Anda di halaman 1dari 178

CATATAN AKHIR TAHUN

YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM INDONESIA


TAHUN 2017
Demokrasi Indonesia dalam Pergulatan
CATATAN AKHIR TAHUN
YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM INDONESIA

PENULIS
Siti Rakhma Mary Herwati
Asfinawati
Muhamad Isnur
Arip Yogiawan
Febi Yonesta
Jane Aileen Tejaseputra
Maria Elysabeth Suatan
April Pattiselano Putri

ISBN
978-602-1152-18-8

KONTRIBUTOR
LBH Aceh - LBH Medan
LBH Padang - LBH Pekanbaru
LBH Palembang - LBH Lampung
LBH Jakarta - LBH Semarang
LBH Yogyakarta - LBH Bandung
LBH Surabaya - LBH Bali
LBH Makassar - LBH Manado
LBH Papua - Fanti Yusnita
Riyanti Agustina

EDITOR
Siti Rakhma Mary Herwati

SAMPUL & ATAK


Apip R Sudradjat (Taresi)

PENERBIT
Yayasan LBH Indonesia

BADAN PENGURUS YLBHI


(JANUARI – DESEMBER 2017)
PENGANTAR

2
017 adalah tahun istimewa. Setahun sebelum 20 tahun reformasi,
menjelang Pilkada langsung dan persiapan Pemilu 2019. Bagi LBH-YLBHI
(selanjutnya disebut LBHI) secara internal 2017 juga istimewa karena
menandai dibuatnya kembali catatan akhir tahun (Catahu) yang berisi laporan
hukum-HAM dan kegiatan internal. Tetapi apa hubungannya Catahu ini dengan
momen politik negara?
Catahu LBHI adalah dokumentasi bantuan hukum/advokasi yang dilakukan
15 kantor LBH di 15 Provinsi dan pengurus LBHI. Ia direncanakan menjadi
dokumen yang berbicara tentang pelanggaran HAM di berbagai sektor
melintasi wilayah Indonesia dari ujung timur hingga ujung barat. Apakah petani
mendapatkan tanahnya? Apakah buruh menjadi sejahtera karena bekerja atau
mengalami kemunduran kehidupan karena bekerja dalam kondisi perbudakan
modern. Bagaimana dengan kelompok minorita, apakah mereka mengalami
diskriminasi semenjak lahir hingga meninggal?
Melalui Catahu, evaluasi terhadap sistem pemulihan juga dapat diketahui. Jangan
salah sangka, sistem bukan yang utama dalam Catahu ini melainkan hidup
manusia Indonesia. Apakah menjadi Indonesia artinya bisa dipulihkan nama
baiknya jika terdapat salah tangkap yang diikuti dengan penyiksaan? Apakah
berbhineka artinya bisa lolos dari tuduhan sewenang-wenang kerumunan
bahwa anda melakukan penodaan agama? Atau sebaliknya anda dipenjara
atau organisasinya dibubarkan? Apakah keadilan sosial artinya rumah, tanah,
udara, ingatan romantis masa kecil anda bisa dikembalikan apabila dirampas
perusahaan ataupun instansi pemerintah?
Oleh karenanya, Catahu ini (dan catahu-catahu mendatang yang akan lahir)
adalah kumpulan kisah tempat kita bercermin, apakah jargon-jargon, yang
disebarkan melalui berbagai alat, benar-benar terjadi atau hanya tinggal dalam
kata-kata. Dan inilah cara ini kita menilai. Kata-kata tanpa pelaksanaan adalah
politik. Kata-kata tanpa pelaksanaan adalah alat kekuasaan.
Selain menyajikan data tahun 2017, kami juga memaparkan kilasan kasus yang
ditangani LBH-YLBHI pada masa Orde Baru. Genapnya 20 tahun reformasi
bukan momen biasa yang harus lenyap tanpa makna. Reformasi 1998 adalah
tonggak bergeraknya Indonesia dari rezim otoritarian ke arah yang lebih
demokratis. Oleh karena itu, indikator kemajuan demokrasi Indonesia pantas
dilekatkan pada momen reformasi tersebut.
Selamat menemukan keIndonesiaan sesungguhnya dalam kehidupan manusia
Indonesia dari Papua hingga Aceh dalam catatan kami tahun 2017 ini. Melalui
kisah-kisah seperti inilah kita bisa menentukan pemimpin yang akan kita pilih
pada tahun politik 2018 bahkan 2019.
Asfinawati

3
WARGA NEGARA DAN PENGURUSNYA, ATAU
PERKAKAS-POLITIK DAN BOSNYA?
Rapor Tandingan Bagaimana Pengurus Republik Memperlakukan Negeri
dan Warganya: 1970-2017
Hendro Sangkoyo
Pelajar di School of Democratic Economics

M
enjelang akhir 2017, tiga tahun sebelum ulang tahunnya yang ke-50,
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – berbadan hukum Yayasan –
menerbitkan laporan rekaman kerjanya selama setahun, mencakup kegiatan
LBHI dan kelima belas kantor LBH di kepulauan Indonesia, beserta simpul-simpul
refleksi penting dari lapangan mengenai masalah-masalah genting bagi warga negara
dan respons bantuan hukum terhadapnya. Laporan sepanjang lebih dari 150 halaman
berikut ini mengungkap beberapa pertanda mencolok sebagai berikut. Pertama,
tingginya kebutuhan mendesak dari warga negara Indonesia akan bantuan hukum
untuk membela diri atau mempertahankan ruang hidupnya dari tindakan-dengan-
kekerasan dari pengurus negara. Kedua, di balik ragam kasus sengketa dengan sebaran
mencakup seluruh kepulauan, terbaca adanya semacam protokol tak tertulis untuk
mengorbankan syarat keselamatan manusia dan biosfera jangka panjang dalam kinerja
pengurus negara melayani pembesaran rerantai ekonomik, lewat berbagai mekanisme
dan instrumen pelancar maupun lewat perubahan tata kuasa dan tata kerja dari badan-
badan kenegaraan. Ketiga, masih awetnya sekatan-sekatan kewargaan, solidaritas sosial,
dan arena politik identitas yang diciptakannya, sebagaimana tersingkap dari beberapa
kasus penting yang YLBHI/LBH tangani.
Ketiga pertanda tersebut di atas mengundang pertanyaan tentang ada tidaknya
perubahan penting dan mendasar di antara episode 1960-1990-an dengan episode
sesudahnya sampai sekarang, dan ke arah mana sesungguhnya perubahan bergerak.
Lebih jauh, ketiganya juga menuturkan bagaimana perluasan medan akumulasi sebumi
yang berlangsung di kepulauan Indonesia, beserta proses politik di lingkar penguasa
yang memutuskan dan mengendalikan arah dan besaran perubahan, menaikkan
kekacauan dalam denyut harian kehidupan orang biasa beserta infrastruktur ekologis
yang menopang subsistensinya.
Siapa Butuh Bantuan? Catatan Akhir Tahun LBHI mengemukakan profil warga negara
peminta bantuan. Di tahun 2017, rasio perempuan/laki-laki dari peminta bantuan
adalah 40/60. Seperlimanya hanya menyelesaikan SMP atau SD, tidak tamat SD atau
tidak pernah bersekolah. Hampir separuh dari permintaan pembelaan datang dari
warga negara yang hanya lulus SLTA. Lebih dari 40 persen peminta bantuan adalah
buruh harian lepas, pekerja domestik, tidak bekerja, petani, pedagang kecil, dan nelayan.
Frekuensi penanganan kasus menurut sebarannya di lima belas provinsi juga sedikit
menyingkap primacy DKI Jakarta (1200 kasus), yang lebih besar dari jumlah kasus yang

4
ditangani di enam provinsi pada urutan di bawahnya (Surabaya, Padang, Yogyakarta,
Bali, Makasar, dan Bandung). Panjang pendeknya jarak dari ibu kota politik dan
jantung pengurusan publik tidak mencerminkan derajat keterpenuhan syarat keadilan.
Nyatanya, dari cacah kasus untuk Jakarta terdengar seolah-olah Jakarta adalah ibukota
kekacauan. Walaupun tidak sepenuhnya salah, barangkali ceritanya lebih mirip dengan
posisi instalasi gawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, di
mana kasus-kasus paling runyam dari mana-mana dirasakan perlu untuk dibawa ke
Jakarta.
Penggolongan kasus ke dalam konteks perkara juga menarik dipertimbangkan.
Ditanganinya 139 kasus yang menyangkut tata usaha negara di tahun 2017 cukup jelas
menunjukkan tingginya masalah di situ: rata-rata ada satu masalah muncul dalam
urusan TUN setiap tiga hari.
“Si miskin” dan “si lemah”, dua dramatis personae dalam alasan menyejarah kenapa
LBH ada, muncul dalam berbagai arena politik sebagai golongan dan wujud pribadinya.
Bagaimana warga negara meraih gelar si miskin atau si lemah sendiri - seperti
representasi ikonologisnya dalam logo LBHI – sudah tentu memerlukan tuturan
tentang kedua atribut tersebut sebagai relasi kemasyarakatan rakitan, bukan sebagai
penanda posisi si subyek pada pita ukur ekonomistik, seperti yang secara khusuk masih
terus dilakukan dalam ritus kenegaraan tahunan untuk menghitung siapa hidup di
bawah atau di atas garis kemiskinan, atau siapa lebih rentan untuk terperosok ke dalam
status miskin uang. Ketika seseorang mengalami kekerasan karena penolakannya atas
satu rencana investasi, misalnya, sejauh menyangkut relasinya dengan pengurus negara,
yang bersangkutan mengalami dua kali pergeseran relasi. Pertama, perubahan status
politik dari warga masyarakat dan warga dari ruang hidup menyejarahnya, dengan
otonomi untuk mereproduksi kehidupan sosialnya, menjadi instrumen dari tujuan-
tujuan politik/ekonomik kenegaraan yang dilekati kekuatan memaksa. Di tahap ini
hak warga untuk mempertahankan kewargaan ruang hidupnya diam-diam dibatalkan.
Pergeseran kedua berpotensi menjadikan si warga negara sebagai korban ganda. Ketika
dia menggunakan “hak veto”nya untuk menolak obyektivasi dan pengorbanan dirinya,
dia dihadapkan pada kekuatan negara untuk menghukum ketidakpatuhannya.
Tamatnya Jaman Pembangunan Jilid Satu: Panjang Umur Pembangunan! Apabila tahun
1997 bisa dibaca sebagai penanda dari berakhirnya masa kembang orde pembangunan
jilid satu pasca Soekarno sejak 1967, apakah ada ciri-ciri khas dari masa dua puluh
tahun berikutnya sampai dengan 2017 yang membedakannya dari masa sebelumnya?
Apakah pembaruan dan reorganisasi institusi-institusi kenegaraan bisa dianggap
sebagai representasi dari pembaruan watak politik sebuah rezim? Lebih jauh, macam
apakah semangat jaman dari instrumen-instrumen politik baru yang disahkan setelah
1998? Meskipun laporan ini tidak secara khusus mengungkapkan pemeriksaannya atas
beberapa soal tersebut, cukup jelas bahwa di balik rapor kemajuan, ada gejala stagnasi
dan kemunduran dalam dua dekade terakhir ini, dibandingkan dengan tiga dekade
sebelumnya.

5
Kompilasi kasus dari kelima belas kantor LBH di atas, masing-masing beroperasi
seperti pos ronda 24 jam di garis depan krisis yang dihadapi warga, memberikan
sekelumit gambaran keadaan kehidupan orang biasa hari ini: pengawetan tekanan
batin traumatik “seusai” perang (konflik bersenjata); penertiban paksa perilaku pribadi;
perusakan ekonomi tani subsistensi lewat operasi industry keruk, kebun monokultur
dan pembongkaran hutan; pemerasan tenaga kerja industri; korupsi; kewargaan
berbatas-tanggal di hutan negara vs. kewargaan ruang hidup adati menyejarah/
permanen; intoleransi antar rombongan solidaritas sekatan; diskriminasi dan kekerasan
pada perempuan dan kanak-kanak; pemidanaan pelaku dan tindakan protes/umpan
balik pada pengurus publik; pengawasan dan pembatasan kerumunan/berkumpulnya
warga negara; pengusiran paksa pedagang kecil dan warga miskin dari ruang-ruang
kenyamanan di kota; reproduksi relasi kuasa kolonial dari monarki lokal; dan kekerasan
infrastruktur.
Pada ranah institusional, laporan tahunan ini juga mengemukakan beberapa kasus
sejak 1960-an sampai sekarang, menyangkut antara lain, penerbitan instrumen politik
(“kebijakan”) yang melemahkan rasionalitas publik atau menggantikannya dengan
rasionalitas pasar, pembangkangan manajer negara di hadapan hukum, penggunaan
aparatus kekerasan negara untuk menjawab protes warga negara, sikap dan perlakuan
awak kantor-kantor negara terhadap investor atau rencana investasi modal, dan
sebagainya. Kasus-kasus penting tersebut menunjukkan terus menjalarnya korupsi
bukan saja atas aliran keuangan publik, tetapi juga korupsi atas mandat dari badan-
badan publik yang menjadi tanggung gugatnya.
Dari pembandingan kasus-kasus yang LBHI tangani antar dekade serta refleksi kasus-
kasus paling menonjol dari masing-masing kantor LBH yang dirinci dengan tajam
dalam laporan, tidak ada perubahan mendasar di antara rezim perubahan 1970-1998
dan rezim perubahan sesudahnya. Padahal, selama itu telah berlangsung reorganisasi
birokrasi negara, modifikasi portofolio dari cabang-cabang pengurusan dan proses
politik elektoral formal, program legislasi nasional yang ambisius cakupannya,
pembaruan protokol pengurusan publik termasuk penerapan otonomi pengurus
daerah, pembentukan badan-badan struktural termasuk KPK, bahkan amandemen
atas konstitusi yang lebih panjang dari batang tubuh konstitusinya sendiri.
Di luar lingkup laporan, mudah dikenali adanya kesamaan watak tersebut di atas.
Pengenalan protokol kepatuhan operasi birokrasi negara pada syarat-syarat kelayakan
ekologis yang lebih menyeluruh maupun pengetatan kendali penggunaan ruang-ruang
daratan dan perairan pulau lewat instrumen politik pada berbagai jenjang, harus
berhadapan dengan terus diterapkannya moda operasi dari kantor-kantor kenegaraan
yang pretensi dan fokus capaiannya adalah pembesaran nilai uang dari sektor-sektor
rerantai ekonomiknya masing-masing. Di balik keriuhan sirkus huru-hara yang
bikin rakyat bukan cuma setrès tapi juga pontang-panting macam itu, tuntutan akan
pembelaan hukum ternyata berhadap-hadapan dengan praktik penggunaan beberapa
kata-kunci yang terdengar normal, seperti ketertiban umum, kepentingan umum, atau,

6
tentu saja, pembangunan, sebagai representasi dari kekerasan sistematis/terorganisir,
pembatalan kewargaan dari ruang-ruang hidup bersama. Begitu pula dengan janji bahwa
derita dari penggusuran, ketakutan, atau kerusakan ruang-hidup akan melahirkan
kemajuan dan kesejahteraan (baca: kesejahteraan ternak) yang takaran maupun cara
ukurnya berwatak klinis, dan dikenakan serta diputuskan secara sepihak dari luar basis
pengalaman si subyek politik.
Seperti bisa dibaca dari bagian-bagian laporan ini, tingginya masalah “tata-usaha negara”
juga berjalan serentak dengan penggunaan berbagai ujud kekerasan terhadap warga
negara. Gelombang penguasaan petak-petak daratan pulau yang tak pernah surut sejak
1970-an adalah bentuk kekerasan paling mencolok pada sistem-sistem kehidupan di
pulau-pulau bermuatan bahan mentah industrial. Dia hanya bisa berlangsung dengan
kekerasan, dan akan melahirkan kekerasan sebagai respons terhadapnya. Perubahan
agraria, masih dituturkan sebagai gejala alami dari modernisasi kehidupan yang
terdengar wajar atau bahkan membahagiakan, dalam kenyataan sehari-hari kehidupan
warga negara adalah medan-medan kekerasan yang acapkali menyangkut soal hidup-
mati.
Koloni-Koloni Identitas dan Kelas-Kelas Persemakmuran Proses-proses pembentukan
hukum pasca dekolonisasi di Republik Indonesia telah digambarkan oleh beberapa
pelajarnya sebagai kelanjutan dari adanya kemenduaan di episoda akhir Hindia
Belanda, di antara orientasi pada bentukan-bentukan sosial asli pra-kolonial yang
memungkinkan kemajemukan rezim hukum di satu pihak, dengan imajinasi rezim
hukum terpadu yang mengacu pada pengalaman Eropa di lain pihak. Lebih rumit
sedikit dari sekedar polaritas atau dikotomi, dinamika dari kubu pertama, sebagai
ilustrasi, juga berkelindan dengan kontradiksi di antara penghormatan pada keragaman
sejarah sosial/kultural tanah jajahan di satu pihak, dengan manfaat kemajemukan rejim
hukum untuk mencegah terujudnya prospek penyatuan politik di bawah citra diri
kebangsaan. Pada dekade kedua abad ke dua puluh satu sekarang, jejak perkembangan
tersebut muncul kembali ke permukaan dengan muatan kepentingan, imajinasi,
arena-arena politik dan simbol-simbol baru, yang juga mengalami perumitan karena
perubahan-perubahan baru pada skala ruang transnasional. Politik identitas, jauh
melampaui representasi soal hak asal-usul atau kemajemukan bentukan sosial dalam
pembelaan kesetaraan hak dan perlindungan negara atas warganya, sekarang juga
bisa dimuati berbagai agenda ekonomik yang rumit bangunan kepentingannya. Boleh
jadi melampaui cakupan pemeriksaan dari pos-pos ronda garis depan LBHI, duduk
perkara dari kekacauan sosial di kepulauan tampaknya ikut mempengaruhi proses
belajar bersama yang melibatkan si lemah dan si miskin, dan juga telah dimanfaatkan
dengan cerdas oleh kepentingan-kepentingan penguasaan ruang-ruang ekonomik di
situ, termasuk dalam konteks pembesaran rerantai keuangan dari industri-kompensasi
emisi karbon, maupun industri keuangan fiktif yang menyetarakan keberfungsian
infrastruktur ekologis pulau sebagai jasa bernilai uang dalam transaksi pasar. Tuntutan
mendasar dari rombongan-rombongan keturunan penghuni-awal kepulauan akan
pengakuan kewargaan ruang-hidup-menyejarahnya telah melunak dan bergeser

7
asasnya menjadi tuntutan hak bagi-hasil dalam persemakmuran ekstraktivisme-baru
yang justru memperdalam krisis. Penunjuk-penunjuk kunci dari keragaman kasus
bantuan hukum seperti perdata, pidana, tata-usaha negara, korupsi, atau kekerasan,
sekarang memerlukan kepekaan akan kesejarahan dari perkaranya lebih dari yang
sudah-sudah.
Soal-soal kunci dalam politik kelas yang mencari jalannya sendiri sejak Suharto,
termasuk dalam arena politik perburuhan dan politik-tani, juga telah berubah konteks
sosialnya di tengah perubahan pesat dalam moda perluasan sirkuit-sirkuit utama
kapital yang bersifat sebumi. Perubahan tersebut juga tercermin dalam bujukan
untuk mundur dari soal-soal klasik tentang keadilan dan penghisapan, dan untuk
bergabung dalam persemakmuran antar kelas, dalam sebuah arena ketidaksepakatan,
di antara kepentingan jangka-panjang reproduksi sosial yang utuh dengan kepentingan
kelanggengan akumulasi. Tabiat neoliberal di balik reorganisasi negara sendiri
dalam setengah abad ini sesungguhnya menyiratkan adanya konflik politik di antara
pemaknaan sempit dan sepihak oleh para manajer negara atas manfaat dan ongkos
dari pembesaran rerantai ekonomik, dengan pemaknaan tandingannya yang masih
tersekat-sekat menurut lintasan sejarah sosial yang dituturkan di atas. Efek meniru yang
diciptakannya tidak bisa dipandang remeh, seperti ketika media komersial dan sidang
kelas-menengah yang mengonsumsinya beramai-ramai menyalahkan dan menghardik
si miskin dan si lemah korban penggusuran proyek-proyek perampasan tanah atau
konstruksi infrastruktur di berbagai tempat, atas nama pertimbangan manfaat dan
ongkos.
Medan-medan telaah ini sekarang sesungguhnya memerlukan perhatian dan
pemeriksaan lebih seksama, terutama di tengah percepatan pembesaran hutang negara
dan privatisasi aset publik pada masa banjir pembangunan jilid dua sekarang, yang
ongkos dan risikonya akan harus ditanggung oleh warga masyarakat pekerja di masa
depan.
Bantuan Hukum: Mekanisme Ombud Kaki-Lima, Gerakan Keadilan, atau Subyektivasi
Politik Warga Negara? Di balik kelengkapan dan ketajaman uraian dari risalah
2017 ini, juga terbaca adanya kegamangan dalam memberi makna pada kekayaan
pengetahuan yang terbentuk dari pengalaman pembelaan di garis-depan krisis.
Semangat zaman di awal lahirnya LBHI dulu, meskipun berada di zona waktu yang
paling kelam di paruh kedua 1960-an, terlihat lebih jelas hitam putihnya dibandingkan
dengan yang ada sekarang, yang diwarnai oleh kemajemukan rezim pemaknaan dari
rombongan-rombongan sosial menyejarah yang mewarisi solidaritas dalam sekatan
dari masa lampaunya. Sebagian masalah relatif lebih mudah dipahami dan dituturkan
generalisasinya. Salah satu yang terpenting dalam hal ini adalah kecenderungan
penggunaan aparatus kekerasan negara, sebagaimana dikemukakan dengan baik dalam
laporan ini, yang berurusan dengan soal ketakutan. Keberlangsungan produksi-nilai
yang berwatak mengganggu kehidupan warga negara membutuhkan reproduksi rasa
takut secara sistematis dan besar-besaran, dan Indonesia bukan perkecualian.

8
Lebih ribet sedikit adalah penggunaan kata-kunci keadilan dalam pembelaan atau
bantuan hukum. Konteks ganda dari tuntutan keadilan hari ini adalah kemajemukan
bentukan sosial di hadapan arena politik kelas, dengan beberapa pertimbangan
kesejarahan tersebut di atas. Begitu pula, citra-diri LBHI sebagai ombud independen
dalam konteks pembaruan hukum, menjadi cukup problematis di tengah penguatan
gejala privatisasi dari proses-proses kenegaraan yang hendak dilurus-luruskan.
Kita sekarang berada dalam sebuah kekacauan dan badai-moral, di mana tuturan
tandingan dari basis pengalaman orang biasa dan proses belajar pada tingkat
akar rumput menjadi tumpuan terpenting untuk melawan pembesaran entropi
sosial ekologis di kepulauan. Ketika janji atau harapan “perbaikan” lewat bantuan
hukum sendiri juga berpotensi menjadi bagian dari masalah, barangkali cukup
mendesak untuk membayangkan bahwa laporan-laporan LBHI di tahun-tahun
mendatang juga akan memuat cerita-cerita dengan kata ganti orang pertama,
tentang proses belajar menjadi subyek politik, beserta proses pembentukan
pengetahuan dan kata-kata kunci tandingan tentang politik hukum serta
lokasinya dalam perubahan sosial ekologis.

