Wartawan Metro TV
Disampaikan Pada Pelatihan Jurnalisme Damai, 2-3 Mei 2007
Pagi itu, jam baru menujukkan pukul 06.30 WIB. Namun kegaduhan dan
ketegangan sudah membalut seluruh Desa Alue Awe. Suara pentungan telah terdengar
sejak sekitar 30 menit yang lalu. Suara pentungan yang dibunyikan dengan teknik khusus
memberi isyarat bahwa desa tersebut dalan keadaan bahaya. Sudah menjadi ketentuan,
bila terdengar suara pentungan seperti itu, maka seluruh pria dewasa, mulai dari pemuda
hingga kakek kakek harus berkumpul di alun alun desa dengan senjata lengkap.
“Hari ini kita akan kembali mempertahankan harga diri kita, harga diri desa kita.
Kita akan berperang melawan warga Desa Kandang. Sampai titik darah penghabisan,”
kata Yunus Itam, Ketua Adat Desa Alue Awe. Ratusan warga menyambut seruan Itam
dengan yel yel sambil mengacung acungkan tombak, parang dan rencong. Mereka siap
untuk kembali maju ke medan perang, menyerang desa tetangga mereka yang dianggap
sebagai musuh sejak puluhan tahun yang lalu.
Desa Alue Awe dan Desa Kandang merupakan dua dari tiga puluh desa di pesisir
utara Lhokseumawe. Kedua desa ini sudah berperang sejak sekitar tahun 60an karena
berbagai faktor, sebagian besar karena dendam atau selisih paham antar warga. Seperti
halnya peperangan kali ini, yang dipicu oleh pemukulan seorang pemuda Desa Alue Awe
oleh sekelompok pemuda lain dari Desa Kandang. Penyebabnya sepele, pengeroyokan
terjadi karena Muhammad Isa, 23 salah seorang warga Alue Awe tak menganggukkan
kepala atau mengangkat tangan saat melewati sekelompok pemuda yang berjaga jaga di
tapal batas Desa Kandang.
(Bisa anda bayangkan, bila berita ini dibaca oleh warga Desa Alue Awe yang
lainnya, maka mereka juga akan terpancing emosinya untuk menyerang Desa Kandang.
Karena dalam berita tersebut, yang diangkat justru sisi peperangan, dan penyebab
peperangan itu terjadi. Ini adalah format berita yang ditulis tidak mengikuti term Peace
Jurnalism atau Jurnalisme Damai. Tulisan seperti ini bahkan layak disebut sebagai karya
Jurnalisme Patriotik atau Jurnalisme Peperangan.)
Azhari Husen, 12 tahun tertunduk lesu. Bocah kelas enam Sekolah Dasar Negeri 12
Desa Alue Awe, Lhokseumawe itu kembali tak bisa belajar di sekolahnya. Padahal, pagi
itu ia telah bersiap lebih awal untuk berangkat ke sekolahnya dibandingkan sehari
sebelumnya. Azhari ingin setibanya di sekolah, I amasih punya waktu beberapa menit
untuk menghafal beberapa halaman buku yang belum smepat dibacanya semalam, karena
keburu mengantuk. Namun Husen dan Aminah, kedua orang tuanya sepakat melarang
anak mereka untuk libur dari kegiatan belajar mengajar. Pasalnya, peperangan yang
kembali pecah pagi itu, dikhawatirkan akan berdampak buruk saat anaknya pergi atau
ketika kembali dari sekolah.
Azhari hanya bisa pasrah sambil memeluk tas warna biru bertuliskan UNICEF di
depan pintu rumahnya. Ia menyesalkan mengapa, orang tua di desanya tak pernah bosan
memelihat konflik. Hingga entah sudah berapa kali, anak anak sepertinya tak bisa
mengikuti pelajaran di sekolah akibat dari peperangan yang terjadi saban bulan.
Perang antar warga Desa Alue Awe dan Desa Kandang, tetanggnya telah terjadi
sejak sekitar tahun 1960an. Entah apa pemicu pertama perang tersebut, yang jelas perang
itu masih lestari hingga sekarang. Tak terhitung sudah berapa warga Desa Alue Awe dan
Desa Kandang yang mati dalam peperangan tersebut. Seperti juga tak terhitung sudah
berapa anak anak dari kedua desa itu yang mnejadi yatim, dan para wanita yang berubah
statusnya menjadi janda.
Perang memang tak pernah melahirkan kedamaian dan ketenangan. Perang justru
merenggut kebahagian warga, harapan anak anak untuk bisa hidup lebih baik di masa
depan. Perang telah merenggut keinginan Azhari Husen, dan ratusan bocah lainnya untuk
bisa belajar dengan baik, menjawab soal soal ujian secara lancar dan menyongsong masa
depan yang lebih cerah.
Features pertama ditulis dengan penggambaran konflik, pemicu konflik dan para
pelaku konflik. Sementara features kedua mengangkat salah satu korban konfli yang tak
terlihat mata. Korban yang terenggut haknya untuk mendapatkan pendidikan tanpa
halangan dari siapapun. Sebuah perbedaan yang tajam dari dua tulisan yang sama sama
menulis tentang perang antar desa yang sama.
Ada beberapa langkah yang bisa anda lakukan sebelum anda meliput sebuah
berita, agar anda tidak tergiring untuk melahirkan berita yang menjadi ‘pembakar’
sebuah konflik di tengah masyarakat untuk tetap berkobar.
Berikut beberapa perbedaan tentang apa yang dilakukan wartawan pro jurnalisme damai
dan wartawan pro jurnalisme perang atau jurnalisme kekerasan.
Jurnalisme Damai
- Melihat sisi kemanusiaan dari segala sisi, dan mengecam penggunaan senjata.
- Berfokus pada efek kekerasan yang tidak terlihat, seperti trauma, rasa
kemanangan, dan kerusakan pada struktur budaya masyarakat)
- Berfokus pada kesengsaraan bersama; wanita, anak anak, dan memberikan suara
pada yang tidak mampu bersuara
- Berfokus pada mereka yang merintis perdamaian
- Berfokus pada struktur, kebudayaan dan masyarakat yang damai
Jurnalisme Kekerasan
- Melihat mereka yang ada di dalamnya tidak sebagai “manusia” dan begitu juga
dengan penggunaan senjata
- Berfokus hanya pada efek yang bisa terlihat mata (korban tewas, terluka dan
kerusakan material)
- Berfokus pada kesengsaraan suatu kelompok elite, menjadi corong kelompok elite
- Menyebut nama pada kelompok yang membuat penderitaan
- Menyebut nama untuk memfokuskan pada elite perintis perdamaian