Indonesia Raya
Di Indonesia, harian Indonesia Raya merupakan salah satu media di Indonesia yang
banyak dinilai fenomenal di dalam pelaporan investigasi.Visi jurnalisme yang
dibangun mengambil konsep advocacy journalism. Sebuah aliran new
journalism yang berkembang di Amerika Serikat tahun 1960-an.
Format advocacy dipakai untuk satu gaya jurnalistik yang teguh dalam pendiriannya
untuk suatu “perbaikan keadaan”. Selain itu, harian ini juga bersifat muckraking
paper, yaitu surat kabar yang melakukan penyidikan mengenai kasus korupsi atau
tuduhan korupsi oleh pejabat pemerintah atau pengusaha dan menyiarkannya dengan
gegap gempita.
Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974) bisa dikatakan tipikal awal
penerbitan pers yang mengarahkan liputannya ke dalam bentuk investigasi. Pada
periode pertama penerbitan (1949-1958), harian ini memiliki visi investigatif untuk
melawan kekuasaan yang dianggap bertanggung jawab atas semua keburukan yang
terdapat dalam masyarakat. Sedangkan pada periode kedua (1968-1974) harian ini
menyoroti kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekauasaan dalam perspektif
peristiwa kemasyarakatan.
Orde Baru
Pengaruh tiga dekade kekuasaan Orde Baru yang merepresi kehidupan pers Indonesia,
telah menjadikan pengenalan insilah investigasi tidak begitu dikenali secara utuh
dalam pedoman peliputan pers Indonesia. Pada awal 1980-an, sebuah buku pegangan
jurnalistik hanya memapakan “Laporan Investigatif” sebagai “Sebuah Perkenalan” di
salah satu subbagiannya. Investigative Report disebut sebagai teknik mencari dan
melaporkan sebuah berita dengan cara pengusutan. Sementara itu, Charnley dalam
buku Reporting menyatakan investigasi sebagai “laporan mendalam” dan sekedar
teknik pencarian berita, serta menegaskan tentang batasan responsibilitas jurnalis
untuk objektif, tidak memihak, dan mengabdi pada kepentingan umum.
Laporan investigasi belum menjadi suatu tradisi yang melembaga di dalam tubuh pers.
Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan laporan jenis ini sebagai sebuah
pendekatan yang bersifat temporer. Terdapat beberapa sebab yang menghambat
kegiatan peliputan investigatif oleh insan pers.
Hambatan tersebut antara lain pers Indonesia masih menilai bahwa laporan
investigatif adalah laporan yang memakai biaya tinggi, proses liputan menghabiskan
waktu yang panjang, hasil akhir yang tidak pasti memberi halangan juga kepada
gairah wartawan, serta resiko besar yang bisa timbul. Persyaratan modal kuat,
keuletan dan kesabaran yang harus dimiliki wartawan investigatif Indonesia belum
mendapat tempat di kalangan pers saat itu.
Pada akhir 1980-an, terdapat beberapa karakteristik yang menandai kehidupan pers
Indonesia, yaitu: daya kritis yang minim, daya ingat yang nyaris tumpul, keringnya
inisiatif, dan tidak berjalannya fungsi watchdog.
Setelah sekian tahun terformat ke dalam sistem pers Orde Baru yang melarang
berbagai temuan berita politik yang menyimpang dari kebijakan otoritarian elit
politik, peliputan investigasi tampaknya mulai banyak dipakai wartawan secara serius
pada dekade 1990-an. Dan ketika kemerdekaan pers diraih, sejak 1998, pelaporan
investigasi banyak memberitakan kasus-kasus korupsi dari rezim yang berkuasa.
1.2.Bab II: Sejarah Investigasi
Dari Investigasi Sampai Muckraking: di Amerika
Jurnalisme investigasi sebenarnya mempunyai jejak yang panjang dalam sejarah pers
Amerika. Beberapa tokoh tercatat sebagai pionir jurnalisme investigasi.Mereka
menetapkan pedoman jurnalisme investigasi bahkan menggariskan cirri pemberitaan
pers sebagai medium watchdog di dunia jurnalisme.
