PENULIS
Siti Rakhma Mary Herwati
Asfinawati
Muhamad Isnur
Arip Yogiawan
Febi Yonesta
Jane Aileen Tejaseputra
Maria Elysabeth Suatan
April Pattiselano Putri
ISBN
978-602-1152-18-8
KONTRIBUTOR
LBH Aceh - LBH Medan
LBH Padang - LBH Pekanbaru
LBH Palembang - LBH Lampung
LBH Jakarta - LBH Semarang
LBH Yogyakarta - LBH Bandung
LBH Surabaya - LBH Bali
LBH Makassar - LBH Manado
LBH Papua - Fanti Yusnita
Riyanti Agustina
EDITOR
Siti Rakhma Mary Herwati
PENERBIT
Yayasan LBH Indonesia
2
017 adalah tahun istimewa. Setahun sebelum 20 tahun reformasi,
menjelang Pilkada langsung dan persiapan Pemilu 2019. Bagi LBH-YLBHI
(selanjutnya disebut LBHI) secara internal 2017 juga istimewa karena
menandai dibuatnya kembali catatan akhir tahun (Catahu) yang berisi laporan
hukum-HAM dan kegiatan internal. Tetapi apa hubungannya Catahu ini dengan
momen politik negara?
Catahu LBHI adalah dokumentasi bantuan hukum/advokasi yang dilakukan
15 kantor LBH di 15 Provinsi dan pengurus LBHI. Ia direncanakan menjadi
dokumen yang berbicara tentang pelanggaran HAM di berbagai sektor
melintasi wilayah Indonesia dari ujung timur hingga ujung barat. Apakah petani
mendapatkan tanahnya? Apakah buruh menjadi sejahtera karena bekerja atau
mengalami kemunduran kehidupan karena bekerja dalam kondisi perbudakan
modern. Bagaimana dengan kelompok minorita, apakah mereka mengalami
diskriminasi semenjak lahir hingga meninggal?
Melalui Catahu, evaluasi terhadap sistem pemulihan juga dapat diketahui. Jangan
salah sangka, sistem bukan yang utama dalam Catahu ini melainkan hidup
manusia Indonesia. Apakah menjadi Indonesia artinya bisa dipulihkan nama
baiknya jika terdapat salah tangkap yang diikuti dengan penyiksaan? Apakah
berbhineka artinya bisa lolos dari tuduhan sewenang-wenang kerumunan
bahwa anda melakukan penodaan agama? Atau sebaliknya anda dipenjara
atau organisasinya dibubarkan? Apakah keadilan sosial artinya rumah, tanah,
udara, ingatan romantis masa kecil anda bisa dikembalikan apabila dirampas
perusahaan ataupun instansi pemerintah?
Oleh karenanya, Catahu ini (dan catahu-catahu mendatang yang akan lahir)
adalah kumpulan kisah tempat kita bercermin, apakah jargon-jargon, yang
disebarkan melalui berbagai alat, benar-benar terjadi atau hanya tinggal dalam
kata-kata. Dan inilah cara ini kita menilai. Kata-kata tanpa pelaksanaan adalah
politik. Kata-kata tanpa pelaksanaan adalah alat kekuasaan.
Selain menyajikan data tahun 2017, kami juga memaparkan kilasan kasus yang
ditangani LBH-YLBHI pada masa Orde Baru. Genapnya 20 tahun reformasi
bukan momen biasa yang harus lenyap tanpa makna. Reformasi 1998 adalah
tonggak bergeraknya Indonesia dari rezim otoritarian ke arah yang lebih
demokratis. Oleh karena itu, indikator kemajuan demokrasi Indonesia pantas
dilekatkan pada momen reformasi tersebut.
Selamat menemukan keIndonesiaan sesungguhnya dalam kehidupan manusia
Indonesia dari Papua hingga Aceh dalam catatan kami tahun 2017 ini. Melalui
kisah-kisah seperti inilah kita bisa menentukan pemimpin yang akan kita pilih
pada tahun politik 2018 bahkan 2019.
Asfinawati
3
WARGA NEGARA DAN PENGURUSNYA, ATAU
PERKAKAS-POLITIK DAN BOSNYA?
Rapor Tandingan Bagaimana Pengurus Republik Memperlakukan Negeri
dan Warganya: 1970-2017
Hendro Sangkoyo
Pelajar di School of Democratic Economics
M
enjelang akhir 2017, tiga tahun sebelum ulang tahunnya yang ke-50,
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – berbadan hukum Yayasan –
menerbitkan laporan rekaman kerjanya selama setahun, mencakup kegiatan
LBHI dan kelima belas kantor LBH di kepulauan Indonesia, beserta simpul-simpul
refleksi penting dari lapangan mengenai masalah-masalah genting bagi warga negara
dan respons bantuan hukum terhadapnya. Laporan sepanjang lebih dari 150 halaman
berikut ini mengungkap beberapa pertanda mencolok sebagai berikut. Pertama,
tingginya kebutuhan mendesak dari warga negara Indonesia akan bantuan hukum
untuk membela diri atau mempertahankan ruang hidupnya dari tindakan-dengan-
kekerasan dari pengurus negara. Kedua, di balik ragam kasus sengketa dengan sebaran
mencakup seluruh kepulauan, terbaca adanya semacam protokol tak tertulis untuk
mengorbankan syarat keselamatan manusia dan biosfera jangka panjang dalam kinerja
pengurus negara melayani pembesaran rerantai ekonomik, lewat berbagai mekanisme
dan instrumen pelancar maupun lewat perubahan tata kuasa dan tata kerja dari badan-
badan kenegaraan. Ketiga, masih awetnya sekatan-sekatan kewargaan, solidaritas sosial,
dan arena politik identitas yang diciptakannya, sebagaimana tersingkap dari beberapa
kasus penting yang YLBHI/LBH tangani.
Ketiga pertanda tersebut di atas mengundang pertanyaan tentang ada tidaknya
perubahan penting dan mendasar di antara episode 1960-1990-an dengan episode
sesudahnya sampai sekarang, dan ke arah mana sesungguhnya perubahan bergerak.
Lebih jauh, ketiganya juga menuturkan bagaimana perluasan medan akumulasi sebumi
yang berlangsung di kepulauan Indonesia, beserta proses politik di lingkar penguasa
yang memutuskan dan mengendalikan arah dan besaran perubahan, menaikkan
kekacauan dalam denyut harian kehidupan orang biasa beserta infrastruktur ekologis
yang menopang subsistensinya.
Siapa Butuh Bantuan? Catatan Akhir Tahun LBHI mengemukakan profil warga negara
peminta bantuan. Di tahun 2017, rasio perempuan/laki-laki dari peminta bantuan
adalah 40/60. Seperlimanya hanya menyelesaikan SMP atau SD, tidak tamat SD atau
tidak pernah bersekolah. Hampir separuh dari permintaan pembelaan datang dari
warga negara yang hanya lulus SLTA. Lebih dari 40 persen peminta bantuan adalah
buruh harian lepas, pekerja domestik, tidak bekerja, petani, pedagang kecil, dan nelayan.
Frekuensi penanganan kasus menurut sebarannya di lima belas provinsi juga sedikit
menyingkap primacy DKI Jakarta (1200 kasus), yang lebih besar dari jumlah kasus yang
4
ditangani di enam provinsi pada urutan di bawahnya (Surabaya, Padang, Yogyakarta,
Bali, Makasar, dan Bandung). Panjang pendeknya jarak dari ibu kota politik dan
jantung pengurusan publik tidak mencerminkan derajat keterpenuhan syarat keadilan.
Nyatanya, dari cacah kasus untuk Jakarta terdengar seolah-olah Jakarta adalah ibukota
kekacauan. Walaupun tidak sepenuhnya salah, barangkali ceritanya lebih mirip dengan
posisi instalasi gawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, di
mana kasus-kasus paling runyam dari mana-mana dirasakan perlu untuk dibawa ke
Jakarta.
Penggolongan kasus ke dalam konteks perkara juga menarik dipertimbangkan.
Ditanganinya 139 kasus yang menyangkut tata usaha negara di tahun 2017 cukup jelas
menunjukkan tingginya masalah di situ: rata-rata ada satu masalah muncul dalam
urusan TUN setiap tiga hari.
“Si miskin” dan “si lemah”, dua dramatis personae dalam alasan menyejarah kenapa
LBH ada, muncul dalam berbagai arena politik sebagai golongan dan wujud pribadinya.
Bagaimana warga negara meraih gelar si miskin atau si lemah sendiri - seperti
representasi ikonologisnya dalam logo LBHI – sudah tentu memerlukan tuturan
tentang kedua atribut tersebut sebagai relasi kemasyarakatan rakitan, bukan sebagai
penanda posisi si subyek pada pita ukur ekonomistik, seperti yang secara khusuk masih
terus dilakukan dalam ritus kenegaraan tahunan untuk menghitung siapa hidup di
bawah atau di atas garis kemiskinan, atau siapa lebih rentan untuk terperosok ke dalam
status miskin uang. Ketika seseorang mengalami kekerasan karena penolakannya atas
satu rencana investasi, misalnya, sejauh menyangkut relasinya dengan pengurus negara,
yang bersangkutan mengalami dua kali pergeseran relasi. Pertama, perubahan status
politik dari warga masyarakat dan warga dari ruang hidup menyejarahnya, dengan
otonomi untuk mereproduksi kehidupan sosialnya, menjadi instrumen dari tujuan-
tujuan politik/ekonomik kenegaraan yang dilekati kekuatan memaksa. Di tahap ini
hak warga untuk mempertahankan kewargaan ruang hidupnya diam-diam dibatalkan.
Pergeseran kedua berpotensi menjadikan si warga negara sebagai korban ganda. Ketika
dia menggunakan “hak veto”nya untuk menolak obyektivasi dan pengorbanan dirinya,
dia dihadapkan pada kekuatan negara untuk menghukum ketidakpatuhannya.
Tamatnya Jaman Pembangunan Jilid Satu: Panjang Umur Pembangunan! Apabila tahun
1997 bisa dibaca sebagai penanda dari berakhirnya masa kembang orde pembangunan
jilid satu pasca Soekarno sejak 1967, apakah ada ciri-ciri khas dari masa dua puluh
tahun berikutnya sampai dengan 2017 yang membedakannya dari masa sebelumnya?
Apakah pembaruan dan reorganisasi institusi-institusi kenegaraan bisa dianggap
sebagai representasi dari pembaruan watak politik sebuah rezim? Lebih jauh, macam
apakah semangat jaman dari instrumen-instrumen politik baru yang disahkan setelah
1998? Meskipun laporan ini tidak secara khusus mengungkapkan pemeriksaannya atas
beberapa soal tersebut, cukup jelas bahwa di balik rapor kemajuan, ada gejala stagnasi
dan kemunduran dalam dua dekade terakhir ini, dibandingkan dengan tiga dekade
sebelumnya.
5
Kompilasi kasus dari kelima belas kantor LBH di atas, masing-masing beroperasi
seperti pos ronda 24 jam di garis depan krisis yang dihadapi warga, memberikan
sekelumit gambaran keadaan kehidupan orang biasa hari ini: pengawetan tekanan
batin traumatik “seusai” perang (konflik bersenjata); penertiban paksa perilaku pribadi;
perusakan ekonomi tani subsistensi lewat operasi industry keruk, kebun monokultur
dan pembongkaran hutan; pemerasan tenaga kerja industri; korupsi; kewargaan
berbatas-tanggal di hutan negara vs. kewargaan ruang hidup adati menyejarah/
permanen; intoleransi antar rombongan solidaritas sekatan; diskriminasi dan kekerasan
pada perempuan dan kanak-kanak; pemidanaan pelaku dan tindakan protes/umpan
balik pada pengurus publik; pengawasan dan pembatasan kerumunan/berkumpulnya
warga negara; pengusiran paksa pedagang kecil dan warga miskin dari ruang-ruang
kenyamanan di kota; reproduksi relasi kuasa kolonial dari monarki lokal; dan kekerasan
infrastruktur.
Pada ranah institusional, laporan tahunan ini juga mengemukakan beberapa kasus
sejak 1960-an sampai sekarang, menyangkut antara lain, penerbitan instrumen politik
(“kebijakan”) yang melemahkan rasionalitas publik atau menggantikannya dengan
rasionalitas pasar, pembangkangan manajer negara di hadapan hukum, penggunaan
aparatus kekerasan negara untuk menjawab protes warga negara, sikap dan perlakuan
awak kantor-kantor negara terhadap investor atau rencana investasi modal, dan
sebagainya. Kasus-kasus penting tersebut menunjukkan terus menjalarnya korupsi
bukan saja atas aliran keuangan publik, tetapi juga korupsi atas mandat dari badan-
badan publik yang menjadi tanggung gugatnya.
Dari pembandingan kasus-kasus yang LBHI tangani antar dekade serta refleksi kasus-
kasus paling menonjol dari masing-masing kantor LBH yang dirinci dengan tajam
dalam laporan, tidak ada perubahan mendasar di antara rezim perubahan 1970-1998
dan rezim perubahan sesudahnya. Padahal, selama itu telah berlangsung reorganisasi
birokrasi negara, modifikasi portofolio dari cabang-cabang pengurusan dan proses
politik elektoral formal, program legislasi nasional yang ambisius cakupannya,
pembaruan protokol pengurusan publik termasuk penerapan otonomi pengurus
daerah, pembentukan badan-badan struktural termasuk KPK, bahkan amandemen
atas konstitusi yang lebih panjang dari batang tubuh konstitusinya sendiri.
Di luar lingkup laporan, mudah dikenali adanya kesamaan watak tersebut di atas.
Pengenalan protokol kepatuhan operasi birokrasi negara pada syarat-syarat kelayakan
ekologis yang lebih menyeluruh maupun pengetatan kendali penggunaan ruang-ruang
daratan dan perairan pulau lewat instrumen politik pada berbagai jenjang, harus
berhadapan dengan terus diterapkannya moda operasi dari kantor-kantor kenegaraan
yang pretensi dan fokus capaiannya adalah pembesaran nilai uang dari sektor-sektor
rerantai ekonomiknya masing-masing. Di balik keriuhan sirkus huru-hara yang
bikin rakyat bukan cuma setrès tapi juga pontang-panting macam itu, tuntutan akan
pembelaan hukum ternyata berhadap-hadapan dengan praktik penggunaan beberapa
kata-kunci yang terdengar normal, seperti ketertiban umum, kepentingan umum, atau,
6
tentu saja, pembangunan, sebagai representasi dari kekerasan sistematis/terorganisir,
pembatalan kewargaan dari ruang-ruang hidup bersama. Begitu pula dengan janji bahwa
derita dari penggusuran, ketakutan, atau kerusakan ruang-hidup akan melahirkan
kemajuan dan kesejahteraan (baca: kesejahteraan ternak) yang takaran maupun cara
ukurnya berwatak klinis, dan dikenakan serta diputuskan secara sepihak dari luar basis
pengalaman si subyek politik.
Seperti bisa dibaca dari bagian-bagian laporan ini, tingginya masalah “tata-usaha negara”
juga berjalan serentak dengan penggunaan berbagai ujud kekerasan terhadap warga
negara. Gelombang penguasaan petak-petak daratan pulau yang tak pernah surut sejak
1970-an adalah bentuk kekerasan paling mencolok pada sistem-sistem kehidupan di
pulau-pulau bermuatan bahan mentah industrial. Dia hanya bisa berlangsung dengan
kekerasan, dan akan melahirkan kekerasan sebagai respons terhadapnya. Perubahan
agraria, masih dituturkan sebagai gejala alami dari modernisasi kehidupan yang
terdengar wajar atau bahkan membahagiakan, dalam kenyataan sehari-hari kehidupan
warga negara adalah medan-medan kekerasan yang acapkali menyangkut soal hidup-
mati.
Koloni-Koloni Identitas dan Kelas-Kelas Persemakmuran Proses-proses pembentukan
hukum pasca dekolonisasi di Republik Indonesia telah digambarkan oleh beberapa
pelajarnya sebagai kelanjutan dari adanya kemenduaan di episoda akhir Hindia
Belanda, di antara orientasi pada bentukan-bentukan sosial asli pra-kolonial yang
memungkinkan kemajemukan rezim hukum di satu pihak, dengan imajinasi rezim
hukum terpadu yang mengacu pada pengalaman Eropa di lain pihak. Lebih rumit
sedikit dari sekedar polaritas atau dikotomi, dinamika dari kubu pertama, sebagai
ilustrasi, juga berkelindan dengan kontradiksi di antara penghormatan pada keragaman
sejarah sosial/kultural tanah jajahan di satu pihak, dengan manfaat kemajemukan rejim
hukum untuk mencegah terujudnya prospek penyatuan politik di bawah citra diri
kebangsaan. Pada dekade kedua abad ke dua puluh satu sekarang, jejak perkembangan
tersebut muncul kembali ke permukaan dengan muatan kepentingan, imajinasi,
arena-arena politik dan simbol-simbol baru, yang juga mengalami perumitan karena
perubahan-perubahan baru pada skala ruang transnasional. Politik identitas, jauh
melampaui representasi soal hak asal-usul atau kemajemukan bentukan sosial dalam
pembelaan kesetaraan hak dan perlindungan negara atas warganya, sekarang juga
bisa dimuati berbagai agenda ekonomik yang rumit bangunan kepentingannya. Boleh
jadi melampaui cakupan pemeriksaan dari pos-pos ronda garis depan LBHI, duduk
perkara dari kekacauan sosial di kepulauan tampaknya ikut mempengaruhi proses
belajar bersama yang melibatkan si lemah dan si miskin, dan juga telah dimanfaatkan
dengan cerdas oleh kepentingan-kepentingan penguasaan ruang-ruang ekonomik di
situ, termasuk dalam konteks pembesaran rerantai keuangan dari industri-kompensasi
emisi karbon, maupun industri keuangan fiktif yang menyetarakan keberfungsian
infrastruktur ekologis pulau sebagai jasa bernilai uang dalam transaksi pasar. Tuntutan
mendasar dari rombongan-rombongan keturunan penghuni-awal kepulauan akan
pengakuan kewargaan ruang-hidup-menyejarahnya telah melunak dan bergeser
7
asasnya menjadi tuntutan hak bagi-hasil dalam persemakmuran ekstraktivisme-baru
yang justru memperdalam krisis. Penunjuk-penunjuk kunci dari keragaman kasus
bantuan hukum seperti perdata, pidana, tata-usaha negara, korupsi, atau kekerasan,
sekarang memerlukan kepekaan akan kesejarahan dari perkaranya lebih dari yang
sudah-sudah.
Soal-soal kunci dalam politik kelas yang mencari jalannya sendiri sejak Suharto,
termasuk dalam arena politik perburuhan dan politik-tani, juga telah berubah konteks
sosialnya di tengah perubahan pesat dalam moda perluasan sirkuit-sirkuit utama
kapital yang bersifat sebumi. Perubahan tersebut juga tercermin dalam bujukan
untuk mundur dari soal-soal klasik tentang keadilan dan penghisapan, dan untuk
bergabung dalam persemakmuran antar kelas, dalam sebuah arena ketidaksepakatan,
di antara kepentingan jangka-panjang reproduksi sosial yang utuh dengan kepentingan
kelanggengan akumulasi. Tabiat neoliberal di balik reorganisasi negara sendiri
dalam setengah abad ini sesungguhnya menyiratkan adanya konflik politik di antara
pemaknaan sempit dan sepihak oleh para manajer negara atas manfaat dan ongkos
dari pembesaran rerantai ekonomik, dengan pemaknaan tandingannya yang masih
tersekat-sekat menurut lintasan sejarah sosial yang dituturkan di atas. Efek meniru yang
diciptakannya tidak bisa dipandang remeh, seperti ketika media komersial dan sidang
kelas-menengah yang mengonsumsinya beramai-ramai menyalahkan dan menghardik
si miskin dan si lemah korban penggusuran proyek-proyek perampasan tanah atau
konstruksi infrastruktur di berbagai tempat, atas nama pertimbangan manfaat dan
ongkos.
Medan-medan telaah ini sekarang sesungguhnya memerlukan perhatian dan
pemeriksaan lebih seksama, terutama di tengah percepatan pembesaran hutang negara
dan privatisasi aset publik pada masa banjir pembangunan jilid dua sekarang, yang
ongkos dan risikonya akan harus ditanggung oleh warga masyarakat pekerja di masa
depan.
Bantuan Hukum: Mekanisme Ombud Kaki-Lima, Gerakan Keadilan, atau Subyektivasi
Politik Warga Negara? Di balik kelengkapan dan ketajaman uraian dari risalah
2017 ini, juga terbaca adanya kegamangan dalam memberi makna pada kekayaan
pengetahuan yang terbentuk dari pengalaman pembelaan di garis-depan krisis.
Semangat zaman di awal lahirnya LBHI dulu, meskipun berada di zona waktu yang
paling kelam di paruh kedua 1960-an, terlihat lebih jelas hitam putihnya dibandingkan
dengan yang ada sekarang, yang diwarnai oleh kemajemukan rezim pemaknaan dari
rombongan-rombongan sosial menyejarah yang mewarisi solidaritas dalam sekatan
dari masa lampaunya. Sebagian masalah relatif lebih mudah dipahami dan dituturkan
generalisasinya. Salah satu yang terpenting dalam hal ini adalah kecenderungan
penggunaan aparatus kekerasan negara, sebagaimana dikemukakan dengan baik dalam
laporan ini, yang berurusan dengan soal ketakutan. Keberlangsungan produksi-nilai
yang berwatak mengganggu kehidupan warga negara membutuhkan reproduksi rasa
takut secara sistematis dan besar-besaran, dan Indonesia bukan perkecualian.
8
Lebih ribet sedikit adalah penggunaan kata-kunci keadilan dalam pembelaan atau
bantuan hukum. Konteks ganda dari tuntutan keadilan hari ini adalah kemajemukan
bentukan sosial di hadapan arena politik kelas, dengan beberapa pertimbangan
kesejarahan tersebut di atas. Begitu pula, citra-diri LBHI sebagai ombud independen
dalam konteks pembaruan hukum, menjadi cukup problematis di tengah penguatan
gejala privatisasi dari proses-proses kenegaraan yang hendak dilurus-luruskan.
Kita sekarang berada dalam sebuah kekacauan dan badai-moral, di mana tuturan
tandingan dari basis pengalaman orang biasa dan proses belajar pada tingkat
akar rumput menjadi tumpuan terpenting untuk melawan pembesaran entropi
sosial ekologis di kepulauan. Ketika janji atau harapan “perbaikan” lewat bantuan
hukum sendiri juga berpotensi menjadi bagian dari masalah, barangkali cukup
mendesak untuk membayangkan bahwa laporan-laporan LBHI di tahun-tahun
mendatang juga akan memuat cerita-cerita dengan kata ganti orang pertama,
tentang proses belajar menjadi subyek politik, beserta proses pembentukan
pengetahuan dan kata-kata kunci tandingan tentang politik hukum serta
lokasinya dalam perubahan sosial ekologis.
9
DAFTAR ISI
PENGANTAR.............................................................................................. 3
WARGA NEGARA DAN PENGURUSNYA, ATAU PERKAKAS-
POLITIK DAN BOSNYA?.......................................................................... 4
DAFTAR ISI................................................................................................ 10
DAFTAR TABEL ........................................................................................ 12
DAFTAR GRAFIK ..................................................................................... 13
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 14
VISI...............................................................................................................15
MISI..............................................................................................................15
SISTEMATIKA LAPORAN......................................................................15
STRUKTUR KEPENGURUSAN YLBHI 2017......................................16
RUANG LINGKUP KERJA BANTUAN HUKUM YLBHI DAN
LBH ..............................................................................................................16
MEKANISME KERJA BANTUAN HUKUM........................................20
SEKILAS SEJARAH LBH INDONESIA.................................................21
PROFIL KERJA KANTOR-KANTOR LBH...........................................22
SUMBER DAYA MANUSIA LBH INDONESIA..................................26
DATA PENANGANAN KASUS LBH INDONESIA............................27
LAPORAN KEUANGAN.........................................................................31
BAB II CAPAIAN-CAPAIAN .................................................................... 34
CAPAIAN-CAPAIAN ..............................................................................34
KESIMPULAN...........................................................................................67
BAB III ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH............... 68
LBH SEMARANG KASUS SEMEN KENDENG..................................68
LBH SURABAYA........................................................................................71
LBH BANDUNG........................................................................................75
LBH PEKANBARU....................................................................................76
LBH PEKANBARU....................................................................................77
LBH BANDA ACEH .................................................................................78
LBH JAKARTA...........................................................................................80
LBH JAKARTA...........................................................................................85
LBH MAKASSAR.......................................................................................86
LBH SURABAYA........................................................................................88
LBH BALI....................................................................................................95
LBH LAMPUNG........................................................................................95
LBH PADANG............................................................................................95
10
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH YOGYAKARTA.................................................................................97
KESIMPULAN...........................................................................................99
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM
NASIONAL.................................................................................... 100
KEBIJAKAN PEMERINTAH 2017 DAN RESPON YLBHI-LBH.....100
PERAMPASAN LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR....................................................................................114
PEMBIARAN KONFLIK AGRARIA DAN KRIMINALISASI...........130
BAB V LBH DARI MASA KE MASA......................................................... 140
PERAMPASAN LAHAN..........................................................................140
KASUS-KASUS LINGKUNGAN HIDUP.............................................147
EXTRA JUDICIAL KILLING .................................................................148
PENGHILANGAN PAKSA......................................................................149
PERSEKUSI.................................................................................................149
PENEMBAKAN MISTERIUS 1982 – 1985...........................................150
DUKUN SANTET.....................................................................................150
TRAGEDI MEI 1998.................................................................................151
HAUR KONENG........................................................................................151
KEBEBASAN BERSERIKAT, BERKUMPUL, DAN
BEREKSPRESI............................................................................................152
KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN.........................157
PENGGUSURAN.......................................................................................159
FAIR TRIAL................................................................................................160
PEMBANGUNANISME...........................................................................161
PELEMAHAN POLITIK OPOSISI ........................................................164
PELEMAHAN DAN PEMBERANGUSAN KEBEBASAN
BERSERIKAT .............................................................................................165
BAB VI......................................................................................................... 170
PENUTUP................................................................................................... 170
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 173
11
YLBHI
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Struktur Personalia Badan Pengurus YLBHI Periode 2017 – 2021 ... 17
Tabel 2. Nama-nama Direktur LBH Indonesia.................................................... 18
Tabel 3. Sumberdaya Manusia LBH Indonesia..................................................... 27
12
CATATAN AKHIR TAHUN
DAFTAR TABEL
Grafik 1. Ruang Lingkup Bantuan Hukum....................................................... 20
Grafik 2. Mekanisme Kerja Bantuan Hukum LBH Indonesia....................... 21
Grafik 3. Jumlah Pengaduan ke LBH Indonesia.............................................. 28
Grafik 4. Jumlah Pelapor berdasarkan Tingkat Pendidikan........................... 28
Grafik 5. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Kelamin..................................... 29
Grafik 6. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Masalah..................................... 29
Grafik 7. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Pekerjaan................................... 30
Grafik 8. Jumlah Pelapor berdasarkan Jumlah Penghasilan........................... 31
Grafik 9. Jenis Konflik Agraria........................................................................... 31
Grafik 10. Penyebab Konflik................................................................................. 131
Grafik 11. Tipe Konflik.......................................................................................... 132
13
YLBHI
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
C
atatan akhir tahun ini adalah laporan pertama yang diterbitkan Badan
Pengurus YLBHI periode 2017 – 2021. Laporan akhir tahun dan
publikasinya merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik dan
penting untuk meningkatkan kepercayaan publik. Laporan tahunan juga dapat
menjadi sarana advokasi dan penyadaran publik termasuk komunitas marjinal.
