia ini semata-mata dilakukan dengan
menggunakan akal budi manusia.

Dalam sejarah pemikiran, muncul aliran-aliran pemikiran yang secara tegas menolak etika
sebagai ilmu. Aliran positivisme, misalnya mengatakan bahwa ilmu hanya berurusan dengan
realitas yang sungguh ada, yaitu yang bisa diverifikasi secara empiris. Terhadap keberatan ini
kita mengemukakan dua pertimbangan berikut ini. Pertama, ilmu-ilmu positif menurut
metode kerjanya selalu mereduksikan realitas kepada objek dan mereduksikan objek menjadi
quantifiability. Metode ini absah dalam batas-batas yang ditentukannya. Dari satu pihak,
realitas jauh lebih luas dan kaya daripada apa yang ditangkap oleh ilmu-ilmu positif. Dari lain
pihak, tindakan manusia yang diselidiki oleh etika adalah realitas yang sungguh ada. Apalagi
pengalaman akan kewajiban moral dan nilai baik buruknya (perilaku dan) tindakan manusia
adalah pengalaman manusia yang real dan universal.

Kedua, tesis dasar positivisme bahwa "realitas yang benar ialah yang bisa diverifikasi secara
empiris", tidak pernah diverifikasi secara empiris. Maka positivisme benar, justru positivisme
salah. Dengan kata lain, positivisme mengandung kontradiksi intern.

Tindakan manusia atau praksis merupakan objek material penyelidikan etika. Tindakan
adalah suatu pengertian yang sangat kaya. Biasanya dalam kesadaran pra-refleksif kita semua
tahu apa itu sebuah tindakan. Tetapi kalau diperiksa secara telitimaka sulit sekali
merumuskanya atau membatasinya secara tepat. Contoh, apakah Perang Dunia II dapat
disebut satu tindakan manusia? Atau kita harus mempersempitnya menjadi unit yang lebih
kecil, misalnya pengeboman Pearl Harbour 7 Desember 1941? Ataukah kita harus
memperkecil kepada unit yang paling kecil, misalnya tindakan menembak seorang musuh?
Kalau kita membuat analisis struktural atas sebuah tindakan maka kita akan menemukan
unsur-unsur konstitutif atas sebuah tindakan manusia, yakni pelaku, tujuan, motif, keadaan

12
sekitar, dan akibat. Semua unsur ini bersama-sama membentuk satu jaringan makna yang
membedakan tindakan manusia dari peristiwa alam atau apa yang dibuat binatang.

Dalam bahasa Latin secara lebih teliti dibedakan "actus humanus" dari "actus hominis".
Actus humanus adalah tindakan yang sungguh disadari, yaitu tindakan yang berdasarkan akal
budi dan kehendak bebas. Sedang actus hominis adalah istilah yang dipakai untuk tindakan
manusia yang dilakukan secara refleks, tanpa disengaja, dan tanpa direncanakan, misalnya lari
bertabrakan ketika terjadi kebakaran.

Objek penelitian etika ialah actus humanus, yang sering diterjemahkan dengan tindakan
manusia. Terjemahan ini boleh dipakai, tetapi dalam kasus tertentu sulit dipakai. Karena itu
dalam definisi tadi kita menggunakan istilah tindakan manusia. Kesulitan yang dimaksudkan
akan tampak dalam contoh berikut ini. "Menolong sesama dalam penderitaan adalah tindakan
manusiawi". Pembantaian anak-anak dan para wanita diperkosa di Aceh, Ambon, Timtim,
Bosnia-Herzegovina adalah tindakan manusiawi atau tidak?". Pembunuhan itu adalah suatu
perbuatan tidak manusiawi dalam arti menentang perikemanusiaan. Tetapi perbuatan itu
adalah sebuah tindakan yang direncanakan secara sengaja untuk melenyapkan satu kelompok
etnis. Sebagai perbuatan yang direncanakan secara sengaja tindakan itu harus disebut "actus
humanus". Sedangkan dalam bahasa Indonesia kita tidak bisa menerjemahkannya dengan
tindakan manusiawi.

Dipandang dari segi kewajiban moral. Bagian dari definisi ini merupakan aspek khusus
yang membedakan etika dari sosiologi dan antropologi budaya. Seperti sudah dikatakan di
atas, sosiologi dan antropologi bersifat empiris-deskriptif, sedangkan etika tidak hanya
deskriptif tapi juga preskriptif, artinya mewajibkan manusia mengikuti norma-norma moral.

Kalau kita memeriksa pelbagai macam peraturan dan norma yang mengatur tingkah laku
anggota masyarakat maka kita bisa membedakan tiga macam aturan umum yang memberikan
kewajiban kepada manusia sebagai anggota masyarakat. Pertama, norma sopan santun
(etiket). Norma ini merupakan aturan dalam pergaulan antarmanusia berdasarkan konvensi
semata-mata dan karena itu gampang diubah. Aturan ini biasanya beralaku dalam masyarakat
tertentu saja bukan untuk semua manusia. Misalnya orang Cina makan dengan sumpit, orang
Indonesia makan dengan sendok. Kalau kebetulan dalam pesta orang Indonesia, seorang tamu
dari Hongkong diundang dan waktu itu dia makan dengan sumpit, kita tidak menganggapnya
sebagai manusia yang jelek atau jahat. Kita hanya merasakan perbedaan. Kedua, norma
moral. Norma ini mewajibkan manusia secara niscaya. Norma ini pada prinsipnya berlaku
untuk semua manusia. Entah dia orang Cina atau Jepang kita tidak akan setuju kalau dia
membohongi kita atau mencuri barang milik kita . Itu berarti bahwa peraturan bahwa "orang
harus berbicara jujur" dan bahwa "milik orang harus dihormati" merupakan norma moral
yang berlaku untuk semua manusia tanpa perkecualian.

Ketiga, norma hukum. Norma inipun perlu dibedakan dari norma moral. Mengapa? Ada
beberapa alasan. Pertama, tidak semua norma hukum sekaligus mengikat secara moral dan
tidak semua norma moral dijadikan norma hukum. Norma hukum adalah norma yang
pelaksanaannya dituntut dan pelanggarannya ditindak oleh penguasa yang sah dalam
masyarakat. Norma hukum biasanya berdasarkan perundang-undangan kecuali hukum adat.
Norma moral dari sendirinya belum tentu dapat dituntut pelaksanaannya. Misalnya, seorang
miskin yang kelaparan datang minta bantuan saya. Atau ditindak pelanggarannya. Misalnya,
menertawakan anak cacat, tidak menolong orang yang mati kelaparan padahal saya
mempunyai makanan berlebihan. Kedua, norma hukum mempunyai batas waktu dan tempat.

13
Batas waktu yang maksud di sini adalah bahwa hukum dimulai ketika ia disahkan dan
berakhir ketika hukum itu dicabut kembali oleh penguasa yang sah. Batasan tempat berarti
hukum hanya berlaku dalam wilayah di mana wewenang penguasa yang mewajibkannya
diakui. Misalnya, dalam batas satu negara atau regional. Norma moral berlaku sebaliknya.
Pada prinsipnya ia berlaku secara universal, untuk semua manusia di manapun tanpa batas
waktu dan tempat. Mengenai ciri khas norma moral akan dibicarakan secara lebih rinci dalam
bagian berikutnya.

Baik buruknya (perilaku dan) tindakan manusia. Penilaian baik buruknya (perilaku dan)
tindakan manusia ini tidak terbatas hanya pada satu bidang kehidupan yang tertentu saja, tapi
juga menyangkut seluruh pribadi manusia. Seseorang bisa sangat jelek dalam olahraga, tetapi
kita tidak lantas mencapnya sebagai orang jahat. Sebaliknya, seorang atlet yang baik tidak
dengan sendirinya kita menilai sebagai orang yang baik. Contohnya: Mike Tyson. Dia seorang
petinju kenamaan, dengan mengalahkan beberapa petinju legendaris lainnya dan dengan itu
menaikan karier dan pamornya di dunia tinju. Sebaliknya, dalam perilaku lain ia bertindak
sewenang-wenang kepada wanita yang menurut pengakuan kita sebagai kaum lemah. Tetapi,
kehadiran wanita itu, Mike Tyson menjadikannya sebagai sasaran pelampiasan nafsunya.

Dalam hubungan dengan ".......baik-buruknya tindakan manusia" sebagai rangkaian definisi


etika di atas, para filsuf analitis tidak sependapat. Mereka tidak mau menyebut baik atau
buruk untuk tindakan manusia. Mereka hanya menggunakan kata-kata benar atau salah.
Maksudnya, tindakan manusia itu salah atau benar menurut norma moral. Sedangkan yang
baik atau buruk itu orangnya atau maksudnya atau motifnya. Hal inipun diikuti dan diakui
penggunaan yang sama juga oleh Frans Magnis Suseno (1987). Tetapi, kita juga harus ingat
bahwa dalam analisis kaum strukturalis dikatakan bahwa sebuah tindakan konkret itu
langsung melibatkan pelaku, tujuan, motif serta akibatnya. Karena itu, penggunaan kata baik
buruk juga untuk tindakan manusia dalam hubungan definisi etika di atas merupakan suatu
ketepatan dalam konteks ini.

Sehubungan dengan penyempurnaan diri manusia sebagai manusia. Penyempurnaan diri


manusia merupakan kriteria terakhir kewajiban moral serta baik buruknya tindakan itu.
Muncul pertanyaan, apa arti penyempurnaan diri manusia? Dalam hal ini kita perlu melihat
dan memahami filsafat manusia atau antropologi metafisik. Kendatipun kita tidak pernah
mempelajari antropologi metafisik secara khusus, lewat ilmu-ilmu yang lain, seperti
antropologi budaya, ilmu budaya dasar, sosiologi, dan psikologi, kita bisa memahami siapa
itu manusia. Dan dari semua ilmu itu kita menerima bahwa manusia itu adalah makhluk
multi-dimensional. Pertama, manusia sebagai substansi. Itu berarti manusia itu tertentu,
kesatuan yang utuh, otonom. Kedua, manusia sebagai subjek. Itu artinya mempunyai
pengertian, kehendak, rasa, dan sanggup melaksanakan diri. Di samping itu, kita juga
mengetahui manusia itu sebagai makhluk unik dan sosial, menyejarah, dan memiliki jiwa-
badan sebagai satu kesatuan. Karena itu, penyempurnaan diri seperti yang dimaksud dalam
definisi etika di atas adalah menyangkut semua dimensi itu. Tetapi dalam etika itu semuanya
harus dilihat dan dinilai dalam konteksnya yang konkret berhubungan dengan tindakan
manusia yang real. Kemudian kita akan menyelidiki secara lebih tepat apa isi dan wujud
penyempurnaan diri manusia itu.

1.3.4. Metode Etika

14
1.3.4.a. Metode Umum
Secara paling umum kita mengenal dua metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Pertama, Metode deduksi. Metode ini bertolak dari prinsip-prinsip, postulat-postulat atau
aksioma-aksioma dan bergerak kepada penerapannya, atau kepada pertanyaan yang lebih
konkret dan rinci. Kedua, Metode Induksi. Metode ini bertolak dari fakta yang konkret dan
partikular kepada kesimpulan yang lebih umum dan abstrak, dari yang individual kepada yang
universal. Secara garis besar langkah-langkah induksi seperti berikut ini: Pertama,
Pengamatan dan pengumpulan data secara teliti. Data-data itu dibandingkan dan
diklasifikasikan menurut sistem tertentu. Kedua, membuat hipotesis dan memverifikasi atau
menguji kebenaran hipotesis tersebut. (Hypo = di bawah dan Thesis). Ketiga, membuat
eksperimen untuk memverifikasi atau memfalsifikasi hipotesis tersebut. Keempat,
merumuskan hukum yang bisa menjelaskan data-data yang dikumpulkan. Kelima, menyusun
teori global yang bisa merangkum hukum-hukum yang berlaku dalam satu bidang.

Dari dua metode yang kita sebuntukan di atas mengundang kita bertanya: Apakah etika
menggunakan metode deduktif atau induktif? Dari satu pihak, sebagai disiplin filsafat yang
meneliti praksis atau tindakan manusia, mau tidak mau etika harus menggunakan metode
induktif. Sebab kalau tidak maka ia akan terlepas dari situasi manusia yang konkret. Dari lain
pihak, sebagai disiplin normatif artinya yang berbicara tentang norma-norma moral etika
menggunakan metode deduktif. Mau tidak mau etika dengan motode ini bertolak dari prinsip-
prinsip moral dan mengaplikasikannya dalam situasi konkret. Dengan demikian, kita melihat
bahwa etika menggabungkan kedua pendekatan itu. Dan hal ini merupakan klaim filsafat
ilmu pengetahuan dewasa ini, yang mengakui bahwa tidak ada satu ilmupun secara eksklusif
menggunakan satu metode saja.

1.3.4.b. Metode Khusus

1.3.4.b.1. Metode Fenomenologis


Fenomenologi berusaha mendeskripsikan arti sesuatu sebagaimana ia muncul dalam
kesadaran. Menurut Husserl, kesadaran manusia bersifat intensional. Maka deskripsi
fenomenologi sekaligus memerhatikan aspek objektif dan subjektif pengalaman manusia.
Metode ini dipakai dalam membahas fenomen kesadaran moral pada bagian kedua traktat ini.

Secara singkat ketiga tahap reduksi fenomenologi sebagai berikut; Pertama, mengurungkan
soal ada tidaknya sesuatu yang menampakan diri, pendapat-pendapat orang; hanya
memerhatikan fenomen, yaitu bagaimana sesuatu itu tampak dalam kesadaranku. Kedua,
reduksi eidetis (eidos = waktu), mengurungkan semua aspek aksidental yang tidak perlu
sehingga yang tinggal hanya apa yang paling hakiki, yang universal, yang mengatasi ruang
dan waktu. Ketiga, reduksi transendental, yaitu dari eidos kepada aku transendental. Yang
paling kita perlukan dalam deskripsi kesadaran moral adalah reduksi eidetis.

1.3.4.b.2. Metode Kritis


Metode ini kerapkali dipakai ketika membicarakan norma-norma moral. Metode kritis
menyelidiki paham-paham filsafat moral. Meneliti sistem-sistem dan teori-teori yang sudah
ada. Yang diteliti ialah asumsi dasarnya, entah bisa diterima atau tidak. Juga diteliti
konsistensi dan koherensi teori-teori atau sistem moral. Konsistensi di sini berarti sesuai
dengan azas-azas atau prinsip-prinsip yang dianut. Koherensi artinya persesuaian atau
keselarasan satu bagian dengan yang lain sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh.
Kalau ternyata satu teori tidak konsisten atau tidak koheren maka perlu dicari tahu dimana

15
letak kesalahannya: entah dalam kesalahan berargumentasi, ataukah karena konsep-
konsepnya bersifat kontradiktoris. Kita, misalnya akan memeriksa sistem-sistem moral,
seperti hedonisme, utilitarisme, eudaimonisme, deontologisme, dan teleologi.

1.3.4.b.3. Metode Metaetis


Metode ini merupakan aplikasi analisis bahasa dalam bidang etika. Metode ini hadir dengan
maksud supaya pengertian-pengertian moral dapat diungkapkan dalam bahasa yang tepat dan
jelas. Metode ini mau membersihkan bahasa moral dari kerancuan dan kekaburan arti.

1.3.5. Pembagian Etika


Etika terbagi atas dua bagian besar, yaitu etika dasar atau etika umum dan etika khusus atau
etika terapan. Etika dasar membahas masalah-masalah pokok filsafat moral, seperti kesadaran
moral dan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia. Etika khusus
membahas bagaimana prinsip-prinsip dasar moral itu diaplikasikan dalam pelbagai bidang
kehidupan. Etika khusus dibagi lagi atas: etika individual, etika sosial, dan etika lingkungan.
Etika individual mempersoalkan kewajiban moral manusia sebagai individu terhadap dirinya
sendiri. Etika sosial membahas kewajiban moral manusia terhadap sesamanya. Perlu diingat
bahwa etika individual tidak pernah bisa dipisahkan dari etika sosial, karena manusia itu
serentak makhluk individual dan sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual
karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia adalah
makhluk sosial, yaitu yang niscaya berhubungan dengan orang lain dalam masyarakat.

Etika sosial dewasa ini terbagi lagi dalam bidang khusus seperti etika keluarga, sikap terhadap
sesama, etika politik, kritik ideologi, dan etika profesi. Dalam etika profesi terdapat sejumlah
diskusi menyangkut keahlian seorang profesional dengan segala macam persoalan etis yang
muncul oleh pelaksanakan dan pewujudan profesionalisme seseorang. Termasuk dalam hal ini
adalah etika biomedis (dokter, perawat bidan), etika bisnis, etika penegak hukum, etika
kebijakan publik, dan etika sains. Khusus menyangkut etika lingkungan hidup, awal
munculnya merupakan bagian dari etika sosial, namun belakangan etika lingkungan menjadi
independen dan menjadi bagian dari etika terapan, karena langsung berbicara tentang
bagaimana sikap manusia terhadap lingkungan, dimana manusia merupakan salah satu
anggota sebuah ekosistem.

1.3.6. Tujuan Mempelajari Etika


Sejumlah persoalan yang muncul pada skala global dan lokal tersebut di atas yang
ditimbulkan oleh pergeseran paradigma kebudayaan dan aliran pemikiran filsafati
menyangkut manusia dan munculnya berbagai paham dan nilai dalam etika itu sendiri
mengharuskan kita dihadapkan pada berbagai pillihan akan nilai-nilai yang muncul. Maka
supaya tidak bingung kita perlu mempelajari etika atau filsafat moral. Secara singkat kita
menyebuntukan tiga tujuan kuliah etika berikut ini. Pertama, adanya pluralitas masyarakat
dan sangat mungkin pluralitas kehidupan moral , dimana semuanya mengajukan klaim
terhadap kita. Hal ini memungkinkan kita seolah berada dalam suatu persimpangan. Karena
itu, kuliah ini memberikan kita pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral.
Kedua, dengan adanya gelombang modernisasi dan postmodernisasi, kita seolah-olah hidup
dalam masa yang menuntut kita untuk melakukan transformasi dihampir semua bidang
kehidupan kita. Dan supaya transformasi dari kehidupan budaya yang tradisional tidak
kehilangan arah, etika membantu kita memberi orientasi. Ketiga, dengan arus globalisasi
yang hampir menggerogoti semua lini kehidupan kita, membuat kita kehilangan arah, karena
itu etika memberikan sikap kritis dan objektif terhadap arus globalisasi tersebut.

16
1.3.7. Perbedaan Etika dengan Moral, Agama, Etiket
Dalam hidup sehari-hari tak jarang kita menemukan tidak sedikit pembicaraan yang
mencampuradukan makna etika dengan moral, etika dengan etiket, etika dan ajaran agama.
Walau itu semuanya membicarakan tindakan, perilaku manusia namun masing-masingnya
memberikan penekanan dan perhatian pada aspek yang berbeda dari tindakan manusia dengan
cara yang berbeda pula. Maka untuk jelasnya, kita perlu membedakan apa yang dimaksud
etika, moral, etikat dan agama, agar dalam penggunaannya tidak terjadi kerancuan.

Etika dan Moral. Moral mengajarkan bagaimana seharusnya manusia itu hidup. Ia memberi
petunjuk dan pedoman hidup. Sedangkan etika berhubungan dengan pengertian,
pemahaman. Ia memberi sikap kritis, dan bahkan menggugat segala norma yang sudah
mapan.

Etika dan Agama. Bidang moral agama merupakan hasil interpretasi terhadap perintah atau
hukum yang termuat dalam wahyu Tuhan. Di samping itu, masalah-masalah moral yang baru
yang tidak langsung dibahas dalam wahyu, dapat dipecahkan sesuai dengan semangat
agama. Sebaliknya, etika merupakan usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya
pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi orang
baik.

Etika dan Etiket. Keduanya memiliki persamaan, yakni menyangkut dan mengantur perilaku
manusia secara normatif, ia memberikan norma norma bagi perilaku manusia dan dengan
menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Karena memiliki sifat
normatif maka sering keduanya dicampuradukan. Perbedaan antara etika dan etiket: Pertama,
etiket menunjuk cara yang tepat yang diharapkan dan ditentukan dalam kalangan tertentu,
sedangkan etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan. Kedua, etiket hanya
berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau saksi mata, etiket tidak berlaku,
sedangkan etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Ketiga, etiket bersifat relatif.
Artinya yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan bisa saja dianggap sopan pada
kebudayaan lain, sedangkan etika bersifat absolud. Artinya kemutlakan prinsip-prinsip etis
tidak bisa ditawar. Keempat, etiket hanya memandang manusia dari luar, segi lahiriah,
sedangkan etika menyangkut manusia dari segi dalam. Orang yang bersikap etis adalah orang-
orang yang sungguh-sungguh baik.

BAB II
KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB

17
Belakangan orang senantiasa menuntut kebebasan, sampai kadang-kadang lupa apa yang
menjadi kewajiban atau tanggung jawabnya sendiri. Padahal apa yang disebut kebebasan itu,
di dalamnya terdapat apa yang disebut kewajiban atau tanggung jawab moral. Karena itu,
menjadi urgen bila kita harus membicarakan kebebasan yang tentunya dalam hubungan
dengan persoalan etis. Maka, sebenarnya berbicara tentang kebebasan mengandaikan adanya
kewajiban, atau sebaliknya berbicara tentang kewajiban moral dengan sendirinya kita pun
ingat akan kebebasan. Di sinilah persoalah etis kadang terabaikan.

Pada binatang, tidak ada kewajiban moral, sebab tidak ada kebebasan. Binatang berbuat
menurut dorongan nalurinya. Pada manusia, kita menemukan kenyataan bahwa kewajiban
moral itu memerintahkan saya secara mutlak, tetapi saya tetap bisa melaksanakan atau
mengingkarinya. Dengan kata lain, saya tetap bebas dalam memenuhi kewajiban moral.
Secara lebih tegas kita harus mengatakan bahwa sebuah kewajiban menjadi kewajiban moral
justru karena saya bebas untuk melaksanakannya atau tidak. Tetapi apakah kebebasan itu?

2.1. Kebebasan
Secara negatif, kita bisa mengatakan bahwa kebebasan berarti tidak adanya paksaan ataupun
tekanan yang secara senggaja mendesak seseorang untuk bertindak melawan kehendaknya
sendiri. Secara positif, kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya
sendiri. Dari penjelasan awal ini sudah menunjukkan dua aspek kebebasan yaitu bebas dari
(freedom from) dan bebas untuk (freedom for). Sehubungan dengan ini dibedakan dua macam
kebebasan, yaitu kebebasan individual dan kebebasan sosial.

2.1.1. Kebebasan Individual


Kebebasan individual adalah kemampuan setiap manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
Secara konkret kita melihat bahwa manusia selalu dibatasi oleh pelbagai faktor, entah itu
kondisi alam dan sosial. Biarpun demikian kita mengalami bahwa di tengah setiap situasi
konkret yang terberi kita sanggup menentukan diri. Kemampuan ini bersumber pada pikiran
dan kehendak, dan terwujud dalam tindakan. (actus humanus). Kebebasan individual ini lebih
lanjut bisa dirinci menjadi kebebasan jasmani dan rohani.

2.1.1.a. Kebebasan Jasmani


Kebebasan jasmani (fisik) adalah kemampuan manusia untuk bergerak dan melakukan
sesuatu secara fisik. Ia sanggup menggerakan anggota badannya sesuai dengan kemauannya,
tentu saja dalam batas-batas kodratnya sebagai manusia. Kebebasan jasmani ini
dikekang/diperkosa oleh paksaan (fisik) yang sengaja. Paksaan itu membuat seseorang
bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, tangan yang diborgol
dan dia diseret ke penjara. Paksaan berarti orang lain menggunakan kekuatan fisik yang lebih
besar untuk menaklukan seseorang.

2.1.1.b. Kebebasan Rohani


Yang dimaksud dengan kebebasan rohani adalah kemampuan untuk menentukan apa yang
kita pikirkan dan kehendaki. Kebebasan rohani ini secara langsung tidak dapat dibelenggu
oleh paksaan fisik. Orang tidak dapat memaksa apa yang harus saya pikirkan; begitu juga
orang tidak dapat memaksa saya untuk mencintainya. Pikiran dan kehendak adalah wilayah
rohani dimana setiap orang menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Akan tetapi, secara tidak langsung kebebasan rohani ini dapat dipengaruhi dari luar, malahan
dikacaukan dan dirusakan. Misalnya, dengan memberikan informasi-informasi politik yang

18
tidak benar, brainwash, sugesti, hipnosis, obat bius, narkotika, kesadaran seseorang dirusakan
dan dengan demikian juga kebebasan rohaninya.

2.1.1.c. Hubungan Kebebasan Jasmani dan Rohani


Kebebasan rohani dan jasmani dibedakan, tetapi sama sekali tidak dapat dipisahkan.
Kebebasan jasmani sebenarnya bersumber pada kebebasan rohani, yaitu pada kemampuan
kita untuk berpikir dan berkehendak. Sebaliknya, pikiran dan kehendak manusia menjelma
dan menjadi nyata dalam tindakan kita. Seseorang yang mengatakan bahwa dia menghendaki
sesuatu tetapi tidak berikhtiar untuk melakukannya sebenarnya tidak sungguh-sungguh
berkehendak tapi hanya mempunyai keinginan. Kehendak yang sejati menjelma dalam
perbuatan. Dengan kata lain, Kebebasan rohani terjelma dalam kebebasan jasmani, sedangkan
kebebasan jasmani bersumber dalam kebebasan rohani.

2.1.2.Kebebasan Sosial
Manusia itu sekaligus individu dan makhluk sosial. Demikian juga kebebasan individul tidak
pernah kita hayati dalam suatu ruang kosong, melainkan dalam hubungan dengan sesama
dalam suatu masyarakat. Maka yang disebut kebebasan sosial adalah keadaaan dimana
kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasai dengan sengaja oleh orang lain. Atau secara
positif: keadaan dimana orang-orang lain memungkinkan saya untuk menentukan diri sendiri.
Kebebasan sosial ini dibedakan dalam tiga macam:

2.1.2.a. Kebebasan Sosial dilihat dari aspek jasmani: keadaan dimana seseorang tidak
mengalamai paksaan fisik dari orang untuk bertindak dan menentukan diri sendiri di tengah
masyarakat.

2.1.2.b. Kebebasan Sosial dipandang dari aspek rohani: keadaan dimana seseorang tidak
mengalami tekanan psikis dari orang lain, yang secara tidak langsung dapat mengganggu atau
merusak pikiran dan kehendak orang itu.

2.1.2.c. Kebebasan Normatif: keadaan dimana seseorang tidak terikat oleh kewajiban sosial
atau larangan yang ditetapkan oleh masyarakat. Suatu masyarakat dapat hidup dan bertahan
melalui sejumlah ketetapan yang mengatur hidup masyarakat tersebut, baik berupa pewajiban
maupun larangan. Tetapi, semua penetapan itu haruslah dibuat demi kepentingan seluruh
masyarakat serta anggota-anggotanya. Dan karena itu setiap pewajiban dan larangan harus
dipertanggung jawabkan secara terbuka kepada anggota masyarakat. Setiap anggota
masyarakat niscaya terikat oleh aturan tertentu. Sehubungan dengan ini, kebebasan normatif
adalah kebebasan sosial yang dimiliki seseorang sejauh ia tidak terikat oleh pewajiban
ataupun larangan.

2.1.3. Hubungan antara Kebebasan Sosial dan Kebebasan Individual


Dari penjelasan sejauh ini kita melihat bahwa kebebasan soal lebih banyak dirumuskan secara
negatif, yaitu "bebas dari" paksaan dan tekanan, serta bebas dari pewajiban dan larangan.
Kebebasan sosial merupakan lingkup hidup yang masih kosong yang harus diisi dengan
sesuatu yang positif. Yang mengisinya ialah kebebasan individual, yaitu kemampuan manusia
untuk menentukan dirinya sendiri.

2.1.3.a. Menentukan Batas Kebebasan

19
Manusia itu sekaligus makhluk individu dan makhluk sosial. Perwujudan dari pribadi hanya
bisa dilaksanakan dalam hubungan dengan orang lain. Itu berarti bahwa manusia harus hidup
bersama dengan manusia-manusia yang lain dalam ruang dan waktu yang sama, dengan
menggunakan sumber alam yang terbatas sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhannya. Hal
itu berarti bahwa, di satu pihak kita saling membutuhkan dan di lain pihak kita bersaing satu
dengan yang lain. Hak dan kebutuhan saya sebagai individu dibatasi oleh hak dan
kepentingan orang lain dalam masyarakat. Kebebasan sosial saya niscaya terbatas. Hal ini
jelas dengan sendirinya. Yang menjadi pertanyaan: Sejauh mana dan dengan cara apa
kebebasan sosial saya dibatasi?

2.1.3.a.1. Legitimasi Pembatasan Kebebasan Sosial


Kebebasan sosial yang saya miliki mempunyai batas sejauh ada orang lain dengan hak-hak
yang sama dan sejauh ada kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Dengan demikian
kita melihat ada dua alasan pokok yang membatasi kebebasan sosial seseorang. Pertama, hak
setiap manusia atas kebebasan yang sama. Keadilan menuntut bahwa apa yang saya tuntut
bagi diri saya sendiri, pada prinsipnya harus saya akui sebagai hak orang lain. Oleh karena itu
hak saya atas kebebasan menemui batasnya pada hak orang lain yang sama luasnya. Kedua,
yang membatasi kebebasan pribadi saya ialah kepentingan masyarakat sebagai satu
keseluruhan. Saya sebagai pribadi membutuhkan orang lain, dan membutuhkan pranata-
pranata sosial yang menolong saya untuk berkembang (seperti sistem pendidikan, ekonomi,
lalulintas, pelayanan pos, persekutuan agama, kelompok kesenian, dan olahraga). Demi
kepentingan bersama ini masyarakat berhak membatasi kewenangan saya, baik dengan
melarang saya mengambil tindakan yang dinilai merugikan kepentingan bersama, maupun
dengan meletakan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus saya penuhi sebagai anggota
masyarakat (misalnya membayar pajak).

Perlu digarisbawahi bahwa pembatasan kebebasan pribadi ini hanya boleh sejauh untuk
mencapai kepentingan bersama. Dan pembatasan ini harus dipertanggungjawabkan secara
terbuka. Suatu pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan harus ditolak.

2.1.3.a.2.Cara Pembatasan Kebebasan:


Kebebasan seseorang dapat dibatasi melalui tiga cara:
Pertama, melalui paksaan fisik: Misalnya tangan saya diborgol dan diseret ke penjara. Kedua,
melalui tekanan psikis, dimana pikiran dan kehendak seseorang dimanipulasi atau dirusakkan
sama sekali. Ketiga, melalui pewajiban dan larangan. Sebagai anggota masyarakat orang
diberi kewajiban atau dikenai larangan tertentu demi kepentingan bersama. Cara ketiga ini
disebut juga cara normatif. Inilah cara pembatasan yang paling wajar dan paling manusiawi.
Mengapa? Kalau paksaan fisik dan tekanan psikis, (cara pertama dan kedua) mengurangi atau
malahan menghilangkan kemampuan saya untuk menentukan diri maka cara ketiga melalui
pewajiban dan larangan tidak menghilangkan kemampuan saya untuk menentukan diri.
Biarpun ada aturan saya tetap bebas untuk mentaatinya atau melanggar aturan tersebut.
Dengan kata lain, kemampuan menentukan diri tetap utuh. Kebebasan saya tetap dihormati.

Kita mengatakan bahwa cara pembatasan yang paling manusiawi ialah cara normatif, melalui
pewajiban dan pelarangan. Tetapi apa yang harus dilakukan kalau seorang anggota
masyarakat tidak mau tahu dan tidak peduli akan pewajiban dan larangan tersebut?
Kemungkinan pelanggaran aturan umum inilah yang melahirkan paham hukum. Hukum
adalah sistem peraturan kelakuan bagi masyarakat yang bersifat normatif, tetapi dengan
ancaman tambahan bahwa siapa yang tidak mentaatinya, akan ditindak.

20
Tindakan macam apakah yang bisa diambil sebagai sanksi? Jawabannya adalah sanksi fisik.
Tindakan fisik tidak dimaksudkan untuk memerkosa otonomi seseorang, tapi hanya untuk
mencegah dia merugikan kepentingan umum. Yang tidak pernah boleh dibenarkan adalah
sanksi melalui manipulasi psikis, yang merusakkan pikiran dan kehendak orang. Secara
moral, sanksi psikis harus dinilai jahat sebab ia merusak kepribadian orang dari dalam.

2.2. Tanggung Jawab

2.2.1. Pengertian Tanggung Jawab


Dalam hubungan dengan tanggung jawab ini terkandung pengertian adanya orang
bertanggungjawab atas sesuatu yang disebabkannya. Sebaliknya orang yang tidak menjadi
penyebab dari suatu akibat tidak bertanggungjawab. Tetapi adanya sarana yang digunakan
yang melahirkan akibat tertentu harus bertanggung jawab, dalam hal ini bisa penyebab itu
yang memilikinya, bisa juga orang lain (yang bukan penyebab itu sendiri). Orang yang hanya
menjadi pemilik barang penyebab terjadi sesuatu itu disebut sebagai penyebab bebas.
Penyebab bebas ini memang tidak langsung bertanggungjawab tetapi secara moral ia harus
bertanggungjawab juga. Sebab dialah pemilik dari barang (sarana) mengakibatkan terjadinya
suatu peristiswa tertentu itu. Misalnya, kecelakaan sepeda motor. Bambang meminjamkan
sepeda motornya kepada Simon, karena ia hendak mengunjungi “gebetan baru”-nya. Dalam
perjalanan menuju rumah gebetan barunya itu, Simon menabrak seorang anak TK yang
sedang menyeberang jalan. Dalam kasus tersebut, Simonlah yang menyebabkan terjadinya
tabrakan itu, sebab dialah yang mengendarai sepeda motor. Jadi, ia terlibat langsung dalam
peristiwa tersebut. Sedangkan Bambang adalah penyebab bebas atau tidak langsung, karena ia
hanya pemilik sarana (sepeda motor) yang dikendarai Simon itu. Dari kasus di atas, kita bisa
mengatakan bahwa Simon harus bertanggungjawab secara hukum dan moral, sedangkan
Bambang hanya bisa bertanggungjawab secara moral saja.

2.2.2. Macam-macam Tanggung Jawab


Dalam hubungan dengan aspek hati nurani sebagai pusat otonomi manusia maka manusia
dengan itu memiliki kebebasan. Dengan kebebasan ini manusia bisa berkreasi, berpikir dan
bertindak. Kreasi manusia melahirkan hasil yang bisa membahagiakan, bisa juga merugikan,
baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dari sinilah lahir paham tanggung jawab.

Ada dua macam tanggung jawab, yakni tanggung jawab retrospektif dan tanggungjawab
prospektif.

2.2.2.a. Retrospektif
Tanggung jawab retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung
dan segala konsekuensi atau akibatnya. Misalnya, seorang apoteker memberi obat yang salah
karena kurang teliti membaca resep dokter maka ia bertanggungjawab. Kalau kemudian
ketahuan, ia harus memerbaiki perbuatan itu dengan memberi obat yang betul. Kekeliruan itu
membawa akibat negatif maka sang apoteker itu harus memberi ganti rugi.

2.2.2.b. Prospektif
Tanggung jawab prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang. Itu
berarti sebelum perbuatan dilakukan, pelaku yang bersangkutan tentu sudah
bertanggungjawab (dalam arti prospektif sebab biasanya tanggung jawab itu baru dirasakan
betul-betul bila kita berhadapan dengan risiko, dampak dari perbuatan itu). Hanya saat itu
tanggung jawabnya masih terpendam dalam hatinya dan belum berhadapan dengan orang lain.

21
Selain tanggung jawab retrospektif dan tanggung jawab prospetik, ada juga tanggung jawab
yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hal ini bisa tampak pada contoh kasus kecelakaan
sepeda motor pada bagian pengertian tanggung jawab di atas.

2.3. Hubungan antara Kebebasan dan Tanggung Jawab

2.3.1. Kebebasan Eksistensial dan Tanggung jawab


Kebebasan sosial menyiapkan ruang lingkup, tetapi ruang itu hanya bisa diisi oleh kebebasan
individual, yaitu kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan
individual secara konkret dinyatakan dalam tindakan yang disadari, yaitu yang berdasarkan
pada akal budi, kehendak, dan rasa manusiawi (rasa syukur, rasa cinta). Dalam pembicaraan
para ahli diakui bahwa manusia sebagai subjek ditentukan oleh empat faktor yaitu, pikiran,
kehendak, rasa, dan pelaksanaan diri. Pikiran, kehendak, dan rasa itu menjadi nyata dalam
tindakan (yang dilaksanakan). Setiap hari kita melaksanakan macam-macam tindakan: belajar,
berdoa, kerja kantor, menyiangi sawah ladang, membangun rumah rakyat, membantu
organisasi sosial, dsb. Dengan atau melalui pelaksanaan pelbagai kegiatan itu, saya
sesungguhnya melaksanakan diri saya sendiri. Dengan itu juga saya secara real mewujudkan
kemerdekaan atau kebebasan individual, yaitu kemampuan untuk menentukan diri sendiri.

Sehubungan dengan pelaksanaan diri ini, timbul pertanyaa: bagaimana hubungan antara
kebebasan dan tanggung jawab?

a. Semakin bertanggung jawab semakin bebas


Dalam proses perkembangan pribadi biasanya seorang remaja memberontak terhadap
peraturan-peraturan yang sudah mapan, yang dianggap membelenggu kebebasan pribadi.
Pemberontakan ini dapat ditafsirkan sebagai tahap kritis, atau tahap peralihan ke arah
penentuan diri sebenarnya. Tetapi remaja itu harus dibimbing untuk menyadari bahwa
kebebasan sejati bukan terletak dalam sikap sewenang-wenang melainkan dalam tanggung
jawab moral. Memang kewajiban moral acapkali dirasakan sebagai beban yang menekan,
yang tidak sesuai dengan. keinginan pribadi. Tetapi justru. dengan melaksanaannya kita
menjadi bebas. Mengapa? Karena kewajiban moral tidak bersifat buta melainkan rasional.
Bertindak (melakukan) kewajiban moral berarti bertindak menurut tuntutan akal budi dan
suara batin yaitu kemampuan paling pribadi untuk menentukan diri sendiri. Bukankah
penentuan diri itu kemerdekaan? Apalagi nilai moral yang diwujudkan dalam memenuhi
kewajiban adalah nilai yang menyempurnakan persona humana dalam keutuhannya. Kita
dapat menyimpulkan; Semakin seorang bertanggung jawab semakin ia bebas; dalam arti
semakin mampu menentukan diri dengan akal budi dan kehendak ke arah kesempurnaan.
Kebebasan sejati ini pada tingkat afektif dirasakan sebagai kegembiraan dan rasa bahagia
yang mendalam

b. Semakin tidak bertanggung jawab semakin lemah dan terbelenggu


Untuk menjelaskan hal itu kita mulai dengan pertanyaan: Apa artinya menolak
bertanggungjawab atau tidak bertanggungjawab? Menolak bertanggungjawab berarti tahu
dan sadar apa yang seharusnya dibuat, sadar bahwa hal itu baik dan bahwa dia mampu
melakukannya, tetapi ia tidak mau melakukannya. Mengapa ia tidak mau melakukannya?
Tentu karena melakukan tanggung jawab itu terasa terlalu berat: mungkin karena ia malas,
ada hobi lain yang lebih menarik, ia tidak mau susah-susah karena takut bahaya, atau karena
tergoda hal lain yang lebih menguntungkan, karena nafsu untuk mencari kesenangan, dsb.
Dengan kata lain, orang yang tidak bertanggung jawab sebenarnya tidak mau dituntun oleh
akal budi dan kehendak serta suara batinnya, dan membiarkan diri dikuasai oleh faktor-faktor

22
lain yang menguasai dia dari luar ataupun dibelenggu dari dalam oleh nafsunya sendiri.
Apalagi mengabaikan kewajiban moral berarti merendahkan martabat pribadi itu sendiri.
Singkatnya; orang yang tidak bertanggungjawab menjadi kurang bebas karena ia tidak
menentukan dirinya sendiri dengan akal budi dan kehendak bebas, ia tidak dituntun oleh hati
nurani, tapi dibelenggu oleh faktor-faktor lain, entah faktor internal ataupun faktor eksternal.

Contoh: Pertama, penjudi. Mula-mula ia berjudi kecil-kecilan sebagai hobi atau kesenangan.
Lama kelamaan dia kehilangan seluruh harta benda dan keluarganya hancur berantakan.
Kedua, seorang morfinis. Mula-mula ia ikut dalam arus kaum muda yang mau bebas dari
segala norma yang dianggap kolot, dan menghisap ganja sebagai tanda pemberontakan.
Kemudian ia ketagihan dan tidak bisa menghentikan lagi kebiasaannya itu. Kesehatan fisik
dan mentalnya merosot karena dia hidup dalam dunia fantasi dan tidak lagi menerima tugas
dan tanggung jawab dalam hidup yang konkret.

c. Kesimpulan
Pertama; semakin orang bertanggungjawab semakin ia bebas, karena ia bertindak di bawah
tuntunan akal budi dan suara batinnya, yang berarti bahwa ia semakin menentukan diri ke
arah kesempurnaan. Kedua; semakin orang tidak bertanggungjawab semakin ia tidak bebas,
karena ia tidak dituntun oleh akal budi dan hati nuraninya sendiri, tetapi dibelenggu oleh
kekuatan irasional, entah dari luar ataupun dari dalam dirinya sendiri. Dan dengan
mengabaikan kewajiban moral dia merendahkan martabat pribadinya sendiri

2.3.2. Kebebasan Sosial dan Tanggung Jawab


Dalam kebebasan sosial, yang membatasi hak adalah kondisi sosial yang bersifat eksternal. Di
dalam kebebasan sosial, realitas yang membatasi adalah hak dari pihak lain atau pihak yang
lebih berhak. Misalnya, orang dipenjara tidak bebas karena dia harus memainkan tanggung
jawabnya dalam memenuhi hak dari orang yang telah dirugikan. Setiap orang berkewajiban
menghormati kemampuan atau apa saja yang menjadi hak orang lain sebagai rasa tangung
jawabnya.

Antara kebebasan sosial dan tanggung jawab ini, masih ada satu hal yang penting juga, yakni
keadilan. Kalau kita lihat hubungan antara kebebasan sosial dan tanggung jawab secara umum
menyangkut penghormatan atau pengakuan atas hak dan kewajiban yang dimiliki orang yang
satu dengan hak dan kewajiban yang dimiliki orang yang lain. Di sinilah kebebasan dan
tanggung jawab harus memerhatikan masalah keadilan. Sehingga orang yang bebas secara
eksistensial sekalipun dan bahkan memiliki kebebasan sosial yang luas tetapi tidak
memerhatikan masalah tangung jawab, dapat dikatakan tidak adil. Jadi, dalam kebebasan
sebenarnya diandaikan telah ada tanggung jawab. Karena itulah tidak ada kebebasan yang
sebebas-bebasnya. Dengan kata lain, kebebasan sosial saya dibatasi oleh kebebasan orang
lain. Atau kebebasan sosial saya secara individual menemukan batasan ketika saya bersama
dengan yang lain berada bersama dan menyatakan secara tegas apa yang menjadi hak dan
kewajiban masing-masing kami dalam kebersamaan itu.

BAB III

23
SUARA HATI DAN KESADARAN MORAL

Dalam pembahasan tentang kebebasan dan tanggung jawab, kita melihat bahwa, di satu sisi
kebebasan sosial kita dibatasi oleh masyarakat. Di lain sisi, kebebasan eksistensial atau
kebebasan individual menuntut otonomi moral. Dua buah realitas yang kelihatannya saling
bertentangan. Seperti yang ditegaskan Frans Magnis Suseno, kedua realitas tersebut kita
butuhkan agar eksistensi manusia menjadi nyata: Masyarakat yang mengatakan kita
bagaimana kita harus hidup, dan kesadaran bahwa kita sendirilah yang harus
memertanggungjawabkan sikap dan tindakan kita.

Dari dua realitas di atas, kita akan membahas bagaimana suara hati menyatakan diri
berhadapan dengan masyarakat. Bagian awal akan ditunjukkan tiga lembaga normatif yang
sadar atau tidak sadar memengaruhi hidup kita. Tiga lembaga normatif yang dimaksud adalah
masyarakat, superego, dan idelogi. Pada bagian berikutnya akan ditunjukkan bagaimana
suara hati menyatakan diri berhadapan dengan tiga lembaga normatif tersebut. Dari sini akan
diuraikan pengertian, fungsi, dan sifat-sifat suara hati.

3.1. SUARA HATI

3.1.1. Tiga Lembaga Normatif


Hidup manusia senantiasa dipengaruhi oleh tiga lembaga, yakni masyarakat, superego, dan
ideologi, sebagaimana dikemukakan Frans Magnis Suseno. Kita coba menguraikan satu per
satu, agar kita bisa mengetahui sejauh mana ketiga lembaga itu memengaruhi kita dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam setiap tindakan yang kita lakukan.

3.1.1.a. Masyarakat
Di antara ketiga lembaga normatif di atas, masyarakat merupakan lembaga normatif yang
paling mencolok. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah semua orang dan lembaga yang
memengaruhi hidup kita. Yang pertama dan terpenting adalah keluarga kita, terutama orang
tua kita. Untuk pertama kalinya kita belajar dari mereka tentang apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. Kita juga belajar apa yang dianggap baik dan apa yang tidak baik;
bagaimana kita harus bergaul dengan orang lain, dll. Semakin besar kita semakin banyak juga
orang dan lembaga yang mengajukan tuntutan-tuntutan mereka kepada kita. Sekolah dengan
pak dan bu guru merupakan salah satunya. Di sekolah, misalnya kita belajar mengatur
waktu/jadwal, menyelesaikan tugas pada waktunya. Kita juga belajar bahwa orang mencari
nilai baik dengan cara yang curang itu tidak baik, dll. Kita juga melihat bahwa agama
menuntut kepercayaan, tindakan-tindakan tertentu, dan sikap-sikap yang amat dasariah dari
kita. Di tempat kerja kita berhadapan dengan norma-norma yang ditetapkan bagi kita,
misalnya loyalitas pada perusahaan dan tanggung jawab atas pekerjaan kita. Negara
menetapkan norma-norma hukum dan peraturan-peraturan yang wajib kita taati lengkap
dengan sanksinya. Selain lembaga-lembaga tadi, ada juga pihak-pihak informal yang juga
memengaruhi hidup kita, seperti kelompok-kelompok sebaya dan teman-teman kita.
Kelompok sebaya itu dapat mempunyai sistem normatif yang ketat. Tegasnya, masyarakat
dengan pelbagai lembaganya merupakan sumber orientasi moral pertama bagi kita. Dari
masyarakat kita berlajar bagaimana kita harus hidup.

3.1.1.b. Superego

24
Norma-norma sikap dan perilaku tidak hanya datang dari luar. Psikologi mengajarkan bahwa
anak kecil sudah mulai menginternalisasikan atau membatinkan perintah-perintah, larangan-
larangan, dan nilai-nilai moral dari orang tua. Di sini batin kita sendiri mengumandangkan
tuntutan-tuntutan masyarakat terhadap diri kita. Batin kita mengambil alih harapan-harapan
masyarakat terhadap kita. Di dalam psikologi, suara batin itu disebut superego. Jadi, superego
adalah inernalisasi atau pembatinan nilai-nilai, harapan-harapan masyarakat terhadap diri kita.
Seperti yang ditegaskan Frans Magnis-Suseno, superego merupakan perasaan moral spontan,
menyatakan diri dalam perasaan malu dan bersalah yang muncul secara otomatis dalam diri
kita apabila kita melanggar norma-norma yang sudah kita batinkan itu. Superego tidak
mempunyai norma-norma asli sendiri, tapi hanya menyuarakan norma-norma dari lingkungan
sosial kita atau dari ideologi.

3.1.1.c. Ideologi
Yang dimaksud dengan ideologi adalah segala macam ajaran tentang makna kehidupan,
tentang nilai-nilai dasar, dan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
Walaupun sangat terkait dengan masyarakat, ideologi harus dibedakan darinya. Ideologi
bekerja dalam bentuk abstrak: sebagai keyakinan atau kepercayaan yang dipegang dengan
teguh. Merangkul ideologi bearti meyakini apa saja yang termuat di dalamnnya dan
kesediaan untuk melaksanakannya. Ia menuntut agar orang mengesampingkan penilaiannya
sendiri dan bertindak sesuai dengan ajarannya. Ideologi yang dimaksud tidak hanya dalam
pengertian yang keras dan tertutup, tapi juga setiap ajaran dan kepercayaan yang memenuhi
pengertian di atas. Dalam hal ini agama juga bisa dikelompokan di sini.

3.1.2. Suara Hati Menyatakan Diri


Selama kita tidak mengalami masalah-masalah moral yang kompleks, dengan sendirinya kita
akan bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam
masyarakat. Dalam hal ini sekaligus kita dimbimbing superego, sedangkan unsur-unsur
ideologi sering bercampur dengan unsur-unsur masyarakat. Pada umumnya, dalam keadaan
normal, kita tidak banyak berefleksi tentang norma-norma yang harus kita akui. Kita hanya
mau atau tidak menaatinya. Ketika kita berada di food court, misalnya, dan melihat tulisan
no smoking area, biasanya kita tidak berpikir keras untuk merokok atau tidak atau sampai
berefleksi serius tentang arti merokok bagi hidup kita. Sederhana saja, kita tinggal mau atau
tidak menaati peringatan itu.

Namun demikian, adakalanya kita berhadapan dengan situasi yang kompleks di mana tuntutan
tiga lembaga normatif itu menjadi problematis. Itulah yang dialami Pius Lustrilanang. Pius
Lustrilanang adalah salah satu aktivis mahasiswa Unpar yang diculik pada Februari 1998.
Berdasarkan sharing pengalamannya, ia (memastikan) ditangkap beberapa tentara di
Bandung dalam keadaan mata ditutup. Kemudian ia dibawa dan disekap di sebuah tempat
(yang baru ia tahu kemudian) di Jakarta. Seperti nasib mahasiswa lain, selama ia disekap ia
mendapat perlakuan kasar dari tentara. Interogasi yang dibarengi tindakan peyiksaan
(tendangan, pukulan) harus ia terima. Sampai suatu ketika ia dibebaskan, 2 April 1998. Ini
mungkin karena desakan masyarakat yang memertanyakan penangkapan aktivis mahasiswa.
Sebelum ia dilepaskan ia mendapat pesan: “Kamu jangan menceritakan apa yang kamu alami
ke publik.” Mereka (tentara) tidak bertanggung jawab atas keselamatan Pius dan ibunya.
Rupanya mereka sudah mengetahui keberadaan ibunya.

Di sinilah Pius berhadapan dengan situasi yang sulit. Apakah ia harus menceritakan apa yang
dia alami atau tidak. Jika ia menceritkannya ke publik, ia tahu keselamatan dirinya dan ibunya
terancam. Ini soal nyawa. Ketika ia sempat menceritakan ke ibunya, ibunya mengingatkan

25
Pius untuk memertimbangkan keselamatan Pius dan ibunya. Ada juga perasaan spontan: tidak
enak membongkar “borok” pemerintah atau negara sendiri. Namun, pada saat yang sama ia
merasa harus menceritakannya: ia merasa harus membongkar kasus penangkapan ini. Dengan
ini, bisa menekan pemerintah untuk melepaskan mahasiswa lain yang masih ditahan. Bahkan
ia sendiri (waktu itu) punya akses ke luar negeri untuk menceritakan apa yang dia alami.