Menurut Rivers & Mathews sejarah investigasi berawal dari sebelum berdirinya
Amerika. Pada 1690, Benyamin Harris menginvestigasi berbagai kejadian di
masyarakat dan melaporkannya dalam Public Occurences, Both Foreign and
Domestic. Isi laporannya dinilai menentang kebijakan kolonial Inggris. Pada awal
sejarahnya, jurnalisme investigasi amat dekat dengan pemberitaan crusading atau
jihad. Pada fase selanjutnya, spirit crusading (jihad atau perjuangan) mendapat bentuk
yang lebih formal melalui penerbitan New England Courant pada 1721 yang
diterbitkan oleh James Franklin.
Istilah investigasi sendiri baru muncul pertama kali dari Nellie Bly ketika menjadi
reporter di Pittsburg Dispatch (1890). Bly sampai harus bekerja di sebuah pabrik
untuk menyelidiki kehidupan buruh di bawah umur yang dipekerjakan dalam kondisi
yang buruk. Keistimewaan laporan jurnalistik investigasi Bly terletak pada tuntutan
penyelesaian jalan keluar terhadap problema sosial tersebut. Melalui laporan
investigasi, pers diposisikan sebagai pengganti pemerintah yang lemah dalam
mengatur masyarakat.
Era Mucraking
Bisa dikatakan pada awal kemunculannya, jurnalisme investigasi memakai bentuk
perlawanan terhadap kebijakan penguasa. Baru pada awal abad 20 jurnalisme
investigasi menegaskan wujudnya di dalam liputan-liputan yang terorganisir ketika
melaporkan berbagi pelanggaran yang terjadi.
Menurut Charneley ada dua hal yang signifikan yang mendasari reportase investigasi,
yaitu jurnaisme harus membawa muatan pencerahan publik dan seringkali juga
kegiatan perlawanan. Untuk itu, jurnalisme investigas diidentikan dengan istilah
jurnalisme crusading. Crusading, dalam sejarah pers Amerika, menyangkut
periode Muckraking yang mengekspos perilaku anti-sosial dan kejahatan di dunia
pemerintahan dan bisnis. Presiden Theodore Roosevelt bahkan memberi
nama muckrakers kepada reporter yang sibuk menyoroti hal kotor dan tidak melihat
sisi positif lain dari kehidupan Amerika.
Pada 1902, jurnalisme investigasi menjadi gerakan yang berpengaruh. Hal ini dipicu
dari kebijakan berbagai media yang menyatakan sikap jurnalismenya pada reformasi
social. Masyarakat pun menyambutnya dengan antusias.
Sejak itu jurnalisme investigasi menjadi bidang usaha pers yang menguntungkan.
Sirkulasi sepuluh majalah yang memfokuskan diri pada liputan investigasi mencatat
jumlah 3 juta eksemplar pada 1903.
Menurut Ferguson & Patten, berbagai media pers yang terbit pada awal abad 20 ini
saling bekerja sama sebagai pejuang keadilan sosial ketika berbagai surat kabar tidak
tertarik memberitakan topic-topik yang idealis dan lebih terfokus pada yellow
journalism.
Beberapa wartawan investigasi kemudian mengembangkan gaya penulisan jurnalisme
investigasi untuk kepentingan penulisan novel. Pada rentang waktu 1900-1914
muncul asosiasi penulis dan penerbit jurnalisme investigasi. Liputan jurnalisme
investigasi pun bertambah populer ketika jurnalis dan medianya menghadapi kekuatan
politik Presiden Theodore Roosevelt.
1.3.Bab III: Investigative dengan Depth
Pada peralihan abad 19 ke 20, berita dibuat menurut “apa yang dilakukan orang”
bukan “apa yang terjadi pada orang”. Sejalan dengan perkembangan masyarakat,
kerangka perumusan berita berkembang pula mengikuti tuntutan kebutuhan
masyarakat. Konsep tradisional apa, siapa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa
pun mulai diubah ke penekanan tertentu. Pelaporan mementingkan jawaban mengapa,
untuk memenuhi kebutuhan pemerintah masyarakat dan pemerintah akan penjelasan
berbagai kejadian yang dilaporkan wartawan. Wartawan dituntut untuk mengangkat
permasalahan dengan kriteria nilai berita yang yang berlatar belakang isu-isu
kompleks. Mereka harus melaporkan peristiwa dengan kedalaman dan kelengkapan
isu sosial yang akan memengaruhi kehidupan masyarakat.