Mereka yang selama ini didiskriminasi dapat memperoleh pemahaman tentang
apa yang sesungguhnya menimpa mereka melalui data-data pelanggaran yang
disajikan dalam laporan tahunan. Bagian pendahuluan ini berisi uraian singkat
mengenai keorganisasian YLBHI dan tujuan laporan. Bab II berisi kisah-kisah
sukses penanganan kasus YLBHI. Bab III berisi penanganan kasus-kasus
penting YLBHI-LBH. Bab IV berisi analisis kebijakan situasi hukum dan hak
asasi manusia nasional. Bab V tentang LBH dari masa ke masa. Terakhir bab VI
adalah penutup.
Sejak menjabat pada 10 Januari 2017, badan pengurus YLBHI di bawah
kepemimpinan Asfinawati melakukan berbagai kegiatan untuk memperkuat
konsolidasi internal dan memperkuat advokasi dan bantuan hukum YLBHI
beserta 15 kantor LBH.
Pengurus YLBHI telah melakukan kunjungan asesmen ke 15 kantor LBH untuk
untuk melakukan pemetaan masalah internal dan eksternal yang dihadapi Para
Pengabdi Bantuan Hukum di wilayah masing-masing, kekuatan dan kelemahan
LBH Kantor, pemetaan peluang dan strategi yang dapat dikembangkan, strategi
advokasi, serta harapan-harapan LBH Kantor terhadap Pengurus YLBHI. Hasil
dari asesmen tersebut akan digunakan sebagai salah satu bahan untuk menyusun
perencanaan strategis dan program kerja bersama YLBHI-LBH 2017-2021.
Selain itu, YLBHI juga mengadakan pra-rakernas-renstra dalam bentuk
Focussed Group Discussion (FGD) dengan melibatkan jaringan kerja advokasi
guna membahas beberapa tema sebagai berikut:
1. Agraria dan Lingkungan
2. Keadilan dan Kesetaraan Warga
3. Pengembangan dan Peningkatan Ekonomi
4. Kampanye dan Protokol Keamanan
5. Peradilan
YLBHI-LBH juga telah mengadakan Perencanaan Strategis pada 8 – 10 Agustus
2017 dan menghasilkan Isu Strategis dan Program Strategis. Adapun Visi Misi
YLBHI 2017 sebagai berikut:
14
CATATAN AKHIR TAHUN
VISI
YLBHI bersama dengan komponen-komponen masyarakat berupaya untuk:
- terwujudnya suatu sistem masyarakat hukum yang terbina di atas tatanan
hubungan sosial yang adil dan beradab/berperikemanusiaan secara
demokratis
- terwujudnya suatu sistem hukum dan administrasi yang mampu menyediakan
tata cara (prosedur-prosedur) dan lembaga-lembaga melalui mana setiap
pihak dapat memperoleh dan menikmati keadilan hukum
- terwujudnya suatu sistem ekonomi, politik, dan budaya yang membuka akses
bagi setiap pihak untuk turut menentukan setiap keputusan yang berkenaan
dengan kepentingan mereka dan memastikan bahwa keseluruhan sistem itu
tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
MISI
Agar Visi tersebut dapat terwujud, YLBHI akan melaksanakannya dalam
serangkaian kegiatan (MISI) berikut ini:
- menanamkan, menumbuhkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai negara
hukum yang berkeadilan, demokratis, serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa kecuali;
- menanamkan, menumbuhkan sikap kemandirian serta memberdayakan
potensi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin sedemikian rupa
sehingga mereka mampu merumuskan, menyatakan, memperjuangkan, serta
mempertahankan hak-hak dan kepentingan mereka baik secara individual
maupun kolektif;
- mengembangkan sistem, lembaga-lembaga, serta instrumen-instrumen
pendukung untuk meningkatkan efektifitas upaya-upaya pemenuhan hak-
hak laposan masyarakat yang lemah dan miskin;
- memelopori, mendorong, mendampingi, dan mendukung program
pembentukan hukum, penegakan keadilan hukum, dan pembaharuan
hukum nasional sesuai dengan Konstitusi dan Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia;
- memajukan dan mengembangkan program-program yang mengandung
dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial ekonomi, budaya dan jender,
utamanya bagi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin.
SISTEMATIKA LAPORAN
Catatan Akhir Tahun ini diawali dengan Pendahuluan yang berisi pengantar
mengenai mengapa Catatan Akhir Tahun ini dibuat, visi dan misi YLBHI, dan
15
YLBHI
2017, statistic penanganan kasus LBH Indonesia yang bersumber dari beberapa
sistem pendokumentasian kasus, profil YLBHI dan 15 LBH kantor, dan laporan
keuangan YLBHI.
Bab II Catatan Akhir Tahun ini berisi capaian-capaian atau beberapa cerita
sukses penanganan kasus LBH Indonesia. Cerita sukses penanganan kasus
tidak mesti diukur dari kemenangan kasus tersebut di pengadilan, tetapi juga
keberhasilan penanganan non-litigasi disertai dengan pembelajarannya.
Bab III mengenai advokasi LBH Indonesia. Bagian ini memuat peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi di daerah-daerah selama tahun 2017. Kejadian-
kejadian tersebut di antaranya konflik agraria, pelanggaran hak masyarakat atas
lingkungan hidup, kasus-kasus perburuhan, pelanggaran hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan, dan kasus kebebasan berekspresi dan berserikat.
Sedangkan Bab IV berisi analisis kebijakan situasi hukum dan hak asasi
manusia nasional. Bagian ini mengalisis kebijakan-kebijakan pemerintah yang
bermasalah sepanjang tahun 2017 dan respon YLBHI. Selain itu, kebijakan
infrastruktur dan konflik agrarian diulas tersendiri mengingat meledaknya
kasus-kasus pembangunan infrastruktur dan konflik agraria sepanjang 2017.
Bab V berisi LBH dari Masa ke Masa yang merupakan kilas balik kasus-kasus
yang ditangani LBH pada masa lalu dan melihat relevansinya dengan kasus-
kasus yang terjadi sekarang.
Bab VI adalah penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh bagian.
PENDIRI:
Prof. Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution
PEMBINA:
1. Nursyahbani Katjasungkana, S.H.
2. Abdul Rahman Saleh
3. Mia Puspawati
4. Prof. Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution
5. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LLM.
6. Aristides Katoppo
7. August Parengkuan
8. Dr. Ing. H. Fauzi Bowo
9. Dr. Frans Hendra Winarta, S.H.
16
CATATAN AKHIR TAHUN
PENGAWAS:
1. Nazaruddin Nasutin, S.H., MA (Ketua)
2. Nur Ismanto, S.H., MSi.
3. Dindin S. Maolani, S.H.
4. Hj. Sakurayati Trisna, S.H.
5. Hotma Padan Dapotan Sitoempoel, S.H.
No Nama Posisi/Jabatan
17
YLBHI
18
CATATAN AKHIR TAHUN
19
YLBHI
6. Isu terkait hak atas peradilan yang adil, termasuk isu salah tangkap, peradilan
PENDAHULUAN
20
CATATAN AKHIR TAHUN
konsisten menempati angka yang tidak terlalu tinggi (52,4%). Begitu pula
supervisi dan evaluasi yang secara konsisten sangat rendah angkanya yaitu 15
,5% dan 17,9%. Sebanyak 41, 7% mengatakan mekanisme kerja bantuan hukum
dilakukan melalui rapat bidang.
Grafik 2. Mekanisme Kerja Bantuan Hukum LBH Indonesia
21
YLBHI
22
CATATAN AKHIR TAHUN
4. LBH Pekanbaru
Kerja-kerja bantuan hukum struktural LBH Pekanbaru didominasi
dengan konflik agraria, terutama di sektor perkebunan, kehutanan, dan
pertambangan. LBH Pekanbaru bersama jaringan, aktif mendorong
pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat.
Di isu perburuhan, LBH Pekanbaru memfokuskan kerja-kerjanya untuk
menangani kasus-kasus pelanggaran hak normatif dan pemutusan hubungan
kerja. LBH Pekanbaru juga menaruh perhatian pada isu pengungsi luar
negeri, yang populasinya cukup signifikan di Pekanbaru.
5. LBH Palembang
LBH Palembang banyak memberikan perhatian terhadap isu penggusuran
paksa, baik terhadap pemukiman masyarakat maupun pedagang kaki
lima. Di isu perburuhan, LBH Palembang banyak menangani masalah hak
normatif pekerja dan pemutusan hubungan kerja. Sementara di isu agraria,
sengketa penguasaan tanah antara masyarakat melawan perusahaan
perkebunan yang kerap kali berujung pada kriminalisasi juga menjadi fokus
kerja LBH Palembang.
6. LBH Lampung
LBH Lampung banyak melakukan kerja-kerja bantuan hukum struktural di
isu agraria, isu perburuhan, dan isu penyiksaan. Konflik agraria merupakan
isu terbesar yang ditangani LBH Lampung sejak paska reformasi. LBH
Lampung juga melakukan pengorganisasian petani dan mayarakat dengan
bergabung dalam Dewan Rakyat Lampung. Isu agraria yang ditangani LBH
Lampung terkait konflik masyarakat desa dengan perusahaan perkebunan
sawit, nanas, dan tebu.
7. LBH Jakarta
LBH Jakarta merupakan kantor LBH yang pertama kali didirikan di tahun
1970. Dalam kerja-kerja bantuan hukum, LBH Jakarta banyak memfokuskan
dirinya di penanganan isu kelompok minoritas, isu peradilan yang adil, isu
perkotaan dan mayarakat urban, isu perburuhan, serta isu perempuan dan
anak. Di isu perburuhan, LBH Jakarta menemukan bahwa pelanggaran
hak-hak buruh dilakukan dengan pola: kriminalisasi, pembatasan hak
berkumpul dan menyatakan pendapat, dan pelanggaran hak-hak normatif.
Di isu kelompok minoritas dan rentan, LBH Jakarta menaruh perhatian
pada kasus-kasus pelanggaran hak berkumpul kelompok LGBT dan kasus-
kasus kemerdekaan beragama atau berkeyakinan yang jumlahnya semakin
meningkat. Selain berupa pembubaran kegiatan, kriminalisasi merupakan
pola pelanggaran yang juga ditemukan.
Di isu perkotaan, LBH Jakarta juga menemukan kriminalisasi sebagai pola
pelanggaran terhadap masyarakat korban. Selain itu, tindakan kekerasan
23
YLBHI
24
CATATAN AKHIR TAHUN
25
YLBHI
26
CATATAN AKHIR TAHUN
27
YLBHI
Dari seluruh pelapor, laki-laki adalah yang terbanyak (1603 orang), sedangkan
28
CATATAN AKHIR TAHUN
perempuan 992 orang. Selengkapnya dapat dilihat dalam grafik berikut ini:
Grafik 5. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Kelamin
29
YLBHI
Sebagian besar pelapor bekerja sebagai wiraswasta (454 orang), buruh harian
PENDAHULUAN
lepas (398 orang), karyawan kontrak (357 orang), dan tidak bekerja (332 orang).
Sisanya petani, pedagang, pegawai, nelayan, dan lain-lain.
Grafik 7. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Pekerjaan
30
CATATAN AKHIR TAHUN
LAPORAN KEUANGAN
Penerimaan YLBHI Per November 2017
No Keterangan Nominal
1 Penggalangan Dana BP YLBHI 1,042,901,730
2 Yayasan TIFA 983,880,000
3 The Asia Foundation (Cegah) 456,236,000
The Asia Foundation (Maju) 1,688,970,910
4 American Friends Service Committee DEP 489,646,105
5 European Climate Foundation 557,970,000
6 Rights and Resources Initiative 313,937,500
7 Lainnya 24,677,075
TOTAL 5,558,219,320
31
YLBHI
No Keterangan Nominal
1 Biaya Advokasi Kasus 188,178,858
2 Biaya Advokasi Kebijakan 62,049,023
3 Biaya Penelitian Kasus 303,840,197
4 Biaya Koordinasi Jaringan Masyarakat Sipil 489,646,105
5 Biaya Pemberdayaan Hukum Masyarakat 44,310,000
6 Biaya Peningkatan Kapasitas Hukum 400,250,785
7 Biaya Pengembangan Organisasi 1,605,466,789
8 Biaya Publikasi Bantuan Hukum 382,166,063
9 Biaya Pendokumentasian kasus 327,602,000
10 Biaya Overhead 850,403,363
11 Biaya Lainnya : 20,698,174
TOTAL 4,674,611,357
Penerimaan YLBHI Per November 2017
No Keterangan Nominal
Sumbangan Tidak Tetap (Kontribusi ruangan,
1 70,840,064
sewa mobil, penjualan aset, dll)
2 Sumbangan dari BP & Staf YLBHI 798,268,142
3 Sumbangan publik 173,793,524
TOTAL 1,042,901,730
32
CATATAN AKHIR TAHUN
33
YLBHI
BAB II
CAPAIAN-CAPAIAN
CAPAIAN-CAPAIAN
B
agian ini berisi capaian-capaian atau beberapa cerita sukses penanganan
kasus LBH Indonesia. Cerita sukses penanganan kasus yang diungkapkan
Para Pengabdi Bantuan Hukum tak mesti diukur dari kemenangan kasus
tersebut di pengadilan, tetapi juga dari keberhasilan pengorganisasian atau
penanganan non-litigasi. Beberapa kasus yang diceritakan sudah berlangsung
sejak sebelum tahun 2017 dan masih berlanjut hingga 2017.
34
CATATAN AKHIR TAHUN
adanya rencana pembangunan PLTU. Warga tak pernah dilibatkan sama sekali
baik dalam sosialisasi, pembuatan Amdal, dan diberikan kesempatan untuk
menilai Amdal tersebut sehingga berpengaruh terhadap keputusan warga untuk
menerima atau menolak kebijakan tersebut. Bahkan, papan pemberitahuan
proyek tersebut juga tidak dilihat dan diketahui warga.
Pembangunan PLTU II 1X1000 MW Cirebon tersebut meliputi dua Kecamatan,
yaitu Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu. Pada dua kecamatan
tersebut rata rata penduduk bermata pencaharian sebagai pencari rebon dan
udang kecil, pembuat terasi, dan nelayan.
Dusmad, Kasneri, Casmina, Surip, Sarnen, Warya adalah warga yang menjadi
Penggugat pembangunan PLTU II 1X1000 MW. Mereka adalah nelayan pencari
rebon dan udang kecil menggunakan sudu dan jaring, petani garam, seorang
pembuat dan penjual terasi, nelayan pencari kerang yang menitikberatkan
hidupnya pada sumber-sumber kehidupan di lokasi yang akan menjadi lokasi
titik pembangunan.
Sebelum rencana pembangunan PLTU II 1X1000 MW, telah dibangun PLTU
I yang lokasinya tak jauh dari lokasi rencana pembangunan PLTU II 1X1000
MW. Dimana PLTU I mengakibatkan kerugian berkurangnya jumlah tangkapan
ikan, udang, dan kerang. Padahal sebelumnya, ikan, udang, kerang sangat
mudah ditemukan. Potensi hilangnya mata pencaharian para Penggugat sangat
nyata jika pembangunan PLTU II 1 X 1000 MW tetap dilaksanakan. Izin yang
dikeluarkan pemerintah adalah langkah awal dilakukannya pembangunan
PLTU II 1 X 1000 MW di Kabupaten Cirebon. Rencana pembangunan PLTU II
1X1000 MW ini telah memiliki AMDAL, namun proses penyusunannya tidak
melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung.
Penolakan demi penolakan dilakukan warga, bahkan pada 10 November 2016,
masyarakat Desa Kanci Kulon Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon
melakukan aksi penolakan rencana investasi pembangunan PLTU II di depan
kantor Japan Bank International Coorporation (JBIC) dan di depan Kedutaan
Jepang di Jakarta.
Karena hal-hal tersebut, warga bersama LBH Bandung dan Walhi Jawa Barat
melakukan upaya hukum dengan menggugat izin lingkungan proyek tersebut.
35
YLBHI
CAPAIAN-CAPAIAN
36
CATATAN AKHIR TAHUN
Cirebon, tetapi juga bagi setiap orang yang kepentingannya atas ruang hidupnya
dirusak atas nama pembangunan.
LBH BANDUNG
Kemenangan Gugatan PLTU Indramayu
Warga Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra dan Desa Mekarsari, Desa Patrol
Lor, Desa Patrol Baru, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Provinsi
Jawa Barat keberatan dengan rencana pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap. Pasalnya, Izin lingkungan dengan Surat Keputusan Nomor : 660/
Kep.51.A-BLH/2015 tentang Kegiatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) Indramayu 2 X 1000 MW Oleh PT PLN (PERSERO) Unit Induk
Pembangunan VIII Di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat tertanggal 26
Mei 2015 yang ditandatangani oleh Anna Sophanah selaku Bupati Kabupaten
Indramayu tidak melibatkan warga yang permukimannya sangat berdekatan
dengan lokasi pembangunan.
Rencana pembangunan PLTU 2x1000 MW berpotensi mengakibatkan hilang
atau setidak-tidaknya menurunnya kualitas hidup dan penghidupan masyarakat
di sekitar lokasi, khususnya wilayah tempat tinggal dan sumber kehidupan.
Warga sehari-hari bekerja sebagai petani, buruh tani dan nelayan ikan serta
udan rebon.
Warga sama sekali tidak mendapatkan informasi maupun kesempatan partisipasi
dalam terbitnya keputusan tentang kegiatan pembangunan PLTU 2x1000 MW,
baik sosialisasi awal sampai keterlibatan penyusunan AMDAL. Padahal lokasi
rencana pembangunan PLTU 2x1000 MW sangat berdekatan dengan Lokasi
PLTU Indramayu 3x330 MW yang terletak di Desa Sumur Adem.
Selama PLTU 3x330 MW beroperasi, warga telah merasakan dampaknya yaitu
pencemaran udara, berkurangnya kesuburan tanah, penurunan hasil panen padi,
dan matinya tanaman kelapa di sekitar tempat tinggal atau lahan garapan yang
diperkirakan karena dampak hujan asam. Selain itu, hasil tangkap udang rebon
dari 40-50 kg sehari menjadi 10-20 kg sehari. Demikian pula masa tangkap
tiga bulan berubah menjadi hanya dua bulan dalam setahun; wilayah tangkapan
ikan juga sudah bergeser jauh dari pesisir pantai yang membuat biaya melaut
meningkat.
Warga baru mengetahui adanya izin pembangunan PLTU 2x1000 MW saat
diberitahu oleh aktifis lingkungan hidup. Setelah mengakses dokumen AMDAL,
ternyata warga masuk dalam katagori warga terdampak hipotik. Warga bersama
LBH Bandung mengajukan gugatan di PTUN untuk membatalkan izin
lingkungan PLTU tersebut. Perkara terdaftar dengan 90/G/LH/2017/PTUN.
BDG.
Pada Rabu, 6 Desember, 2017 warga menerima informasi menangnya gugatan
37
YLBHI
mereka. Hari itu majelis hakim membacakan amar putusan yang intinya:
CAPAIAN-CAPAIAN
LBH PEKANBARU
Pemerintah Mencabut Izin Pertambangan PT Riau Bara Harum
PT. Riau Bara Harum (RBH) merupakan korporasi yang terafiliasi dengan PT.
Permata Prima Sakti Tbk (Permata Resources). Adapun komposisi kepemilikan
saham PT. RBH adalah PT Sumber Bara Lestari (SBL) 47,5%, PT Karunia
Tambang Mandiri (KTM) 2,5% dan PT Permata Energy Resources (PER)
50%. Korporasi ini mempunyai lokasi pertambangan batu baru di Kabupaten
Indragiri Hulu.
PT RBH merupakan korporasi yang masuk dalam kelompok Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dalam periode 1993-1996
yang mendapatkan konsesi pertambangan seluas 24.450 hektar. Berdasarkan
Permohonan RBH kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 31
Maret 2005, Menteri menerbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya
Mineral Nomor. 464.K/40.00/M3P/2005 Tentang Permulaan Tahap Kegiatan
Produksi Perjanjian Kerja sama Pengusahaan Pertambangan Batubara PT Riau
Bara Harum.
38
CATATAN AKHIR TAHUN
39
YLBHI
40
CATATAN AKHIR TAHUN
Riau Bara Harum di Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir,
Provinsi Riau tertanggal 29 Desember 2016.
LBH Pekanbaru mengapresiasi tindakan dari Kementerian ESDM yang
berani mencabut izin atau PKP2B milik PT RBH. Selanjutnya berharap agar
Pengadilan Negeri Rengat memutuskan Pemerintah Republik Indonesia dalam
hal ini diwakili Kementerian ESDM, Lingkungan Hutan dan Kehutanan, serta
Gubernur Riau dan Bupati Inhu untuk bertanggung jawab atas lubang tambang
yang belum direklamasi hingga kini yang berpotensi menyebabkan bencana
alam di kemudian harinya.
LBH ACEH
Kasus PHK Sepihak oleh Perusahaan Sawit (PT. Parasawita)
Id (pekerja) merupakan karyawan tetap dari perusahaan PT. Parasawita yang
mulai bekerja pada PT. Parasawita yang berkedudukan di Jalan Kuala Simpang
Kebun Seruway, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, sejak tanggal 21 April 1995.
Posisinya adalah Pengawas Produksi Wilayah I dan II (recolte) berdasarkan
Surat Peralihan Tugas No. PS/TK/02.29/2014 tertanggal 3 Oktober 2014 sampai
dengan tanggal 16 Januari 2016.
Selama bekerja pada PT. Parasawita berstatus telah menikah dengan seorang
istri dan 3 orang anak dan terakhir menerima upah bulan Desember 2015
dengan gaji terakhir Rp. 2.058.885,00 (dua juta lima puluh delapan ribu delapan
ratus delapan puluh lima rupiah) ditambah catu beras Rp. 220.500,00 (dua ratus
dua puluh ribu lima ratus rupiah) per bulan;
Selain sebagai karyawan, Id juga menjabat sebagai Ketua Serikat Pekerja Aceh
Pimpinan Unit Kerja (PUK) PT. Parasawita berdasarkan keterangan Id pada
surat nomor 560/109.I/2016 tertanggal 18 Maret 2016 dengan perihal anjuran
yang diterbitkan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Aceh Tamiang dalam point A butir 3, akan tetapi PT. PARASAWITA tetap
membayarkan upah yang tidak sesuai dengan UMP yang berlaku sebagaimana
tersebut dalam Surat Keputusan No. 149/SK-PS/I/2015 tentang Upah Karyawan
yang menetapkan gaji karyawan periode Juli 2015 sampai dengan Desember
2015 sebesar Rp. 1.750.000,- (Satu Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah),
sedangkan UMP Aceh tahun 2015 sebesar Rp. 1.900.000,- (Satu Juta Sembilan
Ratus Ribu Rupiah).
Untuk menyalurkan aspirasi tersebut, Sdr. M. Fadhile Ramadhan, S.E. selaku
Direktur PT. Parasawita melalui seseorang yang diketahui sering disapa Aheng
menghubungi Id untuk datang ke kantor pusat di Jalan Jend. A. Yani Medan;
Pada tanggal 15 Juli 2015, Id mendatangi kantor pusat PT. Parasawita dimaksud
bersama 5 orang anggota serikat pekerja lainnya;
41
YLBHI
Amar Putusan
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk Sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Tanggal 16 Januari
2016kepda M.Idhamsyah adalah Sah dengan pemberian Pesangon,
Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak dan Upah Proses;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan
Masa Kerja, Uang Penggantian Hak dan Upah Proses kepada Penggugat,
M.Idhamsyah dengan jumlah seluruhnya sebesarRp. 77.469.025 (Tujuh
Puluh Tujuh Juta Empat Ratus Enam Puluh Sembilan Ribu Dua Puluh Lima
Rupiah);
4. Menolak Gugatan Penggugat selain dan selebihnya.
42
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH SEMARANG
KLHS I Pegunungan Kendeng: Keniscayaan yang Harus Diperjuangkan
Perjuangan petani Kendeng telah berusia lebih dari satu dasawarsa pada tahun
ini (2017). Setidaknya ada tiga perusahaan raksasa yang menginginkan potensi
Pegunungan Kendeng yaitu batu gamping sebagai bahan utama pembuatan
semen. PT Semen Gresik berencana melakukan penambangan di Kecamatan
Sukolilo Kabupaten Pati, PT Semen Indonesia di Kecamatan Gunem Kabupaten
Rembang, dan PT Indocement Tunggal Perkasa, Tbk melalui anak perusahaannya
PT Sahabat Mulia Sakti di Kecamatan Kayen dan Tambakromo Kabupaten Pati.
Seluruhnya berkonflik dengan petani Kendeng.
Pada semua konflik tersebut, petani Kendeng melakukan upaya litigasi dan
non-litigasi. Salah satunya mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara Semarang. Dari tiga gugatan yang diajukan oleh petani Kendeng bersama
LBH Semarang kepada ketiga perusahaan semen tersebut, dua di antaranya
menang di pengadilan tingkat pertama. Petani Kendeng hadir dan menyaksikan
secara langsung setiap proses persidangan dimana mereka lah yang menjadi
penggugat.
Kesadaran untuk ‘maju’ sebagai principle dalam suatu gugatan tentulah bukan
tanpa proses. LBH Semarang kemudian hadir di tengah-tengah masyarakat
melalui forum-forum diskusi kecil. Melalui pendidikan hukum kritis, sebagian
petani Kendeng mulai ‘angkat suara’ terhadap hak-haknya yang dilanggar.
Mengerti bahwa masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam setiap
proses pembangunan maupun pengambilan kebijakan di wilayahnya. Di wilayah
dimana mereka tinggal.
Termasuk di dalam proses persidangan, petani Kendeng selalu hadir memenuhi
ruang persidangan. Sering juga sebagian masyarakat harus duduk di luar ruang
persidangan karena ruang persidangan terlanjur penuh. Selain itu, hampir
seluruh alat bukti yang digunakan untuk menguatkan dalil gugatan dipersiapkan
langsung oleh masyarakat.
Tak hanya upaya litigasi, upaya lain untuk terus melakukan perjuangan
kelestarian lingkungan hidup di Pegunungan Kendeng. Puncaknya, 2 Agustus
2016, Presiden Joko Widodo menemui secara langsung petani Kendeng di
Istana Negara. Hal itu tentu bukan tanpa proses. Sebelumnya, petani Kendeng
melakukan sebuah aksi ‘fenomenal’ yaitu aksi pasung semen. Satu bentuk
pengejahwantahan bagaimana pabrik semen mengungkung mereka dalam
kesengsaraan. Selama dua hari petani Kendeng melakukan aksi pasung semen,
Kepala Kantor Staf Kepresidenan akhirnya menemui mereka dan berjanji akan
menyampaikan pesan petani Kendeng kepada Presiden.