9
DAFTAR ISI
PENGANTAR.............................................................................................. 3
WARGA NEGARA DAN PENGURUSNYA, ATAU PERKAKAS-
POLITIK DAN BOSNYA?.......................................................................... 4
DAFTAR ISI................................................................................................ 10
DAFTAR TABEL ........................................................................................ 12
DAFTAR GRAFIK ..................................................................................... 13
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 14
VISI...............................................................................................................15
MISI..............................................................................................................15
SISTEMATIKA LAPORAN......................................................................15
STRUKTUR KEPENGURUSAN YLBHI 2017......................................16
RUANG LINGKUP KERJA BANTUAN HUKUM YLBHI DAN
LBH ..............................................................................................................16
MEKANISME KERJA BANTUAN HUKUM........................................20
SEKILAS SEJARAH LBH INDONESIA.................................................21
PROFIL KERJA KANTOR-KANTOR LBH...........................................22
SUMBER DAYA MANUSIA LBH INDONESIA..................................26
DATA PENANGANAN KASUS LBH INDONESIA............................27
LAPORAN KEUANGAN.........................................................................31
BAB II CAPAIAN-CAPAIAN .................................................................... 34
CAPAIAN-CAPAIAN ..............................................................................34
KESIMPULAN...........................................................................................67
BAB III ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH............... 68
LBH SEMARANG KASUS SEMEN KENDENG..................................68
LBH SURABAYA........................................................................................71
LBH BANDUNG........................................................................................75
LBH PEKANBARU....................................................................................76
LBH PEKANBARU....................................................................................77
LBH BANDA ACEH .................................................................................78
LBH JAKARTA...........................................................................................80
LBH JAKARTA...........................................................................................85
LBH MAKASSAR.......................................................................................86
LBH SURABAYA........................................................................................88
LBH BALI....................................................................................................95
LBH LAMPUNG........................................................................................95
LBH PADANG............................................................................................95

10
CATATAN AKHIR TAHUN

LBH YOGYAKARTA.................................................................................97
KESIMPULAN...........................................................................................99
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM
NASIONAL.................................................................................... 100
KEBIJAKAN PEMERINTAH 2017 DAN RESPON YLBHI-LBH.....100
PERAMPASAN LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR....................................................................................114
PEMBIARAN KONFLIK AGRARIA DAN KRIMINALISASI...........130
BAB V LBH DARI MASA KE MASA......................................................... 140
PERAMPASAN LAHAN..........................................................................140
KASUS-KASUS LINGKUNGAN HIDUP.............................................147
EXTRA JUDICIAL KILLING .................................................................148
PENGHILANGAN PAKSA......................................................................149
PERSEKUSI.................................................................................................149
PENEMBAKAN MISTERIUS 1982 – 1985...........................................150
DUKUN SANTET.....................................................................................150
TRAGEDI MEI 1998.................................................................................151
HAUR KONENG........................................................................................151
KEBEBASAN BERSERIKAT, BERKUMPUL, DAN
BEREKSPRESI............................................................................................152
KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN.........................157
PENGGUSURAN.......................................................................................159
FAIR TRIAL................................................................................................160
PEMBANGUNANISME...........................................................................161
PELEMAHAN POLITIK OPOSISI ........................................................164
PELEMAHAN DAN PEMBERANGUSAN KEBEBASAN
BERSERIKAT .............................................................................................165
BAB VI......................................................................................................... 170
PENUTUP................................................................................................... 170
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 173

11
YLBHI

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Struktur Personalia Badan Pengurus YLBHI Periode 2017 – 2021 ... 17
Tabel 2. Nama-nama Direktur LBH Indonesia.................................................... 18
Tabel 3. Sumberdaya Manusia LBH Indonesia..................................................... 27

12
CATATAN AKHIR TAHUN

DAFTAR TABEL
Grafik 1. Ruang Lingkup Bantuan Hukum....................................................... 20
Grafik 2. Mekanisme Kerja Bantuan Hukum LBH Indonesia....................... 21
Grafik 3. Jumlah Pengaduan ke LBH Indonesia.............................................. 28
Grafik 4. Jumlah Pelapor berdasarkan Tingkat Pendidikan........................... 28
Grafik 5. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Kelamin..................................... 29
Grafik 6. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Masalah..................................... 29
Grafik 7. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Pekerjaan................................... 30
Grafik 8. Jumlah Pelapor berdasarkan Jumlah Penghasilan........................... 31
Grafik 9. Jenis Konflik Agraria........................................................................... 31
Grafik 10. Penyebab Konflik................................................................................. 131
Grafik 11. Tipe Konflik.......................................................................................... 132

13
YLBHI

BAB I
PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

C
atatan akhir tahun ini adalah laporan pertama yang diterbitkan Badan
Pengurus YLBHI periode 2017 – 2021. Laporan akhir tahun dan
publikasinya merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik dan
penting untuk meningkatkan kepercayaan publik. Laporan tahunan juga dapat
menjadi sarana advokasi dan penyadaran publik termasuk komunitas marjinal.
Mereka yang selama ini didiskriminasi dapat memperoleh pemahaman tentang
apa yang sesungguhnya menimpa mereka melalui data-data pelanggaran yang
disajikan dalam laporan tahunan. Bagian pendahuluan ini berisi uraian singkat
mengenai keorganisasian YLBHI dan tujuan laporan. Bab II berisi kisah-kisah
sukses penanganan kasus YLBHI. Bab III berisi penanganan kasus-kasus
penting YLBHI-LBH. Bab IV berisi analisis kebijakan situasi hukum dan hak
asasi manusia nasional. Bab V tentang LBH dari masa ke masa. Terakhir bab VI
adalah penutup.
Sejak menjabat pada 10 Januari 2017, badan pengurus YLBHI di bawah
kepemimpinan Asfinawati melakukan berbagai kegiatan untuk memperkuat
konsolidasi internal dan memperkuat advokasi dan bantuan hukum YLBHI
beserta 15 kantor LBH.
Pengurus YLBHI telah melakukan kunjungan asesmen ke 15 kantor LBH untuk
untuk melakukan pemetaan masalah internal dan eksternal yang dihadapi Para
Pengabdi Bantuan Hukum di wilayah masing-masing, kekuatan dan kelemahan
LBH Kantor, pemetaan peluang dan strategi yang dapat dikembangkan, strategi
advokasi, serta harapan-harapan LBH Kantor terhadap Pengurus YLBHI. Hasil
dari asesmen tersebut akan digunakan sebagai salah satu bahan untuk menyusun
perencanaan strategis dan program kerja bersama YLBHI-LBH 2017-2021.
Selain itu, YLBHI juga mengadakan pra-rakernas-renstra dalam bentuk
Focussed Group Discussion (FGD) dengan melibatkan jaringan kerja advokasi
guna membahas beberapa tema sebagai berikut:
1. Agraria dan Lingkungan
2. Keadilan dan Kesetaraan Warga
3. Pengembangan dan Peningkatan Ekonomi
4. Kampanye dan Protokol Keamanan
5. Peradilan
YLBHI-LBH juga telah mengadakan Perencanaan Strategis pada 8 – 10 Agustus
2017 dan menghasilkan Isu Strategis dan Program Strategis. Adapun Visi Misi
YLBHI 2017 sebagai berikut:

14
CATATAN AKHIR TAHUN

VISI
YLBHI bersama dengan komponen-komponen masyarakat berupaya untuk:
- terwujudnya suatu sistem masyarakat hukum yang terbina di atas tatanan
hubungan sosial yang adil dan beradab/berperikemanusiaan secara
demokratis
- terwujudnya suatu sistem hukum dan administrasi yang mampu menyediakan
tata cara (prosedur-prosedur) dan lembaga-lembaga melalui mana setiap
pihak dapat memperoleh dan menikmati keadilan hukum
- terwujudnya suatu sistem ekonomi, politik, dan budaya yang membuka akses
bagi setiap pihak untuk turut menentukan setiap keputusan yang berkenaan
dengan kepentingan mereka dan memastikan bahwa keseluruhan sistem itu
tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia

MISI
Agar Visi tersebut dapat terwujud, YLBHI akan melaksanakannya dalam
serangkaian kegiatan (MISI) berikut ini:
- menanamkan, menumbuhkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai negara
hukum yang berkeadilan, demokratis, serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa kecuali;
- menanamkan, menumbuhkan sikap kemandirian serta memberdayakan
potensi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin sedemikian rupa
sehingga mereka mampu merumuskan, menyatakan, memperjuangkan, serta
mempertahankan hak-hak dan kepentingan mereka baik secara individual
maupun kolektif;
- mengembangkan sistem, lembaga-lembaga, serta instrumen-instrumen
pendukung untuk meningkatkan efektifitas upaya-upaya pemenuhan hak-
hak laposan masyarakat yang lemah dan miskin;
- memelopori, mendorong, mendampingi, dan mendukung program
pembentukan hukum, penegakan keadilan hukum, dan pembaharuan
hukum nasional sesuai dengan Konstitusi dan Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia;
- memajukan dan mengembangkan program-program yang mengandung
dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial ekonomi, budaya dan jender,
utamanya bagi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin.

SISTEMATIKA LAPORAN
Catatan Akhir Tahun ini diawali dengan Pendahuluan yang berisi pengantar
mengenai mengapa Catatan Akhir Tahun ini dibuat, visi dan misi YLBHI, dan

15
YLBHI

sistematika laporan. Bab I juga berisi struktur kepengurusan YLBHI-LBH tahun


PENDAHULUAN

2017, statistic penanganan kasus LBH Indonesia yang bersumber dari beberapa
sistem pendokumentasian kasus, profil YLBHI dan 15 LBH kantor, dan laporan
keuangan YLBHI.
Bab II Catatan Akhir Tahun ini berisi capaian-capaian atau beberapa cerita
sukses penanganan kasus LBH Indonesia. Cerita sukses penanganan kasus
tidak mesti diukur dari kemenangan kasus tersebut di pengadilan, tetapi juga
keberhasilan penanganan non-litigasi disertai dengan pembelajarannya.
Bab III mengenai advokasi LBH Indonesia. Bagian ini memuat peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi di daerah-daerah selama tahun 2017. Kejadian-
kejadian tersebut di antaranya konflik agraria, pelanggaran hak masyarakat atas
lingkungan hidup, kasus-kasus perburuhan, pelanggaran hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan, dan kasus kebebasan berekspresi dan berserikat.
Sedangkan Bab IV berisi analisis kebijakan situasi hukum dan hak asasi
manusia nasional. Bagian ini mengalisis kebijakan-kebijakan pemerintah yang
bermasalah sepanjang tahun 2017 dan respon YLBHI. Selain itu, kebijakan
infrastruktur dan konflik agrarian diulas tersendiri mengingat meledaknya
kasus-kasus pembangunan infrastruktur dan konflik agraria sepanjang 2017.
Bab V berisi LBH dari Masa ke Masa yang merupakan kilas balik kasus-kasus
yang ditangani LBH pada masa lalu dan melihat relevansinya dengan kasus-
kasus yang terjadi sekarang.
Bab VI adalah penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh bagian.

STRUKTUR KEPENGURUSAN YLBHI 2017


Struktur kepengurusan YLBHI selengkapnya adalah sebagai berikut:

PENDIRI:
Prof. Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution

PEMBINA:
1. Nursyahbani Katjasungkana, S.H.
2. Abdul Rahman Saleh
3. Mia Puspawati
4. Prof. Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution
5. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LLM.
6. Aristides Katoppo
7. August Parengkuan
8. Dr. Ing. H. Fauzi Bowo
9. Dr. Frans Hendra Winarta, S.H.

16
CATATAN AKHIR TAHUN

10. Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., MSi.


11. Mas Achmad Santosa, S.H., LLM.
12. Tuty Hutagalung, S.H.
13. Matheus Rukmasaleh Arif
14. Henny Supolo
15. H. Ir. Salahudin Wahid
16. Andi Rudiyanto Asapa

PENGAWAS:
1. Nazaruddin Nasutin, S.H., MA (Ketua)
2. Nur Ismanto, S.H., MSi.
3. Dindin S. Maolani, S.H.
4. Hj. Sakurayati Trisna, S.H.
5. Hotma Padan Dapotan Sitoempoel, S.H.

Tabel 1. Struktur Personalia Badan Pengurus YLBHI Periode 2017 – 2021

No Nama Posisi/Jabatan

1 Asfinawati, S.H. Ketua Umum


2 Arip Yogiawan, S.H. Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan
Ketua Bidang Pengembangan
3 Febi Yonesta Organisasi
4 Muhamad Isnur Ketua Bidang Advokasi
5 Siti Rakhma Mary Herwati Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan
6 Jane Aileen Tedjaseputra Staf Advokasi Internasional
7 Maria Elysabeth Suatan Staf Manajemen Pengetahuan
8 April Pattiselanno Staf Program
10 Fanti Yusnita Bendahara
11 Riyanti Agustina Kasir
12 Hanny Siswanti Admin
13 Zainudin Pramubakti
14 Agus Keamanan
15 Maryono Keamanan

17
YLBHI

Tabel 2. Nama-nama Direktur LBH Indonesia


PENDAHULUAN

No Kantor LBH Nama Direktur

1 LBH Aceh Mustiqal Syahputra


2 LBH Medan Surya Adinata
3 LBH Padang Era Purnama Sari
4 LBH Palembang Aprili Firdaus
5 LBH Pekanbaru Aditia Bagus Santoso
6 LBH Bandar Lampung Alian Setiadi
7 LBH Bandung Willy Hanafi
8 LBH Semarang Zainal Arifin
9 LBH Surabaya M. Faiq Assidiqi
10 LBH Jakarta Alghiffari Aqsa
11 LBH Manado Henra Baramuli
12 LBH Makassar Haswandy Andy Mas
13 LBH Bali Dewa Putu Adnyana
14 LBH Yogyakarta Hamzal Wahyudin
15 LBH Papua Simon Pattiradjawane

18
CATATAN AKHIR TAHUN

Bagan Struktur Badan Pengurus YLBHI 2017 – 2021

RUANG LINGKUP KERJA BANTUAN HUKUM YLBHI DAN


LBH
LBH Indonesia memanifestasikan kerja-kerja bantuan hukum struktural dalam
bentuk:
1. Penanganan kasus-kasus struktural secara litigasi dan non-litigasi, termasuk
litigasi strategis atau litigasi untuk kepentingan umum;
2. Riset hukum dan kebijakan;
3. Penguatan dan pemberdayaan hukum komunitas, termasuk pengembangan
paralegal berbasis komunitas dan pendidikan hukum kritis;
4. Peningkatan kesadaran publik; dan
5. Reformasi hukum dan institusi pemerintahan.
Meskipun seluruh isu ketidakadilan struktural pada prinsipnya menjadi
perhatian, beberapa isu paling mengemuka yang ditangani oleh LBH Indonesia
antara lain:
1. Isu terkait hak atas tanah dan agraria;
2. Isu terkait hak perburuhan;
3. Isu terkait hak masyarakat miskin kota, termasuk penggusuran pemukiman
dan kaki lima;
4. Isu terkait hak atas lingkungan
5. Isu terkait hak atas kemerdekaan dan toleransi beragama, termasuk
diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan rentan; dan

19
YLBHI

6. Isu terkait hak atas peradilan yang adil, termasuk isu salah tangkap, peradilan
PENDAHULUAN

sesat, dan penyiksaan.


Masing-masing kantor LBH memiliki kebijakan sendiri mengenai struktur
organisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kantor. Misalnya,
ada kantor yang membagi isu berdasarkan kategori pelanggaran hak sipil dan
politik yang menghasilkan divisi hak-hak sipil dan politik, namun ada pula yang
berdasarkan obyek seperti tanah dan lingkungan, atau subyek, seperti petani,
buruh, dan masyarakat miskin perkotaan.
Seluruh LBH mengerjakan kegiatan-kegiatan bantuan hukum, baik litigasi
maupun non-litigasi berbasis pengorganisasian masyarakat. Dari hasil assessment,
kantor-kantor LBH paling banyak melakukan pemberdayaan masyarakat dengan
angka 99,3%. Bantuan hukum yang paling banyak kedua adalah litigasi sebesar
93,6%. Jenis yang paling sedikit dilakukan adalah bina damai (peace buiding)
yaitu 16,4%. Di nomor dua terendah yang dilakukan adalah pendokumentasian
meskipun angkanya cukup tinggi yaitu 47,1%. Sesudahnya adalah riset yang
dilakukan 56,4% LBH Kantor. Penanganan kasus non litigasi adalah terbanyak
ketiga yang dilakukan LBH Kantor yaitu 84,3%, diikuti kampanye dengan angka
67,9%.
Grafik 1. Ruang Lingkup Bantuan Hukum

MEKANISME KERJA BANTUAN HUKUM


Mekanisme kerja bantuan hukum yang paling banyak dilakukan adalah gelar
perkara (83, 6%) gelar perkara (71,4%). Di tempat kedua adalah penanganan
perkara/pelaksanaan kerja bantuan hukum lainnya 69,6%). Yang menarik, riset
menempati angka 61,9% yang lebih tinggi daripada jawaban riset dalam lingkup
bantuan hukum (56,4%). Hal ini mengindikasikan LBH Kantor menggunakan
riset sebagai bagian dari penanganan perkara dan bukan sebagai advokasi itu
sendiri ataupun riset untuk penunjang advokasi. Seleksi perkara ternyata hanya
dilakukan oleh kantor LBH dengan angka 58, 3%. Pendokumentasian secara

20
CATATAN AKHIR TAHUN

konsisten menempati angka yang tidak terlalu tinggi (52,4%). Begitu pula
supervisi dan evaluasi yang secara konsisten sangat rendah angkanya yaitu 15
,5% dan 17,9%. Sebanyak 41, 7% mengatakan mekanisme kerja bantuan hukum
dilakukan melalui rapat bidang.
Grafik 2. Mekanisme Kerja Bantuan Hukum LBH Indonesia

SEKILAS SEJARAH LBH INDONESIA


LBH Indonesia didirikan pada 26 Oktober 1970 atas inisiatif Adnan Buyung
Nasution. Pendirian kantor LBH pertama di Jakarta diikuti dengan pendirian
kantor-kantor lainnya di Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang,
Lampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Bali, Manado,
dan Papua.
LBH Indonesia didaftarkan sebagai badan hukum Yayasan pada 1980 yang
bermarkas di Jakarta dan bekerja untuk mendukung kerja-kerja 15 kantor LBH
di seluruh Indonesia.
Berangkat dari kerja-kerja pemberian bantuan hukum secara tradisional kepada
masyarakat miskin dan marjinal, LBH Indonesia mulai mengubah strategi
bantuan hukumnya yang mengarah pada perubahan struktur ketidakadilan, di
wilayah reformasi hukum dan kebijakan, reformasi institusi dan administrasi
pemerintahan, litigasi strategis, dan pemberdayaan hukum komunitas.
LBH Indonesia aktif menjadi salah satu aktor kunci melawan rezim otoriter
Orde Baru bersama gerakan pro-demokrasi, dan berhasil menumbangkan
kekuasaan Soeharto yang telah selama 32 tahun berkuasa. LBH Indonesia telah
terlibat dalam melahirkan berbagai inisiatif masyarakat sipil untuk mendukung
demokratisasi Indonesia, seperti ICW, KontraS, KRHN, UPC, dan Walhi.

21
YLBHI

PROFIL KERJA KANTOR-KANTOR LBH


PENDAHULUAN

1. LBH Banda Aceh


Ruang lingkup kerja LBH Banda Aceh meliputi wilayah di Provinsi Aceh.
Untuk memperluas jangkauan kerjanya, LBH Banda Aceh dibantu oleh
beberapa pos LBH yang beroperasi di wilayah Kabupaten/Kota. Sebelumnya,
LBH Banda Aceh masih memiliki sekitar enam pos LBH. Oleh karena
keterbatasan sumberdaya, LBH Banda Aceh saat ini membatasi posnya
hanya di Meulaboh dan Lhokseumawe.
Sebagai salah satu kantor LBH yang bekerja di wilayah paska konflik
bersenjata, LBH Banda Aceh menjadikan isu keadilan transisional menjadi
fokus isunya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh merupakan
buah kerja LBH Banda Aceh bersama jaringan masyarakat sipil lainnya di
Aceh.
Selain itu, LBH Banda Aceh juga menaruh perhatian serius terhadap
persoalan intoleransi beragama, kebebasan berekspresi, eksploitasi
sumberdaya alam, dan isu kelompok rentan, khususnya kelompok LGBT
yang mengalami situasi semakin sulit dengan pemberlakuan qanun jinayah,
dalam kerja-kerja bantuan hukum strukturalnya.
2. LBH Medan
Kerja-kerja bantuan hukum LBH Medan didukung dengan dua pos LBH
yang berlokasi di Asahan dan Rantau Prapat. LBH Medan lebih banyak
bekerja isu akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin.
Dalam menyediakan layanan bantuan hukum, LBH Medan dan kedua
posnya banyak memanfaatkan skema bantuan hukum yang diselenggarakan
oleh BPHN dan Mahkamah Agung. Pos LBH Medan di Asahan dan Rantau
Prapat membuka layanan bantuan hukumnya di Pengadilan Negeri Kisaran,
Pengadilan Negeri Tanjung Balai, dan Pengadilan Agama Rantau Prapat.
3. LBH Padang
LBH Padang banyak bekerja di isu terkait sumber daya alam, isu masyarakat
adat, isu intoleransi berbasiskan agama, isu penyiksaan, isu kelompok
rentan, termasuk anak dan perempuan, isu perburuhan, dan isu korupsi.
LBH Padang menaruh keprihatinan terhadap persoalan perhutanan sosial
yang dipandang mengalihkan hak-hak masyarakat adat yang telah ada
selama ini. Regulasi Daerah terkait Nagari juga dipandang oleh LBH Padang
sebagai persoalan yang cukup serius. Kekhawatiran akan adanya potensi
korupsi terlihat dalam rancangan Perda tentang Nagari.
Membangun wacana tanding melawan intoleransi merupakan tantangan
tersendiri bagi LBH Padang, terutama melihat kecenderungan semakin
meluas dan menguatnya wacana intoleransi di kalangan masyarakat
Sumatera Barat.

22
CATATAN AKHIR TAHUN

4. LBH Pekanbaru
Kerja-kerja bantuan hukum struktural LBH Pekanbaru didominasi
dengan konflik agraria, terutama di sektor perkebunan, kehutanan, dan
pertambangan. LBH Pekanbaru bersama jaringan, aktif mendorong
pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat.
Di isu perburuhan, LBH Pekanbaru memfokuskan kerja-kerjanya untuk
menangani kasus-kasus pelanggaran hak normatif dan pemutusan hubungan
kerja. LBH Pekanbaru juga menaruh perhatian pada isu pengungsi luar
negeri, yang populasinya cukup signifikan di Pekanbaru.
5. LBH Palembang
LBH Palembang banyak memberikan perhatian terhadap isu penggusuran
paksa, baik terhadap pemukiman masyarakat maupun pedagang kaki
lima. Di isu perburuhan, LBH Palembang banyak menangani masalah hak
normatif pekerja dan pemutusan hubungan kerja. Sementara di isu agraria,
sengketa penguasaan tanah antara masyarakat melawan perusahaan
perkebunan yang kerap kali berujung pada kriminalisasi juga menjadi fokus
kerja LBH Palembang.
6. LBH Lampung
LBH Lampung banyak melakukan kerja-kerja bantuan hukum struktural di
isu agraria, isu perburuhan, dan isu penyiksaan. Konflik agraria merupakan
isu terbesar yang ditangani LBH Lampung sejak paska reformasi. LBH
Lampung juga melakukan pengorganisasian petani dan mayarakat dengan
bergabung dalam Dewan Rakyat Lampung. Isu agraria yang ditangani LBH
Lampung terkait konflik masyarakat desa dengan perusahaan perkebunan
sawit, nanas, dan tebu.
7. LBH Jakarta
LBH Jakarta merupakan kantor LBH yang pertama kali didirikan di tahun
1970. Dalam kerja-kerja bantuan hukum, LBH Jakarta banyak memfokuskan
dirinya di penanganan isu kelompok minoritas, isu peradilan yang adil, isu
perkotaan dan mayarakat urban, isu perburuhan, serta isu perempuan dan
anak. Di isu perburuhan, LBH Jakarta menemukan bahwa pelanggaran
hak-hak buruh dilakukan dengan pola: kriminalisasi, pembatasan hak
berkumpul dan menyatakan pendapat, dan pelanggaran hak-hak normatif.
Di isu kelompok minoritas dan rentan, LBH Jakarta menaruh perhatian
pada kasus-kasus pelanggaran hak berkumpul kelompok LGBT dan kasus-
kasus kemerdekaan beragama atau berkeyakinan yang jumlahnya semakin
meningkat. Selain berupa pembubaran kegiatan, kriminalisasi merupakan
pola pelanggaran yang juga ditemukan.
Di isu perkotaan, LBH Jakarta juga menemukan kriminalisasi sebagai pola
pelanggaran terhadap masyarakat korban. Selain itu, tindakan kekerasan

23
YLBHI

tanpa hak kerap dilakukan oleh pemerintah propinsi/kota terhadap


PENDAHULUAN

masyarakat, bahkan terhadap pengacara LBH Jakarta.