Depth Reporting
MV. Kamath mengumpulkan berbagai definisi mengenai depth reporting, antara lain.
–Depth reporting adalah segala sesuatu yang membuat pembaca tahu mengenai
seluruh aspek aspek yang terjadi pada subjek dari kepastian informasi yang diberikan.
–Depth reporting menekankan sebuah kisah berita dengan ketelitian detail dan latar
belakang. Pembaca tidak hanya diberitahu mengenai apa yang terjadi melainkan
mengapa hal itu terjadi.
Kamath menekankan bahwa depth reporting ialah mengabarkan kepada kita
mengenai keseluruhan apa yang terjadi dari kisah yang terjadi. Sedangkan
tujuan depth reporting, menurut Ferguson dan Patten aialah untuk mendapatkan
kelengkapan pengisahan.
Pada satu sisi, pekerjaan depth reporting merupakan kegiatan yang menyegarkan,
melepas liputan peristiwa-peristiwa yang biasa dikerjakan. Wartawan akan merasa
lebih bergairah oleh materi liputan dan merasa tertantang untuk menelusuri kisah-
kisah besar. Namun pada sisi lain, tidak semua wartwan sanggup untuk terus-menerus
berkonsentrasi dan berada di area liputan yang sama selama beberapa waktu.
Selain memiliki proses reportase yang alot, depth reporting juga memiliki teknik
penulisan yang rumit. Keluasan data dan keterangan harus dipresentasikan kepada
sebuah fokus utama. Reporter menjadi seorang pengontrol keseluruhan kisah,
pengontrol tema dan detil. Pengisahan harus dapat memindahkan setiap bagian cerita
secara logis dan koheren dari awal sampai akhir.
Wartawan investigasi mencoba mendapatkan kebenaran yang tidak jelas, samar, atau
tidak pasti. Topik- topik investigasi mereka mengukur moralitas benar atau salah,
dengan pembuktian tak memihak yang didapat melalui riset. Bukan sekedar menolak
kesepakatan, tetapi menyatakan apakah sesuatu yang terjadi itu sesuai denganmoral
atau tidak.
Komponen Moral
Tujuan kegiatan jurnalisme investigasi adalah memberitahu kepada masyarakat
adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutup-nutupi kebenaran. Masyarakat
diharapkan waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagai
pihak.
Dari tujuan tersebut, dapat dilihat bahwa ada tujuan moral. Segala yang dilakukan
wartawan investigasi dimotivasi oleh hasrat untuk mengoreksi keadilan dan
menunjukkan adanya kesalahan.
Antara Paper and People Trail
Terdapat dua bentukan umum kerja jurnalisme investigasi, yaitu terkait dengan
pekerjaan menginvestigasi dokumen-dokumen, serta penyelidikan terhadap subjek-
subjek individu yang terkait dengan permasalahan. Kedua bidang umum reportase
investigasi ini diistilahkan dengan paper trails and people trails.
Paper trails mencakup pekerjaan mencari bahan-bahan dokumentasi dari publikasi
koran, majalah, televisi dan radio, buku-buku referensi, tesis dan
disertasi, database komputer dan juga internet. Penelusuran dokumen merupakan
sarana untuk mengecek kebenaran dari apa yang dikatakan narasumber terhadap suatu
peristiwa.
Sedangkan people trails terkait dengan kegiatan mendapatkan keterangan dari
narasumber yang berwenang dan kredibel untuk memperkuat pembuktian dari fakta
yang hendak dilaporkan.
Karakteristik
Andreas Harsono mengindikasikan kerja liputan investigasi yang antara lain memiliki
ciri sebagai berikut:
·Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk
membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis.
·Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti-kriminalitas. Dalam hal ini
termasuk melakukan metode penyamaran serta memakai kamera tersembunyi,
Dari keseluruhan kerja peliputan yang dilakukan jurnalisme investigasi ditemukan
beberapa unsur yang dapat dikenali menjadi karakteristik wacana reportase
investigasi. Menurut Steve Weinberg unsur-unsur tersebut antara lain: sumber
investigasi, hipotesis riset, sumber sekunder, pikiran dokumentatif, narasumber,
teknik riset, mengorganisir informasi dan menulis ulang, dan berpikir wisdom.
Reportase investigasi dapat dipahami melalui lima tujuan dan sifat pelaporannya,
yaitu.
1. Mengungkapkan kepada masyarakat, informasi yang mereka perlu ketahui
karena menyangkut kepentingan dan nasib mereka.
5. Harus ada idealisme, baik di dalam diri reporter maupun di sektor-sektor lain
pada organisasi penerbitan pers itu.
Reporter Investigatif
Dunia jurnalistik mengenal tiga tingkatan yang dilakukan reporter. Pada level
pertama, reporter melaporkan kejadian dan memaparkan apa yang terjadi. Level
berikutnya, mereka mencoba menjelaskan atau menginterpretasikan apa yang harus
dilaporkan. Dan pada level ketiga, mereka mencari bukti yang ada di balik sebuah
peristiwa.
Secara keseluruhan, dunia kerja peliputan wartawan merujuk pada tiga tipe reporter,
yaitu general reporters, specialist reporters, dan reporters with an investigative turn
of mind.
Reporter tipe general ialah para reporter yang mencari berita tanpa mengetahui lebih
dulu subjek pemberitaannya. Ia bekerja dalam ketergesaan deadline. Berita yang
diliput juga ditentukan editor.
Sementara itu, reporter specialist adalah reporter yang memiliki rincian keterangan
mengenai subjek liputan danmencoba menjelaskannya. Sedangkan para reporter yang
bekerja dengan pikiran investigative adalah salah satu dari kedua tipe reporter
sebelumnya. Reporter tipe ini selalu menyiapkan diri untuk mendengar berbagai hal
yang dikatakn orang kebanyakan. Reporter investigasi juga mencari pemikiran yang
berbeda dari orang-orang yang berbeda.
Kerja wartawan investigasi ibarat seorang penyelidik yang tengah meneliti dan
meluruskan berbagai kebohongan yang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu.
Wartawan investigasi bisa dibedakan dengan wartawan harian. Awal perbedaannya
terletak pada inisiatif wartawan investigasi yang tidak menunggu sampai suatu
masalah atau peristiwa timbul dan diberitakan. Akan tetapi wartawan investigasi
justru menampilkan permasalahan baru atau sesuatu hal yang baru.
Langkah Coroner
Seperti halnya Williams, Sheila Coroner juga membuat langkah-langkah kerja dalam
jurnalisme investigasi. Corner menunjukkan bahwa tahapan kegiatan investigasi dapat
diurutkan ke dalam dua bagian kerja. Bagian pertama merupakan bagian penjajakan
dan pekerjaan dasar, sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan
penyelesaian investigasi. Pada masing-ma-sing bagiannya terbagi ke dalam tujuh
bagian rinciannya. Tahap kerja tersebut adalah:
Bagian Pertama
Petunjuk awal.
Investigasi pendahuluan.
Pembentukan hipotesis.
Penjejakan dokumen-dokumen.
Pengorganisasian file
Penulisan
Pengecekan fakta
Jangan dipengauhi oleh narasumber utama. Carilah sumber lain dengan sudut
pandang yang lain.
Ingatlah bahwa setiap orang, setiap organisasi, dan setiap kejadian memiliki
sejarah yang memengaruhi peristiwa itu terjadi.
Selain itu, saran penting yang harus diperhatikan adalah sikap yang santun. Sikap ini
mendasari pekerjaan dalam menelusuri berbagai dokumen investigatif yang kerap
disembunyikan.