Selang beberapa waktu, tak ada perubahan yang terjadi. Petani Kendeng kembali
melakukan aksi membangun tenda di depan istana. Hampir satu minggu, petani
43
YLBHI
44
CATATAN AKHIR TAHUN
Jika rencana penambangan dan penambangan yang ada masih dilanjutkan, ada
nilai yang besar yang harus dibayar oleh pemerintah dan perusahaan tambang
di Kabupaten Rembang. Kerugian setara dengan 2,2 triliun per-tahun harus
dibayar jika Pegunungan Kendeng rusak. Tak hanya kita, tapi anak-cucu kita tak
akan luput untuk merasakan dampak dari kerusakan lingkungan jika hari ini
kita tetap berdiam diri.
Sekali lagi, senyum manis itu tergurat di wajah Sukinah saat KLHS dirilis.
Perjuangannya telah ‘asil’ (membuahkan hasil). Dan apapun yang menjadi
keberhasilan masyarakat, adalah keberhasilan juga bagi LBH Semarang1.
LBH JAKARTA
KEMENANGAN GUGATAN WARGA NEGARA TERHADAP HAK ATAS
AIR
10 Oktober 2017, Mahkamah Agung memenangkan gugatan yang diajukan oleh
Nurhidayah dkk atas kebijakan swastanisasi pengelolaan air di Jakarta. Putusan
Mahkamah Agung ini merupakan landmark case bagi masyarakat sipil yang hak
dan kepentingannya dirugikan atas skema perjanjian patungan antara pemerintah
dan swasta.
45
YLBHI
46
CATATAN AKHIR TAHUN
sebanding dengan kualitas air yang didapatkan oleh warga. Meskipun sudah
membayar mahal, air yang disediakan oleh kedua operator swasta tersebut tidak
dapat langsung dikonsumsi. Tidak hanya itu, air yang disediakan juga kotor dan
berbau. Bahkan air juga tidak keluar setiap harinya.
Sehingga berdasarkan temuan tersebut, jelas bahwa kebijakan swastanisasi air di
Jakarta gagal untuk memenuhi hak warga masyarakat Jakarta terhadap air.
47
YLBHI
Tak hanya itu, Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengutip ketentuan
hak asasi manusia internasional yang mengatur tentang hak atas air sebagaimana
yang diatur dalam Komentar Umum HAM PBB No. 15 Tahun 2002 tentang Hak
atas Air. Hal ini merupakan salah satu bentuk terobosan hukum baru dalam
dunia peradilan di Indonesia, mengingat jarang sekali bahkan hampir tidak
pernah hakim mengutip ketentuan hak asasi manusia yang berlaku secara
internasional.
Namun demikian, berbeda halnya dengan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, ketika
memasuki tahap banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru malah tidak
menerima gugatan dari para penggugat dengan memutus NO (niet ontvankelijk
verklaard) dengan alasan surat kuasa yang digunakan oleh para penggugat
tidak memenuhi ketentuan hukum acara. Hal ini ganjil, sebab permasalahan
surat kuasa sudah tidak lagi dipermasalahkan ketika pemeriksaan perkara pada
pengadilan tingkat pertama. Selain itu, keanehan berikutnya adalah Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta sangat cepat dalam memutus perkara, sementara berkas
memori banding belum seluruhnya diterima oleh para penggugat.
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut cenderung hanya melihat
ketentuan formil pada hukum acara dan tidak melihat akar persoalan
sesungguhnya dari kebijakan swastanisasi air Jakarta. Sehingga atas dasar
tersebut, sangat tidak beralasan bagi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk tidak
menerima gugatan yang diajukan oleh para penggugat.
Perjuangan Berlanjut Hingga Kasasi
Menanggapi putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, pada Maret 2016,
para penggugat akhirnya mengajukan kasasi. Proses kasasi ini juga tidak bisa
dikatakan mudah. Pasalnya dalam proses ini ada peristiwa bolak-balik berkas
dari Mahkamah Agung ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tak hanya itu, perlu diketahui sebelumnya, dalam proses kasasi di Mahkamah
Agung tak ada lagi proses persidangan yang terbuka untuk umum. Sehingga
sangat sulit sekali untuk memantau sudah sejauh mana perkara yang diajukan
oleh pemohon kasasi diperiksa oleh majelis hakim yang bersangkutan.
Selain bolak-balik berkas di Mahkamah Agung, para pemohon kasasi juga
tidak langsung mendapatkan nomor perkara. Menariknya nomor perkara baru
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung setelah 1 (satu) tahun semenjak pemohon
kasasi mendaftarkan permohonan kasasi di Mahkamah Agung melalui
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Meskipun demikian, tetap saja Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Swastanisasi
Air Jakarta (KMMSAJ) melakukan berbagai upaya non-litigasi yang dimulai
dari menggalang dukungan publik melalui petisi online baik di tingkat nasional
48
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH MAKASSAR
Membangun Instalasi Perlawanan Kaum Miskin Kota
(Sengketa Lahan Masyarakat Bara-Baraya Vs. Kodam XIV Hasanuddin dan
Mafia Tanah)
Bagi banyak orang, malam menjadi waktu yang tepat untuk menepi dari lelahnya
hidup, tapi tidak bagi warga di Kelurahan Bara-Baraya, Kecamatan Makassar,
Kota Makassar. Malam bagi mereka menjadi momok menakutkan sejak Kodam
XIV Hasanuddin mengeluarkan Surat Edaran I tertanggal 1 Februari 2017 berisi
himbauan pengosongan lahan seluas ± 4.100 m2 yang tepatnya berada di Jl. Abu
Bakar Lambogo RT 06/ RW 04 dan Jl. Kerung-Kerung Lorong 1 RT 01/ RW 01
yang dihuni oleh 67 KK dengan total 271 jiwa di antaranya terdapat 59 anak
– anak, 67 perempuan dan 16 lansia. Warga tak mengindahkan Surat Edaran
tersebut. Kodam kemudian mengeluarkan Surat Edaran II, hingga terbit Surat
49
YLBHI
Perintah I, II, dan III secara beruntun dalam kurun waktu satu bulan yang berisi
CAPAIAN-CAPAIAN
50
CATATAN AKHIR TAHUN
Gerilya Non-Litigasi
LBH Makassar menyadari bahwa represifitas militer hanya bisa dilawan dengan
simpul solidaritas masyarakat sipil yang tergabung dalam sebuah aliansi besar.
Aliansi bertugas membangun kesadaran dan menggalang kekuatan warga yang
terdampak langsung maupun yang berpotensi terdampak. Di sisi lain, aliansi
juga melakukan aksi-aksi yang dapat menarik simpati dan dukungan publik
secara luas, juga menarik dukungan dari legislatif dan lembaga-lembaga negara
lainnya. Hal yang paling utama adalah LBH Makassar sebagai leading sector
mampu membagi peran dari masing-masing organ yang tergabung dalam
Aliansi.
Mahasiswa bertugas memimpin aksi-aksi massa yang dilakukan di beberapa
51
YLBHI
Nasional (BPN) Kota Makassar, Kantor Gubernur Sulsel, di Fly Over, serta
kampanye kota dalam bentuk selebaran, poster, pamflet, dan mural yang tersebar
di kampus-kampus dan di setiap sudut Kota Makassar. Untuk memperpanjang
nafas perjuangan, mahasiswa juga menggalang donasi perjuangan di kampus-
kampus.
Dari berbagai aksi yang dilakukan, Aliansi berhasil mendesak DPRD Sulsel
untuk mengeluarkan surat resmi kelembagaan kepada pihak Kodam yang berisi
penolakan penggusuran tanpa melalui proses hukum. Demikian halnya dengan
BPN Makassar yang turut mengecam rencana pengosongan lahan oleh Kodam.
Sedangkan jaringan CSO lainnya bertugas melakukan penguatan-penguatan di
internal warga.
Untuk mendukung aksi-aksi di lapangan, LBH Makassar bertugas melakukan
manuver publik seperti menggelar konferensi pers dan menyebar rilis media
terhadap setiap kejadian, melakukan kunjungan media bersama warga, dan
membuat kecaman publik melalui petisi online. Di sisi lain, LBH Makassar juga
menyasar dukungan dari berbagai lembaga negara, di antaranya Komnas HAM
RI, Ombudsman RI, Menteri Pertahanan dan Keamanan RI, Ketua Komisi III
DPR RI hingga Presiden RI.
Pengaduan LBH Makassar mendapatkan respon dari Presiden RI. Melalui
surat Kementerian Sekretariat Negara RI, Presiden menyampaikan bahwa
pihaknya sudah menyurati Kodam XIV Hasanuddin untuk meminta klarifikasi.
Kemudian Kodam XIV Hasanuddin membalas surat Presiden menyatakan
bahwa pihak Kodam XIV Hasanuddin menghormati proses hukum dan tidak
akan melakukan pengosongan paksa tanpa melalui proses hukum.
Sementara itu, salah satu Komisioner Komnas HAM menemui warga untuk
melakukan penyelidikan terkait potensi terjadinya pelanggaran HAM. Setelah
bertemu dengan warga, Komisioner Komnas HAM melakukan pertemuan
dengan pihak Kodam untuk mencari titik terang penyelesaian masalah. Dari
hasil penyelidikan, Komnas HAM memberikan informasi kepada warga bahwa
Kodam akan menghentikan rencana pengosongan lahan dengan catatan warga
membuka semua blokade jalanan dan menurunkan semua spanduk yang
menyudutkan Kodam.
Secara terpisah, Ombudsman RI wilayah Sulsel juga mendatangi kantor Kodam
XIV untuk meminta klarifikasi secara langsung. Setelah bertemu dengan dengan
Kodam, komisioner Ombudsman RI langsung mendatangi posko Aliansi dan
menyampaikan bahwa Kodam akan menghentikan rencana pengosongan lahan
tanpa melalui proses pengadilan.
52
CATATAN AKHIR TAHUN
Status Hukum
Rencana pengosongan lahan oleh Kodam dilakukan berdasarkan permintaan
ahli waris Moedhinong Dg. Matika selaku pemilik tanah okupasi Asrama
TNI Bara-Baraya. Namun, tanah yang dikuasai oleh 67 KK bukanlah tanah
okupasi sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak Kodam XIV Hasanuddin
melalui surat Nomor B/532/III/2017 tentang Pengosongan lahan tanah okupasi
milik Moedhinoeng Dg. Matika (Alm). Berbeda dengan Asrama TNI Bara-
Baraya yang telah dikosongkan pada tanggal 13 Desember 2016 yang memang
merupakan tanah okupasi milik Alm. Moedhinong Dg. Matika. Dalam hal ini
Kodam XIV Hasanuddin hanya memiliki hubungan hukum dan bertanggung
jawab terhadap warga keluarga purnawirawan di dalam Asrama TNI Bara-
Baraya. Tetapi, Kodam tidak memiliki hubungan hukum dengan warga 67 KK
yang berada di luar Asrama TNI Bara-Baraya2, sehingga rencana Kodam XIV
Hasanuddin untuk melakukan pengosongan terhadap tanah yang dikuasai oleh
warga 67 KK adalah tindakan di luar kewenangan Kodam.
LBH Makassar, Legal Opini Sengketa Lahan Warga Bara-Baraya Vs. Kodam XIV Hasanudin.
2
53
YLBHI
LBH YOGYAKARTA
CAPAIAN-CAPAIAN
Klasis adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu tingkatan kemajelisan dalam Gereja Kristen Jawa.
4
Bapelklas adalah badan yang melaksanakan keputusan yang dibuat oleh 13 Gereja Kristen Jawa Gunungkidul.
54
CATATAN AKHIR TAHUN
55
YLBHI
LBH SURABAYA
CAPAIAN-CAPAIAN
56
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH BALI
Pesamuan Agung Majelis Utama Desa Pakraman mengesahkan Upaya
Perlindungan Anak sebagai bagian dari ruang Lingkup Desa Pakraman Se-
Bali
Pada 30 Juli 2014, pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-
undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-
Undang tersebut menekankan pada adanya upaya restorasi atau pemulihan
bantahan atau tangkisan yang tidak mengenai pokok perkara.
5
57
YLBHI
dengan hukum. LBH Bali pada tahun 2014 telah mendampingi 23 anak yang
berkonflik dengan hukum, dimana 6 kasus diselesaikan melalui peradilan dan
17 kasus lainnya diselesaikan melalui diversi di tingkat kepolisian. Dari 17 anak
yang berhasil dilakukan diversi di tahun 2014, di awal tahun 2015 tiga (3) orang
anak di antaranya kembali mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.
Berdasarkan pengalaman tersebut, LBH Bali melihat beberapa kendala dan
hambatan dalam pelaksanaan UU SPPA, di antaranya:
1. Ketidakpahaman aparat penegak hukum dalam penanganan kasus ABH
sehingga proses restorasi dijadikan ajang untuk mendapatkan keuntungan
semata bagi oknum aparat;
2. Korban sebagai orang yang paling menderita dan dirugikan atas perbuatan
pidana yang terjadi malah tidak dberikan kesempatan bersuara karena
seluruh haknya diwakili oleh Jaksa, yang melakukan semua langkah
berdasarkan cara pandangnya dan sangat formalistik;
3. Anak mengalami stress dan trauma karena panjangya proses peradilan yang
harus dihadapi;
4. Komunitas masyarakat yang mengalami paparan atas kejahatan yang terjadi
tidak diberikan ruang untuk bersuara dan berperan sehingga tidak jarang
masyarakat melakukan labeling (stigma negatif) pada anak dan akhirnya
menyulitkan dalam proses reintegrasi;
5. Belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai serta pihak pekerja
sosial profesional dan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang tidak bisa
menjalankan perannya secara maksimal, karena Bapas hanya ada dua di
Bali yang menangani sembilan kab/kota, sedangkan jumlah petugas pekerja
sosial profesional dan Petugas PK sangat minim.
Berkaca dari pengalaman tersebut, substansi dalam UU SPPA yakni adanya
upaya pemulihan bagi anak yang berhadapan dengan hukum menjadi sangat
jauh dari harapan.
Kasus lain yang juga didampingi LBH Bali di tahun 2014, yaitu kasus pencurian
dan persetubuhan anak dengan anak yang diselesaikan dalam komunitas adat.
Prosesnya, desa adat melalui prajuru melakukan mediasi dan dilanjutkan
dengan adanya permintaan maaf pelaku dan keluarganya kepada korban dan
keluarganya. Selanjutnya disepakati juga tentang ganti rugi dan kasus pun selesai.
Belajar dari pengalaman tersebut, LBH Bali melihat adanya ruang bagi kearifan
lokal dan keterlibatan tokoh masyarakat adat sebagai bagian masyarakat yang
terdekat dengan anak. Hal ini seharusnya dapat dimaksimalkan untuk upaya
perlindungan anak, sehingga tak semua persoalan anak (ABH) harus dibawa
kemeja peradilan dan diselesaikan secara hukum. Penerapan kerifan lokal dalam
penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum seharusnya dapat
58
CATATAN AKHIR TAHUN
dilakukan secara optimal di beberapa daerah seperti Bali dan daerah lainnya
yang memiliki budaya dan kearifan lokal yang masih eksis sampai saat ini. Hal
ini sejalan dengan pasal 85 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak,
yang pada intinya memberikan ruang seluas-luasnya pada masyarakat terlibat
dalam upaya perlindungan anak mulai dari upaya pencegahan sampai dengan
reintegrasi sosial.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut telah dilakukan beberapa strategi
meliputi:
a. Penelitian, dilaksanakan selama enam bulan pada bulan September 2015
– Februari 2016. Penelitian mengenai mekanisme penyelesaian kasus anak
yang berhadapan dengan hukum melalui pendekatan keadilan restorative
yang berbasis kearifan lokal di Bali dilaksanakan di Kabupaten Singaraja
(Desa Adat Pedawa), Kabupaten Karangasem (Banjar Adat Merita) dan Kota
Denpasar (Desa Adat Sesetan dan Desa Adat Kesiman Petilan).
Januari sampai Maret 2017, dilakukan penelitian di tiga wilayah yakni
Singaraja, Karangasem dan Denpasar. Di Singaraja penelitian dilakukan di
PHDI, Majelis Madya Desa Pakraman Kota Singaraja serta Majelis alit Desa
Pakraman kecamatan Banjar. Di Denpasar, yang menjadi objek penelitian
antara lain: Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali, Majelis Madya Desa
Pakraman Kota Denpasar, Majelis Alit Desa Pakraman Denpasar Timur,
Majelis alit Desa Pakraman Denpasar Selatan. Daerah Karangasem, yang
menjadi objek penelitian antara lain: PHDI Kota Amlapura, Majelis Madya
Desa Pakraman Karangasem dan Majelis Alit Desa Pakraman Kecamatan
Abang. Adapun hal yang menjadi fokus penelitian adalah:
1. Identifikasi kearifan lokal Bali dalam penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum di Singaraja, Gianyar dan Denpasar;
2. Menganalisis dan menyelaraskan nilai-nilai kearifan lokal di Buleleng,
Karangasem dan Denpasar dalam penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum;
3. Merumuskan konsep penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
berlandaskan kearifan lokal Bali;
4. Uji publik terhadap konsep penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum berlandaskan kearifan lokal Bali.
b. Pelatihan Paralegal
Pelatihan Paralegal ini bertemakan “Penguatan Kapasitas Paralegal tentang
keadilan Restorasi dalam Persfektif Anak dan Anak Perempuan sebagai
Korban”. Pelatihan ini dilaksanakan pada hari Rabu - Jumat tanggal 16 - 18
Desember 2015 pada pukul 08.00 – 18.00 WITA bertempat di Hotel Inna
Sindhu Beach, Jl. Pantai Sindhu 14 Sanur Bali.
Pelatihan ini dihadiri oleh 20 orang paralegal LBH Bali serta menghadirkan
59
YLBHI
tiga orang narasumber yang terdiri dari tokoh adat, praktisi, dan NGO.
CAPAIAN-CAPAIAN
60
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH LAMPUNG
Reklaiming Tanah Ulayat Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua
Setelah melalui proses panjang, 2.834 Ha lahan diserahkan Perusahaan untuk
digarap Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua
Bahwa Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua kehilangan lahan
garapannya sekitar tahun 1980-an. Dimana pada masa Orde Baru itu secara
umum telah terjadi perampasan tanah-tanah rakyat untuk dijadikan lahan
perkebunan oleh perusahaan dengan dibantu militer. Hal itu terjadi pada
Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua yang dipaksa menjual tanah tanah
mereka kepada PT Arya Kartika.
Perusahaan PT Arya Kartika pada saat itu berhasil mengelola kurang lebih
3000 Ha yang ditanami kelapa sawit. Sehingga tanam tumbuh dan hewan di
dalam lahan tersebut telah hilang. Tetapi dalam perkembangannya, Departemen
Keuangan Republik Indonesia Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara Kantor
Wilayah II BUPLN Bandar Lampung dengan berita acara penyitaan nomor: ba-
788/WPN.02/KP.02/1997 tanggal 24 Februari 1997 telah melakukan penyitaan
terhadap barang jaminan harta kekayaan milik penanggung jawab/penjamin
hutang PT ARYA KARTIKA berupa barang tidak bergerak yaitu sebidang tanah
perkebunan seluas 5.436,62 Ha di desa Tanjung Ratu Kecamatan Pakuan Ratu
Kabupaten Way Kanan.
Penjualan aset PT Arya Kartika kepada PT Adi Karya Gemilang pada tahun
1997 menimbulkan reaksi pada Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua.
Mereka menganggap seharusnya ketika PT Arya Kartika tak sanggup lagi
61
YLBHI
62
CATATAN AKHIR TAHUN
63
YLBHI
64
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH PADANG
Pengadilan Menangkan Permohonan LBH Padang untuk Mencabut 26 Izin
Tambang”
20 Oktober 2017 lalu, majelis hakim PTUN Padang membacakan putusan
dalam Permohonan untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan
(Fiktif Positif) antara LBH Padang dengan Gubernur Sumatera Barat dalam
perkara Nomor: 2/P/FP/2017/PTUN-PDG. Dalam putusannya majelis hakim
yang diketuai oleh Harisman, anggota Zabdi Palangan dan M. Afif mengabulkan
permohonan LBH Padang. Pengadilan memerintahkan Gubernur mencabut 26
Izin Usaha Pertambangan (IUP) non clean and clear (non CnC) di Sumatera
Barat.
Di tingkat nasional sebetulnya sudah dibentuk koordinasi dan supervisi
bidang Mineral dan Batubara (Korsup Minerba) sebagai bagian dari Gerakan
Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GN-PSDA). Gerakan ini diinisiasi
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama bersama dengan 34
Kementerian/Lembaga (K/L) dideklarasikan pada 6 Juni 2014. Pelaksanaannya
digelar sepanjang tahun 2014-2017 di 31 provinsi di seluruh Indonesia, dengan
menitikberatkan pada lima permasalahan utama, yaitu : 1) penataan IUP; 2)
pelaksanaan kewajiban keuangan; 3) pengawasan produksi pertambangan;
4) pengawasan penjualan dan pengapalan hasil tambang; 5) pengolahan dan
pemurnian hasil tambang. Perusahaan-perusahaan yang mampu memenuhi
5 aspek dasar tersebut akan menyandang prediket Clear And Clean (Cnc)
sementara yang tidak akan dinyatakan Non Cnc dan dapat pula berujung
penjatuhan sanksi temasuk pencabutan.
Perhatian nasional terhdap perbaikan tata kelola tambang tak lepas dari fakta
empirik penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi di sektor tambang.
Penambangan tanpa izin, penambangan di luar konsesi, penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa memiliki izin pinjam pakai kawasan, serta ketidakpatuhan
perusahaan dalam membayar pajak-pajak dan reklamsi. Keberadaan tambang-
tambang illegal dan ketidakpatuhan pemilik izin usaha pertambangan
menyisakan dampak lingkungan yang parah dan membuat negara kehilangan
potensi pemasukan negara bahkan menimbulkan kerugian yang nyata. LBH
Padang mencatat terdapat 43.390 orang sepanjang 2016 itu yang menjadi korban
aktivitas di sektor pertambangan.
Di kabupaten Solok Selatan Sumatera Barat misalnya, betapa jumlah izin tambang
yang ada berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga tahun 2015 Pemerintah
Kabupaten Solok Selatan telah merilis 46 izin usaha pertambangan, terbanyak
dari seluruh kabupaten Kota di Sumatra Barat. Namun, berdasarkan data Daftar
Daerah Tertinggal yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, pada tahun 2015
menempatkan Solok Selatan sebagai peringkat 2 daerah tertinggal di Sumatera
65
YLBHI
66
CATATAN AKHIR TAHUN
KESIMPULAN
Dari kisah-kisah sukses yang diungkapkan para Pengabdi Bantuan Hukum
dari LBH Indonesia tersebut, kemenangan atau kesuksesan penanganan suatu
kasus tak bergantung dari salah satu aspek saja, misalnya kemahiran beracara
atau penguasaan beracara secara litigasi. Seorang PBH dituntut tak hanya
mahir beracara, tetapi juga mampu melakukan pengorganisasian masyarakat,
mengkonsolidasikan jaringan, melakukan lobby, dan kampanye. Pilihan-pilihan
mengenai advokasi dalam kasus-kasus di atas selalu didiskusikan dengan
masyarakat yang didampingi dan dengan melihat konteks atau situasi politik
lokal. Pilihan-pilihan tersebut dapat berupa mengajukan gugatan, penyelesaian
non-litigasi, maupun keberhasilan mengorganisir komunitas. Misalnya
advokasi yang dilakukan LBH Bali yang berhasil melibatkan komunitas adat
dalam perlindungan anak atau pengorganisasian yang dilakukan LBH Makassar
dan Lampung. Advokasi melalui litigasi dapat juga berlangsung sangat lama,
seperti yang dialami LBH Jakarta dalam gugatan hak atas air. Maka, advokasi
memerlukan kreatifitas, tak hanya terpaku pada menunggu putusan pengadilan.
67
YLBHI
BAB III
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH
B
agian ini memaparkan kasus-kasus penting yang ditangani LBH Indonesia
sepanjang tahun 2017 dan posisi terakhir kasus-kasus tersebut.
LBH SEMARANG
Kasus Semen Kendeng
ibu bumi wes maringi...
ibu bumi dilarani...
ibu bumi kang ngadili...
(Lantunan tembang Jawa petani Kendeng)
Tahun 2017 menjadi tahun bersejarah bagi seluruh warga Pegunungan Kendeng.
Gubernur Jawa Tengah berhasil mempertontonkan bagaimana hukum mampu
‘dikoyak’ oleh kepentingan.
Sejak tahun 2006-2007, LBH Semarang bersama petani Pegunungan kendeng
‘bertarung’ melawan Gubernur Jateng dan PT Semen Indonesia hingga saat
ini. Segala upaya telah masyarakat lakukan untuk memperjuangkan kelestarian
lingkungan hidup. Dari upaya litigasi (melalui jalur peradilan) hingga aksi
mengecor kaki di depan istana presiden yang merupakan bagian dari upaya
non-litigasi.
Ratusan petani Kendeng telah melakukan perjalanan panjang (long march)
sejauh 144 km untuk ‘menjemput keadilan’ atas kemenangan Gugatan Tata
Usaha Negara [Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016] atas izin
lingkungan PT Semen Indonesia pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) di
Mahkamah Agung. Mereka menuju kantor Gubernur Jateng, meminta Gubernur
menindaklanjuti putusan MA.
Namun, senyum warga seketika surut saat Asisten 1 Gubernur Jawa Tengah
menyampaikan bahwa Gubernur Jawa Tengah telah menerbitkan izin lingkungan
baru PT Semen Indonesia, sehingga izin lingkungan PT Semen Indonesia yang
menjadi objek gugatan tak lagi berlaku.
Tak goyah, petani kendeng kembali melakukan aksi ‘nendo’ (membangun tenda
di depan gubernur) hingga Gubernur Jawa Tengah melaksanakan putusan
Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016, mencabut izin lingkungan
PT Semen Indonesia sebagaimana perintah putusan. Bukan ‘ngeyel’ tetapi ini
menjadi bukti, masyarakat kendeng tak main-main dalam memperjuangkan
68
CATATAN AKHIR TAHUN
lingkungan hidup. Petani Kendeng sabar menanti dan terus menuntut Gubernur
Ganjar Pranoto untuk legowo dan berani mematuhi hukum.