8. LBH Bandung
LBH Bandung yang wilayah kerjanya melingkupi Jawa Barat banyak bekerja
di isu kemerdekaan beragama atau berkeyakinan, isu kebebasan berekspresi,
isu perburuhan, isu hak perempuan, isu penggusuran pedagang, serta isu
lingkungan dan agraria.
LBH Bandung memberikan perhatian khusus di isu kemerdekaan beragama
atau berkeyakinan dikarenakan selama delapan tahun terakhir Jawa Barat
menjadi provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi. Paling tidak ada
delapan kota di Jawa Barat yang menurut hasil pemantauan LBH Bandung
termasuk kota-kota dengan tingkat intoleransi tertinggi, di antaranya: Bogor,
Bekasi, Depok, Bandung, Sukabumi, Banjar, Kuningan, dan Tasikmalaya.
Tindakan intoleransi tersebut tidak hanya melanggar hak beragama,
namun merambah pula kepada hak berekspresi dan berkumpul dengan
menggunakan sentimen anti komunisme atau anti LGBT.
9. LBH Semarang
Fokus kerja LBH Semarang meliputi penganganan kasus-kasus struktural
yang terkait dengan konflik pertanahan dan lingkungan, termasuk konflik
antara masyarakat yang bermukim di kawasan karst melawan perusahaan
dan pemerintah.
Fokus kerja lainnya LBH Semarang adalah melakukan advokasi terhadap
hak-hak komunitas nelayan, komunitas miskin kota, komunitas buruh,
serta hak-hak komunitas masyarakat yang melakukan kegiatan berekspresi.
Bagi LBH Semarang, kebijakan pemerintah pusat terkait agraria termasuk
kehutanan menjadi pangkal masalah konflik masyarakat dengan pihak
swasta dan pemerintah daerah.
10. LBH Yogyakarta
LBH Yogyakarta lebih banyak bekerja untuk menangani kasus-kasus
ketidakadilan struktural, khususnya di wilayah hak sipil dan politik yang
meliputi isu terkait hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan,
isu kelompok rentan, dan isu peradilan yang adil. Sementara di wilayah
hak ekonomi, sosial, dan budaya, LBH Yogyakarta banyak bekerja pada isu
terkait agraria, hak perburuhan, dan isu perkotaan.
LBH Yogyakarta melihat berbagai persoalan ketidakadilan yang muncul
berakar dari masalah kebijakan di tingkat nasional dan daerah yang
mendukung struktur politik, pemerintahan, sosial, dan kultural yang
feodalistik. Dalam struktur yang demikian, advokasi hukum dan hak
masyarakat yang dilakukan LBH Yogyakarta menghadapi tantangan yang
besar.

24
CATATAN AKHIR TAHUN

11. LBH Surabaya


LBH Surabaya menjadikan isu agraria dan lingkungan, perburuhan,
kemerdekaan beragama atau berkeyakinan, serangan terhadap pembela
HAM, kekerasan domestik, dan korupsi, sebagai fokus perhatian dan kerja-
kerja bantuan hukum strukturalnya.
Dalam melakukan kerja-kerjanya, LBH Surabaya memiliki pos yang
beroperasi di wilayah Malang dan sekitarnya, namun pos ini sekarang tidak
aktif. LBH Surabaya bersama YLBHI, alumni LBH Surabaya, dan jaringan
masyarakat sipil di Malang berencana mengaktifkan kembali LBH Surabaya
Pos Malang. LBH Pos Malang diharapkan bisa mulai beroperasi pada 2018.
12. LBH Bali
Isu hukum dan hak asasi manusia yang menjadi fokus utama kerja-kerja
LBH Bali meliputi isu perburuhan, isu angraria dan lingkungan hidup, serta
isu kelompok minoritas dan rentan.
Di sektor perburuhan, LBH Bali banyak bekerja untuk mengadvokasi
hak-hak para pekerja yang mengalami masalah dengan upah minimum
dan outsourcing. Sementara di sektor agraria dan lingkungan hidup, LBH
Bali banyak berurusan dengan persoalan Hak Guna Usaha perusahaan
perkebunan dan persoalan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan
dan bandara.
LBH Bali termasuk kantor LBH yang paling aktif dalam penanganan kasus-
kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Namun demikian, LBH Bali
menghadapi persoalan kultural masyarakat Bali yang sering menyelesaikan
kasus-kasus kekerasan tersebut secara adat.
Dalam melakukan kerja-kerja bantuan hukum struktural di wilayahnya,
LBH Bali bermitra dengan paralegal yang tersebar di berbagai daerah di
Bali, termasuk: Jembrana, Buleleng, Tabanan, Badung, Denpasar, Gianyar,
Bangli, Klungkung, dan Karangasem.
13. LBH Makassar
LBH Makassar yang wilayah kerjanya meliputi Provinsi Sulawesi Selatan
menetapkan fokus isu hukum dan hak asasi manusia mereka, antara lain: isu
terkait agraria, baik berupa penggusuran dan perampasan tanah masyarakat
akibat pembangunan infrastruktur, perkebunan, dan reklamasi pantai. Di
isu perburuhan, masalah pelanggaran hak normatif menjadi persoalan
utama.
Sementara di isu perkotaan, masalah yang menjadi fokus kerja LBH Makassar
adalah pengusiran penghuni rumah negara dan persoalan revitalisasi pasar.
Isu lainnya yang menjadi fokus kerja LBH Makassar terkait hak kelompok
rentan, khususnya isu anak korban kekerasan seksual yang cukup tinggi di
Makassar, serta isu pembubaran kegiatan kelompok LGBT.

25
YLBHI

14. LBH Manado


PENDAHULUAN

LBH Manado yang wilayah kerjanya melingkupi propinsi Sulawesi Selatan


banyak bekerja di isu terkait hak atas pemukiman, khususnya di masalah
penggusuran akibat proyek reklamasi pantai, isu korupsi peradilan, isu
diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas dan kelompok
rentan, serta isu terkait akses bantuan hukum, khususnya di wilayah-wilayah
di luar Kota Manado.
LBH Manado menilai bahwa akar permasalahan hukum dan HAM di wilayah
Manado terletak di ranah kebijakan, kelembagaan, dan kultur masyarakat.
Di level kebijakan, pemerintah saat ini lebih mudah memfasilitasi kebijakan
pengembangan investasi. Sedangkan di ranah kelembagaan, praktek
korupsi baik di sektor pemerintahan maupun yudisial marak terjadi. Di
ranah masyarakat, terdapat permasalahan rendahnya kesadaran masyarakat
tentang hak dan perjuangan yang juga menjadi pekerjaan rumah yang tidak
kalah beratnya.
15. LBH Papua
LBH Papua yang berkedudukan di Kota Jayapura memfokuskan kerja-
kerjanya, baik secara litigasi dan non-litigasi. Pada isu agraria, kerja-kerja
LBH Papua terkait advokasi perampasan tanah-tanah adat untuk perkebunan
sawit, sedangkan di isu perburuhan berkaitan dengan pemutusan hubungan
kerja sepihak. Sementara itu, advokasi di isu perkotaan terkait potensi
masalah hukum yang dihadapi oleh para pedagang di Pasar Mama Papua.
LBH Papua juga berkerja untuk resolusi konflik antar suku, pendampingan
hukum korban kriminalisasi dengan tuduhan makar, serta advokasi hak
beragama dan beribadah.

SUMBER DAYA MANUSIA LBH INDONESIA


Tabel di bawah ini menggambarkan jumlah sumber daya manusia LBH
Indonesia yang terdiri atas Pengabdi Bantun Hukum (Advokat/Calon Advokat,
Non-Advokat, Staf Administrasi, Asisten/Volunteer) dan Paralegal. Seluruh
PBH berjumlah 316 orang, sedangkan paralegal 608 orang.

26
CATATAN AKHIR TAHUN

Tabel 3. Sumberdaya Manusia LBH Indonesia


Pengabdi Bantuan Hukum
No Kantor LBH Advokat/ Paralegal
Non- Staf Asisten/
Calon Advokat Admin Volunter
Advokat
1 LBH Banda Aceh 11 2 5 20 6
2 LBH Medan 26 2 4 - 35
3 LBH Padang 9 2 3 3 86
4 LBH Pekanbaru 9 - 2 16 -
5 LBH Palembang 6 1 2 4 3
LBH Bandar
6 5 2 1 2 2
Lampung
7 LBH Jakarta 13 4 9 14 131
8 LBH Bandung 12 5 4 2 43
9 LBH Semarang 3 - 4 9 31
10 LBH Jogjakarta 6 3 3 10 51
11 LBH Surabaya 6 2 2 4 80
12 LBH Bali 6 5 3 5 87
13 LBH Makassar 13 3 1 32
14 LBH Manado 9 1 1 5 6
15 LBH Papua 6 3 3 - 15
140 32 49 95
Jumlah 608
316

DATA PENANGANAN KASUS LBH INDONESIA


Sampai minggu pertama Desember tahun 2017, kasus-kasus yang masuk ke 15
kantor LBH berjumlah 2797 kasus. LBH Jakarta menerima pengaduan terbesar
(1200 kasus) karena jumlah penduduk terbesar ada di Jakarta. Sedangkan
Surabaya/Jawa Timur menempati posisi kedua (422 kasus).
Selengkapnya bisa disimak dari grafik di bawah ini:

27
YLBHI

Grafik 3. Jumlah Pengaduan ke LBH Indonesia


PENDAHULUAN

Total 2797 Kasus dari 15 LBH Kantor di Indonesia.

Sebagian besar masyarakat yang mengadukan kasusnya ke kantor-kantor LBH


berpendidikan tamat SMA atau sederajat (1160 pengaduan). Selengkapnya
dapat dilihat dalam grafik berikut ini:
Grafik 4. Jumlah Pelapor berdasarkan Tingkat Pendidikan

Dari seluruh pelapor, laki-laki adalah yang terbanyak (1603 orang), sedangkan

28
CATATAN AKHIR TAHUN

perempuan 992 orang. Selengkapnya dapat dilihat dalam grafik berikut ini:
Grafik 5. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis masalah yang diadukan, sebagian besar masyarakat


mengadukan masalah perdata (1576 kasus), sedangkan masalah pidana yang
diadukan 787 kasus. Masalah administrasi atau tata usaha negara berjumlah
139 kasus.
Grafik 6. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Masalah

29
YLBHI

Sebagian besar pelapor bekerja sebagai wiraswasta (454 orang), buruh harian
PENDAHULUAN

lepas (398 orang), karyawan kontrak (357 orang), dan tidak bekerja (332 orang).
Sisanya petani, pedagang, pegawai, nelayan, dan lain-lain.
Grafik 7. Jumlah Pelapor berdasarkan Jenis Pekerjaan

Berdasarkan jumlah penghasilan, sebagian besar pelapor memiliki penghasilan


antara 1,5 juta sampai 2,5 juta (729 orang). Sedangkan posisi
kedua adalah mereka yang berpenghasilan 0- 500.000 (543 orang). Data
ini menunjukkan bahwa bantuan hukum LBH diakses oleh masyarakat
berpenghasilan rendah dan masyarakat miskin.

30
CATATAN AKHIR TAHUN

Grfik 8. Jumlah Pelapor berdasarkan Jumlah Penghasilan

LAPORAN KEUANGAN
Penerimaan YLBHI Per November 2017

No Keterangan Nominal
1 Penggalangan Dana BP YLBHI 1,042,901,730
2 Yayasan TIFA 983,880,000
3 The Asia Foundation (Cegah) 456,236,000
The Asia Foundation (Maju) 1,688,970,910
4 American Friends Service Committee DEP 489,646,105
5 European Climate Foundation 557,970,000
6 Rights and Resources Initiative 313,937,500
7 Lainnya 24,677,075
TOTAL 5,558,219,320

31
YLBHI

Pengeluaran YLBHI Per November 2017


PENDAHULUAN

No Keterangan Nominal
 1 Biaya Advokasi Kasus 188,178,858
 2 Biaya Advokasi Kebijakan 62,049,023
 3 Biaya Penelitian Kasus 303,840,197
 4 Biaya Koordinasi Jaringan Masyarakat Sipil 489,646,105
 5 Biaya Pemberdayaan Hukum Masyarakat 44,310,000
 6 Biaya Peningkatan Kapasitas Hukum 400,250,785
 7 Biaya Pengembangan Organisasi 1,605,466,789
 8 Biaya Publikasi Bantuan Hukum 382,166,063
 9 Biaya Pendokumentasian kasus 327,602,000
 10 Biaya Overhead 850,403,363
 11 Biaya Lainnya : 20,698,174
  TOTAL 4,674,611,357
Penerimaan YLBHI Per November 2017

No Keterangan Nominal
Sumbangan Tidak Tetap (Kontribusi ruangan,
1 70,840,064
sewa mobil, penjualan aset, dll)
2 Sumbangan dari BP & Staf YLBHI 798,268,142
3 Sumbangan publik 173,793,524
TOTAL 1,042,901,730

32
CATATAN AKHIR TAHUN

33
YLBHI

BAB II
CAPAIAN-CAPAIAN

CAPAIAN-CAPAIAN

B
agian ini berisi capaian-capaian atau beberapa cerita sukses penanganan
kasus LBH Indonesia. Cerita sukses penanganan kasus yang diungkapkan
Para Pengabdi Bantuan Hukum tak mesti diukur dari kemenangan kasus
tersebut di pengadilan, tetapi juga dari keberhasilan pengorganisasian atau
penanganan non-litigasi. Beberapa kasus yang diceritakan sudah berlangsung
sejak sebelum tahun 2017 dan masih berlanjut hingga 2017.

KEMENANGAN WARGA MELAWAN PEMBANGUNAN PLTU II DI


CIREBON
Tentang Rencana Pembangunan PLTU II Cirebon
Penolakan warga atas Pembangunan PLTU II Kapasitas 1x1000 MW tak hanya
didasari oleh problem administrasi semata yaitu pelanggaran terhadap proses
perizinan. Penolakan warga pada dasarnya adalah penolakan pada rencana
pembangunan yang nyata-nyata telah merusak ruang hidupnya, terutama
masyarakat pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya
yang terkandung di laut.
Awalnya, warga Desa Kanci Kulon tak mengetahui adanya rencana pembangunan
PLTU II Kapasitas 1x1000 MW. Warga baru mengetahui adanya izin lingkungan
pada tanggal 29 Oktober 2016 setelah aktifis WALHI Jabar mendapatkan
informasi itu dari media dan memberitahukan kepada warga, terutama warga
yang kemungkinan besar terkena dampak pembangunan PLTU II.
Rencana pembangunan PLTU II Kapasitas 1x1000 MW Cirebon Kecamatan
Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten Cirebon sangat
mengagetkan warga. Karena lokasi pembangunan amat dekat dengan
permukiman warga. Selain itu, warga yang bermata pencaharian sebagai
nelayan ikan, udang rebon, penjual terasi, pencari kerang, petani garam yang
bergantung pada laut akan sangat dirugikan sebab lokasi pembangunan PLTU
II Kapasitas 1x1000 MW Cirebon berada di area tangkap warga yang menjadi
sumber penghidupan mereka. Namun, sampai keluarnya Surat Keputusan
Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Provinsi Jawa Barat
Nomor: 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan
Pembangunan dan Operasional PLTU Kapasitas 1x1000 MW Cirebon
Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten
Cirebon oleh PT Cirebon Energi Prasarana tertanggal 11 Mei 2016, warga sama
sekali tak mengetahui adanya rencana pembangunan PLTU yang berdekatan
dengan tempat tinggal mereka. Warga terdampak sangat keberatan dengan

34
CATATAN AKHIR TAHUN

adanya rencana pembangunan PLTU. Warga tak pernah dilibatkan sama sekali
baik dalam sosialisasi, pembuatan Amdal, dan diberikan kesempatan untuk
menilai Amdal tersebut sehingga berpengaruh terhadap keputusan warga untuk
menerima atau menolak kebijakan tersebut. Bahkan, papan pemberitahuan
proyek tersebut juga tidak dilihat dan diketahui warga.
Pembangunan PLTU II 1X1000 MW Cirebon tersebut meliputi dua Kecamatan,
yaitu Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu. Pada dua kecamatan
tersebut rata rata penduduk bermata pencaharian sebagai pencari rebon dan
udang kecil, pembuat terasi, dan nelayan.
Dusmad, Kasneri, Casmina, Surip, Sarnen, Warya adalah warga yang menjadi
Penggugat pembangunan PLTU II 1X1000 MW. Mereka adalah nelayan pencari
rebon dan udang kecil menggunakan sudu dan jaring, petani garam, seorang
pembuat dan penjual terasi, nelayan pencari kerang yang menitikberatkan
hidupnya pada sumber-sumber kehidupan di lokasi yang akan menjadi lokasi
titik pembangunan.
Sebelum rencana pembangunan PLTU II 1X1000 MW, telah dibangun PLTU
I yang lokasinya tak jauh dari lokasi rencana pembangunan PLTU II 1X1000
MW. Dimana PLTU I mengakibatkan kerugian berkurangnya jumlah tangkapan
ikan, udang, dan kerang. Padahal sebelumnya, ikan, udang, kerang sangat
mudah ditemukan. Potensi hilangnya mata pencaharian para Penggugat sangat
nyata jika pembangunan PLTU II 1 X 1000 MW tetap dilaksanakan. Izin yang
dikeluarkan pemerintah adalah langkah awal dilakukannya pembangunan
PLTU II 1 X 1000 MW di Kabupaten Cirebon. Rencana pembangunan PLTU II
1X1000 MW ini telah memiliki AMDAL, namun proses penyusunannya tidak
melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung.
Penolakan demi penolakan dilakukan warga, bahkan pada 10 November 2016,
masyarakat Desa Kanci Kulon Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon
melakukan aksi penolakan rencana investasi pembangunan PLTU II di depan
kantor Japan Bank International Coorporation (JBIC) dan di depan Kedutaan
Jepang di Jakarta.
Karena hal-hal tersebut, warga bersama LBH Bandung dan Walhi Jawa Barat
melakukan upaya hukum dengan menggugat izin lingkungan proyek tersebut.

Dasar Gugatan Warga bersama LBH Bandung


LBH Bandung bersama warga kemudian melayangkan gugatan kepada PTUN
di Bandung dengan dasar sebagai berikut:

35
YLBHI
CAPAIAN-CAPAIAN

Izin Lingkungan dikeluarkan BMPT


Provinsi Jawa Barat

Warga tak pernah mendapatkan


sosialisasi tentang proyek tersebut

Pemerintah tidak mempertimbangkan


dampak PLTU I yang telah beroperasi
sebelumnya

Pemerintah tidak menghiraukan


keberlangsungan hidup warga

Izin Lingkungan bertentangan dengan


RTRW Kabupaten Cirebon

Putusan Majelis Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara


Putusan Majelis Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara menyatakan beberapa
poin penting yang menjadi fakta tidak terbantahkan di dalam kasus ini antara
lain:
1. Para penggugat memiliki kepentingan hukum untuk menggugat karena
para penggugat adalah warga terkena dampak dan atau terpengaruh atas
segala bentuk keputusan dalam proses Amdal sehingga memiliki kedudukan
hukum;
2. Lokasi pembangunan bertentangan dengan RTRW Jawa Barat.
Hakim memutus sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat;
2. Membatalkan Surat Keputusan Badan Penanaman Modal dan Perijinan
Terpadu Provinsi Jawa Barat Nomor: 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016 tentang
Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional PLTU Kapasitas
1x1000 MW Cirebon Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu
Daerah Kabupaten Cirebon oleh PT Cirebon Energi Prasarana. Tertanggal
11 Mei 2016;
3. Mewajibkan para tergugat untuk mencabut surat keputusan Kepala Badan
Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Provinsi Jawa Barat tentang Izin
Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional PLTU Kapasitas
1x1000 MW Cirebon Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu
Daerah Kabupaten Cirebon.
Putusan ini menjadi pelajaran berharga bukan hanya bagi warga pesisir pantai di

36
CATATAN AKHIR TAHUN

Cirebon, tetapi juga bagi setiap orang yang kepentingannya atas ruang hidupnya
dirusak atas nama pembangunan.

LBH BANDUNG
Kemenangan Gugatan PLTU Indramayu
Warga Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra dan Desa Mekarsari, Desa Patrol
Lor, Desa Patrol Baru, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Provinsi
Jawa Barat keberatan dengan rencana pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap. Pasalnya, Izin lingkungan dengan Surat Keputusan Nomor : 660/
Kep.51.A-BLH/2015 tentang Kegiatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) Indramayu 2 X 1000 MW Oleh PT PLN (PERSERO) Unit Induk
Pembangunan VIII Di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat tertanggal 26
Mei 2015 yang ditandatangani oleh Anna Sophanah selaku Bupati Kabupaten
Indramayu tidak melibatkan warga yang permukimannya sangat berdekatan
dengan lokasi pembangunan.
Rencana pembangunan PLTU 2x1000 MW berpotensi mengakibatkan hilang
atau setidak-tidaknya menurunnya kualitas hidup dan penghidupan masyarakat
di sekitar lokasi, khususnya wilayah tempat tinggal dan sumber kehidupan.
Warga sehari-hari bekerja sebagai petani, buruh tani dan nelayan ikan serta
udan rebon.
Warga sama sekali tidak mendapatkan informasi maupun kesempatan partisipasi
dalam terbitnya keputusan tentang kegiatan pembangunan PLTU 2x1000 MW,
baik sosialisasi awal sampai keterlibatan penyusunan AMDAL. Padahal lokasi
rencana pembangunan PLTU 2x1000 MW sangat berdekatan dengan Lokasi
PLTU Indramayu 3x330 MW yang terletak di Desa Sumur Adem.
Selama PLTU 3x330 MW beroperasi, warga telah merasakan dampaknya yaitu
pencemaran udara, berkurangnya kesuburan tanah, penurunan hasil panen padi,
dan matinya tanaman kelapa di sekitar tempat tinggal atau lahan garapan yang
diperkirakan karena dampak hujan asam. Selain itu, hasil tangkap udang rebon
dari 40-50 kg sehari menjadi 10-20 kg sehari. Demikian pula masa tangkap
tiga bulan berubah menjadi hanya dua bulan dalam setahun; wilayah tangkapan
ikan juga sudah bergeser jauh dari pesisir pantai yang membuat biaya melaut
meningkat.
Warga baru mengetahui adanya izin pembangunan PLTU 2x1000 MW saat
diberitahu oleh aktifis lingkungan hidup. Setelah mengakses dokumen AMDAL,
ternyata warga masuk dalam katagori warga terdampak hipotik. Warga bersama
LBH Bandung mengajukan gugatan di PTUN untuk membatalkan izin
lingkungan PLTU tersebut. Perkara terdaftar dengan 90/G/LH/2017/PTUN.
BDG.
Pada Rabu, 6 Desember, 2017 warga menerima informasi menangnya gugatan

37
YLBHI

mereka. Hari itu majelis hakim membacakan amar putusan yang intinya:
CAPAIAN-CAPAIAN

1. Menyatakan tidak sah objek gugatan Surat Keputusan Bupati Indramayu


Nomor: 660/Kep.51.A-BLH/2015 tentang Izin Lingkungan Kegiatan
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu 2 X 1000
MW oleh PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan VIII di Kabupaten
Indramayu Propinsi Jawa Barat;
2. Memerintahkan kepada Bupati Indramayu untuk mencabut Surat Keputusan
Bupati Indramayu Nomor: 660/Kep.51.A-BLH/2015 tentang Izin Lingkungan
Kegiatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu
2 X 1000 MW oleh PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan VIII di
Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat.
Majelis hakim mempertimbangkan bahwa Surat Keputusan Izin Lingkungan
yang dikeluarkan oleh Bupati bukan merupakan kewenangannya, melainkan
kewenangan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP) Kabupaten Indramayu. Selain itu, pembangunan jetty PLTU
Indamayu 2x1,000 MW yang akan dilakukan di area pantai dengan panjang
kurang lebih 800 m merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Hal ini berdasarkan ketentuan pasal 27ayat (1) dan ayat (3) UU Pemerintahan
Daerah serta lampiran Undang-undang Pemerintahan Daerah Bagian No. 1
huruf y sub urusan nomor 1. Maka, penggunaan area pantai di bawah 12 mil
untuk pembangunan jetty PLTU Indramayu 2x1000 MW merupakan urusan
kelautan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dengan
demikan surat keputusan tersebut tidak berlaku.