Dalam investigasi, riset mengenai informasi penting untuk dilakukan. Beberapa ahli
memasukkan kegiatan riset dalam tahapan kerja investigasi. Terdapat beberapa alasan
mengapa melakukan riset secara seksama merupakan hal yang penting di lakukan.
Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Memperkenalkan reporter ke dalam bahasa topik yang kompleks. Mereka
harus menjelaskan berbagai hal yang menyangkut pengertian terhadap dasar
permasalahan, serta berbagai prosedur teknis yang tengah diinvestigasi.
5. Memberikan petunjuk tentang the good things and the bad things, sesuatu yang
baik dan buruk, selama wawancara.
Precision Jurnalism
Melalui tulisannya, Philip Meyer mengingatkan jurnalisme tentang penggunaan
metode-metode ilmu pengetahuan sosial, seperti prosedur pemilihan sampel dan
penganalisisnya, sebagai alat untuk memvaliditaskan akumulasi fakta-fakta agar
mendekati ketepatan dan keobjektifan pemberitaan.
Hipotesis Investigasi
Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang adalah sarana untuk
membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis. Hipotesis sangatlah penting untuk
membantu wartawan memfokuskan diri dalam suatu investigasi.
Survei
Metode survei, termasuk poling kerap digunakan dalam kegiatan investigasi. Hal ini
dapat dilihat pada poling yang dilakukan saat pemilihan umum. Kerja peliputan
menggunakan riset ilmu sosial yang dapat menjadi alat bagi koran-koran yang hendak
menangkap sikap masyarakat pada berbagai masalah sosial.
Namun yang harus diwaspadai, masalah bisa timbul dari sampel orang-orang yang
disurvei. Mereka bisa saja tidak merepresentasikan keseluruhan kelompok yang
mewakilinya. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai kesalahan temuan yang hendak
dijadikan standar proyeksi dalam pelaporan pemberitaan.
Sumber-Sumber Informasi
Untuk memenuhi kebutuhan riset, dengan kelengkapan data yang diperlukan,
peliputan mesti mengenali berbagai sumber informasi yang layak, kredibel, dan sesuai
dengan tuntutan desain perencanaan riset. Peliputan jurnalisme memerlukan
perencanaan riset terhadap berbagai sumber informasi.
Strentz membedakan dua sumber berita yang bisa dilacak wartawan, yaitu sumber
berita konvensional dan sumber berita non-konvensional. Sumber berita konvensional
merupakan sumber informasi yang biasa didapat wartawan di dalam proses
operasional pencarian berita. Sedangkan, sumber berita non-konvensional adalah
sumber informasi yang didapat dengan cara khusus dan menyangkut sumber informasi
yang tidak biasa menjadi rekanan wartawan dalam meliput berita.
Selain itu, lebih dari separuh responden mengatakan bahwa internet bisa diandalkan.
Para wartawan itu juga mengatakan bahwa internet bisa diandalkan karena jaminan
keamanan serta banyaknya informasi yang disediakan. Studi ini menunjukkan para
wartawan tersebut banyak mengahbiskan waktu secara online.
Teknik Wawancara
Beberapa teknik wawancara menurut Nelson secara garis besar adalah.
Hasil wawancara harus senantiasa di cek dan re-cek, terutama menyangkut isu-
isu kontroversial.
Dalam menuliskan kembali hasil wawancara, hal yang kerap dilupakan penulis
adalah kaidah bahasa penulisan kalimat langsung menjadi tak langsung. Dan
apapun yang diletakkan di antara tanda kutip, kalimat itu harus tepat seperti yang
dikatakan.
Keterangan Narasumber
Beberapa jenis keterangan narasumber yang harus disepakati, sebelum bahan
wawancara ditulis antara lain.
On the record: Semua pernyataan boleh dikutip dengan menyertakan nama serta gelar
orang yang membuat pernyataan tersebut.
On Background: Semua peryataan boleh dikutip tapi tanpa menyertakan nama dan
gelar orang yang memberi peryataan tersebut.
Off the record: Informasi yang diberikan tidak boleh disebarluaskan. Dan juga
tidak boleh dialihkan kepada narasumber lain dengan harapan bahwa informasi itu
kemudian boleh dikutip.