Pada 16 Januari 2017, tepat sehari sebelum batas waktu 60 hari bagi Gubernur
untuk melaksanakan putusan MA, Gubernur Jawa Tengah mengundang seluruh
media di Jawa Tengah untuk melakukan konferensi pers. Adapun isi dari
koferensi pers tersebut adalah:
1. Menyatakan batal dan tidak berlaku SK Gubernur Jawa Tengah Nomor
660.1/30 Tahun 2016 yang sebelumnya telah mencabut SK Gubernur Jawa
Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012;
2. Memerintahkan kepada PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk
menyempurnakan dokumen adendum Andal dan RKL-RPL dan Komisi
Penilai AMDAL Provinsi Jawa Tengah untuk melakukan proses penilaian
dokumen adendum Andal dan RKL-RPL yang saat ini sedang berlangsung
untuk memenuhi Putusan Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2016;
3. dengan berlakunya keputusan Gubernur maka:
1. Izin Usaha dan/atau kegiatan berdasarkan izin lingkungan yang telah
batal dinyatakan batal;
2. Usaha dan/atau kegiatan berdasarkan izin lingkungan yang telah
dinyatakan batal ditunda sampai diterbitkannya keputusan Gubernur
yang telah disesuaikan;
3. Usaha dan/atau kegiatan berdasarkan izin usaha dan/atau kegiatan yang
diterbitkan sebagai tindak lanjut izin lingkungan yang telah dinyatakan
batal ditunda sampai diterbitkannya keputusan Gubernur yang telah
disesuaikan;
Padahal, jika melihat lagi apa sebenarnya isi putusan nomor 99 PK/TUN/2016
yang telah dibacakan pada tanggal 5 Oktober 2016 oleh Majelis Hakim, dimana
amar putusannya sebagai berikut:
MENGADILI,
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali: 1. JOKO PRIANTO, 2. SUKIMIN, 3. SUYASIR, 4. RUTONO, 5.
SUJONO, 6. SULIJAN, dan 7. YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP
INDONESIA tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor
135/B/2015/PT.TUN.SBY., tanggal 3 November 2015 yang menguatkan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 064/G/2014/PTUN.SMG,
tanggal 16 April 2015;
MENGADILI KEMBALI,
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
69
YLBHI
70
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH SURABAYA
Konsolidasi Komunal di Jawa Timur Setelah Terjadinya Praktik Intoleransi
atas Dasar Agama dan Keyakinan di Jawa Timur
Jawa Timur dan Potret HAM
Dalam konteks perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas, Jawa
Timur memiliki catatan yang patut dipertimbangan. Hingga 2015, indeks
demokrasi Jawa timur tegolong rendah hal sama juga didapati pada tahun 2016.6
Di samping didasarkan atas kriteria pelembagaan demokrasi, catatan indeks
demokrasi ini juga mengacu pada beberapa aspek penting dalam pemenuhan
HAM. Bahkan, laporan SETARA Institute 2016 mencatat Jawa Timur sebagai
wilayah pelanggar HAM nomor tiga di bawah Jawa Barat dan DKI Jakarta.7
Ada beberapa catatan yang membuat Jawa Timur termasuk wilayah yang tidak
baik catatan HAM-nya. Pemprov. Jawa Timur termasuk pihak yang paling cepat
membuat larangan terhadap komunitas Ahmadiyah. Melalui SK No 188/94/
KPTS/013/2011, Gubernur Jawa timur melarang aktivitas Jamaah Ahmadiyah
Indonesia di seluruh wilayah Jawa Timur.
Hingga saat ini, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dianggap gagal dalam
melindungi komunitas Syiah Sampang yang menjadi korban kekerasan dan
terusir dari kampung halamannya sejak tahun 2011. Alih-alih memberi
perlindungan, Pemprov Jawa Timur justru mengeluarkan Pergub No. 55 Tahun
2012 tentang Pembinaan dan Pengawawasan Aliran Sesat, di mana dalam pasal
5 ayat 2 dinyatakan bahwa kegiatan keagamaan dikategorikan sebagai aliran
sesat apabila memenuhi kriteria dan pertimbangan dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Dalam konteks Jawa Timur, Pergub ini sangat krusial karena
potensial melahirkan kekerasan terhadap pengikut Syiah sebagaimana yang
terjadi pada warga Syiah Sampang, Madura. MUI Jawa Timur sendiri pada
Januari 2012 telah mengeluarkan fatwah No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012
tentang Kesesatan Ajaran Syiah. Pergub ini telah dijadikan alat oleh beberapa
kelompok tertentu di Jawa Timur untuk menentang kegiatan keagamaan yang
diidentifikasi sebagai Syiah, misalnya, di Pasuruan dan Bondowoso.
Kelompok minoritas lain yang terancam hal-haknya adalah LGBT. Sejak
pembubaran Konferensi Regional International Lesbian and GayAssociation
(ILGA) di Jawa Timur 2010, komunitas LGBT di Jawa Timur tidak berani
terbuka menunjukkan identitasnya. Bahkan, kantor maupun tempat-tempat
yang selama ini menjadi pertemuan di antara mereka menjadi sangat tertutup
dan tersembunyi. Kecaman, diskriminasi, hingga ancaman fisik adalah cerita
yang sangat mudah didapatkan dari komunitas ini. Bisa dibayangkan betapa
rentannya komunitas ini menjadi korban pelanggaran HAM.
71
YLBHI
Berdasarkan data pengaduan kasus KBB yang diterima Komnas HAM pada
2016 sepanjang 2016 ada 97 pengaduan yang masuk. Ada peningkatan
pengaduan dibanding tahun 2015 sebanyak 87 pengaduan. Peningkatan angka
ini dapat menjadi indikator: (a) Ada peningkatan jumlah pelanggaran HAM atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan dan/atau (b) Meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus pelanggaran kepada Komnas HAM.8
Pelanggaran KBB di Jawa Timur dapat dilihat dari beberapa peristiwa berikut:
Pertama, munculnya regulasi yang diskriminatif berupa SK Gubernur No.
188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah Jawa Timur,
Pergub No. 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan
Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Kedua, konflik horisontal Sunni
dan Syiah di Sampang Madura yang berakibat terusirnya pengikut Syiah ke
pengungsian.
Terjadinya pelanggaran KBB ini menurut Dr. Ahmad Zainul Hamdi disebabkan
oleh pengingkaran kebhinnekaan yang meliputi dua hal, yaitu: logika
fungsionalisme struktural (kelompok berbeda sebagai penyakit dan musuh)
dan politik manipulatif ruang publik (dari identitas daerah misal daerah santri,
daerah sajadah, daerah tasbih sampai dengan peraturan daerah).
Implikasi nyata dengan adanya praktik pelanggaran KBB ini adalah terciptanya
konflik komunal sebagaimana yang terjadi Sampang Madura dalam kasus
konflik Sunni dan Syiah. Konflik Sampang Jawa Timur ini, telah menjadi konflik
terbuka. Kasus ini berdampak pada terusirnya kelompok minoritas Syiah
dari tempat tinggalnya, Desa Karangganyam, Kecamatan Omben, Kabupaten
Sampang. Kasus tersebut bukanlah kasus tiba-tiba. Praktik kekerasan yang
dialami oleh komunitas Syiah di Sampang telah terjadi sejak tahun 1980. Terjadi
rentetan kekerasan yang berlangsung lama hingga memuncak pada penyerangan
di bulan Agustus 2012, yang memakan korban jiwa dan harta benda9.
72
CATATAN AKHIR TAHUN
Pengungkapan kebenaran
Terjadinya konflik terbuka atas nama agama dan keyakinan di Jawa Timur yang
berakibat terjadinya pelanggaran HAM membutuhkan upaya penungkapan
kebenaran. Inisiatif pengungkapan kebenaran ini dibutuhkan membuka jalan
keluar dan sebagai upaya refleksi di kemudian hari.
Pengungkapan kebenaran diperuntukan untuk mengetahui penyebab dan motif
terjadi konflik atas nama agama, kapan dan dimana terjadi, siapa sebagai pelaku,
siapa yang menjadi korban, dan dimana posisi negara c.q pemerintah dalam
kasus tersebut aktif melakukan pelanggaran atau sengaja melakukan pembiaran.
Pengungkapan kebenaran ini menjadi penting dalam upaya pemulihan pasca
konflik yang terjadi. Misal dalam kasus konflik Syiah Sampang sampai dengan
saat ini belum ada pengungkapan kebenaran atas motif. Motif terjadinya
konflik masih ambigu beberapa data lapangan menunjukan ada beberapa alasan
kenapa konflik Syiah Sampang Terjadi, misalnya dalam konflik Sampang ini,
beberapa analisis yang menjelaskan akar-akar konflik. Pertama, disebabkan
adanya pernyataan-pernyataan tokoh agama yang menyebabkan intoleransi dan
kebencian ini, merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang,
yang diperkuat oleh MUI Jawa Timur yang menyebutkan bahwa ajaran Syiah
adalah sesat.11 Kedua, sebagian orang berpendangan bahwa konflik Sampang
terjadi karena adanya persaiangan internal keluarga yang berbeda faham, Rois
(Sunni) dan Tajul Muluk (Syiah). Pengungkapan kebenaran ini diperlu dilakukan
sebagai upaya preventif agar tidak terjadi double burden (beban ganda) yang
dialami oleh korban.
news/2012/08/31/078426687/Fotum-Umat-Fatwa-Sesat-Syiah-oleh-MUI-Tidak-Sah.
73
YLBHI
Salah satu penyebab terjadinya konflik atas nama agama dan keyakinan di Jawa
Timur adalah tingkat kesadasaran masyarakat yang rendah dalam memandang
pentingnya keberagama dan dominasinya patron client. Oleh sebab itu upaya
pengarusutamaan kedasaran kolektif akan pentingnya keberagama menjadi
penting untuk dilakukan pasca terjadinya konflik.
74
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH BANDUNG
Buku Nikah dan Diskriminasi Terhadap Warga JAI di Purwakarta
“Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk
memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945“
Paska sosialisasi Pergub Jawa Barat 2008 tentang pelarangan aktifitas Jemaat
Ahmadiyah yang dilakukan Kepala Desa, Muspika, dan KUA pada 2008,
muncul peraturan pernikahan di wilayah Manis yang khusus berlaku untuk
jemaat Ahmadiyah; calon mempelai harus menandatangani surat pernyataan
keluar dari Ahmadiyah.
Pada Juli 2017, seorang jemaat yang sedang mengurus pernikahan hendak
mengakses surat keterangan tempat tinggal yang dikeluarkan oleh kepala desa.
Tetapi, keterangan domisili tersebut justru digunakan Kepala Desa untuk
mengidentifikasi keberadaan para jemaat Ahmadiyah, sehingga Kepala Desa
berkordinasi terlebih dahulu kepada KUA. Segala persyaratan telah dipenuhi
termasuk membayar uang administrasi sebesar Rp 600.000,00. Namun pada 11
Juli 2017, KUA menangguhkan persyaratan selama dua minggu dengan alasan
akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama terlebih dahulu.
Paska penahanan tersebut, KUA mensyaratkan agar jemaat Ahmadiyah
menandatangani surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah. KUA kemudian
mengembalikan formulir beserta persyaratan kepada jemaat yang ingin
menikah, sedangkan uang administrasi tidak dikembalikan.
Pada 18 Juli 2017, Kepala Desa memfasilitasi jemaat untuk bermusyawarah
bersama MUI. KUA menyatakan bahwa hasil rekomendasi dari warga akan
diserahkan kepada Kemenag Kabupaten Purwakarta. Hasilnya, warga harus
menunggu sekitar dua minggu untuk mendapat keputusannya.
LBH Bandung kemudian menindaklanjuti laporan warga dengan beraudiensi
dengan KUA pada 11 Agustus 2017. Namun, Kepala KUA saat itu tak dapat
ditemui sehingga LBH Bandung melakukan komunikasi lebih lanjut melalui
telepon. Hasilnya, pada 14 Agustus jemaat dapat memperoleh buku nikah.
Pelayanan publik merupakan kewajiban negara yang didasarkan pada prinsip
non-diskirimnasi. Upaya KUA menghambat jemaat Ahmadiyah dalam
mendapatkan hak dasarnya merupakan pelanggaran terhadap UU Pelayanan
Publik dan hak asasi manusia.
75
YLBHI
LBH PEKANBARU
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Talang Mamak atas Sumber Daya Alam
di Indragiri Hulu
“Lebih baik mati anak daripada mati adat”. Pepatah kuno Masyarakat Hukum
Adat Talang Mamak ini menggambarkan kondisi MHA Talang Mamak yang
terus berjuang untuk mempertahankan tradisi leluhur agar tak lekang oleh
perubahan zaman. Menurut para Antropolog, MHA Talang Mamak tergolong
sebagai proto-melayu atau Melayu Tua. Golongan ini diartikan sebagai komunitas
yang mempunyai kebudayaan tertua di peradaban Pulau Sumatera atau Melayu.
Orang Talang Mamak sebagai satu kesatuan baik yang diikat dengan sejarah
atau pun struktur adat terdiri atas 29 suku sebagai komunitas adat.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Talang Mamak merupakan suku asli Indragiri
yang pertama dan berhak atas sumber daya di Indragiri Hulu hingga kini belum
diakui keberadaannya oleh negara baik melalui Surat Keputusan Kepala Daerah
ataupun Peraturan Daerah. Padahal sudah ada mekanisme yang dibuat oleh
Menteri Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52/2014
tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
MHA Talang Mamak sebagian besar hidup dan berkembang di Indragiri Hulu
Provinsi Riau dan sebagian kecil berada di Provinsi Jambi. Sebagai masyarakat
suku asli Indragiri dan suku pertama dan berhak atas sumber daya di Indragiri,
tak lantas membuat MHA Talang Mamak dapat mengelola lahan dan hutan yang
berada di wilayah mereka. MHA Talang Mamak yang berlokasi dan berdomisili
yang tersebar di kecamatan Batang Gangsal, Cenaku, Kelayang, dan Siberida
harus menghadap kenyataan pahit; lahan dan hutan mereka bukan lagi milik
mereka. Tak adanya pengakuan atas hak ulayat mereka menyebabkan MHA
Talang Mamak tidak bisa bertindak.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Indragiri
Hulu menyampaikan hingga Februari 2017 terdapat 30 (tiga puluh) Izin Usaha
Perkebunan yang ada di Indragiri Hulu yang juga tersebar di seluruh desa MHA
Talang Mamak yakni di Teluk Jerinjing, Pejangki, Kelesa, Pangkalan Kasai,
Batang Cenaku, dan Sungai Parit yang berada di Kecamatan Siberida, Sungai
Lala, Batang Cenaku, dan Rengat Barat. Namun data BPN menyebutkan di
Kabupaten Indragiri Hulu hanya ada 20 Hak Guna Usaha Perkebunan seluas
66.114,9679 hektar. Tentu hal ini adalah usaha yang tercatat dan terdaftar,
belum termasuk usaha yang tidak tercatat dan terdaftar yang akan menimbulkan
konflik, seiring dengan tidak diakui dan dihormatinya MHA Talang Mamak di
wilayah mereka sendiri.
Sementara itu, terdapat 17 perusahaan yang mendapatkan Izin Usaha
Pertambangan di Kabupaten Inhu, yang terbagi menjadi 3 jenis tambang yakni
batu bara, pasir, dan andesit. Total terdapat 107.122,95 hektar lahan yang
76
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH PEKANBARU
Kasus Pelanggaran Perizinan PT Runggu Prima Jaya
PT Runggu Prima Jaya (PT. RPJ) adalah salah satu perusahaan perkebunan
kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau yang beroperasi sejak 2008.
Tetapi, hingga saat ini PT. RPJ tak memiliki dokumen perizinan apapun.
Berdasarkan surat pemberitahuan tertulis Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) Utama Nomor 18/SPT/PPID/VIII/2017 menjelaskan
bahwa berdasarkan surat dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Kabupaten Indragiri Hulu, Nomor 174/DPMPTSP/VII/2017 tanggal
28 Juli 2017, izin usaha PT. RJP tersebut tidak ada pada Dinas Penanaman
Modal Pelayanan Terpadu satu Pintu Kabupaten Indragiri Hulu. Demikian pula
AMDAL PT. RPJ tak dapat diberikan karena tidak tersedia di Dinas Lingkungan
Hidup dikarenakan PT. RPJ tidak mengurus AMDAL.
Selain itu, berdasarkan surat balasan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan
Perkebunan Provinsi Riau Nomor 073/DISTPHBUN-B.BUN/001.07 pada 21
Juli 2017, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau
menyampaikan bahwa PT. RPJ yang berada di kabupaten Indragiri Hulu tidak
terdaftar di Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau.
Awalnya, PT. Mulia Argo Lestari (PT MAL) Pada Tahun 2011 mengajukan
permohonan izin lokasi untuk digunakan sebagai perkebunan sawit kepada
Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu, namun Bupati Indragiri menolaknya.
77
YLBHI
Penolakan ini dituangkan dalam Surat Penolakan Surat Nomor: 169/ 1011.
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH
78
CATATAN AKHIR TAHUN
Dakwaan JPU
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum menyebutkan terdakwa melakukan tindak
pidana yang diatur dalam Pasal 85 Undang-undang RI Nomor 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang
Perikanan yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau
menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
79
YLBHI
Amar Putusan
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH
Dalam perkara ini hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh memvonis seluruh
terdakwa dengan hukuman 2 bulan penjara.
LBH JAKARTA
JAKARTA KRITIS (Gerakan Partisipasi Masyarakat Jakarta untuk Jakarta
yang Lebih Baik)
Yang terjadi di Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2017 benar-
benar memanaskan suhu politik nasional. Sejak pidato Basuki Tjahaja Purnama
di Pulau Pramuka tentang Surat Al-Maidah pada 15 Oktober 2016 lalu, berbagai
berita palsu maupun hasutan-hasutan muncul dan menyebar dengan mudah
melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Basuki dihantam dengan
sentimen anti Tionghoa, dituduh Partai Komunis Indonesia (PKI), dan tentu
saja penistaan agama. Anies Baswedan dihujani tuduhan Syiah. Sedangkan
calon yang sudah tersingkir, Agus Yudhoyono diserang dengan tuduhan berada
di balik aksi “Bela Islam”.
Polarisasi Hak Asasi Manusia (HAM), hak sipil vis-à-vis hak ekosob dalam
perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017 terjadi. HAM yang seharusnya dipandang
sebagai satu kesatuan yang utuh menjadi terpisah. Nilai-nilai pada Hak Asasi
Manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan (indivisibility) antara hak sipil dan
hak ekosob, sebab nilai pada Hak Asasi Manusia juga saling bergantung dan
berkaitan satu sama lain (interdependency, interrelated). Pemisahan antara satu
hak dengan hak yang lain dan menganggap bahwa hak yang satu lebih tinggi
dari hak yang lain justru menyebabkan HAM tidak terpenuhi. Oleh karena
pemahaman yang tidak utuh pada nilai HAM tersebut, muncul polemik yang
hingga hari ini tak kunjung surut pada masyarakat di DKI Jakarta. Masalah-
masalah yang kemudian muncul antara lain:
Intoleransi
Permasalahan isu sektarian berbasiskan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan
(SARA) menjadi isu utama yang muncul pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Picu
utama dalam permasalahan ini berawal dari (ethically incorrect ) ucapan Basuki
Tjahja Purnama (pada saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta)
di Kepulauan Seribu. Kemarahan masyarakat DKI Jakarta kemudian tumpah,
terutama dari mereka yang terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan Basuki
Tjahja Purnama selama menjabat. Rata-rata mereka adalah masyarakat yang
kecewa atas penggusuran-penggusuran paksa yang kerap dilakukan Basuki
selama menjabat atau mereka korban dari reklamasi di Teluk Jakarta. Kemarahan
tersebut, lebih parah tidak hanya tertuju pada sosok Basuki Tjahja Purnama saja,
80
CATATAN AKHIR TAHUN
Banjir
Banjir menjadi masalah yang berulang di DKI Jakarta setiap musim penghujan
tiba. Basuki-Djarot selalu menyatakan bahwa penyebab banjir Jakarta adalah
sungai yang menyempit. Mereka kemudian menyatakan bahwa normalisasi
sungai merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Solusi
normalisasi tersebut kemudian juga menjadi dasar dalam beberapa penggusuran
yang mereka lakukan. Warga Kampung Pulo dan Bukit Duri adalah contoh
imbas dari normalisasi sungai yang Basuki dan Djarot terapkan.
Kemacetan
Kemacetan sudah menjadi hal yang lazim di kota Jakarta. Rata-rata kecepatan
81
YLBHI
kendaraan untuk bisa melaju di jalanan Jakarta ialah 20 kilometer per jam dan
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH
di jam-jam tertentu kecepatan kendaraan kurang dari 10 kilometer per jam. Hal
ini akan terus bertambah parah mengingat setiap hari ada 6.000 kendaraan baru
di Jakarta sedangkan tingkat perutumbuhan jalan hanya 0,01 persen per tahun.
82
CATATAN AKHIR TAHUN
83
YLBHI
84
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH JAKARTA
PENYERANGAN KANTOR LBH JAKARTA-YLBHI
Diskusi berjudul “Pembukaan Kebenaran Sejarah 1965/1966” pada awalnya
direncanakan diadakan di gedung YLBHI pada tanggal 16-17 September 2017.
Para peserta kebanyakan adalah korban pelanggaran hak asasi manusia masa
lalu di bawah rezim Orde Baru Soeharto yang sekarang telah lanjut usia. Ada
informasi palsu yang disebarluaskan dengan menggunakan propaganda anti-
komunis yang mengatakan bahwa diskusi tersebut adalah kebangkitan kembali
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Semalam sebelumnya, Jumat 16 September 2017, polisi telah berkoordinasi
dengan panitia dan berjanji untuk mengamankan penyelenggaraan acara dan
menjamin keselamatan semua peserta acara diskusi dan telah mengetahui
mengenai demonstrasi yang direncanakan akan diadakan di depan kantor
YLBHI - LBH Jakarta.
Pada hari Sabtu, 17 September 2017 pagi sekitar pukul 6 pagi, polisi membarikade
kantor LBH Indonesia dan melarang setiap orang memasuki gedung kami. Para
peserta manula bersama dengan para aktivis terpaksa duduk di pinggir jalan
di luar gedung. Mereka tidak mendapatkan akses ke toilet selama beberapa
jam sampai kami beberapa kali meminta kepada Polisi, yang kemudian hanya
mengizinkan per dua orang memasuki gedung untuk mengakses toilet. Para
peserta manula, aktivis dan pengacara serta staf kami hanya mendapatkan akses
ke gedung secara keseluruhan sekitar pukul 12.00 WIB karena meningkatnya
demonstrasi. Ada tekanan kepada panitia untuk membatalkan acara tersebut
dan akhirnya acara dibatalkan.
Kemudian pada sore itu ada rapat koordinasi di kalangan aktivis untuk
menanggapi pembatasan hak atas kebebasan berkumpul dan berdiskusi. Polisi
kemudian masuk secara paksa ke kantor kami dan memerintahkan rapat untuk
dibubarkan, kemudian menyita spanduk acara yang masih terpasang.
Semua aktivis yang hadir memutuskan untuk menyelenggarakan sebuah acara
pertunjukan seni pada keesokan harinya, Minggu, 17 September 2017 untuk
mengumpulkan solidaritas atas pelanggaran hak atas berkumpul secara damai
dan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Acara berlangsung lancar mulai
pukul 15.00 - 21.30 dengan penjagaan polisi di luar gedung.
Sepanjang acara pentas seni, di sekitar area kantor kami terjadi penggalangan
massa untuk melakukan demonstrasi dengan tuduhan palsu bahwa acara tersebut
berisi materi komunisme. Pukul 21.30 WIB jumlah massa yang berkumpul
semakin bertambah. Semua yang berpartisipasi dalam acara seni terpaksa tetap
berada di dalam gedung karena terhalang oleh massa. Sampai pukul 24.00 WIB
Polisi tidak melakukan apapun untuk membubarkan massa.
85
YLBHI
Protes dari massa terus meningkat sampai para pemrotes menuntut untuk
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH
LBH MAKASSAR
Penangkapan 4 Petani dalam kawasan hutan di Kab. Sopeng, Provinsi
Sulawesi Selatan
Pada 22 Oktober 2017 sekitar pukul 11.00 WITA telah terjadi penangkapan
paksa terhadap 4 petani di Kabupaten Sopeng, Sulawesi Selatan oleh Polisi
Kehutanan. 4 Petani yang ditangkap paksa tersebut adalah Muhammad Sahidin
bin Kadire, Jamadi alias Jamak bin Kadu, Sukardi bin Massalesse alias Suka
dan Ammase. Penangkapan paksa terjadi karena para petani tersebut disangka
melakukan tindak pidana kehutanan berupa “melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat
berwenang, dan atau melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
secara tidak sah dan atau melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri
di dalam kawasan hutan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Ayat (1) dan
atau Pasal 12 huruf b atau huruf c Jo. Pasal 82 Ayat (1) huruf a dan/atau huruf
b dan/atau huruf c dan Pasal 17 Ayat (2) huruf n Jo. Pasal 92 huruf a Undang –
Undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
Penangkapan terhadap 4 petani tersebut tidak sesuai dengan aturan dan
merupakan perlakuan sewenang-wenang oleh Polisi Kehutanan, karena para
petani tidak mengelola kebunnya untuk kepentingan komersil, melainkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015
menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap
86
CATATAN AKHIR TAHUN
masyarakat yang secara turun - temurun hidup di dalam kawasan hutan dan
tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”.
Tindakan Polisi Kehutanan dalam menetapkan para petani sebagai tersangka
telah melanggar ketentuan Pasal 30 Peraturan Presiden Nomor 88 tahun 2017
tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan “Instansi
pemerintah tidak melakukan pengusiran, penangkapan, penutupan akses
terhadap tanah, dan/atau perbuatan yang dapat mengganggu pelaksanaan
penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.”. Karena saat
terjadi penangkapan 4 petani tersebut Pemerintah Kabupaten Soppeng bersama
Pemerintah Provinsi Sulsel dan bahkan Polisi Kehutanan sendiri sedang
melakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan Laposo
Niniconang dengan membentuk Tim Terpadu untuk meneliti perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan yang selama ini digarap oleh masyarakat dalam
kawasan hutan untuk kemudian dilakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sulsel;
Penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan terhadap
Para petani dilakukan dengan cara – cara yang bertentangan dengan hukum.
Karena para petani yang ditangkap tidak tahu - menahu dalam hal apa mereka
dijemput oleh Polisi Kehutanan, karena mereka tidak memperlihatkan surat
tugas dan tidak disertai surat perintah penangkapan yang mencantumkan
identitas Para Pemohon dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian
singkat perkara yang disangkakan dan tempat mereka diperiksa, perbuatan
mana telah melanggar pasal 18 ayat (1) dan (3) KUHAPidana.
Setelah ditangkap Para Petani selama 3 (tiga) hari sejak tanggal 22 s/d 24 Oktober
2017 disekap oleh Polisi Kehutanan di Markas Sporc Brigade Anoa tanpa status
hukum dan tanpa diketahui oleh keluarga Para Petani.