LBH PEKANBARU
Pemerintah Mencabut Izin Pertambangan PT Riau Bara Harum
PT. Riau Bara Harum (RBH) merupakan korporasi yang terafiliasi dengan PT.
Permata Prima Sakti Tbk (Permata Resources). Adapun komposisi kepemilikan
saham PT. RBH adalah PT Sumber Bara Lestari (SBL) 47,5%, PT Karunia
Tambang Mandiri (KTM) 2,5% dan PT Permata Energy Resources (PER)
50%. Korporasi ini mempunyai lokasi pertambangan batu baru di Kabupaten
Indragiri Hulu.
PT RBH merupakan korporasi yang masuk dalam kelompok Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dalam periode 1993-1996
yang mendapatkan konsesi pertambangan seluas 24.450 hektar. Berdasarkan
Permohonan RBH kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 31
Maret 2005, Menteri menerbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya
Mineral Nomor. 464.K/40.00/M3P/2005 Tentang Permulaan Tahap Kegiatan
Produksi Perjanjian Kerja sama Pengusahaan Pertambangan Batubara PT Riau
Bara Harum.

38
CATATAN AKHIR TAHUN

Berdasarkan poin 5 Surat Menteri Kehutanan Nomor S.527/Menhut-VII/2005


mengenai Persetujuan Izin Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan
Eksploitasi Batubara dan Pembangunan Sarana Penunjang atas nama PT RBH
di Riau tanggal 14 September 2005, jangka waktu pinjam pakai kawasan hutan
diberikan selama 5 tahun terhitung sejak diterbitkannya surat tersebut.
Izin pinjam pakai PT RBH telah berakhir sejak tahun 2010. Meski izin pinjam
pakai telah lewat waktu dan permohonan perpanjangan belum dapat dilakukan
karena ada syarat yang belum dipenuhi RBH, korporasi ini tetap melakukan
eksploitasi hingga Oktober 2014.
Beberapa fakta didapat YLBHI-LBH Pekanbaru yang mengharuskan perizinan
PT RBH harus dicabut, antara lain :
1. Sebagian kecilnya wilayah pertambangan PT RBH masuk dalam Kawasan
Hutan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh;
2. Pada tahun 2013, Kementerian ESDM memasukkan RBH sebagai salah
satu dari 23 korporasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu
Bara (PK2B) yang melakukan kurang bayar Dana Hasil Penjualan Batu bara
(DHPB). Hingga kini belum diketahui apakah kekurangan bayar ini sudah
diselesaikan atau belum;
3. Berdasarkan data yang diberikan KLH pada pertemuan Korsub Minerba
di Bali pada 2-3 Desember 2013 lalu, korporasi ini tercatat sebagai salah
satu korporasi peringkat merah atau bermasalah dalam upaya pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan hidup;
4. Pada lokasi tambang yang berada di wilayah administrasi Desa Sungai
Arang, Kelurahan Pangkalan Kasai, Kecamatan Siberida, dan dua desa di
Kecamatan Batang Gangsal yakni Desa Siambul dan Kelesa, RBH belum
melakukan reklamasi dan kegiatan pasca tambang;
5. Tidak diketahui apakah PT RBH sudah menyetorkan dana jaminan reklamasi
dan jaminan pasca tambang;
6. Terdapat beberapa wilayah pertambangan PT RBH yang bertumpang tindih
dengan wilayah kelola masyarakat dan belum diselesaikan ganti ruginya;
7. Diketahui di wilayah pertambangan PT RBH telah melakukan perubahan
aliran sungai dan pencemaran sungai yang berdampak matinya ikan dan
kebun-kebun karet warga;
Analisis LBH Pekanbaru, PT RBH telah melakukan beberapa pelanggaran, di
antaranya:
1. Melakukan penambangan batu bara di kawasan hutan tanpa izin; Kegiatan
ini dapat dihitung dari September 2010 saat izin pinjam pakai kawasan
hutannya sudah habis hingga kegiatan eksploitasi hingga Oktober 2014;

39
YLBHI

2. Pencemaran sungai dan tanah;


CAPAIAN-CAPAIAN

3. Perbuatan tidak melakukan atau menyelesaikan kegiatan reklamasi dan


jaminan reklamasi;
4. Kurang bayar Dana Hasil Penjualan Batu bara (DHPB); Pembukaan Hutan
untuk kegiatan tambang dan Pembayaran land rent;
5. Kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang;
PT Riau Bara Harum melakukan aktivitas pertambangan di tiga wilayah
administrasi Kabupaten Indragiri Hulu yaitu, Kelurahan Pangkalan Kasai
dan Desa Kelesa kecamatan Siberida dan Desa Siambul, Kecamatan Batang
Gansal dengan meninggalkan 12 lubang tambang yang tidak direklamasi
dan terbengkalai. Satu lubang tambang di Kampung Sei Arang dijadikan atau
dimanfaatkan masyarakat dikarenakan air bersih dari Sungai Kinutan yang
biasanya digunakan masyarakat untuk mandi dan MCK dirusak atau dimatikan
oleh PT Riau Bara Harum akibat aktivitas pertambangan batubara. Akibatnya,
satu orang warga Dusun Sei Arang bernama Ardi (alm) tertimbun akibat longsor
tanah lubang tambang yang tidak direklamasi.
LBH Pekanbaru telah melakukan berbagai advokasi agar pelanggaran tambang
RBH ini dapat segera ditindaklanjuti sehingga izin PT RBH dicabut dan reklamasi
dilaksanakan. Sejak awal 2016, LBH Pekanbaru telah mengampanyekan hal ini
dan melakukan investigasi mendalam atasnya. Lalu, didapatkanlah data yang
cukup untuk segera melaporkan PT RBH ke Polda Riau atas dugaan pidana
pengabaian hingga menghilangkan nyawa seseorang, abai dalam perizinan,
serta merambah kawasan hutan. Oleh karenanya LBH Pekanbaru melaporkan
PT RBH ke Kepolisian Daerah Riau dan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI pada tahun 2016. Selain itu, LBH Pekanbaru juga mengajukan
Gugatan Citizen Law Suit terhadap Para Tergugat yang LBH nilai bertanggung
jawab, yakni Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Mineral, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Riau, dan Bupati Indragiri Hulu
yang didaftarkan pada awal tahun 2017. Sebelumnya, LBH Pekanbaru telah
melayangkan notifikasi kepada Para Tergugat pada Oktober 2016, namun tak
ada balasan atas notifikasi tersebut.
LBH Pekanbaru menyusun gugatan CLS yang berisikan dalil-dalil pelanggaran
PT RBH serta tuntutan masyarakat sekitar lubang tambang yakni mencabut izin
atau PKP2B dari PT RBH dan mendesak PT RBH untuk mereklamasi lubang
tambang yang dibuat oleh PT RBH atau melakukan reklamasi dari dana jaminan
reklamasi. Sayangnya, gugatan tersebut diputus tidak dapat diterima.
Ketika putusan sidang CLS belum keluar dan persidangan masih berjalan,
perizinan PT RBH telah dicabut oleh Kementerian ESDM dengan Nomor 8079
K/40/MEM/2016 tentang Pengakhiran Perjanjian Kerjasama Pengusahaan
Pertambangan Batubara Antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT

40
CATATAN AKHIR TAHUN

Riau Bara Harum di Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir,
Provinsi Riau tertanggal 29 Desember 2016.
LBH Pekanbaru mengapresiasi tindakan dari Kementerian ESDM yang
berani mencabut izin atau PKP2B milik PT RBH. Selanjutnya berharap agar
Pengadilan Negeri Rengat memutuskan Pemerintah Republik Indonesia dalam
hal ini diwakili Kementerian ESDM, Lingkungan Hutan dan Kehutanan, serta
Gubernur Riau dan Bupati Inhu untuk bertanggung jawab atas lubang tambang
yang belum direklamasi hingga kini yang berpotensi menyebabkan bencana
alam di kemudian harinya.

LBH ACEH
Kasus PHK Sepihak oleh Perusahaan Sawit (PT. Parasawita)
Id (pekerja) merupakan karyawan tetap dari perusahaan PT. Parasawita yang
mulai bekerja pada PT. Parasawita yang berkedudukan di Jalan Kuala Simpang
Kebun Seruway, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, sejak tanggal 21 April 1995.
Posisinya adalah Pengawas Produksi Wilayah I dan II (recolte) berdasarkan
Surat Peralihan Tugas No. PS/TK/02.29/2014 tertanggal 3 Oktober 2014 sampai
dengan tanggal 16 Januari 2016.
Selama bekerja pada PT. Parasawita berstatus telah menikah dengan seorang
istri dan 3 orang anak dan terakhir menerima upah bulan Desember 2015
dengan gaji terakhir Rp. 2.058.885,00 (dua juta lima puluh delapan ribu delapan
ratus delapan puluh lima rupiah) ditambah catu beras Rp. 220.500,00 (dua ratus
dua puluh ribu lima ratus rupiah) per bulan;
Selain sebagai karyawan, Id juga menjabat sebagai Ketua Serikat Pekerja Aceh
Pimpinan Unit Kerja (PUK) PT. Parasawita berdasarkan keterangan Id pada
surat nomor 560/109.I/2016 tertanggal 18 Maret 2016 dengan perihal anjuran
yang diterbitkan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Aceh Tamiang dalam point A butir 3, akan tetapi PT. PARASAWITA tetap
membayarkan upah yang tidak sesuai dengan UMP yang berlaku sebagaimana
tersebut dalam Surat Keputusan No. 149/SK-PS/I/2015 tentang Upah Karyawan
yang menetapkan gaji karyawan periode Juli 2015 sampai dengan Desember
2015 sebesar Rp. 1.750.000,- (Satu Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah),
sedangkan UMP Aceh tahun 2015 sebesar Rp. 1.900.000,- (Satu Juta Sembilan
Ratus Ribu Rupiah).
Untuk menyalurkan aspirasi tersebut, Sdr. M. Fadhile Ramadhan, S.E. selaku
Direktur PT. Parasawita melalui seseorang yang diketahui sering disapa Aheng
menghubungi Id untuk datang ke kantor pusat di Jalan Jend. A. Yani Medan;
Pada tanggal 15 Juli 2015, Id mendatangi kantor pusat PT. Parasawita dimaksud
bersama 5 orang anggota serikat pekerja lainnya;

41
YLBHI

PT. PARASAWITA kemudian mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan


CAPAIAN-CAPAIAN

Kerja No. 018/PS-I/2016 tertanggal 16 Januari 2016 dengan alasan berdasarkan


penilaian dan pengamatan manajemen, Id telah melakukan hal-hal yang
cenderung negatif terhadap perusahaan yang dapat berdampak merugikan
perusahaan dan kinerja para karyawan kebun dan PKS dimana Id tidak mematuhi
disiplin, melakukan provokasi/menghasut karyawan lainnya yang bersifat
menentang manajemen perusahaan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan
suasana kerja disaat perusahaan sedang berjuang untuk keluar dari kondisi yang
sangat sulit untuk kelangsungan hidup karyawan dan eksistensi perusahaan;
Id dan PT. PARASAWITA telah melakukan perundingan bipartit sebanyak tiga
kali yaitu pada tanggal 1 Februari 2016, 3 Februari 2016, dan 9 Februari 2016
akan tetapi tidak mencapai kesepakatan;
Karena tidak mencapai kesepakatan, Id kemudian mengajukan Surat
Permohonan Pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial No. 01/PS/II/2016
tertanggal 1 Februari 2016, No. 02/PS/II/2016 tertanggal 3 Februari 2016, dan
No. 03/PS/II/2016 tertanggal 9 Februari 2016 pada Dinas Sosial, Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Tamiang, yang pada pokoknya menolak
PHK sepihak yang dilakukan oleh PT. PARASAWITA;
Selanjutnya pada tanggal 18 Februari 2016 dilakukan sidang mediasi pertama
dalam perundingan tripartit antara Id, PT. PARASAWITA yang diwakili oleh
Sdr. H. Tarno, S.P. (Manajer kebun Aceh Tamiang) dan Sdr. Armia, serta
perwakilan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kabupaten
Aceh Tamiang. Berdasarkan Pasal 14 UU No. 2 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa apabila anjuran tertulis ditolak maka kedua belah pihak atau salah satu
pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Amar Putusan
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk Sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Tanggal 16 Januari
2016kepda M.Idhamsyah adalah Sah dengan pemberian Pesangon,
Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak dan Upah Proses;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan
Masa Kerja, Uang Penggantian Hak dan Upah Proses kepada Penggugat,
M.Idhamsyah dengan jumlah seluruhnya sebesarRp. 77.469.025 (Tujuh
Puluh Tujuh Juta Empat Ratus Enam Puluh Sembilan Ribu Dua Puluh Lima
Rupiah);
4. Menolak Gugatan Penggugat selain dan selebihnya.

42
CATATAN AKHIR TAHUN

LBH SEMARANG
KLHS I Pegunungan Kendeng: Keniscayaan yang Harus Diperjuangkan
Perjuangan petani Kendeng telah berusia lebih dari satu dasawarsa pada tahun
ini (2017). Setidaknya ada tiga perusahaan raksasa yang menginginkan potensi
Pegunungan Kendeng yaitu batu gamping sebagai bahan utama pembuatan
semen. PT Semen Gresik berencana melakukan penambangan di Kecamatan
Sukolilo Kabupaten Pati, PT Semen Indonesia di Kecamatan Gunem Kabupaten
Rembang, dan PT Indocement Tunggal Perkasa, Tbk melalui anak perusahaannya
PT Sahabat Mulia Sakti di Kecamatan Kayen dan Tambakromo Kabupaten Pati.
Seluruhnya berkonflik dengan petani Kendeng.
Pada semua konflik tersebut, petani Kendeng melakukan upaya litigasi dan
non-litigasi. Salah satunya mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara Semarang. Dari tiga gugatan yang diajukan oleh petani Kendeng bersama
LBH Semarang kepada ketiga perusahaan semen tersebut, dua di antaranya
menang di pengadilan tingkat pertama. Petani Kendeng hadir dan menyaksikan
secara langsung setiap proses persidangan dimana mereka lah yang menjadi
penggugat.
Kesadaran untuk ‘maju’ sebagai principle dalam suatu gugatan tentulah bukan
tanpa proses. LBH Semarang kemudian hadir di tengah-tengah masyarakat
melalui forum-forum diskusi kecil. Melalui pendidikan hukum kritis, sebagian
petani Kendeng mulai ‘angkat suara’ terhadap hak-haknya yang dilanggar.
Mengerti bahwa masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam setiap
proses pembangunan maupun pengambilan kebijakan di wilayahnya. Di wilayah
dimana mereka tinggal.
Termasuk di dalam proses persidangan, petani Kendeng selalu hadir memenuhi
ruang persidangan. Sering juga sebagian masyarakat harus duduk di luar ruang
persidangan karena ruang persidangan terlanjur penuh. Selain itu, hampir
seluruh alat bukti yang digunakan untuk menguatkan dalil gugatan dipersiapkan
langsung oleh masyarakat.
Tak hanya upaya litigasi, upaya lain untuk terus melakukan perjuangan
kelestarian lingkungan hidup di Pegunungan Kendeng. Puncaknya, 2 Agustus
2016, Presiden Joko Widodo menemui secara langsung petani Kendeng di
Istana Negara. Hal itu tentu bukan tanpa proses. Sebelumnya, petani Kendeng
melakukan sebuah aksi ‘fenomenal’ yaitu aksi pasung semen. Satu bentuk
pengejahwantahan bagaimana pabrik semen mengungkung mereka dalam
kesengsaraan. Selama dua hari petani Kendeng melakukan aksi pasung semen,
Kepala Kantor Staf Kepresidenan akhirnya menemui mereka dan berjanji akan
menyampaikan pesan petani Kendeng kepada Presiden.
Selang beberapa waktu, tak ada perubahan yang terjadi. Petani Kendeng kembali
melakukan aksi membangun tenda di depan istana. Hampir satu minggu, petani

43
YLBHI

Kendeng menunggu di bawah teriknya sinar matahari. Bagai suatu kejutan,


CAPAIAN-CAPAIAN

akhirnya Presiden berkenan menemui petani Kendeng. Muncul janji presiden


kepada petani Kendeng, agar Kendeng tetap lestari. Presiden memerintahkan
penyusunan KLHS untuk memutuskan berlanjut atau tidaknya rencana
penambangan dan penambangan lainnya yang telah berjalan di Pegunungan
Kendeng.
Kelima hal yang menjadi perintah presiden saat menemui petani Kendeng
antara lain:
1) Perlu segera dibuat analisa daya dukung dan daya tampung Pegunungan
Kendeng melalui KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis);
2) Pelaksanaan KLHS akan dikoordinir oleh Kantor Staf Kepresidenan (KSP)
mengingat masalah di Kendeng bersifat lintas kementerian dan lintas daerah
(meliputi enam kabupaten dan satu provinsi);
3) Dalam pelaksanaan KLHS nanti Kementerian LHK sebagai Ketua Panitia
Pengarah;
4) Selama proses KLHS yang akan dilakukan selama 1 tahun, semua izin
dihentikan;
5) Pemerintah menjamin proses dialog/rembug multi pihak yang sehat selama
proses KLHS berlangsung.
Tim penyusun KLHS akhirnya ditunjuk. Mereka diberi waktu selama enam bulan
untuk menyelesaikan sebuah kajian untuk menentukan kebijakan perlindungan
lingkungan hidup di Pegunungan Kendeng, khususnya wilayah Rembang
terlebih dahulu. Ratusan ribu orang barangkali akan menerima dampak dari
kajian tersebut. Tak boleh main-main tentunya.
Enam bulan bekerja, Tim Penyusun KLHS menyelesaikan pekerjaannya. Di
bawah Koordinator Tim Pelaksana KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan
Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan, Suryo Adi Wibowo. Tim
Penyusun KLHS bekerja untuk ‘nasib’ kelestarian lingkungan di Pegunungan
Kendeng dan ratusan ribu masyarakat yang hidup di Pegunungan Kendeng dan
sekitarnya.
12 April 2017, Perjuangan petani Kendeng akhirnya membuahkan hasil. KLHS
Tahap I akhirnya dirilis. Hasilnya, Tim Penyusun Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng Jawa Tengah merekomendasikan
penghentian sementara seluruh kegiatan penambangan karst atau batu kapur
di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih di Pegunungan Kendeng,
Rembang, Jawa Tengah. Selain penghentian sementara seluruh kegiatan
penambangan, Tim KLHS juga merekomendasikan audit lingkungan pada
seluruh izin penambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah baik provinsi
maupun kabupaten di kawasan CAT Watuputih.

44
CATATAN AKHIR TAHUN

Jika rencana penambangan dan penambangan yang ada masih dilanjutkan, ada
nilai yang besar yang harus dibayar oleh pemerintah dan perusahaan tambang
di Kabupaten Rembang. Kerugian setara dengan 2,2 triliun per-tahun harus
dibayar jika Pegunungan Kendeng rusak. Tak hanya kita, tapi anak-cucu kita tak
akan luput untuk merasakan dampak dari kerusakan lingkungan jika hari ini
kita tetap berdiam diri.
Sekali lagi, senyum manis itu tergurat di wajah Sukinah saat KLHS dirilis.
Perjuangannya telah ‘asil’ (membuahkan hasil). Dan apapun yang menjadi
keberhasilan masyarakat, adalah keberhasilan juga bagi LBH Semarang1.

LBH JAKARTA
KEMENANGAN GUGATAN WARGA NEGARA TERHADAP HAK ATAS
AIR
10 Oktober 2017, Mahkamah Agung memenangkan gugatan yang diajukan oleh
Nurhidayah dkk atas kebijakan swastanisasi pengelolaan air di Jakarta. Putusan
Mahkamah Agung ini merupakan landmark case bagi masyarakat sipil yang hak
dan kepentingannya dirugikan atas skema perjanjian patungan antara pemerintah
dan swasta.

Latar Belakang Kebijakan Swastanisasi Air Jakarta


Gugatan warga negara atas air yang diajukan oleh Nurhidayah, dkk., bermula
dari adanya kebijakan swastanisasi air yang diinisiasi pada era pemerintahan
Orde Baru pada tahun 1997. Kebijakan swastanisasi air tersebut pada dasarnya
merupakan tindak lanjut dari kebijakan privatisasi air Bank Dunia dalam
laporannya yang berjudul “Improving Water Resource Management”. Laporan itu
menyatakan pentingnya kebijakan untuk menetapkan harga sebagai mekanisme
insentif untuk mendorong konsumen agar lebih efisien dalam penggunaan air.
Lebih lanjut, kebijakan tersebut juga menyatakan bahwa harga air yang dibayar
oleh masyarakat nantinya dapat menutupi seluruh biaya operasional institusi
yang mengelola penyelenggaraan air tersebut. Sehingga berdasarkan kebijakan
tersebut pemerintah tidak perlu lagi untuk memberikan subsidi kepada
masyarakat dalam hal konsumsi air.
Sebagai bentuk tindak lanjut atas kebijakan swastanisasi yang dikeluarkan oleh
Bank Dunia tersebut, Presiden Republik Indonesia, Soeharto, mengeluarkan
Petunjuk Presiden pada tanggal 12 Juni 1995 kepada Menteri Pekerjaan Umum
yang isinya antara lain adalah sebagai berikut: (1) perlunya penanganan secara
tepat penyediaan air bersih untuk DKI Jakarta dan sekitarnya bagi kepentingan
1
Sampai tulisan ini dibuat, KLHS 2 untuk wilayah Pegunungan Kendeng belum diumumkan pemerintah, padahal
sudah jauh melampaui waktu yang ditentukan.

45
YLBHI

masyarakat luas, dan (2) penanganannya agar mengikutsertakan dua perusahaan


CAPAIAN-CAPAIAN

swasta dengan pengaturan batas penanganan adalah Kali Ciliwung sebelah


barat dan sebelah timur, dimana masing-masing perusahaan diberi tugas dalam
penyediaan air bersih masing-masing kurang lebih 20 m³/detik.
Dari petunjuk tersebut, Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan Surat Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum yang memberikan konsorsium pengelolaan air di
Jakarta kepada dua perusahaan swasta yakni Suez Lyonnaise des Eaux (PALYJA),
yang berbasis di Perancis, dan PT. Thames Water Overseas Ltd (AETRA), yang
berbasis di Reading Inggris.

Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Air Jakarta


Bentuk kebijakan swastanisasi air tersebut akhirnya dirumuskan dalam bentuk
perjanjian kerjasama pengelolaan air di Jakarta antara PAM Jaya dengan PALYJA
dan AETRA. Perjanjian kerjasama tersebut membagi wilayah pengelolaan air
di Jakarta menjadi 2 (dua), yaitu pengelolaan air di wilayah Barat dan Timur
Jakarta dikelola oleh PALYJA dan wilayah Utara dan Selatan Jakarta dikelola
oleh AETRA.
Perjanjian kerjasama ini juga memberikan kewenangan yang lebih kepada kedua
perusahaan swasta tersebut. Kewenangan tersebut meliputi seluruh pengelolaan
air di Jakarta dari hulu sampai dengan hilir. Bahkan penetapan harga atas
konsumsi air juga ditetapkan oleh pihak swasta dan bukan oleh pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut, peran dari pemerintah yakni Pemprov DKI Jakarta
dan PAM Jaya selaku pihak yang berwenang dalam pengelolaan air hanya
sebagai pengawas dalam pengelolaan air Jakarta.

Dampak Perjanjian Kerjasama Terhadap Hak Atas Air


Perjanjian kerjasama pengelolaan air di Jakarta ini tak memberikan manfaat bagi
warga pengguna air di DKI Jakarta. Sejak PALYJA dan AETRA menandatangani
perjanjian kerjasama pengelolaan air bersama PAM Jaya, tak seluruh warga
Jakarta mendapatkan air. Berdasarkan data yang dihimpun oleh PAM Jaya,
tercatat hanya 62 % warga DKI Jakarta yang mendapatkan air, sementara itu
sisanya yakni 22,6 % pelanggan dari PALYJA dan 14,14 % pelanggan AETRA
tidak mendapatkan layanan air sama sekali.
Tidak hanya itu, harga tarif air yang dibayarkan oleh pelanggan juga cukup mahal.
Pelanggan dari PALYJA dan AETRA harus mengeluarkan uang setidaknya Rp
7.800,- sampai dengan Rp 8.000,-/m³ untuk satu bulan. Jumlah ini cukup besar
jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya.
Biaya konsumsi air yang dikeluarkan oleh masyarakat setiap bulannya juga tidak

46
CATATAN AKHIR TAHUN

sebanding dengan kualitas air yang didapatkan oleh warga. Meskipun sudah
membayar mahal, air yang disediakan oleh kedua operator swasta tersebut tidak
dapat langsung dikonsumsi. Tidak hanya itu, air yang disediakan juga kotor dan
berbau. Bahkan air juga tidak keluar setiap harinya.
Sehingga berdasarkan temuan tersebut, jelas bahwa kebijakan swastanisasi air di
Jakarta gagal untuk memenuhi hak warga masyarakat Jakarta terhadap air.

Gugatan Hak Atas Air: Perjalanan Panjang di Tingkat Pertama


11 November 2012, warga Jakarta yang diwakili oleh Nurhidayah, dkk.
mengajukan gugatan terhadap kebijakan swastanisasi air Jakarta melalui
mekanisme gugatan warga negara (citizen law suit) di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Adapun yang menjadi pihak tergugat dalam perkara ini adalah: (1) Presiden
RI selaku TERGUGAT I, (2) Wakil Presiden RI selaku TERGUGAT II, (3)
Menteri Pekerjaan Umum selaku TERGUGAT III, (4) Menteri Keuangan selaku
TERGUGAT IV, (5) Gubernur Provinsi DKI Jakarta selaku TERGUGAT V, (6)
DPRD DKI Jakarta selaku TERGUGAT VI, (7) Perusahaan Daerah Air Minum
Provinsi DKI Jakarta selaku TERGUGAT VII, (8) PALYJA selaku TURUT
TERGUGAT I, dan (9) AETRA selaku TURUT TERGUGAT II.
Dalam gugatannya, warga menuntut agar perjanjian kerjasama antara PAM
Jaya dengan PALYJA dan AETRA beserta seluruh addendumnya menjadi
batal demi hukum dan tidak berlaku lagi. Selain itu, warga juga menuntut agar
pemerintah menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI
Jakarta, mengembalikan pengelolaan air minum di DKI Jakarta kepada negara
yang dalam hal ini adalah PAM Jaya, dan melaksanakan pengelolaan air minum
di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip hak asasi manusia sebagaimana
dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Komentar
Umum HAM PBB No. 15 Tahun 2002 tentang Hak atas Air.
Gugatan ini memakan waktu amat panjang jika dibandingkan perkara-perkara
lain sepanjang LBH Jakarta menangani perkara litigasi. Sejak gugatan ini
diajukan oleh warga pada tahun 2012, butuh waktu dua setengah tahun bagi
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memutus perkara ini.

Menang di Tingkat Pertama, Kandas di Tingkat Banding


Setelah persidangan berjalan selama kurang lebih tiga tahun, akhirnya PN
Jakarta Pusat menjatuhkan putusan. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim
Pemeriksa Perkara pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan
gugatan yang diajukan oleh warga. Tidak tanggung-tanggung, Majelis Hakim
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga membatalkan perjanjian kerjasama

47
YLBHI

antara PAM Jaya dengan PALYJA dan AETRA.


CAPAIAN-CAPAIAN

Tak hanya itu, Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengutip ketentuan
hak asasi manusia internasional yang mengatur tentang hak atas air sebagaimana
yang diatur dalam Komentar Umum HAM PBB No. 15 Tahun 2002 tentang Hak
atas Air. Hal ini merupakan salah satu bentuk terobosan hukum baru dalam
dunia peradilan di Indonesia, mengingat jarang sekali bahkan hampir tidak
pernah hakim mengutip ketentuan hak asasi manusia yang berlaku secara
internasional.
Namun demikian, berbeda halnya dengan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, ketika
memasuki tahap banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru malah tidak
menerima gugatan dari para penggugat dengan memutus NO (niet ontvankelijk
verklaard) dengan alasan surat kuasa yang digunakan oleh para penggugat
tidak memenuhi ketentuan hukum acara. Hal ini ganjil, sebab permasalahan
surat kuasa sudah tidak lagi dipermasalahkan ketika pemeriksaan perkara pada
pengadilan tingkat pertama. Selain itu, keanehan berikutnya adalah Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta sangat cepat dalam memutus perkara, sementara berkas
memori banding belum seluruhnya diterima oleh para penggugat.
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut cenderung hanya melihat
ketentuan formil pada hukum acara dan tidak melihat akar persoalan
sesungguhnya dari kebijakan swastanisasi air Jakarta. Sehingga atas dasar
tersebut, sangat tidak beralasan bagi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk tidak
menerima gugatan yang diajukan oleh para penggugat.
Perjuangan Berlanjut Hingga Kasasi
Menanggapi putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, pada Maret 2016,
para penggugat akhirnya mengajukan kasasi. Proses kasasi ini juga tidak bisa
dikatakan mudah. Pasalnya dalam proses ini ada peristiwa bolak-balik berkas
dari Mahkamah Agung ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tak hanya itu, perlu diketahui sebelumnya, dalam proses kasasi di Mahkamah
Agung tak ada lagi proses persidangan yang terbuka untuk umum. Sehingga
sangat sulit sekali untuk memantau sudah sejauh mana perkara yang diajukan
oleh pemohon kasasi diperiksa oleh majelis hakim yang bersangkutan.
Selain bolak­-balik berkas di Mahkamah Agung, para pemohon kasasi juga
tidak langsung mendapatkan nomor perkara. Menariknya nomor perkara baru
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung setelah 1 (satu) tahun semenjak pemohon
kasasi mendaftarkan permohonan kasasi di Mahkamah Agung melalui
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Meskipun demikian, tetap saja Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Swastanisasi
Air Jakarta (KMMSAJ) melakukan berbagai upaya non-litigasi yang dimulai
dari menggalang dukungan publik melalui petisi online baik di tingkat nasional

48
CATATAN AKHIR TAHUN

maupun internasional, aksi di depan Mahkamah Agung, serta beberapa diskusi


publik yang membahas tentang kebijakan pengelolaan air yang berstandar
hak asasi manusia. Tak hanya itu, dalam upaya advokasi non-litigasi, jaringan
internasional juga menyerahkan sahabat peradilan (amicus curiae) kepada
Mahkamah Agung terkait dengan pengelolaan air Jakarta.
Setelah berbagai upaya non-litigasi dilakukan oleh KMMSAJ, akhirnya
Mahkamah Agung menjatuhkan putusan pengadilan yang pada pokoknya
mengabulkan gugatan para penggugat terhadap hak atas air. Putusan Mahkamah
Agung tersebut juga menguatkan pertimbangan hukum dari Majelis Hakim
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya juga mengutip
ketentuan Komentar Umum HAM PBB No. 15 Tahun 2002 tentang Hak atas
Air. Hal ini semakin menguatkan posisi Komentar Umum HAM PBB sebagai
salah satu dasar hukum dalam ranah hak asasi manusia.

Pembelajaran yang Dapat Diambil


Perkara gugatan warga negara terhadap hak atas air merupakan preseden bahwa
masyarakat sipil dapat mengajukan gugatan kepada suatu perjanjian kerjasama
yang didasarkan pada skema public private partnerships jika mengalami kerugian.
Kasus ini juga mematahkan doktrin ilmu hukum yang mana pihak ketiga tidak
dapat mengajukan gugatan atas perjanjian yang telah dibuat oleh antara pihak.
Tidak hanya itu, gugatan ini juga memperluas kajian diskursus tentang gugatan
warga negara (citizen law suit) yang mana pihak dalam citizen law suit tidak
hanya terbatas pada negara saja namun juga dapat menarik pihak swasta atau
badan hukum lainnya sebagai pihak turut tergugat.

LBH MAKASSAR
Membangun Instalasi Perlawanan Kaum Miskin Kota
(Sengketa Lahan Masyarakat Bara-Baraya Vs. Kodam XIV Hasanuddin dan
Mafia Tanah)
Bagi banyak orang, malam menjadi waktu yang tepat untuk menepi dari lelahnya
hidup, tapi tidak bagi warga di Kelurahan Bara-Baraya, Kecamatan Makassar,
Kota Makassar. Malam bagi mereka menjadi momok menakutkan sejak Kodam
XIV Hasanuddin mengeluarkan Surat Edaran I tertanggal 1 Februari 2017 berisi
himbauan pengosongan lahan seluas ± 4.100 m2 yang tepatnya berada di Jl. Abu
Bakar Lambogo RT 06/ RW 04 dan Jl. Kerung-Kerung Lorong 1 RT 01/ RW 01
yang dihuni oleh 67 KK dengan total 271 jiwa di antaranya terdapat 59 anak
– anak, 67 perempuan dan 16 lansia. Warga tak mengindahkan Surat Edaran
tersebut. Kodam kemudian mengeluarkan Surat Edaran II, hingga terbit Surat

49
YLBHI

Perintah I, II, dan III secara beruntun dalam kurun waktu satu bulan yang berisi
CAPAIAN-CAPAIAN

perintah pengosongan lahan. Dalam Surat Perintah pengosongan lahan, Kodam


memberikan dua alternatif kepada warga, yakni menerima uang kerohiman
sebesar ±30 juta/KK atau warga menggugat Kodam ke Pengadilan Negeri
Makassar. Namun warga tetap menolak dan memilih bertahan dengan segala
resiko yang akan mereka hadapi. Pihak Kodam mengklaim proses pengosongan
ini adalah tahap kedua yang sebelumnya sudah dilakukan pengosongan tahap
pertama tertanggal 13 Desember 2016 terhadap 102 KK warga penghuni Asrama
TNI Bara-Baraya.

Menyulut Bara di Bara-Baraya


Setelah keluarnya Surat Perintah III tertanggal 17 Maret 2017, Kodam
mengancam akan segera melakukan pengosongan secara paksa, namun di
sisi lain Kodam tidak memberikan kepastian mengenai waktu pengosongan.
Warga khawatir pengosongan akan dilakukan pada malam hari atau subuh
sebagaimana pelaksanaan pengosongan sebelumnya yang dialami oleh warga
102 KK penghuni Asrama TNI Bara-Baraya. Sejak itu, warga mulai siaga pada
malam hingga pagi hari dengan melakukan ‘patroli keliling’ mengawasi setiap
pergerakan anggota TNI yang akan menggusur rumah mereka. Suatu malam,
surau masjid-masjid di kompleks Bara-Baraya menggema, memanggil warga
untuk berkumpul. Tiang-tiang listrik melengking keras oleh pukulan batu.
Seketika lautan manusia terkumpul mulai Ibu-ibu, orang tua (lanjut usia), anak-
anak muda dan mahasiswa semuanya berkumpul. Tak butuh waktu lama bagi
mereka untuk terkonsolidasi karena mereka terus terjaga dari pagi hingga subuh
hari. Saat itu, beredar informasi bahwa rumah mereka akan digusur malam
menjelang subuh hari sekitar pukul 02.00 s.d. 06.00 WITA. Beruntung kabar itu
tak benar, sehingga tak ada korban pada malam itu.
LBH Makassar yang sejak awal berperan sebagai leading sector bersama warga
dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya serta mahasiswa berhasil
mengkonsolidasikan diri dalam Aliansi Bara–Baraya Bersatu. Tiga puluh
organisasi masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa bergabung melawan
penggusuran Bara-Baraya, di antaranya organ dari kampus UNHAS, UNM,
UIN, UMI, Universitas Bosowa, UVRI, Politeknik Negeri Ujung Pandang, UKIP,
UNIFA, UIN, UKPM UNHAS, UPPM UMI, dan Sekolah Tinggi Tridaharma.
Sementara itu, CSO yang ikut bergabung diantaranya WALHI Sulsel, KontraS
Sulawesi, ACC Sulawesi, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), AMAN Sulsel, Perkumpulan Pengacara Masyarakat
Adat (PPMAN), LAPAR, FIKORNOP, Aliansi Gerakan Reformasi Agraria
(AGRA), Jurnal Celebes, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia dan HAM
(PBHI), LBH Apik, PERAK Institut, PERKASI, Federasi Serikat Pekerja Buruh
Nusantara, Serikat Juru Parkir Makassar (SJPM), dan Asosiasi Pedagang Kaki
Lima (ASPEK 5).

50
CATATAN AKHIR TAHUN

Kantor Kelurahan Bara-Baraya dijadikan Posko aliansi dan dapur umum.


Setiap malam, para mahasiswa menggelar diskusi dan kegiatan-kegiatan yang
menghibur warga di Posko ini. Sejumlah kegiatan digelar seperti teatrikal,
pentas musik dari Kelompok Pemusik Jalanan (KPJ) dan pembacaan puisi.
Sedangkan kantor Koramil Bara – Baraya terletak tak jauh dari posko aliansi
yang hanya bersebelahan (tetangga posko). Di depan Kantor Koramil terpajang
spanduk berukuran 3 x 1 meter tertulis “Tanah ini milik warga sipil, TNI tidak
berhak ikut campur”, dan sejumlah spanduk serta petaka yang tertulis kalimat
anti penggusuran. Semetara itu, di depan gerbang lorong tertulis “Bara-Baraya
Tergusur, Makassar Lautan Api”.
Warga Bara–Baraya juga melakukan blokade jalan setiap malam dengan
menggunakan bambu runcing yang dirakit membentang tujuh meter menutup
ruas jalan utama Abu Bakar Lambogo. Pada siang hari warga membuka setengah
ruas jalan sehingga dapat dilalui warga kota Makassar. Warga menilai malam dan
dini hari adalah waktu yang sangat berbahaya karena hanya di waktu itulah TNI
berpotensi melakukan penggusuran. Kelurahan Bara-Baraya dikenal sebagai
daerah ‘rawan/teksas’ dimana hampir setiap malam para pemuda melakukan
perang antar kelompok. Dalam peperangannya anak-anak muda menggunakan
ketapel panah besi berekor (busur). Keadaan inilah yang turut membentuk
mental warga dan anak muda untuk selalu siap dan tidak takut melakukan
perlawanan jika Kodam secara paksa melakukan penggusuran tanpa proses
hukum.
Setiap malam sekitar 300-an warga dan mahasiswa berkumpul di Posko
melakukan penjagaan dengan berbagai kegiatan. Sejumlah warga bergotong
royong membuat minuman dan kue bagi mereka yang melakukan penjagaan.
Warga juga menyiapkan kotak berukuran 30 x 30 cm yang terlihat di ujung
lorong sebagai donasi perjuangan melawan penggusuran. Warga bergotong
royong menghimpun dana untuk perlawanan mempertahankan tanah dan
rumah mereka.

Gerilya Non-Litigasi
LBH Makassar menyadari bahwa represifitas militer hanya bisa dilawan dengan
simpul solidaritas masyarakat sipil yang tergabung dalam sebuah aliansi besar.
Aliansi bertugas membangun kesadaran dan menggalang kekuatan warga yang
terdampak langsung maupun yang berpotensi terdampak. Di sisi lain, aliansi
juga melakukan aksi-aksi yang dapat menarik simpati dan dukungan publik
secara luas, juga menarik dukungan dari legislatif dan lembaga-lembaga negara
lainnya. Hal yang paling utama adalah LBH Makassar sebagai leading sector
mampu membagi peran dari masing-masing organ yang tergabung dalam
Aliansi.
Mahasiswa bertugas memimpin aksi-aksi massa yang dilakukan di beberapa

51
YLBHI

titik di antaranya di Kantor DPRD Provinsi Sulsel, Kantor Badan Pertanahan


CAPAIAN-CAPAIAN

Nasional (BPN) Kota Makassar, Kantor Gubernur Sulsel, di Fly Over, serta
kampanye kota dalam bentuk selebaran, poster, pamflet, dan mural yang tersebar
di kampus-kampus dan di setiap sudut Kota Makassar. Untuk memperpanjang
nafas perjuangan, mahasiswa juga menggalang donasi perjuangan di kampus-
kampus.
Dari berbagai aksi yang dilakukan, Aliansi berhasil mendesak DPRD Sulsel
untuk mengeluarkan surat resmi kelembagaan kepada pihak Kodam yang berisi
penolakan penggusuran tanpa melalui proses hukum. Demikian halnya dengan
BPN Makassar yang turut mengecam rencana pengosongan lahan oleh Kodam.
Sedangkan jaringan CSO lainnya bertugas melakukan penguatan-penguatan di
internal warga.
Untuk mendukung aksi-aksi di lapangan, LBH Makassar bertugas melakukan
manuver publik seperti menggelar konferensi pers dan menyebar rilis media
terhadap setiap kejadian, melakukan kunjungan media bersama warga, dan
membuat kecaman publik melalui petisi online. Di sisi lain, LBH Makassar juga
menyasar dukungan dari berbagai lembaga negara, di antaranya Komnas HAM
RI, Ombudsman RI, Menteri Pertahanan dan Keamanan RI, Ketua Komisi III
DPR RI hingga Presiden RI.
Pengaduan LBH Makassar mendapatkan respon dari Presiden RI. Melalui
surat Kementerian Sekretariat Negara RI, Presiden menyampaikan bahwa
pihaknya sudah menyurati Kodam XIV Hasanuddin untuk meminta klarifikasi.
Kemudian Kodam XIV Hasanuddin membalas surat Presiden menyatakan
bahwa pihak Kodam XIV Hasanuddin menghormati proses hukum dan tidak
akan melakukan pengosongan paksa tanpa melalui proses hukum.
Sementara itu, salah satu Komisioner Komnas HAM menemui warga untuk
melakukan penyelidikan terkait potensi terjadinya pelanggaran HAM. Setelah
bertemu dengan warga, Komisioner Komnas HAM melakukan pertemuan
dengan pihak Kodam untuk mencari titik terang penyelesaian masalah. Dari
hasil penyelidikan, Komnas HAM memberikan informasi kepada warga bahwa
Kodam akan menghentikan rencana pengosongan lahan dengan catatan warga
membuka semua blokade jalanan dan menurunkan semua spanduk yang
menyudutkan Kodam.
Secara terpisah, Ombudsman RI wilayah Sulsel juga mendatangi kantor Kodam
XIV untuk meminta klarifikasi secara langsung. Setelah bertemu dengan dengan
Kodam, komisioner Ombudsman RI langsung mendatangi posko Aliansi dan
menyampaikan bahwa Kodam akan menghentikan rencana pengosongan lahan
tanpa melalui proses pengadilan.

52
CATATAN AKHIR TAHUN

Status Hukum
Rencana pengosongan lahan oleh Kodam dilakukan berdasarkan permintaan
ahli waris Moedhinong Dg. Matika selaku pemilik tanah okupasi Asrama
TNI Bara-Baraya. Namun, tanah yang dikuasai oleh 67 KK bukanlah tanah
okupasi sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak Kodam XIV Hasanuddin
melalui surat Nomor B/532/III/2017 tentang Pengosongan lahan tanah okupasi
milik Moedhinoeng Dg. Matika (Alm). Berbeda dengan Asrama TNI Bara-
Baraya yang telah dikosongkan pada tanggal 13 Desember 2016 yang memang
merupakan tanah okupasi milik Alm. Moedhinong Dg. Matika. Dalam hal ini
Kodam XIV Hasanuddin hanya memiliki hubungan hukum dan bertanggung
jawab terhadap warga keluarga purnawirawan di dalam Asrama TNI Bara-
Baraya. Tetapi, Kodam tidak memiliki hubungan hukum dengan warga 67 KK
yang berada di luar Asrama TNI Bara-Baraya2, sehingga rencana Kodam XIV
Hasanuddin untuk melakukan pengosongan terhadap tanah yang dikuasai oleh
warga 67 KK adalah tindakan di luar kewenangan Kodam.

Dari Non-Litigasi ke Litigasi


Sejak awal bergulirnya kasus ini sudah terjadi tarik ulur ke jalur litigasi. LBH
Makassar mendesak pihak Kodam maupun ahli waris Moedhinong Dg. Matika
untuk menempuh jalur hukum dengan menggugat warga secara perdata.
Karena warga merupakan penguasa fisik (bezitter) yang dilindungi oleh
hukum. Sehingga, perintah eksekusi pengosongan harus berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Namun di
sisi lain, pihak Kodam tidak mau tahu mengenai upaya hukum perdata. Kodam
akan tetap melakukan pengosongan. Kodam beranggapan jika warga keberatan
maka warga lah yang harus menggugat ke pengadilan. Situasi ini jelas merugikan
warga.
Saat ini, kasus sengketa tanah ini tengah dalam proses hukum di Pengadilan
Negeri Makassar. Nurdin Dg. Nombong (ahli waris Moedhinong Dg. Matika)
bertindak sebagai Penggugat melawan warga dan Kodam XIV Hasanuddin
sebagai Tergugat. Selama proses persidangan, pihak Penggugat sangat aktif
mengupayakan perdamaian dengan maksud agar persidangan tidak berlanjut,
dengan kata lain kasusnya diselesaikan melalui mediasi. Namun warga menolak
untuk mediasi dan memilih agar proses persidangan tetap dilanjutkan demi
kepastian hukum. Warga menganggap situasi ini menguntungkan warga yang
berada di posisi Tergugat.