Bukan jawaban (menceritakan ke publik atau tidak) yang hendak diperlihatkan di sini. Yang
mau diperlihatkan adalah: dalam situasi semacam itu kita tidak lagi dapat mengandalkan
lembaga-lembaga normatif. Bagaimanapun juga Pius harus membentuk penilaian sendiri
apakah ia harus menyesuaikan dengan harapan masyarakat (yang diwakili orang tuanya) dan
perasaan moral spontannya (merasa tidak enak membuka “borok” pemerintah atau negaranya
di luar negeri). Ataukah Pius harus menentang mereka demi kebenaran (membongkar kasus
penangkapan aktivis mahasiswa) dan demi keselamatan aktivis-aktivis mahasiswa yang lain
walaupun berhadapan dengan ancaman.

Keputusan itu adalah tanggung jawabnya sendiri dan tidak dapat diambil alih oleh orang lain.
Pius tahu bahwa walaupun ia menyesuiakan diri dengan lembaga-lembaga normatif itu
merupakan keputusannya sendiri. Ia tidak dapat lari dari tanggung jawabnya.

3.1.3. Pengertian suara hati


Dari kisah Pius di atas, kita bisa melihat bahwa Pius mau tidak mau harus membentuk
penilaian sendiri tentang apa yang sebenarnya merupakan kewajibannya dalam situasi itu. Ia
menyadari bahwa tidak ada pihak lain yang dapat meloloskan dari tanggung jawabnya untuk
menjawab sendiri pertanyaan itu. Ia menyadari bahwa ia akan kehilangan harga dirinya
apabila ia tunduk begitu saja pada kekhawatiran, teguran, dan ancaman yang dia hadapi.
Barangkali ia harus tidak memenuhi harapan ibunya dan menentang ancaman tentara.

Dalam konflik batin, Pius menyadari bahwa secara moral akhirnya ia mandiri. Kesadaran
yang menyatakan diri itu itulah yang dimaksud dengan suara hati. Pada Pius suara hati
menyatakan diri sebagai kesadaran tentang apa yang menjadi kewajibannya berhadapan
dengan masalah konkret yang dihadapinya. Ia tidak boleh begitu saja mengikuti pendapat
moral masyarakat, superego, dan tuntutan ideologi, tapi harus memastikan sendiri apa yang
sebenarnya merupakan kewajibannya dalam situasi konkret tertentu.

Jadi, suara hati adalah kesadaran moral kita dalam situasi konkret; kesadaran yang paling
pribadi dan spontan dalam situasi konkret mengenai nilai baik-buruknya perbuatan yang
hendak saya lakukan dan yang sudah saya lakukan. Bertens menyebut kesadaran tersebut
sebagai Hati Nurani. Ada juga yang menyebutnya Suara Batin. Jadi, sebutan suara hati, hati
nurani, ataupun suara batin, menunjuk pada realitas kesadaran yang sama.

Untuk menunjukkan kesadaran, seperti yang dipaparkan. Bertens (1993), dalam bahasa Latin
dan bahasa-bahasa yang diturunkan dari padanya, dipakai kata conscientia. Kata itu berasal
dari kata kerja scire (mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). Dengan demikian
conscientia berarti “turut mengetahui.” Seperti halnya saat kita melihat pohon pisang di
kejauhan: saya tidak hanya melihat pohon pisang tapi saya juga “turut mengetahui” bahwa
sayalah yang melihat pohon pisang itu. Sambil melihat, saya sadar akan diri saya sendiri
sebagai subjek yang melihat. Dalam diri saya berlangsung semacam “pengadaan”: saya
mengambil diri saya sendiri sebagai objek pengenalnya. Kata conscientia yang sama dalam
bahasa Latin digunakan untuk menunjukkan “hati nurani.” Dalam hati nurani berlangsung
juga pengadaan yang sejenis. Manusia bukan saja melakukan perbuatan-perbuatan yang

26
bersifat moral (baik atau buruk), melainkan ada juga yang “turut mengetahui” tentang
perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari
segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati Nurani merupakan semacam “saksi”
atas perbuatan-perbuatan moral kita. Kenyataan itu terungkap dengan baik melalui kata Latin
conscientia.

3.1.4. Fungsi Suara Hati


Dari sudut fungsinya, suara hati dibedakan dalam dua bentuk, yakni Conscientia Consequens
dan Conscientia Antecendens.

3.1.4.1.a. Conscientia Consequens


Conscientia Consequens adalah suara hati yang menyusuli sebuah tindakan. Ia mengevaluasi
tindakan yang sudah kita lakukan. Secara positif ia membenarkan tindakan kita dan
menyebabkan rasa gembira dan bahagia yang mendalam. Secara negatif Suara hati juga
mencela dan memersalahkan tindakan kita yang melanggar kewajiban moral. Di sini suara
hati bisa menimbulkan rasa sedih dan sesal, yang merupakan sebuah himbauan ke arah
pertobatan. Suara hati yang bekerja setelah sebuah tindakan dilakukan disebut juga oleh
Bertens sebagai hati nurani retrospektif. Keberadaan Conscientia Consequens menjadi dasar
bahwa sebenarnya tidak ada seorang pun yang bisa menyembunyikan kebaikan ataupun
kejahatan dalam dirinya.

3.1.4.b. Conscientia Antecendens


Conscientia Antecendens adalah suara hati yang timbul dalam situasi amat konkret
mendahului sebuah tindakan, tepat pada saat mau melakukan sebuah tindakan. Bertens
menyebutnya hati nurani prospektif. Kalau kita mengatakan bahwa suara hati diikuti karena
merupakan norma moral yang paling subjektif maka yang dimaksudkan pertama-tama adalah
Conscientia Antecendens. Secara moral orang tidak pernah boleh bertindak melawan
Conscientia Antecendens. Dari uraian tersebut kita menyadari bahwa baik Conscientia
Consequens maupun Conscientia Antecendens bukanlah dua instansi yang berbeda. Keduanya
merupakan suara hati yang sama. Yang berbeda adalah peranannya.

3.1.5. Sifat-sifat suara hati


Pada bagian pengertian suara hati, kita melihat bahwa keputuasan-keputusan yang kita ambil
harus kita pertanggungjawabkan terhadap suara hati. Kita tidak boleh begitu saja boleh
mengikuti pelbagai pendapat atau tuntutan dari luar. Kita harus bertindak sesuai dengan
kesadaran kita sendiri. Kita hanya bertindak secara bertanggungjawab apabila kita bertindak
sesuai dengan suara hati kita. Namun demikian, bukankah suara hati itu sendiri harus bisa
dipertanggungjawabkan? Sifat-sifat suara hati berikut ini akan membantu kita
memertanggungjawabkannya.

3.1.5.a. Rasional

Sebagai suatu kesadaran moral manusia dalam situasi konkret, suara hati mengandaikan
adanya pertimbangan akal budi, dan bukan sekadar ungkapan perasaan spontan belaka. Benar-
salahnya suara hati dalam menilai situasi secara moral dan menegaskan keputusannya
merupakan suatu tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Muncul
pertanyaan, apakah benar bahwa suara hati itu bersifat rasional atau sebetulnya ia bersifat
emosional saja? Jawaban atas pertanyaan itu membuat para etikawan atau filsuf moral terbagi
dalam dua kelompok besar, yakni kaum emotivis dan kaum rasionalis.
3.1.5.a.1. Kelompok pertama.

27
Kelompok pertama (kaum emotivis) berpendapat bahwa yang disebut kesadaran moral itu
perasaan belaka. Menurut mereka penilaian moral pada hakikatnya hanya merupakan masalah
perasaan (emotion) belaka. Dan perasaan seseorang tidak membutuhkan pembenaran atau
pendasaran ilmiah. Kalau seorang mengatakan: "Jeruk ini manis" dan saya mengatakan,
"Jeruk itu asam", masing-masing kami tidak membutuhkan pembenaran untuk pernyataan
kami. Sebab kami tahu bahwa perasaan bisa berbeda sekali tentang hal yang sama. "De
gustibus non est disputandum". Demikianlah para filsuf dari kelompok pertama ini
berpendapat bahwa soal baik buruknya tindakan manusia atau salah benar secara moral adalah
masalah perasaan belaka, yang tidak mempunyai dasar pada kenyataan objektif yang bisa
diperdebatkan atas dasar argumentasi rasional.

3.1.5.a.2. Kelompok kedua.


Kelompok dua berpendapat bahwa kesadaran moral mengandung pernyataan tentang ralitas,
yang bisa diteliti kebenarannya, dipersoalkan dan diperdebatkan dalam argumentasi rasional.
Kita bisa berdebat dalam suatu argumentasi rasional kalau kita mengandaikan bahwa benar
atau salahnya pernyataan itu bersifat universal, berlaku bagi semua orang yang bisa mengerti.
Jadi, dengan istilah "rasionalitas kesadaran moral" dimaksudkan bahwa kesadaran moral itu
pada hakikatnya bukanlah sekadar perasaan melainkan pernyataan. Tetapi bagaimana kita
bisa memastikan bahwa kesadaran moral itu sebuah pernyataan dan bukan perasaan belaka?
Caranya ialah dengan memeriksa dan mengujinya melalui verifikasi (pembenaran) dan
falsifikasi (penyangkalan).

Analisisnya:
Kalau saya mengatakan "Jeruk itu enak sekali". Dan orang lain mengatakan "Jeruk itu tidak
enak", saya mungkin heran bahwa perasaan atau seleranya lain sekali, tetapi toh saya tidak
mempersalahkan dia, karena selera memang lain-lain. Lain halnya dengan pernyataan moral.
Kalau saya mengatakan bahwa "uang itu harus dikembalikan kepada pemiliknya", dan kawan
saya mengatakan "uang itu tidak perlu dikembalikan", saya tidak akan mentolerir kedua
pernyataan itu sebagai sama-sama benar seperti halnya perasaan. Sebaliknya, saya yakin
bahwa hanya satu dari dua pernyataan itu benar secara moral dan karena itu saya berusaha
mencari tahu melalui argumentasi rasional pernyataan mana yang benar dan mana yang salah.
Kesadaran moral mengacu pada kenyataan objektif. Di samping itu, kita juga harus ingat
bahwa perasaan itu sendiri juga menyentuh realitas. Bahwa kita berbeda dalam hal perasaan
tidak menunjukkan bahwa perasaan itu terlepas sama sekali dari realitas, tetapi bahwa realitas
bisa dialami secara berbeda. Hal ini diakui oleh Aristoteles dengan mengatakan, "To de on
legethai polachon". Malahan harus dikatakan bahwa perasaan yang mendalam menyentuh
kita dengan realiltas pada level yang primordial, sebelum ada distingsi subjek-objek.

Kalau saya mengatakan; "Korupsi itu salah", dan orang lain mengatakan, "Korupsi itu baik
asalkan tidak ketahuan" maka hanya satu dari dua pernyataan itu benar. Yang lainnya salah.
Maka orang berdebat dan berargumentasi untuk mencari tahu mana yang benar. Itulah yang
kita kenal dengan proses verifikasi dan falsifikasi atau pembenaran dan penyangkalan.
Kepada orang yang membenarkan korupsi, saya harus bisa menjelaskan bahwa korupsi adalah
salah satu bentuk pencurian. Andaikan barang miliknya sendiri dikorup (dicuri) oleh orang
lain, apakah dia masih berpendapat bahwa korupsi itu benar? Asumsi dasar etika ialah bahwa
semua manusia pada hakikatnya sama dan sederajat. Oleh karena itu, manusia harus
diperlakukan sama. Imamnuel Kant merumuskan hal itu dalam satu imperatif kategoris:
"Bertindaklah selalu menurut kaidah yang sekaligus dapat kau kehendaki menjadi hukum
umum.” Kembali kepada kaidah yang dipakai oleh koruptor tadi: "Korupsi itu baik asalkan
tidak ketahuan." Seandainya semua orang dalam masyarakat memakai ini, pastilah

28
masyarakat itu akan dengan sendirinya ambruk. Sebab setiap orang mulai mencuri barang
orang lain secara sembunyi-sembunyi, bahkan mungkin secara terang-terangan. Hal ini tidak
bisa dibenarkan. Maka kebalikannya yang benar. "Korupsi itu salah."

Kesimpulannya bahwa penilaian moral bukan sekadar masalah perasaan, melainkan juga
masalah kebenaran objektif. Kalau ada perbedaan pendapat moral, kita tidak berdebat
tentang perasaan kita, tetapi tentang apa yang secara objektif menjadi kewajiban kita dan apa
yang tidak. Fakta bahwa penilaian-penilaian moral dapat dibenarkan atau disangkal
membuktikan rasionalitasnya. Kalau benar kesadaran moral itu bersifat rasional dan bisa
disepakati dalam sebuah argumentasi berdasarkan akal sehat, mengapa dalam hidup konkret
orang bisa mempunyai pandangan dan sikap yang berbeda mengenai situasi moral yang
sama? Hal itu bisa dimungkinkan oleh beberapa hal seperti ini: pendidikan moral yang salah,
informasi tidak lengkap mengenai persoalan tersebut, dan pandangan filosofis yang berbeda
tentang manusia.

3.1.5.b. Mutlak
Untuk menjelaskan kemutlakan suara hati (kesadaran moral) Immanuel Kant (1724-1804)
membedakan dua macam perintah atau imperatif: imperatif hipotesis dan imperatif kategoris.
Imperatif hipotetis atau perintah bersyarat adalah perintah yang hanya berlaku apabila orang
menghendaki apa yang menjadi syaratnya. Misalnya, "Belajarlah kalau engkau mau lulus
ujian!" Imperatif kategoris atau perintah tak bersyarat adalah perintah yang bersifat mutlak,
tanpa syarat. Misalnya, "Jangan memerkaya diri dengan cara melanggar hak orang lain!"
Menurut Kant, tuntutan-tuntutan moral itu bersifat tak bersyarat atau absolut. Tuntutan-
tuntutan moral berlaku mutlak. Mutlak atau absolut berarti tidak bersyarat, tidak bisa ditawar-
tawar dengan kesenangan atau kepentingan saya. Suatu kewajiban moral berlaku entah
menguntungkan atau tidak, mengenakkan atau tidak, dipuji atau malah ditegur. Siapa pun
tidak boleh menyelewengkan kita dari tekad untuk selalu bertindak dengan baik, adil, dan
wajar.

Mesti disadari bahwa mutlaknya suara hati tidak berarti bahwa suara hati itu pasti benar atau
tidak pernah salah. Suara hati juga mendasarkan pada penilaian-penilaian manusia, sedangkan
penilaian manusia itu terbatas; tidak pernah seratus persen pasti. Kalau pengertian kita
memberikan masukan yang salah kepada suara hati, suara hati akan menuntut sikap dari kita
yang secara objektif tidak tepat. Kemutlakkan suara hati terletak pada tuntutan untuk tidak
boleh pernah menyeleweng dari apa yang kita sadari sebagai kewajiban kita. Sedangkan apa
yang kita sadari sebagai kewajiban tidak selalu dapat dipastikan. Suara hati mutlak dalam arti
bahwa tuntutannnya tidak dapat ditiadakan kembali oleh pertimbangan-pertimbangan untung
rugi, senang tidak senang, oleh pendapat orang lain dan perintah pelbagai otoritas, oleh
tuntutan ideologi atau perasaan kita sendiri. Suara hati memuat tuntutan mutlak untuk selalu
bertindak dengan baik, jujur, wajar, dan adil, apa pun biayanya dan apa pun pendapat
“lembaga-lembaga normatif”.

3.1.5.c. Universal
Selain bersifat rasional dan mutlak, suara hati (kesadaran moral) juga memiliki sifat yang lain,
yakni universal. Suara hati atau kesadaran moral itu selalu kita sadari sebagai yang berlaku
umum atau universal. Kalau saya berpendapat, misalnya, bahwa pengguguran isi kandungan
oleh dokter itu wajib ditolak maka pendapat itu sebenarnya tidak hanya menyangkut dokter
itu, tetapi juga menyangkut segenap orang yang berada dalam situasi yang sama dengan dia.
Penilaian moral tidak pernah hanya mengenai masalah konkret yang dihadapi, tapi juga selalu

29
mengandung klaim keberlakuan universal. Itulah sebabnya kita tidak dapat menerima, bahwa
dalam masalah moral dua pendapat yang saling bertentangan sama-sama benar.

Menurut Immanuel Kant, universalitas keberlakuan termasuk ciri khas kesadaran moral.
Suara hati kita selalu disertai kesadaran, bahwa apa yang diyakini sebagai kewajiban berlaku
objektif dan berlaku bagi siapa saja yang berada dalam situasi yang sama dengan saya. Yang
dimaksud bukan bahwa semua orang sependapat dengan suara hati saya. Universalitas
kesadaran moral adalah kesadaran bahwa seharusnya setiap orang dalam situasi yang sama
sependapat dengan saya. Dengan kata lain, apa yang dalam suara hati saya sadari sebagai
kewajiban merupakan kewajiban bagi siapa saja yang berada dalam situasi yang sama dengan
saya.

3.1. Perkembangan Kesadaran Moral (Lawrence Kohlberg)

Berangkat dari uraian suara hati atau kesadaran moral di atas, kita menyadari bahwa
keberadaan suara hati atau kesadaran moral dalam diri kita itu tidak statis. Suara hati atau
kesadaran moral itu tumbuh dan kembang dalam diri seseorang seiring dengan perkembangan
kepribadiannya. Seseorang bertingkah laku sesuai dengan kemampuan dan kematangan
perkembangan moralnya. Seiring dengan perkembangan fisik, emosi, kemampuan kognitif,
dan dengan semakin dewasa dan matang, kemampuannya untuk mengerti tentang moral juga
ikut berkembang.

Salah seorang yang secara khusus meneliti perkermbangan kesadaran moral itu adalah
Lowrence Kohlberg (1927-1988). Beliau adalah seorang profesor psikologi dari Amerika. Ia
meluangkan banyak waktu untuk mempelajari fenomena moralitas dari sudut pandang
psikologi. Studi Kohlberg menjadi penting karena ia melihat perilaku yang didasarkan pada
suara hati atau hati nurani sebagai stadium terakhir dan tertinggi dari suatu perkembangan
panjang di bidang moral. Oleh karena itu, kita akan mempelajari secara singkat pandangan
yang terkenal tentang perkembangan moral dari Kohlberg tersebut.

Kohlberg melakukan penelitian mulai dari usia 6 sampai 28 tahun yang sebagian besar telah
diikutinya dari masa anak-anak sampai dewasa. Artinya, sesudah jangka waktu tertentu ia
menyelidiki orang yang sama supaya dapat menentukan perkembangan moralnya. Ia juga
memerluas horison kultural dengan mengikutsertakan dalam penelititannya orang-orang dari
negara dan kebudayaan selain Amerika Serikat, seperti, Malaysia, Taiwan, Mexico, dan Turki.
Kohlberg yakin bahwa hasil penelitiannya berlaku secara transkultural dan tidak terbatas pada
suatu kebudayaan tertentu saja.

Penelitiannya juga menunjukkan bahwa dalam kesadaran moral terdapat unsur kognitif yang
kuat. Kesadaran moral itu ditentukan oleh suatu kemampuan intelektual dan kemampuan
untuk memahami dan mengerti sesuatu. Pertumbuhan kesadaran moral terjadi dalam proses
perluasan dan pendalaman segi-segi yang diperhatikan apabila orang memberi penilaian
moral. Makin sempit kriteria yang dipakai dalam memberikan penilaian moral, makin belum
berkembang kesadaran moral. Sebaliknya, makin luas cakupan kriteria, makin dewasa
seseorang. Individu makin dewasa secara moral makin ia kompeten dalam memberikan
penilaian moral. Perkembangan kompetensi dalam memberikan penilaian moral itu
merupakan unsur dalam proses setiap individu belajar untuk menghadap lingkungan sosialnya
dengan semakin tepat. Dari penelitian yang dilakukannya, Kohlberg menemukan bahwa
perkembangan kemampuan anak untuk memberikan penilaian moral menunjukan adanya
suatu struktur yang tetap.

30
Hasil penelitian Kohlberg dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) dalam perkembangan
kesadaran moral anak melalui 6 tahap yang termasuk dalam 3 tingkat kesadaran moral, yakni
prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional; (2) tahap-tahap tersebut bersifat
invarian, universal, dan transkultural; artinya di semua lingkup budaya, anak akan mulai di
tahap 1 ke tahap 2 dst.; (3) ke tahap mana anak akan sampai tergantung pada lingkungan
sosial-budaya dan kemampuan intelektual individual; (4) dasar-dasar pertimbangan dan
putusan moral mengandung proses pengertian akal budi atau bersifat rasional; (5) penahapan
kesadaran manusia mengandung penilian: makin tinggi tahap kesadaran moral seseorang,
makin dewasa, matang, dan bertanggungjawab dia itu dalam sikap-sikap moralnya; (6) tahap
ke-6 merupakan tahap yang tertinggi. Penilaian bahwa tahap ke-6 merupakan tahap yang
tertinggi didasarkan atas kriteria keluasan persepsi mengenai: norma-norma dan tanggung
jawab moral, kemurnian/kenalaran motivasi untuk bertindak secara moral, dan kebulatan
identitas diri yang otonom.

3.2.1. Tiga Tingkat dan Enam Tahap Perkembangan Moral


Menurut Kohlberg, enam tahap dalam perkembangan moral dapat dikaitkan satu dengan yang
lainnya dalam tiga tingkat sedemikian rupa sehingga setiap tingkat terdiri atas dua tahap.
Berikut ini adalah tiga tingkat dan enam tahap perkekmbangan kesadaran moral menurut
Kohlberg.

3.2.1.a. Tingkat Prakonvensional


Pada tingkat ini si anak mengakui adanya aturan-aturan. Baik dan buruk mulai mempunyai
arti baginya tapi hal itu semata-mata dihubungkan dengan reaksi orang lain. Penilaian tentang
baik buruknya perbuatan / perilaku hanya ditentukan oleh faktor-faktor dari luar. Motivasi
untuk penilaian moral terhadap perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau konsekuensi dari
tindakan yang dilakukannya: hukuman atau ganjaran, hal-hal yang pahit atau hal-hal yang
menyenangkan. Yang mencolok ialah bahwa motif-motif ini bersifat lahiriah saja dan
mengalami banyak perubahan.

Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan.


Di sini anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua, guru) dan atas
hukuman bila ia tidak patuh. Anak kecil tidak memukul adiknya karena hal itu dilarang oleh
ibu dan karena kalau melanggar kemauan ibunya akan membawa hukuman. Perspektif si
anak semata-mata egosentris. Ia membatasi diri pada kepentingan sendiri dan belum
memandang kepentingan orang lain. Jadi, anak kecil terorientasi pada perasaannya sendiri.
Perasaan yang dominan adalah ketakutan atas akibat perbuatannya.

Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental.


Pada tahap ini perbuatan adalah baik jika (ibarat instrumen atau alat) dapat memenuhi
kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Anak mulai menyadari
kepentingan orang lain juga, tapi hubungan antarmanusia dianggapnya seperti hubungan di
pasar: tukar menukar: “Jika kamu melakukan sesuatu untuk saya, saya akan melakukan
sesuatu untuk kamu.” Moralitas do ut des: aku memerhatikan kepentinganmu supaya engkau
memerhatikan kepentinganku. Jadi, kepentinganku memang kurelatifkan terhadap
kepentingan orang lain, tapi hanya karena aku tergantung pada kerelaannya. Di sini perbuatan
tidak didasarkan pada loyalitas (kesetiaan), rasa terima kasih atau keadilan.

“Aku mau menyesuaikan orang lain dengan kepentinganku. Moralitas tahap satu dan dua masih pincang karena
orang lain semata-mata masuk dari sudut kepentinganku; kebersamaan belum ditangkap sebagai nilai pada
dirinya sendiri; moralitas sejati (kepentingan untuk bersikap tanpa pamrih pribadi) belum mungkin.”

31
3.2.1.b. Tingkat Konvensional
Biasanya (tapi tidak selalu) anak mulai beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga
belas tahun. Di sini perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum dan
kewajiban. Otoritas dijunjung. Tingkat ini oleh Kohlbergg disebut “konvensional” karena si
anak mulai menyesuaikan (convenire) penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain.
Memenuhi harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap sebagai sesuatu yang berharga.
Singkatnya, anak mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-
normanya.

Tahap 3: Penyesuaian diri dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”
Di sini terjadi perkembangan yang menentukan ke arah sosialitas dan moralitas yang sejati.
Anak belajar meminati orang-orang yang akrab: bapak, ibu, kakak, adik, para tentangga, guru,
dan kenalan dekat lain, demi mereka itu sendiri. Dengan kata lain, anak cenderung
mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan para anggota keluarga atau kelompok lain
(terutama sekolah). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu
orang-orang akrab ini serta disetujui oleh mereka; yang baik adalah perilaku / perbuatan yang
dipuji, buruk yang dicela. Anak mengambil sikap menjadi “anak manis” (good boy – nice
girls), artinya ia adalah sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru, dsb. Ia akan merasa
malu jika: menyimpang dari norma-norma kelompoknya. Pada tahap ini untuk pertama
kalinya si anak mulai memerhatikan pentingnya maksud perbuatan. Perbuatan itu dianggap
baik jika maksudnya baik. Misalnya, waktu ia membantu ibunya cuci piring di dapur dan ada
gelas pecah: dulu perbuatan itu dinilai secara moral buruk karena bisa mendatangkan
hukuman. Dalam tahap ketiga ini, perbuatan itu dianggap baik karena maksudnya baik, yaitu
membantu ibu.

Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban (law and order).


Pada tahap ini paham “kelompok” dengan mana anak harus menyesuaikan diri diperluas: dari
kelompok akrab ke kelompok yang lebih abstrak: bangsa, negara, dan agama. Tekanan
diberikan pada aturan-aturan tetap, otoritas, dan pertahanan ketertiban sosial. Demi nusa dan
bangsa ia seperlunya mengorbankan kepentingan keluarga. Orang yang berada di tahap empat
ini dapat bersikap kritis terhadap pandangan dalam kelompok akrab berdasarkan loyalitasnya
kepada bangsa atau agama. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati
otoritas, dan memertahankan ketertiban itu sendiri. Orang yang melanggar aturan-aturan
tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial, jelas bersalah.

Aku menyesuaikan diri dengan penilaian orang lain. Orang lain, kelompok disadari sebagai nilai pada dirinya
sendiri; orang lain menjadi acuan moralitasnya; dan loyalitas terhadap mereka yang dekat (tahap 3) dan
kelompok makro (tahap 4) menjadi tuntutan dasar moralitasnya; apa yang menjadi kebiasaan dalam kelompok
itulah yang menjadi kriteria betul salahnya perilaku warga; dan ukuran baik-buruk adalah penilain kelompok
sendiri.

3.2.1.c. Tingkat Pascakonvensional


Kohlberg menyebut tingkat ketiga ini juga sebagai “tingkat otonom” atau “tingkat
berprinsip.. Pada tingkat ketiga ini hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung
jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang
ditemukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tapi harus dinilai atas dasar
prinsip-prinsip lahir dari kebebasan pribadi. Orang muda mulai menyadari bahwa
kelompoknya tidak selamanya benar. Menjadi anggota suatu kelompok tidak menghindari
bahwa kadang-kadang ia harus berani mengambil sikapnya sendiri.

32
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas.
Pada tahap ini disadari relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan
akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Segi hukum ditekankan, tetapi diperhatikan
secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum apabila hal itu terjadi demi kegunaan
sosial. Orang menaati hukum bukan karena itu hukum, melainkan hukum dipahami sebagai
hasil perjanjian tak tertulis antara aku dengan masyarakat: masyarakat memungkinkan-ku
untuk berkembang maka aku menaati hukum sebagai syarat kemantapan masyarakat. Nilai
dasarnya adalah fairness (dalam kerja sama dalam masyarakat kita pun memberikan
sumbangan kita). Maka hak orang lain (HAM) wajib ditaati, perjanjian harus ditepati, dan apa
yang disepakati secara demokratis harus dijalankan. Tetap terikat pada kelompok akrab dan
abstrak, tetapi sekaligus ia mampu melihatnya secara kritis: aku loyal terhadap bangsa dan
negara, tetapi apabila atas nama bangsa atau negara hak asazi seseorang diinjak-injak, aku
tidak takut. Pemerintah wajib ditaati, tapi kewajiban itu tidak mutlak (apabila pemerintah
bertindak tidak bermoral, haknya atas ketaatan itu runtuh). Karena cinta kepada bangsa,
seperlunya menentang pemerintah.

Tahap 6: Orientasi prinsip etika yang universal.


Pada tahap ini orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan suara hati
pribadi. Di sini manusia baru mencapai otonomi moral: ia tidak menyesuiakan diri begitu saja
dengan penilaian masyarakat (di mana lalu tidak terjawab bagaimana penilain itu sendiri
harus dinilai); ia tidak mengikuti kewajiban tertentu secara buta: ia bertindak sesuai dengan
apa yang diyakininya sebagai benar (dirumuskan dengan mengacu pada etika imperatif
kategoris Kant). Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan suara hati berlaku
secara universal. Prinsip-prinsip etis ini dipilih sendiri atas dasar keluasan cakupannya.
Biasanya prinsip-prinsip itu memenuhi syarat-syarat, seperti komprehensif: semua kasus dpt
ditangani dengannya; universal: berlaku di mana-mana; dan konsisten: tidak ada kontradiksi
dalam penerapannya. Prinsip-prinsip tersebut bukan peraturan konkret (“hormatilah org
tuamu!”), melainkan bersifat abstrak (“peraturan emas”: “jangan lakukan kepada orang lain
apa yang tidak ingin dilakukan pada dirimu sendiri”) atau imperatif kategoris (“ bertindaklah
selalu menurut kaidah yang dapat kau kehendaki berlaku umum.”) Adapun prinsip yang
dimaksud adalah: (1) prinsip keadilan, prinsip perlakuan timbal-balik (reciprocity: apa yg
saya terapkan pada orang lain, juga saya terapkan pada diriku sendiri, dan sebaliknya); (2)
prinsip kesamaan (equality) hak semua orang; (3) hormat terhadap martabat setiap orang
sebagai persona/pribadi. Orang yang melanggar prinsip-prinsip etis itu akan megalami
penyesalan yang mendalam. Menurut Kohlberg, tahap ke-6 adalah tahap tertinggi dalam
perkembangan kesadaran moral dan hanya sendikit orang yang mencapai tahap ini.

Baik-buruk dalam arti moral tidak lagi dipahami sebagai penyesuaian dengan masyarakat, dengan konvensi-
konvensinya, tetapi semata-mata mengacu pada prinsip-prinsip objektif; nilai-nilai diyakini bukan karena
diyakini oleh kelompok, melainkan karena ia sendiri yakin; moralitas kelompok dan masyarakat sendiri dapat
dipertanyakan secara kritis.

33
3.2.2. Beberapa sifat khas perkembangan moral
Pertama, perkembangan tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam artian
anak mulai dengan tahap pertama, lalu pindah ke tahap kedua, dan seterusnya. Di sini tidak
mungkin meloncat-loncat. Namun demikian masih tetap berlaku bahwa tidak perlu seorang
anak untuk seluruh perilaku moralnya berada dalam suatu tahapan tertentu. Bisa saja ia secara
dominan berada pada suatu tahap tetapi untuk sebagian masih pada tahap sebelumnya atau
sudah pada tahap berikutnya. Kedua, orang hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap
di atas tahap di mana ia berada. Ketiga, orang secara kognitif merasa tertarik pada cara
berpikir satu tahap di atas tahapannya sendiri. Hal ini dikarenakan cara berpikir tahap
berikutnya dapat memecahkan dilema moral yang dialami. Sifat ketiga ini mempunyai
konsekuensi pada pendidikan moral. Kohlberg berpendapat bahwa seorang anak dalam
perkembangannya akan bertumbuh lebih baik jika mendapat tantangan dari anak-anak lebih
tua yang sudah lebih maju dalam perkembangan kesadaran moralnya. Keempat,
perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya terjadi apabila dialami ketidakseimbangan
kognitif dalam penilaian moral. Artinya, orang sudah tidak dapat melihat jalan keluar untuk
menyelesaikan masalah atau dilema moral yang dihadapinya. Kelima, menurut Kohlberg, dari
sudut pandang psikologis pun tahap 6 adalah tahap yang paling tinggi dan sempurna. Karena
itu, pendidikan moral harus bertujuan agar manusia mencapai tahap 6 ini.

3.2.2. Shame Culture dan Guilt Culture


Masih terkait dengan Suara hati, penting kalau kita memerhatikan Shame Culture (budaya
malu) dan Guilt Culture (budaaya rasa bersalah). Dikatakan penting karena dua kultur ini
memengaruhi keberadaan suara hati.

Shame Culture seluruhnya ditandai olah rasa malu. Dalam kebudayaan ini pengertian-
pengeritan , seperti “homat”, “reputasi”, “nama baik”, “status”, dan “gengsi” sangat
ditekankan. Bila orang melakukan suatu kejahatan, hal itu tidak dianggap sesuatu yang buruk
begitu saja, tapi sesuatu yang harus disembunyikan dari orang lain. Kalau ketahuan
pelakunya akan “malu”. Dalam Shame Culture, sanksinya datang dari luar, yaitu apa yang
dipikirkan atau dikatakan orang lain. Dalam Shame Culture suara hati kurang berperan.

Guilt Culture adalah kebudayaan di mana pengertian-pengertian seperti “dosa” (sin),


“kebersalahan”, sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kejahatan tidak akan pernah diketahui
oleh orang lain, pelaku tetap merasa bersalah juga. Orang merasa bersalah bukan karena
kejahatannnya diketahui oleh orang lain melainkan karena perbuatannya itu sendiri. Dalam
Guilt Culture, sanksinya tidak datang dari luar, melainkan dari dalam: dari batin orang yang
bersangkutan. Dapat dimengerti bahwa dalam Guilt Culture suara hati atau hati nurani
memegang peranan yang sangat penting.

34
BAB IV
ETIKA NORMATIF

Ketika kita membuat deskripsi fenomenologis tentang kesadaran moral, kita sudah
mengatakan bahwa kesadaran akan kewajiban moral bersifat rasional, mutlak, dan universal.
Bersifat rasional berarti bahwa apa yang dikatakan suara hati itu bisa dipertanggungjawabkan
dalam argumentasi dengan menggunakan akal sehat. Tetapi pertanggungjawaban rasional
membutuhkan norma-norma objektif yang menjadi kriteria untuk menentukan bagaimanakah
tindakan manusia yang seharusnya itu.

Sehubungan dengan pokok pembahasan ini, kita perlu memberikan dua catatan penting.
Pertama, dalam etika dasar kita hanya membicarakan norma-norma moral yang paling
dasariah. Kita tidak membahas norma-norma yang berlaku dalam bidang-bidang khusus,
seperti bidang politik, kehidupan keluarga, dan masalah lingkungan. Hal-hal ini dibahas
dalam etika politik, etika keluarga, dan etika lingkungan hidup. Kedua, etika dasar tidak
berpretensi menciptakan norma moral dari titik zero. Norma-norma itu sudah berlaku dalam
hidup manusia dalam pelbagai masyarakat dan kebudayaan. Yang hendak kita buat di sini
ialah menyelidiki secara kritis sistem-sistem moral yang terpenting dan atas dasar itu
berusaha merumuskan beberapa norma moral yang paling dasariah. Dengan kata lain, dalam
bagian ini kita terutama menggunakan metode kritis.

4.1. Jawaban-jawaban Yang Tidak Memadai


Sebelum membahas secara detil aliran-aliran etika normatif kita perlu melihat terlebih dahulu
pandangan-pandangan dan sikap-sikap moral yang tidak cukup. Dalam pemahaman dan
penghayatan hidup etis, ada beberapa paham yang memberikan jawaban yang sama sekali
tidak memadai. Pada bagian ini kita tidak membahasnya secara rinci tetapi
menyinggungnya secara sepintas kilat.

4.1.2.a.Pandangan Sosiologisme Etis.


Pandangan ini mengklaim bahwa norma-norma yang baik ialah norma yang diterima dan
berlaku dalam masyarakat tertentu. Karena itu norma moral dasariahnya adalah:
‘Sesuaikanlah dirimu dengan peraturan moral yang berlaku dalam masyarakat’.
Jawaban atau nasihat seperti ini tidak memadai. Sebab ia membawa kita kepada suatu
relativisme etis. Di samping itu, jawaban ini dikatakan tidak memadai karena, dari sejarah
kita belajar bahwa norma konkret yang berlaku dalam masyarakat bisa keliru. Dan karena
itu, beberapa pembaharu moral yang terpenting dalam sejarah justru bertindak menentang
norma umum yang diterima dalam masyarakat. Contoh, Socrates, Yesus dari Nasareth, Nabi
Muhammad, dan Mahatma Gandhi. Etika sebagai satu refleksi filosofis harus juga bersifat
kritis terhadap norma moral konkret yang berlaku dalam masyarakat.

4.1.2.b. Pandangan Individualisme Etis


Pandangan ini bertumpu pada paham dasarnya yang hanya mengakui suara hati sebagai
pusat kebenaran tindakan manusia. Karena itu mereka mengatakan: "Ikutilah suara hatimu
sendiri". Norma objektif umum tidak diperlukan. Memang suara hati adalah norma moral
subjektif dan dalam situasi konkret manusia harus bertindak menurut suara hatinya. Tetapi itu
tidak berarti bahwa norma objektif tidak diperlukan. Mengapa? Karena suara hatipun
terbentuk melalui proses pendidikan. Dan karena itu suara hatipun bisa salah. Untuk
mendidik suara hati ke arah yang benar dibutuhkan beberapa norma objektif. Tanpa suatu
pedoman yang objektif suara hati kita sebagai suatu bentuk kesadaran pada akhirnya juga
tidak akan tahu manakah yang baik itu.

35
4.1.2.c. Pandangan Etika Theonom Murni (Etika Wahyu)
Pandangan ini menganjurkan agar "tindakan manusia harus disesuaikan dengan wahyu
Tuhan yang eksplisit. Pendasaran rasional tidak perlu." Jawaban etika theonom ini tidak
memadai. Mengapa? Ada beberapa alasan. Pertama, jawaban ini mengandaikan bahwa
norma etis hanya berlaku untuk orang beragama, malahan untuk orang beragama tertentu
saja, dan bukan berlaku untuk semua manusia. Dalam sejarah, kita mengenal orang-
orang yang tidak menganut satu agama tertentu, tetapi yang sangat luhur sikap moralnya.
Sebaliknya ada sejumlah tindakan yang paling tidak bermoral justru dijalankan oleh orang-
orang beragama atas nama agama. Kedua, jawaban dari etika theonom ini juga tidak
memadai karena bagaimanapun juga manusia harus menggunakan akal budinya untuk
menafsir wahyu Tuhan itu dalam situasi konkret hidupnya, kalau tidak kita akan jatuh ke
dalam irrasionalisme moral. Menurut Thomas Aquinas, irasionalisme moral merupakan
suatu penghinaan terbesar terhadap kebijaksanaan Allah yang telah menganugerahkan akal
budi kepada kita. Apalagi irasionalisme dapat mengandaikan bahwa Tuhan bertindak
sewenang-wenang dalam memberikan perintahnya. Contoh, "Jangan berzinah!" Berzinah itu
dikatakan buruk karena zinah itu dilarang oleh Tuhan, ataukah dilarang oleh Tuhan karena
buruk? Etika theonom menjawab, berzinah itu buruk karena dilarang oleh Tuhan, tidak ada
pendasaran rasional dalam hal ini. Tetapi, kalau kita menggunakan akal budi dan
menghormati kebijaksanaan Tuhan sejauh kita bisa mengerti, kita harus mengatakan
bahwa zinah itu dilarang oleh Tuhan karena tindakan itu secara intrisik buruk, artinya
merugikan martabat manusia. Ketiga, jawaban etika theonom tidak memadai dapat juga
dilihat dari etika atau filsafat moral itu sendiri. Etika theonom mendasarkan dirinya
semata-mata pada wahyu Tuhan, sedangkan filsafat moral mendasarkan dirinya pada terang
akal budi. Maka sekurang-kurangnya kita harus mengatakan bahwa etika theonom
termasuk persoalan teologi moral dan bukan filsafat moral.

4.2. Etika Teleologis dan Deontologis


Kalau kita sekarang membicarakan pandangan-pandangan filsafat mengenai norma moral
maka semua pandangan itu bisa dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu aliran
teleologis dan deontologis. Aliran teleologis (telos: tujuan) mengukur baik-buruknya suatu
perbuatan atas dasar tujuan yang hendak dicapai lewat perbuatan itu atau berdasarkan
hasil/dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan itu. Suatu perbuatan dinilai baik, kalau
bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik atau kalau akibat dari perbuatan itu ternyata baik.
Sebaliknya aliran deontologis (deon: wajib) menilai baik-buruknya suatu tindakan
berdasarkan pada apakah tindakan itu sesuai atau tidak sesuai dengan kewajiban. Suatu
tindakan dianggap baik karena tindakan itu baik pada dirinya sendiri sehingga merupakan
kewajiban yang harus kita lakukan. Jadi, norma moral itu harus berdasarkan pada
kewajiban itu sendiri dan bukan pada tujuan yang hendak dicapai.

Pertentangan kedua aliran ini menjadi mencolok ketika kita memerhatikan dua contoh berikut
ini: Pertama, seorang pemuda kedapatan mencuri lalu dikejar orang-orang yang hendak
membunuhnya dengan parang/golok. Dia masuk ke dalam rumah saya, minta tolong dan
saya menyembunyikan dia di dalam kolom tempat tidur. Para pengejarnya datang dan
bertanya, apakah saya melihat pencuri tersebut. Pertanyaannya adalah: Apakah saya wajib
berbicara jujur? (aliran deontologis). Ataukah saya harus menipu untuk menyelamatkan
nyawa pencuri tersebut (aliran teleologis). Secara spontan tampaknya kita lebih memihak
aliran teleologis dalam hal ini. Kedua, ayah dan ibu saya sudah tua dan sungguh sangat
miskin. Sebagai anak saya yang mencintai orangtua, saya ingin membalas jasa mereka yang
sudah bersusah payah membesarkan dan menyekolahkan saya. Tetapi kebetulan saat ini
saya tidak mempunyai uang dan belum punya pekerjaan. Bolehkah saya mencuri atau

36
merampok demi satu tujuan yang mulia, yakni menolong orangtua saya? Secara spontan
kita cenderung menolak pencurian dan dengan itu memihak aliran deontologis. Kedua
contoh tersebut memberikan gambaran bahwa kita harus secara lebih teliti membahas
macam-macam pandangan yang termasuk dalam dua aliran besar ini, sebelum kita
merumuskan norma-norma moral dasariah.

4.2.1. Etika Teleologis


Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, etika teleologis menilai baik-buruknya suatu
perbuatan atas dasar tujuan yang hendak dicapai melalui perbuatan itu. Dari sekian banyak
teori etika yang masuk dalam kategori etika teleologis, diktat ini hanya mengetengahkan tiga
teori etika saja, yakni Hedonisme, Eudaimonisme, dan Utilitarianisme.

Ketiganya masuk dalam kategori etika teleologis karena ketiga-tiga sama-sama menekankan
segi tujuan: tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Prinsip dasar dari segala tindakan
manusia adalah agar kebahagiaan itu dapat dicapai. Di samping ada kesamaan di antara
ketiganya, ada juga sedikit perbedaan. Di mana hedonisme dan eudaimonisme (dalam arti
tertentu) termasuk egoisme etis, karena manusia hanya mengusahakan kebahagiaan untuk
dirinya sendiri saja. Tapi, hedonisme berbeda dari eudaimonisme. Hedonisme mau mencapai
kebahagiaan dengan cara mencari atau mengejar kenikmatan. Sebaliknya, eudaimonisme
mau mencapai kebahagiaan dengan cara menyangkal kenikmatan. Kalau hedonisme dan
eudaimonisme masuk dalam kategori egoisme etis, utilitarianisme masuk dalam kategori
universalisme etis. Karena menurut utilitarianisme, manusia harus mengusahakan
kebahagiaan bagi semua orang yang terkena tindakannya.

4.2.1.a. Hedonisme
4.2.1.a.1. Ajarannya
Aliran ini berpendapat bahwa tujuan terakhir dari semua tindakan manusia ialah kenikmatan
atau kesenangan. Adapun norma dasariah untuk hedonisme berbunyi: "bertindaklah
sedemikian rupa sehingga engkau mencapai kesenangan yang paling besar dan sedapat-
dapatnya menghindari penderitaan." Aliran ini dimulai dalam masa Yunani Klasik oleh
Aristipos (ca. 435-355 SM) Ia tampil dan mengajarkan hedonisme jangka pendek:
‘Reguklah kenikmatan sepuas-puasnya hari ini selama masih ada waktu!’ Dan sesuai
dengan ajaranannya ini Aristipos secara terus terang mengatakan bahwa kesenangan yang
dimaksudkannya adalah kesenangan badaniah. Kendati demikian, dia juga mengajarkan
bahwa orang tidak boleh mengumbar nafsu dalam mengejar kesenangan badaniah tanpa
batas. Sebab sikap demikian akan mengakibatkan kesusahan. Maka ia mengajak agar
manusia harus secara bijaksana mengatur kesenangannya dengan menggunakan akal budi.

Kalau Aristipos mengajarkan hedonisme jangka pendek dalam kesenangan badaniah,


maka Epikuros (342-270 SM) mengajarkan hedonisme jangka panjang dalam kesenangan
rohani yaitu ketenangan batin yang bebas dari semua kesusahan. Mengejar kesenangan
badaniah dalam makan-minum berlebihan, seks, judi, hanya akan membawa malapetaka di
masa depan. Maka yang harus diusahakan justru sikap asketik untuk mencapai ketenangan
batin. Untuk itu Epikuros banyak memberikan nasihat. Misalnya; "Jangan takut akan dewa-
dewi karena mereka tidak peduli akan nasib manusia". "Jangan takut akan kematian,
sebab sesudah kematian tidak ada hidup lagi."

Dalam zaman modern dan postmodern ini hedonisme etis diberi dasar hedonisme
psikologis, yang mengajar bahwa manusia manurut struktur psikisnya mau tidak mau
hanya mengejar kesenangan dalam tindakan-tindakannya. Di belakang tujuan yang

37
tampaknya luhur, seperti menegakkan kebenaran dan keadilan dan dibalik motivasi yang
suci, seperti berkorban demi kerajaan Tuhan/surga sebenarnya tersembunyi sebuah motivasi
egoistik, yaitu mengejar kesenangan pribadi. Maka hedonisme psikologis menantang kita
untuk membuka kedok kepalsuan dan mengakui dengan jujur bahwa kita mengejar
kesenangan sebagai tujuan akhir tindakan-tindakan kita.

4.2.1.a.2. Tanggapan Terhadap Hedonisme


Apakah benar bahwa struktur psikis manusia hanya mau mencari kesenangan semata-mata
dalam semua tindakannya? (Hedonisme psikologis) Dan apakah tujuan akhir atau
kepenuhan hidup manusia terletak dalam kesenangan? (Hedonisme etis).

Pertama, hedonisme psikologis. Manusia selalu saja tertarik pada perasaan nikmat. Tetapi
bahwa kita tertarik kepada perasaan nikmat atau senang, dan bahwa secara spontan kita
cenderung menghindari perasaan yang tidak enak, tak dapat disangkal. Tetapi bukan itu
masalahnya. Yang dipersoalkan ialah apakah manusia secara psikologis dideterminasi oleh
perasaan nikmat belaka sehingga seluruh tindakan kita hanya ditentukan oleh hal itu.

Kalau kita menggunakan kategori psikologis maka harus dikatakan bahwa tindakan manusia
itu didorong oleh motivasi sadar atau tak sadar. Kalau kita memeriksa motivasi tak sadar
maka nafsu dan insting tak sadar itu jauh lebih luas daripada nafsu mencari kesenangan.
Misalnya: agresivitas, insting memertahankan hidup tidak bisa direduksi kepada rasa senang.
Contoh: seorang pemuda sedang berjalan santai dengan pacarnya dipinggir danau. Tiba-tiba
dilihatnya seorang anak kecil hampir tenggelam. Langsung tanpa pikir panjang pemuda itu
terjun ke danau dan berenang menolong anak itu. Apakah tindakan itu hanya semata-mata
untuk mencari rasa senang. atau rasa nikmat? Lalu bagaimana dengan motivasi yang
disadari? Dalam hal ini menjadi lebih jelas lagi bahwa manusia tidak bertindak hanya atas
dasar mencari rasa nikmat belaka. Ketika M.Gandhi dan Aung San Suu Kyi mogok makan
untuk membela kepentingan rakyat India dan Myanmar, mereka tidak membuat hal itu
hanya untuk rasa nikmat. Pengorbanan orangtua untuk kitapun tidak mungkin dinilai hanya
sekadar dari rasa nikmat.

Kedua, Hedonisme Etis. Hedonisme etis berpendapat bahwa kebahagiaan atau kepenuhan
hidup manusia terletak dalam kenikmatan. Terhadap pandangan ini kita mau memberikan
dua pandangan kritis. Pertama, kesenangan itu selalu bersifat parsial dan berhubungan
dengan keinginan tertentu yang dipuaskan saat itu. Itu juga berarti bahwa kesenangan itu
bersifat sementara. Kebahagiaan sebaliknya bersifat menyeluruh dan tetap bertahan.
Memakai istilah Erich Fromm, kesenangan termasuk kategori “having”, sedangkan
kebahagiaan termasuk kategori “being.” Kedua, pengalaman-pengalaman yang paling
mendalam dan membahagiakan, misalnya cinta dan kesetiaan dalam pengabdian, tidak
akan diperoleh kalau seseorang hanya mengejar rasa nikmat saja dalam hidupnya. Hal-hal
yang besar dalam hidup manusia hanya dicapai dengan jalan pengorbanan dan perjuangan.

4.2.1.b. Eudaimonisme

4.2.1.b.1. Ajaran Aristoteles


Eudaimonia dalam bahasa Yunani berarti kebahagiaan. Eudaimonia adalah aliran yang
berpendapat bahwa tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan. Pandangan ini bermula
dari Socrates, diteruskan oleh Plato, dan dirumuskan secara sistematis oleh Aristoteles
dalam bukunya Nichomachian ethics. Aristoteles memulai karyanya itu dengan proposisi
bahwa setiap tindakan mempunyai tujuan. Tetapi ia mengakui ada dua macam tujuan;

38
Pertama, tujuan sementara yang dikejar demi tujuan selanjutnya. Kedua, tujuan yang
dikejar demi dirinya sendiri. Menurut Aristoteles, tujuan yang dikejar demi dirinya sendiri
hanyalah satu, yaitu eudaimonia, kebahagiaan. Maka norma dasariah eudaimonia
berbunyi: "bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau mencapai kebahagiaan."

Yang menjadi pertanyaan di sini ialah apakah yang dimaksudkan Aristoteles dengan
kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah sekadar suatu perasaan subjektif, seperti rasa senang
atau rasa nikmat. Menurut Aristoteles kebahagiaan adalah sebuah kenyataan objektif.
Kebahagiaan adalah penyempurnaan diri manusia seutuhnya, dengan mengembangkan
potensi-potensi yang ada dalam diri manusia secara harmonis.