Kejanggalan yang terjadi terhadap Para Petani yang ditangkap adalah sebagai
berikut:
- Pada tanggal 24 Oktober 2017, Polisi Kehutanan baru mengeluarkan Surat
Perintah Penyidikan atas Para Petani;
- Pada tanggal 25 Oktober 2017, dalam tempo satu hari Polisi Kehutanan
mengeluarkan sekaligus 3 (tiga) surat yaitu :
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas Para Petani;
Surat Perintah Penangkapan terhadap Para Petani;
Surat Perintah Penahanan terhadap Para Petani.
Penyekapan Para Petani selama 3 (tiga) hari oleh Polisi Kehutanan adalah
bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena Para Petani disekap tanpa
status hukum yang jelas dan tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka.
Para Petani tidak pernah dipanggil secara patut oleh Polisi Kehutanan untuk
87
YLBHI
LBH SURABAYA
Kriminalisasi Warga Tolak Pertambangan Tumpang Pitu Banyuwangi
Dampak Pertambangan Tumpang Pitu
Di wilayah selatan Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, terdapat bukit bernama
Tumpang Pitu, di bukit ini terdapat perusahaan tambang emas, milik PT.
Merdeka Copper Gold Tbk., yaitu PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT. Damai
Suksesindo (DSI). PT. BSI memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi (IUP OP) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/
KEP/429.011/2012 tanggal 9 Juli 2012, sebagaimana terakhir kali diubah dengan
Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/928/KEP/429.011/2012 tertanggal
7 Desember 2012. Sedangkan PT. DSI memiliki Izin Usaha Pertambangan
Eksplorasi (IUP Eksplorasi) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No.
188/930/KEP/429.011/2012 tanggal 10 Desember 2012, di mana terakhir kali
diubah dengan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/109/KEP/429.011/2014
tanggal 20 Januari 2014.
Lokasi IUP OP PT. BSI seluas 4.998 ha, yang akan berlaku sampai dengan
25 Januari 2030. Sedangkan IUP Eksplorasi DSI seluas 6.623 ha, berlaku
sampai dengan 25 Januari 2016. Izin yang dimiliki oleh PT. BSI dan PT. DSI
ini merupakan hasil rangkaian panjang perizinan yang dikeluarkan kepada
perusahaan tambang sejak tahun 1995. Akan tetapi perusahaan-perusahaan
sebelumnya tidak sampai pada tahap eksplorasi, barulah PT. BSI dan PT. DSI
yang melakukan eksplorasi di bukit Tumpang Pitu, Banyuwangi.
Saat ini, terdapat 2 desa yang berada di kawasan berstatus eksploitasi dan terletak
di ring 1 pertambangan, yakni Desa Pesanggaran dengan jumlah penduduk
terdampak sebanyak 14.450 orang (7.327 laki-laki dan 7.123 perempuan) dan
88
CATATAN AKHIR TAHUN
89
YLBHI
dari aksi pemasangan spanduk tolak tambang yang dilakukan pada tanggal
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH
4 April 2017 (aksi pemasangan spanduk penolakan ini bukan pertama kali
dilakukan, sebelumnya juga sudah pernah dilakukan aksi yang sama). Aksi
pemasangan spanduk penolakan ini dilakukan di sepanjang pantai Pulau
Merah, dusun Pancer, Sumberagung hingga kantor Kecamatan Pesanggaran.
Satu hari pasca aksi (5/4) tersebut, muncul beberapa pernyataan dari
pihak aparat keamanan Banyuwangi (TNI/Polri), bahwa di dalam spanduk
penolakan warga terdapat gambar yang mirip palu arit bersilangan. Atas
kasus ini, warga memberikan pernyataan bahwa tidak satupun spanduk yang
mereka pasang terdapat logo yang dituduhkan pihak aparat keamanan. Warga
menduga tuduhan tersebut hanya bertujuan untuk melemahkan gerakan
penolakan yang sedang mereka lakukan, sekaligus untuk memecah belah
persatuan perjuangan warga menggunakan isu komunisme. Atas peristiwa
ini, 4 orang warga yang ditetapkan sebagai tersangka dikenakan pasal 170a
UURI No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara;
4. Akhir April 2017, satu orang warga dituduh melakukan penghadangan
terhadap pekerja PT. DSI. Atas tuduhan tersebut, 1 orang warga kini
ditetapkan sebagai tersangka;
5. Mei 2017, 1 orang kuasa hukum (pengacara) warga dituduh melakukan
pencemaran nama baik perusahaan. Kasus ini bermula saat pengacara warga
tersebut mengatakan kepada media bahwa aktivitas kegiatan pertambangan
di Tumpang Pitu diduga telah mencemari lingkungan. Atas kasus ini,
pengacara warga tersebut kini ditetapkan menjadi tersangka.
90
CATATAN AKHIR TAHUN
tanggal 4 September 2017, dia resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Banyuwangi.
Saat ini Budi Pego telah menjadi Terdakwa dan disidangkan di Pengadilan Negeri
Banyuwangi dengan nomor register perkara 559/Pid.B/2017/PN.Byw. yang
didakwa dengan dakwaan tunggal, yakni melanggar ketentuan Pasal 107 huruf
a Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara terkait dengan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Maxisme-Leninisme.
Beberapa catatan penting terkait dengan proses hukum terhadap Budi Pego
antara lain :
a. Bahwa penyidik Kepolisian Resort Banyuwangi memaksakan kasus ini
karena sesungguhnya pada saat pembuatan spanduk, anggota kepolisian dari
Polsek Pesanggaran melakukan pengawalan sejak awal pembuatan spanduk
hingga pemasangan. Jadi, sesungguhnya penyidik kepolisian tahu kejadian
ini sejak awal;
b. Dalam proses pendampingan pemeriksaan Tersangka Budi Pego di Polres
Banyuwangi, tim pengacara yang tergabung dalam TeKAD GARUDA (Tim
Kerja Advokasi Untuk Daulat Agraria) mendapati pemeriksaan yang sangat
ketat. Tim pengacara yang mendampingi dibatasi hanya dua pengacara
saja, padahal saat itu ada lima pengacara yang hadir untuk mendampingi
pemeriksaan;
c. Barang bukti berupa spanduk yang bergambar mirip palu arit juga tidak bisa
dihadirkan oleh Penyidik Polres Banyuwangi, sehingga barang bukti yang
dihadirkan hanya foto dan video aksi;
d. Dari surat dakwaan yang dirumuskan oleh JPU diketahui bahwa Budi Pego
didakwa telah melanggar ketentuan Pasal 107a karena dianggap diam dan
tidak melarang adanya spanduk bergambar mirip palu arit. Dia seolah-olah
dianggap bertanggung jawab sebagai pimpinan aksi. Padahal, dalam aksi-
aksi protes yang dilakukan oleh warga, tidak ada pimpinan aksi. Aksi-aksi
warga dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi;
e. Pada saat sidang pertama kasus ini yaitu 14 September 2017, tim kuasa
hukum tidak diberikan informasi yang jelas mengenai waktu dimulainya
persidangan. Berdasarkan informasi Panitera Pengganti (Hariyono, SH),
sidang dijadwalkan pada pukul 09.40 WIB. Namun, pada pukul 09.15 WIB
Budi Pego dibawa Jaksa Penuntut Umum masuk ke ruang persidangan yang
di dalamnya sudah lengkap berisi majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum, dan
Panitera Pengganti. Dalam proses tanya jawab awal antara Majelis Hakim
dan Budi Pego selaku Terdakwa, hakim baru mengetahui jika Terdakwa
didampingi kuasa hukum, namun kuasa hukumnya belum hadir di
persidangan, sehingga sidang harus ditunda hingga hari Rabu, 21 September
2017. Padahal, JPU sendiri tahu bahwa Budi Pego telah memiliki Penasihat
91
YLBHI
Hukum dan pada hari tersebut kuasa hukum telah hadir di pengadilan
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH
LBH BALI
Isu Sumber Daya Alam
Pembangunan PLTU Tahap I Celukan Bawang
Di Bali PLTU Celukanbawang dibangun di atas tanah Dusun/Banjar Dinas
Pungkukan Desa Celukan Bawang Kabupaten Buleleng, luas Dusun Pungkukan
sekitar 70 Ha. Awalnya pembangunan PLTU terdiri dari 3 Fase dengan total
kapasitas produksi 780 MW. Namun dalam perkembangannya pemrakarsa
merevisi kapasitas produksi yaitu Fase I terdiri dari 2x125 MW dan 1x130 MW
sehingga total kapasitasnya menjadi 380 MW. Kemudian Fase II terdiri dari
2x300 MW sehingga total kapasitas keseluruhan adalah 980 MW. Bahan Bakar
PLTU Celukan Bawang menggunakan Batu Bara dengan investor Cina Huandian
Engineering Cooperation (CHEC). Pemrakarsa/perusahaan pengembang PLTU
Celukan Bawang tahap I adalah PT General Energy Bali (GEB) dan Pemrakarsa
tahap II adalah PT PLTU Celukan Bawang.
Tahun 2013, Keputusan Gubernur Bali, nomor 626/04-B/HK/2013 tentang Izin
Lingkungan rencana PLTU Celukan Bawang.
Di Desa Celukan Bawang terdapat lima kelompok nelayan yang tersebar di
3 Dusun yaitu Dusun Pungkukan, Dusun Berombong dan Dusun Celukan
Bawang. Sebelum adanya PLTU perairan Celukan Bawang merupakan tempat
berkumpulnya ikan karena dasar lautnya celuk (cekung) ke bawah. Ikan teri
banyak terdapat di perairan Celukan Bawang, dalam satu malam Nelayan bisa
mendapatkan sekitar 3 ton ikan. Jarak nelayan mencari ikan di pinggir perairan
Celukan Bawang sekitar 15-30 menit. Namun sejak adanya PLTU, ikan sudah
mulai berkurang diperairan Celukan Bawang sehingga para Nelayan harus
mencari ikan jauh ke tengah laut sekitar 5 jam, dan menghabiskan Bahan Bakar
Minyak (BBM) lebih banyak.
Tahun 2017, salah satu nelayan yaitu Bapak GD menyampaikan bahwa biaya
pengeluaran nelayan saat ini lebih besar dari pada pendapatannya karena dia
pernah merasakan hal tersebut. Ia harus memberli BBM Rp 200.000,00 untuk
perjalanan sejauh hampir ke perairan pulau Kangean Madura. Bapak GD hanya
mendapatkan ikan 5 kg sedangkan harga jual ikan Rp 25.000/kg, maka Bapak GD
hanya mendapatkan 125 ribu. Dari hasil nelayan Bapak GD tidak mendapatkan
keuntungan melainkan mengalami kerugian modal sekitar 75 ribu.
Beberapa penyebab susahnya nelayan mencari ikan di perairan Celukan Bawang,
karena adanya aktivitas konstruksi dan beroperasi PLTU seperti adanya getaran
92
CATATAN AKHIR TAHUN
keras saat kontruksi, pengerukan laut untuk pelabuhan PLTU, adanya cahaya
lampu PLTU yang terang pada malam hari, adanya pembuangan air panas ke
laut melalui pipa bawah tanah, dan masih banyak penyebab lainnya. Saat ini tak
sedikit nelayan di Celukan Bawang beralih kerja menjadi buruh serabutan dan
mencari penghasilan ekonomi lainnya.
Selain dampak di perairan laut, dampak di darat juga dirasakan warga. Salah
satu warga yaitu nenek KRM yang tempat tinggalnya masih berada di dalam
lahan pembangunan PLTU menyampaikan bahwa sebelum ada PLTU hasil
kebun pohon kelapa beliau bisa mencapai 900-1.000 buah kelapa dalam sekali
panen, namun setelah ada PLTU hasil kebun pohon kelapa turun 200-100 buah
kelapa dalam sekali panen.
Kemudian dampak kesehatan seperti gangguan Infeksi Saluran Pernapasan
(ISPA), gangguan ISPA paling rentan dialami oleh anak-anak dan lansia. ISPA
terhadap anak yaitu MY rumahnya dekat dengan pembangunan PLTU. MY
mengalami sakit saat ada debu dari kegiatan kontruksi PLTU Celukan Bawang.
Pada tahun 2013 dan 2014 MY harus dirawat ke dokter spesialis anak. Paru-
paru MY dirontgen dan dokter menyatakan MY sakit radang paru-paru. Selama
MY sakit, orang tua MY membayar biaya pengobatan dan pemeriksaan dari
kantongnya sendiri.
Dari berbagai dampak persoalan warga yang ditimbulkan karena adanya PLTU
Celukan Bawang berbahan batubara, maka warga bersama YLBHI-LBH Bali
melakukan diskusi dan kajian tentang dampak lingkungan PLTU batubara
terhadap warga.
93
YLBHI
94
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH Bali bersama Aliansi Peduli Fasilitas Publik telah melakukan dua kali
hearing kepada Pihak Polresta Kota Denpasar untuk mendesak ditetapkan
tersangka dalam kasus ini, namun hingga saat ini Polresta kota Denpasar belum
menetapkan tersangka.
LBH LAMPUNG
Polisi Menembak Mati Lima Pelajar Asal Jabung Terduga Begal
Pada 1 April 2017 sekitar pukul 01.30 WIB telah terjadi penembakan oleh aparat
Polisi (Polresta) Bandar Lampung terhadap lima pelajar di Lampung. Kelimanya
dituduh sebagai residivis dan DPO kepolisian. Mereka ditangkap pada saat ada
razia yang dipimpin Polresta Bandar Lampung. Polisi beralasan para pelajar
melakukan perlawanan sehingga ditembak. Kejadian tersebut mengakibatkan
tewasnya lima orang pelajar asal Jabung, Kabupaten Lampung Timur yang
dituduh sebagai komplotan begal/curas. Mereka adalah: Yogi Yudistira (20),
Riko Adit N (17), Herman Effendi (17), Indra Saputra (17) dan Saparudin (20).
Kejadian tersebut menjadi viral setelah beberapa anggota polisi berfoto selfie
dengan kelima korban yang tewas ditembak.
LBH Lampung melakukan advokasi pada kasus ini atas laporan masyarakat.
Menurut keterangan keluarga, setelah jenazah diterima keluarga masing-masing,
mereka menemukan keanehan. Pada jenazah ditemukan luka-luka penyiksaan
sebelum ditembak mati, seperti leher patah, kaki tangan dan muka lebam.
Kelima terduga begal ini adalah anak di bawah umur dan berstatus sebagai pelajar
di sekolah SMAN 1 Jabung dan SMK Perintis Adiluhur Kabupaten Lampung
Timur. Menurut keterangan pihak sekolah (kepala sekolah, guru, wali kelas, dan
teman-teman sekolah) mereka adalah siswa yang aktif dalam kegiatan ekstra
kurikuler seperti Pengurus OSIS, Pramuka, Gerakan Pecinta Alam, Drumband,
Saka Bhayangkara, dan lain-lain.
LBH Lampung melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan Propam Mabes
Polri, namun sampai sekarng belum ada tindak lanjut.
LBH PADANG
Kriminalisasi Masyarakat Adat Agam
Dua orang anggota kesatuan masyarakat hukum adat Nagari Koto Malintang
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, Agusri Masnefi, dan Erdi Datuak
Samiak mendekam di tahanan Polres Agam sejak 27 September 2017. Keduanya
disangka oleh tim gabungan Polres Agam dan Polisi Kehutanan dengan tindak
pidana penebangan kayu secara tidak sah yang menurut negara berada pada
kawasan hutan konservasi cagar alam.
95
YLBHI
ulayat suku yaitu Suku Tanjung. Titik penebangan berada pada hamparan datar
dekat sawah-sawah dan peladangan masyarakat yang selama ini telah mereka
kelola secara turun temurun. Karena umur terus berlanjut dan mimpi untuk
memperbaiki ekonomi, Agusri Masnepi dan keluarga berniat membangun
kedai di pinggir Danau Maninjau. Dengan begitu ia tidak perlu berkeliling dan
menantunya bisa pula membuka usaha kecil-kecilan di kedai itu. Ia menjual dan
menggadaikan sepeda motornya untuk menyewa tanah kedai, membeli bahan
dan modal kedai. Namun uang hasil penjualan motor tidak mencukupi untuk
membeli seluruh papan dan kayu yang dibutuhkan. Keluarga Masnefi kemudian
meminta izin kepada Ninik Mamak untuk diizinkan menebang kayu di Ulayat
Suku.
Masyarakat Nagari Koto Malintang telah memiliki kearifan lokal sendiri dalam
memastikan kelestarian sumber daya alam. Misalnya dengan membatasi jumlah
pohon yang boleh ditebang, kayu yang boleh ditebang pun juga adalah jenis
kayu tertentu, misalnya kayu bayur, sejenis kayu tebangan yang kalau ditebang
tidak langsung mati tapi akan tumbuh kembali.
Masyarakat sendiri sadar sebagai bagian dari warga negara republik Indonesia
mereka harus menghormati hukum, karna itu pula sekalipun menebang kayu di
parak atau di ulayat-ulayat suku, masyarakat tetap berkoordinasi dengan jorong
dan wali nagari sebagai representasi pemerintah RI. Dalam kasus ini sudah ada
rekomendasi dari jorong dan wali nagari. Ini sudah kebiasaan yang berlangsung
lama di masyarakat adat Nagari Koto Malintang.
Berbekal surat izin ini Agusri Masnepi meminta tolong kepada bantuan Erdi
Dt. Samiak untuk menebang dua pohon kayu bayur. Namun kemudian Erdi
Dt. Samiak yang sedang menebang kayu ditangkap oleh Tim Gabungan Polisi
Kehutanan dan Polres Agam. Dengan santai dia memperlihatkan surat yang
dimiliki namun tidak dihiraukan oleh penegak hukum. Ia langsung dibawa ke
Kepolisian Resor Agam pada 27 September 2017.
Agusri Masnepi yang merasa bertanggungjawab mencoba mendatangi Polres
Agam untuk meminta penjelasan, namun sejak itu ia tidak lagi pulang ke rumah,
ia langsung ditahan hingga sekarang karena dianggap melanggar Pasal 82 ayat
(1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pengrusakan Hutan dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya.
Kasus kriminalisasi masyarakat adat ini adalah permasalahan struktural yang
berujung pada ketidakadilan. Ketidakadilan muncul akibat kesewenangan
pemerintah dalam menetapkan status kawasan hutan. Hutan ulayat kaum
Aslinda telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Maninjau tanpa diketahui
oleh Aslinda dan masyarakat lainnya. Padahal dalam Putusan Mahkamah
96
CATATAN AKHIR TAHUN
LBH YOGYAKARTA
Pemerintah berencana membangun bandara internasional di Kulonprogo,
Yogyakarta. Senin, 27 November 2017 sampai 4 Desember 2017, PT. Angkasa
Pura (AP) 1 mengosongkan lahan dan rumah milik warga petani terdampak
pembangunan Bandar Udara Baru (New Yogyakarta International Airport/
NYIA). Sebelumnya, pemerintah sudah melakukan proses land clearing.
Proyek ini sudah memiliki Izin Lingkungan yang terbit pada 17 Oktober 2017.
Tetapi, studi amdal yang melandasi terbitnya izin tersebut tidak sah dan cacat
hukum. Dari aspek pelingkupan, muatan tentang kesesuaian lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan dengan rencana tata ruang sesuai ketentuan peraturan
perundangan tidak terpenuhi. Demikian juga deskripsi rona lingkungan hidup
awal (environmental setting) yang pada dasarnya merupakan kawasan rawan
bencana alam tsunami (kawasan lindung geologi). Maka, makin tidak layaklah
NYIA Kulonprogo dibangun. Sementara secara prosedural, proses studi amdal
itu tidak dilakukan pada tahapan yang semestinya. Ada tahapan yang dilompati
oleh AP1. AMDAL tidak disusun terlebih dulu sebagai prasyarat untuk
menerbitkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang
Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Untuk Pengembangan Bandara Baru
di DIY (IPL). Pemrakarsa telah melompat jauh ke tahapan groundbreaking dan
bahkan sudah masuk ke tahapan kontruksi (mobilisasi alat).
Selain itu, dalam PP Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-
Bali) hingga peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Perda Provinsi
DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
DIY tahun 2009-2029) tidak ada satu pun klausula yang merekomendasikan
pembangunan bandar udara baru di Kulonprogo. Yang ada ialah pengembangan
dan pemantapan fungsi bandara Adi Sucipto yang terpadu/satu kesatuan sistem
dengan bandara Adi Sumarmo, di Kabupaten Boyolali.
97
YLBHI
Hal lain, calon bandara NYIA berdiri di atas kawasan rawan bencana tsunami.
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH
Hal ini dapat dilihat di dalam Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR
Pulau Jawa-Bali dimana Kabupaten Kulonprogo jadi salah satu wilayah yang
ditetapkan sebagai zona rawan bencana alam geologi (pasal 46 ayat 9 huruf d).
Selain itu, menilik Perda Provinsi DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang RTRW DIY,
sepanjang pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan
rawan tsunami (Pasal 51 huruf g). Bahkan Perda Kabupaten Kulon Progo
Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogo pun lebih detail
menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah satunya meliputi Kecamatan
Temon (pasal 39 ayat 7 huruf a).
Tim peneliti Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
bahkan menemukan deposit tsunami di dekat bakal lokasi bandar udara baru
di Yogyakarta. Deposit tsunami itu diperkirakan berusia 300 tahun, seumuran
jejak pantai selatan Banten dan Jawa Barat. Potensi gempa di kawasan ini,
berdasarkan sebaran deposit tsunaminya, bisa di atas M9, demikian kata Kepala
Geoteknologi LIPI Eko Yulianto di Kompas, Selasa 25 Juli 2017. Jika suatu saat
terjadi lagi tsunami seperti di Pantai Pangandaran dengan (kekuatan kegempaan)
magnitude lebih tinggi sedikit saja, bandara baru itu akan kena mulai bagian
apron, terminal sampai runwaynya. Khalayak umum terutama masyarakat calon
pengguna jasa transportasi udara seakan-akan sedang dijerumuskan ke kawasan
beresiko bahaya ekstra, yaitu kawasan rawan bencana tsunami.
Penggusuran Paksa
Selain masalah lingkungan, pemerintah dan aparat kepolisian di juga
melakukan penggusuran paksa terhadap warga yang menolak pindah rumah
dan menyerahkan lahan garapannya untuk bandara. Rumah-rumah mereka
dirobohkan dalam beberapa kali proses penggusuran.
Selama kurang lebih empat tahun, LBH Yogyakarta melakukan pengorganisasian
pada satu kelompok warga petani penolak bandara. Banyak hal sudah dilakukan,
mulai dari memberikan pendidikan hukum kritis, mengadakan pertemuan-
pertemuan baik formal maupun non-formal, mengkampanyekan kasus ini
dengan membuat konferensi pers dan siaran pers dengan jumpa pers, menggelar
diskusi publik, memproduksi film Kinjeng Wesi, mengajukan gugatan terhadap
izin penetapan lokasi yang diterbitkan Gubernur DIY, mendampingi empat orang
petani yang dikriminalkan dengan pasal penghasutan dan pengrusakan karena
mereka menolak bandara, melakukan uji materi terhadap Perda Kulonprogo
tentang RTRW yang mengatur tentang pembangunan bandara (bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi), dan melakukan pendampingan pada
para mahasiswa yang ditangkap polisi saat penggusuran rumah-rumah warga
dilakukan.
98
CATATAN AKHIR TAHUN
KESIMPULAN
Kasus-kasus lingkungan hidup, perampasan tanah, pelanggaran hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan, kasus perburuhan, penyiksaan dan
extra judicial killing oleh aparat kepolisian, dan kriminalisasi masyarakat adalah
kasus-kasus yang mengemuka sepanjang 2017. Kasus yang melibatkan aparat
kepolisian, seperti biasanya masih sulit diungkap. Dalam kasus Lampung karena
tidak adanya respon dari pemerintah (Komnas HAM) maupun institusi di
atasnya (Propam). Sementara itu, masyarakat juga masih dihantui kriminalisasi
ketika mengakses sumber daya alam atau memperjuangkan hak atas tanah.
Meskipun keberadaan masyarakat adat telah diakui dalam konstitusi, namun
kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Lahan-lahan mereka dirampas
dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dan kehutanan.
Sementara itu, jika mereka mengakses sumber daya hutan akan terancam
kriminalisasi. Kriminalisasi juga menimpa para pejuang lingkungan seperti yang
terjadi di Bali dan Kendeng. Dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan,
masih terdapatnya diskriminasi dan intoleransi terhadap beberapa penganut
agama dan keyakinan tertentu. Artinya situasi perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia di semua isu tersebut tidak membaik.
99
YLBHI
BAB IV
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL
100
CATATAN AKHIR TAHUN
101
YLBHI
(iv) pasal 59 ayat (3) huruf b dan pasal 82A ayat (2) bertentangan dengan
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL
prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditegaskan pasal 28D ayat
(1) UUD 1945.
102
CATATAN AKHIR TAHUN
103
YLBHI
104
CATATAN AKHIR TAHUN
105
YLBHI
106
CATATAN AKHIR TAHUN
107
YLBHI
108
CATATAN AKHIR TAHUN
109
YLBHI
yang berarti membuat norma baru dan merupakan open legal policy yang
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL
110
CATATAN AKHIR TAHUN
111
YLBHI
5. LBH Jakarta, LBH Papua, dan Jaringan Masyarakat Sipil Menguji Pasal
Makar di KUHP; Upaya Membendung Pembungkaman Kemerdekaan
Berpendapat
Selama ini pasal makar di KUHP lebih banyak digunakan untuk
membungkam ekspresi politik yang berbeda dari warga negara. LBH Jakarta
bersama dengan LBH Papua dan Jaringan masyarakat sipil yang tergabung
dalam Tim Advokasi untuk Kebebasan Warga Negara menjadi kuasa hukum
dari Hans Wilson Wader dan Meki Elosak bersama lembaga keagamaan
yaitu Gereja Kemah Injil (KINGMI) dan Gereja berbentuk Sinodal, serta
Yayasan Satu Keadilan mengajukan permohonan uji materiil pasal Pasal
104,106,107,108, dan Pasal 110 KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada
22 Maret 2017.
Dalam permohonannya, Tim Advokasi untuk Kebebasan Warga Negara
menjelaskan bahwa pasal-pasal yang diujikan bertentangan dengan tiga
prinsip dan hak yang diatur dalam UUD 1945. Pertama, pasal tersebut
bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Kedua, pasal tersebut bertentangan dengan hak
atas jaminan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 D ayat
(1) UUD 1945. Ketiga, pasal tersebut bertentangan dengan hak kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat, pikiran secara lisan dan
tulisan sebagaimana amanat Pasal 28 dan Pasal 28 e ayat (30 UUD 1945.
112
CATATAN AKHIR TAHUN
113
YLBHI
STRUKTUR
Pemerintah memiliki resep yang manjur untuk menanggulangi kemiskinan dan
mengisi pembangunan, yaitu mengundang investor. Hal tersebut terjadi di setiap
level baik tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat. Logika yang dibangun
adalah investasi menambah pemasukan dan menyediakan lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu mengundang investor menjadi sah dan sakral dilakukan oleh
pemerintah. Umumnya rakyat Indonesia mengamini logika tersebut sehingga
masuknya investor disambut baik dan mendapat tempat mulia. Lihat saja dalam
proses kontestasi pemilihanBupati, Gubernur hingga Presiden selalu didengung-
dengungkan investasi dan pembangunan infrastruktur. Akan tetapi mereka tak
pernah membicarakan investor seperti apa yang akan didatangkan.