Kualitas pertanyaan akan menentukan seberapa bagus berita dapat dibuat. Karena,
ajuan pertanyaan yang dilontarkan wartawan itu bisa berarti risiko, ancaman, dan
tekanan. Di dalam wawancara yang tengah berlangsung, hendaknya hindari
pertanyaan yang menggunakan kata perasaan.
Wartawan investigatif kerap menggunakan pertanyaan yang meminta klarifikasi.
Pertanyaan investigatif dapat menggunakan teknik manipulasi sikap seolah-olah
mengetahui fakta yang terjadi. Serangkaian pertanyaan juga dapat diajukan secara
sengaja walaupun jawabannya telah diketahui.
Selain itu, bagi wartawan investigatf, hal yang sangat mutlak adalah persiapan
membaca berbagai peristiwa kontemporer.
Jenis-Jenis Wawancara
Konferensi Pers: Konferensi pers sering diartikan sebagai suatu peristiwa yang
direncanakan oleh para pejabat atau pengusaha untuk kepentingan dan keinginan
sendiri. Suasana konferensi pers membuat wartawan sulit mendapat, atau mengejar
informasi yang berharga.
Jenis wawancara menurut Itule & Anderson adalah sebagai berikut.
Penulisan memerlukan upaya yang bersifat pengecekan, evaluatif, atau lontaran saran
dan pandangan dari pada narasumber yang telah menjadi informan di dalam pelaporan
tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan bagi penulisan investigasi dengan tujuan
menghindarkan terjadinya ketidaktepatan dan kesalahpahaman yang bisa berakibat
fatal.
Sistem ini menjamin panyajian hasil investigasi menjadi sepersis apa yang telah
didapat oleh wartawan di lapangan. Sistem memo ini merupakan berbagai berita
harian yang dikerjakan wartawan itu sendiri.
Melalui sistem memo, wartawan investigasi emiliki peluang yang terukur untuk
membuat sajian penulisan berita yang memikat. Hal ini dikarenakan bahan sudah
lengkap, sehingga tinggal menerjakan penulisan akhir saja. Ketika mengerjakannya,
dengan memanfaatkan memo-memo tersebut, pelaporan dengan mudah tinggal
mengurutkannya saja.
Carole Rich menyebut “5 Hal Penting” dalam penulisan berita. Rumus ini dapat
dijadikan variasi dari kaidah priramida terbalik. Kelima hal tersebut, yaitu: news (apa
yang terjadi atau akan diperitiwakan), context (latar belakang dari
kejadian), scope (apakah peristiwa lokal menjadi bagian dari peristiwa atau gejala di
tingkat nasional), edge (kemana berita hendak diarahkan dan apa yang terjadi
kemudian), dan impact (mengapa menajdi perhatian banyak orang). Sifat dramatis
juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan.
Melalui tiga babak pengisahan, struktur kisah dilaporkan. Pada bagian awal kisah
digambarkan adanya permasalahan. Bagian tengah menyiratkan berbagai kejadian
atau aksi. Sementara itu, akhir kisah dapat memberikan resolusi.
Penulisan investigasi tetap memakai dasar pelaporan yang biasa dikerjakan kalangan
jurnalis, yaitu: awal (lead), tubuh (middle), dan penutup (ending).
·Bagian awal
Banyak bagiannya yang menggunakan teknik penulisan yang didasari oleh kecakapan
penulisan sastra. Penjelasan yang berupa angka-angka atau statistical memerlukan
penanganan khusus agar pembaca tidak jenuh dengan uraian yang bersifat teknis.
Film Investigatif
Laporan investigasi dapat pula dikerjakan melalui film yang bersifat dokumenter. Dari
materi hingga riset, yang ada dalam ciri-ciri jurnalisme investigasi, semuanya sama.
Sifat dokumentatif memenuhi paparan audio-visual.
Salah satu pembuat film documenter investigatif independen yang terkenal adalah
Robert ritcher. Richer mendapatkan penghargaan seperti Dupont, Emmy Award,
Peabody, dan juga nominasi Academy Award atas karya-karyanya