Aristoteles tidak begitu saja menolak kesenangan. Kesenangan adalah suatu yang baik.
Tetapi kesenangan harus dilihat sebagai "pelengkap penyerta", dan bukan tujuan dalam
dirinya sendiri. Rasa senang itu adalah perasaan yang menyertai kita apabila usaha kita
berhasil, seperti mencapai tujuannya. Tetapi kalau kita bertindak demi kesenangan, kita
justru tidak bahagia. Begitu juga manusia tidak akan bahagia kalau semua kebutuhannya
dipenuhi dari luar dan tidak usa berbuat apa-apa. Keadaan seperti ini gampang sekali
membosankan malahan mematikan perkembangan pribadi. Yang membahagiakan bukanlah
sesuatu yang diberikan dari luar, melainkan perwujudan diri dari dalam, tentu saja dalam
hubungan dengan yang lain di sekitar kita. Telah dikatakan bahwa kebahagiaan manusia
terletak dalam pengembangan dan penyempurnaan diri. Tetapi bagaimanakah isi
pengembangan diri itu? Menurut Aristoteles, manusia mempunyai banyak potensi yang
harus diaktualisasikan. Dari sekian banyak pontensi yang mesti diaktualisasikan itu, ada dua
aspek yang sangat penting, karena keduanya sungguh khas manusiawi, yakni zoon
politikon dan zoon logon echon.

Pertama, manusia adalah zoon politikon, makhluk hidup yang bermasyarakat atau yang lebih
tepat memasyarakat. Zoon = makhluk hidup, sedangkan politikon dari kata polis yaitu
negara kota dalam sistim Yunani klasik. Menurut Aristoteles, manusia hanya bisa
menyempurnakan dirinya dalam hubungan dangan orang di dalam sebuah polis.
Menggunakan istilah modern, manusia adalah makhluk sosial. Maka manusia
menyempurnakan diri dan dengan itu mewujudkan kebahagiaannya dalam hidup
masyarakat. Kedua, manusia adalah zoon logon echon, makhluk yang memiliki logos.
Biasanya, diterjemahkan dengan manusia makhluk yang memiliki akal budi/
berakalbudi, tetapi sebagaimana dijelaskan dalam pembicaraan antropologi metafisik,
psikologi, logos itu lebih luas artinya dari pada ratio.

Puncak kebahagiaan manusia menurut Aristoteles terletak dalam kontemplasi filosofis


yaitu ketika manusia melalui logosnya memahami kebenaran-kebenaran yang abadi.
Tetapi karena manusia itu merupakan satu kesatuan rohani-jasmani, puncak kebahagiaan
dalam kontemplasi filosofis tidak pernah bisa dipisahkan dari kegiatan memasyarakat
dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Malahan Aristoteles tidak menolak insting dan nafsu
irasional menurut dalil filsafatnya: Nature does nothing in vain (alam tidak membuat seuatu
sia-sia). Tetapi insting dan nafsu itu harus dibimbing oleh terang akal budi dan
diintegrasikan sehingga manusia mencapai penyempurnaan diri secara harmonis. Itulah
eudaimonia yang sesungguhnya.

Menurut Aristoteles, seluruh kebahagiaan manusia itu harus direalisasikan dalam dunia
ini, bukan di dunia seberang atau di dunia idea seperti diajarkan Plato. Sebab itu etika
Aristoteles ini disebut juga intra mundane ethics (etika intra duniawi).

39
Eudaimonia Aristoteles adalah salah satu teori etika yang paling berpengaruh, dan kemudian
diambil alih dan dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf-filsuf besar lainnya, seperti Thomas
Aquinas, Hegel, dan Karl Marx. Dalam hubungan dengan kuliah ini, kita tidak akan
membicarakan Hegel dan Marx. Kita hanya membicarakan pandangan Thomas Aquinas
sebagai ajakan untuk perdebatan dengan Arsitoteles.

4.2.1.b.2. Thomas Aquinas


Pada dasarnya Thomas mengambil alih ajaran Aristoteles dan mengkristenkannya. Kalau
Aristoteles mengatakan bahwa manusia harus mengembangkan potensi-potensinya maka
Thomas Aquinas mengatakan bahwa manusia mencapai kebahagiaannya kalau dia hidup
menurut hukum kodrat. Tetapi karena kodrat itu diciptakan oleh Tuhan maka hidup
menurut kodrat berarti juga hidup menurut kehendak Tuhan. Maka norma dasariah menurut
Thomas dapat dirumuskan sebagai berikut; "Hiduplah menurut kodrat maka dengan itu
engkau memenuhi kehendak Allah dan mencapai kebahagiaan".

Aquinas dan Aristoteles berbeda dalam dua hal: Pertama, Aquinas menghubungkan
kemanusiaan dengan kehendak Tuhan sebagai pencipta dan penyelenggara sehingga orang
yang hidup baik sekaligus memenuhi kehendak Tuhan. Sebaliknya, menurut Aristoteles,
Tuhan tidak mencipta dan tidak mengetahui dunia ini. Kedua, etika Aristoteles adalah etika
intra duniawi. Menurut dia, manusia mencapai kebahagiaannya hanya dalam dunia ini.
Sementara Aquinas mengatakan bahwa manusia mencapai kebahagiaannya dalam visio
beatifica Dei, memandang Allah dalam kehidupan abadi. Maka hidup manusia tidak boleh
hanya diarahkan kepada dunia ini, tapi juga terutama kepada kebahagiaan akhirat/abadi.

4.2.1.b.3. Pertimbangan Kritis terhadap Eudaimonisme


Sejumlah filsuf mengeritik eudaimonisme sebagai etika yang egoistik karena orang hanya
memerhatikan kebahagiaannya sendiri. Kritik ini misalnya dilancarkan oleh William
Frankena dalam bukunya Ethics (1973, second edition) dan oleh Frans Magnis Suseno
dalam bukunya Etika Dasar (1987) yang mengikuti pandangan Frankena dalam hal ini.
Kritik mereka ini benar andaikata gagasan tentang kebahagiaan atau penyempurnaan
diri itu didasarkan atas suatu filsafat manusia yang individualistik.

Namun, kritik mereka salah sasaran sama sekali kalau padangan dasar tentang manusia
itu bersifat dialektis: Manusia itu sekaligus individu dan makhluk sosial. Itu berarti aku dan
yang lain saling memberi arti dan saling mengadakan. Aku tidak pernah terlepas dari yang
lain. Begitu juga kebahagiaanku tidak pernah bisa dipisahkan dari kebahagiaan orang lain.
Secara positif: aku menemukan kebahagiannku ketika aku mengabdikan diri tanpa pamrih
demi kebahagiaan orang lain. Justru dengan memberi aku menerima, dengan kehilangan aku
menerima jati diriku yang sejati.

Terhadap pandangan Aristoteles dan Thomas Aquinas juga kita menilai kritik mereka
kurang tepat. Aristoteles sendiri mendeskripsikan manusia sebagai zoon politikon, yang
hanya bisa menyempurnakan diri dengan memasyarakat. Apalagi Aristoteles juga
menekankan perbuatan baik tanpa pamrih dalam dalilnya tentang "eupraxia telos",
perbuatan baik mengandung tujuan dalam dirinya sendiri. Thomas Aquinas dengan inspirasi
Kristiani, menggarisbawahi cinta kepada Tuhan dan sesama. Dengan demikian tidak tepat
bahwa eudaimonisme Aristoteles dan Thomas Aquinas dimasukan dalam egoisme etis.
Kepada Thomas kita bisa menambahkan di sini satu catatan kritis: Kodrat tidak boleh
dimengerti secara substansialistik statis, tapi secara dinamis.

40
4.2.1.c. Utilitarisme

4.2.1.c.1.Pengertian
Istilah utilitarianisme berasal dari kata Latin, utilis, artinya berguna. Aliran ini berpendapat
bahwa benar salahnya suatu tindakan bergantung pada berguna atau manfaatnya. Dan
manfaat yang dimaksudkan itu bukan hanya untuk si pelaku itu sendiri, melainkan untuk
semua yang bisa dipengaruhi dengan perbuatan itu, langsung atau tidak langsung. Norma
dasariahnya berbunyi: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu
mendatangkan manfaat sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang ( the greatest good
for the greatest number).

Ada dua masalah dalam norma ini: Masalah pertama, apa yang dimaksudkan dengan
manfaat? Dalam hal ini para penganut utilitarisme berbeda pendapat. Ada golongan yang
menyamakannya dengan kesenangan (hedonis), ada yang menyamakan dengan
kebahagiaan (eudaimonia), dan ada yang melihat manfaat itu dalam kejamakan nilai
(pluralis). Masalah kedua, bagaimana mengukur manfaat yang sebesar-besarnya itu?

Jeremy Betham (1748-1832) seorang utilis dan hedonis Inggris membuat sebuah hedonistic
calculus, untuk mengukur besarnya manfaat sebuah tindakan. Ia menggunakan tujuh (7)
kreteria yang bisa mengkuantifikasi manfaat yang hendak dicapai. Ketujuh kriteria itu
adalah: intensity, duration, certainty, propinquity, fecundity, purity, number of people
involved.

Ia merumuskan kalkulus ini dalam bukunya “Introduction to the Principles of Morals


and Legislation” (1789). Tetapi upaya yang dilakukan Betham itu kurang berhasil. Di satu
pihak, cara penghitungannya kurang meyakinkan. Contoh, apakah nonton film selama satu
jam itu lebih baik ataukah diskusi etika selama 1/2 jam, atau makan di warung 1/4 jam?
John Stuart Mill (1806-1873) dalam uraiannya tentang utilitarisme mengakui bahwa usaha
semacam itu tidak akan berhasil. Maka ia memasukkan unsur kualitas disamping unsur
kuantitas dalam perhitungan tetapi dengan demikian, perhitungan yang tepat tidak mugkin
lagi.

Di lain pihak, kesulitan itu tidak boleh dilebih-lebihkan. Teoretis memang, sulit
mengukur serta membandingkan nilai-nilai yang berlain-lainan secara kuantitatif dan
kualitatif. Tetapi dalam praktik kita bisa menentukan manakah nilai yang paling berguna
untuk banyak orang saat ini.

4.2.1.c.2. Jasa Utilitarisme


Jasa etika utilitarisme, yakni: pertama, sifat rasionalnya. Manusia tidak pernah boleh taat
kepada peraturan demi peraturan itu sendiri, tapi demi tujuan atau manfaat yang bisa
dipertanggungjawabkan secara rasional. Contoh: Bohong, itu boleh saja asal manfaatnya
lebih banyak untuk banyak orang. (Kalau masih ingat kasus seorang pencuri yang
bersembunyi di rumah saya dari pengejar-pengejar yang hendak membunuhnya, mari kita
pertimbangkan kembali!)

Oleh karena sifat rasionalnya itu, utilitarianisme seringkali dipraktikkan oleh pemerintah
dalam mengambil keputusan politik dan ekonomi, entah mereka menyadari paham etika itu
atau tidak. Misalnya, pemerintah hendak membangun sebuah pabrik semen. Tempatnya di

41
Surabaya atau Bandung. Faktor yang paling menentukan keputusan pemerintah seringkali
"manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang."

Kedua, utilitarianisme berjasa juga dalam mengajarkan universalitas nilai etis tindakan
manusia. Manfaat yang harus diperhatikan itu bukan hanya bagi pelaku itu sendiri,
melainkan juga bagi sebanyak mungkin orang yang dipengaruhi oleh tindakan itu, langsung
atau tidak langsung. Berarti setiap orang harus memerhitungkan akibat dan dampak
perbuatannya untuk orang-orang lain. Etika utilitarian secara sangat eskplisit menuntut
tanggung jawab untuk sesama. Dengan demikian, teori etika utilitarisme merupakan revolusi
Copernican dalam sejarah etika, karena teori etika ini berhasil keluar dari egoisme etis, yakni
etika yang melulu mengejar kebahagiaan diri sendiri tanpa peduli terhadap kepentingan orang
lain.

4.2.1.c.3. Kekurangan Utilitarianisme


Pertama, pandangannya tentang manfaat kurang jelas. Manfaat itu dimengerti secara
berbeda-beda oleh para penganutnya. Ada yang memahaminya sebagai kesenangan
(hedonis), kebahagiaan (eudaimonis), atau sebagai aneka nilai sekaligus (pluralis),
Misalnya nilai ekonomis dan politis. Ketakjelasan pengertian mengakibatkan bahwa istilah
manfaat digunakan untuk pelbagai kepentingan yang bisa merugikan orang banyak.

Kedua, mengabaikan aspek keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia. Hal
itu bisa dijelaskan dengan dua contoh berikut ini. Ketika pemerintah hendak membangun
bendungan Kedungombo, pemerintah sungguh bermaksud meningkatkan kemakmuran
sebanyak mungkin rakyat di Jawa Tengah. Bolehkah atas dasar itu pemerintah secara paksa
menggusur rakyat kecil dari dusun-dusun mereka? Bukankah kepentingan umum harus
diutamakan? Contoh lain, apakah Petrus (Penembakan Misterius) masa lalu diperbolehkan
atas nama keamanan dan ketertiban? Apakah dari segi manfaat anak-anak cacat dan orang-
orang jompo boleh dibunuh?

Dari contoh-contoh kasus di atas dan prinsip utilitarianisme ini kita menyadari ada
kepincangan, yakni mengorbankan prinsip keadilan. Karena itu, kita harus melengkapi teori
etika utilitarianisme dengan prinsip keadilan.

4.2.2. Etika Deontologis

Aliran etika ini berpendapat bahwa baik buruknya sebuah tindakan tidak bergantung pada
tujuan yang hendak dicapai atau dari akibat-akibatnya, tapi pada ketaatan terhadap
kewajiban itu sendiri atau ditentukan oleh ketaatannya pada hukum atau peraturan yang ada.
Menurut teori etika deontologi, ada tindakan-tindakan atau perbuatan yang buruk atau jahat
secara intrinsik (intrinseca malum), terlepas dari motivasi dan tujuannya. Misalnya: Saya
harus selalu bersikap adil dan jujur, apapun akibatnya. (Ingat pepatah Latin; "Fiat Justitia,
ruat coelum", keadilan hendaknya dilaksanakan, biar langit runtuh sekalipun). Kalau
melalui korupsi saya bisa menolong orang di kampung saya, apakah dibenarkan bahwa saya
korupsi? Kaum deontologis dengan tegas menolaknya. Kewajiban moral selalu harus
dilaksanakan, apapun akibatnya.

Dalam aliran etika deontologi kita mengenal lagi dua aliran etika, yakni Etika Peraturan dan
Etika Situasi.

42
4.2.2.a. Etika Peraturan
Etika peraturan bukanlah suatu teori filsafat moral sistematis, melainkan suatu bentuk
penghayatan moral yang mendasarkan dirinya semata-mata pada peraturan-peraturan.
Etika ini biasanya terdiri atas sekumpulan peraturan moral yang sangat rinci dan bagus, tetapi
tidak disertai dengan suatu paham dasariah yang melandasinya. Etika peraturan ini mengenal
peraturan-peraturan, seperti: anak yang baik harus menghormati orangtuanya, patuh kepada
perintah mereka; orang harus bersikap jujur dan tidak boleh menipu; orang tidak boleh
menyakiti sesama, menganiaya atau membunuh; orang tidak boleh merampok atau
mencuri, hubungan seksual hanya boleh dalam rangka perkawinan, dan karena itu zinah dan
hubungan homoseksual dilarang; jangan memeras anak yatim atau “menghisap” orang-orang
miskin dan janda yang tak berdaya. Etika peraturan menerima semua peraturan ini
sebagaimana adanya dan berpendapat bahwa nilai moral terletak semata-mata dalam
ketaatan kepada peraturan-peraturan tersebut.

Apa yang dikemukakan etika peraturan tadi tampaknya sangat meyakinkan. Kendati
demikian, ada dua hal yang tidak masuk ke dalam pertimbangan moral oleh etika peraturan:

Pertama, apa yang menjadi dasar berlakunya peraturan-peraturan itu? Dengan kata lain,
mengapa baik buruknya manusia serta tindaknnya diukur dengan peraturan-peraturan itu?
Misalnya, hubungan seksual di luar perkawinan tidak dibenarkan dan mengapa homoseks
dilarang? Etika peraturan hanya menjawab bahwa peraturan untuk manusia yang beradab
memang begitu. Tetapi etika peraturan tidak menjelaskan dan memertanggungjawabkan
secara rasional mengapa seharusnya demikian. Karena tidak ada pertanggungjawaban
rasional (yang menjelaskannya), peraturan-peraturan moral gampang sekali menjadi
beban yang menekan, terutama bagi mereka yang ingin mencari tahu alasannya.

Kedua, etika peraturan juga tidak memertimbangkan akibat tindakan manusia. Yang
penting hanyalah ketaatan kepada peraturan. Hal itu bisa mengurangi dan bahkan
mematikan tanggung jawab etis. Atau lebih tepat, manusia diharuskan bertanggungjawab
sejauh mentaati peraturan tersebut, sedangkan akibat dan dampak yang lebih luas sama
sekali tidak diperhitungkan.

Karena dua hal itu (dasar dan tujuan peraturan tidak dipertimbangan), etika peraturan tidak
bisa menyelesaikan masalah/kesulitan yang timbul bila terjadi bentrokan antara dua aturan.
Contoh: Sebagai orang Nasrani saya wajib ke gereja pada hari minggu. Atau selaku seorang
penganut agama Islam yang taat, saya wajib menunaikan sholat lima waktu. Tetapi ketika
saya menunaikan ibadah wajib sebagaimana yang diharuskan oleh agama saya, pada saat
yang bersamaan itu ibu saya sakit parah dan saya wajib menolongnya dan membawa dia ke
Rumah sakit. Apa yang harus saya buat?

Terhadap kasus-kasus seperti di atas, Imanuel Kant menganjurkan untuk menyelesaikan


kasus itu dengan imperatif kategoris-nya. Namun kesulitan dengan Kant ialah bahwa norma
etikanya sama sekali bersifat formal. Dalam situasi konkret seringkali orang tidak bisa
menarik kesimpulan praktis dari sebuah rumusan yang begitu formal. Karena etika
peraturan cenderung menuntut ketaatan buta, pada akhirnya ia merendahkan martabat
manusia itu: “Bukan lagi peraturan untuk manusia, melainkan manusia untuk peraturan.”

43
4.2.2.b Etika Situasi

4.2.2.b.1. Pandangan Etika Situasi


Etika ini berpendapat bahwa setiap orang unik dan bahwa setiap situasi unik maka
tanggung jawab moral kita tidak ditentukan oleh norma-norma umum. Karena itu, setiap
orang dalam setiap situasi harus menemukan secara kreatif apa yang merupakan tangung
jawab dan kewajibannya pada situasi yang konkret itu.

Aliran ini muncul sesudah Perang Dunia II dan sangat kuat dipengaruhi oleh
eksistensialisme dan personalisme. Eksistensialisme mengajarkan keunikan pribadi yang
tidak bisa dimasukkan ke dalam satu skema atau kerangka umum. Setiap orang harus berani
menentukan dirinya sendiri berdasarkan penghayatan yang otentik. Sedangkan personalisme
menekankan bahwa manusia bukanlah sebuah nomor dari massa kolektif yang anonim,
melainkan persona. Artinya makhluk yang bernilai dalam dirinya sendiri, karena ia
mempunyai akal budi dan kehendak bebas untuk mewujudkan dirinya sendiri. Tokoh etika
situasi yang terkenal ialah Joseph Fletcher, dengan karyanya Situation Ethics (1966) dan
Moral Responsibility (1967).

Kendatipun etika situasi tergolong dalam etika deontologis bersama dengan etika peraturan,
pandangan Etika Situasi berlawanan secara ekstrem dengan etika peraturan. Kalau etika
peraturan menekankan suatu sistem peraturan yang kaku, yang berlaku untuk semua orang,
tanpa pendasaran rasional ataupun pertimbangan pribadi tentang akibat perbuatan-
perbuatan, Etika Situasi menolak semua norma umum dan mengembalikan moralitas
pada tanggung jawab individual setiap orang berdasarkan panggilan unik dalam setiap
situasi.

4.3.2.d. Pertimbangan Kritis Terhadap Etika Situasi


Pertama, Penilaian Positif
a. Etika situasi amat berjasa dalam mengajarkan keunikan pribadi dan keluhuran
martabat manusia sebagai persona.
b. Etika situasi dapat menyadarkan kita untuk lebih peka terhadap setiap situasi baru
dan mengembangkan tanggung jawab pribadi dalam situasi yang unik itu.

Kedua, Penilaian Negatif


a. Etika situasi terlalu ekstrem menekankan keunikan manusia sehingga mengabaikan
kesamaan hakiki yang ada antara manusia. Andaikata tidak ada persamaan, kita tidak
mungkin berkomunikasi. Manusia itu individu tetapi sekaligus makhluk sosial yang
hanya bisa menyempurnakan dirinya dalam hubungan dengan orang lain. Keunikan
setiap pribadi hanya bisa dimengerti di atas latar belakang kesamaan
fundamental. Tanpa peraturan umum yang mengatur hidup manusia dalam suatu
masyarakat, kita tidak mungkin mewujudkan hidup bersama itu. Sebagai contoh,
kalau tidak ada peraturan lalu lintas yang berlaku untuk semua orang dalam satu
masyarakat, dan setiap sopir bisa menyetir mobil menurut kemauannya sendiri maka
akan terjadi tabrakan dan kecelakaan. Begitu juga dalam lalu lintas hubungan sosial
dibutuhkan seperangkat aturan umum yang mengatur pola hubungan tersebut.
b. Setiap situasi unik, tetapi selalu ada juga struktur dasar yang tetap. Misalnya,
situasi kuliah minggu lalu dan minggu ini berbeda. Tetapi ruang kuliah, lingkup
sekitar, dosen, mahasiswa, bahasa yang dipakai, buku pegangan yang digunakan
sama. Juga keunikan situasi tidaklah bersifat mutlak, tapi harus dinilai di atas latar
belakang struktur dasar yang cukup umum.

44
c. Etika situasi kurang memerhatikan hierarkhi norma-norma moral. Yang disebut norma
moral konkret tidak berlaku mutlak dan karena itu bisa diubah atau disesuaikan
dengan situasi yang berbeda-beda. Tetapi norma moral yang paling dasariah bersifat
universal dan berlaku mutlak. Menurut etika situasi, norma moral yang bersifat
universal adalah “Cinta Kasih” (Fletcher).

4.3. Merumuskan Prinsip-prinsip Moral Dasar

4.3.1. Semua teori etika yang baru saja dijelaskan, tidak ada satupun yang sempurna, masing-
masing memiliki kekurangan dan kelebihannya. .Dari Hedonisme etis kita belajar bahwa
manusia secara spontan mencari kesenangan dan menghindari penderitaan. Tetapi prinsip
kesenangan terlalu sempit untuk dijadikan prinsip dasar. Apalagi orang yang hanya mengejar
kesenangan menjadi egoistik. Dan egoisme justru bertentangan dengan sikap moral yang
seharusnya.

4.3.2. Eudaimonisme mengajarkan bahwa manusia wajib mengejar kebahagiaan dalam


tindakan-tindakannya. Kebahagiaan di sini harus dimengerti sebagai penyempurnaan
pribadi manusia seutuhnya. Prinsip eudaimonisme dapat menjadi norma dasar yang baik,
asalkan ia tidak ditafsirkan secara sempit dan individualistik. Manusia tidak akan mencapai
kebahagiaannya kalau ia memusatkan seluruh perhatiannya pada "aku"-nya sendiri.
Eudaimonisme harus dilandasi antropologi metafisik yang sehat: "Manusia adalah makhluk
yang mengada secara sadar bersama dengan yang lain dalam dunia". Maka aku hanya bisa
menyempurnakan diri (mewujudkan kebahagiaanku) dalam menyempurnakan sesama dan
duniaku.

4.3.3.Utilitarisme mengajarkan bahwa manusia harus mengusahakan manfaat atau akibat


baik yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang di dalam tindakan-tindakannya.
Prinsip utilitarian langsung bersifat universal. Tetapi prinsip utilitarian ini perlu
dilengkapi dengan prinsip keadilan, agar orang tidak mengorbankan hak orang lain dalam
mengejar manfaat yang sebesar-besarnya itu. Apalagi pengertian istilah "manfaat" perlu
dijernihkan agar orang jangan jatuh lagi ke dalam hedonisme etis.

4.3.4.Etika peraturan adalah suatu bentuk penghayatan moral yang mendasarkan dirinya
semata-mata pada peraturan yang rinci. Karena etika peraturan tidak memberikan
pendasaran rasional (peraturan-peraturan tersebut) dan tidak memertimbangkan akibatnya
maka ia cenderung ke arah ketaatan buta. Dengan itu juga ia merendahkan martabat
manusia: Bukan lagi peraturan untuk menusia melainkan manusia untuk peraturan.

4.3.5. Etika situasi mengajarkan keluhuran dan keunikan pribadi manusia, yang selalu berada
dalam situasi konkret yang juga bersifat unik. Maka peraturan-peraturan umum tidak
mencukupi. Setiap orang dalam setiap situasi harus menemukan secara kreatif apa yang
merupakan tanggung jawab dan kewajibannya pada saat yang konkret itu. Kelemahan etika
situasi ialah bahwa ia kurang memerhatikan kesamaan hakiki antar manusia, kurang
memerhatikan landasan struktural yang cukup tetap, seperti bahasa, lingkungan hidup yang
sama, dan struktur sosial dan kurang memerhatikan hierarkhi norma-norma moral, seperti
norma moral konkret dan norma moral dasariah.

45
BAB V
PRINSIP-PRINSIP DASAR MORAL DAN KEUTAMAAN MORAL

Studi kritis kita terhadap etika normatif, yakni etika teleologis dan deontologis sudah kita
lakukan. Berdasarkan kesimpulan dari studi kita di atas, kita melihat bahwa setiap teori etika
memiliki kekurangan dan kelemahan yang harus disempurnakan dengan pemahaman kita atas
prinsip-prinsip dasar moral yang dapat dijadikan titik pangkal untuk merumuskan norma-
norma moral konkret yang dapat dijadikan pedoman untuk menilai kebaikan dan keburukan
suatu tindakan. Dalam bagian ini kita akan mendalami tiga prinsip dasar moral yang harus
menjiwai kehidupan moral seseorang dalam relasi sosial dengan sesamanya. Ketiga prinsip
dasar moral itu adalah prinsip sikap baik, prinsip keadila, dan prinsip hormat pada diri
sendiri. Di samping itu, kita juga akan membahas keutamaan-keutamaan yang harus menjiwai
kehidupan kita sehingga seluruh keputusan, kebijakan, sikap, dan perilaku kita sungguh-
sungguh membentuk kepribadian yang kuat, memiliki integritas moral tinggi, dan
memromosikan keluhuran martabat pribadi manusia. Adapun keutamaan-keutamaan yang
dimaksud adalah kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan bertanggungjawab, kemandirian
moral, keberanian moral, dan kerendahan hati.

5.1. Prinsip-Prinsip Dasar Moral

5.1.1. Prinsip sikap baik


Untuk dapat membentuk tata hidup bersama yang damai dan saling mengembangkan dituntut
adanya sikap baik dari setiap orang yang membentuk kelompok hidup bersama. Prinsip sikap
baik akan mendorong orang untuk mengusahakan kebaikan, kesejahteraan, dan keselamatan
sesamanya, bahkan terhadap orang yang tidak dikenal sebelumnya. Sikap baik membuat
orang memiliki pikiran positif terhadap orang lain, memiliki kemauan baik terhadapnya.
Prinsip sikap baik menjauhkan orang dari sikap curiga yang memicu orang untuk
membentengi diri, membuat sekat-sekat, dan pada akhirnya menciptakan sikap
mengelompokkan orang ke dalam kelompok mereka dan kita, kamu dan aku. Aku hanya
bertanggungjawab terhadap kebaikan dan kebahagiaanku, tidak peduli terhadap hidup dan
kebaikan orang lain.

Sesungguhnya dalam diri manusia ada kecenderungan untuk bersikap baik karena itu adalah
bagian dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Sikap baik yang ada dalam diri setiap
manusia mendasari semua perbuatan baik dan terpuji yang dilakukan. Oleh karena setiap
orang memiliki sikap baik maka berbagai bentuk kejahatan yang dipicu oleh sikap saling
curiga, sikap tamak dan rakus, dan sikap egois akan berkurang dan diganti dengan sikap
altruis terhadap sesama. Semua orang merasa bertanggungjawab atas hidup dan kebaikan
sesamanya.

Dengan kata lain, prinsip sikap baik adalah disposisi dan kemauan untuk melihat orang lain
sebagai pribadi yang bermartabat, yang berharga bukan karena ia menguntungkan dan
bermanfaat bagi saya, melainkan karena dia adalah pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri.
Prinsip sikap baik menantang kita untuk menghendaki, membela, mendukung, dan
mengusahakan kebaikan sesama dan menjauhkan dia dari segala hal yang membahayakan
hidupnya. Prinsip sikap baik ini harus menjiwai setiap orang dan harus mendasari semua
norma moral konkret.

46
5.1.2. Prinsip Keadilan
Apakah prinsip sikap baik dan berpikir positif tentang orang lain sudah cukup untuk
mendasari kehidupan moral seseorang? Apakah demi sikap baik orang boleh menempuh cara
apapun, termasuk melanggar hak orang lain. Misalnya untuk membantu seorang miskin yang
kelaparan, saya mencuri supaya si miskin itu tidak mati kelaparan? Jawabannya tentu tidak.
Untuk berbuat baik kepada orang lain, kita harus memerhatikan hak dan kepentingan orang
lain. Oleh karenanya, prinsip sikap baik harus dilengkapi dengan prinsip keadilan. Prinsip
keadilan adalah kehendak kuat dan tetap untuk memberi kepada setiap orang apa yang
menjadi haknya (tribuere suum cuique). Berdasarkan prinsip keadilan setiap yang berada
dalam situasi yang sama harus diperlakukan sama.

Pada hakikat semua orang mempunyai nilai yang sama sebagai manusia, dengan hak azasi
yang sama maka tuntutan keadilan yang paling dasariah adalah perlakuan yang sama
terhadap semua orang, yang berada dalam kondisi dan situasi yang relatif sama. Contoh,
bayangkan, dua sekretaris berkerja di satu kantor perusahaan yang sama. Keduanya berijazah
D3 dan baru saja memulai kariernya di kantor tersebut. Si A sangat cantik, tapi ia kurang
pintar dan kurang terampil dalam bekerja. Sebaliknya si B sangat pintar dan terampil tetapi
kurang cantik. Apabila pemimpin perusahaan memberikan gaji yang lebih tinggi kepada Si
A hanya karena dia cantik maka ia bertindak tidak adil, karena dia tidak memberi kepada
Si B apa yang menjadi haknya berdasarkan prestasi kerja.

Prinsip Keadilan menuntut bahwa hak-hak azasi manusia tidak boleh dilanggar dan bahwa
kita wajib memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya sebagaimana
ditekankan oleh Aristoteles. Untuk berbuat baik kepada sesama seseorang harus menghargai
hak-hak azasi orang lain. Oleh karenanya, teori etika utilitarisme dikritik karena melanggar
prinsip keadilan, yakni mengorbankan kepentingan dan hak kelompok kecil demi manfaat
bagi sebagian terbesar jumlah orang.

5.1.3. Prinsip hormat pada diri sendiri


Sebagaimana sudah dikatakan di atas, bahwa untuk bersikap baik orang tidak boleh
melanggar hak-hak orang lain, termasuk untuk tidak menelantarkan diri sendiri, dengan
membiarkan diri diperbudak dan diperalat oleh orang lain. Oleh karenanya, prinsip sikap
baik, selain harus dibarengi oleh prinsip keadilan, juga harus didasari oleh prinsip hormat
pada diri sendiri. Hal itu sejalan dengan kaidah umum “cintailah sesamamu seperti kamu
mencintai diri sendiri.” Dari kaidah umum ini kita dapat melihat bahwa mencintai diri sendiri
merupakan dasar dan patokan bagaimana kita bisa mencintai orang lain secara benar.
Mencintai diri sendiri tidak sama dengan sikap egois, sebab sikap egois menjadikan
kepentingan diri sendiri sebagai titik pangkal dan dorongan seseorang berbuat sesuatu.

Prinsip hormat pada diri sendiri mau mengatakan bahwa setiap orang harus memerlakukan
dirinya sendiri sebagai pribadi yang bermartabat dan memiliki nilai dalam dirinya sendiri.
Manusia adalah pribadi, subjek berkesadaran, memiliki kebebasan, kehendaki, akal budi, dan
suara hati. Dengan demikian, manusia sebagai pribadi tidak boleh diperlakukan sebagai alat
atau sarana semata demi mencapai tujuan tertentu. Magnis-Suseno mengatakan bahwa prinsip
hormat pada diri sendiri memiliki dua arti: pertama, sebagai tuntutan agar kita tidak
membiarkan diri diperas, diperbudak; kedua sebagai tuntutan moral untuk tidak
menelantarkan diri sendiri.

47
5.1.4. Hubungan di antara ketiga prinsip dasar moral
Hubungan diantara ketiga prinsip ini dapat dirumuskan sebagai berikut: prinsip keadilan dan
prinsip hormat pada diri sendiri merupakan dasar untuk bersikap baik kepada orang lain.
Sedangkan sikap baik merupakan dasar bagi seseorang untuk bersikap dan berlaku adil
kepada sesama. Hal ini dapat dijelaskan melalui contoh berikut: seseorang yang berbuat baik
untuk menolong orang lain yang berkesusahan tidak boleh menggunakan cara-cara yang
bertentangan dengan prinsip keadilan, misalnya dengan cara mencuri. Dengan demikian,
maksud baik saja tidaklah cukup. Kebaikan kepada orang lain harus senantiasa didasarkan
pada keadilan dan menghormati martabat pribadi diri sendiri.

5.2. Beberapa Keutamaan Moral


Untuk tumbuh menjadi pribadi moral yang dewasa dan mandiri, kita diharapkan memiliki
kualitas pribadi berkeutamaan. Yang dimaksud dengan keutamaan adalah kehendak kuat dan
tetap untuk mengarahkan diri pada apa yang baik.

5.2.1. Kejujuran
Dalam kehidupan bermasyarakat, kejujuran merupakan keutamaan yang harus menjiwai
semua orang yang membentuk hidup bersama. Kejujuran adalah landasan untuk membangun
kepercayaan orang lain kepada kita. Tanpa adanya kejujuran, tidak mungkin dibangun
suasana saling memercayai. Sekali orang dikhianati maka kepercayaan akan hilang. Dalam
kerja sama dengan orang lain, kejujuran ini mutlak perlu untuk dihayati dan dihidupi. Tanpa
adanya sikap jujur maka keutamaan-keutamaan lain akan digerogoti dan kehilangan
wibawanya. Menurut Magnis-Suseno, bersikap jujur kepada orang lain berarti bersikap
terbuka dan fair. Orang yang jujur adalah orang yang tidak menyembunyikan situasi dirinya,
maksud-maksudnya. Orang yang jujur adalah orang yang konsisten antara apa yang
dipikirkan dengan apa yang dikakatan dan diperbuat. Kejujuran seseorang dapat dilihat dari
kesetiaan seseorang terhadap apa yang dijanjikan.

Kejujuran terhadap orang lain harus diawali dengan kejujuran kepada diri sendiri, kepada hati
nuraninya. Berdasarkan pengalaman banyak orang, kejujuran seseorang terhadap diri sendiri
merupakan pintu masuk menuju kesuksesan seseorang. Kejujuran seseorang terhadap diri
sendiri dan orang lain membawa kedamaian dalam hidup seseorang. Sebaliknya, kebohongan
dan kecurangan membuat seseorang tidak tenang karena dikejar oleh rasa bersalah.

5.2.2. Otentisitas
Yang dimaksud dengan otentisitas adalah keaslian, originalitas, kegenuinan. Pribadi yang
otentik adalah pribadi yang didasari oleh kejujuran, yang tampil apa adanya, tidak memakai
topeng. Manusia yang otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai
dengan keasliannya. Orang yang otentik adalah orang memiliki pendirian tegas, berpegang
pada prinsip meskipun ia harus menanggung kerugian. Dia menjadi orang yang tidak puas
dengan hanya mengikuti kata orang lain, tetapi mau bertindak sesuai dengan pendirian dan
dorongan hati nurani. Lawan dari pribadi yang otentik adalah pribadi yang oportunis, artinya
menyesuaikan diri dengan situasi lingkugan sejauh menguntungkan.

5.2.3. Kesediaan untuk bertanggung jawab


Dalam materi tentang kebebasan, kita telah membahas korelasi antara kebebasan dan
tannggung jawab. Semakin orang bertanggung jawab maka ia akan semakin bebas, semakin ia
menjadi pribadi yang jujur dan otentik ia akan menjadi pribadi yang sungguh bebas.
Kesediaan untuk bertanggungjawab merupakan konsekuensi logis dari kebebasan yang
dimiliki oleh manusia. Bertanggungjawab berarti kesediaan seseorang untuk memberi alasan

48
dan menerima semua konsekuensi yang dihasilkan dari apa yang diputuskan dan
dilakukannya. Orang yang bertanggungjawab tidak akan mengelak dari tututan orang lain atas
apa yang dilakukannya. Pribadi yang bertanggungjawab akan melakukan sesuatu bukan
hanya karena hukum atau peraturan memerintahkan, melainkan juga karena kesadaran pribadi
bahwa sesuatu itu bernilai maka wajib dilakukan. Orang yang melakukan sesuatu karena
didorong oleh rasa tanggung jawab adalah tanda bahwa ia dewasa secara moral.

5.2.4. Kemandirian moral


Kejujuran pada diri sendiri, otentisitas, dan kesediaan untuk bertanggungjawab merupakan
dasar untuk menjadi pribadi moral yang dewasa dan mandiri. Orang yang mandiri secara
moral adalah orang yang berani membuat dan mengambil keputusan berdasarkan
pertimbangan-petimbangan rasional atas suatu persoalan pada situasi konkret. Orang yang
mandiri secara moral tidak akan mengikuti apa yang dikatakan dan diperbuat oleh orang lain,
kalau itu dinilai bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar moral. Orang yang
mandiri secara moral tidak akan melakukan suatu tindakan hanya untuk menyenangkan orang
lain atau yang memberi rasa enak pada dirinya sendiri. Ia melakukan sesuatu yang dinilainya
sebagai tugas dan tanggung jawagnya dalam situasi konkret.

5.2.5. Keberanian moral


Yang dimaksud dengan keberanian moral adalah tekad dan kehendak kuat untuk bertindak
dan berbuat sesuai dengan apa yang dipikikan dan dipertimbangkannya sebagai tugas dan
tanggng jawabnya. Magnis Suseno menegaskan bahwa keberanian moral ditujukkan dalam
tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajibannya walaupun
ia harus berhadapan dengan banyak kesulitan dan risiko yang harus ia tanggung. Orang yang
memiliki keberanian moral akan memiliki keberanian untuk melawan arus lingkungan yang
bertentangan dengan nilai-nilai moral yang mau diperjuangkannya.

5.2.6. Kerendahan hati


Untuk mencapai kedewasaan dan kemandirian moral orang harus bersikap rendah hati untuk
mau belajar dari pengalaman orang lain. Kerendahan hati membuat orang mampu
merelatifkan apa yang dimiliki dan disandangnya. Orang yang rendah hati akan mampu
mendengarkan orang lain dan terbuka terhadap perubahan kalau memang diperlukan.

5.2.7. Bonum commune


Orang yang memiliki kedewasaan moral adalah pribadi yang mampu bertindak bukan hanya
demi kepentingan diri sendiri, melainkan juga mau berkorban demi kesejahteraan dan
kebahagiaan orang lain. Hal itu mensyaratkan adanya kemauan dan kemampuan untuk
bersikap altruis, artinya membuka diri terhadap kebutuhan dan situasi orang lain. Kebutuhan
dan penderitaan orag lain menggugat kesadaran moralnya untuk bertindak demi kebaikan
sesamanya. Prinsipnya adalah bahwa aku akan maju dan berkembang kalau orang lainpun
maju dan berkembang.

5.2.8. Kesimpulan
Untuk menjadi pribadi moral yang dewasa, orang perlu hidup berdasarkan prinsip-prinsip
dasar moral, yakni bersikap baik kepada sesama, bersikap adil, dan hormat terhadap diri
sendiri. Sikap hormat pada diri sendiri dan sikap adil menjadi dasar untuk bersikap baik
kepada orang lain. Ketiga sikap moral tersebut akan semakin lengkap dan membentuk
kepribadian yang kokoh kalau dijiwai oleh keutamaan-keutamaan moral.

49
BAB VI
ETIKA TERAPAN DAN ETIKA PROFESI

6.1. Etika Terapan dan Ruang Lingkupnya


6.1.1. Gambaran Umum
Etika secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu etika dasar dan etika khusus/terapan. Etika
khusus sendiri dibagi lagi ke dalam tiga bagian, yakni Etika Individual, Etika Sosial dan Etika
Lingkungan. Karenanya sebelum membahas tentang Etika profesi maka akan dijabarkan
terlebih dahulu tentang etika terapan.
Hal pokok yang mendasar dari Etika Khusus adalah bagaimana manusia menerapkan prinsip-
prinsip atau norma-norma dan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang
khusus, yang lebih mengarah pada bidang kehidupan manusia secara lebih spesifik.

Etika Khusus membawa manusia pada suatu kesadaran tentang suatu bidang kehidupan dan
kegiatan khusus yang dilakukan setiap orang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat
yang didasarkan pada norma dan nilai moral yang ada. Di satu pihak, Etika Khusus memberi
aturan sebagai pegangan, pedoman, dan orientasi praktis bagi setiap orang dalam kehidupan
dan kegiatan khusus tertentu yang dijalani dan dijalankannya. Namun lain di pihak, etika
khusus sebagai refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus tertentu memersoalkan
praktik, kebiasaan, dan perilaku tertentu dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu sesuai
dengan norma umum tertentu di satu pihak dan kekhususan bidang kehidupan dan kegiatan
tersebut, di lain pihak. Jadi, perilaku dan kehidupan moral manusia di sini ditelaah
berdasarkan kekhususan situasi dan problematika kehidupan dan kegiatan khusus tersebut
dengan tetap berlandaskan pada norma dan nilai-nilai umum tertentu, misalnya kedokteran,
politik, hukum, bisnis, ataupun pendidikan.

Di sinilah etika khusus dilihat sebagai etika terapan. Sebab, aturan normatif yang bersifat
umum diterapkan secara khusus sesuai dengan kekhususan/kekhasan bidang kehidupan dan
kegiatan khusus tertentu. Atau dengan kata lain, etika khusus merupakan kontekstualisasi
aturan moral umum dalam bidang dan situasi konkret. Dengan itu etika menjadi aktual
sekaligus menarik dan menantang: menantang penilain moral yang kritis atas dan berhadapan
dengan situasi yang sangat konkret.

6.1.2. Ruang Lingkup Etika Terapan


Yang termasuk dalam kategori etika khusus atau terapan adalah sebagai berikut:

6.1.2.1 Etika individual, menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual ini adalah prinsip
integritas pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga
dan mempertahankan nama baiknya sebagal pribadi moral.

6.1.2.2. Etika sosial, berbicara mengenai kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia
sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana
hakikat manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial, etika
individual dan etika sosial berkaitan erat satu sama lain, bahkan dalam arti tertentu sulit untuk
dilepaskan dan dipisahkan satu dari yang lainnya. Karena, kewajiban seseorang terhadap
dirinya berkaitan langsung dan dalam banyak hal memengaruhi pula kewajibannya terhadap
orang lain, dan demikian pula sebaliknya.

50
6.1.2.3. Etika lingkungan (Environmental Ethics). Etika ini secara khusus berbicara mengenai
hubungan antara manusia (individu-kelompok) dengan lingkungan alam yang lebih luas
dalam totalitasnya, dan juga hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara
keseluruhan. Etika lingkungan hidup dapat pula dibicarakan dalam rangka etika bisnis, karena
pola interaksi bisnis sangat memengaruhi lingkungan hidup.

Ingat kembali Ruang Lingkup Etika dan jangan lupa skema Etika berikut ini:

Biomedis
Dasar Sikap Thp Sesama
Bisnis
Etika Individual Etika Keluarga
Pendidikan
Khusus/terapan Sosial Etika Profesi
Hukum
Etika Gender Ilmu Pengetahuan
Etika lingkungan
Etika Politik dsb

6.2. Etika Profesi

Seperti telah diperlihatkan dalam bagan pembagian Etika, etika profesi merupakan satu
bagian kecil dari etika sosial. Dan etika Sosial merupakan salah satu etika khusus/terapan.
Namun sebelum menyinggung prinsip-prinsip yang ada dalam etika profesi, akan dilihat lebih
dahulu pengertian etika profesi itu sendiri.

6.2.1. Pengertian Profesi


Etika profesi adalah keseluruhan tuntutan moral yang terkenal berlaku pada pelaksanaan
profesi. Dari sini muncul istilah sebagai berikut:
 Ethos kerja; ethos dari etika = ethos (Yunani) dan kerja profesi = kerjaan (orangnya = profi).
Jadi, ethos kerja adalah sikap dasar seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan
pekerjaan.
 Profesi = pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian tetap (misalnya: dokter,
ahli hukum, guru, arsitek, atau ahli astronomi).
 Profesionalitas = keahlian/keterampilan dengan memenuhi kriteria seorang profi
 Profesionalisme = sikap dasar yang sudah menjadi semacam suatu paham kelompok tertentu,
yang sudah menjurus ke arah inklusif (ada kesan tertutup).

Maka bisa dikatakan bahwa profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok
untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Dengan demikian
seorang profesional yang mempunyai profesi dalam pengertian tersebut adalah orang yang
melakukan suatu pekerjaan dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian yang
tinggi. Atau seorang profesional adalah seorang yang hidup dengan memraktikkan suatu
keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menuntut keahlian.

Etika profesi ini cakupan sangat luas karena hampir setiap profesi mengembangkan etikanya
sendiri, seperti: etika kedokteran atau medis untuk profesi medis, etika bisnis untuk kegiatan
bisnis, etika hukum untuk profesi hukum (hakim, jaksa, dan pengacara), etika ilmu
pengetahuan (ilmu-ilmu eksakta), etika pendidikan untuk kepentingan proses belajar-

51
mengajar: guru dan peserta didik atau dosen dan mahasiswa, etika media masa untuk
kepentingan jurnalistik dan para wartawan, ataupun juga etika politik untuk para politisi, dll.

6.2.2. Macam-macam profesi


6.2.2.a. Profesi umum
Pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup disebut
profesi. Berdasarkan definisi ini, kita bisa membedakan dua jenis profesi umum. Pertama,
profesi yang muncul karena mengandalkan suatu keahlian (formal dan nonformal) sebelum
seorang profesional melakukan pekerjaan dalam dunia kerjanya. Dalam konteks itu, profesi
didefinisikan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai sumber nafkah hidup dengan
mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi, dan dengan melibatkan komitmen
pribadi (moral) yang mendalam. Definisi macam itulah yang kita kenakan pada orang
profesional. Yakni orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari
pekerjaannya itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta punya
komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaaannya. Adapun ciri khas orang profesinal itu
adalah: melibatkan seluruh diri dan dengan giat, tekun, dan serius menjalankan pekerjaannya
itu; pekerjaan telah menyatu dengan dirinya dan pekerjaan itu membentuk identitas dan
kematangan dirinya, dan karena itu dirinya berkembang bersama dengan perkembangan dan
kemajuan pekerjaannya itu. Komitmen pribadi yang mendalam dari kaum profesional ini
melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam atas pekerjaannya.

Disiplin, ketekunan, dan keseriusan merupakan perwujudan dari komitmen atas pekerjaan itu.
Dan karena kemajuan dan perkembangan pekerjaannya menentukan perkembangan dirinya,
displin diri lalu merupakan hal yang akan berjalan dengan sendirinya. Hanya dengan disiplin
diri, ia berhasil dalam menjalankan tugas pekerjaannya dan berhasil menjadi orang yang
sukses dan berguna bagi masyarakat. Jadi, orang yang profesional adalah orang yang memang
diandalkan dan dipercaya masyarakat. Mengapa? Sekurang-kurangnya ada tiga alasan.
Pertama, masyarakat tidak bisa melayani diri mereka sendiri, karena, di satu sisi, mereka tidak punya
keterampilan dan keahlian yang memadai untuk itu, di lain sisi, orang profesional punya keahlian dan
keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Kedua, orang profesional punya komitmen moral (pribadi)
serta tanggung jawab yang mendalam atas pekerjaannya. Orang-orang profesional adalah orang yang
ahli dalam bidangnya, terampil, dan punya komitmen moral, bertanggungjawab, tekun, dan serius
dalam menjalankan pekerjaannya, penuh disiplin. Mereka adalah orang-orang yang kompeten dan
efisien, dengan kemampuan untuk bekerja keras, tapi sekaligus menikmatinya, selalu sibuk, tapi
dengan tenang dan mantap, menguasai situasi, punya self-confident yang tinggi, dan output-nya sesuai
dengan standar internasional pekerjaannya (state of the art). Ketiga, memiliki integritas pribadi yang
tinggi dan mendalam, tahu menjaga nama baiknya, komitmen moralnya, tuntutan profesi serta nilai
dan cita-cita yang diperjuangkan oleh profesinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah para
pegawai bank, sekretaris suatu kantor, para ahli teknik, ahli kimia, d1l. Orang-orang ini sebelum
bekerja terlebih dahulu memiliki sertifikat / ijazah dan diterima bekerja melalui proses rekrutmen.

Kedua, profesi yang muncul karena pembiasaan (proses habitual) dan karena alasan atau
desakan ekonomi semata. (walau profesi jenis ini memang masih diperdebatkan). Namun hal
ini sudah diterima di masyarakat kita. Yang termasuk dalam kategori ini adalah orang karena
hobinya lalu menekuni salah satu bidang dan hidup dari nafkah yang diperoleh lewat bidang
yang ditekuni tersebut. Termasuk di sini: para penggali got, para tukang becak, dan pelacur.
Kelompok orang yang menjalankan pekerjaan tersebut dan sejenisnya, yang dilakukan karena
pembiasaan atau karena desakan ekonomi dan karena seringkali dilakukannya maka dari
pengalamannya itu memungkinkan orang yang melakukan itu menjadi terampil dan mungkin
profesional tanpa mengandalkan suatu keahlian (formal dan nonformal) sebelumnya. Maka,

52
pekerjaan seperti itu belakangan diklaim sebagai sebuah profesi sama dengan profesi yang
lain.

6.2.2.b. Profesi Luhur


Prosfesi luhur memiliki kekhususan dibandingkan dengan profesi pada umumnya. Profesi
luhur lebih menekankan pada pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat pada umumnya
melebihi hal-hal lainnya. Seperti halnya profesi yang lain, profesi luhur dijalankan dengan
mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi, dilakukan secara purna waktu, tetapi
dengan mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Orang yang menekuni
suatu profesi luhur, bukan semata-mata dan pertama-tama karena dorongan untuk mempunyai
pekerjaan dan nafkah hidup tertentu, melainkan pertama-tama didorong untuk mengabdi
masyarakat. Jadi, profesi luhur ini dijalani sebagai panggilan hidup. Nafkah hidup dilihat
sebagai sekadar imbalan / akibat yang masuk akal dari menjalankan profesi ini demi
kepentingan masyarakat. Orang yang menjalani profesi luhur ini, rela dan bersedia
mengorbankan hidupnya hanya demi menunaikan profesinya itu.
Contoh klasik dari profesi 1uhur ini adalah dokter (menolong / merawat keselamatan fisik
manusia), penasihat hukum atau pembela di pengadilan (menegakkan kebenaran hukum
sekaligus menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat), rohaniwan/ti (pelayanan akan
kebutuhan spritual), tentara (menolong jiwa manusia dan membela keselamatan manusia dari
serbuan pihak lain). Mereka yang menjalani profesi luhur ini selalu mengutamakan
kepentingan pasien, klien, umat, dan masyarakat daripada kepentingan diri mereka sendiri.