Investasi yang bergulir saat ini berkaitan erat dengan industrialisasi yang
terjadi di Indonesia. Sejak zaman kolonial Belanda, Indonesia memasuki
era industrialisasi. Posisi Indonesia sebenarnya sebagai produsen, akan
tetapi jalur distribusi dimonopoli oleh perusahaan asing serta negara-negara
kolonial. Maka, korporasi lah yang meraup keuntungan. Melalui kerja paksa,
pemerintah kolonial Belanda masif membangun perkebunan seperti teh, kopi,
tebu, dan rempah-rempah untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa. Untuk
memuluskan agenda tersebut dimulailah pembangunan proyek infrastruktur,
seperti pembuatan rel kereta api, pembangunan jalan Anyer Panarukan, dan
pembangunan pelabuhan-pelabuhan. Melalui kereta api, jalan tol hasil bumi
nusantara diangkut ke pelabuhan kemudian disebarkan ke Eropa.
Kondisi seperti itu berlangsung hingga saat ini. Pasar internasional sangat
berpengaruh terhadap perkembangan industri di Indonesia. Terjadi juga
metamorfosis industri dari industri perkebunan kemudian menjadi migas dan
manufaktur.
114
CATATAN AKHIR TAHUN
pangan nasional;
5. Koridor Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian,
perkebunan, perikanan, migas, dan pertambangan nasional;
6. Koridor Papua dan Kep Maluku sebagai pengembangan energi, pangan,
perikanan, dan tambang nasional.
Dari pembagian wilayah tersebut, nampak orientasi pembangunan Indonesia.
Misalnya, Sumatera dan Kalimantan sebagai lumbung energi nasional.
Lumbung energi tentu erat kaitannya dengan pengadaan energi, dimana energi
yang ada saat ini masih pada energi yang tak terbarukan seperti batu bara dan
minyak bumi. Sementara Jawa sebagai pendorong industri dan jasa, karena itu
perluasan kawasan industri akan banyak terjadi di Jawa. Sulawesi, Maluku, dan
Papua dibuatkan satu skema yang sama yaitu sebagai pertambangan nasional,
sedangkan Bali dan Nusa Tenggara sebagai gerbang pariwisata. Semua agenda
ekonomi tersebut memerlukan pembangunan infrastruktur sebagai penopang
agenda tersebut.
Dalam pemerintahan Presiden Jokowi, skema pembangunan atau sasaran
pengembangan wilayah-wilayah menjadi seperti berikut16:
1. Pembangunan Wilayah Papua
• percepatan pengembangan industri berbasis komoditas lokal yang
bernilai tambah di sektor/subsektor pertanian, perkebunan, peternakan
dan kehutanan;
• percepatan pengembangan ekonomi kemaritiman melalui pengembangan
industri perikanan dan pariwisata bahari;
• percepatan pengembangan pariwisata budaya dan alam melalui
pengembangan potensi sosial budaya dan keanekaragaman hayati;
• percepatan pengembangan hilirisasi industri pertambangan, minyak, gas
bumi, dan tembaga;
• peningkatan kawasan konservasi dan daya dukung lingkungan untuk
pembangunan rendah karbon;
• penguatan papasitas kelembagaan Pemerintah Daerah dan masyarakat;
• pengembangan kawasan ekonomi inklusif dan berkelanjutan berbasis
wilayah kampung masyarakat adat melalui percepatan peningkatan
kualitas sumberdaya manusia papua yang mandiri, produktif dan
berkepribadian.
2. Pembangunan Wilayah Kepulauan Maluku
• produsen makanan laut dan lumbung ikan nasional;
• percepatan pembangunan perekonomian berbasis maritim (kelautan)
melalui pengembangan industri berbasis komoditas perikanan;
16
Periksa RPJMN 2015-2019 buku 3.
115
YLBHI
• pariwisata bahari.
3. Pembangunan Wilayah Kepulauan Nusa Tenggara
• pintu gerbang pariwisata ekologis melalui pengembangan industri
meeting, incentive, convention and exhition (MICE);
• penopang pangan nasional dengan percepatan pembangunan
perekonomian berbasis maritim (kelautan) melalui pengembangan
industri perikanan, garam, dan rumput laut;
• pengembangan industri berbasis peternakan sapi dan perkebunan
jagung;
• pengembangan industri mangan dan tembaga.
4. Pembangunan Wilayah Pulau Sulawesi
• salah satu pintu gerbang Indonesia dalam perdagangan internasional dan
pintu gerbang kawasan timur Indonesia;
• pengembangan industri berbasis logistik;
• lumbung pangan nasional dengan pengembangan industri berbasis
kakao, padi, dan jagung;
• pengembangan industri berbasis rotan, aspal, nikel, bijih besi, dan gas
bumi;
• percepatan pembangunan ekonomi berbasis maritim (kelautan) melalui
pengembangan industri perikanan dan pariwisata bahari.
5. Pembangunan Wilayah Pulau Kalimantan
• mempertahankan fungsi Kalimantan sebagai paru-paru dunia dengan
meningkatkan konservasi dan rehabilitasi DAS, lahan kritis, hutan
lindung dan hutan produksi, serta mengembangkan sistem bencana
alam banjir dan kebakaran hutan;
• lumbung energi nasional dengan pengembangan hilirisasi komoditas
batubara termasuk pengembangan energi baru terbarukan berbasis
biomasa dan air atau matahari atau sesuai dengan kondisi SDA masing-
masing provinsi;
• pengembangan industri berbasis komoditas kelapa sawit, karet, bauksit,
bijih besi, gas alam cair, pasir zircon, dan pasir kuarsa.
• menjadikan Kalimantan sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
6. Pembangunan Wilayah Pulau Jawa-Bali
• lumbung pangan nasional;
• pendorong sektor industri dan jasa nasional dengan pengembangan
industri makanan minuman, tekstil, otomitif, alutsista, telematika, kimia,
alumina, dan besi baja;
116
CATATAN AKHIR TAHUN
117
YLBHI
Dalam KTT Asia Afrika tahun 2015, Presiden Joko Widodo melakukan
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL
Indonesia.
Periksa https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151115162051-92-91789/temui-pm-kanada-jokowi-bahas-
18
kerjasama-dagang.
19
Periksa https://grafis.tempo.co/read/812/megaproyek-infrastruktur-sejak-era-sby-sampai-jokowi.
20
Ibid.
118
CATATAN AKHIR TAHUN
16. Pelabuhan Internasional hub Bitung, Sulawesi Utara total proyek 34 trilyun;
17. Pelabuhan Internasional hub Kuala Tanjung, total proyek 30 trilyun;
18. Inland Waterway Cikarang – Bekasi- Laut Jawa, total proyek 3,4 trilyun.
Dari tahun 2014 hingga 2016, pemerintah sudah membangun jalan sepanjang
2,225 km dan jalan tol 132 km.
Wilayah Sumatera
Kandidat pembangkit yang digunakan pada simulasi penambahan pembangkit
di sistem Sumatra cukup bervariasi yaitu kandidat PLTU Batubara yaitu 300
MW dan 600 MW. PLTG/MG/U pemikul beban puncak 100 MW dan 250 MW.
PLTP diberlakukan sebagai fixed project. Sistem lainnya menggunakan kandidat
pembangkit yang lebih kecil.
Jawa Bali
Pada sistem Jawa-Bali, kandidat yang dipertimbangkan untuk wilayah
pengembangan adalah PLTU Batubara Supercritical kelas 1000 Mw dan
600 MW. Pemilihan ukuran unit untuk sistem Jawa Bali sebesar 1000 MW
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2015-2024, hal 59.
21
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2015-2024, hal 81.
22
119
YLBHI
tenaga listrik Jawa Bali yang beban puncaknya sudah akan melampaui 25.000
MW dan akan menjadi 50.000 MW pada tahun 2050.
Wilayah Timur
Kandidat pembangkit yang digunakan pada simulasi penambahan pembangkit
di Indonesia timur cukup bervariasi tergantung pada kapasitas sistem, yaitu
kandidat pembangkit batubara 25 MW, 50 MW, 100 MW, 150 MW, 200 MW,
300 MW, dan kandidat PLTG/GU pemikul beban puncak kelas 50-450 MW.
Sedangkan sistem lainnya menggunakan pembangkit yang lebih kecil.
Selain itu ada program percepatan pembangkit berbahan bakar batubara.
Dengan Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2006 tentang penugasan kepada
PT PLN Persero untuk melakukan percepatan pembangunan pembangkit
tenaga listrik yang menggunakan batubara sebagaimana telah tiga kali diubah
dengan Peraturan Presiden nomor 59 tahun 2009, Peraturan Presiden nomor
47 tahun 2011, dan Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2014, pemerintah
telah menugaskan PT PLN Persero untuk membangun pembangkit listrik
berbahan bakar batubara kurang lebih 10.000 MW untuk memperbaiki fuel mix
dan sekaligus memenuhi kebutuhan permintaan listrik di seluruh Indonesia.
Program ini dikenal sebagai proyek percepatan pembangkit 10.000 MW.
Selain persoalan pengadaan tanah, pembangkit listrik berbahan batubara juga
tidak ramah secara ekologis. PLTU memberikan dampak lingkungan yang
cukup besar yaitu berupa polusi baik air maupun udara dan berpengaruh
terhadap perubahan iklim.
120
CATATAN AKHIR TAHUN
strategis-nasional.
Periksa https://nasional.kompas.com/read/2017/07/20/20054901/jokowi--saya-hanya-ingin-apbn-fokus-ke-
25
infrastruktur.
121
YLBHI
pula.
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL
122
CATATAN AKHIR TAHUN
123
YLBHI
124
CATATAN AKHIR TAHUN
Bendungan Jatigede
Bendungan Jatigede direncanakan sejak tahun 1963. Kegiatan pembebasan
tanah pertama kali dilakukan tahun 1982, diresmikan tahun 2015, dan PLTA
beroperasi tahun 2017. Bendungan Jatigede menenggelamkan 26 Desa di 5
Kecamatan. Hingga saat terakhir sebelum pengosongan masih tinggal 11.000
KK.
125
YLBHI
Luas Waduk Jatigede kurang lebih 4.951 ha lahan, terdiri dari lahan pemukiman,
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL
lahan pertanian produktif dan hutan negara. Perjalanan proyek yang panjang
dinilai tidak sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Pembangunan bendungan ini melalui beberapa rezim dan beberapa ketentuan
aturan ganti rugi.
Saat ini Bendungan Jatigede sudah beroperasi, tetapi masih menyisakan proses
penyelesaian baik dalam hal ganti rugi, kompensasi, dan lain-lain. Di lapangan
terjadi perbedaan perspektif antara warga dengan pemerintah dalam hal ini
yang membuat penyelesaian konflik di Jatigede berlarut-larut. Saat ini banyak
warga eks Jatigede yang tinggal di beberapa wilayah dalam keadaan yang sangat
memprihatinkan karena kehilangan pekerjaan.
LBH Bandung mendampingi warga Jatigede sejak mereka bergabung dengan
Serikat Petani Jawa Barat. LBH Bandung bergabung dalam aksi-aksi penolakan,
membentuk Forum Komunikasi Rakyat Jatigede (FKRJ), melakukan penolakan
terhadap pembangunan waduk Jatigede, dan mengajukan Judicial Review
Perpres No 1 tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan
Pembangunan Waduk Jatigede.
126
CATATAN AKHIR TAHUN
Proyek PLTU
Pembangunan Proyek PLTU I berlokasi di Dusun Punagaya, Desa Punagaya,
Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto. Pelaksana proyeknya adalah PT
Bosowa energi PT Sumber Energi Prima (SSP) PLTU terdiri dari 4 unit dengan
kapasitas 500 MW. Dalam kasus ini sudah muncul korban yaitu 63 warga
keracunan kerang, diduga kerang terpapar limbah dari PLTU.
Sedangkan proyek PLTU 2 berlokasi di Tarowang Dusun Ra’nga, Desa Balang
127
YLBHI
Belu, Kecamatan Tarowang. PLTU 2 ini akan berdampak terhadap lima desa.
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL
Sementara kerusakan lain yang mungkin timbul rumput laut yang ditanam oleh
warga serta dan berkurangnya hasil tangkapan warga.
Sampai dengan saat ini LBH Makassar masih bersama-sama dengan kelompok
masyarakat sipil yang lain melakukan advokasi atas kerugian-kerugian yang
muncul karena pengoperasian PLTU.
128
CATATAN AKHIR TAHUN
tanpa ditopang oleh soft skill hanya akan menempatkan orang kedalam
rantai kehidupan paling bawah. Fenomena human trafficking, buruh migran,
munculnya kaum-kaum miskin perkotaan menjadi semakin nyata di depan
mata. Tidak ada lagi sistem kekerabatan ala masyarakat agraris, terjadi
perubahan watak dan karakter warga. Kemiskinan tersebut akan menyeret
warga menjadi manusia yang rentan, termasuk rentan dalam harapan hidup
dan rentan terkena kasus pidana.
Dari uraian di atas, pembangunan infrastruktur yang telah merusak rantai
ekologis, rantai ekonomi dan rantai sosial dapat diartikan telah merubah struktur
kehidupan dan struktur alam. Perencanaan ambisius dalam membangun proyek
infrastruktur yang dimanjakan oleh program dan kebijakan pemerintah yang
menimbulkan kerusakan parah merupakan kejahatan yang sempurna.
Seluruh proyek infrastruktur dalam uraian di atas membutuhkan tanah, yang perolehannya bisa didapat secara
26
129
YLBHI
Konflik Agraria
Konflik agraria di Indonesia menjadi masalah menahun, berdampak luas, dan tak
terselesaikan. Data YLBHI dan data yang dihimpun dari 15 kantor menunjukkan
konflik struktural agraria merata terjadi di seluruh Indonesia. Pengumpulan
data berasal dari hasil pengaduan atau konsultasi masyarakat yang mendatangi
kantor-kantor LBH dan penanganan kasus-kasus secara langsung. Konflik-
konflik tersebut belum mendapat penyelesaian signifikan sampai sekarang.
Di bawah ini adalah data konflik agraria di 15 provinsi di Indonesia.
Dari 15 provinsi tersebut, luas lahan konflik adalah 338.280,47 hektar. Papua dan
Makassar menduduki peringkat 1 dan 2 dalam hal luas lahan konflik terbesar.
Grafik 9. Jenis Konflik Agraria
130
CATATAN AKHIR TAHUN
Dari grafik di atas, penyebab konflik terbesar adalah pengambilalihan lahan untuk
perkebunan (74 kasus), tanah dimasukkan dalam kawasan hutan (63 kasus),
pengambilalihan lahan untuk kepentingan lain (51 kasus), pengambilalihan
lahan untuk infrastruktur (27 kasus), pengambilalihan lahan untuk tambang (15
kasus), dan reklamasi (12 kasus).
Pada masa Reformasi, YLBHI-LBH mendampingi para petani, masyarakat
adat, masyarakat lokal yang memperjuangkan lahannya kembali. Para petani di
wilayah-wilayah tersebut mereklaim lahan-lahan yang dahulu mereka buka dan
garap tetapi kemudian diambil/dirampas perusahaan-perusahaan perkebunan
maupun kehutanan. Aksi-aksi reklaiming tersebut berhasil mengembalikan
ribuan hektar lahan-lahan masyarakat. Tetapi, pada beberapa tempat, polisi
131
YLBHI
132
CATATAN AKHIR TAHUN
Kriminalisasi
Konflik agraria tersebut mengakibatkan banyak orang (petani, masyarakat adat)
dikriminalkan. Jumlah korban kriminalisasi dengan UU P3H selama tahun
2015-2017 adalah 16 orang.
1. Petani Surokonto, 3 orang (2017)
2. Asyani (2015)
3. Sujana, petani Cilacap (2017)
4. Parno Jombang (2016)
5. Lilik Sudawarti Blora (2016)
6. Ngasiran Blora dan satu petani Blora (2017)
7. Warga Aceh Timur, 3 orang (2017)
8. Poniran dan Ngatiran, Jombang (2017)
9. Dua orang masyarakat adat di Kabupaten Agam, Sumatera Barat (2017),
menggunakan UU P3H dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
133
YLBHI
Sementara itu data para pejuang lingkungan hidup dan hak atas tanah yang
dikriminalkan adalah 50 orang.
1. Joko Prianto
2. I Wayan Gendo Suardana
3. Tiga nelayan Pulau Pari (Sawin, Nanto, Sukma)
4. Empat warga Tumpang Pitu Banyuwangi, satu proses sidang, tiga orang
berstatus tersangka. Ketentuan yang dikenakan adalah UU No. 27 Tahun
1999 pasal 107 a tentang isu komunisme
5. Tiga orang penolak Bandara Kertajati
6. 11 orang masyarakat organisasi Serikat Tani Korban Gusuran BNIL (STKGB)
Lampung melawan PT BNIL
7. 11 masyarakat Gowa Sulawesi Selatan
8. Lima nelayan Takalar, Sulawesi Selatan (menggunakan KUHP)
9. Satu orang petani STTB Karawang, Jawa Barat, kasus konflik tanah
Telukjambe
10. Tujuh orang di Sumatera Barat, kasus geothermal
11. 3 orang petani Indramayu yang menolak PLTU Indramayu, Jawa Barat
Militerisasi
Pada 2017, pemerintah banyak melibatkan militer dalam pembangunan
termasuk pembangunan desa, pertanian, dan infrastruktur. Tahun-tahun
sebelumnya, militer sudah aktif menjaga perusahaan-perusahaan perkebunan
swasta dan negara. Pada tahun 2017, pemerintah mengadakan beberapa
perjanjian kerjasama atau MOU dengan TNI, di antaranya:
1. MOU BPN dengan Kemenhan mengenai sertifikasi asset TNI27
2. MOU Menteri Perindustrian dengan Menteri Perindustrian, Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Menteri Ristek Dikti, Menteri BUMN, dan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan TNI terkait penelitian
dan pengembangan alutsista dan non-alutsista28;
3. Kerjasama Menteri Pertanian dengan TNI dalam bidang pengawalan upaya
khusus jagung, padi, serapan gabah dan cetak sawah;
4. MOU Kemendes dengan TNI terkait pembangunan kawasan perdesaan
termasuk penggunaan dana desa;
Periksa http://nasional.kompas.com/read/2017/03/31/11432781/kemhan.dan.kementerian.atr.percepat.
27
sertifikasi.aset.ribuan.hektar.tanah
Periksa http://www.tribunnews.com/nasional/2016/03/23/nota-kesepahaman-tni-dengan-instansi-
28
kementerian-dan-bnpb.
134
CATATAN AKHIR TAHUN
sekolah.
135
YLBHI
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL
136
CATATAN AKHIR TAHUN
137
YLBHI
sebagai upaya akhir untuk melindungi keamanan dalam negeri”. Masyarakat sipil
yang miskin dan menjadi korban dianggap sebagai ancaman keamanan dalam
negeri; hal ini membuka peluang digunakannya kekuatan militer bagi kasus-
kasus penggusuran di Indonesia30.
LBH Jakarta, 2017. Redupnya Api Reformasi: Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2017. Jakarta: LBH Jakarta.
30
138
CATATAN AKHIR TAHUN
139
YLBHI
BAB V
LBH DARI MASA KE MASA
B
agian ini menguraikan secara singkat kasus-kasus yang ditangani LBH-
YLBHI pada masa Orde Baru.
PERAMPASAN LAHAN
Taman Mini – 1972
TMII mulai dibangun tahun 1972 dan diresmikan pada 20 April 1975. Proyek ini
menempati areal seluas 150 hektar. Dalam pembangunan ini, sekitar 500 kepala
keluarga terkena penggusuran paksa tanpa adanya ganti rugi yang layak. Protes
tentang proyek ini dilakukan melalui demonstrasi di mana-mana dan menandai
periode awal-awal kritik terhadap Orde Baru/Soeharto.
Simprug - 1972
108 Kepala Keluarga bersengketa dengan PT Berdikari, sebuah perusahaan
developer perumahan mewah yang memperoleh izin dari Pemerintah DKI Jaya
untuk melakukan pembebasan tanah di daerah Kampung Simpruk, Kebayoran.
Lahan itu diperuntukkan perumahan mewah, adapun ganti rugi yang disediakan
tidak sesuai dengan harga pasaran umum. Warga hanya diberi Rp 3,000,00/
m2 ditambah dengan ganti rugi lainnya berupa uang untuk pemilik bangunan
dan penyewa bangunan. Pemerintah DKI Jakarta atas nama tertib hukum dan
kepentingan umum kemudian membongkar paksa, memotong, dan menebang
pohon-pohon di areal tanah itu, dimana di atasnya tumbuh aneka buah sebagai
sumber ekonomi masyarakat. Warga juga menerima intimidasi dan ancaman-
ancaman oleh oknum-oknum tertentu.
Warga kemudian datang ke LBH Jakarta untuk mengadu dan meminta bantuan
hukum. Melalui surat kuasa tertanggal 6 Februari 1972, LBH Jakarta dan warga
Kampung Simpruk melancarkan protes dan peringatan kepada PT Berdikari
yang telah melakukan pembongkaran dan penebangan pohon-pohon secara
paksa. “Ketika buldoser dan alat-alat berat tiba di tempat dengan kawalan militer
bersenjata, pengacara LBH berdiri siap bersama masyarakat untuk mencegah
mereka melaksanakan pengosongan tanah itu”, demikian tutur Adnan Buyung
Nasoetion31.
Musyawarah antara LBH, PT Berdikari, dan pemerintah DKI Jakarta pada 12
Februari 1973 akhirnya membuahkan kesepakatan. Ganti rugi tanah dinaikkan
menjadi Rp 5,000,00 per m2, ditambah ganti rugi atas bangunan, tanaman, dan
Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional: Pikiran dan Gagasan, Gramedia Pustaka Utama, hal. 76.
31
140
CATATAN AKHIR TAHUN
biaya pindah. Selain itu para warga bersangkutan juga mendapat penampungan
di Kampung Rawa yang harus ditebus sebesar Rp 3,000,00.
Tapos - 1980
Pada tahun 1990-an, Soeharto meminta Gubernur Jawa Barat untuk menyediakan
tanah di sekitar wilayah Tapos itu. Akibatnya ada sekitar 300 keluarga yang harus
meninggalkan tanah pertaniannya. Lahan pertanian yang benar-benar seperti
ranch yaitu tertutup, tidak bisa dimasuki orang biasa32. Belakangan diketahui
pembiayaan Tapos merupakan bagian dari dugaan korupsi Soeharto.
Jatigede - 1982
Pemerintah berencana membangun bendungan seluas 26 desa dan 6 kecamatan
seluas 4.891 hektar pada tahun 1960an dan dimulai pada tahun 1980-an.
Pengusiran warga dimulai dengan SK Gubernur Jabar 1981 tentang pengamanan
lahan di wilayah genangan Jatigede yang berakibat dilarangnya renovasi rumah
dan sekolah, perbaikan jalan, listrik hingga tahun 1990-an. Terdapat pula
pengurangan luas tanah dan tidak dihitungnya tanaman dan bangunan di
atasnya. Pemerintah seolah-olah bertindak baik dengan memberikan ganti
rugi pada tahun 1982 dan membiarkan masyarakat tetap tinggal di tanahnya
hingga proyek dijalankan. Tetapi sesungguhnya hal ini menimbulkan kerugian
yang sangat besar kepada masyarakat karena artinya pembayaran menggunakan
Radio Nederland Wereldomroep Indonesia, Ingat Soeharto, Ingat Tapos. Periksa http://archief.wereldomroep.nl/
32
bahasa-indonesia/article/ingat-soeharto-ingat-tapos.
141
YLBHI
harga yang rendah. 16 warga yaitu Muhammad Rahmat, dkk sempat dipanggil,
LBH DARI MASA KE MASA
Badega – 1984
Sekitar 800 petani yang telah menggarap lahan turun-temurun sejak tahun 60-
an di Gunung Badega, Kecamatan Cikajang, dan Banjarwangi Kabupaten Garut,
Jabar mengajukan permohonan untuk memperoleh hak kepemilikan atas tanah
seluas 450 hektar kepada Bupati Garut. Permohonan petani ditolak, namun
tanpa sepengetahuan petani pada 1986 HGU perkebunan terlantar dimiliki oleh
PT SAM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.SK.33/HGU/
DA/86 yang ditandatangani Dirjen Agraria. PT SAM kemudian meminta para
petani segera menyerahkan tanah garapan mereka dan dijanjikan akan diterima
menjadi buruh perkebunan PT SAM dengan upah Rp 600/hari.
Perjuangan petani akhirnya mengakibatkan 13 petani ditahan di Polres Garut
dengan tuduhan menyerobot tanah. Petani mengalami banyak kekerasan dan
ada pula penangkapan aktivis oleh Kodim.
Jatiwangi - 1986
Tahun 1942 ketika tentara Jepang merampas tanah seluas 1043 hektar milik
kurang lebih 2247 orang warga di daerah Jatiwangi Majalengka. Kemudian
membangun markas pangkalan udara dan tempat penyimpanan logistik
untuk perang dunia ke dua. Tahun 1943 pangkalan udara Jepang beroperasi
namun lahan yang digunakan hanya sekitar 450 ha. Sehingga sisa tanah yang
dimanfaatkan kembali oleh para pemilik sebelumnya. Kekalahan perang dunia
kedua berdampak tentara Jepang harus meninggalkan Indonesia. Dari tahun
1945 masyarakat kembali menggarap tanah tersebut. Tahun 1950 TNI AU
dari lapangan udara Cibeureum Tasikmalaya menguasai lahan tersebut dan
mengusir masyarakat yang bertani di lahan tersebut. Dimulailah konflik antara
petani Jatiwangi dengan TNI AU.
Tahun 1960 petani mulai berorganisasi sebagai wadah perjuangan untuk merebut
kembali tanah tersebut. Tahun 1986 TNI AU mensertifikatkan seluruh tanah di
lokasi tersebut. Warga pun melakukan perlawanan dan mulai didampingi oleh
LBH Bandung. Aksi-aksi protes dilakukan oleh petani jatiwangi beserta dengan
jaringan petani lainnya. Petani Jatiwangi juga bergabung dengan Serikat Petani
Jawa Barat untuk melakukan perjuangan bersama dengan kaum tani lainnya.
Tahun 1998 ketika Soeharto jatuh warga memiliki semangat untuk lebih
bangkit. Perlawanan-perlawanan dilakukan terus. Saat ini kasus situasi lahan
142
CATATAN AKHIR TAHUN
Kedungombo – 1987-1989
Pemerintah berencana membangun waduk seluas 9.623 hektar dengan
menggunakan uang pinjaman dari Bank Dunia. Untuk keperluan itu, Pemerintah
harus membebaskan 7.394 hektar tanah Hak Milik dari 5.823 KK. Ribuan KK
ini bermukim di 37 desa dan tujuh kecamatan yang berada di tiga kabupaten
yaitu Boyolali, Grobogan, dan Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Warga menolak
melepaskan tanah. Penolakan warga diabaikan; bahkan terjadi intimidasi berupa
pemanggilan warga oleh aparat desa. Warga yang menolak juga dicap komunis
hingga diberi tanda ET (Eks Tapol) di KTP nya. 1 Januari 1989 pintu air waduk
ditutup hingga menggenangi tanah serta rumah warga.