LBH Makassar, Legal Opini Sengketa Lahan Warga Bara-Baraya Vs. Kodam XIV Hasanudin.
2

53
YLBHI

LBH YOGYAKARTA
CAPAIAN-CAPAIAN

Kemenangan Gugatan Klasis


Siang itu ratusan warga bergerak berjalan kaki menuju calon lokasi Kantor
Klasis GKJ. Rombongan ini berangkat dari salah satu Mushola di Padukuhan
Grogol 1. Dengan membentangkan satu poster besar dan puluhan poster kecil
lainnya yang berisi aneka tulisan ungkapan penolakan mereka beriringan.3
Mengatasnamakan warga Muslim Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo,
rombongan ini menyatakan penolakannya terhadap pembangunan Kantor
Klasis Gereja Kristen Jawa yang sedianya akan dibangun di wilayah setempat.
Peristiwa yang terjadi pada Sabtu 17 September 2017 lalu adalah satu dari
serentetan aksi penolakan atas rencana pembangunan Kantor Klasis yang
diinisiasi oleh Bapelklas (Badan Pelaksana Klasis) Gunungkidul4.
Pada Oktober 2014, Bapelklas Gunungkidul menunjuk Brotoyudho sebagai
panitia pembangunan kantor Klasis. Sebagai syarat administrasi pendirian
bangunan, Juli 2016 Brotoyudhono mengajukan Izin Mendirikan Bangunan. Ia
membawa serta syarat-syarat pendirian IMB untuk kemudian ditujukan kepada
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Gunungkidul dengan nomor
pengajuan IMB F.498.16.K dan telah dinyatakan lengkap.
Sembari menunggu IMB diterbitkan Panitia Pembangunan mengadakan
kegiatan peletakan batu pertama pada tanggal 8 September 2016 sebagai langkah
awal pembangunan dan sebagai bentuk sosialisasi atau pendekatan kepada
warga sekitar dengan mengundang seluruh tokoh masyarakat Desa Bejiharjo.
Namun, malam hari sebelum acara berlangsung, sekelompok warga masyarakat
Padukuhan Grogol 1 menemui panitia untuk menyatakan penolakan atas
rencana pembangunan kantor Klasis. Alasannya, adanya kesepakatan warga
masyarakat Padukuhan Grogol 1 bahwa di wilayah padukuhan tersebut tidak
boleh ada bangunan apapun yang dibangun oleh umat beragama lain selain
Islam sehingga acara tersebut dibatalkan.
Setelah beberapa bulan, keluarlah jawaban dari Dinas Perizinan: dengan alasan
serentetan penolakan warga yang dikhawatirkan menimbulkan konflik sosial,
pengajuan IMB ditolak. Pembab menggunakan Undang-undang Pengendalian
Konflik Sosial sebagai alasan untuk menolak pengajuan IMB Bapelklas.
Keganjilan yang kami catat dari keputusan itu antara lain: pertama, ketentuan
tentang pendirian IMB di Pasal 10 Permendagri Nomor 32 Tahun 2010
tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan menyebutkan, untuk
menyatakan lengkap dan disahkan semua syarat administrasi, Bupati (dalam
hal ini Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu) wajib melakukanya
dalam jangka waktu 7 hari kerja dan/atau 14 hari kerja jika membutuhkan
http://kabarhandayani.com/warga-grogol-unjuk-rasa-tolak-pembangunan-gedung-klasis-gkj/.
3

Klasis adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu tingkatan kemajelisan dalam Gereja Kristen Jawa.
4

Bapelklas adalah badan yang melaksanakan keputusan yang dibuat oleh 13 Gereja Kristen Jawa Gunungkidul.

54
CATATAN AKHIR TAHUN

pengelolaan khusus. Sementara pada kurun sejak diajukannya permohonan


pada Juli 2016 hingga Januari 2017, tidak ada kejelasan mengenai jawaban atas
permohonan Panitia Pembangunan Klasis. Justru atas permohonan tersebut,
Dinas Penanaman Modal dan Palyanan Terpadu mengeluarkan surat yang isinya
menyatakan bahwa permohonan Broto Yudhono belum bisa diterbitkan.
Kedua, Pemda Gunungkidul juga melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik. Alasan penolakan pengajuan IMB yang tidak sesuai ketentuan, jangka
waktu penerbitan yang melewati batas waktu, dan penggunaan alasan subjektif
untuk menentukan adanya konflik yang menjadi dasar penolakan pengajuan
IMB. Dari beberapa hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemda
melanggar asas kepastian hukum, asas ketidakberpihakan, dan penyalahgunaan
wewenang.
Pihak Klasis mencoba meminta penjelasan atas keputusan tersebut dengan
melayangkan surat tanggapan atas penjelasan IMB Klasis kepada Bupati
Gunungkidul pada 22 Maret 2017 yang berisi permintaan penjelasan secara
detail dan kongkrit atas alasan penolakan permohonan IMB Kantor Klasis.
Karena balasan tak kunjung datang, April 2017, Bapelklas mengambil sikap
tegas dengan menempuh jalur hukum.
Panitia Pembangunan Kantor Klasis bersama kuasa hukumnya LBH Yogyakarta
menggugat Keputusan Pemkab Gunungkidul ke Pengadilan PTUN Yogyakarta.
Dalam beberapa persidangan warga dari kubu penolak pembangunan Kantor
Klasis kerap memenuhi ruangan pengadilan.
Dalam perkara ini, majelis hakim belakangan mengabulkan gugatan pihak
Klasis. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa keputusan Pemkab
Gunungkidul menolak menerbitkan IMB harus dicabut. Dengan kata lain, Dinas
Perijinan harus menerbitkan IMB.
Saat ini proses hukum memasuki tahap menunggu hasil kasasi yang dilakukan
Pemkab terhadap keputusan PTUN Yogyakarta.
Kendati gugatan Panitia Pembangunan Kantor Klasis dikabulkan majelis hakim,
kejadian ini menambah deretan tindakan diskriminatif dan pengabaian terhadap
hak-hak sosial dan budaya warga negara. Tindakan Pemda Gunungkidul
mengabaikan hak untuk memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama atas
segala bentuk pelayanan umum. Hal ini turut dipertegas dalam Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Sebagaimana dalam pasal 9 ketentuan tersebut, “Setiap warga negara berhak
memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik,
ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis”.

55
YLBHI

LBH SURABAYA
CAPAIAN-CAPAIAN

Buruh Spindo Dikriminalisasi, Melawan, dan Menang


Rendy Febri Renata dan Arista Wahyu Widjayanto awalnya adalah karyawan
PT. Surya Semesta Manunggal (PT. SMS) yang dipekerjakan di PT. Steel Pipe
Industry of Indonesia (PT. Spindo). Rendy bekerja sejak Desember 2005 dan
terakhir sebagai operator crane yang bertanggung jawab mengangkat bahan
produksi dan hasil produksi. Sedangkan Arista bekerja sejak April 2011 di
bagian galvanis yang tugas dan tanggungjawabnya melakukan pelapisan timah.
Rendy dan Arista bergabung dengan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
(FSPMI). Rendy sebagai Ketua Perwakilan Unit Kerja Serikat Pekerja Logam
Serikat Pekerja Metal Indonesia (PUK SPL FSPMI) Pengurus Cabang Surabaya
sementara sebagai bendahara. Mereka beserta anggotanya sering menyuarakan
untuk diangkat sebagai karyawan tetap PT. Spindo. Karena, perjanjian alih daya
(outsourcing) yang dilakukan antara PT. SMS dengan PT. Spindo tidak sesuai
dengan ketentuan Undang-undang nomor 13 tahun 2003, dimana mereka
ditempatkan pada pekerjaan pokok PT. Spindo.
Pada Maret dan April 2016, Rendy, Arista dan anggotanya diberhentikan dari
PT. Spindo dalam arti dikembalikan kepada PT. SMS dengan alasan tidak masuk
kerja selama 5 hari berturut-turut. Atas hal tersebut, mereka melakukan mogok
kerja. Mogok kerja tersebut juga diikuti oleh karyawan PT. Spindo yang masih
bekerja dan anggota PC SPL FSPMI, yang turut dihadiri oleh Moh. Ismail selaku
ketua PC SPL FSPMI Surabaya. Mogok kerja tersebut menuntut agar PT. Spindo
mempekerjakan kembali karyawan yang diberhentikan dan mengangkat mereka
sebagai karyawan tetap PT. Spindo.
Pihak PT. Spindo merasa tidak nyaman dengan mogok kerja yang dilakukan oleh
Rendy, Arista, dan anggotanya yang didampingi oleh PC SPL FSPMI Surabaya.
Akibatnya, pada Juni 2016 pihak PT. Spindo melaporkan mogok kerja tersebut
ke Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Surabaya. Pada 27 Juni 2016, 10
orang anggota FSPMI ditangkap oleh Polrestabes Surabaya saat melakukan aksi.
Tetapi, malam itu juga mereka dilepaskan. Pada tanggal 2 Juli 2016, dilakukan
penangkapan kembali terhadap lima orang buruh.
Dari lina orang yang ditangkap tersebut, tiga orang dinyatakan sebagai tersangka
dan ditahan dengan tuduhan melanggar pasal 335 KUHP dan satu orang lainnya
menggunakan pasal 160, yakni Rendy (Ketua PUK), Arista (Bendahara) dan
Moh. Ismali (Ketua PC SPL FSPMI), sedangkan 2 orang lainnya dilepas. Setelah
sempat ditahan, pada tanggal 5 Juli 2016 ketiganya dilepaskan polisi setelah
permohonan penangguhan atas penahanannya dikabulkan.
LBH Surabaya dan LBH FSPMI mendapingi Febri, Arista dan Moh. Ismail mulai
dari proses awal Penyidikan dengan membentuk Tim Advokasi Buruh (TABUR)
Anti SLAPP. Pada 7 November 2017 berkas penyidikan Febri, Arista dan Moh.

56
CATATAN AKHIR TAHUN

Ismail dipaksaksakan untuk dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Surabaya dan


selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Surabaya untuk disidangkan.
Pada 31 Januari 2017 Surat Dakwaan dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum
(JPU) pada Kejaksaan Negeri Surabaya. JPU memisah (split) berkas persidangan
menjadi 2 berkas, Febri Renata dan Arista Wahyu Widjayanto didakwa dengan
Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP dengan nomor reg. Perkara : 29/Pid.B/2017/PN SBY, sedangkan Moh.
Ismail dengan dakwaan alternatif yaitu Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 160 KUHP dengan
nomor reg. Perkara : 30/Pid.B/2017/PN SBY.
Atas surat dakwaan yang disusun oleh JPU, tim kuasa hukum para Tterdakwa
mengajukan eksepsi5. Eksepsi dibacakan pada 7 Februari 2017. Dalam
bantahannya, tim kuasa hukum menyampaikan bahwa dakwaan kabur (obscuur
libel) karena tidak menguraikan secara lengkap dan cermat peristiwa. JPU
mendakwa semua Terdakwa menggunakan pasal 55 ayat (1) KUHP, namun
dalam uraian peristiwanya tidak dijelaskan peran masing-masing sebagai apa.
Apakah sebagai orang yang menyuruh, melakukan, atau turut serta melakukan.
Demikian pula dengan Moh. Ismail yang didakwa secara alternatif menggunakan
pasal 160 KUHP. JPU juga tidak menguraikan tentang perbuatan terdakwa yang
dapat dikategorikan sebagai menghasut, siapa yang terhasut, dan apa akibat dari
hasutannya.
Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini mengabulkan
eksepsi tim penasehat hukum para terdakwa dan secara tegas menyatakan
Surat Dakwaan JPU Nomor Reg. Perkara : 989/Epp.2/11/2016, tertanggal 4
Januari 2017 atas nama TERDAKWA : RENDY FEBRI RENATA Bin SAHID
dan ARITA WAHYU WIDJAYANTO Als ARISTA bin MUDJIONO dan Surat
Dakwaan JPU Nomor Reg.Perkara : PDM-990/Epp.2/II/2016 tanggal 04 Januari
2017 atas nama terdakwa MOH ISMAIL Bin DJIDIN (ALM) batal demi hukum.
Pemeriksaan perkara atas nama para terdakwa pun tidak dapat dilanjutkan.
Kemenangan “kecil” sudah diraih, meski belum sepenuhnya karena JPU masih
mengajukan upaya perlawanan atas kedua putusan tersebut.

LBH BALI
Pesamuan Agung Majelis Utama Desa Pakraman mengesahkan Upaya
Perlindungan Anak sebagai bagian dari ruang Lingkup Desa Pakraman Se-
Bali
Pada 30 Juli 2014, pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-
undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-
Undang tersebut menekankan pada adanya upaya restorasi atau pemulihan
bantahan atau tangkisan yang tidak mengenai pokok perkara.
5

57
YLBHI

yang harus dilakukan dalam penyelesaian kasus-kasus anak yang berhadapan


CAPAIAN-CAPAIAN

dengan hukum. LBH Bali pada tahun 2014 telah mendampingi 23 anak yang
berkonflik dengan hukum, dimana 6 kasus diselesaikan melalui peradilan dan
17 kasus lainnya diselesaikan melalui diversi di tingkat kepolisian. Dari 17 anak
yang berhasil dilakukan diversi di tahun 2014, di awal tahun 2015 tiga (3) orang
anak di antaranya kembali mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.
Berdasarkan pengalaman tersebut, LBH Bali melihat beberapa kendala dan
hambatan dalam pelaksanaan UU SPPA, di antaranya:
1. Ketidakpahaman aparat penegak hukum dalam penanganan kasus ABH
sehingga proses restorasi dijadikan ajang untuk mendapatkan keuntungan
semata bagi oknum aparat;
2. Korban sebagai orang yang paling menderita dan dirugikan atas perbuatan
pidana yang terjadi malah tidak dberikan kesempatan bersuara karena
seluruh haknya diwakili oleh Jaksa, yang melakukan semua langkah
berdasarkan cara pandangnya dan sangat formalistik;
3. Anak mengalami stress dan trauma karena panjangya proses peradilan yang
harus dihadapi;
4. Komunitas masyarakat yang mengalami paparan atas kejahatan yang terjadi
tidak diberikan ruang untuk bersuara dan berperan sehingga tidak jarang
masyarakat melakukan labeling (stigma negatif) pada anak dan akhirnya
menyulitkan dalam proses reintegrasi;
5. Belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai serta pihak pekerja
sosial profesional dan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang tidak bisa
menjalankan perannya secara maksimal, karena Bapas hanya ada dua di
Bali yang menangani sembilan kab/kota, sedangkan jumlah petugas pekerja
sosial profesional dan Petugas PK sangat minim.
Berkaca dari pengalaman tersebut, substansi dalam UU SPPA yakni adanya
upaya pemulihan bagi anak yang berhadapan dengan hukum menjadi sangat
jauh dari harapan.
Kasus lain yang juga didampingi LBH Bali di tahun 2014, yaitu kasus pencurian
dan persetubuhan anak dengan anak yang diselesaikan dalam komunitas adat.
Prosesnya, desa adat melalui prajuru melakukan mediasi dan dilanjutkan
dengan adanya permintaan maaf pelaku dan keluarganya kepada korban dan
keluarganya. Selanjutnya disepakati juga tentang ganti rugi dan kasus pun selesai.
Belajar dari pengalaman tersebut, LBH Bali melihat adanya ruang bagi kearifan
lokal dan keterlibatan tokoh masyarakat adat sebagai bagian masyarakat yang
terdekat dengan anak. Hal ini seharusnya dapat dimaksimalkan untuk upaya
perlindungan anak, sehingga tak semua persoalan anak (ABH) harus dibawa
kemeja peradilan dan diselesaikan secara hukum. Penerapan kerifan lokal dalam
penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum seharusnya dapat

58
CATATAN AKHIR TAHUN

dilakukan secara optimal di beberapa daerah seperti Bali dan daerah lainnya
yang memiliki budaya dan kearifan lokal yang masih eksis sampai saat ini. Hal
ini sejalan dengan pasal 85 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak,
yang pada intinya memberikan ruang seluas-luasnya pada masyarakat terlibat
dalam upaya perlindungan anak mulai dari upaya pencegahan sampai dengan
reintegrasi sosial.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut telah dilakukan beberapa strategi
meliputi:
a. Penelitian, dilaksanakan selama enam bulan pada bulan September 2015
– Februari 2016. Penelitian mengenai mekanisme penyelesaian kasus anak
yang berhadapan dengan hukum melalui pendekatan keadilan restorative
yang berbasis kearifan lokal di Bali dilaksanakan di Kabupaten Singaraja
(Desa Adat Pedawa), Kabupaten Karangasem (Banjar Adat Merita) dan Kota
Denpasar (Desa Adat Sesetan dan Desa Adat Kesiman Petilan).
Januari sampai Maret 2017, dilakukan penelitian di tiga wilayah yakni
Singaraja, Karangasem dan Denpasar. Di Singaraja penelitian dilakukan di
PHDI, Majelis Madya Desa Pakraman Kota Singaraja serta Majelis alit Desa
Pakraman kecamatan Banjar. Di Denpasar, yang menjadi objek penelitian
antara lain: Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali, Majelis Madya Desa
Pakraman Kota Denpasar, Majelis Alit Desa Pakraman Denpasar Timur,
Majelis alit Desa Pakraman Denpasar Selatan. Daerah Karangasem, yang
menjadi objek penelitian antara lain: PHDI Kota Amlapura, Majelis Madya
Desa Pakraman Karangasem dan Majelis Alit Desa Pakraman Kecamatan
Abang. Adapun hal yang menjadi fokus penelitian adalah:
1. Identifikasi kearifan lokal Bali dalam penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum di Singaraja, Gianyar dan Denpasar;
2. Menganalisis dan menyelaraskan nilai-nilai kearifan lokal di Buleleng,
Karangasem dan Denpasar dalam penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum;
3. Merumuskan konsep penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
berlandaskan kearifan lokal Bali;
4. Uji publik terhadap konsep penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum berlandaskan kearifan lokal Bali.
b. Pelatihan Paralegal
Pelatihan Paralegal ini bertemakan “Penguatan Kapasitas Paralegal tentang
keadilan Restorasi dalam Persfektif Anak dan Anak Perempuan sebagai
Korban”. Pelatihan ini dilaksanakan pada hari Rabu - Jumat tanggal 16 - 18
Desember 2015 pada pukul 08.00 – 18.00 WITA bertempat di Hotel Inna
Sindhu Beach, Jl. Pantai Sindhu 14 Sanur Bali.
Pelatihan ini dihadiri oleh 20 orang paralegal LBH Bali serta menghadirkan

59
YLBHI

tiga orang narasumber yang terdiri dari tokoh adat, praktisi, dan NGO.
CAPAIAN-CAPAIAN

Adapun tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk membangun


perpektif paralegal agar mereka nantinya mampu melakukan pendampingan
terhadap anak berhadapan dengan hukum di wilayahnya masing-masing.
c. Pelatihan Komunitas Adat
Kegiatan ini dilaksanakan pada 2-4 Juni 2017 dengan mengundang Bendesa
Adat di 16 Desa Pakraman yang ada di Kota Denpasar (Desa Pakraman
Peninjauan, Desa Pakraman Kesiman, Desa Pakraman Renon, Desa
Pakaraman Tembawu), Kabupaten Singaraja (Desa Pakraman Pedawa, Desa
Pakaraman Tegeha, Desa Pakraman Cepaga, Desa Pakaraman Sidetapa,
Desa Pakraman Banyuning, MMDP Kabupaten Singaraja) dan Kabupaten
Karangasem (Desa Pakraman Nongan, Desa Pakaraman Sega, Desa
Pakraman Bugbung, Desa Pakraman Duda, Desa Pakraman Seraya dan
Desa Pakraman Kastala) serta mengadirkan tiga narasumber yakni Drs. I
Gusti Ketut Widana, M.Si (Dosen Universitas Hindu Indonesia), Prof. Dr.
Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, Msi (Ketua Pelaksana PHDI Prov. Bali), dan
Dr. Luh Riniti Rahayu, M.Si (MUDP/Nayaka). Perlatihan ini bertujuan
meningkatkan kompetensi, pandangan dan Pengetahuan perlindungan
terhadap anak dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik serta
perspektif anak sebagai korban sekaligus Penyempurnaan Draft Pararem
Sistem Perlindungan Anak Berbasis Kearifan Lokal. Dari hasil pelatihan
tersebut, 16 Desa Pakraman bersedia untuk mengujicobakan strategi
penanganan kasus anak tersebut di Desa Pakraman masing-masing.
d. Workshop Stakeholder, 24 Mei 2017
Kegiatan ini bertujuan untuk mewujudkan sinergi antara kearifan lokal,
hukum adat, dengan hukum positif dalam hal penanganan permasalahan
anak yang berhadapan dengan hukum. Kegiatan ini dihadiri oleh peserta dari
unsur aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan), LPKA,
Bapas, DP3A, serta organisasi pemerhati anak. Selain itu juga menghadirkan
dua orang narasumber dari akademisi dan dari MUDP. Peserta workshop
memberikan respon positif mengenai adanya penyelesaian kasus anak di
tingkatan adat dan bersedia mengawal sehingga strategis tersebut tetap
mengacu pada kepentingan yang terbaik bagi anak.
e. Uji Coba Strategi Penyelesaian Anak Berhadapan dengan Hukum Berbasis
Kearifan Lokal
Kegiatan ini dilaksanakan pada Oktober hingga November 2017 di 11
Desa Pakraman Di Bali. Kegiatan ini sebagai tindak lanjut dari pelatihan
komunitas adat. Para peserta mendiskusikan tema secara mendalam dengan
memasukkan kearifan lokal masing-masing daerah sesuai dengan desa, kala
patra masing-masing Desa Pakraman. Draft Pararem yang telah disusun
mendapat masukan dari warga masing-masing Desa Pakraman khususnya

60
CATATAN AKHIR TAHUN

prajuru adat, tokoh adat, dan Bendesa Pakraman.


f. Pesamuan Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)
Kegiatan yang diselenggarakan pada 15 November 2017 ini dihadiri seluruh
Desa Pakraman di Bali dengan tujuan untuk mendorng kesepahaman-
kesepahaman di antara seluruh Desa Pakraman di Bali. Hasilnya akan
dikeluarkan dalam bentuk keputusan MUDP. LBH Bali bersama aktifis
anak di Bali sebelumnya telah berkonsolidasi dengan Nayaka (tim ahli)
MUDP untuk memasukkan point perlindungan anak dalam salah satu
pembahasan pada saat penyelenggaraan MUDP. LBH Bali yang sebelumnya
telah melakukan penelitian untuk menggabungkan eksistensi Desa
Pakraman dengan Perlindungan anak yang menghasilkan “Draft Pararem”,
mendorong konsep ini juga menjadi topik diskusi dalam Pesamuan Agung.
Berdasarkan data LBH Bali, dalam Pesamuan agung disepakati keterlibatan
Desa Pakraman dalam Upaya Perlindungan Anak di Bali dengan mengacu
pada Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang
Perlindungan Anak, dan Tri Hita Karana terkait peran masyarakat.

LBH LAMPUNG
Reklaiming Tanah Ulayat Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua
Setelah melalui proses panjang, 2.834 Ha lahan diserahkan Perusahaan untuk
digarap Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua
Bahwa Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua kehilangan lahan
garapannya sekitar tahun 1980-an. Dimana pada masa Orde Baru itu secara
umum telah terjadi perampasan tanah-tanah rakyat untuk dijadikan lahan
perkebunan oleh perusahaan dengan dibantu militer. Hal itu terjadi pada
Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua yang dipaksa menjual tanah tanah
mereka kepada PT Arya Kartika.
Perusahaan PT Arya Kartika pada saat itu berhasil mengelola kurang lebih
3000 Ha yang ditanami kelapa sawit. Sehingga tanam tumbuh dan hewan di
dalam lahan tersebut telah hilang. Tetapi dalam perkembangannya, Departemen
Keuangan Republik Indonesia Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara Kantor
Wilayah II BUPLN Bandar Lampung dengan berita acara penyitaan nomor: ba-
788/WPN.02/KP.02/1997 tanggal 24 Februari 1997 telah melakukan penyitaan
terhadap barang jaminan harta kekayaan milik penanggung jawab/penjamin
hutang PT ARYA KARTIKA berupa barang tidak bergerak yaitu sebidang tanah
perkebunan seluas 5.436,62 Ha di desa Tanjung Ratu Kecamatan Pakuan Ratu
Kabupaten Way Kanan.
Penjualan aset PT Arya Kartika kepada PT Adi Karya Gemilang pada tahun
1997 menimbulkan reaksi pada Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua.
Mereka menganggap seharusnya ketika PT Arya Kartika tak sanggup lagi

61
YLBHI

mengelolanya, lahan tersebut haruslah dikembalikan pada rakyat.