Sayangnya, kini profesi luhur itu mulai perlahan-lahan kehilangan karakter, idelaisme, dan
nilai pengabdian dan pelayanannya. Ada pelbagai alasan mengapa profesi luhur ini mulai (dan
bahkan sudah) kehilangan idealismenya. Di antaranya adalah: pertama, karena pemikiran
pragmatis dan tepat guna serta upaya untuk mengejar keuntungan pribadi (finansial-material)
selalu menghantui dan memengaruhi pribadi kaum profesional yang berprofesi luhur itu.
Kedua, karena kealpaan integritas moral / pribadi dari klaum profesional itu sendiri: tidak lagi
menghiraukan citra luhur profesi, kode etik, dan prinsip-prinsip etika profesi yang dijunjung
oleh profesi yang digeluti dan digumuli para pelaku profesi luhur tersebut.

6.2.3. Ciri-ciri Profesi Umum dan Luhur


6.2.3.a. Adanya keahlian dan keterampilan khusus/spesialisasi.
 Dilandasi oleh keahlian dan keterampilan khusus yang diperoleh melalui pendidikan
(forman dan nonformal), pelatihan, dan pengalaman. Keahlian dan keterampilan yang
dimaksud mencakup: penguasaan teori sistematis yang mendasari praktik profesi;
penguasaan metode / teknik intelektual; pemilikan kemampuan untuk menerapkan
dalam parktik teknik intelektual tersebut pada urusan praktis dan menyelesaikan
program pelatihan, dan memeroleh ijazah / sertifikat; pengalaman yang mencukupi di
lapangan, dsb. Profesi selalu mengandalkan adanya suatu pengetahuan atau
keterampilan khusus yang dimiliki oleh sekelompok orang yang profesional untuk bisa
menjalankan tugasnya dengan baik. Keahlian (pengetahuan) atau keterampilan khusus
ini umumnya memiliki tingkat dan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
dimiliki oleh orang-rang kebanyakan lainnya; lebih ahli dan terampil dalam bidang
profesinya daripada orang lain.
 Cepat tanggap atas persoalan yang dihadapi, termasuk hasilnya. Kaum profesional
mengenali dengan cepat dan tepat persoalan yang dihadapi dan solusinya. Karena
kaum profesional memiliki kemampuan dan keterampilan yang mumpuni maka kaum
profesional lebih tahu mengenai bidangnya dan cepat tanggap atas persoalan yang
dihadapi dibandingkan dengan orang lain. Maka tidak mengherankan kalau
53
masyarakat seringkali menanyakan masalah-masalah yang mereka hadapi pada
seseorang yang disebut profesional itu, yang menggeluti suatu profesi tertentu, tentu
saja yang sesuai dengan masalah yang mereka hadapi.

6.2.3.b. Adanya komitmen moral yang tinggi.


Komitmen moral atau standar moral yang tinggi dari kaum profesional ini biasanya
dituangkan dalam bentuk aturan khusus atau kode etik profesi yang menjadi pegangan
bagi setiap orang yang mengembang profesi tertentu. Selain berfungsi sebagai pegangan,
kode etik profesi juga berfungsi sebagai:
 Kaidah moral yang khusus bagi orang-orang yang punya profesi tertentu dalam tugas
dan karya mereka. Pada setiap profesi, pada umumnya selalu ditemukan adanya suatu
aturan permainan dalam menjalankan. atau mengemban profesi itu, yang biasanya
disebut sebagai "kode etik" (misalnya, kode etik kedokteran, kode etik pengacara,
kode etik wartawan, dan kode etik akuntan). Kode etik ini harus dipenuhi dan ditaati
oleh semua anggota profesi yang bersangkutan, karena sudah merupakan standar
moral yang telah disepakati bersama untuk dilaksanakan. Biasanya kode etik ini jauh
melampaui tuntutan moralitas-minimal bagi masyarakat luas pada umumnya. Dokter,
misalnya, diharapkan untuk tidak hanya bekerja mencari uang, tapi juga untuk
melayani pasien, terlepas dari apakah pasien itu mampu membayar biaya pelayanan
yang diterimanya atau tidak.
 Menentukan identitas dan perilaku moral. Dalam hal ini tentunya akan diperlihatkan
bahwa seorang yang profesional bukan saja orang yang ahli dan terampil, melainkan
juga adalah orang yang mempunyai komitmen moral yang tinggi, yang punya hati, dan
naluri moral.

6.2.3.c. Orangnya hidup dari profesinya


 Hidup sepenuhnya dari profesi yang ditekuni, digeluti, dan digumulinya. Orang yang
hidup dari suatu profesi tertentu biasanya dibayar dengan gaji yang tinggi sebagai
konsekuensi dari seluruh tenaga, pikiran, keahlian atapun keterampilannya.
 Profesinya membentuk identitasnya. Karena profesi yang digeluti melekat pada
dirinya maka secara tidak langsung profesinya membentuk identitas hidupnya. Itu
berarti seseorang menjadi dirinya berkat dan melalui profesinya. Ia tampil dan dikenal
dalam masyarakat melalui dan karena profesinya. Dengan kata lain, profesi menjadi
sebuah bentuk sosialisasi peran dalam masyarakat.

6.2.3.d. Pengabdian kepada masyarakat


Idealnya, seorang yang menyandang profesi tertentu memang harus mengutamakan dan
meningkatkan kualitas keahliannya agar profesinya semakin dihargai dan dengan itu ia akan
memeroleh penghasilan yang mencukupi. Tetapi, ia juga mesti menyediakan ruang, waktu,
tempat, dan nuraninya untuk menolong sesama yang membutuhkan pertolongannya. Dalam
konteks itu, ia harus bersedia memberi pelayanan khusus kepada masyarakat tanpa bermaksud
mencari keuntungan pribadi. Ia juga harus mendahulukan dan mengutamakan kepentingan
masyarakat daripada kepentingan pribadinya (finansial-material). Misalnya, si A adalah
seorang insinyur di suatu daerah terpencil. Suatu ketika warga ingin membangun sarana
irigasi. Karena pengetahuan mereka terbatas, mereka tidak tahu bagaimana membangun
sarana irigasi yang baik. Karena itu, mereka meminta masukan dari si A. Sebagai seorang
yang memiliki keahlian dan keterampilan yang tinggi, si A berkewajiban memberikan
masukan tentang bagaimana cara membangun sarana irigasi yang baik itu (tanpa
mengharapkan imbalan apa pun dari masyarakat). Hal itu merupakan salah satu bentuk
pengabdian dan pelayanannya kepada masyarakat.

54
6.2.3.e. Ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut
Setiap profesi, khususnya profesi luhur, biasanya menyangkut kepentingan masyarakat luas,
terutama yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti keselamatan, keamanan, dan
kelangsungan hidup. Karenanya untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada
izin khusus. Izin khusus ini bertujuan: pertama, melindungi masyarakat dari pelaksanaan profesi
yang tidak becus atau tidak bertanggungjawab. Dengan kata lain, izin merupakan bentuk perlindungan
awal atas kepentingan masyarakat sekaligus mencegah agar kepentingan masyarakat tidak dirugikan
oleh profesi tertentu dan merupakan tanda bahwa orang tersebut punya keahlian, keterampilan, dan
komitmen yang diandalkan dan dapat dipercaya. Kedua, melindungi keluhuran profesi (citra luhur
profesi) tersebut dari kemungkinan disalahgunakan oleh orang-orang tertentu yang tidak profesional.
Adapun wujud dari izin ini adalah surat izin praktik profesi, sumpah, kaul, sertifikat, atau
pengukuhan resmi di depan umum. Izin ini bisa dikeluarkan oleh pemerintah atau organisasi
profesi yang bersangkutan dengan persyaratan tertentu sehingga orang atau organisasi
tersebut layak untuk menjalankan profesinya.

6.2.3.f. Kaum profesional menjadi anggota satu organisasi profesi.


Hal ini bertujuan untuk menjaga keluhuran profesi. Tugas pokoknya adalah: ( 1) menjamin dan
melindungi kepentingan anggota dalam hubungan satu dengan yang lainnya, dengan klien / subjek
layanan, organisasi lain, dan masyarakat luas; (2) memerluas pengetahuan dan keterampilan anggota
dalam bidang keahlian yang sama; (3) menjaga agar standar keahlian dan keterampilan tidak
dilanggar, kode etik tidak dilanggar. Organisasi ini bekerja untuk menjaga agar kepentingan
masyarakat luas tidak dirugikan oleh pelaksanaan profesi tersebut oleh anggota dan menjamin
mutu layanan dengan menetapkan standar profesional yang akan meningkatkan cara
melaksanakan tugas profesi tersebut. Organisasi profesi menjadi semacam "polisi moral"
bagi para anggotanya. Maka tidak mengherankan kalau salah seorang anggotanya melanggar
kode etik profesi atau bertindak tidak sesuai dengan profesinya itu, seluruh kelompok profesi
itu ikut tercemar.

6.2.4. Kode Etik Profesi


6.2.4.a. Pengertian
Kode etik adalah daftar kewajiban dalam menjalankan sebuah profesi yang disusun oleh para
anggota profesi itu sendiri dan mengikat mereka, baik secara pribadi maupun bersama dalam
memraktikannya. Kode etik profesi ditentukan oleh organisasi profesi yang bersangkutan
untuk menyenggarakan tingkah laku dari para anggotanya dalam praktik profesi dan menjadi
syarat minimal yang harus dipenuhi oleh orang yang menjalankan profesi tersebut. Muatan
kode etik profesi ini berkaitan dengan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan; apa yang
harus didahulukan dan apa yang boleh dikorbankan dalam situasi konflik atau dilematis tertentu yang
berkaitan dengan pelaksanaan suatu profesi. Ia memberikan petunjuk-petunjuk untuk praktik
profesi dalam hubungan antara klien dengan para profesional, pengukuran dan standar
evaluasi yang dipakai dalam profesi, penelitian dan publikasi atau penerbitan profesi,
konsultasi dan praktik pribadi, tingkat kemampuan / kompetensi yang umum, administrasi
personalia, dan standar-standar untuk pelatihan. Kode etik ini juga merupakan kaidah moral
yang berlaku khusus untuk orang-orang profesional di bidangnya, bersifat eksklusif,
dikodifikasi menjadi aturan tertulis, dilengkapi dan ditunjang oleh sanksi yang
memungkinkan keberlakuannya jauh lebih pasti, sebagaimana halnya hukum positif, dan
menjadi pegangan konkret: lebih tegas dan pasti sifatnya. Adanya kode etik profesi itu
sekaligus juga menunjukan bahwa tidak semua pekerjaan adalah profesi, dan tidak semua
pekerjaan yang mengandalkan keahlian dan keterampilan khusus serta yang dijalankan
sebagai nafkah hidup adalah profesi. Suatu pekerjaan hanya bisa dianggap sebagai sebuah
profesi manakala pekerjaan itu melibatkan komitmen moral. Dalam konteks itu, kita dapat

55
mengatakan bahwa mafioso/ yakuza ataupun PSK, misalnya, bukanlah suatu profesi, karena
tidak melibatkan komitmen moral di dalamnya, tapi justru bertentangan dengan moral.

6.2.4.b. Sasaran kode etik profesi


 Melindungi masyarakat dari kelalaian dengan sengaja ataupun tidak sengaja dari
kaum profesional. Kode etik profesi menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab
kepada klien, lembaga, dan masyarakat pada umumnya.
 Melindungi keluhuran profesi tersebut dari tindakan bobrok orang yang mengaku diri
profesional. Di sini, kode etik profesi sebagai dasar untuk menjaga kelakuan dan
integritas (kejujuran) dari para profesional sendiri.
 Membantu para profesional dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat tatkala
mereka menghadapi dilema-dilema moral dalam pekerjaan mereka.

6.2.5. Prinsip-prinsip Etika Profesi


6.2.5.a. Tanggungjawab
 Terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya. Kaum profi tidak melihatnya sebagai
tuntutan dari luar dirinya tapi terlebih sebagai tuntutan dari dalam dirinya sendiri. la
cenderung bekerja baik dengan standar di atas rata-rata dengan hasil yang optimum
dan mutu terjamin berdasarkan tuntutan profesionalitasnya: tuntutan dari orang lain
dan dirinya sendiri.
 Terhadap dampak profesi bagi kehidupan dan kepentingan orang lain, terutama
kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Bentuk tanggung jawab kaum profesional
itu macam-macam, di antaranya adalah kompensasi, pengakuan jujur dan tulus secara
moral sebagai telah melakukan kesalahan, dan mundur dari jabatannya (sebagai bagian
dari tuntutan integritas pribadi kaum profesional).

6.2.5.b. Keadilan.
 Tidak merugikan hak dan kewajiban orang lain dalam rangka profesinya.
 Tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapa pun, termasuk orang yang tidak
membayar jasa profesionalnya. Prinsip yang berlaku di sini adalah "siapa yang
datang pertama mendapat pelayanan pertama."
 Tidak boleh membedakan pelayanannya dan juga kadar serta mutu pelayanannya itu.

6.2.5.c Otonomi sebagai tuntulan kaum profi terhadap dunia luar/pemerintah.


Prinsip ototnomi merupakan sebuah prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap
dunia luar. Mereka menuntut supaya diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan dan
mengembangkan profesi mereka dan tidak boleh ada pihak luar (pemerintah) ikut campur
tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. Dengan kata lain, pemerintah harus menghargai
otonomi profesi bersangkutan dan tidak boleh campur tangan pelaksanaan profesi tersebut.
Hal itu tidaklah berarti bahwa otonomi kaum profesional tak terbatas. Otonomi kaum
profesional itu memiliki batas-batasnya juga, di antaranya adalah: (1) Tanggung jawab dan
komitmen profesional atas kemajuan profesi tersebut dan dampaknya pada kepentingan masyarakat.
Dengan kata lain, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional dan
tidak merugikan hak dan kepentingan masyarakat atau pihak lain. (2) Kendati menghargai otonomi
kaum profesional, pemerintah tetap menjaga dan malah ikut campur tangan agar pelaksanaan profesi
tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Dengan kata lain, otonomi hanya berlaku sejauh
pelaksanaan profesi tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Jadi, kaum profesional memang
otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesi mereka asalkan tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak tertentu, termasuk kepentingan bersama.

56
6.2.6. Integritas Kaum Profesional
Orang yang profesional adalah juga orang yang mempunyai integritas pribadi. Sebab orang
hanya dapat menjadi profesional sungguh-sungguh manakala ia mencapai tingkat integritas
kepribadian yang memadai. Tanpa integritas kepribadian itu, kemantapan yang menjadi salah
satu ciri khas profesionalisme tidak mungkin dicapai. Hanya kaum profesional yang memiliki
integritas kepribadianlah yang dapat bertahan dalam melakukan dan memraktikkan
keahliannya, dan dengan itu mendatangkan pengakuan ataupun penolakan dari masyarakat
atas pelaksanaan tugas-tugasnya sebagai seorang profi. Adapun integritas kepribadian yang
dimaksud adalah, pertama, integritas intelektual; kedua, integritas moral; dan ketiga integritas
religius.

6.2.6.a. Integritas Intelektual (keahlian)


Beberapa kekuatan intelektual seorang profi:
 Keterlibatan pada kebenaran. Misalnya, seorang profesional tidak hanya tahu bahwa
bohong itu sesuatu yang jelek, tetapi juga, terlebih karena ia merasa sebagai suatu
ketidakjujuran intelektual.
 Selalu tidak puas dengan kesan dan perasaan. Ia ingin tahu bagaimana duduk suatu
persoalan secara benar, persis sekaligus menuntut pertanggungan-jawaban rasional
atas pendapat / pernyataan dan bersedia untuk memberikannya, terbuka pada kritik
dan “gandrung” berdiskusi. Seorang profi mempunyai dan menghargai kemerdekaan
berpikir, kebebasan menjelajah (petualangan intelektual), kemandirian sikap dan
keberanian untuk mengartikulasikan itu semua.
 Ia selalu tida puas dengan kesan pertama, tapi selalu mencari dalil-dalil pertama,
mencari dasar dan sebab-sebab yang sebenarnya, sampai ia mengerti, berani mengakui
keterbatasan, ketidaktahuan, dan kekeliruannya.
 Kemandirian intelektual: tahu letak permasalahan yang harus ditangani, faktor-faktor
mana yang sebenarnya menentukan pemecahannya, dan dapat bekerja secara mandiri
dalam wewenangnya.

6.2.6.b. Integritas Moral


Integritas moral merupakan tuntutan kaum profesional atas diri mereka sendiri. Di dalam
menjalankan tugas profesi, mereka tidak akan sampai merugikan nama baik serta citra dan
martabat profesi, bertanggungjawab atas profesi serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung
dan diperjuangkan profesi mereka. Adapun kekuatan moral kaum profesional adalah:
 Berani berbuat dengan ketekadan. Artinya, kaum profesional tidak akan mudah kalah
dan menyerah pada godaan untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar nilai
yang dijunjung profesinya. Ia tidak akan mundur dari apa yang diyakininya benar dan
yang merupakan kewajibannya, kendatipun ia ditekan atau diancam
 Memiliki kesadaran berkewajiban. Kaum profesional akan merasa malu kalau
bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Ia rela mundur dari jabatan atau
profesinya kalau ia bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung
profesinya itu. Sebaliknya, ia rela mati hanya demi memertahankan kebebenaran yang
dijunjungnya itu.
 Memiliki idealisme. Kaum profesional punya pendirian yang teguh, jujur, dan tidak
suka membuat kesan yang tidak sesuai. Ia juga memiliki suatu keadilan dasar, tidak
lari dari apa yang menjadi tanggung jawabnya, bertekad untuk memberikan prestasi
yang diharapkan daripadanya. Selain itu, seorang profi yang memiliki integritas moral
cinta pada mutu dan menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai dengan standar yang
berlaku. Pendek kata, ia bertindak berdasarkan kesadaran akan kewajiban.

57
6.2.6.c. Integritas Religius
Ada semacam anggapan umum dalam masyarakat bahwa antara agama dan profesionalisme
tidak saling berkaitan. Di satu sisi, agama / kepercayaan adalah urusan pribadi seseorang dan
tidak relevan terhadap tingkatan profesionalitasnya. Di lain sisi, kemajuan material sebagai
motivasi dasar kehidupan manusia dan pekerjaannya dianggap kurang memadai sehingga
diandaikan bahwa kebanyakan orang, dalam kehidupan pribadi, memiliki keyakinan religius
atau metafisik tertentu. Jadi, tidak ada relevansi religiusitas seseorang terhadap
profesionalitasnya. Tapi, Magnis-Suseno (1991) menolak anggapan macam itu. Menurut
beliau, religiusitas seseorang bukanlah salah satu faktor terpisah dari kepribadiannya,
melainkan turut menentukan sikap orang itu dalam semua bidang kehidupannya.

Seseorang dalam segala apa yang dilakukannya juga bersikap sesuai dengan kepercayaannya.
Harus diakui bahwa tak ada bidang dimana iman seseorang diparkir di luar atau diabaikan.
Integritas religius menuntut kerendahan hati yang memberi kebebasan kepada orang lain dan
tidak memakai kekuasaan untuk memajukan keyakinan religiusnya. Itulah tuntutan integritas
dan kejujuran religius. Jadi, antara religiusitas dan profesionalitas saling berkaitan.

Ketiga segi integritas kepribadian kaum profesional di atas menjadi operasional dan nyata
dalam sikap jujur. Dengan kata lain, sikap jujur merupakan kunci utama terciptanya integritas
intelektual, integritas moral, dan integritas religius. Kejujuran erat terkait dengan
kepercayaan. Kepercayaan adalah nilai dasar, baik dalam hubungan antarpersonal ( antar-
kaum profesional sendiri) maupun dalam kehidupan bermasyarakat (hubungan antara kaum
profesional dengan kliennya).

6.2.6.d. Hubungan antara Ketiga Integritas Kaum Profesional


 Seorang profesional tidak akan mencapai kemantapan yang diperlukan tanpa integritas
moral. Misalnya, dalam keadaan krisis, di mana perbedaan antara sekadar ahli dan
orang yang sungguh profesional segera akan kelihatan. Hanya integritas intelektual
dan moral yang dapat memberikan keberanian moral yang dibutuhkan untuk
menjalankan job-nya, juga dalam situasi krisis.
 Secara moral, integritas religius hanyalah utuh manakala disertai sikap kerendahan
hati dalam hal agama dan sikap hormat terhadap segenap manusia dalam keyakinan
dan sikap hidup yang diyakininya.
 Religiusitas merupakan aset yang amat positif bagi setiap orang yang profesional.
Karena religiusitas itu memungkinkan kaum profesional menempatkan diri dalam
menjalani profesinya, dalam konteks pengertian tentang makna realitas, dan kehidupan
manusia yang menyeluruh (integritas religius), yang merupakan dasar paling kuat agar
kita, dalam bidang profesi kita yang terbatas, dapat melakukan tugas terbatas kita
dengan mantap (integritas intelektual), bertanggungjawab dan secara memadai
(integritas moral).

58
BAB VII
BISNIS DAN ETIKA DALAM DUNIA MODERN

Pada awalnya, terdapat pandangan yang amat kuat, bahwa bisnis dan etika merupakan dua
bidang yang independen satu terhadap yang lain. Seiring dengan sentralnya peranan bisnis
dalam dunia modern, semakin kuat dukungan untuk mengkaji ulang pandangan lama itu. Kini
Etika Bisnis merupakan kenyataan yang tak terbantahkan, bahkan pihak-pihak yang terlibat
dalam bisnis pun mengakui pentingnya peranan Etika Bisnis dalam praktik bisnis yang sehat
demi kebaikan bersama. Sebelum menguraikan tentang Etika Bisnis, akan ditinjau dahulu tiga
aspek pokok dari bisnis. Selanjutnya penting pula diperhatikan faktor sejarah dan budaya
dalam Etika Bisnis.

7.1. Tiga aspek pokok dari bisnis

Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks, yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti faktor organisatoris-manajerial, faktor ilmiah-teknologis, dan faktor politik-
sosial-kultural. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dapat disoroti dari berbagai sudut pandang. Di
sini bisnis disoroti dari tiga sudut pandang yang berbeda, tetapi tidak selalu mungkin
dipisahkan satu dari yang lainnya.

7.1.1. Sudut Pandang Ekonomis


Bisnis adalah kegiatan ekonomis, yaitu kegiatan – memroduksi-memasarkan, tukar- menukar,
jual-beli, bekerja-memekerjakan, dll – dengan maksud memeroleh untung. Atau dapat
dilukiskan: bisnis adalah kegiatan ekonomis yang relatif terstruktur atau terorganisasi untuk
menghasilkan keuntungan. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi
diadakan dalam interaksi. Jadi bisnis berlangsung sebagai komunikasi sosial yang
menguntungkan untuk kedua belah pihak yang melibatkan diri.

Bagi pebisnis, keuntungan pada satu sisi berfungsi untuk menjaga kelangsungan bisnis itu
sendiri (survival) dan pada sisi lain berfungsi untuk memungkinkan bisnis mengalami
pertumbuhan (growth). Guna mencapai tujuan itu, para ekonom telah mengembangkan
pelbagai kiat atau teknik untuk memperoleh keuntungan. Jadi, dipandang dari sudut
ekonomis, good business ialah bisnis yang membawa keuntungan besar.

7.1.2 Sudut Pandang Hukum


Bisnis juga terikat oleh hukum, yaitu Hukum Dagang atau Hukum Bisnis. Seperti etika,
hukum merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan. Walaupun ada hubungan erat antara norma hukum dengan prinsip
etika, namun terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya.

Pertama, Banyak hal yang bersifat tidak etis, tidak dilarang secara hukum atau tidak semua
yang imoral adalah ilegal juga (lihat uraian dalam Etika Umum). Kedua, Banyak masalah
yang secara moral sudah dinilai buruk, baru bertahun-tahun kemudian dapat dirumuskan
sebagai hal yang melanggar hukum. Ketiga, Lagi pula hukum itu sendiri seringkali bisa
disalah-gunakan, padahal itu melanggar norma moral. Keempat, Ada juga hukum yang
terumuskan dengan baik, namun karena satu dan lain hal masih sulit untuk dilaksanakan.
Kelima, Hukum kerap menggunakan pengertian yang tidak terdefinisikan secara hukum,
namun diambil dari konteks moral. Jadi, dipandang dari sudut hukum, good business ialah
bisnis yang patuh pada hukum.

59
7.1.3. Sudut Pandang Moral
Baik sudut pandang hukum maupun sudut pandang ekonomis tidaklah cukup. Perlu diakui
adanya sudut pandang lain, yaitu sudut pandang moral. Di samping hukum, dibutuhkan norma
moral yang menetapkan: apa yang etis dan apa yang tidak etis untuk dilakukan. Bahkan harus
digaris-bawahi: pada taraf normatif, etika mendahului hukum (kewajiban untuk mematuhi
hukum berasal dari sudut pandang moral).

Sudut pandang ekonomis harus diakui memiliki peran sentral dalam bisnis, namun sudut
pandang moral ternyata tidak boleh diabaikan. Mengejar keuntungan merupakan hal yang
wajar, asalkan tercapai dengan tidak merugikan pihak lain. Aspek moral merupakan batas dari
semua perilaku, termasuk perilaku ekonomis. Tidak semua hal yang bisa dilakukan (meraih
keuntungan), boleh dilakukan. Dari banyak contoh dapat disimpulkan, bahwa perilaku etis
adalah penting, demi kelangsungan hidup bisnis itu sendiri, terutama jika dilihat dalam
perspektif jangka panjang. Hubungan bisnis jangka panjang biasanya dibangun atas dasar
kepercayaan (trust) dan nama baik. Dan kedua hal itu pada dasarnya merupakan landasan
moral dalam berbisnis. Jadi, dipandang dari sudut moral, good business ialah bisnis yang
dinilai baik secara moral, atau bisnis yang sesuai dengan norma-norma moral.

7.1.4. Tolok Ukur untuk Ketiga Sudut Pandang di atas


Tolok ukur secara ekonomis (keuntungan) dan secara hukum (kepatuhan pada hukum) lebih
mudah dirumuskan daripada tolok ukur secara moral. Setidak-tidaknya dapat disebut tiga
macam tolok ukur secara moral, yaitu: hati nurani (lihat uraian dalam Etika Umum), Kaidah
Emas (lihat uraian tentang prinsip-prinsip moral dasar dan keutamaan-keutamaan dasar dalam
Etika Umum) dan penilaian masyarakat umum atau disebut juga “audit sosial”. Guna
mencapai objektivitas yang tinggi, audit sosial ini perlu dilakukan dalam suatu forum yang
seluas mungkin. Karena itu, audit sosial menuntut adanya keterbukaan. Akhirnya dapat
disimpulkan: supaya patut disebut good business, perilaku bisnis harus memenuhi syarat-
syarat dari ketiga sudut pandang di atas.

7.2. Etika Bisnis dan Perkembangannya

Sepanjang sejarah, kegiatan bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Boleh dikata:
perhatian etika untuk bisnis adalah seumur dengan bisnis itu sendiri. Sejak manusia terjun
dalam perniagaan, disadari juga bahwa kegiatan ini tidak terlepas dari masalah etis. Artinya:
dalam perniagaan selalu harus dipertimbangkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan.

Namun etika bisnis sebagaimana dipahami dan dipraktikkan saat ini, tidak persis sama dengan
apa yang telah terjadi sejak dahulu kala. Richard De George membedakan antara ethics in
business dengan business ethics. Etika selalu dikaitkan dengan bisnis, sebagaimana etika juga
selalu dikaitkan dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan manusia. Jadi, etika-dalam-
bisnis belum merupakan suatu bidang khusus yang memiliki corak dan identitas tersendiri.
Hal ini baru tercapai dengan munculnya “etika bisnis” dalam arti yang sesungguhnya. Etika-
dalam-bisnis memiliki riwayat yang panjang, tetapi etika bisnis masih muda sekali. Kita dapat
membedakan lima periode dalam perkembangan etika-dalam-bisnis menjadi etika bisnis.

7.2.1. Situasi s/d Paruh Pertama Abad-20


Pada awal sejarah filsafat, Plato dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki, bagaimana
sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan dalam konteks itu juga
dibahas bagaimana kehidupan ekonomi dan tata niaga harus diatur. Pada Abad Pertengahan,

60
pembahasan ini dilanjuntukan dalam filsafat dan teologi, baik dalam kalangan Kristen
maupun Islam. Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan juga tidak luput dari
perhatian filsafat dan teologi di zaman modern.

Sampai dengan paruh pertama abad-20, di berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat,
masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis menjadi sorotan dalam teologi (kuliah agama
membahas masalah moral sekitar ekonomi dan bisnis). Di kalangan Katolik, dipelajari
“Ajaran Sosial Gereja” (uraian sistematik dari ajaran para paus dalam ensiklik-ensiklik sosial,
sejak ensiklik Rerum Novarum pada tahun 1891). Di situ disinggung banyak tema, seperti:
hak pekerja atas kondisi kerja yang baik, imbalan yang pantas, pentingnya nilai-nilai moral
dalam menghadapi suasana materialistis dan konsumeristis, keadilan sosial dan upaya
mengatasi persoalan kemiskinan, tanggung-jawab negara-negara kaya terhadap negara-negara
miskin, dsb. Di kalangan Protestan, buku teolog Jerman Reinhold Niebuhr Moral Man and
Immoral Society (New York, 1932) memiliki pengaruh yang besar.

Dengan demikian di AS selama paruh pertama abad ke-20, etika-dalam-bisnis terutama


dipraktikkan dalam konteks agama dan teologi. Pendekatan ini masih berlangsung terus
sampai hari ini, baik di AS maupun di tempat-tempat lainnya.

7.2.2. Masa Peralihan: tahun 1960-an


Dasawarsa 1960-an ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas, penolakan
terhadap kemapanan (establishment), yang terjadi baik di AS maupun di dunia Barat pada
umumnya. Kaum muda Amerika frustrasi dengan keterlibatan AS dalam perang Vietnam.
Mereka menolak kolusi antara militer dan industri. Juga untuk pertama kalinya timbul
kesadaran akan masalah ekologis. Industri dianggap sebagai penyebab utama dari masalah
lingkungan hidup akibat polusi udara, air, dan tanah serta limbah beracun dan sampah nuklir.
Timbul juga sikap anti-konsumerisme yang melihat tendensi tidak sehat dalam masyarakat
akibat kampanye periklanan yang berlebihan oleh bisnis modern.

Dunia pendidikan menanggapi situasi ini a.l. dengan menaruh perhatian khusus kepada isyu-
isyu sosial dalam kuliah manajemen. Muncul kuliah baru dengan nama Business and Society,
yang diberikan oleh dosen-dosen manajemen. Salah satu topiknya ialah tentang tanggung-
jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Pendekatan dari segi manajemen ini
juga melibatkan aspek hukum dan sosiologi, tetapi teori etika filosofis belum dimanfaatkan.
Dekade ini merupakan persiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis dalam dekade
berikutnya.

7.2.3. Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an


Etika bisnis sebagai suatu bidang intelektual dan akademis dengan identitas sendiri mulai
terbentuk di AS sejak tahun 1970-an. Ada dua faktor yang berkontribusi pada kelahiran etika
bisnis:

7.2.3.a. Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis sekitar bisnis.
Beberapa tahun sebelumnya mereka sudah menemukan biomedis / bioetika, dan dari sukses
ini muncul keberanian untuk terjun dalam etika bisnis sebagai sebuah cabang etika terapan
juga. Langkah ini tergolong radikal, karena penelitian filsafat sebelumnya justru jauh dari
masalah praktis. Meneruskan tendensi etika terapan yang berorientasi multi-disipliner, para
filsuf juga bekerja sama dengan ahli-ahli lain, khususnya ekonomi dan manajemen.
Konferensi perdana tentang etika bisnis pada bulan Nopember 1974, yang diselenggarakan di
Universitas Kansas oleh Philosophy Department (Richard De George) bersama College of

61
Business (Joseph Pichler), disebut sebagai tanggal kelahiran etika bisnis. Makalah-
makalahnya kemudian diterbitkan dalam buku Ethics, Free Enterprise, and Publicy: Essays
on Moral Issues in Business (1978).

7.2.3.b. Etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang
meliputi dunia bisnis di AS.
Terjadi beberapa skandal dalam bisnis Amerika awal tahun 1970-an, di antaranya “Lockheed
Affair” (kasus korupsi yang melibatkan perusahaan pesawat terbang terkemuka di AS). Krisis
moral itu diperkuat lagi oleh krisis moral lebih umum yang melanda AS, dengan menguaknya
“Watergate Affair” yang akhirnya memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri
(pertama kali dalam sejarah AS).

Sebagai reaksi, di kalangan pendidikan AS dirasakan kebutuhan akan refleksi etika di bidang
bisnis. Salah satu usaha khusus ialah menjadikan etika bisnis sebagai mata kuliah wajib dalam
kurikulum sekolah bisnis yang mendidik calon manajer dan ahli ekonomi. Langkah ini besar
sumbangannya bagi perkembangan etika bisnis ke arah bidang ilmiah yang memiliki identitas
sendiri.

7.2.4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an


Etika bisnis sebagai ilmu baru, mulai berkembang di Eropa pada dekade berikutnya, bermula
di Inggris yang secara geografis dan kultural amat dekat dengan AS. Makin banyak fakultas
ekonomi dan sekolah bisnis yang mencantumkan mata kuliah etika bisnis dalam
kurikulumnya, baik bersifat wajib maupun pilihan. Profesor etika bisnis pertama diangkat
pada tahun 1983 di Universitas Nijenrode, Belanda. Dalam sepuluh tahun, ada 12 profesor
etika bisnis di universitas-universitas Eropa. Pada tahun 1987 didirikan European Business
Ethics Network (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan antara akademisi dari
universitas/ sekolah bisnis dengan para pengusaha maupun wakil-wakil dari organisasi
nasional dan internasional (misalnya serikat buruh).

7.2.5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an


Pada dekade ini semakin jelas, etika bisnis tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Kini etika
bisnis dipelajari, diajarkan, dan dikembangkan di seluruh dunia (Amerika Latin, Asia, Eropa
Timur, dan di kawasan dunia lainnya). Tidak mengherankan, bila etika bisnis juga mendapat
perhatian khusus di Jepang, negara yang memiliki ekonomi paling kuat di luar dunia Barat. Di
India, etika bisnis terutama dipraktikkan oleh Management Center for Human Values yang
didirikan oleh Indian Institute for Management di Kalkutta pada tahun 1992. Kemudian
berdiri International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE), yang
menyelenggarakan pertemuan perdana pada The First World Congress of Business,
Economics, and Ethics di Tokyo pada tanggal 25 – 28 Juli 1996.

7.3. Faktor Sejarah dan Budaya dalam Etika Bisnis

Jika kita mempelajari sejarah, khususnya sejarah dunia Barat, berabad-abad lamanya terdapat
tendensi kuat yang memandang bisnis atau perdagangan sebagai kegiatan yang tidak pantas
bagi manusia beradab. Pedagang jelas-jelas dicurigai kualitas etisnya. Sikap negatif terhadap
bisnis berlangsung terus sampai zaman modern dan baru menghilang pada era industrialisasi.
Berikut beberapa unsur untuk memerlihatkan, bahwa pandangan etis tentang perdagangan dan
bisnis berkaitan erat dengan faktor sejarah dan budaya.

62
7.3.1. Kebudayaan Yunani Klasik
Masyarakat Yunani kuno/ klasik memiliki pandangan negatif terhadap kegiatan dagang dan
kekayaan. Warga negara yang merdeka seharusnya mencurahkan perhatian dan waktunya
untuk kesenian dan ilmu pengetahuan (filsafat), di samping turut serta dalam pengurusan
negara dan – jika perlu – turut membela negara. Perdagangan sebaiknya diserahkan kepada
orang asing dan pendatang.

Plato (427 – 347 SM) dalam karya terakhirnya yang berjudul Undang-Undang, memerikan
negara yang ideal. Negara ideal itu letaknya harus cukup jauh dari pantai laut, supaya tidak
menjadi pusat perdagangan sekaligus kekuatan maritim. “….. dekatnya laut mengakibatkan
jalan-jalan dibanjiri oleh pedagang serta pemilik toko dan menanamkan dalam jiwa manusia
kebiasaan seperti ketidak-setiaan dan penipuan sehingga negara menjadi tidak setia dan
kurang ramah baik terhadap warganya sendiri maupun terhadap dunia luar …..” Negara yang
ideal adalah negara agraris yang sedapat mungkin berdikari sehingga perdagangan hampir
tidak perlu. Perdagangan memertebal keserakahan manusia. Yang paling berharga bagi
manusia adalah keutamaan dan bukan kekayaan duniawi.

Aristoteles (384 – 322 SM) memberi dasar lebih teoretis dalam karyanya Politica. Ia
membedakan antara oikonomike tekhne (kegiatan ekonomi) dan khrematistike tekhne
(kegiatan krematistik). Orang (baik di jaman itu maupun di jaman modern) akan kesulitan
untuk menerima pembedaan yang oleh Aristoteles dianggap hakiki ini.

Ekonomi adalah tukar-menukar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Misalnya, satu
rumah tangga memiliki sepasang sepatu yang tidak dibutuhkan dan ditukar dengan barang
lain. Pertukaran itu bisa berupa barang dengan barang (barter) atau bisa dengan memakai
uang. Misalnya, satu keluarga menjual kelebihan anggurnya kepada keluarga kedua dan
dengan uang yang diperolehnya membeli gandum dari keluarga yang lain. Dalam hal ini, uang
dipakai sesuai dengan kodratnya (nature), yaitu sebagai alat tukar. Karena itu, pertukaran
dalam arti ini oleh Aristoteles disebut “wajar” atau “kodrati” (natural). Ekonomi dalam hal ini
disebut “dalam batas”. Krematistik adalah menukar barang dengan uang hanya untuk
menambah kekayaan. Misalnya, satu keluarga membeli gandum dan saat terjadi kekurangan
gandum dijualnya dengan harga tiga kali lipat. Cara pertukaran seperti ini dinilai “tidak
wajar” atau “bertentangan dengan kodrat” (unnatural). Uang dipakai bertentangan dengan
kodratnya sebagai alat tukar. Dengan demikian uang menjadi suatu tujuan sendiri. Menurut
Aristoteles, krematistik itu “tak terbatas”, karena selalu terarah kepada uang lebih banyak lagi.

Riba atau bunga uang oleh Aristoteles digolongkan sebagai krematistik juga. Bahkan riba
dipandang sebagai bentuk krematistis terburuk, karena uang dipakai paling bertentangan
dengan kodratnya. Pandangannya tentang riba ini berpengaruh besar di kemudian hari.

Bukti lain tampak dari kepercayaan masyarakat Yunani, bahwa dewa Hermes dihormati
sebagai dewa pelindung bagi pedagang dan pencuri (seolah pedagang setaraf dengan pencuri).
Namun para pakar kebudayaan Yunani kuno berpendapat, Hermes adalah dewa pelindung
bagi para pengguna jalan (pedagang dan pencuri adalah pemakai jalan untuk bepergian dari
satu tempat ke tempat lain).

7.3.2. Agama Kristen


Dalam Kitab Suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) terdapat cukup banyak teks yang
bernada kritis terhadap kekayaan dan uang. Perdagangan tidak ditolak karena kurang etis.
Namun karena merupakan salah satu jalan menuju kekayaan, dapat dipahami jika pada awal

63
sejarah Gereja Kristen perdagangan dipandang dengan syak wasangka. Di kalangan Kristiani
zaman kuno sampai Abad Pertengahan, profesi pedagang seringkali dinilai kurang pantas dan
banyak diserahkan kepada orang Yahudi, satu-satunya golongan non-Kristen dalam
masyarakat Barat ketika itu. Agustinus (354 – 430) sudah menegaskan: “seorang pedagang
barangkali bisa berkelakuan tanpa dosa, tapi tidak mungkin ia berkenan di hati Tuhan”.
Dengan kata lain: pekerjaan pedagang paling-paling netral saja dari sudut pandang moral, tapi
tidak pernah bisa menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh baik. Seorang teolog dari abad 5
atau 6 menafsirkan peristiwa Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari bait Allah
di Yerusalem sebagai penolakan Yesus terhadap perdagangan pada umumnya. Karena itu, tak
seorang Kristen pun boleh menjadi pedagang, atau – seandainya nekad – ia harus dikeluarkan
dari Gereja Allah.

Walaupun banyak teks yang sangat negatif terhadap moralitas perdagangan, namun tidak bisa
dikatakan bahwa itu mencerminkan seluruh pandangan Kristen pada waktu itu. Ada juga
pengarang Kristen yang memandang perdagangan dengan cara yang lebih positif. Bisnis tidak
dianggap sebagai secara intrinsik imoral. Kualitas moralnya tergantung pada apa yang
dilakukan manusia dalam usaha itu.

Dengan adanya Reformasi timbul juga sikap yang lebih - bahkan sangat - positif terhadap
perdagangan. Dalam pandangan Protestan, memeroleh keuntungan dengan berdagang dinilai
sebagai pertanda berkat Tuhan atas kerja keras orang beriman. Tidak ada halangan bagi
pedagang untuk menjadi orang yang berkeutamaan. Perubahan pandangan ini berkaitan
dengan apa yang dikenal sebagai “tesis Weber.” Sosiolog Jerman, Max Weber (1864 – 1920)
menjelaskan bahwa timbulnya kapitalisme dipengaruhi dan didorong oleh etos kerja
Protestantisme, khususnya Calvinisme. Etika Calvinisme ditandai oleh sifat-sifat yang
kondusif untuk kegiatan bisnis. Misalnya, mengutamakan nilai-nilai bekerja keras dan hidup
asketis. Modal yang dihemat bisa diinvestasikan lagi dalam usaha yang produktif. Sukses
dalam usaha dilihat sebagai pahala dari Tuhan.

7.3.3. Agama Islam


Dalam agama Islam, bahkan sejak periode pramodern pun, tidak ditemukan sikap kritis dan
curiga terhadap bisnis. Nabi Muhammad SAW sendiri seorang pedagang dan agama Islam
mula-mula disebarluaskan terutama melalui para pedagang Muslim. Memang ada peringatan
terhadap penyalah-gunaan kekayaan, tetapi tidak ada larangan dalam Al-Quran untuk mencari
kekayaan dengan cara halal. Sejalan dengan itu malahan ada ajaran zakat yang mewajibkan
orang membagi dari kekayaan dan pendapatannya yang berlebih. Yang dilarang adalah
keserakahan dan pamer kekayaan (riya’). Salah satu ayat penting tentang perdagangan adalah
ayat 275 surat al-Baqarah: “Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba.”
Dawam Rahardjo malah bertanya, jangan-jangan “tesis Weber” itu justru dipengaruhi oleh
kebudayaan Islam.

Baik dalam masyarakat Yunani kuno, agama Yahudi, agama Kristen maupun agama Islam
pra-modern, riba jelas-jelas dilarang. Tetapi dalam ekonomi modern, ketika uang menjadi
komoditas langka dan “pasar modal” mulai berkembang, terjadi perubahan radikal dalam
pemikiran moral. Muncul pandangan yang membedakan riba (Inggris: usury) dari bunga uang
(Inggris: interest atau Belanda: rente). Yang dimaksud dengan riba adalah bunga uang
berlebihan yang dituntut dari orang yang kepepet karena situasi ekonomi yang khusus. Hal ini
dianggap sama dengan pemerasan dan karena itu jelas tidak etis. Sebaliknya bunga uang
adalah balas jasa untuk orang yang meminjamkan uangnya dalam rangka usaha produktif
(daripada disimpan saja di bawah bantal). Kalau riba sama dengan pemerasan maka rente

64
bersifat businesslike. Memang ada juga kalangan Islam yang tidak sepaham dengan
pembedaan itu, dan sebagai alternatif muncul bentuk Bank Syari’at Islam yang menerapkan
sistem bagi hasil atas uang yang dititipkan (tidak memakai rate yang tertentu).

7.3.4. Kebudayaan Jawa


Berbeda dari orang Minang yang terkenal karena tekun dalam usaha dagang, dalam
kebudayaan Jawa terdapat perbedaan yang menarik. Clifford Geertz menemukan empat
golongan masyarakat: priyayi (pegawai pemerintah dan pekerja “kerah putih” di pabrik), para
pedagang pribumi (wong dagang), buruh tani atau tukang (wong cilik), dan orang Tionghoa
(wong Cina) yang hampir semuanya bekerja di bidang perdagangan. Golongan priyayi
membentuk elite politik dan kultural, yang menjauhkan diri dari perdagangan. Minat mereka
terarah pada kesenian (khususnya wayang) dan intelektual. Wong dagang (oleh
Koentjaraningrat disebut sodagar atau kauman) menjamin perputaran roda ekonomi bersama
dengan wong Cina. Mereka adalah Muslim yang saleh dan kadang-kadang juga punya
pertalian darah dengan bangsa Arab. Sikap positif agama Islam terhadap perdagangan dengan
jelas tampak pada golongan ini.

Geertz juga menjelaskan, dalam masyarakat Jawa: memiliki kekayaan – terutama secara
mendadak – dikaitkan dengan bantuan tuyul, roh halus yang bisa dimanfaatkan untuk
mencuri. Dalam tradisi kebudayaan Jawa, kekayaan ternyata dicurigakan. Pandangan ini tentu
tidak kondusif untuk memajukan semangat kewiraswastaan.

7.4. Sikap Modern Dewasa Ini

Dari tinjauan sejarah dan budaya di atas tampak, bahwa – dari dulu sampai sekarang pun –
ada perbedaan sikap terhadap bisnis. Pandangan yang negatif tentang bisnis tidak lepas dari
tujuan bisnis, yaitu pencarian laba. Kalau mencari laba menjadi motif utama bisnis, itu sama
artinya dengan mengejar kepentingan diri sendiri atau sama dengan egoisme. Seorang egois
terarah pada kepentingannya sendiri, sambil menutup mata untuk kepentingan orang lain.
Kalau perlu, ia malah tidak segan-segan mengorbankan kepentingan sesama demi
kepentingannya sendiri. Tidak mengherankan, kalau terutama pihak agama menolak sikap
egoisme dan menunjuk kepada perlunya altruisme (sifat watak yang memerhatikan dan
mengutamakan kepentingan orang lain). Kalau egoisme dipandang sebagai tidak etis,
altruisme adalah sikap yang sangat baik dari sudut moral.

Ada pandangan yang merupakan jalan tengah antara egoisme dan altruisme, seperti yang
dikemukakan Adam Smith (1723 – 1790). Orang yang terlibat dalam kegiatan bisnis memang
mencari kepentingan diri (bukannya mau beramal), tapi tidak perlu sampai merugikan
kepentingan orang lain. Sebaliknya, relasi ekonomis justru menguntungkan untuk kedua belah
pihak sekaligus. Di antara semua relasi antar-manusia, barangkali inilah ciri khas yang paling
mencolok pada relasi ekonomis. Tetapi serentak juga di sini tampak bahwa bisnis
membutuhkan etika, dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang harus dipegang dalam
kegiatan berbisnis. Nilai dan norma yang terpenting ialah: jangan merugikan kepentingan
orang lain.

Keprihatinan moral tentang bisnis masa kini memasuki tahapan yang berbeda dari konteks
tradisional. Bisnis sekarang mewujudkan kuasa ekonomis yang luar biasa besar. Pusat
finansial raksasa seperti Wall Street di New York menjadi simbol untuk situasi ini. Sekurang-
kurangnya bagi orang awam, apa yang terjadi di situ berada di luar kendali yang wajar. Bagi
negara pun kemungkinan pengendalian agak terbatas, apalagi jika konsekuen dengan sistem

65
ekonomi pasar bebas. Jadi, masalah dan tantangan terbesar etika bisnis dewasa ini pada
dasarnya adalah menyangkut kekuasaan: bagaimana power itu dapat dibatasi (tanpa
mengurangi efisiensinya), supaya tidak terjadi penyalahgunaan. Masalah dan tantangan ini
berlaku pada taraf nasional dan internasional. Jika kuasa ekonomi merajalela, tidak bisa
tidak : ekonomi-ekonomi lemah pasti menjadi korban.

66
BAB VIII
PERSOALAN-PERSOALAN ETIS DALAM DUNIA BISNIS

8.1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Pendekatan


Stakeholders

Korporasi dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai perusahaan. Arti yang lebih luas ialah
badan hukum. Korporasi berasal dari bahasa Latin, sebetulnya berarti “yang dijadikan suatu
badan”. Pada mulanya, istilah dari hukum Kekaisaran Roma ini tidak ditujukan pada
organisasi yang mencari keuntungan. Pada zaman pra-modern di Eropa pun, istilah korporasi
masih secara eksklusif dipakai untuk badan hukum yang didirikan demi kepentingan umum.
Bahwa dewasa ini korporasi secara spontan dimengerti sebagai perusahaan, merupakan salah
satu bukti yang menunjukkan betapa pentingnya peranan bisnis dalam masyarakat kita.
Peranan korporasi nirlaba sangat terbatas jika dibandingkan dengan organisasi bisnis. Bahkan
organisasi nirlaba seperti Palang Merah pun tidak bisa menjalankan kegiatan humaniternya,
jika tidak didukung oleh dunia bisnis.

8.1.1. Tanggung-jawab Legal danTanggung-jawab Moral


Apakah korporasi memiliki tanggung-jawab legal? Marshall, hakim agung AS, pada tahun
1918 memberi definisi sbb.: ‘….. korporasi adalah suatu makhluk buatan, tidak kelihatan,
tidak berwujud, dan hanya ada di mata hukum. Karena semata-mata ciptaan hukum, ia hanya
memiliki ciri-ciri yang oleh akte pendiriannya diberikan kepadanya …..” Sebagai badan
hukum dan subjek hukum, jelas perusahaan memiliki hak dan kewajiban legal, harus menaati
peraturan hukum dan – jika melanggar – harus memenuhi hukumannya.

Yang lebih sulit adalah menjawab pertanyaan: apakah korporasi memiliki tanggung-jawab
moral? Orang-orang yang membentuk perusahaan, pemimpin, dan pekerjanya, tentu saja
merupakan pelaku-pelaku moral dan karenanya memiliki tanggung-jawab moral. Perusahaan
harus dinyatakan sebagai pelaku moral (berstatus moral), agar juga dapat dinyatakan memiliki
tanggung-jawab moral. Syarat penting untuk itu ialah bahwa korporasi memiliki kebebasan
atau kesanggupan untuk mengambil keputusan secara bebas. Dalam hal ini ada pro-kontra,
ada yang setuju dan ada yang tidak setuju untuk menyatakan perusahaan sebagai pelaku
moral.