34 warga Kedungpring yang diwakili LBH Semarang mengajukan gugatan
perdata, tetapi kalah di tingkat PN dan PT. Gugatan warga dimenangkan MA di
tingkat kasasi, tetapi putusan MA ini kemudian dibatalkan melalui putusan PK
yang diajukan oleh Gubernur Jateng dan pimpinan proyek. Kasus Kedungombo
masih belum selesai hingga sekarang.
Nipah - 1993
Pemerintah berencana membangun waduk di Desa Nagasari, Kecamatan
Banyuates, Kabupaten Sampang, Madura. Sebelum masyarakat pemilik tanah
memberikan persetujuan, pengukuran tanah sudah dilakukan dengan kawalan
dari polisi dan tentara. Demonstrasi yang terjadi pada tanggal 25 September 1993
dibalas dengan tembakan hingga 4 warga terbunuh yaitu Nindin (14), Mutirah
(51), Simuki alias Supriadi (24), dan Muhammad (38) sedangkan empat lainnya
luka-luka.
LBH Surabaya sempat mengajukan surat protes kepada Panglima ABRI,
Mendagri, Gubernur Jawa Timur, Pangdam V Brawijaya, dan Bupati Sampang
tertanggal 16 Januari 1996 karena selama tiga hari berturut-turut yaitu tanggal
8-10 Januari 1996 antara pukul 11.00-15.00 WIB di Desa Tolang dan Nagasari,
Kecamatan Banyuates, Sampang, tempat rencana dibangunnya Waduk Nipah,
telah dilakukan pengukuran secara sepihak oleh tim pengukur dari Sampang.
Tim ini disertai aparat keamanan sekitar 40 orang dilengkapi senjata api dan
pentungan.
143
YLBHI
LBH DARI MASA KE MASA
Kasus Jenggawah
Kasus Jenggawah memiliki sejarah panjang. Lahan-lahan petani hasil membuka
hutan, sebagian diklaim menjadi tanah Hak Erfpacht perkebunan swasta Belanda
bernama NV Landbouw Maatschappij Oud Jember (LMOD). Setelah Indonesia
merdeka, tanah-tanah petani seluas 3.274 hektar diambil alih PTP XXVII untuk
perkebunan tembakau. Hal ini dilakukan tanpa persetujuan petani. Setelah SK
HGU diperoleh pada 1970, PTP memaksa petani menyerahkan petok pajak atas
tanah garapannya. Masyarakat dijanjikan mendapat sertifikat tanah. Perlawanan
petani mengembalikan hak atas tanah dihambat dengan tindak kekerasan,
intimidasi, dan penyiksaan yang dilakukan tentara dan polisi. Tujuh tokoh
petani dipenjara pada tahun 1979 dan beberapa petani lagi dipenjara pada tahun
1981-1983. LBH Surabaya dan YLBHI mulai terlibat pada pembelaan petani
Jenggawah pada sekitar tahun 1994 saat dimulainya perjuangan tahap 2 paska
cooling down. Tahun 1998, perjuangan petani Jenggawah mulai menemui titik
terang dengan dilepaskannya sebagian tanah PTPN X dan disertifikasi untuk
petani.
Rancamaya
Pada tahun 1992, PT. Suryamas Duta Makmur (perusahaan ini utamanya
dimiliki pebisnis Kenneth Lian, namun memiliki hubungan dengan Soeharto,
karena Presiden Komisarisnya, Pensiunan Jenderal Yoga Sugama, sebelumnya
144
CATATAN AKHIR TAHUN
Cibaliung
Pada 11 November 2001 telah terjadi penyerbuan terhadap desa dan lahan
petani desa Cibaliung, Pandeglang, Banten. Penyerbuan terjadi dengan alasan
bahwa tanah yang ditempati warga adalah tanahj milik Perhutani. Sehari
setelah penyerbuan33, sembilan petani Desa Cibaliung ditangkap dan ditahan
oleh Perutani dan Polres Pandeglang dengan tuduhan telah melakukan
penebangan dan pencurian kayu, padahal tanah tersebut merupakan tanah
adat Desa Cibaliung. Masalah sebenarnya berawal pada tahun 1980, dimana
lahan pertanian milik warga Cibaliung yang ditanami padi dan jagung untuk
kelangsungan hidup mereka, dijadikan hutan melalui program pemerintah dan
didukung TNI namun selanjutnya pasca reformasi lahan tersebut malah diklaim
sebagai lahan Perhutani34.
Para petani Desa Cibaliung yang dikriminalkan saat itu sempat didampingi
oleh LBH Bandung dan LBH Jakarta pada tahun 2001-2002. Banyak upaya
penguasaan dan pengelolaan lahan yang telah dilakukan oleh petani untuk
merebut kembali lahan mereka, tetapi menurut pemberitaan yang ada, kasus
tanah Cibaliung pada saat ini sudah selesai melalui musyawarah termasuk
dengan KOMNASHAM, namun dengan hasil sementara menentukan bahwa
tanah tersebut merupakan tanah milik Departemen Kehutanan35.
Periksa http://kolsus.elsam.or.id/index.php?p=show_detail&id=2686.
34
Periksa http://kolsus.elsam.or.id/index.php?p=show_detail&id=2658.
35
145
YLBHI
Kasus Cimacan
LBH DARI MASA KE MASA
Tanah di daerah Kabupaten Cianjur di kaki gunung Gede Pangrango seluas 31,6
ha dibuldozer untuk dijadikan lapangan golf. Sebelum nya tanah diambil secara
paksa oleh PT Bandung Asri Mulia. Tahun 1987 petani penggarap dan buruh
dipaksa untuk menerima ganti rugi sebesar Rp 30 per M2.
Dalam musyawarah yang dilakukan dengan Lembaga Keamanan Masyarakat
Desa (LKMD), Danramil turun dan memaksa warga untuk menerima tawaran
tersebut. Tidak berhenti disana, pemimpin petani dicari dan dianiaya oleh oknum
tentara dan Polsek Pacet. Tentara ini juga memaksa petani menandatangani surat
pernyataan bersedia menerima ganti rugi dan mencabut kuasa dari LBH Jakarta.
Beberapa petani yang buta huruf ditipu bahkan dipalsukan tandatangannya.
Empat orang sempat dituduh PKI karena tidak mau menyerahkan lahannya.
Ketika menangani kasus ini, LBH Jakarta bersama dengan Skephi (Sekretariat
Pelestarian Hutan Indonesia), LBH Bandung, dan aktivis mahasiswa melakukan
upaya-upaya baik litigasi, non-litigasi, dan pemberdayaan masyarakat. Di tengah
represivitas penguasa, pengadilan tidak bekerja secara fair, melainkan penuh
kejanggalan. Pengadilan Negeri Cianjur menolak gugatan para petani, demikian
pula Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Pada 1998, petani Cimacan kembali menduduki dan mencangkuli lapangan golf.
Aksi pendudukan itu dibalas dengan serangan brutal oleh aparat kepolisian.
Berbagai spanduk dirusak, tujuh petani dan mahasiswa diancam, dipukuli,
dan ditendang. Atas tindakan ini, LBH Ampera melaporkan aparat kepolisian
dilaporkan kepada Komnas Ham oleh. Pada akhir juli 2000, warga Cimacan
menggelar aksi di kantor pertanahan Cianjur, menuntut dikeluarkannya
sertifikat Hak Milik atas 287 petani yang lahannya digusur. Setelah berupaya
sekian lama, pada tanggal 14 Agustus 2000, BPN memberikan sertifikat tanah
untuk petani Cimacan.
Kemayoran36
Kasus tanah Kemayoran adalah kasus pelanggaran HAM di masa awal Orde
Baru ( tahun 1970). Kasus ini berawal dari Angkatan Udara Republik Indonesia
(AURI) yang sejak era Presiden Soekarno diberikan kuasa atas pengelolaan
Bandara Kemayoran. Akibatnya, AURI melakukan pengadaan lahan dengan
cara merampas tanah 500-an Kepala Keluarga. Secara sepihak, AURI mematok
sekitar 1000 hektar tanah-tanah masyarakat.
Dengan didampingi LBH, masyarakat melakukan perjuangan mempertahankan
tanahnya, dan mencabut patok-patok kayu yang ditanam oleh pihak AURI.
Periksa https://kumparan.com/manik-sukoco/ketika-demokrasi-dihancurkan-di-gedung-demokrasi
36
http://apatra.blogspot.co.id/2008/11/bantuan-hukum-indonesia-mengurai_04.html
https://tirto.id/yang-tersisa-dari-bandara-kemayoran-b5cl
146
CATATAN AKHIR TAHUN
147
YLBHI
148
CATATAN AKHIR TAHUN
PENGHILANGAN PAKSA
Penghilangan paksa terjadi sejak 1997 terhadap lima orang: Dedy Hamdun,
Noval Alkatiri, Ismail, Yani Afrie, dan Sonny. Menjelang dan selama Sidang
Umum MPR pada Maret 1998, penghilangan paksa terjadi lagi pada 18 orang:
Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Suyat, Raharja Waluya
Jati, Faisol Riza, Aan Rusdianto, Mugiyanto, Nezar Patria, Andi Arief, “St”, Lucas
da Costa, Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Umar Hamdun, Noval
Alkatiri, Ismail42. Setelahnya, aktivis lain yang juga hilang adalah Wiji Thukul
dan Petrus Bima Anugrah.
Selama kerusuhan Mei 1998, empat orang kembali dilaporkan hilang: Ucok
Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Beberapa saat setelah mundurnya Soeharto, seorang aktivis di Solo bernama
Leonardus Nugroho alias Gilang ditemukan meninggal. Dari keseluruhan 29
orang hilang, masih ada 13 orang yang belum kembali hingga saat ini43.
Hingga saat ini pelaku penghilangan paksa, pembunuhan, penyiksaan dan
kejahatan lain yang menyertai upaya penghilangan paksa belum diusut dan
diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.
PERSEKUSI
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2)(h) Statuta Roma, persekusi didefinisikan
sebagai perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang
Periksa Merdeka, Ini Kronologi Hilangnya Marsinah Hingga Ditemukan Tewas, 2 Mei 2016, <https://www.merdeka.
40
149
YLBHI
atau kolektivitas tersebut. Beberapa kasus dibawah ini kami golongkan sebagai
persekusi, berdasarkan kolektivitas korban yang berakibat pada perampasan
hak-hak dasar korban.
DUKUN SANTET
Pada Februari 1998, terjadi pembantaian terhadap lebih dari 200 orang yang
diduga mempraktekkan ilmu santet atau ilmu hitam di Banyuwangi, Jember,
Lumajang, hingga Pangandaran45.
Pembunuhan diawali dengan data yang dikumpulkan oleh Bupati Banyuwangi
saat itu, Purnomo Sidik, berisi nama-nama orang yang diduga dukun santet.
Para pelaku tak hanya menyasar mereka yang diduga sebagai dukun santet
tapi juga meluas ke guru ngaji dan ulama kampung. Pelaku pembantaian telah
diproses hukum, namun belum terkuak dalang utama di balik pembataian
ini. Berdasarkan keterangan saksi yang selamat dari percobaan pembunuhan,
pelakunya merupakan orang dengan penutup kepala dan pakaian hitam-hitam
KOMNAS HAM, Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
44
yang Berat Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985, hal. 18.
CNN Indonesia, Kasus Pembantaian Dukun Santet Banyuwangi Jadi PR Komnas HAM, Kamis, 27 Juli 2017 <
45
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170727093716-12-230625/kasus-pembantaian-dukun-santet-
banyuwangi-jadi-pr-komnas-ham> terakhir diakses 18 Desember 2017.
150
CATATAN AKHIR TAHUN
yang hanya terbuka di bagian mata serupa ninja. Pelaku memiliki keahlian tinggi
dalam melakukan pembunuhan.
HAUR KONENG
Haur Koneng merupakan nama jamaah yang berlokasi di Dusun Gunung
Seureuh, Lembah Sirna Galih, Desa Sinargalih, Kecamatan Lemahsugih,
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Para korban tragedi Haur Koneng
merupakan penghuni empat rumah yang terdiri dari 15 petani miskin, 5 di
antaranya perempuan dan 2 anak-anak. Pemimpin mereka adalah Abdul Manan,
seseorang yang pernah belajar selama 12 tahun di pesantren. Ia mengajarkan
zikir dan wirid kepada pengikutnya. Dalam perjalanannya, Abdul Manan dan
pengikutnya bersikap kritis terhadap peraturan pemerintah. Mereka mengkritik
pajak bumi dan bangunan yang dianggap tidak berhasil menyejahterakan rakyat
kecil. Mereka juga mempraktekkan hijrah atau menyendiri untuk menghindari
praktek mabuk-mabukkan dan membeli SDSB (Sumbangan Dana Sosial
Berhadiah). Namun, Abdul Manan dan jemaahnya malah dituduh penganut
aliran sesat, memutus tali silaturahmi, dan bahkan membangkang pemerintah47.
Pada 29 Juli 1993, jemaah Haur Koneng dikepung oleh tiga lapis aparat: 14
anggota Sabhara, satuan tempur Brimob, dan SST Yonif 321/Majalengka yang
berjangka 400 meter dari lokasi. Jemaah ditembaki dan dilempari granat serta
bom molotov. Akibat pengepungan dan penyerbuan ini, delapan orang tewas,
termasuk Abdul Manan dan dua orang anak berusia 9 dan 12 tahun. Sisanya
Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Laporan Mei 1998, dalam Komnas Perempuan, Seri Dokumen Kunci 3: Temuan
46
Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Oktober 2002, hal. 91.
Periksa <http://effendisaman.blogspot.co.id/2012/03/sebagai-relawan-lbhbandung-ylbhi-masa.html> terakhir
47
151
YLBHI
hariman-dan-malari-1.html.
152
CATATAN AKHIR TAHUN
AJI - 1994
Kriminalisasi terhadap empat orang pegiat Aliansi Jurnalis Independen adalah
puncak dari pengendalian pers oleh Orde Baru sebagai salah satu modus Orde
Baru mengekalkan pemerintahan otoriternya. Munculnya AJI merupakan
respon terhadap maraknya penutupan pers oleh pemerintah tanpa melalui jalur
pengadilan yang biasa disebut pembredelan pers. Pada zaman Orde Baru tercatat
setidaknya terdapat gelombang pembredelan:
o 1974: Harian Nusantara, Suluh Berita di Surabaya, Mingguan Mahasiswa
Indonesia di Bandung, Harian KAMI, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta
Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Harian Pedoman Mingguan
Ekspres, Mingguan Indonesia Pos50
49
Bredel Malari Dimata Mashuri, Suara Independen No. 7/II/Januari-Pebruari 1996. Periksa https://www.library.
50
ohio.edu/indopubs/1996/03/31/0015.html.
153
YLBHI
Tanjung Priok
Peristiwa Tanjung Priok diawali dengan dicopotnya pamflet di Musala As-Sa’adah
di Koja, Tanjung Priok pada tanggal 8 September 1984. Dua Bintara Pembina
Desa (Babinsa) masuk ke musala tanpa melepas sepatu dan menggunakan air
comberan untuk mencopot pamflet yang mereka nilai sebagai ujaran kebencian
terhadap pemerintah.
Kejadian ini menyulut konflik antara aparat militer, kepolisian, dan masyarakat.
Puncaknya, 12 September 1984 sekitar 1500 warga mendatangi Polres Tanjung
Priok dan Brimob yang berdekatan untuk menuntut dibebaskannya empat
warga yang ditahan sejak 10 September 1984. Para tentara menembaki massa
dengan senjata otomatis. Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (SONTAK)
mencatat sekitar 400 warga meninggal, sedangkan Panglima ABRI saat itu, L.B.
Moerdani menyatakan hanya ada 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka52.
LBH Jakarta mendampingi Abdul Qadir Djaelani, para ulama, para tokoh
masyarakat Tanjung Priok, dan para aktivis lainnya yang dianggap membela
Periksa https://www.bantuanhukum.or.id/web/membungkam-dan-memberangus-pers-kriminalisasi-pengurus-
51
aliansi-jurnalis-independen/.
Tirto, Mengenang Tragedi 33 Tahun Tragedi Pembantaian Tanjung Priok, 12 September 2017 < https://tirto.id/
52
154
CATATAN AKHIR TAHUN
Petisi 50
50 orang tokoh termasuk di dalamnya mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin,
A.H. Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir yang dikenal sebagai
Petisi 50 mengajukan protes terhadap kebijakan Soeharto, antara lain
penyalahgunaan Pancasila untuk memukul musuh-musuh politiknya dan
meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di atas seluruh golongan
masyarakat. Mereka kemudian mendapatkan berbagai tekanan dari Orba mulai
dari dilarang ke luar negeri hingga melarang koran-koran menerbitkan foto-
foto ataupun mengutip pernyataan mereka. Para anggota petisi 50 juga tidak
dapat memperoleh pinjaman bank dan kontrak-kontrak.
Muchtar Pakpahan
Muchtar Pakpahan adalah mantan Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI) yang dipidana pada masa Orde Baru dengan Pasal 160 dan 161 ayat
(1) KUHP. Pidana ini dijatuhkan karena tindakan Muchtar Pakpahan yang
menandatangani selebaran, mengutarakan pendapat dalam rapat buruh yang
berisi ajakan untuk memperjuangkan kebebasan berserikat bagi buruh melalui
SBSI sebagai serikat di lain SPSI, serta upah minimum yang layak54.
Akhirnya ia dibebaskan oleh Mahkamah Agung pada tahun 1995, tetapi MA
kemudian membatalkannya karena upaya Peninjauan Kembali (PK) yang
dilakukan oleh Jaksa. Muchtar Pakpahan didampingi oleh YLBHI dan LBH
Jakarta dalam kasusnya.
155
YLBHI
bahwa ada rekayasa kasus dalam perkara ini, saksi-saksi semua menegaskan
bahwa ini adalah sebuah kuliah, diskusi akademik. Tetapi pengadilan
tersandera, persidangan yang berlangsung sebanyak 28 kali ini tetap memutus
bersalah Sri Bintang Pamungkas dan menghukum penjara Bintang selama dua
tahun sepuluh bulan. Pada 8 Mei 1996, Sri Bintang mengajukan banding dan
pada 1998 dia diberikan Amnesti oleh Presiden Habibie. Pada masa Soeharto,
pengadilan tidak bisa menunjukkan independensinya; pasal subversif menjadi
alat pemukul dan alat pembungkaman bagi siapapun yang kritis.
Ket: Dr Sri Bintang Pamungkas, seorang tahanan politik yang kini mendekam di
Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, hari Minggu 24 Mei 1998 merangkul
istrinya Ny Ernalia dan salah seorang anaknya, Bimbim, seusai mengikuti
syukuran kemenangan reformasi bersama tahanan politik lain, seperti Muchtar
Pakpahan dan Budiman Soedjatmiko. Sumber gambar:
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/reformasi/Chronicle/Kompas/May25/
habi01.htm
Pengkambinghitaman PRD
Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah partai yang tumbuh dan dibangun
sebagai alat pergerakan rakyat dalam melawan penindasan. Pembentukan
PRD ditandai dengan Kongres Pertama PRD pada 15 April 1996 di Sleman,
Yogyakarta. Ia merupakan puncak dari proses penyatuan gerakan rakyat di masa
kediktatoran Orde Baru. Proses ini dapat ditelusuri dari pembangunan komite-
komite aksi pada tahun 1980-an; pembangunan organisasi pergerakan di sektor
156
CATATAN AKHIR TAHUN
mahasiswa, buruh, tani, rakyat miskin dan seniman pada awal tahun 1990-an
dan kemudian penggalangan persatuan lintas-wilayah dan lintas-sektoral antara
berbagai organisasi rakyat menjelang 199655. PRD melakukan deklarasi di
Gedung YLBHI-LBH Jakarta.
Sejak awal pendirian, PRD sudah menunjukkan sikap oposisi terhadap
pemerintahan otoriter Orde Baru. PRD dijadikan kambing hitam sebagai dalang
Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli). Setelah kejadian Kudatuli, banyak pimpinan-
pimpinan PRD yang ditangkap, dipenjarakan, dan dihilangkan secara paksa.
Ketua pertama PRD, Budiman Sudjatmiko dipidana dengan pasal subversive
yang ditangani oleh LBH Jakarta, namun tetap mendapat hukuman 13 tahun
penjara.
Kudatuli
Peristiwa Kudatuli (akronim dari kerusuhan dua puluh tujuh Juli) adalah
peristiwa yang terjadi pada 27 Juli 1996. Saat itu terjadi peristiwa pengambilalihan
secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro
58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.
Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi yang diakui oleh rezim
Orde Baru sebagai Ketua Umum melalui Kongres PDI di Medan pada Juni
1996. Penyerangan diindikasikan kuat dilakukan oleh aparat TNI yang berada
di belakang penyerang. Hal tersebut dilakukan dalam upaya pemerintah Orde
Baru membungkam kelompok yang berseberangan, karena pemerintah Orde
Baru mendukung PDI Suryadi, bukan PDI Megawati.
Komnas HAM menyimpulkan ada pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli.
Komnas HAM mendapatkan temuan bahwa lima orang meninggal, 149 orang
luka-luka, 136 orang ditahan, dan 23 orang dihilangkan secara paksa. Temuan
ini menunjukkan telah terjadi pelanggaran HAM pada kerusuhan 27 Juli 199656.
Peristiwa ini juga memicu terjadinya penangkapan terhadap aktivis PRD yang
dijadikan kambing hitam. Kerusuhan terjadi di beberapa wilayah di Jakarta
khususnya di Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat.
Periksa http://historia.id/modern/komnas-ham-peristiwa-27-juli-1996-adalah-pelanggaran-ham.
56
157
YLBHI
serta ratusan orang ditangkap, disiksa, ditahan, dan diadili secara semena-mena.
LBH DARI MASA KE MASA
Desa itu merupakan tempat dimana Warsidi tokoh agama setempat dan teman-
temannya dituduh pihak militer melakukan kegiatan subversif yaitu hendak
menggulingkan pemerintah Soeharto agar bisa mendirikan negara Islam.
Peristiwa Lampung terjadi akibat kecurigaan pemerintah terhadap Islam. Kritik
keras serta penolakan masyarakat terhadap kebijakanasas tunggal Pancasila
dihadapi aparat dengan pembantaian. Ini bisa dilihat Pernyataan Alm. Jenderal
Soemitro dalam buku biografinya yang berjudul Pangkopkamtib Soemitro dan
Peristiwa 15 Januari 1974 yang berbunyi:
“Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya, sejak
awal menyadari tentang kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam.
Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI -yang kemudian secara formal diperkuat
dengan keputusan pembuabaran PKI- secara politis mengakibatkan naiknya
pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap
Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat
posisinya. Padahal disadari oleh Angkatan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap
Islam masih terdapat bibit ekstrimisme yang amat potensial. Sehingga policy
(kebijakan) umum militer ketika itu sebenarnya adalah menhancurkan kekuatan
ekstrim kiri PKI, dan menekan (bukan mengahncurkan) sayap Soekarno pada
umumnya, “sambil amat berhati-hati untuk mencegah naiknya Islam”. (Jakarta:
Sinar Harapan, 1998), hal.46.
Kasus Situbondo
Pada 10 Oktober 1996 terjadi kerusuhan di Situbondo. Kerusuhan bermula
dari tuduhan terhadap Saleh yang dianggap melakukan penodaan agama dan
melanggar pasal 156 (a) KUHP. Ia dilaporkan oleh K.H. Achmad Zaini, Pimpinan
Pondok Nurul Hikam, yang juga tetangga Saleh. Pada persidangan tanggal 10
Oktober 1996, Jaksa menuntut Saleh dengan hukuman maksimal yaitu 5 tahun.
Usai persidangan mulai terjadi kerusuhan, hal ini disebabkan oleh sebagian
massa yang hadir dalam persidangan yang merasa tidak puas dengan tuntutan
Jaksa dan menginginkan Saleh untuk dihukum seumur hidup.
Tidak diketahui asal muasal siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak
bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion yang letaknya sekitar 200 meter dari
PN Situbondo. Keadaan di PN Situbondo pun memanas dan massa langsung
menuju ke Gereja Bukit Sion dan setelah itu membakar gereja tersebut. Setelah
membakar Gereja Bukit Sion, massa yang masih merasa tidak puas melanjutkan
membakar tempat lain sampai akhirnya tempat-tempat yang dibakar ada sekitar
24 gereja, PN Situbondo, panti asuhan, dan beberapa sekolah. Selain itu ada juga
pengerusakan terhadap bioskop dan rumah biliard. Yang paling mengenaskan
adalah dibakarnya GPPS (Gereja Pantekosta Pusat Surabaya) yang menjadi satu
158
CATATAN AKHIR TAHUN
PENGGUSURAN
Becak
Becak dilarang beroperasi di Jakarta. Para tukang becak pun menggugat. Pada
31 Juli 2000 di PN Jakarta Pusat, Majelis Hakim pada persidangan yang diketuai
Manis Soejono, S.H mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Dalam putusan
tersebut, tukang becak yang saat itu didampingi YLBHI dan LBH Apik diizinkan
untuk kembali menarik becak di pemukiman-pemukiman tertentu dan jalur-
jalur khusus yang akan diatur oleh Pemda. Dasar dari permasalahan ini adalah
Perda nomor 11 tahun 1988 Pasal 18 tentang Ketertiban Umum yang melarang
becak beroperasi di Jakarta.
Namun, pada tahun 2007 Pemda Jakarta mengeluarkan Perda Nomor 8 Tahun
2007 tentang Ketertiban Umum yang isinya adalah melarang becak untuk
beroperasi di seluruh wilayah Jakarta. Pelarangan untuk becak tidak hanya
terjadi di Jakarta, melainkan juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia
seperti Yogyakarta dan Bandung.
Bemo
Pada tahun 1996 LBH Jakarta mengajukan Judicial Review terhadap SK Kepala
Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) DKI Jakarta No. 139 Tahun
1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peremajaan Kendaraan Bemo di DKI
Tirto, Mereka Dipenjara Karena Didakwa Menista Agama, 16 November 2016 <https://tirto.id/mereka-dipenjara-
58
159
YLBHI
dengan PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan dan Peraturan Daerah
(Perda) No. 5 Tahun 1984 tentang Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta
untuk tahun 1985-2005.
Menurut LBH Jakarta, PP No. 41/1993 tersebut sama sekali tidak mengatur
pemusnahan bemo. Tetapi, dalam SK Kepala DLLAJ malah ditemukan aturan
seperti itu, padahal SK tersebut didasarkan pada PP No. 41/1993. Padahal, Perda
No. 5/1984 juga tidak mengatur Daerah Bebas Bemo, hal ini jelas menunjukan
bahwa menciptakan daerah bebas bemo dianggap bertentangan dengan Perda.
