Anda di halaman 1dari 5

Zainal Bakri

Wartawan Metro TV
Disampaikan Pada Pelatihan Jurnalisme Damai, 2-3 Mei 2007

Dilaksanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP

Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Bekerjasama dengan BRR-Satker Pemulihan dan Pengembangan


Agama, Sosial dan Budaya Wilayah II Lhokseumawe
 
Bukan hal yang salah jika media memberitakan berbagai hal yang terjadi dalam
masyarakat. Apa pun yang terjadi dalam masyarakat dan perlu diketahui khalayak, dan
media memiliki tugas untuk memberitakannya. Memberitakan konflik pun tidak selalu
berdampak negatif. Ada kalanya berita tentang konflik berikut penyelesaiannya, dapat
menjadi contoh bagi masyarakat dalam menangani masalah yang sama.
            Namun, memang diakui, media bukanlah lembaga yang terbebas dari prasangka,
subjektivitas atau pun kepentingan-kepentingan tertentu. Pemilik media, bisa menentukan
kebijaksanaan terhadap suatu berita meski pun bertentangan dengan keinginan jurnalis di
lapangan. Berita akhirnya bisa dibuat berdasarkan kepentingan bisnis, politik dan lainnya.
            Namun, membiarkan media memberitakan “apa ada nya”suatu hasil wawancara,
rekaman gambar atau fakta-fakta yang ditemukan kepada masyarakat, sama saja
memperbesar konflik atau kekerasan. Misalnya, pada pemberitaan televisi, bila gambar
kekerasan diperlihatkan hanya dilakukan oleh satu pihak tertentu, tentunya akan
menimbulkan kemarahan pemirsa yang mendukung pihak satunya.
            Karenanya, yang terbaik bagi media tetaplah memihak kepada kebenaran atau
kepada masyarakat. Bila ditugasi meliput sebuah konflik terbuka yang berpotensi
menimbulkan kerugian pada masyarakat luas, maka kerugian itulah yang seharusnya
dijadikan topik liputan. Ungkapkan bagaimana menderitanya warga akibat terjadinya
konflik itu. Gambarkan juga seandainya konflik tersebut tak terjadi, bagaimana
ketenangan dan keuntungan lain yang bisa diterima oleh masyarakat.
            Dalam format jurnalisme damai, reporter selalu mengangkat  sisi buruk yang
ditimbulkan akibat sebuah konflik, diluar itu juga menyertakan solusi yang bisa ditempuh
untuk mengakhiri konflik itu sendiri. Bukan sebaliknya, mengangkat bagaimana konflik
itu terjadi hingga memicu konflik itu bertahan dan menyebabkan kerugian yang lebih luas
di tengah masyarakat.
            Intinya jurnalisme damai melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang
lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, dan membuka peluang pada
pemahaman non kekerasan (non violence). Karenanya juga jurnalisme damai di Indonesia
kerap disebut dengan istilah lain seperti : Jurnalisme Non Kekerasan, Jurnalisme
Kemanusiaan, Jurnalisme Korban, Jurnalisme Advokasi dan beberapa nama lain.
Untuk lebih membedakan tulisan yang dikemas dalam format jurnalisme damai
dan ajurnalisme kekerasa, coba perhatikan penggalan features berikut :
 

Pagi  itu, jam baru menujukkan pukul 06.30 WIB. Namun kegaduhan dan
ketegangan sudah membalut seluruh Desa Alue Awe. Suara pentungan telah terdengar
sejak sekitar 30 menit yang lalu. Suara pentungan yang dibunyikan dengan teknik khusus
memberi isyarat bahwa desa tersebut dalan keadaan bahaya. Sudah menjadi ketentuan,
bila terdengar suara pentungan seperti itu, maka seluruh pria dewasa, mulai dari pemuda
hingga kakek kakek harus berkumpul di alun alun desa dengan senjata lengkap.

“Hari ini kita akan kembali mempertahankan harga diri kita, harga diri desa kita.
Kita akan berperang melawan warga Desa Kandang. Sampai titik darah penghabisan,”
kata Yunus Itam, Ketua Adat Desa Alue Awe. Ratusan warga menyambut seruan Itam
dengan yel yel sambil mengacung acungkan tombak, parang dan rencong. Mereka siap
untuk kembali maju ke medan perang, menyerang desa tetangga mereka yang dianggap
sebagai musuh sejak puluhan tahun yang lalu.

Desa Alue Awe dan Desa Kandang merupakan dua dari tiga puluh desa di pesisir
utara Lhokseumawe. Kedua desa ini sudah berperang sejak sekitar tahun 60an karena
berbagai faktor, sebagian besar karena dendam atau selisih paham antar warga. Seperti
halnya peperangan kali ini, yang dipicu oleh pemukulan seorang pemuda Desa Alue Awe
oleh sekelompok pemuda lain dari Desa Kandang. Penyebabnya sepele, pengeroyokan
terjadi karena Muhammad Isa, 23 salah seorang warga Alue Awe tak menganggukkan
kepala atau mengangkat tangan saat melewati sekelompok pemuda yang berjaga jaga di
tapal batas Desa Kandang.
(Bisa anda bayangkan, bila berita ini dibaca oleh warga Desa Alue Awe yang
lainnya, maka mereka juga akan terpancing emosinya untuk menyerang Desa Kandang.
Karena dalam berita tersebut, yang diangkat justru sisi peperangan, dan penyebab
peperangan itu terjadi. Ini adalah format berita yang ditulis tidak mengikuti term Peace
Jurnalism atau Jurnalisme Damai. Tulisan seperti ini bahkan layak disebut sebagai karya
Jurnalisme Patriotik atau Jurnalisme Peperangan.)