Peter French adalah ahli etika bisnis yang amat gigih mendukung gagasan bahwa perusahaan
memiliki status moral. Dengan tegas ia menyatakan: “corporations can be full-fledged moral
persons and have whatever privileges, rights and duties as are, in the normal course of
affairs, accorded to moral persons”. French berargumen: (i) ada keputusan yang diambil
korporasi yang hanya bisa dihubungkan dengan korporasi itu sendiri dan tidak dengan
beberapa orang yang bekerja untuk korporasi tersebut. (ii) korporasi melakukan perbuatan
seperti itu dengan maksud yang hanya bisa dihubungkan dengan korporasi itu sendiri dan
tidak dengan beberapa orang yang bekerja di sana. Selanjutnya tidak dibedakan lagi antara
tanggung-jawab moral korporasi sebagai pelaku moral dan tanggung-jawab moral pemimpin
korporasi sebagai pelaku moral juga.

8.1. 2. Tanggung-jawab Ekonomis dan Tanggung-jawab Sosial


Ada dua jenis tanggung-jawab lain yang juga melekat pada perusahaan, yakni tanggung-
jawab ekonomis dan tanggung-jawab sosial. Pada perusahaan negara atau Badan Usaha Milik
Negara, kedua tanggung-jawab itu tidak dapat dipisahkan. Tetapi untuk sektor swasta, sulit

67
untuk tidak memisahkan tanggung-jawab ekonomis dari tanggung-jawab sosialnya, karena
kelangsungan usaha sepenuhnya terletak dalam tangannya sendiri. Tidak seperti BUMN, jika
secara ekonomis terus-menerus merugi, perusahaan swasta akan bangkrut alias tutup usaha.

Dalam kapitalisme liberalistis, tanggung-jawab ekonomis itu dilihat sebagai profit


maximization (mendapat untung sebesar mungkin), yang rawan untuk terjadi tindakan imoral.
Namun dengan memerhatikan etika bisnis dan dengan paham relativitas keuntungan, modal
yang ditanam dapat diperoleh kembali (return on investment) dalam waktu yang wajar
bersama dengan laba yang wajar pula. Hal inilah yang merupakan tanggung-jawab ekonomis
perusahaan (profit dan return on investment / ROI).

Perlu diakui, bahwa tanggung-jawab ekonomis memiliki aspek sosial yang penting: kinerja
ekonomis perusahaan berkontribusi bagi kinerja ekonomis sebuah negara (kemakmuran
masyarakat). Namun yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah
tanggung-jawabnya terhadap masyarakat di luar tanggung-jawab ekonomis seperti di atas.
Secara positif, perusahaan bisa melakukan kegiatan yang tidak membawa keuntungan
ekonomis dan semata-mata dilakukan demi kesejahteraan masyarakat umum atau sekelompok
anggota masyarakat tertentu (tujuannya semata-mata sosial dan tidak ada maksud ekonomis).
Contoh: mendirikan panti asuhan untuk anak-anak yatim piatu. Secara negatif, perusahaan
bisa menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang secara ekonomis menguntungkan,
namun akan merugikan (sebagian anggota) masyarakat. Contoh: tidak begitu saja membuang
limbah ke sungai (secara ekonomis paling menguntungkan), namun bisa merugikan
masyarakat – khususnya yang memanfaatkan aliran sungai itu.

Perusahaan pasti terikat dengan tanggung-jawab sosial dalam arti negatif, walaupun secara
hukum tidak atau belum ada larangan, karena secara etis tidak boleh melakukan kegiatan yang
merugikan masyarakat. Namun tanggung-jawab sosial dalam arti positif tidak bisa
diwajibkan. Jika perusahaan melakukannya maka dalam etika hal itu disebut sebagai
perbuatan terpuji (supererogatory acts) atau perbuatan yang melampaui apa yang diwajibkan
secara moral.

Muncul pertanyaan: apa yang harus dilakukan oleh perusahaan, jika terjadi konflik antara
kepentingan ekonomis dan kepentingan sosial? Secara konsekuen harus dikatakan, tanggung-
jawab ekonomis boleh lebih diutamakan daripada pelaksanaan tanggung-jawab sosial. Dalam
banyak kasus, jalan keluar terbaik ialah menjalin kerja sama dengan pemerintah, agar
tanggung-jawab sosial semaksimal mungkin masih tetap dapat dilaksanakan (meskipun ada
konflik). Kini di negara-negara industrial dapat disaksikan terjalinnya kerja sama antara
pemerintah dengan pengusaha, misalnya:
 Perusahaan memertahankan pengoperasian bisnisnya c berarti membantu pemerintah
dalam rangka menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat
 Pemerintah memberikan fasilitas khusus bagi perusahaan (misalnya: kredit bersyarat
lunak, keringanan pajak dll), yang memungkinkan perusahaan untuk mengatasi
kerugian finansialnya dan membuka perspektif baru untuk mencapai keseimbangan
ekonomis

Contoh: kasus Pabrik Multi Bintang di Surabaya


Ketika saya memutuskan agar PT Multi Bintang Indonesia membangun fasilitas pengolahan
limbah (waste-water treatment) di Surabaya pada tahun 1984, mula-mula saya dianggap tidak
rasional. Hampir semua eksekutif Multi Bintang geleng-geleng kepala. Soalnya, mesin yang
diperlukan amat mahal harganya: US$ 2 juta. Pembelian mesin tersebut dianggap investasi

68
yang tidak meningkatkan produksi, atau aset yang tidak produktif. Tetapi saya kukuh bahwa
pengeluaran untuk fasilitas itu bukan “biaya”, melainkan “investasi” untuk jangka panjang.
Hasilnya bisa dilihat sampai sekarang: tidak ada lagi pengaduan dan protes masyarakat
terhadap limbah pabrik. Waktu itu saya sudah merasakan benar perlunya reorientasi ke
stakeholder-management, karena hampir tiap hari pabrik Multi Bintang di Surabaya itu
diprotes gara-gara limbah …..
(Sumber: Tanri Abeng, Dari meja Tanri Abeng, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997: 191)

8.1.3. Pendekatan stakeholders


Dari aneka tanggung-jawab yang melekat pada perusahaan menjadi jelas, bahwa perusahaan
tidak bisa hanya memerhatikan kepentingan pemilik atau pemegang saham (stockholders atau
shareholders) semata, karena ada banyak pihak yang berkepentingan atau berinteraksi dengan
dunia bisnis dan dipengaruhi oleh keputusan, kebijakan, serta pengoperasian perusahaan.
Pihak-pihak yang berkepentingan itu disebut stakeholders.

Pendekatan stakeholders merupakan sebuah pendekatan baru yang banyak digunakan sebagai
upaya untuk mengintegrasikan kepentingan bisnis di satu pihak dan tuntutan etika di lain
pihak. Dasar pemikirannya ialah: dalam setiap kegiatan bisnis akan terlibat berbagai pihak
dan masing-masing pihak memiliki hak dan kepentingan tertentu yang hendak dicapai lewat
kegiatan bisnis tersebut. Pendekatan ini juga merupakan cara mengamati dan menjelaskan
secara analitis, bagaimana berbagai pihak dipengaruhi dan memengaruhi keputusan dan
tindakan bisnis. Hubungan-hubungan – yang pada umumnya terjalin dalam kegiatan bisnis –
dipetakan, supaya tampak: siapa saja yang berkepentingan, terkait, dan terlibat dalam kegiatan
bisnis. Tujuan imperatif pendekatan ini ialah: bisnis harus dijalankan sedemikian rupa, agar
hak dan kepentingan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dijamin, diperhatikan,
dan dihargai. Lewat pendekatan ini menjadi nyata, bagaimana prinsip-prinsip etika bisnis
menemukan relevansinya dalam interaksi bisnis di antara pihak-pihak yang berkepentingan.

Pendekatan ini bermuara pada satu prinsip minimal dalam etika bisnis, yaitu: prinsip tidak
merugikan (hak dan kepentingan) pihak manapun (yang terlibat atau berkepentingan dalam
kegiatan bisnis). Sama dengan prinsip no harm, pendekatan ini memerlihatkan secara
gamblang, bahwa: agar bisnis dapat berhasil dan bertahan lama, setiap pihak yang terlibat
dituntut atau menuntut dirinya sendiri untuk tidak merugikan pihak lain. Jika ada pihak yang
dirugikan maka pihak itu tidak mau lagi terlibat dalam aktivitas bisnis. Bahkan bisa mengajak
pihak-pihak lain untuk juga tidak terlibat dalam aktivitas bisnis dengan pihak yang dianggap
merugikan itu. Dengan kata lain: relasi bisnis yang baik dan etis adalah penting demi
kelangsungan aktivitas bisnis itu sendiri dan keberhasilan pihak-pihak yang terlibat di dalam
aktivitas bisnis tersebut.

Stakeholders dapat dibagi menjadi dua kelompok: kelompok primer dan kelompok sekunder.
Tujuan primer dunia bisnis adalah menyediakan aneka produk dan jasa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Mereka yang berinteraksi pada tujuan primer disebut primary stakeholders dan
terdiri atas :
 Pemilik / pemegang saham / stockholder / shareholder, sebagai penyedia modal usaha dan /
atau keahlian usaha, terutama pada awal bisnis itu didirikan
 Pegawai / employee, sebagai orang yang menyediakan waktu, ketrampilan, dan
pengetahuannya untuk menjalankan roda perusahaan
 Pendukung dana / creditor, sebagai pemberi pinjaman dana untuk kelangsungan dan
kelancaran usaha
 Pemasok / supplier, sebagai penyedia bahan-bahan baku dan bahan-bahan pembantu

69
 Penyalur / wholesaler – retailer, sebagai penyalur dan penghubung antara produsen dengan
pembeli / pelanggan
 Pelanggan / customer, sebagai pembeli atau pemakai produk / jasa yang dihasilkan
 Pesaing / competitor, sebagai penyedia produk atau jasa yang sejenis atau alternatifnya

Dunia bisnis juga memiliki interaksi non-pasar dengan kelompok / pihak lain, yang memiliki
keterkaitan sekunder dengan dunia bisnis. Keterkaitan sekunder ini merupakan konsekuensi
dari tujuan primer dunia bisnis tersebut di atas. Walaupun disebut ‘sekunder’, tidak berarti
pihak-pihak ini tidaklah penting artinya. Dunia bisnis bagaimanapun perlu memerhatikan
kepentingan dari secondary stakeholders berikut ini :
 Pemerintah, dari tingkat Pusat sampai dengan Daerah, sebagai sumber peraturan, pemberi
perizinan dan penerima pajak / retribusi / pungutan legal lainnya
 Pemerintah Asing, baik yang bersikap bersahabat maupun tidak, dengan negara mana terjalin
suatu hubungan bisnis
 Kelompok Aktivis Sosial (social activist groups), yaitu kelompok yang memerjuangkan
kepentingan atau tuntutan masyarakat (misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat)
 Media massa, yang berkepentingan dengan pemberitaan tentang aktivitas dunia bisnis kepada
masyarakat, di samping juga sebagai penyedia ajang promosi usaha
 Kelompok Pendukung Bisnis (Business Support Groups), sebagai pemberi nasihat,
kemudahan, dan hasil penelitian untuk kelancaran dan kelangsungan usaha
 Masyarakat setempat, yang membentuk atau memengaruhi iklim kerja di lokasi usaha
 Masyarakat pada umumnya, yang memiliki opini sebagai dasar penerimaan ataupun
penolakan terhadap dunia usaha (social approval and social disapproval)

Hidup-matinya bisnis dan berhasil-tidaknya bisnis sangat ditentukan oleh relasi saling
menguntungkan yang dijalin dengan kelompok primer. Namun dalam situasi tertentu,
kelompok sekunder pun tidak kalah – bahkan bisa lebih – penting untuk diperhatikan dan
dijaga kepentingannya. Dalam banyak kasus, perusahaan yang berhasil dan bertahan dalam
bisnisnya adalah perusahaan yang pandai menangani dan memerhatikan kepentingan dari
semua pihak yang terlibat dalam aktivitas bisnisnya.

Relasi antara perusahaan dengan kedua kelompok stakeholders dapat digambarkan sbb.:

Interaksi primer Interaksi sekunder


(produksi dan penjualan) (dampak sosial)

Pemilik Pemerintah
Pegawai Pemerintah Asing
Pendukung Dana Kelompok Aktivis Sosial
Pemasok PERUSAHAAN Media Massa
Penyalur Kelompok Pendukung Bisnis
Pelanggan Masyarakat setempat
Pesaing Masyarakat luas

INTERAKSI INTERAKSI
PASAR NON-PASAR

70
8.2. Kewajiban Karyawan dan Perusahaan

Salah satu masalah yang kerapkali dibahas dalam buku Etika Bisnis adalah “Kewajiban
Karyawan dan Perusahaan.” (Baca: Bertens, 2000: 167-214; Velaquez, 1992: 318-361).
Persoalan ini sangat sensitif, karena ia terkait dengan masa depan dunia bisnis, perekonomian
negara, dan nasib karyawan serta keluarga mereka. Karena itu, persoalan ini mesti disingkap
dan diungkap.

Sebagai catatan pendahuluan, perlu dikemukakan bahwa kewajiban dari satu pihak seringkali
berarti juga hak dari pihak lain. Pembahasan berikut mesti dimengerti dalam konteks itu.
Selanjutnya, karyawan yang dimaksud di sini adalah mereka yang bekerja di sebuah
perusahaan, termasuk para manajer. Sementara yang dimaksud dengan perusahaan adalah
perusahaan pada umumnya. Terkait dengan perusahaan, kita hanya akan membahas masalah-
masalah etika yang menimbulkan kesulitan khusus: Konflik antara kewajiban moral yang
satu dengan kewajiban moral yang lain. Silang-pendapat tentang permasalahan etik (tidak
jelas-jelas baik atau jelas-jelas buruk ~ grey area).

Ada pun sistematika pembahasannya adalah: Pertama-tama akan dibahas Kewajiban


Karyawan terhadap Perusahaan serta masalah etis yang menyertainya, selanjutnya Kewajiban
Perusahaan terhadap Karyawan dan masalah yang terkait dengannya serta dasar etika dibalik
kewajiban perusahaan tersebut.

8.2.1. Kewajiban Karyawan terhadap Perusahaan


Secara umum bisa dikatakan bahwa karyawan secara moral berkewajiban untuk mematuhi
hukum moral dan hukum sipil. Karyawan berkewajiban untuk memerhatikan kepentingan
perusahaan tempat mereka bekerja. Berikut ini merupakan beberapa kewajiban karyawan
terhadap perusahaan. Tiga kewajiban pertama merupakan kewajiban yang sangat penting
untuk dipatuhi oleh karyawan.

8.2.1.a. Kewajiban ketaatan


Kewajiban ketaatan kepada atasan merupakan salah satu implikasi dari status seseorang yang
bekerja di sebuah perusahaan Di mana ia harus mematuhi perintah dan petunjuk dari
atasannya. Itu tidak berarti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang diberikan
oleh atasannya. Karyawan tidak perlu dan tidak wajib mematuhi perintah atasan jika:
pertama, menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral (membunuh musuh,
melakukan penipuan). Kedua, tidak wajar (perintah yang tidak diberikan demi kepentingan
perusahaan), walaupun dari segi etika tidak ada keberataan (misalnya kepala unit
memerintahkan bawahannya untuk memperbaiki mobil pribadinya) Ketiga, memang demi
kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati (misalnya
karyawan yang diterima dalam perusahaan untuk suatu fungsi manajemen, tapi kemudian
diberikan tugas-tugas sekretaris: membuat janji atau mengurus perjalanan si bos, dsb.)

8.2.1.b. Kewajiban konfidensialitas


Kewajiban konfidensialitas (Latin: confidere, mempercayai) adalah kewajiban untuk
menyimpan informasi yang bersifat konfidensial (rahasia) yang telah diperoleh dengan
menjalankan suatu profesi. Contoh profesi yang mempunyai kewajiban konfidensialitas
adalah dokter, psikolog, pengacara, dan para ulama. Informasi konfidensial itu disampaikan

71
atas dasar kepercayaan, bahwa dokter yang dipercayakan informasi tersebut tidak akan
memberitahukannya kepada orang lain, misalnya.

Dalam konteks perusahaan, kewajiban konfidensialitas itu sangat penting. Karena bekerja
pada suatu perusahaan, bisa saja seseorang mempunyai akses kepada informasi rahasia.
Misalnya akuntan. Karena pekerjaannya, ia tahu persis bagaimana kedaan finansial
perusahaan, tetapi pengetahuan itu tidak boleh dibawakannya keluar. Sebagai karyawan, ia
wajib menjaga rahasia perusahaan. Adapun hal-hal yang termasuk rahasia perusahaan itu
adalah teknik memroduksi suatu produk, formula sebuah produk, hasil penelitian, program
komputer, keadaan finansial perusahaan, daftar pelanggan dan mailing list sebuah perusahaan,
dan rencana perusahaan di waktu mendatang (produksi dan pemasaran).

Mengapa karyawan harus menyimpan rahasia perusahaan? Adakah alasan etika yang
mendasari kewajiban tersebut? Karyawan harus menyimpan rahasia perusahaan, karena:
pertama, perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu, baik berupa milik fisik maupun
non-fisik (intelektual), seperti ide, pikiran, atau temuan seseorang. Membuka informasi
rahasia sama dengan mencuri. Jadi, dasar untuk kewajiban konfidensialitas dari karyawan
adalah intellectual property rights dari perusahaan. Kedua, membuka rahasia perusahaan
bertentangan dengan etika pasar bebas. Kewajiban konfidensialitas terutama penting dalam
sistem ekonomi pasar bebas, di mana kompetisi merupakan suatu unsur hakiki. Memiliki
informasi tertentu dapat mengubah posisi perusahaan satu terhadap perusahaan lain dengan
drastis sehingga membuka rahasia perusahaan akan sangat mengganggu kompetisi yang fair.

8.2.1.c. Kewajiban Loyalitas


Kewajiban loyalitas merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan
perusahaan. Sebagai karyawan, ia harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, melibatkan
diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus
menghindari segala sesuatu yang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Karyawan yang
melakukan hal itu memenuhi kewajiban loyalitas.
Ada beberapa faktor yang bisa membahayakan kewajiban loyalitas.
1. Konflik kepentingan, ‘conflict of interest’, antara kepentingan pribadi melawan kepentingan
perusahaan. Karyawan tidak boleh sengaja melibatkan diri dalam konflik baik secara aktual
maupun secara potensial. Maksudnya, sekarang memang belum terjadi konflik, tetapi pada suatu
saat konflik bisa timbul. Karena bahaya konflik kepentingan potensial itu, beberapa jenis
pekerjaan tidak boleh dirangkap. Misalnya seorang akuntan yang memberi advis di bidang
penjualan saham. Dengan merangkap pekerjaan ini, pada suatu saat bisa timbul konflik
kepentingan. Ia mengaudit beberapa perusahaan dan karena itu tahu persis keadaan finansial
mereka. Dengan demikian ia memasuki situasi, di mana secara potensial bisa timbul konflik
kepentingan, karena pada suatu saat ia harus memberi advis tentang saham dari perusahaan yang
ia tahu keadaan finasialnya. Secara bebas dan sengaja memasuki suatu situasi konflik harus
dianggap tidak etis.
2. Menerima komisi dari pihak di luar perusahaan (bukan komisi sebagai insentif khusus dari
perusahaan), karena potensial merugikan perusahaannya (diskon masuk kantong sendiri, atau
melakukan ‘mark-up’). Masalah komisi erat terkait dengan KKN. Jalan keluar dari permasalahan
tersebut tergantung pada sikap yang diambil perusahaan bersangkutan. Perusahaan harus
membuat aturan yang jelas, dalam bentuk kode etik perusahaan, untuk mengatur masalah ini.
Atau agar masalah komisi ini menjelas paling
3. Menerima hadiah dari instansi di luar perusahaan atas pelayanan yang diberikan atau posisi
dalam pekerjaan. Dibuat kode etik / nilai maksimal yang masih diperbolehkan
4. Pindah kerja untuk penghasilan lebih baik (job-hopper). Kewajiban loyalitas tidak
meniadakan hak untuk pindah kerja, sepanjang perpindahan dilakukan sesuai dengan prosedur.
Dalam arti, karyawan wajib memberitahukan satu sampai tiga bulan sebelumnya., jika ia ingin

72
meninggalkan perusahaan. Catatan: Job-hopper berdampak negatif terhadap etos kerja karyawan,
misalnya suasana materialistis – hedonistis, tidak memiliki keutamaan.

8.2.1.d. Melaporkan kesalahan perusahaan ( whistle blowing)


Istilah whistle blowing (meniup peluit) seringkali dipergunakan dalam arti kiasan, yakni
membuat keributan untuk menarik perhatian orang banyak. Dalam etika, whistle blowing
mendapat arti lebih khusus, yakni menarik perhatian dunia luar dengan melaporkan
kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam konteks perusahaan, whistle
blowing berarti tindakan (melaporkan kesalahan) yang dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan (entah yang dilakukan oleh
perusahaan atau atasannya) kepada dunia luar atau pihak lain (misalnya pemerintah atau
pers). (Catatan: kita hanya berbicara tentang whistle blowing, kalau dilakukan oleh karyawan
tentang perusahaan di mana ia bekerja, bukan orang dari luar perusahaan). Whistle blowing
terutama menyangkut kecurangan tertentu yang merugikan baik perusahaan sendiri maupun
pihak lain, yang kalau dibongkar akan mempunyai dampak yang merusak nama baik atau
yang merugikan perusahaan tersebut.

Seorang karyawan yang bekerja pada suatu perusahaan bisa mengetahui banyak hal
mengenai perusahaannya yang tidak diketahui oleh orang lain, baik hal-hal yang bersifat
rahasia (trade secrets) maupun praktik-praktik yang tidak etis. Contoh whistle blowing
dalam konteks ini adalah tindakan seorang karyawan yang melaporkan penyimpangan
keuangan perusahaan kepada pihak komisaris atau direksi. Atau kecurangan perusahaan
yang membuang limbah industri ke sungai. Pertanyaannya adalah apakah ia boleh
membawa pengetahuan itu ke luar? Itulah masalah etika yang akan kita kaji di sini.

Ada dua macam wistle blowing, yakni:


1. Whistle blowing internal, terjadi ketika seorang (beberapa orang) karyawan tahu mengenai
kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya kemudian melaporkan
kecurangan itu kepada atasannya langsung atau pemimpin perusahaan yang lebih tinggi.
Misalnya seorang karyawan (bawahan) melaporkan suatu kesalahan langsung kepada direksi,
sambil melewati kepala bagian dan manajer umum. Motivasi utamanya adalah motivasi
moral, yakni demi mencegah kerugian bagi perusahaan tersebut. Hanya saja, tidak mudah
untuk mengetahui apakah memang betul motivasinya adalah baik.
2. Whistle blowing eksternal, yakni pelaporan kesalahan perusahaan kepada instansi di luar
perusahaan, misalnya instansi pemerintah atau masyarakat umum melalui media massa.
Whistle blowing eksternal ini menyangkut kasus di mana seorang karyawan mengetahui
kecurangan yang dilakukan perusahaannya lalu membocorkannya kepada masyarakat karena
dia tahu bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat. Misalnya, manipulasi kadar
bahan mentah dalam formula sebuah produk. Motivasi utamanya adalah mencegah kerugian
bagi masyarakat atau konsumen. Karyawan ini punya motivasi moral untuk membela
kepentingan konsumen karena dia sadar bahwa semua konsumen adalah manusia yang sama
dengan dirinya dan karena itu tidak boleh dirugikan hanya demi memeroleh keuntungan.

Kedua jenis wistle blowing di atas sama-sama menimbulkan masalah etis. Namun, whistle
blowing eksternal dianggap sebagai pelaporan kesalahan yang menimbulkan banyak masalah
etika. Karena pelaporan macam ini terkait dengan kepetingan banyak orang. Dalam kerangka
itulah bahasan selanjutnya akan memfokuskan diri pada wistle blowing jenis kedua ini, yakni
pelaporan kesalahan perusahaan, bukan pelaporan kesalahan pribadi seseorang dalam
perusahaan (misalnya direktur utama berselingkuh dengan sekretarisnya).

Penilaian atas pelaporan kesalahan perusahaan ini acap kali berbeda-beda. Di satu pihak,
whistle blower bisa dipuji sebagai pahlawan, karena ia menempatkan nilai-nilai moral yang

73
benar dan luhur di atas kesejahteraan pribadi. Karena, dengan melaporkan kesalahan
perusahaan seorang karyawan bersedia mengambil risiko besar. Misalnya jenjang kariernya
dalam perusahaan bisa terhambat, bahkan bisa dipecat dari pekerjaannya. Di lain pihak,
whistle blower kerap kali dicap sebagai pengkhianat, karena ia mengekspos kejelekan
perusahaannya. Tidaklah mengherankan kalau dunia bisnis cenderung memihak pandangan
yang terakhir ini. Karena mereka menilai whistle blowing sebagai hambatan besar untuk
lancarnya usaha bisnis.

Pertanyaan etikanya adalah apakah pelaporan kesalahan perusahaan itu boleh dilakukan,
karena dengan jelas bertentangan dengan kewajiban loyalitas karyawan terhadap
perusahaannya? Apakah melaporkan kecurangan tertentu berarti karyawan tersebut tidak loyal
kepada atasannya? Dan, pertanyaan paling pokok adalah, ke mana arah loyalitas itu, kalau
loyalitas dianggap sebagai sebuah nilai moral? Jawaban atas pertanyaan ketiga ini jelas:
loyalitas hanya sah, dibenarkan, dan punya kualitas moral kalau ditujukan kepada nilai
tertentu yang dijunjung. Jadi, loyalitas atau kesetiaan moral hanya dibenarkan kalau tertuju
pada nilai moral tertentu. Loyalitas, pertama-tama bukan tertuju pada orang lain, lembaga,
otoritas, atau kedudukan, melainkan pada nilai moral tertentu: keadilan, kebenaran, ketulusan,
kejujuran, dsb.

Jadi, persoalannya bukan apakah seorang karyawan harus loyal pada pemimpin atau
perusahaanya, melainkan bagaimana pemimpin/perusahaan bertindak sesuai dengan nilai-nilai
tertentu, karyawan dengan sendirinya akan loyal. Sebalikmya, kalau perusahaan atau
pemimpin bertindak tidak etis, karyawan pantas tidak loyal. Itu berarti loyalitas kepada
seorang pemimpin, lembaga, perusahaan, ataupun orang tertentu hanya sah secara moral kalau
loyalitas itu didasarkan pada adanya kualitas dan nilai moral tertentu pada orang atau lembaga
itu. Sebaliknya, loyalitas kepada seseorang atau lembaga tertentu, tanpa memedulikan kualitas
moral orang atau lembaga tertentu merupakan loyalitas buta. Hal itu merupakan pelecehan
moralitas.

Atas dasar itu, kita bisa mengatakan bahwa justru karyawan yang mengetahui pemimpinnya
berbuat curang tapi mendiamkannya harus dianggap sebagai karyawan yang tidak loyal pada
kepentingan perusahaan, dan (karena itu) harus ditindak. Sebaliknya, yang melaporkan
kecurangan itu harus dinilai sebagai karyawan yang paling loyal karena whistle blowing yang
dilakukannya didasarkan pada motivasi baik, yakni demi membela nilai tertentu. Mengutip
Richard T De Georange (1988:191):
“Kalau dilakukan dengan motif moral, maksud dari whistle blowing ini adalah untuk
menghentikan ketidakjujuran atau praktik atau tindakan tertentu yang bertentangan dengan
moralitas, untuk melindungi kepentingan dan reputasi perusahaan, atau untuk meningkatkan
keuntungan perusahaan….”

Persoalan selanjutnya adalah motivasi dibalik whistle blowing. Pelaporan bisa dibenarkan
secara moral, manakala memenuhi lima syarat berikut ini.
1. Kesalahan perusahaan harus besar. Pertanyaannya, kapan kesalahan perusahaan bisa
dianggap besar? Mengutip Norman Bowie dan Ronald Duska, ada tiga kemungkinan.
Kesalahaan perusahaan adalah besar jika: (1) menyebabkan kerugian yang tidak perlu untuk
pihak ketiga (selain perusahaan dan si pelapor); (2) terjadi pelanggaran HAM; (3) dilakukan
kegiatan yang bertentangan dengan tujuan perusahaan (misalnya, bank yang bekerja untuk
mafia).
2. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar. Semua fakta tentang kesalahan
harus jelas dan dimengerti dengan betul oleh si pelapor. Laporan berupa “saya mempunyai
kesan…” atau “kalau tidak salah….” tidak dapat diterima.

74
3. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak
ketiga, bukan karena motif lain. Kerugian bagi pihak ketiga harus menjadi syarat pertama
sekaligus sebagai motif untuk melaporkan kesalahan. Dianggap tidak etis, jika seseorang
melapor karena motif yang tidak murni, walaupun kesalahannya besar. Mesti diakui juga
bahwa whistle blowing karena motif kurang murni acap kali terjadi. Misalnya karyawan
yang sudah memutuskan untuk menghentikan kontrak kerjanya dengan perusahaan karena
kecewa dengan pemimpinnya, pada saat ia pergi membuka praktik kurang etis dari
perusahaan. Misalnya mendiskreditkan perusahaan. Perbuatan semacam itu jelas bertolak
belakang dengan loyalitas terhadap perusahaan dan tidak diimbangi oleh kepentingan yang
lebih besar.
4. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan
dibawa keluar. Jika karyawan merasa bertanggungjawab, ia harus berusaha dulu untuk
menyelesaikan masalah di dalam perusahaan sendiri melalui jalur yang tepat. Ini sesuai
dengan kewajiban loyalitasnya. Seandainya upaya penyelesaian secara internal gagal, ia
boleh memikirkan whistle blowing.
5. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses. Jika
sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan menghasilkan apa-apa, lebih
baik orang yang bersangkutan tidak perlu melapor.

Whistle blowing merupakan masalah etis yang tidak mengenakkan untuk semua pihak. Untuk
pelaku bisnis, pelaporan akan membawakan banyak kerugian, baik secara material maupun
moral (nama baik perusahaan). Sedangkan untuk si pelapor, whistle blowing adalah langkah
yang diambil dengan berat hati. Ia melakukannya semata-mata terdorong oleh hati nuraninya.
Sebetulnya ia sangat menyesalkan akibat negatif bagi perusahaan. Tetapi ia tidak bisa berdiam
diri saja. Di beberapa negara maju, whistle blowing ini di atur secara tidak langsung dalam
kode etik profesi, lewat ketentuan yang menegaskan bahwa keamanan dan keselamatan
masyarakat harus ditempatkan di atas segalanya.

Adanya whistle blowing selalu menunjukkan bahwa perusahaan gagal dalam menjalankan
kegiatannya sesuai dengan tuntutan etika. Seandainya perusahaan mempunyai kebijakan etika
yang konsisten dan konsekuen, semua kesulitan besar sekitar pelaporan kesalahan tidak perlu
terjadi.

8.3. Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan

Kewajiban perusahaan terhadap karyawan berkaitan dengan hak-hak pekerja atau karyawan
yang harus dipenuhi oleh perusahaan atau pengusaha. Hak bagi pekerja, kewajiban bagi
perusahaan. Maksudnya sama saja. Dilihat dari segi pekerja, kita dapat menegetenghakan apa
saja yang menjadi haknya. Menurut Keraf (1998: 162-172), hak-hak pekerja itu mencakup:
hak atas pekerjaan, hak atas gaji yang adil, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak atas
perlindungan keamanan dan kesehatan, hak untuk diproses hukum secara sah, hak untuk
diperlakukan secara sama, hak atas rahasia pribadi, dan hak atas kebebasan suara hati. Dalam
kuliah ini, kita akan menyorotinya dari segi perusahaan, yakni kewajiban perusahaan terhadap
karyawan atau pekerja.

75
8.3.1. Perusahaan tidak boleh memraktikkan diskriminasi
Diskriminasi merupakan masalah etis yang mengemuka sejak paroh kedua abad ke-20.
Amerika Serikat dipandang sebagai tempat pertama yang mengumuli masalah ini secara
serius. Thomas Jefferson dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776) mengatakan: “
We hold these truths to be self-evident: that all men are created equal and endowed by
their creator with certain inalienable rights.” Namun demikian, realisasi deklarasi ini
demikian, membutuhkan waktu yang lama. Pada awal 1950-an, misalnya, praktik
diskriminasi masih terjadi, terutama terhadap minoritas kulit hitam. Dianggap biasa saja
kalau sekolah/perusahaan menolak menerima mereka. Kelompok kulit hitam ini merasa
diri mereka diperlakukan kurang adil (dibandingkan dengan warga negara lain).
Kesadaran akan keadaan semacam ini menimbulkan the civil rights movement, gerakan
kaum kulit hitam guna memeroleh hak-hak yang sama seperti warga negara Amerika
lainnya. Gerakan ini menentang diskriminasi karena warna kulit. Arsitek dibalik gerakan
tersebut adalah Marthin Luther King. Ia dengan konsekuen berpegang pada prinsip non-
kekerasan. Dalam perkembangannya, tujuan gerakan hak warga negara ini secara
prinsipiil tercapai, ketika the Civil Rights Act diterima. Sejak saat itulah segala bentuk
penolakan terhadap seseorang atau memerlakukan seseorang dengan cara berbeda karena
warna kulit bisa dituntut di pengadilan. The Civil Rights Act ini tidak membatasi diri pada
soal warna kulit saja, tetapi juga “race, religion, sex, or national origin.”

Sejak 1960-an, masalah diskriminasi lebih difokuskan pada wanita. Selanjutnya dipersoalkan
juga diskriminasi karena orientasi seksual (homoseks), cacat badan, dsb. Upaya
menghapus diskriminasi ini baru berhasil manakala dalam suatu negara semua warganya
punya hak yang sama dan diperlakukan dengan cara yang sama pula. Pada 1966 PBB
memberlakukan Konvensi Anti-Diskriminasi. Indonesia sendiri baru meratifikasi
konvensi ini April 1999. Masalah diskriminasi di Indonesia terkait dengan status
asli/tidak asli, pribumi/non-pribumi dari para warga negara, alasan agama, dan jenis
kelamin.

8.3.1.a. Diskriminasi dalam Konteks perusahaan


Istilah diskriminasi berasal dari bahasa Latin: dicerner, yang berarti membedakan,
memisahkan, memilah. Dalam konteks perusahaan, diskriminasi berarti membedakan antara
pelbagai karyawan karena alasan tidak relevan yang berakar dalam prasangka. Diskriminasi
macam itu kerapkali terjadi, misalnya, ketika menyeleksi karyawan baru, menyediakan
kesempatan promosi, dan sistem penggajian. Namun demikian, perihal membedakan
karyawan yang satu dari karyawan lain tidak selamanya diskriminatf, terutama kalau
alasannya relevan, sah, dan bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya dalam menerima
karyawan baru, perusahaan kerap kali menentukan syarat: punya pengalaman kerja, memiliki
ijazah S-1 (IPK minimal 2,75), dan menguasai bahasa Inggris (lisan dan tulisan). Syarat-
syarat tersebut tidak menimbulkan diskriminasi, karena didasarkan atas alasan-alasan yang
relevan. Dalam hal imbalan, bisa terjadi bahwa seorang karyawan/ti mendapat bonus akhir
tahun, sedangkan karyawan lain tidak dapat bonus. Tindakan semacam itu bukan merupakan
diskriminasi. Pemberian bonus akhir tahun erat terkait dengan prestasi kerja. Jadi, ada ada
alasan relevan untuk perlakuan yang berbeda itu.

Diskriminasi baru menjadi masalah kalau beberapa karyawan diperlakukan dengan cara
berbeda, karena alasan yang tidak relevan. Misalnya karena ras, agama, atau jenis kelamin
karyawan. Perusahaan A tidak menerima karyawan yang berasal dari suku B karena mereka
dianggap malas bekerja. Perusahaan C tidak memberi promosi kepada orang yang menganut
agama X, karena pemeluk agama X dianggap tidak dapat dipercaya. Dsb. Diskriminasi

76
biasanya disertai prasangka. Diskriminasi selalu dilatarbelakangi oleh pandangan rasisme,
sektarianisme atau seksisme.

8.3.1.b. Argumentasi Etika Melawan Diskriminasi


Pertanyaannya adalah mengapa perusahaan tidak boleh memratikkan diskriminasi? Apa yang
menjadi dasar etika untuk menolak diskriminasi? Sekurang-kurangnyua, ada tiga teori
sebagai dasar etika untuk menolak diskriminasi, yaitu Utilitarisme, Deontologi, dan Teori
Keadilan.

1. Utilitarisme (peraturan)
Menurut teori ini, diskriminasi merugikan perusahaan itu sendiri. Seiring dengan globalisasi
ekonomi dan perdagangan serta pasar bebas, perusahaan dituntut untuk memiliki karyawan
berkualitas yang menjamin produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik. SDM menjadi
kunci dalam kompetisi di pasar bebas. Jika perusahaan mengabaikan tuntutan macam itu,
perusahaan bisa ketinggalan dalam persaingan dengan perusahaan lain. Oleh karena itu,
perusahaan harus menghindari diskriminasi demi kepentingannya sendiri.

Selain itu, argumen utilitaristis tidak memfokuskan untuk perusahaan-perusahaan individual,


tetapi melihat konsekeunsi untuk masyarakat sebagai keseluruhan. Larangan diskriminasi
harus menjadi kebijakan umum, sebab diskriminasi per se sangat merugikan masyarakat.
Seandainya rasisme, sektarianisme atau seksisme dipraktikkan dalam bentuk diskriminasi,
bisa dipastikan akan tercipta suatu suasana yang tidak sehat dalam masyarakat. Kalau hal itu
terjadi, kegiatan bisnis ataupun kegiatan sosial lainnya tidak akan berjalan. Oleh karena itu,
diskriminasi harus selalu dianggap tidak etis.

Kelemahannya, argumen utilitarisme kurang jelas. Kalau praktik diskriminasi dalam suatu
situasi tertentu justru menguntungkan perusahaan, apakah dengan itu diskriminasi dapat
dibenarkan? Apakah menurut utilitarisme diskriminasi hanya dilarang selama merugikan
perusahaan. Diskriminasi, apa pun alasannya, merupakan suatu praktik yang tidak etis.

2. Deontologi
Teori ini mengatakan bahwa diskriminasi melecehkan martabat karyawan. Mendiskriminasi
seorang karyawan karena warna kulit atau jenis kelamin berarti menyamakan dia dengan
warna kulit atau gendernya saja dan itu tidak relevan dengan pekerjaan. Tindakan semacam
itu merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap martabat manusia, dalam hal ini
karyawan tidak dihormati sebagai manusia. Tidak menghormati martabat manusia merupakan
suatu pelanggaran etika yang serius. Kesan yang muncul dari diskriminasi itu adalah seorang
karyawan sebetulnya sangat cocok untuk suatu pekerjaan, tetapi hanya karena salah warna
atau salah gender ia ditolak.

Belum lagi diskriminasi karena agama atau keyakinan politik. Ras, gender, dsb. tidak dipilih
oleh seseorang dan tidak tergantung pada kebebasannya. Tetapi agama, keyakinan politik, dsb.
dipegang oleh seseorang dengan bebas dan (kalau ia mau) ia bisa pindah agama atau
mengembalikan kartu keanggotaan sebuah partai politik. Kebebasan beragama dan keyakinan
politik seseorang harus dihormati oleh semua orang lain, termasuk perusahaan. Jika seseorang
didiskriminasi karena kedua hal itu, berarti hak-hak azasinya dilanggar. Dan itu berarti
martabatnya sebagai manusia dilecehkan juga.

77
3. Teori Keadilan
Praktik diskriminasi jelas bertentangan dengan keadilan, terutama keadilan distributif atau
keadilan membagi. Keadilan distribitif menuntut bahwa kita memerlakukan semua orang
dengan cara yang sama, selama tidak ada alasan khusus untuk memerlakukan mereka dengan
cara berbeda. Jika seorang karyawan didiskriminasi, itu berarti ia diperlakukan dengan cara
tidak sama seperti orang lain, karena alasan yang tidak tepat. Diskriminasi bertentangan
dengan kewajiban menegakkan keadilan.

John Rawls merumuskannya secara positif: persamaan peluang yang fair. Prinsip ini
menegaskan bahwa “kepada semua orang harus diberikan peluang yang sama secara fair”,
misalnya dalam seleksi karyawan. Tapi prinsip tadi jangan diartikan bahwa semua orang yang
melamar harus diterima juga. Perusahaan menerima seorang calon karyawan harus dengan
alasan yang relevan. Kalau tidak ada alasan yang relevan untuk menerima seorang karyawan
baru, hal itu berarti para calon itu tidak diberikan peluang yang fair. Dalam konteks itu,
perusahaan telah melanggar prinsip keadilan.

Argumentasi yang dikemukakan oleh ketiga teori di atas bisa diterima sebagai dasar etika
untuk menolak diskriminasi. Namun, argumentasi ketiganya tidak sama kuat. Tampaknya,
argumen dari deontologi dan keadilan paling meyakinkan dibandingkan dengan argumen
utilitarisme. Kendati demikian, argumen utilitarisme tetap dianggap sah. Ia bisa memerkuat
argumen deontologi dan keadilan.

8.3.1.c. Beberapa masalah terkait


Penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah karena kondisi historis, sosial ataupun budaya
dalam masyarakat. Beberapa kebiasaan seperti wanita tidak boleh menjadi pemimpin
pemerintahan, perusahaan, dan bahkan tidak boleh ikut dalam pemilu, dulu diterima begitu
saja dan tidak pernah dipersoalkan. Kini situasinya sudah berubah. Masyarakat tidak akan
menerima lagi kebiasaan semacam itu. Semua profesi ataupun jabatan publik terbuka bagi
semua orang, tanpa memandang gendernya. Wanita boleh menjadi presiden, perdana menteri,
manajer, direktur, pilot pesawat tempur, sopir busway, bahkan tukang ojek. Karena erat terkait
dengan faktor sejarah dan sosio-budaya, masalah diskriminasi tidak bisa dihampiri secara
hitam putih. Apa yang dinilai sebagai diskriminasi di suatu tempat belum tentu akan dianggap
demikian di tempat lain. Masalah diskriminasi itu bersifat relatif..

Selain diskriminasi, masalah lain yang terkait dengannya adalah favoritisme. Favoritisme
acapkali terjadi dalam perusahaan. Favoristisme merupakan kecenderungan untuk
mengistimewakan orang tertentu, biasanya sanak saudara, dalam menyeleksi karyawan,
menyediakan promosi, bonus, fasilitas khusus, dsb. Sebagaimana halnya diskriminasi,
favoritisme juga merupakan bentuk memerlakukan orang dengan cara yang tidak sama.
Berbeda dari diskriminasi, favoritisme tidak terjadi karena prasangka buruk, tetapi karena
preferensi. Kalau diskriminasi selalu bersifat negatif, dalam arti menolak orang-orang
tertentu, favoritisme selalu mengutamakan orang-orang tertentu (bersifat positif). Favoritisme
terjadi manakala perusahaan mengutamakan karyawan yang masih ada hubungan keluarga
atau memeluk agama yang sama dengan pemiliknya, dst.

Persoalannya adalah bagaimana menilai kualitas etis dari favoritisme? Seperti dikatakan di
atas, diskriminasi selalu tidak etis, apa pun alasannya. Sedangkan dalam hal favoristisme
belum tentu. Misalnya, si A mempunyai toko klontong. Dia mempunyai kebijakan bahwa
yang boleh bekerja di tokonya hanyalah mereka yang masih ada hubungan darah dengannya,
atau sekurang-kurangnya berasal dari daerahnya. Apakah kebijakan yang dilakukan si A itu

78
mesti dianggap kurang etis? Tampaknya tidak demikian. Bisa jadi si A mempunyai
pertimbangan yang rasional: saudara dapat saya percaya.

Masalahnya menjadi lain tatkala perusahaan besar menempuh jalur favoritisme tersebut. Apa
yang dilakukan oleh perusahaan besar itu sulit diterima, karena hal itu akan mengakibatkan
diskriminasi terhadap orang lain. Praktik favoritisme oleh perusahaan besar menjadi kurang
etis. Persoalannya kemudian adalah di mana harus ditarik garis pembatas antara perusahaan
kecil dengan perusahaan besar? Di mana favoritisme tidak bisa ditoleransi lagi, karena sudah
menjurus ke arah diskriminasi? Jawaban atas kedua pertanyaan tadi tidak mudah. Di sini kita
masuk ke grey area, di mana kualitas etis menjadi kurang pasti. Kita tidak tahu persis saat
mana favoritisme pasti melewati ambang toleransi etika. Satu hal yang pasti adalah bahwa
menghindari favoritisme selalu merupakan pilihan terbaik dari sudut pandang etika. Pilihan
untuk selalu menghindari favoritisme sekaligus juga meminimalisasi jebakan nepotisme.
Nepotisme selalu bertentangan dengan keadilan distributif.

Beberapa dekade terakhir, terutama di Amerika Serikat, ada upaya untuk menanggulangi
masalah diskriminasi, yakni reverse discrimination (diskriminasi terbalik) atau diskriminasi
positif. Penerapan diskriminasi positif ini bukannya tanpa masalah. Kendati demikian, ada
baiknya kalau dikemukakan juga di sini. Konkretisasi dari diskriminasi terbalik ini kurang
lebih demikian: jika untuk lowongan posisi manajer dalam perusahaan tersedia sepuluh calon
yang memenuhi persyaratan dengan cara yang sama (umur, pendidikan, pengalaman kerja,
dsb.), tetapi hanya satu calon kulit hitam/wanita, sedangkan sembilan calon lain semua kulit
putih (pria), posisi manajer itu harus diberikan kepada satu calon kulit hitam/wanita itu.
Mengapa mesti diberikan kepada satu calon kulit hitam/wanita? Karena mereka dulu
didiskriminasi.

Karena istilah diskriminasi terbalik masih bernuansa melecehkan martabat manusia, kini
istilah itu diganti dengan istilah lain, yakni affirmative action, aksi afirmatif. Kendatipun
istilahnya beda, tapi maksudnya tetap sama, yakni mencoba mengatasi atau sekurang-
kurangnya mengurangi ketertinggalan golongan yang dulunya didiskriminasi. Aksi afirmatif
ini bisa dilakukan dengan pelbagai cara. Misalnya, melalui preferensi dalam menerima
karyawan baru ( lihat contoh diskriminasi terbalik di atas). Contoh lain, perusahaan A
mengambil kebijakan khusus bahwa dalam jangka waktu 5 tahun ke depan jumlah karyawati
harus sampai 40%, sedangkan pada saat ini mereka baru mencapai 5%. Seluruh proses seleksi
karyawan baru harus menyesuaikan diri dengan kebijakan baru tersebut.

Apa yang dilakukan aksi afirmatif di atas patut didorong dan didukung. Bukan saja karena
alasan-alasan moral dibaliknya, melainkan juga karena apa yang dikemukakanya masuk akal
dan bisa dipertanggungjawabkan. Kendatipun demikian, tidak semua pihak setuju dengan
alasan-alasan moral aksi mafirmatif tersebut: ada yang pro, ada pula yang kontra,
sebagaimana terungkap di bawah ini.
1. Yang Pro. Aksi afirmatif wajib dilakukan. Dasarnya adalah keadilan kompensatoris. Mereka
berpendapat bahwa golongan yang dulu didiskriminasi dan dirugikan, sekarang kerugian itu
harus diperbaiki. Kelemahan dari arguemntasi ini adalah menurut keadilan kompensatoris,
kompensasi harus diberikan oleh pihak yang mengakibatkan kerugian kepada pihak yang
dirugikan. Dalam hal diskriminasi, keadilan kompensatoris ini sulit untuk diterapkan. Di
samping karena mereka yang dulu dirugikan sekarang tidak dapat diberi kompensasi lagi, juga
tidak jelas siapa yang dulu mengakibatkan kerugian. Sementara menurut keadilan
kompensatoris, ganti rugi harus diberikan oleh pihak yang mengakibatkan kerugian.
2. Yang Kontra. Menolak aksi afirmatif. Alasanya adalah aksi afirmatif menimbulkan diskriminasi
baru. Selain itu, aksi afirmatif juga akan mengakibatkan keresahan dan frustrasi yang tidak

79
perlu dalam masyarakat. Menurut mereka, perusahaan baru dikatakan tidak adil, kalau semua
karyawan atau calon karyawan diberikan peluang yang sama. Menggunakan contoh
diskriminasi terbalik di atas, jalan keluar yang fair ialah mengadakan undian. Dengan undian,
semua akan diberikan peluang yang sama. Kendatipun cara ini membutuhkan waktu lama untuk
menghilangkan keterbelakangan golongan yang dulu didskriminasi, tetapi ia tidak akan
menimbulkan diskriminasi yang baru.
3. Jalan tengah: Para pendukung jalan tengah ini menyetujui bahwa prinsip “peluang yang sama
untuk semua orang yang memenuhi segala syarat dengan cara yang sama” tidak boleh dilewati.
Tetapi ketidakseimbangan antara karyawan yang diakibatkan oleh diskriminasi zaman dulu,
harus dihilangkan juga. Caranya adalah dengan memberikan beasiswa atau menyelenggarakan
pelatihan khusus kepada mereka yang telah didiskriminasi. Dengan cara itu, mereka yang
terbelakang (didiskriminasi) diharapkan bisa diberdayakan sehingga mereka memeroleh
peluang yang sama seperti golongan lain (pihak yang telah melakukan diskrimansi).

8.3.2. Perusahaan harus Menjamin Kesehatan dan


Keselamatan Kerja

8.3.2.a. Beberapa aspek keselamatan kerja


Aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja merupakan sesuatu yang sangat penting
bagi karyawan. Banyak kecelakaan yang menimpa para karyawan sebagai akibat dari
kurangnya perhatian para pengusaha terhadap aspek ini. Hampir setiap hari kita membaca
beritanya di surat kabar atau melihat tayangannya di TV mengenai kecelakaan yang dialami
oleh para buruh bangunan. Alasan yang kerapkali kita dengar dibalik terjadinya kecelakaan
semacam itu adalah ketidakpedulian para kontraktor (pengusaha) terhadap aspek keselamatn
kerja. Kendatipun di Indonesia aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja ini sudah
diatur oleh UU Ketenagakerjaan dan banyak perusahaan sudah memiliki Panitia Pembinaan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3), kecelakaan tetap saja terjadi. Lantas apa yang
salah dengan K3 itu. Di sini kita tidak akan membahas lebih jauh masalah tersebut. Yang
akan kita bedah hanyalah dasar etika dibalik perlunya perlindungan terhadap K3 tersebut.

Salah satu dasar dibalik perlunya perlindungan keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja
adalah hak atas hidup. Hak atas hidup ini merupakan salah satu HAM. Setiap manusia punya
hak atas kehidupan dan tidak seorang pun yang berhak mencabutnya. Semua orang lain,
termasuk perusahaan, berkewajiban moral untuk menjaga dan menjamin hak tersebut.
Perusahaan punya kewajiban moral untuk menjaga dan menjamin hak tersebut, minimal
dengan mencegah kemungkinan hidup para pekerjanya terancam dengan cara menjamin hak
atas perlindungan keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja.

8.3.2.b. Pertimbangan Etika


Negara tentu punya kepentingan dengan perlindungan atas K3. Kalau tidak, mengapa negara
“repot-repot” membuat peraturan hukum untuk melindungi dan menjamin keamanan,
keselamatan, dan kesehatan para pekerja tersebut. Adanya peraturan hukum yang melindungi
para pekerja, tidak serta merta membuat diskusi seputar masalah K3 dianggap sudah selesai.
Apalagi mengenai diskusi etikanya. Kehadiran peraturan hukum tidak akan pernah
menghapus kewajiban moral majikan terhadap para karyawannya. Dan itulah medan yang
mau digarap oleh etika. Setiap peraturan hukum, apa pun bentuknya, selalu dilatarbelakangi
alasan-alasan etika. Dan karena itu, kalau dalam suatu situasi tertentu peraturan hukum belum
cukup melindungi para pekerja, para majikan tidak bisa bebas begitu saja dari kewajiban
moral. Ia sudah terikat oleh alasan-alasan etika.