CAPAIAN-CAPAIAN

Perjuangan dimulai dari tahun 2000-an untuk mengambil kembali tanah


mereka, tetapi selalu gagal dikarenakan tidak terorganisir secara baik. Barulah
pada tahun 2015 masyarakat adat mendatangi kantor LBH Bandar Lampung dan
menyerahkan data-data terkait tanah tersebut. Setelah verifikasi data di lakukan
oleh LBH Bandar Lampung, perkara ini di tangani dengan catatan masyarakat
adat berjumlah 1157 KK yang terdiri dari 15 petanggan (marga). Sadar akan
pentingnya pembentukan organisasi rakyat dan strategi advokasi, pada 4
Oktober 2015 dibentuklah organisasi rakyat dan mulai hari itu pendudukan
lahan dilakukan. Masyarakat adat mulai membentuk posko-posko di setiap
petanggan. Masyarakat adat mulai menanam tanaman kayu keras, pembibitan
ikan di embung, dan menanam singkong. Aktivitas masyarakat itu mengakibatkan
perusahaan bereaksi dengan melaporkan warga ke Polda Lampung. Sembilan
orang dipanggil kepolisian dengan tuduhan pengrusakan tanaman perusahaan
berupa bonggol nanas. Kesembilan warga tersebut didampingi ratusan warga
yang lain saat mendatangi panggilan di Polda Lampung. Akhirnya, polisi
melepaskan sembilan orang tersebut tanpa ada kejelasan penyelesaian.
Selanjutnya, perusahaan mengambil langkah kembali dengan melaporkan
permasalahan ini ke Korem 043 Garuda Hitam Provinsi Lampung. Tepat pada
April 2016, Kolonel Inf Joko P Putranto, M.Sc. sebagai Komandan Korem 043
Garuda Hitam Provinsi Lampung mengundang LBH Bandar Lampung dan
masyarakat adat untuk negosiasi. Pada saat itu Kolonel Inf Joko P Putranto,
M.Sc. mewakili PT Adi Karya Gemilang menawarkan kurang kurang lebih 2
Milyar untuk masyarakat adat pergi dari lahan sengketa, tetapi dengan tegas
masyarakat menolak.
Karena di lahan sengketa semakin bergejolak karena perusahaan menyewa
Pamswakarsa, akhirnya mediasi terjadi yang difasilitasi Oleh Polres Way Kanan.
Mediasi yang diwakili langsung oleh Direktur Utama PT Adi Karya Gemiling
Bapak Abeng dan dihadiri pula 15 petanggan beserta LBH Bandar Lampung
serta dipimpin oleh Kapolres Way Kanan.
Setelah perdebatan panjang akhirnya disepakati dalam perjanjian bahwa
perusahaan hanya meminta untuk difasilitasi memanen 284 Ha tanaman tebu
dan sisanya 2876 ha diserahkan untuk dikelola masyarakat. Setelah perjanjian
itu dilakukanlah pemetaan partisipatif untuk membagi tanah secara adil dan
tidak menimbulkan gejolak antar petanggan.
Perekonomian berkembang pesat di lingkungan masyarakat adat. Hal ini
ditandai dengan pembangunan rumah rumah mereka di Desa Penyangga.
Masyarakat juga hendak menghijaukan kembali lahan-lahan yang sebelumnya
ditanami tebu oleh PT Adi Karya Gemilang. Hasil lain dari advokasi ini adalah
Masyarakat Adat Buay Pemuka Pangeran Tua bertambah pemahaman soal
hukum.

62
CATATAN AKHIR TAHUN

LBH BANDAR LAMPUNG


Kasus Petani Tambak Bratasena
Lampung merupakan penghasil udang Vaname terbesar yang menyumbang 60 %
total produksi nasional. Penghasil udang terbesar di Lampung adalah petambak
Bratasena yang berplasma dengan PT Central Pertiwi Bahari (PT CPB). Jumlah
petambak Bratasena adalah 2426 orang dnegan 2700 petak tambak. Mereka
telah melangsungkan kegiatan budidaya tambak udang di lokasi tersebut selama
21 tahun.
Dalam perjalanan bermitra dari tahun 1990-an, timbullah konflik karena
perusahaan tidak transparan dalam pembukuan baik harga pakan udang, benur,
(bibit udang), dan harga jual udang. Pada saat petambak memanen udang dan
menjual ke perusahaan, petambak selalu merugi. Apabila dirata – rata, hutang
petambak kurang lebih 750 juta per orang kepada PT CPB.
Pada tahun 2010-an, mulailah timbul gejolak masyarakat melawan perusahaan.
Petambak mulai berhimpun membentuk organisasi rakyat yang dinamai
Forum Silaturahmi Petambak Bratasena (Forsil). Sejak terbentuknya forum ini,
perusahaan berupaya mengarahkan dan membenturkan organisasi ini dengan
kelompok P2K (Petambak Peduli Kemitraan) massa yang beranggotakan
Management PT. CPB, preman bayaran, dan karyawan.
Kejadian pertama pada 17 Januari 2013. Saat itu diadakan rapat koalisi PT. CPB
yang terdiri dari PAM Swakarsa dari Desa Penyangga, karyawan, dan plasma.
Dalam rapat itu, mereka menuntut Forsil harus bubar. Tetapi karena massa yang
mereka bawa sebagian besar bukan dari anggota Forsil, maka rapat luar biasa
yang mereka gelar saat itu dianggap tidak sah dan batal demi hukum, sehingga
Forsil tetap dipertahankan oleh mayoritas anggota yang masih ada.
Kejadian kedua adalah penyanderaan Ketua Umum Forsil di Desa Pasiran Jaya.
Karena negosiasi untuk membebaskan sandera tidak berhasil, seluruh anggota
berniat menjemput paksa Ketua Umum yang sudah tertahan dari jam 1.00 dini
hari hingga jam 15.00 sore hari. Akibatnya terjadi bentrokan dan empat orang
meninggal, puluhan orang luka-luka. Adapun banyak korban jiwa ini karena
lari tunggang langgang dan menceburkan diri ke dalam kanal dan tenggelam.
Akibat kejadian itu, banyak petambak yang dipanggil pihak kepolisian dan
harus bersembunyi di kantor LBH Bandar Lampung. Bahkan ketua Forsil harus
mendekam 1,6 tahun di penjera dengan tuduhan melanggar pasal 160 KUHP.
Setelah keluar dari jeruji besi, Ketua Forsil bersama LBH Bandar Lampung
memperkuat organisasi rakyat. Di penghujung tahun 2016, apa yang dicita-cita
kan petambak Bratasena terwujud dengan berakhirnya kemitraan dengan PT
CPB. Berakhirnya kerjasama petambak plasma dengan PT CPB sejak 17 Oktober
2016 membawa perubahan yaitu tidak terjadinya gejolak sosial di masyarakat.
Para petambak melakukan budidaya dengan mandiri. Pengakhiran hubungan

63
YLBHI

kerjasama kemitraan Inti-Plasma dalam rangka kemandirian dan menjaga


CAPAIAN-CAPAIAN

kelangsungan usaha budidaya, petambak plasma tersebut telah disepakati para


pihak dan juga diketahui oleh Bupati Kabupaten Tulang Bawang.
Dalam Perjanjian Pengakhiran Kerjasama tersebut, beberapa poin yang menjadi
kesepakatan adalah sebagai berikut :
1. PT. CPB menyatakan bahwa hutang seluruh petambak yang ada per tanggal
15 Oktober 2016 sejumlah Rp. 1.301.309.799.865,00 dinyatakan lunas
setelah mendapat persetujuan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB), yang kemudian Petambak
diberikan Surat Keterangan Lunas;
2. Kewajiban hutang terhadap Bank yang berjumlah Rp. 226.720.000.000,00
atas seluruh petambak plasma akan diselesaikan oleh PT. CPB berdasarkan
perjanjian dengan Bank, setelah mendapat persetujuan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB);
3. Bagi petambak yang memiliki sertifikat Hak Milik (SHM) dan sampai dengan
15 Oktober 2016 masih tercatat sebagai Petambak Plasma yang terikat
dalam Perjanjian Kerjasama (PKS), maka sertifikat Hak Milik tersebut akan
diberikan kepada masing-masing petambak oleh PT. CPB;
4. SHM Petambak yang masih dijaminkan kepada bank akan diserahkan pada
tanggal yang ditentukan kemudian berdasarkan tanggal jatuh tempo;
5. Bagi petambak yang mengusahakan tambak bersertifikat masih atas nama
orang lain, maka PT. CPB akan membuatkan Akta Jual Beli yang biayanya
kemudian akan ditanggung oleh Petambak yang bersangkutan.
6. Bagi petambak yang mengusahakan tambak yang belum memiliki Sertifikat,
dan atas tambak tersebut belum bersertifikat hak milik, maka PT. CPB
akan memberikan Bukti Serah Terima Tambak (BSTT) kepada petambak
yang bersangkutan, yang kemudian biaya atas proses pengurusan sertifikat
menjadi tanggungjawab petambak yang bersangkutan.
7. PT. CPB memberikan bantuan aliran listrik selama satu tahun sejak 1
November 2016 sampai dengan 31 Oktober 2017 untuk penerangan Rumah
dengan daya maksimal yang tersedia secara total adalah sebesar 1 (satu)
Mega Watt, dengan jadwal operasional listrik mulai jam 18.00 WIB sampai
dengan 06.00 WIB setiap harinya;
8. Terhadap beberapa Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial lainnya diberikan
hak pakai kepada masyarakat dengan beberapa ketentuan yang mengikuti.

64
CATATAN AKHIR TAHUN

LBH PADANG
Pengadilan Menangkan Permohonan LBH Padang untuk Mencabut 26 Izin
Tambang”
20 Oktober 2017 lalu, majelis hakim PTUN Padang membacakan putusan
dalam Permohonan untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan
(Fiktif Positif) antara LBH Padang dengan Gubernur Sumatera Barat dalam
perkara Nomor: 2/P/FP/2017/PTUN-PDG. Dalam putusannya majelis hakim
yang diketuai oleh Harisman, anggota Zabdi Palangan dan M. Afif mengabulkan
permohonan LBH Padang. Pengadilan memerintahkan Gubernur mencabut 26
Izin Usaha Pertambangan (IUP) non clean and clear (non CnC) di Sumatera
Barat.
Di tingkat nasional sebetulnya sudah dibentuk koordinasi dan supervisi
bidang Mineral dan Batubara (Korsup Minerba) sebagai bagian dari Gerakan
Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GN-PSDA). Gerakan ini diinisiasi
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama bersama dengan 34
Kementerian/Lembaga (K/L) dideklarasikan pada 6 Juni 2014. Pelaksanaannya
digelar sepanjang tahun 2014-2017 di 31 provinsi di seluruh Indonesia, dengan
menitikberatkan pada lima permasalahan utama, yaitu : 1) penataan IUP; 2)
pelaksanaan kewajiban keuangan; 3) pengawasan produksi pertambangan;
4) pengawasan penjualan dan pengapalan hasil tambang; 5) pengolahan dan
pemurnian hasil tambang. Perusahaan-perusahaan yang mampu memenuhi
5 aspek dasar tersebut akan menyandang prediket Clear And Clean (Cnc)
sementara yang tidak akan dinyatakan Non Cnc dan dapat pula berujung
penjatuhan sanksi temasuk pencabutan.
Perhatian nasional terhdap perbaikan tata kelola tambang tak lepas dari fakta
empirik penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi di sektor tambang.
Penambangan tanpa izin, penambangan di luar konsesi, penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa memiliki izin pinjam pakai kawasan, serta ketidakpatuhan
perusahaan dalam membayar pajak-pajak dan reklamsi. Keberadaan tambang-
tambang illegal dan ketidakpatuhan pemilik izin usaha pertambangan
menyisakan dampak lingkungan yang parah dan membuat negara kehilangan
potensi pemasukan negara bahkan menimbulkan kerugian yang nyata. LBH
Padang mencatat terdapat 43.390 orang sepanjang 2016 itu yang menjadi korban
aktivitas di sektor pertambangan.
Di kabupaten Solok Selatan Sumatera Barat misalnya, betapa jumlah izin tambang
yang ada berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga tahun 2015 Pemerintah
Kabupaten Solok Selatan telah merilis 46 izin usaha pertambangan, terbanyak
dari seluruh kabupaten Kota di Sumatra Barat. Namun, berdasarkan data Daftar
Daerah Tertinggal yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, pada tahun 2015
menempatkan Solok Selatan sebagai peringkat 2 daerah tertinggal di Sumatera

65
YLBHI

Barat setelah Kabupaten Kepulauan Mentawai.


CAPAIAN-CAPAIAN

Masalah-masalah ini sulit diselesaikan karena lemahnya pengawasan dan


penegakan hukum di sektor tambang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
persoalan tambang tidaklah jauh-jauh dari pembackingan aparat. Dasar
asumsinya sederhana, bagaimana bisa alat-alat berat tanpa izin bisa leluasa lewat
di jalan-jalan di depan kantor-kantor kepolisian, bagaimana bisa ribuan liter
minyak bersubsidi dipasok untuk menggerakkan aktivitas tambang-tambang
illegal. Padahal minyak bersubsidi seharusnya diperuntukan untuk masyarakat
ekonomi lemah.
Sebelum berujung di Pengadilan, LBH Padang sudah berusaha mendukung
provinsi dengan kajian hukum dan hasil-hasil temuan lapangan tambang-
tambang bermasalah. Asumsinya saat itu Pemerintah Provinsi tidak memiliki
beban masa lalu untuk mencabut izin-izin tambang bermasalah, karena izin
tersebut diterbitkan oleh Kabupaten/Kota sebelum kewenangan sektor tambang
beralih menjadi kewenangan provinsi. Namun setelah hampir satu tahun berjalan
sejak tahun 2015, hasil-hasil diskusi dan rekomendasi masyarakat sipil tidak
kunjung ditindaklanjuti Gubernur. Sampai dengan keluarnya pengumuman
resmi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Nomor: 1279.Pm/04/DJB/2017
tanggal 16 Juni 2017 tentang Daftar Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang
dinyatakan Non Clear And Clean (Non Cnc). Pengumuman itu memuat ada 119
(seratus sembilan belas) IUP Non Cnc dan 26 (dua puluh enam) IUP diantaranya
merupakan IUP Non Cnc yang masih aktif dan belum habis masa berlakunya
per tanggal 31 Juli 2017.
Berpijak dari pengumuman tersebut LBH Padang langsung menyurati gubernur
untuk segera mencabut IUP-IUP Non CnC sesuai dengan penguman dirjen.
Hingga 10 hari kerja setelah Permohonan diterima, Gubernur tak merespon
permohonan LBH Padang tersebut, sehingga berdasarkan Pasal 53 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
permohonan LBH Padang yang tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur
Sumbar dengan Keputusan dan/atau tindakan, dianggap dikabulkan secara
hukum (keputusan fiktif positif) dan Pengadilan Tata Usaha Negara Padang
berwenang memutuskan Permohonan untuk Memperoleh Putusan atas
Penerimaan Permohonan yang diajukan LBH Padang dalam perkara. Begitulah
sampai akhirnya Pengadilan memenangkan permohonan LBH Padang dan
memerintahkan Gubernur mencabut 26 izin tambang.
Kemenangan permohonan ini tidak lepas dari kerjasama yang solid antara
masyarakat dampingan di lapangan, paralegal, pengabdi bantuan hukum yang
mengurusi urusan-urusan lapangan, tim lawyer dan akademisi dari berbagai
background pengetahuan baik ahli hukum administrasi, ahli hukum tata usaha
negara hingga ekonom yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh menjadi
bagian dalam perjuangan ini. Saat ini 21 izin dari 26 yang diperintahkan sudah

66
CATATAN AKHIR TAHUN

dicabut oleh Gubernur. Perjuangan masih terus berlanjut untuk memastikan


Gubernur patuh terhadap putusan pengadilan. Jika Gubernur sendiri tidak
patuh terhadap putusan pengadilan maka tentu Gubernur tidak cukup memiliki
kapasitas moral untuk memaksa kepatuhan perusahaan-perusahaan tambang.
Putusan ini sangat berarti mengingat sulitnya menemukan putusan-putusan
pengadilan yang berpihak terhadap masyarakat dan sumber daya alam,
khususnya bila berhadapan langsung dengan kepentingan pemodal. Putusan ini
membawa angin segar bagi perjuangan keadilan pengelolaan sumber daya alam
mengingat besarnya tantangan advokasi penataan izin-izin sumber daya alam
terutama di sektor tambang.

KESIMPULAN
Dari kisah-kisah sukses yang diungkapkan para Pengabdi Bantuan Hukum
dari LBH Indonesia tersebut, kemenangan atau kesuksesan penanganan suatu
kasus tak bergantung dari salah satu aspek saja, misalnya kemahiran beracara
atau penguasaan beracara secara litigasi. Seorang PBH dituntut tak hanya
mahir beracara, tetapi juga mampu melakukan pengorganisasian masyarakat,
mengkonsolidasikan jaringan, melakukan lobby, dan kampanye. Pilihan-pilihan
mengenai advokasi dalam kasus-kasus di atas selalu didiskusikan dengan
masyarakat yang didampingi dan dengan melihat konteks atau situasi politik
lokal. Pilihan-pilihan tersebut dapat berupa mengajukan gugatan, penyelesaian
non-litigasi, maupun keberhasilan mengorganisir komunitas. Misalnya
advokasi yang dilakukan LBH Bali yang berhasil melibatkan komunitas adat
dalam perlindungan anak atau pengorganisasian yang dilakukan LBH Makassar
dan Lampung. Advokasi melalui litigasi dapat juga berlangsung sangat lama,
seperti yang dialami LBH Jakarta dalam gugatan hak atas air. Maka, advokasi
memerlukan kreatifitas, tak hanya terpaku pada menunggu putusan pengadilan.

67
YLBHI

BAB III
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI


DAERAH

B
agian ini memaparkan kasus-kasus penting yang ditangani LBH Indonesia
sepanjang tahun 2017 dan posisi terakhir kasus-kasus tersebut.

LBH SEMARANG
Kasus Semen Kendeng
ibu bumi wes maringi...
ibu bumi dilarani...
ibu bumi kang ngadili...
(Lantunan tembang Jawa petani Kendeng)
Tahun 2017 menjadi tahun bersejarah bagi seluruh warga Pegunungan Kendeng.
Gubernur Jawa Tengah berhasil mempertontonkan bagaimana hukum mampu
‘dikoyak’ oleh kepentingan.
Sejak tahun 2006-2007, LBH Semarang bersama petani Pegunungan kendeng
‘bertarung’ melawan Gubernur Jateng dan PT Semen Indonesia hingga saat
ini. Segala upaya telah masyarakat lakukan untuk memperjuangkan kelestarian
lingkungan hidup. Dari upaya litigasi (melalui jalur peradilan) hingga aksi
mengecor kaki di depan istana presiden yang merupakan bagian dari upaya
non-litigasi.
Ratusan petani Kendeng telah melakukan perjalanan panjang (long march)
sejauh 144 km untuk ‘menjemput keadilan’ atas kemenangan Gugatan Tata
Usaha Negara [Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016] atas izin
lingkungan PT Semen Indonesia pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) di
Mahkamah Agung. Mereka menuju kantor Gubernur Jateng, meminta Gubernur
menindaklanjuti putusan MA.
Namun, senyum warga seketika surut saat Asisten 1 Gubernur Jawa Tengah
menyampaikan bahwa Gubernur Jawa Tengah telah menerbitkan izin lingkungan
baru PT Semen Indonesia, sehingga izin lingkungan PT Semen Indonesia yang
menjadi objek gugatan tak lagi berlaku.
Tak goyah, petani kendeng kembali melakukan aksi ‘nendo’ (membangun tenda
di depan gubernur) hingga Gubernur Jawa Tengah melaksanakan putusan
Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016, mencabut izin lingkungan
PT Semen Indonesia sebagaimana perintah putusan. Bukan ‘ngeyel’ tetapi ini
menjadi bukti, masyarakat kendeng tak main-main dalam memperjuangkan

68
CATATAN AKHIR TAHUN

lingkungan hidup. Petani Kendeng sabar menanti dan terus menuntut Gubernur
Ganjar Pranoto untuk legowo dan berani mematuhi hukum.
Pada 16 Januari 2017, tepat sehari sebelum batas waktu 60 hari bagi Gubernur
untuk melaksanakan putusan MA, Gubernur Jawa Tengah mengundang seluruh
media di Jawa Tengah untuk melakukan konferensi pers. Adapun isi dari
koferensi pers tersebut adalah:
1. Menyatakan batal dan tidak berlaku SK Gubernur Jawa Tengah Nomor
660.1/30 Tahun 2016 yang sebelumnya telah mencabut SK Gubernur Jawa
Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012;
2. Memerintahkan kepada PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk
menyempurnakan dokumen adendum Andal dan RKL-RPL dan Komisi
Penilai AMDAL Provinsi Jawa Tengah untuk melakukan proses penilaian
dokumen adendum Andal dan RKL-RPL yang saat ini sedang berlangsung
untuk memenuhi Putusan Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2016;
3. dengan berlakunya keputusan Gubernur maka:
1. Izin Usaha dan/atau kegiatan berdasarkan izin lingkungan yang telah
batal dinyatakan batal;
2. Usaha dan/atau kegiatan berdasarkan izin lingkungan yang telah
dinyatakan batal ditunda sampai diterbitkannya keputusan Gubernur
yang telah disesuaikan;
3. Usaha dan/atau kegiatan berdasarkan izin usaha dan/atau kegiatan yang
diterbitkan sebagai tindak lanjut izin lingkungan yang telah dinyatakan
batal ditunda sampai diterbitkannya keputusan Gubernur yang telah
disesuaikan;
Padahal, jika melihat lagi apa sebenarnya isi putusan nomor 99 PK/TUN/2016
yang telah dibacakan pada tanggal 5 Oktober 2016 oleh Majelis Hakim, dimana
amar putusannya sebagai berikut:
MENGADILI,
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali: 1. JOKO PRIANTO, 2. SUKIMIN, 3. SUYASIR, 4. RUTONO, 5.
SUJONO, 6. SULIJAN, dan 7. YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP
INDONESIA tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor
135/B/2015/PT.TUN.SBY., tanggal 3 November 2015 yang menguatkan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 064/G/2014/PTUN.SMG,
tanggal 16 April 2015;
MENGADILI KEMBALI,
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;

69
YLBHI

2. Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17


ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan


Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang,
Provinsi Jawa Tengah;
3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur
Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin
Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah;
Tak ada satupun amar putusan yang menyuruh Gubernur Jawa Tengah
untuk memerintahkan PT Semen Indonesia memperbaiki dokumen Amdal
ataupun perintah untuk menyesuaikan (menerbitkan kembali) izin lingkungan
sebagaimana disampaikan dalam konferensi pers. MA memerintahkan untuk
membatalkan keputusan, bukan merevisi ataupun memperbaiki izin lingkungan.
Pada hari yang sama, hampir seluruh media mainstream di Jawa Tengah bahkan
media mainstream nasional seperti jatengmerdeka, tribunnews, merdeka.
com, kbr.id, dan CNN Indonesia memberitakan satu hal yang sama. Judul dari
seluruh berita yang diterbitkan oleh media-media tersebut “Penuhi Putusan MA,
Gubernur Jawa Tengah Cabut Izin Semen”. Judul berita tersebut mengasumsikan
bahwa tak ada masalah dari tindakan Gubernur Jawa Tengah di mata publik.
Sampai cerita ini ditulis, hari ini adalah hari ke-10 ibu-ibu Kendeng yang juga
sedang berkonflik dengan perusahaan semen di Kabupaten Pati melakukan
aksi di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah. Mereka menuntut hal yang sama
dengan petani Kendeng di Kabupaten Rembang, kelestarian lingkungan hidup.
Di tengah aksi mereka, masyarakat Kendeng mendapat surprise dagelan di akhir
tahun; Jawa Tengah menerima penghargaan provinsi peduli HAM dari Presiden
Jokowi. Penghargaan ini diberikan di tengah gejolak dan perjuangan masyarakat
Kendeng melawan perusahaan perusak lingkungan.