Setelah 10 tahun menunggu, MA menolak permohonan Judicial review tersebut.
Pertimbangannya, SK kepala DLLAJ tersebut tergolong Keputusan Tata Usaha
Negara yang memuat peraturan yang bersifat umum. Yang tidak lazim, putusan
tersebut dibuat MA pada 24 Februari 2003 alias 7 tahun setelah diajukan, tetapi
baru 3 tahun kemudian, tepatnya pertengahan Desember 2006, LBH Jakarta
sebagai pemohon menerima salinan putusan MA tersebut.
Keadaan semakin memburuk, karena sejak 6 Juni 2017 angkutan lingkungan
Bemo resmi tidak boleh beroperasi di DKI Jakarta berdasarkan Surat Edaran
Kadishub Nomor 84/SE/2017 tanggal 5 Juni 2017. Pemerintah menjelaskan
bahwa telah melakukan sosialisasi sejak bulan September 2016. Alasan
dilarangnya bemo beroperasi adalah karena tidak memiliki surat izin, tidak
ramah lingkungan, usia yang sudah tua, dan dinilai terlalu berbahaya untuk
dijadikan angkutan umum massal.
FAIR TRIAL
Ditje
Kasus bermula dari pembunuhan seorang bekas peragawati bernama Dice
Budimuljono pada 8 September 1986 malam, di Jalan Dupa, Kalibata, Jakarta
Selatan. Seseorang bernama Pak De kemudian dijadikan tersangka dan dihukum
seumur hidup oleh PN Jakarta Jaksel hingga MA. Tuduhan ini terkait dengan
praktek konsultasi dukun, yaitu Pak De dituduh tidak bisa mengembalikan uang
Rp. 10 juta yang ia janjikan bisa digandakan. LBH Jakarta yang menjadi penasehat
hukum menyaksikan pengadilan penuh dengan kejanggalan pembuktian.
Antara lain, hasil uji balistik dan saksi meringankan tidak digunakan.
Kasus-kasus di atas sebenarnya adalah wajah terluar dari pengaturan rezim
Orde Baru yang otoriter. Di bawah ini akan diperlihatkan kebijakan-kebijakan
yang menjadi penyebab kasus-kasus di atas.
160
CATATAN AKHIR TAHUN
PEMBANGUNANISME
Investasi dengan politik upah murah
Meskipun ditandatangani oleh Sukarno, UU 1/1967 adalah agenda awal Orde
Baru. UU yang disahkan Januari 1967 ini muncul setelah keluarnya Supersemar
yang menandai beralihnya kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Melalui
UU ini, penanaman modal asing diperbolehkan.
Kurang dari 3 bulan setelah UU Penanaman modal yaitu 7 April 1967, Menteri
Pertambangan Slamet Bratana melakukan Penandatanganan Kontrak Karya
untuk masa 30 tahun yang menjadikan PTFI sebagai kontraktor eksklusif
tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi59. Kontrak karya ini sudah
disiapkan jalannya melalui pasal 8 UU 1/1967 yaitu “penanaman modal asing
di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah
berdasarkan suatu kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku” dan pasal 10 UU 11/1967 “Pemerintah
dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor dengan mengadakan perjanjian
(Kontrak Karya)”.
Watak Orba yang menumpukan diri pada investasi tergambar pula pada bagian
pertimbangan UU 1/1967 :
“bahwa penggunaan modal asing perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk
mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang-
bidang dan sektor-sektor yang dalam waktu dekat belum dan atau tidak dapat
dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri”.
Berita Kita Media Komunikasi Komunitas Freeport Indonesia, Maret 2014, Edisi No. 240. https://ptfi.co.id/media/
59
files/publication/5626fabe75911_bk240.pdf
161
YLBHI
Kebijakan investasi ini salah satunya disokong dengan politik upah murah.
LBH DARI MASA KE MASA
Infrastruktur
Orde Baru menitikberatkan Pembangunan Jangka Panjang pada “pembangunan
bidang ekonomi dengan sasaran utama untuk mencapai keseimbangan antara
bidang pertanian dan bidang industri, yang berarti bahwa sebagian besar dari
usaha pembangunan diarahkan kepada pembangunan ekonomi, sedangkan
pembangunan di bidang-bidang lainnya bersifat menunjang dan melengkapi
bidang ekonomi”61. Tentu saja pembangunan memerlukan pembangunan
prasarana. Meskipun Repelita I telah menyebutkannya tetapi hal ini lebih
dijabarkan dalam Repelita II:
“Dalam rangka usaha memperluas lapangan kerja perlu digariskan kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang menyeluruh pada semua sektor, seperti pemilihan teknologi,
pendidikan ketrampilan, pembangunan industri, pembangunan prasarana,
penentuan skala investasi, kebijaksanaan kebijaksanaan perpajakan serta
perkreditan dan sebagainya”.
Pembangunan era Soeharto ini juga berambisi meningkatkan pembangunan
produksi jasa di berbagai sektor antara lain “sektor perhubungan dan
telekomunikasi”62. Pembangunan infrastruktur seperti “irigasi, listrik, jalan-jalan
dan prasarana-prasarana lainnya harus ditingkatkan untuk dapat mendukung
dan mencukupi peningkatan pertumbuhan produksi barang dan jasa”63.
Swasembada Beras
Salah satu ambisi Orba adalah swasembada beras. Pelaksanaan swasembada ini
sarat dengan bias salah satunya semua orang Indonesia mengkonsumsi beras
sebagai bahan makanan pokok. Akibatnya terdapat penyebaran bibit beras
yang ke daerah-daerah yang tadinya tidak menjadikan beras sebagai makanan
pokok. Tidak hanya menghilangkan kekayaan budaya, lebih dari itu pemaksaan
monokultur itu juga berpotensi menghilangkan keragaman hayati. Kebijakan
ini memunculkan ketergantungan pada beras dan menciptakan sumber korupsi
baru yaitu Bulog.
Hadiz, Vedi. R, Economic Liberalism A new Orthodoxy dalam The politics of Economic Development in Indonesia,
60
hal. 115.
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita I.
61
162
CATATAN AKHIR TAHUN
Hutang asing
Hutang adalah andalan Orde Baru untuk melakukan pembangunan. Hutang
masa Orba adalah Rp 551,4 triliun atau US$ 68,7 miliar. Saat itu, rasio utang
mencapai 57,7 persen terhadap PDB. Tunggakan hutang kemudian menyebabkan
di periode 1999 total outstanding utang Indonesia mencapai Rp 938,8 triliun
atau setara dengan US$ 132,2 miliar. Rasio utang membengkak jadi 85,4 persen
dari PDB64.
Militerisasi
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN dalam sasaran pelaksanaan pembangunan
jangka panjang Bidang Pertahanan Keamanan Nasional merencanakan
menciptakan sistim pertahanan keamanan nasional yang mampu menyukseskan
dan mengamankan perjuangan nasional pada umumnya dan pembangunan
nasional pada khususnya dari setiap ancaman yang datang dari luar negeri
serta dari dalam negeri, sehingga benar-benar aman dan tertib usaha bangsa
dalam” mencapai tujuan nasional. “Stabilitas” menjadi kata penting Orba untuk
mendukung rezim pembangunanismenya.
read/2854387/ini-rasio-utang-pemerintah-ri-dari-era-soeharto-hingga-jokowi.
163
YLBHI
Komposisi MPR
Pasal 2 (1) UUD 1945 sebelum amandemen mengatur “Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan
yang ditetapkan dengan undang-undang”. Utusan daerah dan utusan golongan
yang diangkat ini kemudian menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan Orde
Baru karena sifatnya yang ditunjuk.
UU No. 16/1969 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kemudian menurunkan ketentuan UUD 1945 sehingga menjadi seperti di
Periksa https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/2017/02/22/ali-moertopo/
65
Bagian pertimbangan UU 3/1975 menyebutkan “diharapkan agar Partai-partai Politik dan golongan Karya benar-
66
benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya
percepatan pembangunan”.
164
CATATAN AKHIR TAHUN
bawah ini67:
1) MPR terdiri atas Anggota DPR ditambah dengan Utusan-utusan dari Daerah,
Golongan Politik dan Golongan Karya.
2) Jumlah anggota MPR adalah dua kali lipat jumlah anggota DPR
3) Anggota tambahan MPR terdiri dari:
a. Utusan Daerah
b. Utusan Golongan Politik, yang terdiri dari:
• organisasi Golongan Politik/Karya yang ikut pemilihan umum, tetapi
tidak mendapat wakil di DPR dijamin satu utusan di MPR yang
jumlah keseluruhannya tidak melebihi sepuluh orang utusan
• Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan
Karya bukan Angkatan Bersenjata yang ditetapkan berdasarkan
pengangkatan.
a. Jumlah anggota MPR. yang diangkat ditetapkan 1/3 dari seluruh anggota
MPR dan terdiri:
• Anggota DPR yang diangkat seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (4);
• Anggota tambahan MPR dari golongan Karya Angkatan Bersenjata
ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Menteri Pertahanan
dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata.
• Anggota tambahan MPR dari Golongan Karya bukan Angkatan
Bersenjata diangkat oleh Presiden baik atas usul organisasi yang
bersangkutan maupun atas prakarsa Presiden.
• Jumlah Utusan Golongan Karya ABRI dan Golongan Karya bukan
ABRI ditetapkan oleh Presiden.
Dari ketentuan di atas, terlihat Presiden sangat berkuasa karena dapat menunjuk
siapa yang duduk di MPR.
165
YLBHI
Pembredelan Pers
Pers dikendalikan oleh pemerintah melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
166
CATATAN AKHIR TAHUN
Periksa http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9987/ti-mantan-presiden-soeharto-pemimpin-paling-
70
korup-di-dunia-.
Winters, Jeffry,
71
167
YLBHI
negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena adanya
LBH DARI MASA KE MASA
168
CATATAN AKHIR TAHUN
169
YLBHI
BAB VI
PENUTUP
PENUTUP
K
asus-kasus dan kebijakan pada bagian sebelumya apabila diamati adalah
sebuah gejala yang memiliki akar. Bagian penutup ini karenanya akan
mencoba memunculkan akar dari gejala yang sudah dipaparkan.
Pertama, pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang mengambil hak rakyat
dan memiskinkan. Pembangunan yang dari asal katanya dapat kita mengerti
memiliki arti positif ternyata menimbulkan hal buruk. Bukannya dibangunkan
dari tidur panjang kemiskinan, penderitaan sebaliknya proyek-proyek
pembangunan ini menghilangkan yang sudah ada, merampas yang sudah
ditanam dan memundurkan kemajuan menjadi kemiskinan di segala bidang.
Hal ini terjadi karena pembangunan yang direncanakan tidak mengambil arah
yang diharapkan rakyat. Rakyat yang terdampak tidak ditanya apa kemauannya
dan apa rencananya dengan kata lain hak rakyat atas pembangunan tidak diakui.
Pembangunan juga dititikberatkan pada pembangunan fisik yaitu infrastruktur
dan ekonomi. Sungguh jauh dari “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor ekonomi domestik melalui akomodasi kehendak rakyat
atas sektor ekonomi yang mereka telah dan mau geluti” dan juga perlindungan
terhadap tanah, air, udara yang menjadi janji Jokowi-JK dalam Nawacita.
Kedua, keterlibatan TNI dalam pembangunan. Sembilan belas tahun setelah
TAP MPR X/1998 dan 17 tahun setelah pemisahan TNI/Polri militer kembali
dilibatkan dalam masalah sosial politik yang bukan menjadi tugasnya. Hal
ini bisa bermakna banyak. Mulai dari penurunan fungsi militer, yang tadinya
dibutuhkan karena ketrampilan khususnya, hingga ketidakpatuhan kepada
hukum. Pastinya yang paling mengkuatirkan adalah seperti yang ditulis dalam
bagian pertimbangan TAP MPR No. VI/2000 berikut ini:
“bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia menyebabkan tejadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat
tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat”.
Ketiga. kebebasan berserikat, berkumpul, berpendapat dihambat. Kebebasan
selalu ditakuti oleh pemerintahan yang otoriter. Tentu saja kebebasan dalam
tulisan ini bermakna kebebasan yang bersumber dari HAM dalam arti
dilakukan secara damai serta tidak melanggar ketentuan HAM seperti siar
kebencian. Pemerintah mengejutkan publik saat mengeluarkan Perppu Ormas
yang membatasi kebebasan berserikat, meskipun lebih mengejutkan lagi
melihat perppu tersebut diloloskan oleh DPR mengingat Presiden tidak berasal
dari parpol dan tidak memiliki dukungan mayoritas dari partai politik. Kasus-
170
CATATAN AKHIR TAHUN
kasus pada bab sebelumnya juga menunjukkan pembatasan hak berkumpul dan
berpendapat melalui pelarangan diskusi, pameran juga kriminalisasi pembela
HAM yang sedang melakukan advokasi baik kasusnya sendiri maupun kasus
yang didampinginya.
Keempat, hukum yang digunakan penguasa untuk melawan rakyat. Hukum
memang produk politik dan karena itu tidak heran hukum (senantiasa)
digunakan oleh mereka yang berkuasa untuk melawan rakyat; merampas sumber
penghidupan rakyat dan lain-lain. Terjadi tumpang tindih aturan hukum baik
yang setara maupun antar peraturan daerah dengan undang-undang.
Kelima, peradilan sebagai lembaga pemulihan tidak bekerja dan justru
mendukung perampasan hak rakyat. Peradilan sesungguhnya adalah mekanisme
pengujian suatu tindakan dalam hal ini termasuk tindakan penguasa. Oleh
karena itu peradilan bukanlah hanya sekedar mekanisme melainkan sarana
untuk memberikan pemulihan. Sayangnya kasus-kasus yang ada menunjukkan
peradilan belum mampu menjalankan fungsi mulia ini. Sebaliknya peradilan
menjadi alat impunitas, penghapus kesalahan dan perampas hak rakyat.
Keenam, pembangkangan kepada hukum. Saat peradilan bekerja dan hukum
memihak kepada rakyat, senjata pamungkas pembangkangan kepada hukum
dan peradilan bekerja. Kasus-kasus yang ada menunjukkan kemenangan rakyat
kerap tinggal di atas kertas. UU dan mekanisme yang bertujuan mengikat
pelayan publik bertindak sesuai UU ternyata juga tidak mampu memutus rantai
pembangkangan ini.
Ketujuh, korupsi sebagai sumber pelanggaran HAM. Korupsi dan mesin
penggeraknya ternyata masih bercokol kuat. Hal ini ditunjukkan oleh perlawanan
balik terhadap KPK oleh berbagai institusi dengan berbagai bentuknya. Padahal
korupsi tidak saja pelanggaran HAM itu sendiri tetapi ia menjadi sumber
pelanggaran HAM. Peradilan yang korup akan membuat mekanisme pemulihan
tidak bekerja. Pejabat yang korup akan menyebabkan ia tidak mematuhi hukum
dan putusan peradilan. DPR yang korup juga akan membuat hukum yang
menguntungkan segelintir orang bukan rakyat.
Kedelapan, pemaksaan keseragamaan. Meskipun Bhineka Tunggal Ika tidak
pernah berpindah dari lambang negara tetapi pelaksanaannya sungguh berbeda.
Ancaman tidak lagi datang hanya dari aparat pemerintah tetapi juga ormas,
kelompok dan individu masyarakat. Kasus-kasus menunjukkan kekerasan baik
fisik maupun verbal bahkan perburuan manusia atas manusia lain. Tentu saja
tetap ada dimensi struktural dalam hal ini yaitu peninggalan Orde Baru yang
melakukan pemberangusan kebebasan termasuk menganut keyakinan tertentu.
Pengalaman ini tentu menimbulkan ketidakpercayaan jika keragamaan bisa
berdampingan dan hak tidak hanya bisa didapatkan dengan menguasai. Tentu
saja konservatisme dan ketidakadilan juga menjadi akar persoalan ini.
171
YLBHI
172
CATATAN AKHIR TAHUN
DAFTAR PUSTAKA
Aliansyah, M.A, 2014. Malari Perlawanan Terhebat Pertama Terhadap Orde Baru.
Diakses dari: https://www.merdeka.com/peristiwa/malari-perlawanan-
terhebat-pertama-terhadap-orde-baru-hariman-dan-malari-1.html. Terakhir
diakses 20 Desember 2017.
Armandhanu, Denny, dan Armenia, Resty, 2015. Temui PM Kanada Jokowi
Bahas Kerjasama Dagang. Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20151115162051-92-91789/temui-pm-kanada-jokowi-bahas-
kerjasama-dagang. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Arifin, Syarif, 2017. Cukup Dikenang, Tidak untuk Diulang. Sedane Majalah
Perburuhan, 20 Februari 2017.
Ariyanti, Fiki, 2017. Ini Rasio Utang Pemerintah RI dari Era Soeharto hingga Jokowi.
Diakses dari: http://bisnis.liputan6.com/read/2854387/ini-rasio-utang-
pemerintah-ri-dari-era-soeharto-hingga-jokowi. Terakhir diakses 23
November 2017.
Bappenas dan UNDP, 2015. Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2015.
Bagir, Zainal Abidin, 2012. Presentasi dalam Diskusi Publik CRCS memperingati Hari
Perdamaian Internasional (HPI) dan HTKI, Oktober 2012.
Berita Kita, Media Komunikasi Komunitas Freeport Indonesia, Maret 2014, Edisi No.
240. Diakses dari: https://ptfi.co.id/media/files/publication/5626fabe75911_
bk240.pdf . Terakhir diakses 16 Desember 2018.
CNN Indonesia.com, 15 November 2015 “Temui PM Kanada Jokowi bahas kerjasama
dagang”. Diakses dari: https://grafis.tempo.co/read/812/megaproyek-
infrastruktur-sejak-era-sby-sampai-jokowi. Terakhir diakses 18 November
2017.
CNN Indonesia, Kasus Pembantaian Dukun Santet Banyuwangi Jadi PR Komnas
HAM, Kamis, 27 Juli 2017 . Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/
nasional/20170727093716-12-230625/kasus-pembantaian-dukun-santet-
banyuwangi-jadi-pr-komnas-ham. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Dahlan, Juniawan, 2017. Ali Moertopo. Diakses dari: https://kebudayaan.kemdikbud.
go.id/mkn/2017/02/22/ali-moertopo/. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Elsam, 2014. Laporan HAM ELSAM 2004. Diakses dari: Elsam. Koleksi Khusus. Diakses
dari: https://lama.elsam.or.id/downloads/1265989923_Lapo ran_ham_2004.
pdf. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Elsam. Koleksi Khusus. Diakses dari: http://kolsus.elsam.or.id/index.php?p=show_
detail&id=2686. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Elsam. Koleksi Khusus. Diakses dari:
http://kolsus.elsam.or.id/index.php?p=show_detail&id=2658. Terakhir diakses 18
Desember 2017.
Fachrudin, F, 2017. Kemhan dan Kementerian ATR Percepat Sertifikasi Aset
Ribuan Hektar Tanah. Diakses dari: http://nasional.kompas.com/
read/2017/03/31/11432781/kemhan.dan.kementerian.atr.percepat.sertifikasi.
aset.ribuan.hektar.tanah. Terakhir diakses 20 Desember 2017.
Hadiz, Vedi. R and Chalmers, Ian (eds.), 2000. Economic Liberalism A New Orthodoxy
173
YLBHI
dalam The politics of Economic Development in Indonesia: contending
perspectives. New York: Routledge.
Hamdi, Ahmad Zainul, 2017. Makalah Diskusi Berkala HAM dengan Komunitas
Perempuan, Agama/Keyakinan, dan Etnis serta Inklusi Sosial Lainnya di LBH
Surabaya, 26 April 2017.
Ihsanuddin, 2017. Jokowi: Saya Hanya Ingin APBN Fokus ke Insfrastruktur. Diakses
dari: https://nasional.kompas.com/read/2017/07/20/20054901/jokowi--saya-
hanya-ingin-apbn-fokus-ke-infrastruktur. Terakhir diakses 19 Desember
2017.
Ikhsanudin, Arif, 2016. KOMNAS HAM: Peristiwa 27 Juli 1996 adalah Pelanggaran
HAM. Diakses dari: http://historia.id/modern/komnas-ham-peristiwa-27-
juli-1996-adalah-pelanggaran-ham. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Katadata, 2017. Inilah 5 Sektor Terbesar dalam Proyek Strategis Nasional. Diakses
dari: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/10/18/inilah-5-sektor-
terbesar-dalam-proyek-strategis-nasional. Terakhir diakses 20 Desember
2017.
KOMNAS HAM, Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Penembakan Misterius
Periode 1982 – 1985.
Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Penghilangan Orang
Secara Paksa Periode 1997-1998, 30 Oktober 2006. Diakses dari: https://
www.scribd.com/document/220011330/Ringkasan-Eksekutif-Kasus-
Penghilangan-Paksa-1997-1998-Komnas-HAM. Terakhir diakses 18
Desember 2017.
KOMNAS HAM, 2016. Laporan HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun
2016.
Kompas.com, 25 April 2015 “Tiongkok sapu bersih proyek infrastruktur Indonesia”.
Diakses dari: https://ekonomi.kompas.com/read/2015/04/25/165045026/
Tiongkok.Sapu.Bersih.Proyek.Infrastruktur.Indonesia. Terakhir diakses 20
November 2017.
KP Online, 2017. Ini Sikap JBM terhadap Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja
Migran Indonesia. Diakses dari: https://www.koranperdjoeangan.com/
ini-sikap-jbm-terhadap-pengesahan-ruu-perlindungan-pekerja-migran-
indonesia/. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
LBH Jakarta, 2016. Mengenang 20 Tahun Kriminalisasi Aliansi Jurnalis Independen.
Diakses dari: https://www.bantuanhukum.or.id/web/membungkam-dan-
memberangus-pers-kriminalisasi-pengurus-aliansi-jurnalis-independen/.
Terakhir diakses 18 Desember 2017.
LBH Jakarta, 2017. Redupnya Api Reformasi: Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2017.
Jakarta: LBH Jakarta.
Metanasi, P, 2016. Yang Tersisa dari Bandara Kemayoran. Diakses dari: https://tirto.
id/yang-tersisa-dari-bandara-kemayoran-b5cl. Terakhir diakses 20 Desember
2017.
Merdeka, Ini Kronologi Hilangnya Marsinah Hingga Ditemukan Tewas, 2 Mei 2016.
Diakses dari: https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kronologi-hilangnya-
174
CATATAN AKHIR TAHUN
marsinah-hingga-ditemukan-tewas.html. Terakhir diakses 18 Desember
2017.
Pincus, Jonathan R and Winters, Jeffrey A. ed., 2002. Reinventing the World Bank,
Cornell University Press: Ithaca and London.
PRD, 2010. Sekilas Tentang PRD. Diakses dari: http://www.prd.or.id/blog/2010/07/12/
sekilas-tentang-prd/. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Putusan MA No. 395 K/Pid/1995.
Radio Nederland Wereldomroep Indonesia, Ingat Soeharto, Ingat Tapos. Diakses dari:
http://archief.wereldomroep.nl/bahasa-indonesia/article/ingat-soeharto-
ingat-tapos. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2015-2024.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2015-2024.
Riau Online, 2017. Sejarah, Pemkab Inhu Komitmen Akui Hak Adat Suku Talang
Mamak. http://www.riauonline.co.id/riau/read/2017/08/24/sejarah-pemkab-
inhu-komitmen-akui-hak-adat-suku-talang-mamak. Terakhir diakses 14
November 2017.
RPJMN 2015-2019 buku 3.
Saman, E, 2012. Mereka Membela Diri, Mengenang Tragedi Haur Koneng. Diakses dari:
http://effendisaman.blogspot.co.id/2012/03/sebagai-relawan-lbhbandung-
ylbhi-masa.html. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Setara Institute, 2016. Laporan Setara Institute Tahun 2016.
Sukoco, Manik, 2017. Ketika Demokrasi Dihancurkan di Gedung Demokrasi. Diakses
dari: https://kumparan.com/manik-sukoco/ketika-demokrasi-dihancurkan-
di-gedung-demokrasi. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Suara Independen No. 7/II/Januari-Pebruari 1996 . Bredel Malari DiMata Mashuri.
Diakses dari: https://www.library.ohio.edu/indopubs/1996/03/31/0015.
html. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Taufiq, Fatkhurrohman, 2012. Tempo.com, “forum umat : Fatwa Sesat Syiah oleh
MUI Tidak Sah” 31 Agustus 2012. Diakses dari: http://www.tempo.co/read/
news/2012/08/31/078426687/Fotum-Umat-Fatwa-Sesat-Syiah-oleh-MUI-
Tidak-Sah. Terakir diakses 20 Desember 2017.
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita I.
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita II.
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita II.
Tempo.co, 2017. Setya Novanto Didakwa Mengintervensi Proyek E-KTP. Diakses
dari: https://nasional.tempo.co/read/1042012/setya-novanto-didakwa-
mengintervensi-proyek-e-ktp. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Laporan Mei 1998, dalam Komnas Perempuan
2001, Seri Dokumen Kunci Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa
Kerusuhan Mei 1998.
Tirto.id, 2016. Menebar Reklamasi di Negara Ribuan Pulau. Diakses dari: https://tirto.
id/menebar-reklamasi-di-negara-ribuan-pulau-FDu. Terakhir diakses 22
November 2017.
Tirto.id, Mereka Dipenjara Karena Didakwa Menista Agama, 16 November 2016.
Diakses dari: https://tirto.id/mereka-dipenjara-karena-didakwa-menista-
175
YLBHI
agama-b46G. Terakhir diakses 20 Desember 2017.
Tirto.id, LBH dan Advokasi Umat Islam, 21 September 2017. Diakses dari https://tirto.
id/lbh-dan-advokasi-umat-islam-cwY8. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Tirto.id, Mengenang Tragedi 33 Tahun Tragedi Pembantaian Tanjung Priok, 12
September 2017. Diakses dari: https://tirto.id/mengenang-33-tahun-tragedi-
pembantaian-tanjung-priok-cwpi. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Tribunnews.com, 2016. Nota Kesepahaman TNI dengan Instansi Kementerian dan
BNPB. Diakses dari: http://www.tribunnews.com/nasional/2016/03/23/nota-
kesepahaman-tni-dengan-instansi-kementerian-dan-bnpb. Terakhir diakses
16 Desember 2017.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wildansyah, S., 2017. Panglima-Mendikbud Teken MOU Bakal ada ‘Tentara Masuk
Sekolah”. Diakses dari: ttps://news.detik.com/berita/d-3753614/panglima-
mendikbud-teken-mou-bakal-ada-tentara-masuk-sekolah. Terakhir diak-ses
14 Desember 2017.
YLBHI, 1989. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: YLBHI.
YLBHI, 1990. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakara: YLBHI.
Zen, M. Arief Patra, 2008. Bantuan Hukum Indonesia: Mengurai Gagasan dan
Praktiknya Lewat Perjalanan LBH. Diakses dari: http://apatra.blogspot.
co.id/2008/11/bantuan-hukum-indonesia-mengurai_04.html. Terakhir
diakses 16 Desember 2017.
176