80
J. R. Boatright mengemukakan tiga alasan yang menjadi dasar etika bagi kewajiban
perusahaan untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan kesehatan para pekerja, yakni Hak,
Deontologi, dan Utilitarisme.
1. Hak. Setiap pekerja berhak atas kondisi kerja yang aman dan sehat. Hak ini merupakan
eksplisitasi dari hak setiap manusia untuk tidak dirugikan dan hak untuk hidup ( the right of
survival). Dan hak untuk hidup merupakan hak dasar, dalam arti ia menjadi syarat untuk hak-
hak lainnya. Kondisi kerja yang buruk jelas mengancam jiwa para pekerja dan karena itu
bertentangan hak dasar tadi.
2. Deontologi Kant. Kant mengatakan bahwa manusia selalu harus diperlakukan sebagai tujuan
pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka. Jika aspek keamanan, keselamatan dan
kesehatan kerja diabaikan maka itu berarti bahwa perusahaan memerbudak para pekerja.
Mereka dikorbankan demi tercapainya tujuan perusahaan, yakni keuntungan ekonomisalnya
3. Utilitaris. Berdasarkan teori ini kita bisa mengatakan bahwa tempat kerja yang aman dan sehat
paling menguntungkan bagi masyarakat sendiri, khususnya bagi ekonomi negara. Masyarakat
sendiri akan mengalami kerugian besar, jika proses produksi tidak berlangsung dalam kondisi
aman dan sehat.

Semua argumentasi yang dikemukakan oleh ketiga teori di atas sah dan saling memerkuat,
khususnya dalam menyediakan dasar etika bagi kewajiban perusahaan untuk menjamin
keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja bagi para pekerjanya. Tetapi, argumen-argumen
etis semacam itu tidak lantas membuat diskusi-diskusi etika seputar masalah K3 dianggap
sudah selesai. Pemimpin perusahaan acap kali membela diri terhadap tuduhan bahwa mereka
kurang memerhatikan keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja.

Sekurang-kurang ada dua pertimbangan dibalik pembelaan diri para pemimpin perusahaan
tersebut.
1. Kematian atau kerugian si pekerja tidak secara langsung disebabkan oleh tindakan pemimpin
perusahaan. Menurut mereka bahwa pemimpin perusahaan tidak boleh dianggap sebagai
penyebab langsung dari kecelakaan di tempat kerja. Alasan yang kerapkali dikemukakan
adalah: pertama, kecelakaan kerja acap kali disebabkan oleh banyak faktor sekaligus,
termasuk perbuatan para pekerja itu sendiri. Karena itu, kita tidak bisa begitu saja menunjuk
pemimpin perusahaan sebagai satu-satunya instansi yang bertanggungjawab. Ada faktor
tertentu yang tidak dikuasai oleh siapa pun, misalnya keadaan cuaca yang eksepsional.
Dikemukakan pula bahwa para pekerja sendiri kerap kali tidak memerhatikan aspek
keselamatan. Tindakan semacam itu jelas-jelas melanggar prosedur keamanan yang berlaku.
Jadi, kecelakaan disebabkan oleh pekerja sendiri yang kurang berhati-hati. Kedua,
kemungkinan terjadinya kerugian untuk pekerja kadang-kadang tidak bisa dihindarkan. Setiap
pekerjaan tentu ada risikonya, kadang-kadang risiko itu tidak bisa dihindari. Yang bisa kita
lakukan hanyalah meminimalisasi risiko tersebut. Perdebatan mengenai masalah risiko ini
masih bisa diperpanjang lagi, namun satu hal yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa
pekerjaan dianggap aman/sehat, manakala risiko yang menyertainya masih di bawah ambang
toleransi. Tentu saja setelah semua faktor lain dipertimbangkan di dalamnya.
2. Si pekerja menerima risiko kerja dengan suka rela. Di sini, pekerja tidak dipaksakan, tetapi
dengan sukarela menerima risiko. Banyak orang mengambil risiko dalam memilih pekerjaan
tertentu. Misalnya bekerja di tambang batu bara yang berada sekian kilometer di bawah
permukaan bumi. Risikonya sangat besar, tetapi ia tetap memilih pekerjaan itu. Bisa jadi
karena imbalannya besar. Terlepas dari itu semua, yang terpenting adalah si pekerja menerima
risiko itu dengan sukarela.

Berkaitan dengan argumen kedua di atas, jelas bahwa pekerja merupakan faktor yang
membenarkan moralitas pekerjaan berisiko. Pekerja sendiri harus mengambil risiko dengan
sukarela. Tetapi, agar si pekerja sungguh-sungguh bebas dalam mengambil keputusan, ada
tiga syarat yang perlu dipenuhi terlebih dahulu.

81
a. Harus tersedia pekerjaan alternatif, supaya si pekerja dapat memilih pekerjaan lain tanpa
risiko khusus walaupun dengan gaji yang lebih rendah Kalau pilihannya cuma dua:
pekerjaan berisiko atau mengganggur, ia tidak sungguh-sungguh bebas.
b. Ia harus diberi informasi tentang risiko yang berkaitan dengan pekerjaannya. Majikan
berkewajiban memberikan informasi yang benar tentang risiko perkerjaan tersebut sebelum
atau pada saat pekerja mengambil keputusan mau menerima pekerjaan itu atau tidak Tetapi,
apakah perusahaan wajib memberi informasi juga, kalau hanya ada dugaan tentang risiko
tertentu?
c. Perusahaan wajib berupaya agar risiko bagi pekerja seminimal mungkin. Dalam kerangka
itu, perusahaan harus melaksanakan semua peraturan K3 yang ditetapkan oleh pemerintah
atau instansi yang terkait. Kalau perusahaan merasa bahwa peraturan K3 belum memadai
untuk situasinya sendiri, perusahaan yang bersangkutan harus membuat peraturan khusus
sekaligus memantau pelaksanaannya.

Akhirnya, mesti ditegaskan sekali lagi bahwa aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan
pekerja tidak pernah boleh dikorbankan demi kepentingan ekonomis. Risiko dalam setiap
pekerjaan memang tidak selalu bisa dihindari, tetapi harus dibatasi sampai seminimal
mungkin. Selain itu, pekerja harus menerima risiko itu dengan bebas, setelah lebih dahulu ia
diinformasikan secukupnya. Untuk mengimbangi risiko yang mungkin terjadi, pekerja harus
diberi imbalan ekstra, misalnya gaji yang tinggi dan asuransi khusus. Yang tak kalah
pentingnya adalah pekerjaan berisiko itu hanya bisa ditoleransi, jika menghasilkan produk
yang bermanfaat bagi masyarakat.

8.3.2. c. Dua masalah khusus


Dari sekian banyak masalah yang berkaitan dengan aspek keamanan, keselamatan, dan
kesehatan kerja, ada dua persoalan yang perlu dicermati dan diamati lebih jauh:
1. Apakah pekerja (yang sudah bekerja untuk suatu perusahaan) boleh menolak perintah atasan
untuk melaksanakan suatu tugas yang dianggap terlalu berbahaya? Jawaban atas pertanyaan
tersebut erat terkait dengan kewajiban karyawan untuk menaati semua perintah yang wajar dari
atasannya. Apakah suatu perintah untuk mengerjakan tugas berbahaya bisa dianggap wajar
atau tidak. Pekerjaan mengelola Dana Abadi Umat tentu merupakan pekerjaan berisiko. Tetapi
kalau atasan menyuruh bawahannya memanipulasi dan mengorupsi Dana Abadi Umat itu
untuk kepentingan pribadi atau konco-konco-nya, apakah bawahan mesti menaatinya? Tentu
saja sang bawahan harus menampik perintah “aneh” itu. Di samping karena perintah “aneh”
tersebut di luar batas kewajaran dan melampaui tugasnya sebagai pengelola dana publik,
perintah macam itu juga bertabrakan dengan etika pejabat publik.
2. Kerugian kesehatan akibat kondisi kerja tidak dialami oleh si pekerja bagi dirinya sendiri,
tetapi bagi keturunannya (risiko reproduktif). Misalnya, pekerja pria atau wanita yang bekerja
di industri kimia. Karena setiap hari selalu bersentuhan dengan bahan kimia yang berbahaya,
pria menjadi infertil. Atau karena pekerja wanita terus-menerus berkontak dengan bahan
kimia yang berbahaya, ia bisa mengalami keguguran, kelahiran dini, atau melahirkan bayi
cacat. Pertanyaannya, siapa yang harus mengambil keputusan atau siapa yang harus memikul
tanggung jawab: si pekerja atau perusahaan atau kedua-duanya? Dalam suatu masyarakat yang
menekankan otonomi dan hak individu, jawaban atas pertanyaan tadi relatif lebih mudah:
pekerja sendiri harus mengambil keputusan, setelah ia diberi informasi tentang risiko bagi
janin. Mereka sendiri harus memertimbangkan kesejahteraan ekonomis mereka dan risiko bagi
keturunan. Kalau mereka memutuskan mempunyai anak, mereka masih bisa mengajukan
permohonan ke bagian lain, tentu dengan gaji yang relatif lebih kecil. Masalahnya menjadi
pelik ketika persoalan tersebut menimpa para pekerja yang hidup dalam masyarakat yang
masih kental budaya paternalistiknya.

8.3.3. Kewajiban Memberi Gaji yang Adil

82
Sebelum membahas masalah gaji yang adil, ada baiknya kalau kita menilik sejenak motivasi
orang bekerja. Mengapa kita bekerja? Apa yang menjadi motivasi orang untuk bekerja? Gaji,
tentu saja. Tetapi itu bukan merupakan satu-satunya motif untuk bekerja. Masih banyak motif
lain mengapa seseorang memilih bekerja. Di antaranya adalah:
1. Untuk mengembangkan diri. Karl Marx pernah mengatakan bahwa
manusia bekerja untuk menjadi manusia sungguh-sungguh, selain untuk menghumanisasikan
alam. Bekerja merupakan suatu cara penting untuk mengembangkan diri. Setiap manusia
punya bakat dan potensi tertentu. Dengan bekerja ia dapat mewujudkan bakatnya. Melalui
kerja, manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan
lingkungannya yang lebih manusiawi. Melalui kerja, manusia menjadi manusia. Melalui kerja
pula manusia menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri. Dengan kerja
manusia membebaskan dirinya dari ketergantungan yang negatif pada orang lain. Dan melalui
kerja ia menegaskan dirinya, identitasnya, dan eksistensinya. Karenanya kita tidak akan
menerima pekerjaan apa saja, tetapi hanya pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat kita.
Mengapa? Karena pekerjaan harus disertai oleh kepuasaan kerja. Dan kepuasaan kerja tercapai
manakala seseorang merasa bangga dengan hasil kerjanya dan orang lain menghargai
pekerjaannya. Imbalan yang pantas, sebagai bagian dari kepuasaan kerja, merupakan wujud
dari penghargaan tersebut.
2. Memberi sumbangsih yang berguna kepada pembangunan
masyarakat sebagai keseluruhan. Kita tidak pernah bekerja untuk diri kita sendiri. Dengan
bekerja kita memajukan manfaat orang lain. Pekerjaan selalu merupakan suatu kegiatan sosial
yang dijalankan bersama orang lain dan demi manfaat orang lain.
3. Mendapat imbalan yang memungkinkan kita untuk hidup dan
menghidupi keluarga. Pada dasarnya, orang bekerja untuk mencari nafkah. Kendati pun ada
orang yang bekerja sebagai sukarelawan/ti, seperti mereka yang bekerja untuk beberapa LSM
yang bertaraf internasional, toh pada akhirnya mereka butuh uang juga. Melalui “kerja amal”
itu mereka memeroleh uang.

Kembali ke masalah pokok di atas, yaitu gaji yang adil. Persoalan mengenai gaji yang adil
bukanlah masalah baru. Masalah tersebut sudah muncul sejak zaman industri. Dari zaman ke
zaman, masalah tersebut selalu menjadi tema utama perjuangan para buruh di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Persoalannya kemudian adalah bagaimana cara menilai adil atau
tidaknya gaji yang diterima oleh para pekerja. Selanjutnya, apa kriterianya. Uraian berikut ini
mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

8.3.3. a. Menurut Keadilan Distributif


Salah satu tuntutan yang mesti dipenuhi dalam sistem penggajian adalah keadilan, terutama
keadilan distributif. Permasalahanya adalah kriteria gaji yang adil itu sendiri. Dua aliran
pemikiran yang sangat berpengaruh, yakni liberalisme dan sosialisme, memberikan kriteria
yang berbeda untuk masalah tersebut.

Para pendukung liberalisme (liberalis) berkeyakinan bahwa gaji dapat dianggap adil,
manakala gaji yang diterima para pekerja merupakan imbalan untuk prestasi. Mereka melihat
masalah gaji yang adil ini terutama dari kaca mata perusahaan. Pertimbangan utama para
majikan dalam menentukan besar-kecilnya gaji adalah prestasi si pekerja. Pekerja yang
berprestasi tinggi diberi gaji besar, sebaliknya pekerja yang berprestasi rendah hanya diberi
gaji yang setimpal. Para majikan juga menganggap wajar-wajar saja bila laba menjadi milik
perusahaannya.

Kalau pandangan liberalistis melihat gaji yang adil dari sudut pandang majikan, sebaliknya
pandangan sosialistis melihat masalah tersebut dari sudut pandang pekerja. Mereka
menekankan bahwa gaji baru adil, bila sesuai dengan kebutuhan si pekerja beserta

83
keluarganya. Bisa saja prestasi dua pekerja sama, tapi yang satu punya kebutuhan lebih
banyak karena sudah berkeluarga, sedangkan yang lain belum, dsb. Tetap adil, bila mereka
diberi gaji yang berbeda, asalkan perbedaan itu didasarkan atas kebutuhan. Selain itu,
sosialisme juga berpendirian bahwa pekerja berhak mengambil bagian dalam laba
perusahaan. Laba adalah nilai-lebih yang dihasilkan dari modal awal. Mengutip Karl Marx,
modal itu tidak produktif; yang produktif hanya pekerjaan yang ditambah pada modal. Oleh
sebab itu, keadilan menuntut agar pekerja juga diberikan sebagian dari laba. Perusahaan akan
dituduh telah melakukan eksploitasi terhadap para pekerjanya manakala para pekerja itu tidak
boleh mengambil bagian dalam laba perusahaan.

Kini, pandangan kedua kubu di atas dipadukan untuk kemudian menjadi salah satu kriteria
untuk menilai adil atau tidaknya gaji yang diterima oleh para pekerja, di samping beberapa
kriteria lain. Berikut ini merupakan beberapa kriteria yang dianggap mencukupi untuk menilai
gaji yang adil itu.
1. Prestasi dan kebutuhan. Tak bisa disangkal bahwa dalam menentukan gaji yang adil, baik
preastasi maupun kebutuhan harus berperanan. Karena prestasi si pekerja dan manfaat bagi
perusahaan dinilai begitu penting, dengan sendirinya pekerjaan mendapat nilai pasar dalam
ekonomi pasar bebas dan tidak bisa dihindarkan bahwa gaji ditentukan juga oleh mekanisme
pasar. Seorang tenaga ahli yang langka pasti ditawarkan gaji yang tinggi. Sebaliknya, para
pekerja tidak berketerampilan, hanya ditawarkan gaji yang rendah. Jadi, gaji dipengaruhi juga
oleh keadaan pasar. Tetapi gaji tidak boleh seluruhnya ditentukan oleh mekanisme pasar.
Karena hal itu akan mengakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap para pekerja. Untuk
meminimalisasi dampak semacam itu, mekanisme pasar harus diatur dan disesuaikan dengan
kebijakan pemerintah.
2. Prinsip “bagian yang sama.”. Supaya adil, gaji semua karyawan memang tidak perlu
sama, tetapi perbedaan juga tidak terlalu besar. Pemerataan pendapatan merupakan tuntutan
etis dari prinsip “ bagian yang sama.” Gaji karyawan berasal dari laba perusahaan dan laba
perusahaan itu dihasilkan oleh produktivitas karyawan. Dalam produktivitas itu prestasi
karyawan jelas tidak sama. Adalah wajar kalau gajinya juga tidak sama. Tetapi perbedaan gaji
itu tidak boleh di luar proporsi.
3. Hak. Karyawan yang dipekerjakan di suatu perusahaan, sebelum diterima akan
menandatangani janji yang menentukan gaji, hari cuti, tunjangan kesehatan, dsb. Di sini
haknya terhadap perusahaan telah dirumuskan dengan jelas. Ia diperlakukan dengan adil oleh
perusahaan manakala ketentuan-ketentuan dalam janji tersebut dilaksanakan.
4. Usaha. Mereka yang mengeluarkan banyak usaha untuk mencapai suatu tujuan, pantas
memeroleh gaji yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak berusaha sama
sekali.
5. Konstribusi kepada masyarakat. Orang yang memiliki konstribusi yang lebih besar kepada
masyarakat, sangat layak kalau diberi gaji yang tinggi. Misalnya gaji pejabat publik? Dirut
BUMN?

8.3.3.b. Enam Faktor Khusus


Selain kelima kriteria di atas, masih ada sekian banyak kriteria lain untuk menilai apakah gaji
yang diterima para pekerja itu adil atau tidak. Misalnya, Thomas Garret dan Richard Klonoski
mengusulkan enam (6) kriteria lain yang patut dipertimbangkan dalam menilai adil/fair gaji
yang diterima para pekerja.

1. Peraturan Hukum. Gaji yang diterima para pekerja harus sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku (misalnya sistem gaji minimum: UMR). Adanya gaji minimum berarti bahwa
kebutuhan diakui sebagai kriteria untuk menentukan gaji (sosialisme). Dengan ketentuan gaji
minimum tersebut, prinsip dasar yang liberalistis (berdasarkan penawaran dan permintaan)
dibatasi demi mengutamakan kebutuhan hidup kaum buruh.

84
2. Gaji yang lazim dalam sektor industri tertentu atau daerah tertentu. Dalam semua sektor
industri, gaji yang diterima para pekerja tidak sama. Dalam kaitan gaji, gaji bisa dinilai adil
manakala rata-rata diberikan dalam sektor industri yang bersangkutan. Untuk kasus daerah
tertentu, karena biaya hidup di semua tempat tidak sama, bisa diterima kalau gaji tidak sama
untuk semua tempat itu. Besarnya gaji pekerja di Jakarta berbeda dari besarnya gaji para
pekerja di Flores. Para pekerja di Flores tidak bisa mengatakan bahwa mereka telah
diperlakukan tidak adil oleh para pengusaha. Perbedaan besarnya gaji yang diterima para kerja
(di Jakarta dan Flores) bisa diterima karena biaya hidup di kedua tempat itu tidak sama.
3. Kemampuan perusahaan. Perusahaan kuat yang menghasilkan laba besar, harus memberi gaji
lebih besar daripada perusahaan yang punya marjin laba kecil saja. Hal yang sama berlaku
pula untuk pemberian bonus ekstra pada akhir tahun. Di sini berlaku pandangan sosialistis
tentang hak karyawan mengambil bagian dalam laba. Sebagai catatatan: prinsip ini hanya bisa
diterapkan dengan baik, jika perusahaan bersedia terbuka tentang keadaan finansialnya.
4. Sifat khusus pekerjaan tertentu. Beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa dijalankan oleh
orang yang mendapat pendidikan atau pelatihan khusus. Kelangkaan tenaga mereka boleh
diimbangi dengan tingkat gaji lebih tinggi. Hal yang sama berlaku juga untuk pekerjaan yang
menuntut pengalaman lebih besar atau pekerjaan yang mengandung risiko tertentu untuk
keamanan, keselamatan, dan kesehatan pekerja, dsb. Di sini, keadilan tidak dilanggar, jika
orang yang bersangkutan dibayar dengan gaji lebih tinggi daripada orang lain yang tidak
mengalami kondisi tersebut.
5. Perbandingan dengan Gaji lain dalam perusahaan. Kalau tidak ada kondisi seperti no. 4 di
atas, gaji harus sama. Perusahaan yang punya sistem penggajian yang fair, akan membayar
gaji yang sama untuk pekerjaan yang sejenis: prinsip equal pay for equal work. Melakukan
hal sebaliknya berarti perusahaan memraktikkan diskriminasi.
6. Perundingan gaji yang fair. Salah satu cara yang ampuh untuk mencapai gaji yang fair adalah
melakukan perundingan langsung antara perusahaan dengan para pekerja. Melalui
perundingan, perusahaan dan para pekerja bisa mengatur hal-hal penting yang terkait dengan
para pekerja, seperti jaminan kesehatan, jumlah jam kerja, dan hari libur. Salah satu tuntutan
dari perundingan antara perusahaan dan para pekerja adalah adanya keterbukaan cukup besar
dari pihak perusahaan

8.3.3.c. Senioritas dan imbalan rahasia


Kriteria lain dalam hal menentukan gaji adalah senioritas. Maksudnya, orang yang bekerja
lebih lama pada suatu perusahaan mendapat gaji lebih tinggi. Kebiasaan ini menyimpang dari
prinsip: “ pembayaran gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama.” Sebab, dua orang yang
melakukan pekerjaan yang sama tapi punya senioritas berbeda, justru tidak digaji dengan cara
yang sama. Namun demikian, cara penggajiannya tidak bisa dikatakan tidak adil.
Pertimbangannya: gaji lebih tinggi yang berdasarkan senioritas itu merupakan semacam
penghargaan bagi kesetiaan karyawan terhadap perusahaan atau profesinya.

Kini, senioritas yang secara otomatis diikutsertakan dalam menentukan tingginya gaji, mulai
diperdebatkan, dan bahkan ada yang sudah meniggalkannya sama sekali. Dikatakan bahwa
kebiasaan semacam itu merupakan sisa-sisa zaman dahulu. Ia tidak pantas lagi untuk zaman
sekarang. Zaman sekarang, sistem penggajian bukan berdasarkan senioritas lagi, melainkan
berdasarkan prestasi dan hak. Prinsip yang melatarbelanginya adalah “ pembayaran sama
untuk pekerjaan yang sama.”

Selanjutnya, praktik pembayaran khusus atau kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap
teman-teman. Praktik semacam ini lebih dekat dengan sistem pemberian bonus atau insentif.
Bedanya, pembayaran ini berlangsung dalam suasana rahasia sehingga hanya yang
bersangkutan diberitahu. Bagi para manajer, cara ini mudah untuk diterapkan karena
fleksibilitasnya. Namun, cara seperti ini bukannya tanpa masalah. Pertama, dari segi
manajemen, efektivitasnya dapat diragukan. Kenaikan gaji atau bonus dimaksudkan sebagai

85
stimulans bagi semua karyawan. Fungsi ini sulit untuk diwujudkan kalau karyawan satu tidak
tahu bahwa karyawan lain mendapat kenaikan. Supaya mendapat tujuan motivasionalnya,
lebih baik semua karyawan tahu tentang adanya kenaikan gaji atau bonus dan serentak juga
tentang kriteria yang dipakai. Kedua, dari segi etika, tidak fair, kalau orang tidak
diberitahukan dengan jelas tentang kemungkinan dan kriteria untuk mendapat kenaikan gaji
atau bonus. Supaya sungguh-sungguh fair, sistemnya harus terbuka. Prosedur yang terbuka
dan demokratis paling cocok untuk menjamin mutu etis sebuah sistem.

8.3.4. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dgn


semena-mena
Masalah perberhentian karyawan oleh perusahaan acapkali tak terhindarkan. Masalah ini bisa
jadi tidak merisaukan bagi perusahaan. Tapi, bagi karyawan ini merupakan masalah yang
sangat sensitif, karena di situ, nasib dan masa depan ekonomi keluarga mereka dipertaruhkan
secara langsung. Karena masalahnya sensitif dan bersentuhan langsung dengan nasib
karyawan beserta keluarga mereka maka dibuatlah peraturan hukum yang memuat ketentuan
tentang kewajiban perusahaan untuk memberikan pesangon. Di sini kita tidak akan membahas
masalah PHK dan pesangon itu dari segi hukum. Kita hanya akan menyingkap pertimbangan
etika yang merupakan latar belakang peraturan hukum tersebut. Kadang-kadang peraturan
hukum yang terkait dengan masalah PHK tidak mencukupi untuk melindungi karyawan.
Pertimbangan etika berikut ini diharapkan dapat secara langsung membantu dan menuntun
para pengusaha dalam mencari jalan keluar terbaik, “win-win solution” , khususnya dalam
masalah pemberhentian karyawan.

Mengapa perusahaan memberhentikan karyawan? Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang


kerapkali dikemukakan. Pertama, alasan internal perusahaan ( restrukturisasi, otomatisasi,
merger dengan perusahaan lain); kedua, alasan eksternal ( konyungtur, resesi ekonomi); dan
ketiga, kesalahan karyawan. Untuk alasan (1) dan (2), kebebasan pengusaha sangat terbatas.
Di sini berlaku: di mana kita tidak bebas, kita tidak bertanggungjawab juga. Tetapi kalau
pemimpin perusahaan tidak ada pilihan untuk memberhentikan karyawan atau tidak, mereka
masih bisa mengatur cara bagaimana karyawan diberhentikan. Memang benar, pemimpin
terutama akan melihat kepentingan perusahaan dalam perspektif lebih luas, sedangkan
karyawan cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri secara sempit. Tetapi dalam
merestrukturisasi dan melangsingkan perusahaan, mereka punya kewajiban moral untuk
sedapat mungkin memerhatikan akibat bagi karyawan. Kalau karyawan diberhentikan karena
kesalahan, pemberhentiannya mesti berlangsung dengan fair.

Menurut Garret dan Klonoski, ada tiga hal penting yang mesti diperhatikan oleh majikan
ketika hendak memberhentikan karyawannya.

8.3.4.a. Majikan hanya boleh memberhentikan karyawan karena alasan yang tepat
 Alasan ekonomis, misalnya mendesaknya pelangsingan untuk memerbaiki kinerja
perusahaan, pemimpin perusahaan mesti sungguh-sungguh yakin akan keputusan yang
diambilnya itu. Kendatipun alasan ini bisa diterima, pemimpin perusahaan tidak boleh
memberhentikan para karyawan senior, karena, pertama merekalah yang berjasa
dalam membuat perusahaan seperti adanya dan karenanya perusahaan berutang budi
kepada mereka; kedua, karyawan senior akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan
pekerjaan baru.
 Pelanggaran disiplin kerja yang mengakibatkan kerugian serius untuk perusahaan.
Misalnya malas dan mencuri (menyebarluaskan sikap ketidakjujuran dalam
perusahaan). Pemberhentian karyawan mesti didasarkan atas faktor objektif. Kalau

86
alasan pemberhentian karyawan hanya didasarkan atas faktor subjektif semata (tidak
ada hubungannya dengan pekerjaan di perusahaan), misalnya sentimen keyakinan
politik atau keagamaan maka alasan pemberhentian itu tidak tepat.
 Kesalahan pekerja harus sungguh-sungguh besar besar dan tidak ada jalan ke luar lain,
misalnya dipindahkan ke bagian lain

8.3.4.b. Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya


 Peraturan hukum harus dipegang dengan saksama
 Mempunyai aturan-aturan internal (yang diketahui semua karyawan) yang menjamin prosedur
pemberhentian yang jelas dan terbuka. Adanya prosedur yang jelas dan terbuka itu akan
memungkinkan majikan untuk mengambil tindakan yang perlu sekaligus menghindari cap
sebagai orang yang kejam dan kurang adil
 Untuk perusahaan kecil, pemimpin perusahaan harus berpegang pada kearifan pribadi, selain
pada peraturan hukum atau aturan organisasi majikan, dsb.
 Agar prosedur pemberhentian bisa dianggap fair (ini berlaku untuk perusahaan besar-kecil):
1. ada tuduhan yang jelas dan didukung bukti yang kuat. Tuduhan terhadap karyawan harus
dirumuskan dengan jelas dan didukung oleh pembuktian yang meyakinkan;
2. ada kesempatan untuk membela diri. Karyawan harus diberi kesempatan untuk bertatap
muka dengan orang yang menuduhnya, untuk membantah tuduhan dan memperlihatkan bahwa
pembuktiannya tidak tahan uji, kalau ia memang tidak bersalah;
3. tersedia peluang untuk naik banding. Harus tersedia kemungkinan untuk naik banding
dalam salah satu bentuk sehingga keputusan terakhir diambil oleh orang atau instansi yang tidak
secara langsung berhubungan dengan karyawan bersangkutan.

8.3.4.b. Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai seminimal mungkin.
 Memberikan pesangon
 Memercepat masa pensiun bagi karyawan senior, memindahkan karyawan ke divisi lain,
menawarkan karyawan pindah ke pabrik yang terletak di kota lain
 Untuk karyawan muda, ditawarkan pelatihan khusus sehingga mereka bisa dipersiapkan
untuk tugas lain
 Memberitahukan prospek lain kepada karyawan beberapa waktu sebelumnya

8.4. Masalah Etis Seputar Konsumen

Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis hanya
akan berjalan dan bertahan manakala ada konsumen yang menggunakan produk atau jasa
yang dibuat dan ditawarkan oleh bisnis. Selanjutya, supaya bisnis dapat berkesinambungan,
sangat penting adanya konsumen yang secara teratur membeli dan memakai produk atau jasa
tersebut: pelanggan. Pelangan menduduki posisi kunci untuk menjamin sukses setiap bisnis
(besar-kecil). “The customer is king.” Ungkapan tersebut tidak sekadar slogan saja yang
bermaksud menarik sebanyak mungkin pembeli, tetapi juga sekaligus menunjukkan tugas
pokok bagi produsen-penyedia jasa, yakni mengupayakan kepuasan konsumen. Pelanggan
adalah raja berarti juga bahwa dialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan utama kegiatan
produsen. Mengutip pernyataan Peter Drucker, perintis teori manajemen, yang
menggarisbawahi peranan sentral pelanggan, “bisnis bisa didefinisikan secara tepat sebagai
“to create a customer.”

Oleh karena itu, konsumen harus diperhatikan dengan baik (secara moral). Hal itu merupakan
tuntutan etis sekaligus juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis. Di sini
berlaku bahwa etika dalam praktik bisnis sejalan dengan kesuksesan dalam berbisnis. Good
ethics, good business. Dengan demikian, perhatian untuk etika dalam hubungan dengan
konsumen harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segi-

87
segi etis dari relasi bisnis-konsumen itu menjadi lebih mendesak lagi terutama karena posisi
konsumen sering kali agak lemah.

Kendatipun konsumen adanal “raja”, kekuasaannya sangatlah terbatas. Hal itu terjadi karena:
(1) daya belinya sering kali tidak seperti diinginkan sehingga ia tidak sanggup mengungkapkan
preferensinya yang sesungguhnya; (2) pengetahuan tentang produk-jasa yang tersedia di pasar kerap
kali tidak cukup untuk mengambil keputusan yang tepat; (3) konsumen tidak mempunyaii keahlian
dan waktu untuk secara saksama menyelidiki tepat-tidaknya mutu dan harga dari begitu banyak
produk yang ditawarkan. Dalam dunia bisnis modern yang penuh persaingan, konsumen mudah
dipermainkan dan dijadikan korban manipulasi produsen. Dalam situasi semacam itu, bisnis
mempunyai kewajiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari terjadinya
kerugian baginya.

Bagian ini akan membedah masalah-masalah etis seputar relasi produsen-konsumen. Pertama,
Perhatian untuk Konsumen, kedua, Hak-hak Konsumen, ketiga, Tanggung jawab Produsen
terhadap Konsumen. (Baca: Bertens, 2000: 227-246; Velasquez, 1992: 270-292)

8.4.1. Perhatian Untuk Konsumen


Masyarakat modern adalah masyarakat konsumen. Semua manusia, termasuk produsen adalah
konsumen dari salah satu barang yang diperoleh melalui kegiatan bisnis. Bisnis sudah
merasuki seluruh masyarakat manusia dan semua sendi kehidupannya. Karena itu, bisnis
merupakan bagian integral dari masyarakat modern. Berdasarkan kenyataan itu, bisnis
diharapkan dan dituntut untuk menawarkan sesuatu yang berguna bagi manusia (konsumen).
Produsen juga dituntut untuk memerhatikan konsumen.

Kesadaran akan kewajiban bisnis terhadap konsumen masih baru dan di banyak tempat belum
berakar dalam. Pada umumnya, perhatian spontan bisnis lebih tertuju kepada produknya
daripada kepada konsumennya. Langkah penting dalam hal perhatian untuk konsumen terkait
dengan Special Message on Protecting the Consumer Interest, dari Presiden J.F. Kennedy
kepada Kongres Amerika pada 1962. Sebelum membahas lebih jauh apa isi pidato Presiden
Kennedy ini, ada baiknya kita menengok sejenak soal gerakan perlindungan konsumen, yang
biasanya disebut “consumerism.”

Konsumerisme (consumerism) adalah perlindungan kepentingan-kepentingan konsumen.


Dalam perkembangan sejarahnya, dikenal tiga macam keluasan arti dari konsumerisme.
1. Upaya-upaya terorganisasi yang dilakukan oleh para konsumen yang mencari ganti rugi,
restitusi, dan pepulih guna mengobati kekecewaan yang telah dialami dalam pencapaian
standar hidup. Dalam pengertian ini, konsumerisme terbatas pada hubungan antara
konsumen dan produsen. Hal itu terjadi karena didorong oleh kebutuhan dan keinginan
konsumen untuk meningkatkan kondisi hidupnya. Konsumerisme sebagai pernyataan
rasa kecewa dan sekaligus tuntutan untuk perbaikan hubungan (yang wajar dan seimbang
dengan kesamaan kedudukan). Konsumerisme dipandang sebagai peringatan keras dari
konsumen yang ditujukan pada produsen: Caveat venditor (hendaklah si penjual berhati-
hati).

2. Kekuatan sosial dalam suatu lingkungan masyarakat yang dibentuk untuk membantu dan
melindungi konsumen dengan melakukan tekanan hukum, moral, dan ekonomi terhadap
bisnis. Di sini konsumerisme memiliki arti yang lebih luas, yakni sebagai kekuatan sosial
dengan segala unsurnya (kekuatan hukum, nilai moral, dan ekonomi). Konsumen
menghadapi produsen dengan penuh kesadaran tentang berbagai kekuatan yang
dimilikinya: kekuatan hukum (politik), kekuatan moral (sistem nilai budaya), dan
88
kekuatan ekonomi. Artinya perlindungan kepentingan konsumen dan perjuangan hak
konsumen dapat dibenarkan secara sosial, moral, dan ekonomi sesuai dengan sistem nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Tekanan hukum mempunyai implikasi bahwa pemerintah
mempunyai kewajiban membuat aturan main -kebijakan publik- yang dapat melindungi
kepentingan dan hak konsumen. Mis. membuat UU Perlindungan Konsumen.

3. Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, bisnis, dan organisasi-organisasi


sosial independen dan para konsumen yang mempunyai kesadaran untuk meningkatkan
hak-hak mereka sebagai konsumen. Konsumerisme berurusan dengan perlindungan para
konsumen terhadap segala macam oranganisasi yang melibatkan mereka dalam proses
tukar-menukar: rumah sakit, perpustakaan, sekolah, polisi, dan macam-macam dinas
pemerintah dan badan-badan bisnis. Jangkauan pengertian konsumerisme menjadi sangat
luas, yakni:
a. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pribadi-pribadi konsumen secara independen/LSM, dalam
kerja sama dengan pemerintah dan bisnis.
b. Menyangkut semua masalah yang timbul sebagai akibat dari hubungan tukar-menukar antara
pribadi konsumen dengan bisnis dan segala macam organisasi yang berurusan dengannya (badan
sosial, lembaga keagamaan, oranganisasi nirkaba, lembaga hukum, lembaga keuangan dan
perbankan, BUMN, dinas pemerintah/badan keamanan dan penegak hukum).
c. Konsep perlindungan konsumen mengandung 3 unsur pokok, yaitu: (1) perlindungan terhadap
penipuan dan penyalahgunaan, (2) penyediaan informasi yang memadai, (3) perlindungan
konsumen terhadap diri sendiri dan para konsumen lain.
d. Menuntut tanggung jawab sosial dan tanggung jawab etik profesi dari setiap organisasi yang
berurusan dengannya. Mengutip James F. Engel dkk., konsumerisme: “ kebijakan-kebijakan dan
kegiatan-kegiatan yang dimaksud untuk melindungi kepentingan dan hak-hak konsumen dalam
hubungan tukar-menukarnya dengan segala macam organisasi.”

Konsumerisme terutama lahir karena dirasakan adanya penggunaan kekuatan bisnis secara
tidak fair. Dirasakan bahwa ada praktik-praktik bisnis yang sangat merugikan hak dan
kepentingan konsumen. Konsumen dan masyarakat pada umumnya merasakan bahwa, kalau
kekuatan bisnis ini tidak ditandingi oleh kekuatan tandingan dari pihak konsumen, praktik-
praktik bisnis yang tidak fair akan terus berjalan. Konsumerisme hadir untuk menandingi
kekuatan bisnis tersebut.

Konsumerisme, terutama di Barat, lahir karena beberapa pertimbangan berikut (Keraf,


1998:192-195).
1. Produk yang (dijual) semakin banyak. Di satu sisi, hal itu menguntungkan konsumen (karena mereka
punya pilihan bebas yang terbuka), di lain sisi, membuat pilihan mereka menjadi rumit. Banyak
konsumen lalu sulit menentukan pilihan. Karena itu, mereka membutuhkan informasi yang akurat
tentang berbagai produk. Kehadiran konsumerisme sangat dibutuhkan untuk secara aktif memberi
informasi yang objketif tentang berbagai produk tersebut.
2. Produk atau jasa semakin bersifat spesialistik sehingga konsumen semakin sulit untuk menilai
kualitasnya dan memutuskan mana yang benar-benar dibutuhkannya. Kehadiran konsumerisme
berfungsi mengumpulkan data dan informasi dan menyebarkannya kepada konsumen (masyarakat luas).
3. Promosi produk / jasa melalui iklan membawa pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan konsumen.
Promosi produk yang berlebihan, tidak hanya membuat konsumen makin binggung, tapi juga kerapkali
merusak kepribadian anak-anak, baik secara kultural maupun moral. Konsumerisme hadir untuk
menangkal pengaruh iklan atau sekurang-kurang meminimalisasi dampak buruk dari promosi produk
yang berlebihan itu.
4. Keamanan produk (keamanan pribadi dan sosial, fisik dan moral-mental-budaya-lingkungan) kurang
diperhatikan secara serius, dan bahkan diabaikan, oleh produsen. Konsumerisme hadir untuk
menggerakan kelompok tertentu guna menyadarkan kepentingan konsumen yang terkait dan terancam
oleh pihak produsen. Selain itu, menuntut produsen agar serius memerhatikan keamanan produk yang
ditawarkannya.

89
5. Konsumen, khususnya yang berasal dari kelas sosial bawah, berada pada posisi yang lemah. Konsumen
macam ini membutuhkan konsultasi, advokasi, dan perlindungan untuk menuntut hak dan kepentingan
mereka. Itu adalah tugas konsumerisme.

Konsumerisme berkembang di AS pada awal 1960-an. Seperti dikemukakan di atas, Presiden


Kennedy melakukan langkah penting dalam hal perhatian kepada konsumen. Di hadapan
Kongres, Presiden J.F. Kennedy mengemukakan empat hak perlindungan terhadap konsumen
yang harus diperhatikan. Kendatipun hak-hak konsumen yang dikemukakan Kennedy belum
lengkap, tetapi apa yang dikemukakannya dapat dipandang sebagai jalan masuk yang tepat ke
dalam masalah etis sekitar konsumen. Perlu digarisbawahi bahwa hak-hak konsumen berikut
ini jangan dilihat dalam arti sempit, khususnya hak legal, tetapi sebagai cita-cita atau tujuan
yang harus direalisasikan dalam masyarakat.

Adapun keempat (4) hak konsumen yang dikemukakan oleh J.F.Kennedy itu adalah:
1. Hak atas keamanan (the right to safety). Konsumen berhak mengonsumi barang dan jasa
secara aman: tidak memiliki cacat (teknis) yang bisa merugikan kesehatan atau nyawanya.
Kalaupun ada risiko, harus seminimal mungkin.
2. Hak atas informasi (the right to be informed). Konsumen berhak mendapat informasi yang
lengkap dan benar tentang produk barang dan jasa yang ditawarkan dalam pasar.
3. Hak atas pilihan (the right to choose). Konsumen berhak untuk secara bebas menentukan
pilihannya dalam membeli produk tertentu tanpa dipaksa baik secara halus maupun terang-
terangan. Konsumen berhak untuk membanding-bandingkan produk, sebelum dia
memutuskan untuk membeli produk tersebut.
4. Hak untuk didengar (the right to be heard). Konsumen berhak bahwa keinginan dan terutama
keluhannya tentang produk didengarkan dan dipertimbangkan oleh produsen.

Hak-hak konsumen lainnya adalah:


5. Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Demi tercapainya kualitas hidup, dijamin adanya
perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup yang sehat dan bersih dari polusi, dan segala
macam pencemaran dan perusakan sumber alam. Konsumen juga berhak mendapat produk
yang ramah lingkungan.
6. Hak konsumen atas pendidikan. Konsumen berhak untuk dididik agar menyadari haknya dan
bila perlu juga berhak untuk menyampaikan kritik / keluhan, bila haknya dilanggar. Melalui
sekolah dan media massa, konsumen dipersiapkan untuk menjadi konsumen yang kritis dan
sadar akan haknya. Dengan cara itu, ia sanggup memberikan sumbangan yang berarti kepada
mutu kehidupan ekonomi dan mutu bisnis.

UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999)


Tujuan Perlindungan Konsumen Hak Konsumen (psl.4): Kewajiban Konsumen
(psl. 3) (psl. 5):
1. Meningkatkan kesadaran, 1. hak atas kenyaman, keamanan, dan 1. Membaca atau
kemampuan, dan kemandirian keselamatan dalam mengkonsumsi mengikuti petunjuk
konsumen untuk melindungi diri; barang dan atau jasa; informasi dan
2. mengangkat harkat dan martabat 2. hak untuk memilih barang dan atau prosedur pemakaian
konsumen dg cara jasa serta mendapatkan barang dan atau pemanfaatan
menghindarkannya dari ekses atau jasa tersebut sesuai dg nilai barang dan atau jasa,
negatif pemakaian barang dan tukar dan kondisi serta jaminan yg demi keamanan dan
atau jasa; dijanjikan; keselamatan;
3. meningkatkan pemberdayaan 3. hak atas informasi yg benar, jelas, 2. Beritikad baik dalam
konsumen dalam memilih, dan jujur mengenai kondisi dan melakukan transaksi
menentukan, dan menuntut hak- jaminan barang / atau jasa; pembelian barang dan
haknya sebagai konsumen; 4. hak untuk didengar pendapat dan atau jasa;
4. menciptakan sistem perlindungan keluhannya atas barang dan atas 3. Membayar sesuai dg
konsumen yg mengandung unsure jasa yg digunakan; nlai tukar yg
kepastian hukum dan keterbukaan 5. hak untuk mendapatkan advokasi, disepakati;
informasi serta akses untuk perlindungan, dan upaya 4. Mengikuti upaya

90
mendapatkan informasi; penyelesaian sengketa hukum sengketa
5. menumbuhkan kesadaran pelaku perlindungan konsumen secara perlindungan
usaha mengenai pentingnya patut; konsumen secara
perlindungan konsumen shg 6. hak untuk mendapat pembinaan patut.
tumbuh sikap yg jujur dan dan pendidikan konsumen;
bertanggung jawab dalam 7. hak untuk diperlakukan atau
berusaha; dilayani secara benar dan jujur
6. meningkatkan kualitas barang dan serta tidak diskriminatif;
atau jasa yg menjamin 8. hak untuk mendapatkan
kelangsungan usaha produksi kompensasi, ganti rugi dan atau
barang dan atau jasa, kesehatan, penggantian, apabila barang dan
kenyamanan, keamanan, dan jasa yg diterima tidak sesua dg
keselamatan konsumen. perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya

Hak atas lingkungan (yang bersih dan sehat) tidak disebuntukan dalam UU tersebut dengan
alasan bahwa hak atas LH telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan LH
mengenai kewajiban orang untuk memelihara kelestarian fungsi LH serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan LH.

8.4.2. Tanggung Jawab Produsen terhadap Konsumen (product


liability)
8.4.2.a. Menyediakan produk yang aman
Tanggung jawab bisnis untuk menyediakan produk yang aman merupakan sesuatu yang
niscaya. Masalahnya adalah: Apakah produsen bertanggungjawab, bila produknya
mengakibatkan kerugian bagi konsumen dan apa yang menjadi dasar teoretis untuk tanggung
jawab tersebut. Untuk pertanyaan pertama, produsen memang harus bertanggungjawab atas
kerugian yang dialami konsumen akibat pemakaian produk tertentu. Tentu saja, produsen
hanya bertanggungjawab, kalau kerugian disebabkan oleh kesalahan produksi/konstruksi.
Dengan kata lain, produsen hanya bertanggungjawab kalau ia gagal memenuhi kewajibannya
(Keraf: 1998:187-188). Kewajiban yang dimaksud adalah:
1. memenuhi semua ketentuan (mis. masa berlaku, halal, aman) yang melekat baik pada produk
yang ditawartkan maupun pada iklan tentang produk itu. Dasar pemikirannya, konsumen
membeli sebuah produk karena tertarik pada informasi menyangkut produk itu, baik yang
tertera langsung pada produk itu maupun pada iklannya.
2. menyingkapkan semua informasi yang perlu diketahui oleh semua konsumen tentang sebuah
produk. Semua informasi harus diungkapkan secara benar dan tuntas, termasuk risiko
keamanan dan keselamatan dalam menggunakan produk tertentu.
3. tidak mengatakan yang tidak benar tentang produk yang yang ditawarkan. Mengatakan yang
tidak benar tentang suatu produk merupakan suatu bentuk penipuan. Di sini ada maksud sadar
untuk menipu, bukan karena kelalaian tak sengaja.

Akan tetapi, jika produk disalahgunakan oleh konsumen, produsen tidak bertanggungjawab.
Harus diakui bahwa terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai, baik produsen
maupun konsumen mempunyai tanggung jawab. Memang dunia bisnis secara legal
bertanggungjawab kepada konsumen atas produk / jasa yang ditawarkannya. Konsumen yang
merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada seluruh mata rantai penjualan (distribusi)
dari produsen sampai ke konsumen.

Pertanyaan kedua tidak bisa dijawab secara hitam putih: dasar teoretis untuk tanggung jawab
produsen terhadap konsumen. Memang produsen dan konsumen masing-masing mempunyai
tanggung jawab. Namun masalah muncul ketika kita hendak membuat garis demarkasi
mengenai tanggung jawab kedua belah pihak itu: Di mana dapat kita tarik garis pemisah

91
antara tanggung jawab konsumen sendiri dan tanggung jawab produsen atas produknya. Di
mana persisnya tanggung jawab konsumen untuk melindungi dirinya berhenti dan tanggung
jawab produsen dimulai?

Menurut Velasquez (1992: 277-292), ada tiga teori yang menjadi dasar tanggung jawab
produsen terhadap konsumen, yakni teori kontrak, teori perhatian semestinya, dan teori
biaya sosial.

1. Teori kontrak
Teori ini melihat hubungan antara produsen dan konsumen sebagai semacam kontrak dan
kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas kontrak itu. Konkretnya, jika
konsumen membeli sebuah produk, ia seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan
yang menjualnya. Perusahaan dengan tahu dan mau menyerahkan produk dengan ciri-ciri
tertentu kepada pembeli dan konsumen berhak memeroleh produk itu setelah membayar
sejumlah uang sesuai dengan cara pembayaran yang telah disepakati.

Teori ini sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: caveat emptor,” hendaklah si pembeli
berhati-hati.” Biasanya sebelum menandatangani sebuah kontrak, kita harus membaca
dengan teliti seluruh teksnya. Hal yang sama juga berlaku ketika kita membeli sebuah produk.
Karena merupakan kontrak, transaksi jual-beli mengandung hak dan kewajiban kedua belah
pihak, produsen dan konsumen. Pembeli dengan hati-hati harus mempelajari keadaan produk
serta ciri-cirinya, sebelum ia membayar (dan kemudian menjadi pemilik yang sah produk itu.
Transaksi jual-beli harus dijalankan sesuai dengan apa yang tertuang dalam kontrak itu dan
hak pembeli dan kewajiban penjual memeroleh dasarnya dari situ.

Ada beberapa aturan yang perlu dipenuhi dalam sebuah kontrak yang dianggap baik dan adil,
yang menjadi dasar bagi hak kontraktual kedua pihak dalam suatu kontrak (Velasquez,
1992:278):
1. kedua belah pihak mengetahui sepenuhnya hakikat dak kondisi persetujuan yang mereka
sepakati. Setiap pihak harus tahu hak dan kewajibannya, apa konsekuensi dari kontrak itu,
jangka waktu dan lingkup kontrak itu, dsb.
2. kedua belah pihak harus melukiskan dengan benar fakta yang menjadi objek kontrak. Tidak
ada pihak yang secara sengaja memberikan fakta yang salah tentang kondisi dan syarat
kontrak untuk pihak yang lain. Semua informasi yang relevan untuk diketahui oleh pihak yang
lain harus diberikan sejelas mungkin.
3. kedua belah pihak mengadakan kontrak dengan bebas. Tidak boleh ada pihak yang dipaksa
untuk melakukan kontrak itu. Kontrak yang dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dipaksa
harus batal demi hukum.
4. Kontrak tidak mengikat bagi pihak manapun untuk tindakan yang bertentangan dengan
moralitas. Maksudnya, kalau ternyata kontrak itu dimaksudkan untuk melakukan tindakan
yang bertentangan dengan moralitas (membunuh pesaing), pihak-pihak tersebut bebas untuk
melepaskan dirinya dari kewajiban untuk memenuhi tuntutan dalam kontrak tersebut.

Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah hubungan antara produsen dan konsumen
adalah juga sebuah hubungan kontraktual? Jawaban teori kontrak atas pertanyaan itu adalah
“ya”, hubungan antara produsen dan konsumen adalah hubungan kontraktual. Jawaban
tersebut tentu saja ada unsur kebenarannya. Kerapkali hubungan produsen-konsumen
memerlihatkan sifat-sifat kontrak. Misalnya, transaksi dalam sektor perbankan dan ketentuan
tentang garansi yang menyertai pembelian banyak produk. Keduanya berlangsung seluruhnya
dalam konteks kontrak. Tetapi, hubungan produsen-konsumen tidak selalu dan seluruhnya

92
berlangsung dalam kerangka kontrak. Karena itu, apa yang dikemukakan oleh teori kontrak
tidak sepenuhnya benar.