Sekarang coba anda bedakan dengan penggalan features berikut:

Azhari Husen, 12 tahun tertunduk lesu. Bocah kelas enam Sekolah Dasar Negeri 12
Desa Alue Awe, Lhokseumawe itu kembali tak bisa belajar di sekolahnya. Padahal, pagi
itu ia telah bersiap lebih awal untuk berangkat ke sekolahnya dibandingkan sehari
sebelumnya. Azhari ingin setibanya di sekolah, I amasih punya waktu beberapa menit
untuk menghafal beberapa halaman buku yang belum smepat dibacanya semalam, karena
keburu mengantuk. Namun Husen dan Aminah, kedua orang tuanya sepakat melarang
anak mereka untuk libur dari kegiatan belajar mengajar. Pasalnya, peperangan yang
kembali pecah pagi itu, dikhawatirkan akan berdampak buruk saat anaknya pergi atau
ketika kembali dari sekolah.

Azhari hanya bisa pasrah sambil memeluk tas warna biru bertuliskan UNICEF di
depan pintu rumahnya. Ia menyesalkan mengapa, orang tua di desanya tak pernah bosan
memelihat konflik. Hingga entah sudah berapa kali, anak anak sepertinya tak bisa
mengikuti pelajaran di sekolah akibat dari peperangan yang terjadi saban bulan.

Perang antar warga Desa Alue Awe dan Desa Kandang, tetanggnya telah terjadi
sejak sekitar tahun 1960an. Entah apa pemicu pertama perang tersebut, yang jelas perang
itu masih lestari hingga sekarang. Tak terhitung sudah berapa warga Desa Alue Awe dan
Desa Kandang yang mati dalam peperangan tersebut. Seperti juga tak terhitung sudah
berapa anak anak dari kedua desa itu yang mnejadi yatim, dan para wanita yang berubah
statusnya menjadi janda.
Perang memang tak pernah melahirkan kedamaian dan ketenangan. Perang justru
merenggut kebahagian warga, harapan anak anak untuk bisa hidup lebih baik di masa
depan. Perang telah merenggut keinginan Azhari Husen, dan ratusan bocah lainnya untuk
bisa belajar dengan baik, menjawab soal soal ujian secara lancar dan menyongsong masa
depan yang lebih cerah.

Features pertama ditulis dengan penggambaran konflik, pemicu konflik dan para
pelaku konflik. Sementara features kedua mengangkat salah satu korban konfli yang tak
terlihat mata. Korban yang terenggut haknya untuk mendapatkan pendidikan tanpa
halangan dari siapapun. Sebuah perbedaan yang tajam dari dua tulisan yang sama sama
menulis tentang perang antar desa yang sama.

             Ada beberapa langkah yang bisa anda lakukan sebelum anda meliput sebuah
berita, agar anda tidak tergiring untuk melahirkan berita yang menjadi ‘pembakar’
sebuah konflik di tengah masyarakat untuk tetap berkobar.

-          Lakukan riset secara mendalam tentang apa yang terjadi


-          Lakukan reportase langsung (jangan andalkan hasil wawancara)
-          Pilihlah nara sumber yang memahami persoalan secara baik dari kedua belah
pihak
-          Jaga jarak agar anda tidak terpancing untuk terlibat secara emosiaonal dalam
konflik itu (lihat contoh kasus Ambon antara wartawan muslim dan kristiani)
-          Pilih tema yang menggambarkan betapa dahsyatnya akibat yang ditimbulkan oleh
sebuah konflik.

Berikut beberapa perbedaan tentang apa yang dilakukan wartawan pro jurnalisme damai
dan wartawan pro jurnalisme perang atau jurnalisme kekerasan.

Jurnalisme Damai

-          Melihat sisi kemanusiaan dari segala sisi, dan mengecam penggunaan senjata.
-          Berfokus pada efek kekerasan yang tidak terlihat, seperti trauma, rasa
kemanangan, dan kerusakan pada struktur budaya masyarakat)
-          Berfokus pada kesengsaraan bersama; wanita, anak anak, dan memberikan suara
pada yang tidak mampu bersuara
-          Berfokus pada mereka yang merintis perdamaian
-          Berfokus pada struktur, kebudayaan dan masyarakat yang damai

Jurnalisme Kekerasan

-          Melihat mereka yang ada di dalamnya tidak sebagai “manusia” dan begitu juga
dengan penggunaan senjata
-          Berfokus hanya pada efek yang bisa terlihat mata (korban tewas, terluka dan
kerusakan material)
-          Berfokus pada kesengsaraan suatu kelompok elite, menjadi corong kelompok elite
-          Menyebut nama pada kelompok yang membuat penderitaan
-          Menyebut nama untuk memfokuskan pada elite perintis perdamaian

Anda mungkin juga menyukai