Ada 3 keberatan terhadap pandangan teori kontrak (Ibid.: 283-285)


1. TK mengandaikan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang sama.
Kenyataannya tidak ada persamaan antara produsen dan konsumen. Produsen mengenal segala
seluk beluk dari satu produk atau sejumlah produk saja, sedangkan konsumen menghadapi
banyak sekali produk sejenis sekaligus. Selain itu, konsumen tidak mempunyai keahlian dan
waktu yang memadai untuk membandingkan dan memeriksa semua produk itu satu demi satu.
Keputusan konsumen untuk membeli sebuah produk sebagian besar tergantung pada informasi
dan bonafiditas pihak produsen. Di sini prinsip caveat emptor tidak mungkin berfungsi
sebagai satu-satunya prinsip dalam relasi produsen dan konsumen.
2. TK mengandaikan hubungan langsung antara produsen dan konsumen. Dalam kenyataannya,
konsumen jarang sekali berhubungan langsung dengan produsen. Produsen dan konsumen
berinteraksi secara anonim. Produsen tidak pernah tahu persis siapa yang akan menjadi
konsumennya. Ia hanya menduga dan menebak. Demikian pula, konsumen tidak pernah tahu
secara persis jadi diri produsennya. Lebih repot lagi, hubungan antara keduanya selalu
diperantai oleh sekian banyak dan sekian lapis penyalur dan pengecer yang akhirnya
menjauhkan dan mengaburkan ikatan antara produsen dan konsumen. Karena itu, menjadi
sangat sulit untuk mengatakan bahwa hubungan antara produsen dan konsumen adalah sebuah
hubungan kontrak. Tidak ada kontrak antara produsen dan konsumen.
3. Pandangan TK tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik. Kalaupun ada hubungan
kontrak antara produsen dan konsumen, hubungan itu belum menjamin bahwa produk yang
dibeli konsumen bisa diandalkan, akan bertahan lama, akan bersifat aman, dsb. Demikian
juga, bila konsumen dengan bebas mengadakan kontrak jual-beli, tidak berarti bahwa
perlindungan konsumen sudah terlaksana.

Jadi, ketentuan dan aturan yang dikemukakan teori kontrak di atas yang menentukan sebuah
hubungan kontrak yang adil dan etis tidak berlaku bagi hubungan antara ptodusen dan
konsumen. Demikian pula, tidak ada hak dan kewajiban kontrak antara produsen dan
konsumen. Kendati demikian, tidak berarti bahwa produsen dan konsumen tidak mempunyai
hak dan kewajiban. Kenyataan bahwa interaksi bisnis di antara keduanya diperantai oleh
sekian banyak penyalur dan dalam arti tertentu bersifat anonim, tidak dengan sendirinya
membenarkan bahwa kedua belah pihak tidak mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Sebab
interaksi antara keduanya adalah interaksi sosial, yang melibatkan semua manusia.

2. Teori perhatian semestinya ( the due care theory)


Teori ini bertolak dari kenyataan bahwa konsumen selalu dalam posisi lemah, karena
produsen memiliki jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang produk
dibandingkan dengan konsumen. Karena itu, kepentingan konsumen harus dinomorsatukan.
Mengapa? Karena produsen berada dalam posisi yang lebih kuat dalam menilai produk, ia
mempunyai kewajiban menjaga agar konsumen tidak mengalami kerugian dari produk yang
dibelinya. Motto yang berlaku di sini: caveat venditor, “hendaklah si penjual berhati-hati.”
Produsen bertanggungjawab atas kerugian yang dialami konsumen dengan memakai produk,
kendatipun tanggungjawab itu tidak tertera dalam kontrak jual-beli. Tanggung jawabnya
mencakup disain produk, bahan yang dipilih untuk membuat produk, peringatan, label, dan
keterangan yang ditempelkan pada produk.

Perhatian utama teori ini adalah kualitas produk dan tanggung jawab produsen, bukan pada
kontrak antara konsumen dan produsen. Kalau teori kontrak menekankan segi hukum, teori
perhatian semestinya menekankan segi etika. Ada pun norma dasar yang melandasi
pandangan ini adalah “seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya.”

93
Norma ini didasarkan atas tiga teori berikut:
1. Teori deontologi/hak: sebab kita selalu harus memerlakukan orang lain sebagai tujuan pada
dirinya dan tidak pernah boleh memerlakukan dia sebagai sarana belaka. Produsen yang tidak
memerhatikan konsumen akan mengorbankan dia pada tujuannya sendiri.
2. Teori utilitarisme (aturan). Menurut utilitarisdme aturan, suatu aturan moral bisa diterima
sebagai sah dan benar jika tahan uji terhadap prinsip utilitaristis: manfaat terbesar bagi banyak
orang. Jika norma ini diterima, setiap orang dalam masyarakat akan beruntung.
3. Teori keadilan (John Rawls: the original position ). Maksudnya, kita seolah-olah ke luar dari
masyarakat di mana kita hidup. Kita seolah-olah kembali ke keadaan pada awal mula ketika
sejarah belum dimulai. Kita harus memasuki situasi khayalan di mana masyarakat belum
terbentuk. Dalam posisi asali itu kita tidak tahu bagaimana nasib kita dalam masyarakat nanti.
Kita berada dibalik the veil of ignorance, dibalik selubung ketidaktahuan. Dalam konteks
bisnis,. kita tidak tahu akan diuntungkan/ dirugikan, diakrabi/dijauhi mitra bisnis kita. Dalam
the original position itu, kita akan memilih norma ini demi kepentingan kita sendiri.

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan, untuk sementara, bahwa pandangan teori
perhatian semestinya lebih memuaskan daripada pandangan teori kontrak. Kendati demikian,
seperti halnya teori kontrak, teori ini memiliki kelemahan juga, antara lain (ibid.: 289-290):
1. Tidak mudah untuk menentukan apa artinya semestinya: produsen harus memberikan
perhatian semestinya? Misalnya: sejauh mana mobil harus dirancang dan dikonstruksi dengan
aman? Memang ada mobil yang lebih aman daripada mobil lain, kalau terjadi tabrakan.
Tingkat keamanan sebuah mobil erat terkait dengan harganya. Mobil yang sangat aman,
harganya pastilah mahal. Pasaran untuk mobil macam ini sangat kecil.
2. Produsen tidak selalu tahu semua akibat negatif produknya. Walaupun produsen tahu lebih
banyak tentang suatu produk daripada konsumen, tetapi pengetahuannya terbatas juga. Yang
kerapkali terjadi adalah akibat negatif sebuah produk baru diketahui beberapa tahun
kemudian.

3. Teori biaya sosial (the social costs theory)


Teori ini berpandangan bahwa produsen bertanggungjawab atas semua kekurangan produk
dan setiap kerugian yang dialami konsumen. Termasuk jika produsen sudah mengambil semua
tindakan yang semestinya dan memenuhi semua kewajibannya terhadap konsumen
(lih.kewajiban produsen di atas). Kalau teori ini diterima (benar), produsen rokok harus
dianggap bertanggungjawab atas terjadinya kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan
kehamilan dan janin yang dialami oleh para perokok (walaupun produsen rokok sudah
memasang peringatan tentang bahaya merokok bagi kesehatan).

Menurut pendukung teori ini, semua akibat negatif dari produk (social costs) harus
dibebankan kepada produsen. Bagi mereka, hal itu merupakan satu-satunya cara untuk
memaksakan para produsen membuat produk-produk yang aman. Tidak mengherankan kalau
teori ini menjadi dasar bagi ajaran hukum strict liability (tanggung jawab ketat) dan mendapat
dukungan dari para aktivis gerakan konsumen.

Sekilas terkesan bahwa teori ini paling menguntungkan bagi konsumen. Tetapi, sebetulnya
pandangan teori ini sulit untuk dipertahakan, karena:
1. TBS kurang adil, karena mengganggap orang bertanggungjawab atas hal-hal yang tidak
diketahui atau tidak bisa dihindarkannya. Hal itu bertentangan dengan teori keadilan
kompensatoris. Keadilan kompensatoris mengatakan bahwa “orang harus bertanggungjawab
atas akibat perbuatannya yang diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah olehnya. Hanya atas
syarat itulah orang harus memberi ganti rugi.
2. TBS membawa kerugian ekonomis dan akan mengakibatkan suasana kurang sehat dalam
masyarakat. Jika teori tersebut diterapkan secara konsisten, perusahaan akan mengalami

94
kerugian besar. Karena dengan alasan apa saja konsumen menuntut produsen di pengadilan.
Mau tidak mau produsen harus membayar ganti rugi.
3. TBS sangat merugikan konsumen (seandainya ia dipraktikkan). Misalnya, seorang konsumen
merokok. Akibat terlalu sering merokok, ia menjadi impoten. Kemudian ia mengajukan
tuntutan ganti rugi kepada produsen rokok. Tuntutannya dikabulkan pengadilan. Akibat
banyaknya tuntutan ganti rugi, harga rokok akan bertambah mahal. Selain itu, teori ini juga
kurang memerhatikan tanggung jawab konsumen sendiri, di samping terlalu berat sebelah
dengan membebankan segala tanggung jawab kepada produsen. Konsumen harus
bertanggungjawab juga (Ibid.: 291-292).

Catatan: Dari ketiga teori di atas, teori pertama dan kedua paling penting dan bisa diterapkan.
Sementara teori ketiga memang bagus, sangat idealis, tapi tidak realistis untuk dipraktikkan.

8.4.2.b. Kualitas produk


Produk yang bermutu merupakan sesuatu yang sangat diharapkan oleh konsumen. Konsumen
membeli barang dan jasa bukan sekadar karena tampilan atau harganya, tapi juga pertama-
tama karena kualitasnya. Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena ia membayar
untuk itu. Kualitas produk bukan sekadar tuntutan etis semata, melainkan juga syarat untuk
mencapai sukses dalam bisnis. Aspek kualitas menjamin agar produk sesuai dengan apa yang
dijanjikan oleh produsen (melalui iklan ataupun informasi lainnya) dan apa yang secara wajar
diharapkan oleh konsumen. Misalnya: produk itu bisa diandalkan, dalam arti produk tersebut
akan berfungsi seperti semestinya, dapat digunakan selama periode waktu yang diharapkan,
dapat dipelihara/diperbaiki bila rusak, dan aman serta tidak membahayakan
kesehatan/keselamatan pemakai.

Ada banyak cara yang bisa ditempuh oleh produsen untuk menjamin kualitas produk. Salah
satu di antaranya adalah memberikan garansi. Ada dua jenis garansi. Pertama, garansi
eksplisit; kalau terjamin begitu saja dalam keterangan yang menyertai produk. Ini terkait
dengan ciri-ciri produk, masa pemakaiannya, kemampuannya, dsb; kedua, garansi implisit;
kalau secara wajar bisa diandaikan, sekalipun tidak dirumuskan dengan terang-terangan.
Misalnya bila dalam iklan/promosi tentang produk dibuat janji tertentu atau bila konsumen
mempunyai harapan sesuai dengan hakikat produk.

8.4.2.c. Harga
Harga merupakan buah hasil faktor-faktor, seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi,
pajak, dan laba yang wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas, harga yang adil merupakan
hasil akhir dari perkembangan daya-daya pasar, dihasilkan oleh tawar menawar sebagaimana
dilakukan di pasar tradisional, di mana pembeli sampai pada maksimum harga yang mau ia
tawar dan penjual sampai pada minimum harga yang mau ia pasang. Transaksi terjadi bila
maksimum dan minimum itu bertemu. Harga bisa dianggap adil karena disetujui oleh semua
pihak yang terlibat dalam proses pembentukannya. Di sini pengaruh pasar menjadi prinsip
etis yang paling menentukan harga.

Akan tetapi, pasar bukan merupakan satu-satunya prinsip untuk menentukan harga yang adil
(liberalisme Adam Smith). Agar menjadi adil, harga tidak boleh merupakan buah hasil
mekanisme pasar murni. Mengapa? Karena:
1. Pasar praktis tidak pernah sempurna. Kuasa ekonomis seringkali berkonsentrasi dalam tangan
beberapa pengusaha. Mudah terjadi produsen memberi kesan menentukan harga sesuai dengan
permintaan pasar, kenyataannya mereka berkolusi untuk secara sepihak menentukan harga
yang menguntungkan bagi mereka.
2. Para konsumen sering kali dalam posisi lemah untuk membandingkan harga serta menganalisis
semua faktor yang turut menentukan harga.
95
3. Mengakibatkan fluktuasi harga (terlalu besar). Hal itu akan merugikan baik konsumen
maupun produsen. Bagi konsumen hidup terancam tidak terpenuhi dan bagi produsen
kesinambungan bisnis dibahayakan. Oleh sebab itu, stabilitas harga mesti diakui juga sebagai
prinsip untuk menentukan adil-tidaknya harga.

Dalam bisnis modern, harga yang adil merupakan hasil dari penerapan-penerapan prinsip
pengaruh pasar dan stabilitas harga. Adalah tugas pemerintah untuk mencari keseimbangan
antara harga pasar bebas dan perlunya stabilitas. Persaingan bebas dalam hal harga perlu
dibatasi. Memang tidak mudah untuk menentukan bagaimana konkretnya harga yang adil itu.
Tapi kiranya gagasan Kant bisa dijadikan sebagai kompas moral: “manusia selalu harus
dihormati sebagai suatu tujuan pada dirinya sendiri dan tidak boleh diperlakukan sebagai
sarana belaka.” Kalau prinsip ini diterjemahkan dalam konteks harga, hal itu berarti bahwa
para pembeli harus dihormati sebagai manusia dan tidak boleh diperlakukan sebagai sarana
(sapi perah) yang dapat dipermainkan begitu saja. Tujuan mulia semacam itu akan mudah
dicapai manakala proses pembentukan harga berlangsung dalam suasana terbuka (tranparan).

Memang tidak mudah untuk memastikan apa yang kita maksudkan dengan harga yang adil
itu. Yang paling mudah adalah menentukan dalam hal mana harga pasti dapat dianggap tidak
adil. Menurut Thomas G. Garret dan Richard J. Klonoski, harga menjadi tidak adil karena 4
faktor berikut:
1. Penipuan. Hal itu terjadi jika beberapa produsen/distributor berkolusi untuk menentukan
harga. Perilaku bisnis semacam ini bertentangan dengan etika pasar bebas. Kalau itu terjadi,
pemerintah, bekerja sama dengan produsen, berhak menetapkan harga yang wajar.
2. Ketidaktahuan: Misalnya, supermarket menjual produk dengan memakai slogan ”bayar
satu, dapat dua”, tetapi harga sebenarnya sama dengan harga dua produk. Atau sebuah
departement store memberi discount 30%-70% untuk barang tertentu, padahal sebelumnya
harga dinaikkan dulu.
3. Penyalahgunaan kekuasaan. Misalnya pengusaha kelas kakap memasang harga murah
(hypermarket, misalnya). Akibatnya para pesaingnya tergeser, dan bahkan tergusur dari pasar.
Dengan cara semacam itu, pengusaha besar memeroleh monopoli dan bisa memasang harga
dengan semaunya.
4. Manipulasi emosi. Misalnya, para distributor BBM memanfaatkan kelangkaan BBM di
tanah air guna memasang harga yang tidak wajar (tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah).

Pengemasan dan Pemberian Label


Pengemasan dan pemberian label bertujuan melindungi produk dan memungkinkan
memergunakan produk dengan mudah, serta memromosikan dan memberi informasi tentang
produk. Pengemasan dan pemberian label dapat menimbulkan juga masalah etis. Pertama,
informasi yang ada pada kemasan haruslah benar, jelas, dan mudah dimengerti. Mis., jika
dikatakan “makanan halal untuk umat Islam”, informasi semacam itu haruslah benar.
Informasi yang kurang benar atau tidak pasti akan merugikan konsumen. Kedua, pengemasan
tidak boleh menyesatkan konsumen. Misalnya, kemasan dirancang tinggi besar untuk
memberi kesan bahwa isinya banyak, tapi pada kenyataannya isinya tidak lebih banyak dari
kemasan lain.

Berkaitan dengan masalah-masalah etis di atas, konsumen diharapkan menjadi konsumen


kritis dan setiap kali memantau masalah-masalah tersebut. Diharapkan juga instansi
pemerintah (yang terkait dengan masalah ini) mendorong dan mendukung sikap kritis
konsumen.

Bisnis, Lingkungan Hidup, dan Etika

96
Kepulan asap kendaraan dan pabrik, penyebaran limbah pabrik pencemar sungai, penebangan
hutan secara liar, penjarahan kandungan alam semena-mena merupakan realitas yang kita
hadapi hari-hari ini. Akibatnya muncul polusi, hutan gundul, dan lingkungan hidup rusak
parah. Situasi semacam itu sangat menganggu kesehatan, ketenangan, dan kesejahteraan
hidup manusia dan makhluk lain, baik pada saat ini maupun pada masa yang akan datang.

Mengapa demikian? Masih banyak manusia belum sadar bahwa sesungguhnya tindakannya
akan memengaruhi keadaan lingkungan hidupnya. Dampak samping suatu tindakan tidak
(mau) sungguh-sungguh diperhitungkan. Selain itu, hukum tentang lingkungan hidup belum
ditegakkan sebagaimana mestinya. Budaya amplop meluluh-lantakkan kekuatan-kekuatan
hukum tersebut. Manusia masih cenderung berbuat sewenang-wenang.

Kunci masalah dan penyelesainnya terletak dalam diri manusia sebagai pribadi dan makhluk
sosial. Rentetan kasus lingkungan hidup takkan terselesaikan manakala penanganannya tidak
kembali pada manusia itu sendiri. Permasalahan lingkungan terjadi bukan karena manusia
tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan karena manusia mengabaikan
etika dan moralitas. Hutan rusak, udara kotor, sungai dicemari limbah iindustri, dan masalah
lingkungan lainnya terjadi bukan pertama-tama karena manusia tidak pandai dalam bidang
ekonomi dan teknologi, melainkan karena kita sebagai manusia sedemikian tidak moral,
rakus, tamak, dan hanya memikirkan kepentingan sendiri dengan mengabaikan kepentingan
orang lain dan generasi yang akan datang.

Dalam kerangka itu, yang dibutuhkan bagi pembangunan lingkungan hidup bukan hanya
teknologi, melainkan juga etika dan moralitas. Yang kita butuhkan saat ini adalah tranformasi
diri dan perilaku manusia terhadap lingkungan hidup secara bertanggungjawab. Hal itu akan
terwujud manakala: pertama, ditumbuhkan benih kesadaran (dalam diri manusia) akan
kedudukan dan peran lingkungan dalam dunia kita, kedua, pikiran-pikiran jernih tentang etika
lingkungan ditaburkan, ketiga, terwujudnya moralitas berwawasan lingkungan.

Persoalan lingkungan hidup sangatlah kompleks. Hampir semua bidang kehidupan


bersentuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan masalah lingkungan. Sadar
akan kompleksitas dari permasalahan lingkungan tersebut, bab ini hanya akan menfokuskan
diri pada masalah yang terkait dengan “Bisnis, Lingkungan Hidup, dan Etika.” (Baca:
Bertens, 2000: 309-340; Velasquez, 1992: 212-257). Itu pun hanya gambaran umum saja.

8.5.1. Krisis Lingkungan Hidup


Pengaruh negatif bisnis modern terhadap lingkungan hidup sudah terjadi sejak awal era
industri di Inggris (akhir abad ke-18). Namun, kesadaran dan refleksi atas pengaruh negatif
bisnis modern atas lingkungan hidup baru muncul sekitar 1960-an. Disadari bahwa sumber-
sumber alam telah dikonsumsi dalam jumlah yang melampaui batas, sementara itu polusi (air
dan udara) merusak keseimbangan ekologis. Kini, polusi akibat bisnis modern itu telah
mencapai tahap global. Bisnis pertanian dan peternakan modern pun turut merusak
lingkungan hidup. Itulah yang kemudian menimbulkan krisis ekologis. Krisis ini mengancam
kelangsungan hidup manusia.

Ada pun inti masalahnya adalah: pertama, bisnis modern yang memanfaatkan iptek telah
membebani alam di atas ambang toleransinya; alam dieksploitasi sedemikian rupa sehingga
alam dengan segala ekosistemnya terancam hancur sama sekali. Kedua, meningkatnya standar
hidup masyarakat sebagai akibat dari kemajuan industri yang demikian pesat. Semakin
banyak barang tersedia untuk dibeli masyarakat. Pada saat yang bersamaan, sampahnya pun

97
menjadi sedemikian banyak pula. Kendatipun output ekonomis berlipat ganda, tetapi
kemampuan bumi untuk mendaur ulang sampah itu tidak berubah. Ketiga, ledakan jumlah
penduduk. Jumlah penduduk bumi semakin bertambah tiap harinya. Bertambahnya jumlah
penduduk berarti juga bertambahnya jumlah polutan (kecuali kalau manusia mengambil
langkah berarti untuk mengurangi polusi dan belajar mendaur ulang sumber daya alam yang
bisa diperbaharui).

Pada awal industri modern, diandaikan begitu saja bahwa pertama, komponen-komponen
lingkungan (air dan udara) merupakan barang umum sehingga boleh dipakai seenaknya.
Diandaikan, komponen-komponen itu tidak ada pemiliknya dan karena itu tidak perlu
dilindungi (seperti barang yang menjadi milik pribadi). Kendatipun air dan udara itu tidak ada
pemilik formalnya, ada banyak orang yang berkepentingan dengannya sehingga mereka
dirugikan bila kualitasnya menurun. Seperti halnya juga milik pribadi (pemilik formal, seperti
tanah), tidak boleh dipakai dengan sembarangan karena bisa menyangkut kepentingan orang
lain (membuang limbah kimia beracun, misalnya). Kedua, sumber daya alam tak terbatas.
Diandaikan bahwa kualitas air dan udara, misalnya, tidak akan berubah, kendatipun limbah
dan emisi industri dilepaskan terus-menerus. Pengandaian ini juga berlaku untuk sumber daya
alam lainnya, seperti batu bara dan minyak bumi. Dua pengandaian di atas ternyata keliru (lih.
the tragedy of the commons).

Masalah lingkungan hidup bukan sekadar masalah lokal, nasional, melainkan juga masalah
global. Berikut ini merupakan enam masalah yang menunjukkan dimensi global dari masalah
lingkungan hidup tersebut.
1. Penipisan lapisan ozon. CFC (Chloro Fluoro Carbon) bersenyawa dengan ozon dan
menyebabkan menipisnya lapisan ozon di udara (stratosfir): terjadilah lubang ozon,
akibatnya sinar ultra-violet dari matahari dapat menembus ke bumi dan membahayakan
alam. Karena itu, ada upaya untuk menggantikan CFC dengan gas lain yang lebih ramah-
lingkungan.
2. Pemanasan global. Semakin banyaknya gas CO2 di udara menimbulkan ‘efek rumah kaca’:
lapisan es di Kutub (Utara dan Selatan) akan mencair, mengacaukan cuaca / musim,
menaikkan permukaan air laut dan menimbulkan banjir pasang di pesisir-pesisir pantai.
3. Keaneka-ragaman hayati (biodiversity). Manusia tergantung pada aneka jenis tumbuhan dan
binatang. Ada saling ketergantungan untuk survive di antara aneka macam flora, fauna, dan
manusia. Penghancuran keaneka-ragaman hayati ini dapat mengganggu kemampuan untuk
bertahan hidup. Hancurnya hutan berarti hancurnya flora dan fauna penghuni hutan tersebut.
Langsung atau tidak langsung, kemampuan manusia untuk survive juga akan terganggu.
4. Hujan Asam. Asam dalam emisi industri bergabung dengan air hujan dan mencemari daerah
yang luas. Hujan asam merusak hutan, mencemari air danau, dan merusak gedung-gedung
dsb. Bagi manusia, hujan asam bisa mengakibatkan gangguan saluran pernapasan dan paru-
paru.
5. Deforestasi dan Penggurunan. Penebangan hutan (deforestation) besar-besaran mempunyai
dampak penting atas LH. Hutan yang berfungsi sebagai paru-paru yang mengolah emisi
CO2 menjadi O2 yang menyegarkan, makin lama makin berkurang. Penyempitan areal
hutan mengakibatkan pelbagai gangguan lingkungan, antara lain: (i) penurunan kualitas
tanah mengakibatkan terjadinya erosi. Erosi tanah ini dapat mengakibatkan meluasnya
penggurunan (desertification), Selain itu, penebangan hutan tropis, dapat memengaruhi
iklim dan pemanasan global (efek rumah kaca), (ii) penurunan kapasitas modulasi aliran
banjir, (iii) penurunan jumlah reservoir air tanah, (iv) pengurangan daya dukung
biodeversity bagi pelbagai jenis flora dan fauna, (v) penurunan kapasitas penyerapan CO2
yang dihasilkan dari bahan bakar fosil. Untuk mengembalikan fungsi hutan maka diusulkan
pengelolaan hutan secara baik melalui pengurangan skala eksploitasi hasil hutan dengan
rotasi dan sistem penebangan kayu secara selektif.

98
6. Akumulasi bahan beracun. Pembuangan limbah industri kimia ke dalam sungai / laut sudah
mengakibatkan banyak faktor negatif: ikan tidak layak lagi dikonsumsi karena kadar merkuri
di dalamnya atau bahan beracun lainnya menjadi terlalu tinggi (bdk. Kasus Buyat). Air tanah
dicemari dan tidak layak lagi diminum manusia dan ternak, karena bahan kimia yang
dibuang di situ merembes ke dalamnya. Pestisida yang dipakai untuk meningkatkan
produksi pangan, ternyata masuk dalam rantai makanan manusia, sampai dengan ASI yang
diminum oleh bayi. Herbisida, seperti Silvex diketahui mengandung dioksin (racun kuat dan
dapat mengakibatkan kanker). Risiko besar sekali untuk lingkungan dibawakan oleh
penggunaan tenaga nuklir. Reaktor-reaktor nuklir bisa mengalami kecelakaan. Akibatnya
untuk lingkungan dan kesehatan manusia sangat dahsyat (bdk. kecelakaan di Tree Mile
Island (Pennisylvania, USA) 1979, Cernobyl, Ukraina 1986, dan Tokaimaru, Jepang 1999).
Selain itu, setiap reaktor nuklir memroduksi limbah nuklir (plutonium) yang mengandung
radioaktivitas selama ribuan tahun dan sangat membahayakan kesehatan manusia. Kontak
langsung dengan limbah nuklir ini bisa mengakibatkan penyakit kanker, keguguran untuk
ibu-ibu hamil, mutasi gen, dsb.

Mengingat dimensi global dari krisis LH tersebut dan dampaknya yang demikian luas maka
pembahasan tentangnya harus berlangsung dalam konteks multidisipliner. Masalah LH juga
bukan merupakan urusan lokal atau nasional saja, melainkan juga urusan global, masalah kita
semua dan karena itu harus ditangani secara global pula. Tanggung jawab untuk menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab kita semua. Selama beberapa dekade
terakhir, sudah diambil pelbagai inisiatif untuk membahas dan menangani masalah-masalah
lingkungan pada taraf internasional. Pada 5 Juni 1972 dibuka The United Nations Conference
on the Human Environment di Stockholm, Swedia. Dua puluh tahun kemudian diadakan The
United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro (3-14 Juni
1992), Brazil, yang juga disebut “The Earth Summit”, di mana diakui “the integral and
interdependent nature of the Earth, our home. Usaha-usaha serupa itu ditindaklanjuti lagi oleh
beberapa persetujuan internasional, seperti Protokol Montreal, Kanada (1988), yang
membatasi penggunaan CFC dan Protokol Kyoto, Jepang (1997) yang membatasi emisi CO2.

8.5.2. Lingkungan Hidup dan Ekonomi

8.5.2.a. Lingkungan Hidup sebagai “the commons”


Ada anggapan yang lazim dalam bisnis modern bahwa LH merupakan ranah umum. Karena
ranah umum maka status kepemilikannya tidak ada atau tidak tegas. Akibatnya, lingkungan
hidup tersebut bebas dan terbuka untuk dimanfaatkan oleh setiap orang. Kini anggapan
semacam itu keliru dan sesat. Kekeliruan itu dapat kita mengerti dengan baik jika kita
membandingkan lingkungan hidup dengan the commons.

Istilah the commons untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Garret Hardin ( The tragedy of
the Commons,1968). Konsep ini dikemukakan ketika terjadi diskusi tentang masalah populasi
dunia. Hardin mengemukakan bahwa dunia yang terbatas hanya dapat menopang populasi
yang terbatas juga. Artinya, jika manusia terus bertambah, pembagian per kapita barang yang
ada di dunia secara konstan akan terus menurun. Menurut beliau, masalah tersebut tidak dapat
diselesaikan secara teknis semata-mata, tetapi harus menggunakan pendekatan moral.

Secara sederhana, Hardin mendiskusikan dilema tersebut dengan mengambil contoh


pemanfaatan daerah padang rumput (the commons). Menurut Hardin, daerah padang rumput
penggembalaan merupakan akses yang sangat terbuka untuk semua orang. Karena itu, jika
seorang pemilik ternak secara terus-menerus menambah ternaknya, secara implisit atau
eksplisit, akan menyebabkan degradasi sumber daya milik umum itu. Dengan kata lain, jika
semua orang bebas untuk menambah ternaknya tanpa batas, semua akan mengalami
99
kekurangan. Akibat penggunaan sumber daya milik umum secara bebas itu, timbullah
malapetaka, berupa kerusakan lingkungan yang harus ditanggung oleh semua orang. Itulah
tragedy of the commons. Tragedi milik bersama itu terjadi ketika setiap orang merasa bahwa
karena tidak ada yang menjadi pemilik dari the commons maka masing-masing mengeruk
milik bersama itu sebanyak-banyaknya secara eksploitatif tanpa ada tanggung jawab sama
sekali (karena tidak ada rasa memiliki atas milik bersama itu) untuk menjaga dan
melestarikannya. Karena itu, untuk menanggulanggi masalah tersebut, kontrol pemerintah
atau privatisasi sumber daya milik umum sungguh sangat diperlukan.

Model Hardin di atas dirangkum oleh Stillman (1975) dan Acheson (1989b) (dlm. Johan
Iskandar, Manusia, Budaya, dan Lingkungan, 2001:16-17) sebagai berikut.
1. sumber daya milik umum tidak dapat dimiliki secara pribadi, dan oleh siapa pun
2. penggunannya bersifat egoistis, artinya seorang individu pengguna sumber daya memiliki
kemampuan untuk mencapai tujuan ekonomis, tanpa memerhatikan kepentingan orang lain.
3. penggunanya memiliki kemampuan teknis untuk mengeksploitasi sumber daya umum. Karena
itu, laju ekstraksi dapat melampaui kemampuan sumber daya alam tersebut guna
mengembalikan keseimbangannya.
4. komunitas yang memiliki ketergantungan pada sumber daya milik umum tidak akan dapat
menegakkan institusi secara efektif dalam melindungi sumber daya yang ada.
5. sumber daya itu dapat dikelola dengan baik hanya oleh institusi pemilikan privat atau ada aksi
nyata pemerintah

Menurut Hardin, masalah LH dan kependudukan dapat dibandingkan dengan proses


menghilangnya the commons. Sebagaimana sudah dikatakan di atas, dalam masalah ini tidak
ada solusi teknis. Setiap solusi teknis hanya bersifat sementara. Hal yang sama juga berlaku
bagi masalah LH. Privatisasi bukanlah solusi yang bijak. Satu-satunya solusi yang efektif
dalam mengatasi masalah LH tersebut terletak di bidang moral, yakni dengan membatasi
kebebasan. Solusi tersebut bersifat moral karena pembatasan kebebasan harus dilaksanakan
dengan adil. Pembatasan kebebasan ini oleh Hardin disebut sebagai tragedi, karena
kepentingan pribadi harus dikorbankan kepada kepentingan umum. Tapi, tragedi tersebut
tidak bisa dihindarkan. Sebab membiarkan kebebasan dari semua orang justru akan
mengakibatkan kehancuran bagi semua orang. “ Freedom in a commons brings ruin to all”,
tegas Hardin. Sebagai contoh: Jika orang utan boleh saja diburu dengan bebas di belantara
Kalimantan, binatang tersebut tidak lama lagi akan punah untuk selamanya. Hal yang sama
berlaku untuk binatang lainnya. Termasuk dalam hal penggunaan air dan sumber daya alam
lainnya perlu dibatasi, supaya semua orang bisa hidup dengan pantas dan sehat.

The tragedy of the comomns a la Hardin di atas merupakan kebalikan dari the invisible hand
Adam Smith. Smith berpendapat bahwa “kemakmuran umum dengan sendirinya akan
terwujud, jika semua orang mengejar kepentingan-diri di pasar bebas”. Tetapi, jika semua
orang mengejar kepentingan-dirinya sendiri dalam konteks LH, tidak akan dihasilkan
kemakmuran umum, tapi justru kehancuran bersama.

8.5.2.b. Lingkungan hidup bukan eksternalitas lagi


The tragedy of the commons di atas serentak menggugurkan anggapan bisnis modern tentang
LH, di mana dikatakan bahwa “SDA itu tak terbatas.” Lingkungan hidup dan komponen di
dalamnya terbatas. SDA pun ditandai kelangkaan. Aspek kelangkaan ini memaksa bisnis
memerhitungkan faktor lingkungan hidup sebagai urusan ekonomi dan harus diberi suatu
harga ekonomis juga. Karena, ekonomi merupakan usaha untuk memanfaatkan barang yang
langka dengan cara paling efisien sehingga dinikmati oleh semua orang.

100
Oleh karena itu, komponen-komponen lingkungan itu tidak lagi merupakan eksternalitas:
“faktor-faktor yang mempunyai makna ekonomis, tetapi tidak diikutsertakan dalam
perhitungannya.” Faktor-faktor itu seolah-olah tinggal di luar “pembukuan” ekonomis.
Eksternalitas seperti itu mengakibatkan pasar menjadi tidak sempurna. Kini disadari bahwa
efek atas LH itu (misalnya efek-efek negatif polusi) tidak lagi boleh diperlakukan sebagai
eksternalitas ekonomis. Misalnya, jika pabrik kertas membuang limbahnya ke dalam sungai.
Cara macam itu menguntungkan bagi perusahaan, karena perusahaan itu tidak perlu
membangun IPAL yang biayanya sangat mahal. Dengan membuang limbah ke dalam sungai,
faktor biaya tidak perlu diperhitungkan dalam harga kertas. Tetapi faktor ekonomis itu tetap
berperanan, hanya dibebankan pada pihak lain, terutama konsumen. Karena dampaknya yang
demikian luas, efek atas lingkungan hidup itu harus diperhitungkan secara ekonomis.

8.5.2.c. Sustainable development


Bagaimana menyelaraskan kepentingan ekonomi dengan keseimbangan ekologis? Sebab
ekonomi selalu menekankan perlunya pertumbuhan. Dikatakan bahwa ekonomi yang sehat
adalah ekonomi yang tumbuh (mis. PDB tahun ini dan PDB tahun lalu). Makin sehat
pertumbuhan, makin sehat pula kondisi ekonomi tersebut. Itulah dogma ekonomi. Dogma
tersebut digugat oleh The Club of Rome (Limits to Growth, 1972). Pertanyaan dasar
Kelompok Roma ini adalah apakah dogma macam itu masih tetap dipertahankan? Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa: “pertumbuhan ekonomi terus-menerus tidak mungkin
dicocokkan dengan keadaan terbatas dari SDA (terutama SDA yang tidak bisa diperbaharui
dalam waktu singkat.”)

Laporan The Club of Rome ini ditanggapi secara berbeda oleh Kaum Ekologis dan
Liberalisme Ekonomi (market fundamentalist). Kaum Ekologis setuju dengan hasil penelitian
Kelompok Roma sekaligus memeringatkan “bahaya habisnya SDA (yang tidak dapat
diperbaharui).” Sedangkan Liberalisme Ekonomi (market fundamentalist) menolaknya dengan
mengatakan bahwa “sumber-sumber alam tidak akan habis karena dikendalikan oleh
mekanisme permintaan dan penawaran”. Artinya, kalau permintaan terhadap SDA demikian
meningkat, harga SDA akan demikian tingginya sehingga tidak ada yang sanggup
membelinya dan terpaksa dicarikan sumber daya alternatif yang memang dimungkinkan oleh
kemajuan teknologi.

Apapun hasil akhir dari perdebatan kedua kubu itu, satu hal yang pasti adalah kerusakan
lingkungan hidup kian parah. Karena itu, pembatasan pertumbuhan ekonomi mutlak perlu.
Kita mesti membatasi tekanan-tekanan pada sistem ekologis karena efek-efek negatif dari
kegiatan manusia. Penemuan teknologi baru atau teknologi alternatif tidak dapat
mengimbangi persediaan SDA yang kian menipis. Penipisan lapisan ozon, efek rumah kaca,
dan penggurunan bisa menjadi faktor pembatasan pertumbuhan ekonomi tersebut. Namun, hal
itu tidak berarti kita tidak membutuhkan pertumbuhan ekonomi ataupun menekan
pertumbuhan ekonomi sampai ke zero growth, tidak ada pertumbuhan ekonomi sama sekali.
Sebab hal itu akan sangat merugikan negara-negara sedang berkembang. Padahal negara-
negara tersebut masih perlu pertumbuhan ekonomi demi peningkatan taraf dan kualitas hidup
warganya. Selain itu, masih ada kesenjangan besar antara negara-negara kaya (utara) dengan
negara-negara miskin (selatan), baik pada sisi produksi maupun pada sisi konsumsi.

Sebuah langkah penting dalam refleksi tentang konsekuensi masalah lingkungan hidup untuk
ekonomi adalah laporan dari World Commission on Environment and Development
(WCED,1987): Our Commons Future (The Brundtland Report). Laporan ini memopulerkan
istilah sustainable development. WCED mengartikan Pembangunan berkelanjutan sebagai

101
“pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang, tanpa mengorbankan atau
membahayakan kesanggupan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya.” Maksudnya: pembangunan ekonomi selalu harus memanfaatkan SDA
demikian rupa sehingga generasi-generasi sesudah kita dapat melanjutkan pembangunan yang
kita jalankan sekarang. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi sekarang ini tidak boleh
merusak atau mengurangi kualitas lingkungan hidup sehingga untuk generasi-generasi
mendatang tidak lagi tersisa cukup guna memenuhi kebutuhan mereka. Implikasinya adalah
bahwa setiap generasi harus mewariskan lingkungan hidup yang sehat dan utuh dengan SDA
secukupnya kepada generasi berikutnya.

Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem
alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Pada 1992, dalam KTT Bumi di Rio
de Janeiro, pembangunan berkelanjutan menjadi tema yang umum yang mengaitkan sejumlah
konvensi yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dan melestarikan keanekaragaman
hayati. Dalam Konferensi tersebut diproklamirkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
adalah suatu tujuan yang operasional di seluruh dunia, baik di tingkat lokal, nasional, regional
maupun international.

Dalam konteks nasional, pembanguan berkelanjutan bisa diartikan sebagai pembangunan


yang tidak mengurangi kemampuan produktif dari ekonomi nasional di masa yang akan
datang. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu pola dan strategi
pembangunan nasional yang menjamin bahwa kemampuan ekonomi di masa depan tidak
berkurang sama sekali. Jadi, generasi yang akan datang masih mempunyai peluang dan
kemampuan ekonomi yang sama untuk mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi dan sosial
budaya yang sama seperti generasi sekarang.

Menurut Keraf (2002:168), cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan adalah
upaya menyinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi ketiga aspek
utama pembangunan, yakni aspek ekonomi, aspek sosial budaya, dan aspek LH. Dalam
perspektif pembangunan berkelanjutan, ketiga aspek tersebut harus dipandang sebagai saling
terkait dan terintegrasi. Pembangunan sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup
harus masuk ke dalam arus utama pembangunan (aspek ekonomi). Dengan pengintegrasian
ketiga aspek pokok pembangunan tersebut: (1) kemajuan dan prestasi ekonomi yang kita
capai akan lebih tepat sasaran untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala
dimensi dan sekaligus berkelanjutan; (2) pembangunan ekonomi diletakkan dalam kerangka
LH dan sosial-budaya. Sedangkan sasaran dari pembangunan berkelanjutan adalah
menggeser titik berat pembangunan: dari hanya pembangunan ekonomi menjadi juga
mencakup pembangunan sosial budaya dan LH. Dalam pandangan pembangunan
berkelanjutan, mengintegrasikan dan menyeimbangkan masalah ekonomi, sosial, dan
lingkungan dalam mencapai tujuan merupakan syarat kehidupan di muka bumi ini.

Ada beberapa perbedaaan mendasar antara pembangunan berkelanjutan dan pembangunan


konvensional (Raymond Mikessel, Economic Development and the Environment: a
Comparison of Sustainable Development with Conventional Development Economics.
London: MacMillan, 1995:67).

Conventional Development Sustainable Development


1. Faktor yang membatasi produksi 1. Cenderung untuk menganggap bahwa satu-satunya faktor
hanyalah persediaan kapital yang membatasi produksi adalah keterbatasan persediaan
(modal) sumber-sumber alam
2. Cenderung melihat pembangunan 2. Mendasarkan pada moralitas bahwa sumber-sumber alam

102
dalam lingkup satu generasi saja perlu untuk dipertahankan kelestariannya agar dapat
3. Tidak sedikit pun memasukkan dikonsumsi oleh generasi-generasi selanjutnya
faktor lingkungan ke dalam 3. Prosedur akunting pembangunan seharusnya memasukkan
kalkulasinya faktor kerusakan lingkungan sebagai bagian dari biaya-biaya
4. Merasa optimis bahwa alam dapat sosial yang harus dipikul oleh para pelaku ekonomi
dengan sendirinya mengatasi 4. Menganggap keterbatasan kapasitas alam dalam menyerap
persoalan limbah limbah industri harus diperhitungkan oleh para pelaku bisnis
untuk secara sukarela mengurangi pembuangan limbah
beracun

Jadi, pembangunan berkelanjutan berusaha mengoreksi kekeliruan pembangunan


konvensional. Sekurang-kurangnya ada tiga kekeliruan pandangan pembanguan konvensional
tersebut (Keraf, 2002:169-172).
1. Menganggap pembangunan ekonomi dengan sasaran utama pada pertumbuhan ekonomi
sebagai satu-satunya yang paling utama dalam pembangunan nasional.
Developmentalisme macam itu harus ditinggalkan dan diganti dengan sebuah pendekatan
pembangunan yang lebih holistik dan integratif dengan memberi perhatian serius kepada
pembangunan sosial budaya dan LH. Karena kemajuan ekonomi yang dicapai selama ini telah
membawa kerugian yang sangat mahal di sisi sosial budaya dan LH. Akibatnya negara dan
masyarakat membayar mahal, baik dalam hal finansial, kehancuran kekayaan sosial budaya,
maupun SDA. Dampak lanjutannya adalah: terjadi kemiskinan yang semakin mendalam di
banyak negara sedang berkembang, timbul berbagai penyakit yang terkait langsung dengan
mutu kehidupan yang semakin menurun dan dampak dari berbagai pencemaran LH, dan
kehancuran budaya masyarakat: cara berpikir dan cara hidup dengan segala kekayaan budaya
juga terancam.
2. Persepsi yang keliru tentang kekayaan alam.
Kekayaan alam selalu dibaca semata-mata sebagai sumber daya ekonomi yang siap
dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, ada kecenderungan bagaimana
mengubah SDA tersebut menjadi nilai ekonomi yang real bagi kemakmuran sebuah bangsa.
3. Pembangunan ekonomi hanya tertuju pada perbaikan standar kehidupan (standar material).
Pusat perhatian seluruh proses pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan
material (seakan-akan hanya itulah yang utama bagi hidup manusia); sedangkan
aspek-aspek lain dari kesejahteraan manusia ( seperti kemajuan budaya, spiritual, dan
estetik) kurang diperhatikan. Dan yang dituju oleh pembangunan adalah perbaikan
standar kehidupan material (uang, materi, dan gaya hidup serba wah). Tidak
mengherankan kalau dikatakan bahwa pembangunan konvensional memacu
materialisme dan menyuburkan pola produksi dan konsumsi yang eksesif

Apa yang segera tampak dari uraian di atas adalah bahwa paradigma pembangunan
berkelanjutan merupakan sebuah kritik pembangunan serentak juga sebuah teori normatif
yang menyodorkan praksis pembangunan yang baru sebagai jalan keluar dari kegagalan
developmentalisme (lih. Keraf, 2002:173-174). Dalam arti itu, paradigma pembangunan
berkelanjutan bukan sekadar sebuah kritik pembangunan, melainkan juga sebuah kritik
ideologi pembangunan, yaitu ideologi developmentalisme. Sebagai teori normatif,
pembangunan berkelanjutan mendesak kita untuk: (1) meninggalkan sikap yang menjadikan
pembangunan ekonomi sebagai satu-satunya tujuan pembangunan nasional; (2) segera
memberi perhatian yang sama besarnya bagi pembangunan sosial-budaya dan LH (kalau kita
tidak mau lagi mengulangi krisis sosial-budaya dan krisis LH yang kita alami sekarang)

Gagasan pembangunan berkelanjutan di atas cocok dengan gagasan yang lebih luas mengenai
modernisasi ekologis. Maarten Hajer (salah seorang pakar modernisasi ekologis terkemuka),
melihat modernisasi ekologis sebagai penggabungan beberapa “alur cerita yang andal dan

103
menarik”: pembangunan berkelanjutan, sebagai ganti “ pertumbuhan yang sudah jelas dan
pasti”; preferensi atas pencegahan, bukan penyembuhan; penyertaan polusi dengan
inefisiensi; serta upaya memerlakukan peraturan yang berhubungan dengan lingkungan dan
pertumbuhan ekonomi sebagai dua hal yang saling menguntungkan.” Dalam kerangka itu,
intervensi pemerintah diperlukan untuk mengembangkan prinsip lingkungan yang baik, tetapi
hal itu melibatkan kerja sama aktif dengan pihak industri—diharapkan, mereka bersedia untuk
bekerja sama karena menyadari bahwa modernisasi ekologis memberi keuntungan bagi bisnis
mereka juga. Dengan demikian, modernisasi ekologis mengimplikasikan sebuah kemitraan di
mana pemerintah, kalangan bisnis, pencinta lingkungan yang moderat, dan ilmuwan, bekerja
sama dalam merestrukturisasi ekonomi politik kapitalis melalui pendekatan pelestarian
lingkungan.

Selanjutnya, paradigma pembangunan berkelanjutan memerdamaikan beberapa pandangan


tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan hidup yang selama ini tampak
bertentangan: pertama, antara pendukung pertumbuhan ekonomi dan mereka yang
menolaknya, karena kalau kita menyetujui prinsip pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan
tetap dimungkinkan, asalkan untuk masa depan terbuka prospek ekonomi yang berkualitas
sama. Kedua, antara Environmentalist (menomorsatukan lingkungan hidup) dan the
Industrialist (menomorsatukan ekonomi berdasarkan teknologi maju), karena yang satu tidak
perlu dikorbankan kepada yang lain.

Kendati demikian, dewasa ini, gagasan sustainable development ini banyak mendapat sorotan
dan kritikan tajam, di antaranya dikatakan: “Karena kita tidak mengetahui kebutuhan generasi
mendatang atau bagaimana perubahan teknologi memengaruhi pemanfaatan SDA, gagasan
pembangunan berkelanjutan tidak pernah akurat. Gagasan pembangunan berkelanjutan
dengan demikian lebih merupakan prinsip panduan ketimbang sebuah formula akurat.”
Dikatakan pula bahwa konsep ini tidak memiliki dasar analisis, dengan kata lain, sebuah
konsep tanpa makna dan kosong bobot analisisnya sehingga tidak dapat diterapkan dalam
konteks ekonomi (Hussen, 2000; Elliot, 1999). Sementara itu, Keraf (2002:183-185), melihat
beberapa kelemahan lain dari pembangunan berkelanjutan tersebut.
1. Tidak ada sebuah titik kurun waktu yang jelas dan terukur yang menjadi sasaran
pembangunan berkelanjutan. Ia hanya merupakan sebuah komitmen, yang sulit untuk diukur
kapan tercapainya sehingga dengan mudah agenda itu diabaikan oleh semua negara
2. Asumsi paradigma pembangunan berkelanjutan didasarkan atas cara pandang yang sangat
antroposentris, yang menganggap alam sekadar sebagai alat bagi pemenuhan kebutuhan
material manusia, sumber daya ekonomi untuk dieksploitasi, dan alam tidak punya nilai
pada dirinya sendiri, selain nilai instrumental-ekonomis bagi kepentingan manusia
3. Asumsi yang ada dibalik paradigma tersebut adalah manusia bisa menentukan daya dukung
ekosistem lokal dan regional; seakan-akan manusia mempunyai kemampuan untuk
mengetahui batas alam dan manusia mampu mengeksploitasi SDA itu dalam batas-batas
daya dukung alam tadi. Padahal alam mempunyai kekayaan dan komplesitas yang
sedemikian rumit yang jauh melampaui kemampuan iptek manusia
4. Paradigma pembangunan berkelanjutan bertumpu pada ideologi materialisme yang tidak
diuji secara kritis, tetapi diterima begitu saja sebagai benar.

Karena itu, Keraf (2002:187-188) menawarkan apa yang disebut Naess sebagai
“keberlanjutan ekologi” sebagai ganti dari pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan
ekologi akan dicapai manakala terjadi perubahan mendasar dalam kebijakan politik ekonomi
menyangkut pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat yang konsumtif.
Keberlanjutan ekologi menuntut perubahan mendasar dalam kebijakan nasional yang
memberi prioritas pada kelestarian bentuk-bentuk kehidupan di planet ini demi mencapai

104
keberlanjutan ekologi. Mengikuti paradigma ini, yang dibutuhkan adalah sebuah strategi
kebijakan yang tidak perlu dibakukan untuk semua negara. Strategi kebijakan itu disesuaikan
dengan kondisi ekologi di setiap negara dan kondisi sosial-budaya, dan ekonomi masyarakat.
Adapun sasaran yang ingin dicapainya adalah (1) memertahankan dan melestarikan ekologi
dan seluruh kekayaan bentuk-bentuk kehidupan di dalamnya menjadi komitmen politik
pembangunan nasional; (2) membangun masyarakat lokal untuk mempunyai sumber
penghidupan ekonomi yang ramah terhadap lingkungan; (3) bagaimana masyarakat setempat
mengembangkan kehidupan ekonomi sekaligus mengatasi masalah kemiskinan nyata yang
dihadapinya; (4) masyarakat tetap melestarikan dan menjamin ekosistem di sekitarnya dalam
sebuah simbiosis yang saling mendukung; (5) masyarakat diajak untuk mengembangkan pola-
pola kegiatan ekonomi yang berbasis ekologi dan sekaligus menjaga lingkungan demi
memberikan penghidupan yang layak, baik dari segi ekonomi maupun dari segi sosial-budaya.
Adapun kriteria keberhasilan dan kemajuan masyarakat adalah: kualitas kehidupan yang
dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, sosial-budaya, dan ekonomi secara
proporsional. Gaya hidup yang dipromosikannya adalah: “Simple in means, but rich in ends
(Arne Naess), bukan having more, melainkan being more; sederhana dalam tujuan,tapi kaya
dalam tujuan; hidup sederhana, tapi kaya makna dan bahagia; menekankan kualitas hidup dan
bukan standar kehidupan

Dari uraian di atas terlihat persamaan dan perbedaan antara pembangunan berkelanjutan dan
keberkelanjutan ekologi.

Persamaan Perbedaan
Pembangunan Keberlanjutan Ekologi
Berkelanjutan
1. Keduanya merupakan 1. mengutamakan pelestarian ekologi
alternatif yang bisa dipilih dengan tetap menjamin kualitas
untuk diterapkan oleh setiap kehidupan ekonomi dan sosial budaya
negara Memusatkan perhatian bagi masyarakat setempat
2. Keduanya punya sasaran pada pembangunan 2. Melestarikan ekologi dan sosial-budaya
yang sama: integrasi ketiga ekonomi sambil memberi masyarakat demi menjamin kualitas
aspek pembangunan, yaitu perhatian secara kehidupan masyarakat yang lebih baik;
aspek pembagunan proporsional kepada rakyat sendiri yang mengembangkan
ekonomi, aspek pelestarian aspek sosial-budaya dan kemampuan ekonominya sesuai dengan
sosial-budaya, dan aspek aspek LH kondisi yang dihadapi: kondisi
LH lingkungan dan sosial-budaya; rakyat
terdorong untuk menjaga lingkungan
karena sadar bahwa kehidupan ekonomi
sangat tergantung pada sejauh mana
mereka menjaga lingkungan

8.5.3. Hubungan manusia dengan alam


Krisis lingkungan hidup yang kian parah beberapa dekade terakhir melahirkan suatu cabang
filsafat baru, yakni filsafat lingkungan hidup. Filsafat baru ini bermaksud membantu manusia
dalam upaya menjalin relasi dan hidup yang harmonis dengan alam. Memerbaiki relasi
dengan alam, mengandaikan adanya perubahan (bukan sekadar pergeseran) dalam cara
pandang manusia terhadap alam. Selanjutnya, perubahan cara pandang ini mesti diikuti
perubahan nilai, perilaku, dan gaya hidup.

Ada sekian banyak paradigma yang mencoba memberi dasar teoretis bagi relasi antara alam
dengan manusia. Di antaranya adalah: antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dan
ecofeminisme (Keraf, 2002: 33 dst.). Dari keempat paradigma tersebut, hanya paradigma
antroposentris dan ekosentris saja yang akan dibahas di sini. Karena keduanya sangat

105
berpengaruh dalam pembahasaan tentang krisis ekologis dan dalam upaya pelestarian
lingkungan hidup. Paradigma antroposentris dipakai pelaku bisnis untuk menjustifikasi
tindakan eksploitasi mereka terhadap lingkungan. Sedangkan ekosentrisme menyerang
justifikasi tersebut dan memcoba memunculkan cara-cara baru dalam hal relasi manusia
dengan alam.

8.5.3.a. Paradigma Antroposentris


Paradigma antroposentris memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan
dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu
yang lain di alam semesta hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan
demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai objek, alat, dan
sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam tidak mempunyai nilai
pada dirinya sendiri (Keraf, 2002:33-34).

Bagi paradigama antroposentris, nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan
bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting.
Etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan
tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang
berlebihan, tidak relevan, dan tidak pada tempatnya.

Ada beberapa sifat dari paradigma antroposentris (Keraf, 2002:34-35).


1. Antroposentris. Manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta
2. Instrumentalistis. Pola hubungan manusia dengan alam dilihat hanya dalam relasi
instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia
mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan
hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri
sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi
kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja.
3. Teleologis. Karena mendasarkan pertimbangan moral pada akibat dari tindakan tersebut bagi
kepentingan manusia. Kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitan dengan lingkungan
hidup akan dinilai baik kalau mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan
manusia.
4. Egoistis. Karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Kepentingan makhluk hidup
lain (dan juga alam semesta seluruhnya) tidak menjadi pertimbangan moral manusia.

Karena gagasan dasar dan sifat-sifatnya itu, paradigma antroposentris dituduh sebagai salah
satu penyebab, bahkan penyebab utama, terjadinya krisis ekologis. Krisis ekologi dianggap
terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris. Cara
pandang antroposentris tersebut menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam
demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya, tanpa memberi perhatian kepada
pelestariannya. Pola perilaku yang eksploitatif, destruktif, dan tidak peduli terhadap alam
tersebut dianggap berakar dalam cara pandang manusia yang hanya mementingkan
kepentingan manusia. Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang
menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa memertimbangkan
kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada demi kepentingan manusia.

Cara pandang antroposentris ini kemudian melahirkan berbagai kritik tajam, di antaranya
adalah:

106
1. Mengabaikan masalah-masalah lingkungan yang tidak langsung menyentuh kepentingan
manusia. Misalnya, manusia akan tetap membuang limbah ke sungai atau menebang pohon
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tidak ada manusia tertentu yang terkena dampak
negatifnya.
2. Kepentingan manusia selalu berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya,
sejauh dipandang menyangkut kepentingan manusia maka akan dipertimbangkan secara serius
dari segi moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia maka akan
diabaikan. Hal itu sangat berbahaya, karena pertimbangan moral pun berubah-bah sejalan
dengan perubahan kepentingan manusia. Padahal, etika menyangkut prinsip dan nilai moral
yang universal dan lestari.
3. Hanya memerhatikan (kepentingan manusia) jangka pendek, khususnya kepentingan
ekonomi. Akibatnya, lingkungan hidup selalu dikorbankan demi kepentingan jangka pendek
tersebut. Padahal, yang disebut sebagai kepentingan manusia, bahkan kepentingan ekonomi
sekalipun, mempunyai perspektif jangka panjang (Keraf, 2002:47).

8.5.3.b. Paradigma Ekosentris


Kelemahan paradigma antroposentris di atas dicoba untuk diatasi oleh paradigma ekosentris.
Paradigma ekosentris, di satu sisi berupaya untuk mendobrak cara pandang antroposentrisme
yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia, dan di lain sisi,
memerluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas, komunitas
ekologis (Keraf, 2002:75). Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya
saling terkait. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada
makhluk hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

Salah satu versi paradigma ekosentris ini adalah Deep Ecology (selanjutnya: DE). Istilah DE
diperkenalkan oleh Arne Naess, filsuf Norwegia, pada 1973. Dalam artikelnya yang berjudul,
“The Shallow and the Deep, Long-Range Ecological Movement: A Summarry”, Naess
membedakan shallow ecological movement dari deep ecological movement (lih. Keraf,2002:
76, 81-82).

Shallow Ecological Movement Deep Ecology


 Pusat perhatiannya adalah bagaimana  Melihat masalah lingkungan dlm suatu perspektif
mengatasi masalah pencemaran dan relasional yang lebih luas dan holistik
penghancuran SDA, sedangkan aspek dan  Melihat akar permasalahan kerusakan dan pencemaran
faktor-faktor penyebab lebih luas, seperti lingkungan secara komprehensif dan holistik, untuk
faktor manusia dan sosial diabaikan kemudian mengatasinya secara lebih mendalam,
 Pendekatannya: teknis termasuk aspek sosial dan manusia.
 Asumsi utamanya: krisis lingkungan  Naess: krisis lingkungan disebabkan oleh faktor yang
merupakan persoalan teknis, yang tidak lebih fundamental, suatu sebab filosofis. Kesalahan pada
membutuhkan perubahan dalam kesadaran cara pandang manusia tentang dirinya, alam, dan tempat
manusia dan sistem ekonomi manusia dalam alam. Yang dibutuhkan adalah sebuah
 Cenderung mengatasi gejala dari sebuah perubahan fundamental dan revolusioner yang
isu lingkungan dan bukan akar menyangkut transformasi cara pandang dan nilai, baik
permasalahan. secara pribadi maupun budaya, yang memengaruhi
struktur dan kebijakan ekonomi dan politik.

Khusus DE, ia menuntut suatu pemahaman baru yang berpusat pada makhluk hidup
seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Ia tidak
mengubah sama sekali hubungan antara manusia dengan manusia. Adapun hal baru yang
dikemukakannya adalah:
1. Manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Manusia bukan
lagi pusat dari dunia moral. DE memusatkan perhatian pada semua spesies. Yang
diperhatikannya bukan saja kepentingan jangka pendek, melainkan juga jangka panjang.
Prinsip moral yang dikembangkannya menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis.

107
2. DE sebagai sebuah etika praktis, sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral (dalam kaitan
dengan lingkungan hidup) harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. DE menuntut
suatu pemahaman yang baru tentang relasi etis yang ada dalam alam ini disertai adanya
prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis baru tersebut, yang kemudian diterjemahkan
dalam gerakan atau aksi nyata di lapangan. Ringkas kata, DE merupakan sebuah gerakan di
antara orang-orang yang mempunyai sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu gaya
hidup yang selaras dengan alam (ecosophy: sebuah kearifan bagi manusia untuk hidup dalam
saling keterkaitan dan ketergantungan dengan seluruh isi alam sebagai sebuah rumah tangga),
sama-sama memerjuangkan isu lingkungan dan politik. Suatu gerakan yang menuntut dan
didasarkan atas perubahan paradigma secara mendasar dan revolusioner, yaitu perubahan cara
pandang, nilai, atau gaya hidup (Keraf, 2002:76-77).

Pola hidup yang arif mengurus dan menjaga alam sebagai sebuah rumah tangga (ecosophy)
bersumber dari pemahaman dan kearifan bahwa segala sesuatu di alam mempunya nilai pada
dirinya sendiri, dan nilai tersebut jauh melampaui nilai yang dimiliki oleh dan untuk manusia.
Jadi, tidak hanya manusia yang mempunyai nilai dan kepentingan yang harus dihargai
(antroposentrisme), tetapi juga semua isi alam ini. Kearifan tersebut terungkap dalam
perilaku dan tindakan konkret sebagai sebuah aksi dan gerakan nyata. Kearifan tersebut
menjelma menjadi sebuah pola hidup, sebuah gaya hidup. Manusia tidak terisolasi, terpisah
dari dan berada di atas alam, tetapi bagian dari dan berada dalam alam semesta seluruhnya.

DE kerapkali disebut juga sebagai sebuah teori normatif, teori kebijakan, dan teori gaya
hidup (Keraf, 2002:79-81).
1. Teori normatif karena ecosophy berisikan suatu cara pandang normatif yang melihat alam dan segala
isinya bernilai pada dirinya sendiri, sekaligus berdasarkan cara pandang itu memberikan norma-norma
tertentu bagi perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam.
2. Teori kebijakan karena cara pandang dan perilaku tadi tidak semata-mata dimaksudkan untuk individu,
tetapi juga harus memengaruhi dan menjiwai setiap kebijakan publik di bidang lingkungan dan yang
berkaitan langsung atau tidak langsung dengan lingkungan.
3. Teori gaya hidup karena cara pandang dan norma perilaku tadi memasuki setiap orang, kelompok
masyarakat, dan seluruh masyarakat sebagai sebuah gaya hidup baru, sebuah budaya baru. Ia menuntut
perubahan penghayatan hidup yang selaras dengan cara pandang dan norma perilaku tadi. Suatu gaya
hidup yang dalam rumusan Naess, sederhana dalam sarana, tapi kaya tujuan (simple in means, but rich
in ends), dan bukan gaya hidup yang mengutamakan materi sebagaimana menjadi gaya hidup
kebanyakan orang modern. Suatu gaya hidup yang dari segi materi sederhana, tapi mengutamakan nilai
yang memerkaya hidup. Dengan kata lain, “hidup sederhana, tapi kaya makna dan bahagia.” Gaya
hidup yang menekankan “kualitas kehidupan dan bukannya standar kehidupan”, apalagi standar
material.

Naess sangat menekankan perubahan gaya hidup karena melihat krisis ekologi yang kita
alami sekarang ini berakar pada perilaku manusia, yang salah satu manifestasinya adalah pola
produksi dan konsumsi yang sangat eksesif dan tidak ramah lingkungan. Pola produksi dan
konsumsi semacam itu dipicu oleh kemajuan ekonomi dan industri modern, yang telah
memromosikan secara gencar suatu pola hidup komsumtivis dan sekaligus meninggalkan
limbah. Suatu kesalahan fatal yang disebabkan para ekonom menganggap ekonomi sebagai
segala-galanya dan bukan sebagai salah satu aspek dari keseluruhan kehidupan yang begitu
kaya. Itu merupakan sebuah kesalahan reduksionistis yang mereduksi kehidupan manusia dan
maknanya hanya sebatas makna ekonomis. Suatu kesalahan yang menyebabkan para ekonom
dan manusia modern menganggap pertumbuhan ekonomi sebagai hal utama yang harus
dikejar dan semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi adalah hal yang baik. Artinya,
semakin banyak sumber daya ekonomi dieksploitasi (dan berarti semakin banyak kerusakan
dan pencemaran lingkungan) semakin baik. Anggapan macam itu melahirkan suatu pola hidup
yang secara psikologis menyebabkan manusia menjadi maniak dan mabuk harta. Oleh karena
itu, perubahan gaya hidup yang dimaksudkan Naess harus mencakup perubahan pola produksi

108
dan pola konsumsi yang eksesif sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat konsumen saat
ini.

Karena itu, kita perlu mengubah diri sendiri dan budaya, mengubah pola hidup, kalau ingin
menyelamatkan lingkungan. Perubahan itu berbentuk “menyadarkan kembali dalam diri kita
apa yang sudah sangat tua”, yaitu mengembangkan kesadaran ekologis yang mengakui
kesatuan, keterkaitan, dan kesalingtergantungan antara manusia, tumbuhan, dan hewan di
bumi ini. Perubahan yang diharapkan adalah perubahan radikal yang berakar dalam
perubahan cara pandang (radical transformation in worldview) dan diikuti oleh perubahan
mental dan perilaku, yang tecermin di dalam gaya hidup, baik sebagai individu maupun
kelompok budaya.

Untuk mewujudkan perubahan radikal tersebut, Naess (dlm. Sonny Keraf, 2002: 84-84)
merumuskan 8 platform aksi (yang menjadi pegangan bagi pendukung DE).
(1) Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan makhluk lain di bumi ini mempunyai nilai
pada dirinya sendiri. Nilai-nilai ini tidak tergantung pada apakah dunia di luar manusia mempunyai
kegunaan atau tidak bagi kehidupan manusia.
(2) Kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan mempunyai sumbangsih bagi perwujudan
nilai-nilai tersebut dan juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri dan mempunyai sumbangsih bagi
perkembangan manusia dan bukan manusia di bumi
(3) Manusia tidak berhak mereduksi kekayaan dan keanekaragaman ini, kecuali untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya yang vital
(4) Perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya berjalan seiring dengan penurunan yang cukup
berarti dari jumlah penduduk. Perkembangan kehidupan di luar manusia membutuhkan penurunan
jumlah penduduk seperti itu.
(5) Campur tangan manusia dewasa ini terhadap dunia di luar manusia sudah sangat berlebihan, dan situasi
ini semakin memburuk.
(6) Perlu ada perubahan kebijakan sehingga memengaruhi struktur ekonomi, teknologi, dan ideologi.
Hasilnya akan berbeda dari keadaan sekarang ini.
(7) Perubahan ideologis terutama menyangkut penghargaan terhadap kualitas kehidupan dan bukan
bertahan pada standar kehidupan yang semakin meningkat. Akan muncul kesadaran mengenai
perbedaan antara besar (big) dan megah (great).
(8) Orang-orang yang menerima pokok-pokok pemikiran itu mempunyai kewajiban secara langsung atau
tidak langsung untuk ikut ambil bagian mewujudkan perubahan-perubahan yang sangat diperlukan.

Kedelapan platform di atas merupakan serangkaian pernyataan yang cukup umum dan
abstrak yang tampaknya diterima oleh semua pendukung gerakan DE. Platform-platform
tersebut menyentuh semua masalah utama, baik pribadi, sosial, politik, ekonomi maupun
filosofis berkaitan dengan lingkungan. Platform-platform tersebut juga merupakan klaim
normatif yang terkait dengan realitas, yang menjadi dasar dan pendorong gerakan DE.

Tampaknya, DE merupakan sebuah alternatif yang menarik. Suatu alternatif untuk


melakukan gerakan penyelamatan lingkungan secara bersama-sama dengan mengubah cara
berpikir, gaya hidup, dan perilaku individu, masyarakat, dan kebijakan politik serta ekonomi.
Namun, beberapa kecenderungan dalam DE itu bergerak terlalu jauh, terutama mengenai
tempat manusia dalam alam. Di situlah pintu masuk untuk mengeritik DE.
1. Pendekatan teknokratis membawa banyak manfaat yang tidak perlu dibuang (bahkan tidak
bisa dibuang). Yang harus ditolak justru, tendensi kuat untuk merusak dan tidak memelihara
alam.
2. Pandangan ekosentris (DE) adalah benar sejauh manusia tidak mungkin dilepaskan dari alam.
Harus diakui bahwa alam mempunyai nilai intrinsik, yang tidak tergantung pada manfaatnya
untuk manusia. Tapi, menerima ekosentrisme tanpa harus terjebak dalam ‘ekofasisme’ :
manusia sebagai individu dikorbankan kepada alam sebagai keseluruhan). Kendatipun
ekosentrisme merupakan suatu pandangan holistik yang sah, kita tidak dapat membiarkan

109
martabat khusus manusia tergilas oleh keagungan alam. Hanya dalam diri manusia, alam
menjadi sadar. Manusia menjadi satu-satunya bagian alam yang mampu berbicara dan
berpikir. Manusia adalah persona. Biospherical egalitarianism (persamaan martabat semua
makhluk hidup) harus ditolak, karena manusia mempunyai martabat khusus dibandingkan
dengan makhluk hidup lainnya. Dengan kedudukan yang istimewa ini, martabat alam tidak
dikurangi, malahan ditingkatkan. Manusia menjadi satu-satunya makhluk hidup yang
memiliki tanggung-jawab moral. Melalui manusia, alam bertanggungjawab atas nasibnya
sendiri.

8.5.4. Mencari Dasar Etika untuk Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup

8.5.4.a. Hak dan Deontologi

Menurut William T.Blackstone, setiap manusia berhak atas lingkungan berkualitas yang
memungkinkan dia untuk hidup dengan baik. Ia menyebutnya: “the right to a livable
environment.” Lingkungan yang berkualitas tidak saja merupakan sesuatu yang sangat
diharapkan, tetapi juga sesuatu yang harus direalisasikan karena menjadi hak setiap
manusia. Timbul pertanyaan, mengapa manusia berhak atas lingkungan yang
berkualitas? Karena ia punya hak moral atas segala sesuatu yang perlu untuk hidup
dengan pantas sebagai manusia. Artinya, yang memungkinkan dia memenuhi
kesanggupannya sebagai makhluk yang rasional dan bebas. Pandangan hak ini
berdasarkan teori deontologi yang menegaskan bahwa “manusia selalu harus
diperlakukan juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”.

Dalam konteks hak dan lingkungan hidup kerap kali diperdebatkan juga, apakah kita harus
mengakui adanya hak untuk generasi-generasi yang akan datang (dan malah binatang).
Pertanyaan ini ditanggapi oleh para ahli etika dengan cara yang berbeda: pro dan kontra.

1. Pihak yang kontra


Menurut yang kontra, adalah salah berpikir bahwa generasi sekarang seharusnya menjauhkan
diri dari penggunaan sumber-sumber alam hanya karena memikirkan generasi yang akan
datang yang juga berhak atas sumber daya alam yang ada sekarang. Velasquez (1992:248-
250) mengemukakan tiga alasan pokok dibalik penolakan terhadap hak generasi yang akan
datang atas sumber daya alam yang ada saat ini.
1. Generasi-generasi yang akan datang tidak dapat dikatakan berhak, sebab sekarang mereka belum ada dan
mungkin tidak pernah ada. Generasi mendatang hanya berada dalam imaginasi. Sesuatu yang imaginatif
hanya dapat dipikirkan secara imaginatif.
2. Jika generasi-generasi yang akan datang sungguh berhak maka mungkin kita harus mengorbankan seluruh
peradaban kita demi kepentingan mereka.
3. Generasi sekarang tidak mengetahui banyak mengenai generasi yang akan datang: apa yang mereka
perlukan, berapa banyak keperluan mereka. Kalau segala hal mengenai masa depan itu kabur,
bagaimanakah kita berbicara mengena hak-hak generasi masa depan?

2. Pihak yang pro


Menurut mereka, walaupun sekarang kita belum bisa memastikan apa yang dibutuhkan oleh
generasi yang akan datang, sebagai makhluk yang bertanggungjawab kita toh seharusnya
memikirkan keberadaan mereka yang sekarang masih kecil dan muda. Future generations
sudah hadir di tengah-tengah kita. Setiap langkah yang diambil untuk melestarikan
lingkungan hidup harus selalu memerhitungkan generasi selanjutnya. Dunia dan lingkungan
hidup sekarang adalah warisan dari mereka yang telah mendahului kita. Generasi yang akan
datang memiliki hak atas alam dan lingkungan, seperti kita saat ini.

110
Menurut Guenter Altner (1991:60-61), ada empat hak dari generasi yang akan datang:.
Pertama, generasi yang akan datang berhak atas hidup, kedua, generasi mendatang berhak
untuk tidak dimanipulasi, yaitu mewarisi sesuatu yang belum diubah oleh manusia secara
buatan, ketiga, generasi yang akan datang berhak atas suatu dunia yang memiliki pelbagai
jenis tetumbuhan dan hewan, hidup dalam alam yang kaya dengan pengawetan sumber-
sumber genetik yang melimpah., keempat, generasi yang akan datang berhak atas udara yang
bersih, lapisan ozon yang utuh, dan pertukaran panas yang memadai antara bumi dan atmosfir.

Robert Mellert, pendukung hak generasi yang akan datang, mengajukan 4 pertimbangan
dasar mengapa kita peduli pada generasi-generasi yang akan datang:
1. Generasi yang akan datang pada hakikatnya sama dengan kita;
2. Seseorang dilahirkan dalam suatu generasi tertentu karena kebetukan sejarah ( historical
accident);
3. Kelangsungan hidup kita sebagai spesies lebih penting dari kelangsungan hidup individual;
4. Dampak kehidupan kita akan terus berlangsung.

8.5.4.b. Utilitarisme
Menurut utilitarisme, suatu perbuatan adalah baik, kalau membawa kesenangan paling besar
untuk jumlah orang paling besar atau kalau mengoptimalkan manfaat. Dalam konteks
lingkungan, pelestarian lingkungan hidup membawa keadaan paling menguntungkan untuk
seluruh umat manusia, termasuk generasi-generasi yang akan datang. Karena itu, lingkungan
hidup tidak lagi boleh diperlakukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis. ‘Cost-benefit
analysis’ harus mencakup dampak ekonomis atas lingkungan hidup.

8.5.4.c. Keadilan
Gejala krisis lingkungan hidup tak terpisahkan dari ketidakadilan. Kerusakan lingkungan
hidup antara lain ditimbulkan oleh ketidakadilan tindakan manusia dalam mengelola
lingkungannya. Karena itu, Leonardo Boff (teolog Amerika Latin), misalnya, menghimbau
sikap baru manusia terhadap bumi. Mitos tentang pertumbuhan tak terbatas harus ditolak, kata
Boff. Sebenarnya alam semesta memiliki sumber-sumber kehidupan yang memadai. Tetapi,
sumber-sumber tersebut seringkali disalahgunakan dan diperas demi kepentingan pribadi dan
kelompok kecil masyarakat. Lebih jauh ia menandaskan bahwa terlepas dari ketidakadilan
sosial krisis ekologis tidak dapat dipahami. Penggarapan alam dan penggarapan terhadap
hidup orang-orang miskin harus seiring sejalan.

Ketidakadilan dalam pengelolaan lingkungan hidup terkait dengan tiga aspek berikut (Chang,
Moral Lingkungan Hidup, 2001: 83-85).
1. Cara pandang dan perilaku manusia terhadap lingkungan hidup. Pandangan hidup manusia
yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan melalaikan kepentingan bersama dalam
hidup sosial, ekonomi, dan budaya mengakibatkan ketidakadilan dalam pengelolaan
lingkungan hidup (paham utilitarianisme).
2. Penyalahgunaan dan penyelewengan terhadap norma-norma pengelolaan kekayaan alam
menimbulkan ketidakadilan. Manusia menggunakan haknya secara berlebihan dengan
menguras kekayaan alam tanpa memerhatikan tanggung jawab dan kewajiban sebagaimana
mestinya. Tindakan macam itu menimbulkan pengaruh dan dampak samping bagi hidup
masyarakat dan lingkungan sekitar.
3. Pengalihan tanggung jawab pihak perusahaan kepada masyarakat konsumen. Mereka yang
berpenghasilan rendah dan hidup dalam kemiskinan harus menanggung biaya penanganan
masalah polusi yang seharusnya ditanggung pihak perusahaan. Biaya ini dikenakan pada harga
barang dagangan. Pihak pengawas polusi seharusnya memiliki kriteria distributif dalam
menghadapi kasus polusi tersebut.

111
Situasi macam itu memaksa kita untuk menegakkan keadilan dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Tanggung jawab untuk melestarikan lingkungan hidup merupakan suatu tuntutan etis
untuk mewujukan keadilan, khususnya keadilan distributif: keadilan yang mewajibkan kita
untuk membagi dengan adil. Sebagaimana kita ketahui, lingkungan hidup menyangkut soal
kelangkaan dan karena itu harus dibagi dengan adil. Adalah tidak adil kalau kita
mengeksploitasi dan memanfatkan alam sedemikian rupa sehingga orang lain ( dan generasi
yang akan datang) tidak lagi memakai sumber alam untuk memenuhi kebutuhan mereka
dengan baik.

Ada tiga cara untuk mengaitkan keadilan dengan masalah lingkungan hidup.

1. Persamaan
Jika dunia bisnis mengabaikan tanggung jawabnya untuk melestarikan lingkungan, akibatnya
untuk semua orang tidak sama. Dengan cara mengeksploitasi alam, pemilik perusahaan akan
maju, tetapi orang kurang mampu dirugikan. Tetapi, akibat buruk dari kerusakan lingkungan
hidup terutama dirasakan oleh orang miskin. Itu tidak adil, karena menurut keadilan
distributif, semua orang harus diperlakukan dengan cara sama, jika tidak ada alasan yang
relevan untuk memerlakukan mereka dengan cara berbeda. Lingkungan hidup harus
dilestarikan, karena hanya dengan cara itulah persamaan (equality) dapat dimajukan.
Sedangkan cara memanfaatkan alam yang merusak lingkungan mengakibatkan
ketidaksamaan, karena membawa penderitaan tambahan (untuk orang yang kurang mampu).

2. Prinsip penghematan adil


Menurut John Rawls, kita tidak berlaku dengan adil, bila kita mewariskan lingkungan yang
rusak kepada generasi yang akan datang. Dalam kerangka itu, ia mengemukakan “the just
savings principle.” Artinya, kita mesti menghemat dalam memakai SDA sehingga masih
tersisa cukup bagi generasi-generasi yang akan datang. Kita wajib mewariskan lingkungan
yang utuh kepada generasi yang akan datang, agar mereka bisa hidup lebih pantas seperti kita
saat ini. Dasar dari prinsip ini adalah “the original position”: “Kita harus memasuki posisi
asali, di mana kita tidak tahu akan termasuk generasi mana.” Dalam “the original position”
kita menghendaki, agar generasi-generasi sebelumnya akan meninggalkan lingkungan hidup
dalam keadaan utuh bagi kita. Kalau kita menerima ““the original position” a la Rawls ini,
semua generasi akan menerima prinsip penghematan adil sebagai cara yang adil untuk
membagi.

3. Keadilan Sosial.
Masalah lingkungan hidup bukanlah sekadar masalah individu ataupun masalah nasional,
melainkan juga masalah global, masalah kita semua. Karena itu, masalah tersebut tidak dapat
diselesaikan pada taraf individual ataupun taraf nasional saja. Ia harus diatur pada taraf global.
Hal itulah yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa masalah lingkungan hidup sebagai
masalah keadilan sosial yang berdimensi global. LSM yang aktif di bidang lingkungan hidup
bermunculan di mana-mana (di seluruh dunia). Di Eropa Barat (Jerman, misalnya) muncul
Partai Hijau. Di tingkat internasional ada Green Peace. Salah satu perkembangan yang
menggembirakan adalah kegiatan-kegiatan internasional di bawah naungan PBB, seperti
Earth Summit di Rio de Janeiro (1992), Protokol Kyoto, dan Protokol Kanada.

Keadilan sosial dalam konteks lingkungan hidup lebih mudah terwujud dengan kesadaran dan
kerja sama semua individu. Karena masalah lingkungan hidup menyangkut masa depan kita
semua. René Dubos pernah mengatakan: think globally, act locally, berpikir secara global,
bertindak secara lokal. Dalam konteks pelestarian lingkungan, setiap individu berusaha untuk

112
mendaur ulang bahan bekas, menghemat pemakaian energi, mengurangi emisi industri dan
kendaraan bermotor, membuat produk yang ramah lingkungan atau kemasan yang ramah
lingkungan, dsb. Kalau itu dilakukan secara konsisten, secara keseluruhan dampak globalnya
amat berarti.

8.5.5. Implementasi tanggung jawab terhadap lingkungan hidup


Setiap orang berhak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Masalahnya, siapa yang mesti
dianggap paling bertanggungjawab untuk menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan
sehat itu? Kita bisa saja mengatakan: yang bertanggungjawab adalah kita semua. Alasannya,
yang membutuhkan lingkungan yang bersih dan sehat itu bukan saja pelaku bisnis, melainkan
juga konsumen (masyarakat luas). Tapi, apakah tanggung jawab yang dibebankan kepada
konsumen sama dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada dunia bisnis? Bagaimana
implementasi tanggung jawab kedua belah pihak itu terhadap lingkingan hidup? Itulah yang
akan ditelaah berikut ini.

8.5.5.a. Siapa yang harus membayar?


Kita mungkin sepakat bahwa penyebab terbesar terjadinya pencemaran lingkungan adalah
dunia bisnis. Karena itu, mereka harus bertanggungjawab untuk melindungi dan memulihkan
lingkungan. Pertanyaannya, siapa yang harus membayar? Pertanyaan ini penting, sebab untuk
dunia bisnis, setiap tindakan untuk melindungi atau memerbaiki lingkungan, mempunyai
konsekeunsi finansial. Siapa yang harus menanggung konsekeunsi finansial itu?

1. Si pencemar membayar atau pihak yang mencemari lingkungan hidup


Perusahaan yang mengakibatkan pencemaran harus menanggung biaya untuk membersihkannya.
Misalnya, perusahaan yang membuang limbah ke dalam sungai, harus juga membersihkannya
sampai ke keadaan semula. Di sini, produsen (besar) harus memikul beban untuk.memulihkan
kembali lingkungan. Jawaban di atas masuk akal, tapi sulit untuk dipraktikkan. Karena sulit untuk
menentukan siapa yang mencemari (praktis semua orang) atau siapa yang pencemarannya lebih
banyak (kuantitas mengubah kualitas); pencemaran dilakukan di masa lalu, dampaknya baru
terjadi sekarang (si pencemar sudah sulit diidentifikasi lagi sehingga biaya tidak mungkin ditagih
dari mereka).

2. Yang menikmati lingkungan bersih membayar atau pihak yang menikmati lingkungan
hidup yang bersih.
Those who will benefit from environmental improvement should pay the costs, yang ingin
menikmati lingkungan bersih harus menanggung biayanya. Ini Logis: yang ingin mendapat
manfaat, harus membayar. Kesulitannya adalah yang tidak membayar turut menikmati manfaatnya
(udara yang bersih). Lingkungan yang bersih bukan merupakan masalah individual semata.
Berbeda dari prinsip pertama, prinsip kedua ini tidak menghiraukan tanggung jawab. Itu tidak
adil.Yang mengakibatkan kerugian harus bertanggungjawab juga.

Kesimpulannya, kedua jawaban di atas dapat diterima, tetapi dengan tekanan lebih besar pada
jawaban pertama. Lingkungan yang bersih dan sehat menjadi tanggung jawab kita semua, tapi
terutama dari mereka yang mengakibatkan polusi. Dalam taraf global, hal itu berarti
kontribusi negara maju untuk lingkungan hidup yang bersih dan sehat harus lebih besar
daripada negara sedang berkembang (negara maju dianggap sebagai penyebab terbesar
terjadinya pencemaran).

8.5.5.b. Bagaimana beban dibagi?

113
Jika semua pihak turut membiayai lingkungan hidup berkualitas, bagaimana beban finansial
itu dibagi secara ‘fair’? Hal ini dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan dunia bisnis,
memakai instrumen ekonomis / mekanisme pasar.

1. Pengaturan
Pemerintah bekerja sama dengan dunia bisnis membuat peraturan mengenai polusi dari
industri. Misalnya, melarang membuang limbah beracun ke dalam air dan kuantitas emisi
beracun. Pengaturan macam itu memiliki segi kekuatan dan kelemahannya.

Kekuatannya adalah: ada keharusan untuk menaati ketentuan/pelaksanaannya dapat dipaksaan


secara hukum. Bagi yang melanggar ada sanksinya dan bisa dituntut ke pengadilan.
Dipandang dari sudut moral, pengaturan ini cukup fair, karena diterapkan dengan cara yang
sama kepada semua industri (berlaku umum). Selain itu, bisnis bisa dihindarkan juga dari
penutupan perusahaan/pemindahan pabriknya ke tempat lain, karena tidak mampu memenuhi
peraturan tentang polusi.

Sedangkan kelemahannya adalah:


a) pelaksanaan kontrol terhadap peraturan-peraturan macam ini menuntut tersedianya teknologi
tinggi serta personel berkualitas, dan karena itu menjadi mahal. Sementara instansi
pengontrolan pemerintah tidak mungkin menguasai seluk-beluk begitu banyak industri yang
berbeda.
b) pengontrolan efektif menjadi suatu kesulitan ekstra untuk negara-negara berkembang, karena
negara berkembang tidak cukup menguasai teknologi canggih dan alasan finansial.
c) peraturan di bidang polusi industri dapat menimbulkan suatu sikap minimalis pada bisnis.
Mereka hanya berusaha untuk tidak melanggar peraturan. Selain itu, melalui pengaturan bisnis
tidak mendapat motivasi kuat untuk berusaha optimal bagi kualitas lingkungan.
d) pengaturan ketat bisa menimbulkan efek negatif untuk ekonomi: pabrik-pabrik yang tidak
mungkin memenuhi norma peraturan barangkali harus ditutup sehingga akan mengakibatkan
penggangguran dan masalah ekonomis lain untuk masyarakat bersangkutan.
e) Di satu sisi, pengaturan tentang lingkungan dapat diterapkan dengan cara egalitarian untuk
semua industri dan karena itu harus dianggap fair. Tetapi, di lain sisi, situasi semua industri
dan lokasi tidak sama juga sehingga penerapan norma-norma yang sama kadang-kadang
menjadi tidak efektif. Misalnya, situasi industri yang berlokasi di Jawa dan Kalimantan jelas
tidak sama. Dengan demikian, kita tidak mungkin menerapkan sistem pengaturan yang sama
untuk kedua lokasi tersebut.

2. Pemberian insentif
Pemerintah dapat memberikan insentif kepada industri yang bersedia mengambil tindakan
khusus untuk melindungi lingkungan atau kepada perusahaan yang berhasil mengurangi
polusi. Misalnya memberi kemudahan untuk pemasangan instalasi pengolah limbah, insentif
perpajakan, menjadikan perusahaan sebagai rekanan/pemasok pelbagai keperluan pemerintah,
atau insentif berupa penghargaan bagi perusahaan/perorangan yang mempunyai jasa khusus
dalam memerbaiki lingkungan. Segi positifnya: peranan pemerintah dengan itu dapat
dikurangi dan inisiatif bebas dari bisnis dimajukan. Di sini pemberian insentif menjadi
pendorong upaya sukarela untuk perbaikan, sesuai dengan kemampuan setiap perusahaan.
Segi negatifnya: metode ini akan berjalan perlahan-lahan dan bahkan tidak ada yang mau
memulai, karena tidak ada keharusan/paksaan, atau karena insentifnya terlalu kecil
nilainya/menimbulkan side effects (harga semakin mahal, harus mendisain ulang proses kerja
dll). Selain itu, cara ini menguntungkan para pencemar. Mereka yang sudah lama
memroduksi barang yang ramah lingkungan tidak memeroleh manfaat dari metode insentif
ini. Apalagi kontrol dari pemerintah di sini sulit dijalankan sehingga insentif ini mudah
disalahgunakan/tidak diterapkan pada semua perusahaan dengan cara yang sama.

114
3. Mekanisme harga (ekonomi pasar bebas)
Dalam kaitan dengan upaya meminimalisasi polusi, para pendukung ekonomi pasar bebas
cenderung memasang harga polusi yang disebabkan oleh industri. Menurut mereka, pabrik-
pabrik yang menyebabkan polusi harus membayar sesuai dengan kuantitas emisi dan
tingkatan pencemaran. Dengan demikian mengakibatkan polusi sama dengan menambahkan
biaya produk sehingga harga produk menjadi lebih mahal dan konkurensi dengan pesaing
bertambah sulit. Secara otomatis bisnis akan berusaha agar biaya produksinya serendah
mungkin dan karena itu akan berusaha pula agar polusi yang disebabkan oleh kegiatan
ekonomisnya seminimal mungkin. Cara produksi yang paling bersih menjadi juga cara
berproduksi yang paling murah.

Mekanisme harga ini memungkinkan lagi beberapa variasi sesuai dengan situasi. Polusi di
daerah di mana industri hanya sedikit, bisa dibebankan dengan harga lebih rendah
dibandingkan dengan polusi di daerah industri padat. Misalnya, di daerah industri padat di
Eropa atau AS bisa dipasang harga polusi lebih tinggi waktu musim panas ketimbang musim
dingin, karena polusi waktu musim panas mempunyai dampak paling jelek atas lingkungan.

Keuntungan cara penanganan biaya pencemaran ini adalah yang harus membayar adalah si
pencemar. Para ekonom menyetujui cara penanganan macam itu karena beban pada
lingkungan dimasukkan dalam biaya produksi. Secara teoretis, industri bisa diwajibkan
membayar untuk setiap polusi yang disebabkannya. Namun kesulitannya adalah mengukur
dengan persis kuantitas polusi dan tingkatan jeleknya suatu polusi.

Sementara itu, para pejuang lingkungan, khususnya para pendukung deep ecology, tidak
setuju dengan metode ini. Mereka menekankan bahwa mengalkulasikan biaya kerusakan
lingkungan hidup ke dalam harga produk, secara implisit mengizinkan polusi dan perusakan
lingkungan. Dengan demikian hanya toleransi ekonomis dari masyarakat dipertimbangkan,
bukan toleransi ekologis atau kemampuan alam untuk membersihkan diri.
Catatan:
Tidak ada metode yang 100% memuaskan. Masing-masing metode ada segi positifnya/
kekuatannya dan juga ada segi negatifnya/ kekurangannya. Karena itu, metode-metode
tersebut harus dikombinasikan, khususnya metode pertama dan metode ketiga. Untuk pelaku
bisnis, sejak awal usaha (perencanaan), perusahaan harus punya analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL). Untuk pemerintah, harus ada kriteria yang jelas untuk AMDAL dan
harus dilaksanakan dengan tegas dan tanpa kompromi.

8.5.5.c. Etika dan Hukum Lingkungan Hidup


Dunia bisnis membutuhkan hukum lingkungan hidup. Bukan itu saja, dunia bisnis harus
menaati hukum dan peraturan yang berlaku di bidang lingkungan hidup itu. Bisnis yang baik,
dalam arti tertentu, adalah bisnis yang patuh pada hukum lingkungan hidup. Tetapi hukum
sendiri tidak mencukupi, karena itu perlu ditunjang oleh etika dan moral. Pepatah Romawi
Kuno mengatakan, “Quid leges sine moribus?” Apa artinya UU kalau tidak disertai
moralitas?” Bisnis membutuhkan norma moral yang menetapkan apa yang etis atau tidak etis
untuk dilakukan dalam kaitan dengan lingkungan hidup. Di situlah letak kekhasan etika-
moral dibandingkan dengan hukum (baca hlm. 59).

Ada anggapan bahwa bisnis sudah berlaku etis di bidang lingkungan hidup manakala
mematuhi peraturan hukum lingkungan hidup. Bisnis berlaku etis jika dan selama tidak
melanggar hukum lingkungan hidup. Jika perilaku bisnis itu legal maka dari sudut moral juga

115
semuanya beres. Tetapi, sikap bisnis belum terjamin bersifat etis, bila orang membatasi diri
pada hukum saja. Kalau rumusan di atas dibalik dan dirumuskan secara negatif maka
kebenarannya tak terbantahkan: Jika secara moral suatu perilaku ternyata salah,
kemungkinan besar perilaku itu melanggar hukum juga (Boatright: 1993:16).

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa bisnis cenderung melakukan tindakan yang tidak
etis? Salah satu alasannya adalah dominasi motivasi mencari untung di atas motivasi moral.
Motivasi mencari untung (ekonomis) lebih kuat daripada motivasi moral. Motivasi mencari
untung itulah yang kemudian membuat para pelaku bisnis menempatkan keuntungan
ekonomis di atas kepentingan lingkungan hidup. Memaksakan pelaku bisnis untuk tunduk
pada norma moral bukan saja merupakan tidakan yang semena-mena, melanikan juga
bertentangan dengan norma moral itu sendiri. Kepatuhan pelaku bisnis pada norma moral
tidak bisa dipaksakan. Karena itu, dalam konteks lingkungan hidup, sangat dibutuhkan
peraturan hukum. Lingkungan hidup hanya bisa dilindungi oleh hukum yang efektif dan
lengkap.

Akan tetapi, masalah lingkungan hidup tidak selesai dengan adanya sistem peraturan yang
efektif dan lengkap itu. Sistem peraturannya baik, tapi bagaimana dengan pelaksanaannya.
Pelaksanaan hukum mencakup segi teknis yang sangat kompleks. Pelaksanaan dan penegakan
hukum lingkungan sangat tergantung pada baik-buruknya penyelengggaraan pemerintahan
yang baik. Artinya, kalau kita mendambakan penegakkan hukum lingkungan yang baik,
penyenggaraan pemerintahan yang baik merupakan sebuah keharusan.

Dalam konteks lingkungan hidup, penyelenggaraan pemerintahan yang baik mensyaratkan


beberapa hal (Keraf, 2002:191-198)
1. pemerintah harus benar-benar efektif dalam memerintah
2. pemerintah harus tunduk dan patuh kepada aturan hukum yang berlaku
3. pemerintah bertindak sebagai wasit dan penjaga aturan hukum yang ada demi menjamin
kepentingan bersama
4. adanya perangkat-perangkat kelembagaan demokrasi yang berfungsi secara optimal dan
efektif: independensi, kontrol, dan perimbangan kekuatan di antara kekuasaan eksekutif,
yudikatif, dan legislatif. Bersamaan dengan itu, perlu terus dikembangkan perimbangan dan
kontrol positif di antara kekuatan-kekuatan utama dalam masyarakat, yaitu antara pemerintah
dengan kekuatan politiknya, sektor swasta dengan kekuatan ekonominya, dan masyarakat
dengan kekuatan moralnya.
5. birokrasi yang bersih dan mempunyai integritas moral. Para birokrasi bekerja untuk melayani
kepentingan publik, menjalankan tugasnya tanpa pamrih (secara moral harus bersih).
6. adanya kode etik pejabat publik atau Birokrasi pemerintah. Kode etik ini berisikan aturan
moral yang tegas, keras, dan rinci yang menjamin bahwa pemerintahan dijalankan dengan
baik demi kepentingan publik dan bahwa birokrasi itu sendiri benar-benar bermoral

Penyelenggaraan pemerintah yang baik akan memengaruhi dan menentukan pengelolaan


lingkungan hidup yang baik. Pengelolaan lingkungan yang baik mencerminkan juga tingkat
penyenggaraan pemerintah yang baik (Ibid.: 2002:201-206).
1. Penyengaraan pemerintahan yang baik akan menentukan komitmen penyenggara
pemerintahan terhadap lingkungan hidup. Pemerintah perlu menyadari bahwa:
(a) betapa pentingnya pengelolaan lingkungan hidup yang baik bagi kepentingan masyarakat dan
bangsa,
(b) keteledoran dan kelalaian terhadap lingkungan hidup akan membawa dampak yang merugikan
bagi masyarakat, bangsa, dan negara (jangka pendek-jangka panjang;
(c) kesalahan kebijakan di bidang lingkungan hidup akan sangat merugikan baik dari segi
ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup, kehancuran budaya masyarakat, ketahahan sosial,
maupun kualitas hidup manusia. Karena itu, lingkungan hidup harus menjadi bagian integral

116
dari keseluruhan kebijakan pembangunan. Kesadaran tadi kemudian diterjemahkan ke dalam
berbagai aturan perundang-undangan yang menjadi pegangan bagi setiap penyenggara negara
dan masyarakat dalam mengelola dan menjaga lingkungan hidup.
2. Adanya komitmen moral pemerintah dalam mematuhi berbagai ketentuan formal dan
kebijakan yang pro-lingkungan. Komitmen moral dari pemerintah menjamin kebijakan yang
pro-lingkungan. Hal itu mengandaikan pula penyelenggara harus benar-benar mempunyai
integritas moral yang diandalkan. Penyenggara negara harus mempunyai kredibilitas yang
memungkinkan mereka benar-benar bertindak secara profesional (bertindak sesuai dengan
ketentuan). Lemahnya moralitas pejabat publik menyebabkan mereka menyalahgunakan
kekuasaan mereka untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang sangat bertentangan
dengan ketentuan formal (dalam kaitan dengan lingkungan hidup). Misalnya, masalah
AMDAL PT Indorayon Utama dan Pantai Indah Kapuk
3. Kesediaan untuk mendengarkan aspirasi dan kehendak masyarakat dalam hal pengelolaan
lingkungan hidup. Keyakinan dasar dibalik itu adalah lingkungan hidup adalah urusan dan
tanggung jawab semua pihak.
4. Kerja sama dan kemitraan yang saling percaya antara pemerintah, masyarakat, LSM, dan Pers

Selanjutnya, untuk menjamin penegakkan hukum lingkungan yang baik, diperlukan reformasi
di bidang hukum lingkungan . Menurut Ahmad Basso (dlm. Keraf, 2002: 210-215), reformasi
di bidang hukum lingkungan mesti mencakup empat aspek berikut.
1. Reformasi legislasi, yang bertujuan menjamin adanya partisipasi publik dalam ikut
merumuskan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup
2. Reformasi pengadilan, yang mecakup:
a. prinsip independensi, lembaga pengadilan harus benar-benar berfungsi untuk mengamankan
kepentingan lingkungan hidup,
b. lembaga pengadilan harus benar-benar mempunyai kemampuan profesional untuk menjamin
keadilan dan kebenaran di bidang lingkungan hidup,
c. prinsip akuntabilitas yang menjamin bahwa setiap pelaksanaan kekuasaan di bidang
pengadilan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral,
d. prinsip partisipasi yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam memilih para calon hakim,
kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman, dan terbukanya akses informasi terhadap
semua proses dan keputusan pengadilan di bidang lingkungan
e. adanya transparansi dalam pelaksanaan kekuasaan pengadilan
f. lembaga pengadilan harus dikembangkan menjadi lembaga yang mudah diakses dan cepat
melayani kepentingan publik dalam mencari dan memerjuangkan kepentingannya di bidang
lingkungan hidup
g. kelengkapan institusi penegakkan hukum lingkungan hidup
2. reformasi aparatur penegak hukum, mencakup:
a. peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum lingkungan dengan peningkatan
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam menangani kasus-kasus pelanggaran
hukum lingkungan
b. peningkatan integritas, kredibitas, dan komitmen moral aparat penegak hukum
3. Reformasi budaya hukum
a. adanya kepatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan yang ada di bidang lingkungan
hidup
b. pemahaman yang memadai tentang hukum lingkungan dan pentingnya lingkungan hidup bagi
kehidupan manusia (melalui pendidikan di bidang lingkungan hidup dan membangun pola
hidup yang ramah lingkungan)
c. perlunya penyelenggaraan pemerintahan yang baik

Jadi, ada hubungan erat antara penyelenggaran pemerintahan yang baik dengan pengelolaan
lingkungan yang baik. Bahkan ada koresi positif antara keduanya. Penyelenggaraan
pemerintah yang baik akan memengaruhi dan menentukan pengelolaan lingkungan hidup
yang baik. Tanpa penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sulit mengharapkan akan adanya
pengelolaan lingkungan yang baik. Penegakan hukum lingkungan pun sangat tergantung pada
penyelengggaraan pemerintahan yang baik.

117
Dunia bisnis, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehadiran hukum lingkungan hidup
itu, harus terlibat secara aktif, baik dalam proses pembuatan peraturan dan hukum lingkungan
hidup tersebut maupun dalam pelaksanaan dan penegakkannya Di samping, tentu saja
mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sebab upaya pelestarian lingkungan
akan berhasil dengan baik manakala dunia bisnis ikut serta dalam menegakkan hukum
lingkungan hidup itu, di samping penegakkan etika profesi secara konsisten. Penegakkan
etika profesi dalam konteks lingkungan hidup ini erat terkait dengan tanggung jawab moral
pelaku bisnis terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Adapun tanggung jawab moral dunia bisnis untuk melestarikan lingkungan hidup itu bisa
bersifat negatif, bisa juga bersifat positif. Bersifat negatif dalam arti: bisnis tidak boleh
melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat (walaupun menguntungkan bagi dirinya).
Misalnya, membuang limbah ke dalam sungai. Adalah tidak etis kalau dunia bisnis mencari
untung dengan membebankan kerugiannya pada orang lain. Bersifat positif dalam arti: bisnis
terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Bisnis wajib memberikan kontribusi
kepada perbaikan dan pelestarian lingkungan hidup. Tanggung jawab moral yang bersifat
positif ini perlu dikedepankan oleh dunai bisnis, karena: (1) bisnis sudah merusak lingkungan
hidup sejak awal era industri. Kini bisnis wajib membantu mengoreksi tradisi yang buruk itu.
(2) Alam memiliki nilai (intrinsik) sendiri, bukan sekadar sarana untuk dimanfaatkan belaka.
Dengan menghormati dan memelihara alam, manusia juga menghormati masa depannya
sendiri.

Dunia bisnis melaksanakan tanggung jawab moral secara positif ini bersama-sama dengan
pihak konsumen. Dari sisi dunia bisnis, bisnis wajib memilih cara berproduksi yang ramah
lingkungan, walaupun dengan demikian tingkat keuntungannya berkurang. Kepentingan
lingkungan harus diberi prioritas tinggi dalam segala rencana dan kegiatan mereka. Sementara
itu, dari sisi konsumen, mereka harus sadar lingkungan hidup dan bersedia membeli produk
yang ramah lingkungan, walau harganya menjadi lebih mahal. Kualitas lingkungan harus
mendapat prioritas tinggi juga untuk konsumen.

Kini, kesadaran lingkungan dari konsumen itu sudah mulai terbentuk dan bermunculan di
mana-mana. Misalnya, di Eropa Barat, kesadaran itu muncul dalam bentuk ecolabel (untuk
produk kayu tropis) dan pemboikotan terhadap produk-produk dari perusahaan yang diketahui
merusak lingkungan. Bagaimana dengan Indonesia? Itulah pertanyaan urgen buat kita.

118
KEPUSTAKAAN

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia


-------------. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.
Driyarkara, N. Perciakan Filsafat.
Frankenna, William. 1982. Ethics, second edition. New Delhi: Prentice Hall of India
Fredrick, William C., James E. Post & Keith Davis. 1992 Business and Society. New York:
McGraw
Keraf, Sonny A. 1998. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius
------------------. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas
Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius
--------------------------. 1991. Berfilsafat Dari Konteks. Jakarta: Gramedia
--------------------------. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius
--------------------------. 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke 20. Yogyakarta: Kanisius
Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius
Salomon, R.C. 1987. Etika Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga
Sudarminta, J.(tanpa thn). Persoalan Etis Kontemporer. Makalah Extention Course, FF
Unpar
Velasquez, Manuel G. 1992. Business Ethics: Concepts and Cases. Prentice Hall

119

Anda mungkin juga menyukai