Kriminalisasi Joko Prianto


Perjuangan para petani Kendeng juga dibayang-bayangi dengan kriminalisasi
yang menimpa Joko Prianto, petani Rembang yang menolak pembangunan
pabrik semen PT Semen Indonesia. Ia dituduh melakukan pemalsuan tanda
tangan warga penolak semen di Rembang yang dokumennya kemudian
menjadi bukti di PTUN Semarang. Kasus ini sedang dalam proses penyidikan
di kepolisian. Sementara itu YLBHI, LBH Semarang dan para penasehat hukum
yang lain mengajukan pra peradilan.

70
CATATAN AKHIR TAHUN

LBH SURABAYA
Konsolidasi Komunal di Jawa Timur Setelah Terjadinya Praktik Intoleransi
atas Dasar Agama dan Keyakinan di Jawa Timur
Jawa Timur dan Potret HAM
Dalam konteks perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas, Jawa
Timur memiliki catatan yang patut dipertimbangan. Hingga 2015, indeks
demokrasi Jawa timur tegolong rendah hal sama juga didapati pada tahun 2016.6
Di samping didasarkan atas kriteria pelembagaan demokrasi, catatan indeks
demokrasi ini juga mengacu pada beberapa aspek penting dalam pemenuhan
HAM. Bahkan, laporan SETARA Institute 2016 mencatat Jawa Timur sebagai
wilayah pelanggar HAM nomor tiga di bawah Jawa Barat dan DKI Jakarta.7
Ada beberapa catatan yang membuat Jawa Timur termasuk wilayah yang tidak
baik catatan HAM-nya. Pemprov. Jawa Timur termasuk pihak yang paling cepat
membuat larangan terhadap komunitas Ahmadiyah. Melalui SK No 188/94/
KPTS/013/2011, Gubernur Jawa timur melarang aktivitas Jamaah Ahmadiyah
Indonesia di seluruh wilayah Jawa Timur.
Hingga saat ini, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dianggap gagal dalam
melindungi komunitas Syiah Sampang yang menjadi korban kekerasan dan
terusir dari kampung halamannya sejak tahun 2011. Alih-alih memberi
perlindungan, Pemprov Jawa Timur justru mengeluarkan Pergub No. 55 Tahun
2012 tentang Pembinaan dan Pengawawasan Aliran Sesat, di mana dalam pasal
5 ayat 2 dinyatakan bahwa kegiatan keagamaan dikategorikan sebagai aliran
sesat apabila memenuhi kriteria dan pertimbangan dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Dalam konteks Jawa Timur, Pergub ini sangat krusial karena
potensial melahirkan kekerasan terhadap pengikut Syiah sebagaimana yang
terjadi pada warga Syiah Sampang, Madura. MUI Jawa Timur sendiri pada
Januari 2012 telah mengeluarkan fatwah No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012
tentang Kesesatan Ajaran Syiah. Pergub ini telah dijadikan alat oleh beberapa
kelompok tertentu di Jawa Timur untuk menentang kegiatan keagamaan yang
diidentifikasi sebagai Syiah, misalnya, di Pasuruan dan Bondowoso.
Kelompok minoritas lain yang terancam hal-haknya adalah LGBT. Sejak
pembubaran Konferensi Regional International Lesbian and GayAssociation
(ILGA)  di Jawa Timur 2010, komunitas LGBT di Jawa Timur tidak berani
terbuka menunjukkan identitasnya. Bahkan, kantor maupun tempat-tempat
yang selama ini menjadi pertemuan di antara mereka menjadi sangat tertutup
dan tersembunyi. Kecaman, diskriminasi, hingga ancaman fisik adalah cerita
yang sangat mudah didapatkan dari komunitas ini. Bisa dibayangkan betapa
rentannya komunitas ini menjadi korban pelanggaran HAM.

Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2015, Bapennas dan UNDP.


6

Laporan Setara Institute Tahun 2016


7

71
YLBHI

Situasi Kebebasan Beragama dan Berkeyaninan (KBB) di Jawa Timur


ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

Berdasarkan data pengaduan kasus KBB yang diterima Komnas HAM pada
2016 sepanjang 2016 ada 97 pengaduan yang masuk. Ada peningkatan
pengaduan dibanding tahun 2015 sebanyak 87 pengaduan. Peningkatan angka
ini dapat menjadi indikator: (a) Ada peningkatan jumlah pelanggaran HAM atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan dan/atau (b) Meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus pelanggaran kepada Komnas HAM.8
Pelanggaran KBB di Jawa Timur dapat dilihat dari beberapa peristiwa berikut:
Pertama, munculnya regulasi yang diskriminatif berupa SK Gubernur No.
188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah Jawa Timur,
Pergub No. 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan
Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Kedua, konflik horisontal Sunni
dan Syiah di Sampang Madura yang berakibat terusirnya pengikut Syiah ke
pengungsian.
Terjadinya pelanggaran KBB ini menurut Dr. Ahmad Zainul Hamdi disebabkan
oleh pengingkaran kebhinnekaan yang meliputi dua hal, yaitu: logika
fungsionalisme struktural (kelompok berbeda sebagai penyakit dan musuh)
dan politik manipulatif ruang publik (dari identitas daerah misal daerah santri,
daerah sajadah, daerah tasbih sampai dengan peraturan daerah).
Implikasi nyata dengan adanya praktik pelanggaran KBB ini adalah terciptanya
konflik komunal sebagaimana yang terjadi Sampang Madura dalam kasus
konflik Sunni dan Syiah. Konflik Sampang Jawa Timur ini, telah menjadi konflik
terbuka. Kasus ini berdampak pada terusirnya kelompok minoritas Syiah
dari tempat tinggalnya, Desa Karangganyam, Kecamatan Omben, Kabupaten
Sampang. Kasus tersebut bukanlah kasus tiba-tiba. Praktik kekerasan yang
dialami oleh komunitas Syiah di Sampang telah terjadi sejak tahun 1980. Terjadi
rentetan kekerasan yang berlangsung lama hingga memuncak pada penyerangan
di bulan Agustus 2012, yang memakan korban jiwa dan harta benda9.

Lankah-langkah Penting Pasca Terjadinya Praktik Intoleransi Atas Dasar


Agama dan Keyakinan di Jawa Timur
Beberapa langkah dan strategi harus dilakukan secara bersama-sama semua
pihak untuk menciptakan jalan keluar yang mengedepan terpenuhinya
dan terjaminnya HAM para korban. Strategi tersebut dimaksudkan agar
tercapainya keadilan transisi10. Langkah-langkah tersebut meliputi aspek
upaya pengungkapan kebenaran dan penggunaan instrumen negara untuk
8
Ahmad Zainul Hamdi, Makalah, Diskusi Berkala HAM dengan Komunitas Perempuan, Agama/keyakinan dan Etnis
serta Inklusi Sosial Lainnya, LBH Surabaya, 26 April 2017.
9
Kutipan presentasi Dr. Zainal Abidin Bagir dalam Diskusi Publik CRCS memperingati Hari Perdamaian Internasional
(HPI) dan HTKI, Oktober 2012.
10

72
CATATAN AKHIR TAHUN

penanggulangan konflik sosial yang terjadi karena adanya pelanggaran KBB di


Jawa Timur.

Pengungkapan kebenaran
Terjadinya konflik terbuka atas nama agama dan keyakinan di Jawa Timur yang
berakibat terjadinya pelanggaran HAM membutuhkan upaya penungkapan
kebenaran. Inisiatif pengungkapan kebenaran ini dibutuhkan membuka jalan
keluar dan sebagai upaya refleksi di kemudian hari.
Pengungkapan kebenaran diperuntukan untuk mengetahui penyebab dan motif
terjadi konflik atas nama agama, kapan dan dimana terjadi, siapa sebagai pelaku,
siapa yang menjadi korban, dan dimana posisi negara c.q pemerintah dalam
kasus tersebut aktif melakukan pelanggaran atau sengaja melakukan pembiaran.
Pengungkapan kebenaran ini menjadi penting dalam upaya pemulihan pasca
konflik yang terjadi. Misal dalam kasus konflik Syiah Sampang sampai dengan
saat ini belum ada pengungkapan kebenaran atas motif. Motif terjadinya
konflik masih ambigu beberapa data lapangan menunjukan ada beberapa alasan
kenapa konflik Syiah Sampang Terjadi, misalnya dalam konflik Sampang ini,
beberapa analisis yang menjelaskan akar-akar konflik. Pertama, disebabkan
adanya pernyataan-pernyataan tokoh agama yang menyebabkan intoleransi dan
kebencian ini, merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang,
yang diperkuat oleh MUI Jawa Timur yang menyebutkan bahwa ajaran Syiah
adalah sesat.11 Kedua, sebagian orang berpendangan bahwa konflik Sampang
terjadi karena adanya persaiangan internal keluarga yang berbeda faham, Rois
(Sunni) dan Tajul Muluk (Syiah). Pengungkapan kebenaran ini diperlu dilakukan
sebagai upaya preventif agar tidak terjadi double burden (beban ganda) yang
dialami oleh korban.

Proses peradilan yang independen dan tidak memihak


Setelah terjadinya konflik atas nama agama dan keyakinan yang mengakibatkan
timbulnya korban dan pelanggaran HAM diperlukan proses peradilan yang
independen dan tidak memihak. Proses peradilan ini diperuntukan untuk
menghadirkan kebenaran berdasarkan obyektifitas peradilan yang dilakukan
oleh hakim. Proses peradilan ini dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran main
hakim sendiri.
Satu hal penting dan harus dikedepankana dalam proses peradilan ini adalah
menghadirkan peradilan yang benar-benar independen dan tidak memihak,
harus imparsial.
Tempo.com, “forum umat : Fatwa Sesat Syiah oleh MUI tidak sah” 31 Agustus 2012 http://www.tempo.co/read/
11

news/2012/08/31/078426687/Fotum-Umat-Fatwa-Sesat-Syiah-oleh-MUI-Tidak-Sah.

73
YLBHI

Pengarusutamaan kedasaran kolektif pentingnya keberagaman


ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

Salah satu penyebab terjadinya konflik atas nama agama dan keyakinan di Jawa
Timur adalah tingkat kesadasaran masyarakat yang rendah dalam memandang
pentingnya keberagama dan dominasinya patron client. Oleh sebab itu upaya
pengarusutamaan kedasaran kolektif akan pentingnya keberagama menjadi
penting untuk dilakukan pasca terjadinya konflik.

Upaya harmanisasi regulasi dan kebijakan hukum


Beberapa konflik atas nama agama dan keyakinan disebabkan di Jawa Timur
terjadi disebabkan adanya regulasi dan kebijakan hukum yang diskriminatif
misalnya pertama munculnya regulasi yang diskriminatif berupa SK Gubernur
No. 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah Jawa
Timur, Pergub No. 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan
dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur, kedua peristiwa konflik horizontal
sunni dan Syiah di Sampang Madura yang berakibat terusirnya pengikut Syiah
ke pengungsian.
Regulasi dan kebijakan hukum tersebut bertentangan dengan UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Kovenan sipil Politik dan UUD 1945. Sehingga pasca konflik perlu dilakukan
harmonisasi regulasi dan kebijakan hukum di level daerah dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya.

Penggunaan kebijakan penanggulangan konflik sosial


Berdasarkan realita penanganan konflik atas nama agama dan keyakinan di Jawa
Timur masih terfokus pada jalur hukum litigasi semata. Padahal, jika merujuk
pada UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Konflik Sosial, dijelaskan
bahwa upaya yang penting untuk dilakukan adalah berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan, baik dalam tahap rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekontruksi.
Berkaitan dengan upaya pasca konflik, pemerintah tidak melakukan langkah-
langkah seperti yang telah ditentukan dalam UU No. 7 Tahun 2012 tentang
Penyelesaian Konflik Sosial yaitu, yaitu rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Oleh sebab itu konsolidasi komunal yang melibatkan semua pihak menjadi
penting sebagai upaya pemulihan pasca konflik dengan mengedepankan nilai-
nilai kearifan lokal yang selama ini menjadi harta yang sangat berharga bagi
masyarakat.

74
CATATAN AKHIR TAHUN

LBH BANDUNG
Buku Nikah dan Diskriminasi Terhadap Warga JAI di Purwakarta
“Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk
memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945“
Paska sosialisasi Pergub Jawa Barat 2008 tentang pelarangan aktifitas Jemaat
Ahmadiyah yang dilakukan Kepala Desa, Muspika, dan KUA pada 2008,
muncul peraturan pernikahan di wilayah Manis yang khusus berlaku untuk
jemaat Ahmadiyah; calon mempelai harus menandatangani surat pernyataan
keluar dari Ahmadiyah.
Pada Juli 2017, seorang jemaat yang sedang mengurus pernikahan hendak
mengakses surat keterangan tempat tinggal yang dikeluarkan oleh kepala desa.
Tetapi, keterangan domisili tersebut justru digunakan Kepala Desa untuk
mengidentifikasi keberadaan para jemaat Ahmadiyah, sehingga Kepala Desa
berkordinasi terlebih dahulu kepada KUA. Segala persyaratan telah dipenuhi
termasuk membayar uang administrasi sebesar Rp 600.000,00. Namun pada 11
Juli 2017, KUA menangguhkan persyaratan selama dua minggu dengan alasan
akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama terlebih dahulu.
Paska penahanan tersebut, KUA mensyaratkan agar jemaat Ahmadiyah
menandatangani surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah. KUA kemudian
mengembalikan formulir beserta persyaratan kepada jemaat yang ingin
menikah, sedangkan uang administrasi tidak dikembalikan.
Pada 18 Juli 2017, Kepala Desa memfasilitasi jemaat untuk bermusyawarah
bersama MUI. KUA menyatakan bahwa hasil rekomendasi dari warga akan
diserahkan kepada Kemenag Kabupaten Purwakarta. Hasilnya, warga harus
menunggu sekitar dua minggu untuk mendapat keputusannya.
LBH Bandung kemudian menindaklanjuti laporan warga dengan beraudiensi
dengan KUA pada 11 Agustus 2017. Namun, Kepala KUA saat itu tak dapat
ditemui sehingga LBH Bandung melakukan komunikasi lebih lanjut melalui
telepon. Hasilnya, pada 14 Agustus jemaat dapat memperoleh buku nikah.
Pelayanan publik merupakan kewajiban negara yang didasarkan pada prinsip
non-diskirimnasi. Upaya KUA menghambat jemaat Ahmadiyah dalam
mendapatkan hak dasarnya merupakan pelanggaran terhadap UU Pelayanan
Publik dan hak asasi manusia.

75
YLBHI

LBH PEKANBARU
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Talang Mamak atas Sumber Daya Alam
di Indragiri Hulu
“Lebih baik mati anak daripada mati adat”. Pepatah kuno Masyarakat Hukum
Adat Talang Mamak ini menggambarkan kondisi MHA Talang Mamak yang
terus berjuang untuk mempertahankan tradisi leluhur agar tak lekang oleh
perubahan zaman. Menurut para Antropolog, MHA Talang Mamak tergolong
sebagai proto-melayu atau Melayu Tua. Golongan ini diartikan sebagai komunitas
yang mempunyai kebudayaan tertua di peradaban Pulau Sumatera atau Melayu.
Orang Talang Mamak sebagai satu kesatuan baik yang diikat dengan sejarah
atau pun struktur adat terdiri atas 29 suku sebagai komunitas adat.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Talang Mamak merupakan suku asli Indragiri
yang pertama dan berhak atas sumber daya di Indragiri Hulu hingga kini belum
diakui keberadaannya oleh negara baik melalui Surat Keputusan Kepala Daerah
ataupun Peraturan Daerah. Padahal sudah ada mekanisme yang dibuat oleh
Menteri Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52/2014
tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
MHA Talang Mamak sebagian besar hidup dan berkembang di Indragiri Hulu
Provinsi Riau dan sebagian kecil berada di Provinsi Jambi. Sebagai masyarakat
suku asli Indragiri dan suku pertama dan berhak atas sumber daya di Indragiri,
tak lantas membuat MHA Talang Mamak dapat mengelola lahan dan hutan yang
berada di wilayah mereka. MHA Talang Mamak yang berlokasi dan berdomisili
yang tersebar di kecamatan Batang Gangsal, Cenaku, Kelayang, dan Siberida
harus menghadap kenyataan pahit; lahan dan hutan mereka bukan lagi milik
mereka. Tak adanya pengakuan atas hak ulayat mereka menyebabkan MHA
Talang Mamak tidak bisa bertindak.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Indragiri
Hulu menyampaikan hingga Februari 2017 terdapat 30 (tiga puluh) Izin Usaha
Perkebunan yang ada di Indragiri Hulu yang juga tersebar di seluruh desa MHA
Talang Mamak yakni di Teluk Jerinjing, Pejangki, Kelesa, Pangkalan Kasai,
Batang Cenaku, dan Sungai Parit yang berada di Kecamatan Siberida, Sungai
Lala, Batang Cenaku, dan Rengat Barat. Namun data BPN menyebutkan di
Kabupaten Indragiri Hulu hanya ada 20 Hak Guna Usaha Perkebunan seluas
66.114,9679 hektar. Tentu hal ini adalah usaha yang tercatat dan terdaftar,
belum termasuk usaha yang tidak tercatat dan terdaftar yang akan menimbulkan
konflik, seiring dengan tidak diakui dan dihormatinya MHA Talang Mamak di
wilayah mereka sendiri.
Sementara itu, terdapat 17 perusahaan yang mendapatkan Izin Usaha
Pertambangan di Kabupaten Inhu, yang terbagi menjadi 3 jenis tambang yakni
batu bara, pasir, dan andesit. Total terdapat 107.122,95 hektar lahan yang

76
CATATAN AKHIR TAHUN

digunakan sebagai eksplorasi dan operasi produksi.


Berangkat dari konflik tersebut, LBH Pekanbaru bersama Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara Kabupaten Indragiri Hulu serta MHA Talang Mamak mencoba
melakukan advokasi agar hak-hak MHA Talang Mamak diakui dan dihormati
hak-haknya. LBH Pekanbaru menyusun sebuah kebijakan ringkas (policy brief)
yang intinya adalah merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Indragiri
Hulu untuk mengakui MHA Talang Mamak dalam sebuah Peraturan Daerah.
Selasa, 22 Agustus 2017 LBH Pekanbaru bersama AMAN Indragiri Hulu serta
MHA Talang Mamak menyerahkan Policy Brief kepada Pemerintah Kabupaten
Indragiri Hulu yang dalam hal ini diwakili oleh Kepala Bagian Pertanahan
Kabupaten Indragiri Hulu, Raja Fahrurazi. Melalui Kabag Pertanahan tersebut,
Pemkab Indragiri Hulu mendukung pengakuan MHA Talang Mamak.
Menindaklanjutinya, LBH Pekanbaru kemudian menyusun Naskah Akademik
Peraturan Daerah tentang Pengakuan Masyarakat Adat Talang Mamak.
Meskipun Riau telah memiliki Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun
2015 tentang Tanah Ulayat, tetapi Perda tersebut masih belum mampu menjawab
permasalahan masyarakat adat yang ada di Riau, khususnya di Indragiri Hulu.

LBH PEKANBARU
Kasus Pelanggaran Perizinan PT Runggu Prima Jaya
PT Runggu Prima Jaya (PT. RPJ) adalah salah satu perusahaan perkebunan
kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau yang beroperasi sejak 2008.
Tetapi, hingga saat ini PT. RPJ tak memiliki dokumen perizinan apapun.
Berdasarkan surat pemberitahuan tertulis Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) Utama Nomor 18/SPT/PPID/VIII/2017 menjelaskan
bahwa berdasarkan surat dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Kabupaten Indragiri Hulu, Nomor 174/DPMPTSP/VII/2017 tanggal
28 Juli 2017, izin usaha PT. RJP tersebut tidak ada pada Dinas Penanaman
Modal Pelayanan Terpadu satu Pintu Kabupaten Indragiri Hulu. Demikian pula
AMDAL PT. RPJ tak dapat diberikan karena tidak tersedia di Dinas Lingkungan
Hidup dikarenakan PT. RPJ tidak mengurus AMDAL.
Selain itu, berdasarkan surat balasan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan
Perkebunan Provinsi Riau Nomor 073/DISTPHBUN-B.BUN/001.07 pada 21
Juli 2017, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau
menyampaikan bahwa PT. RPJ yang berada di kabupaten Indragiri Hulu tidak
terdaftar di Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau.
Awalnya, PT. Mulia Argo Lestari (PT MAL) Pada Tahun 2011 mengajukan
permohonan izin lokasi untuk digunakan sebagai perkebunan sawit kepada
Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu, namun Bupati Indragiri menolaknya.

77
YLBHI

Penolakan ini dituangkan dalam Surat Penolakan Surat Nomor: 169/ 1011.
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

PEM/100/2011, tertanggal 19 Oktober 2011 tentang Penolakan Kegiatan PT


MAL, karena kawasan yang diajukan oleh PT. MAL tersebut berada dalam
Kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh.
Lokasi yang dimohonkan PT MAL kini digunakan oleh PT RPJ. Selain itu,
Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hulu telah melaporkan kepada Dirjen
Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor; 522/PP-X/2015/334 tentang Perambahan di
Kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh.
Pengurus PT Runggu Prima Jaya diduga terlibat dalam kepemilikan lahan/
kebun sawit tersebut melalui jual beli lahan dengan oknum warga berdasarkan
data Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) yang diterbitkan oleh Sdr. Amri RF
oknum mantan Kepala Desa Pauh Ranap, Kecamatan Rakit Kulim. Dari 49
dokumen SKGR terdapat beberapa surat atas nama Sdri. Jenifer Chetsy selaku
Direktur PT Runggu Prima Jaya, Sdr. Davit Pakpahan dan Sdr. Hendri Pakpahan
selaku Komisaris.
Karena adanya aktivitas illegal tersebut, LBH Pekanbaru melaporkan PT RPJ
ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI di Jakarta pada tanggal
24 November 2017. Sebelumnya LBH Pekanbaru telah melaporkan PT RPJ ke
Direktorat Kriminal Khusus Polda Riau pada tanggal 29 September 2017. Pada
27 November 2017, PT RPJ telah dimintai keterangan oleh Polda Riau terkait
laporan LBH Pekanbaru.

LBH BANDA ACEH


Perlindungan Terhadap Nelayan Tradisional
Pada 23 Maret 2017, kapal KM Iqtibal 5 GT dari Meulaboh Kabupaten Aceh Barat
sedang berlayar di perairan Kuala Tuha Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten
Nagan Raya untuk menangkap ikan di sekitar perairan Kuala Tuha. Tiba-tiba,
kapal ini dihadang tim Patroli Polisi Air dan Udara (Polairud) Kepolisian Resor
Aceh Barat. Tim ini lalu memeriksa surat-surat dan alat tangkap ikan. Setelah
pemeriksaan, tim menyatakan Anak Buah Kapal bersalah karena mengunakan
pukat Trawl.
KM Iqtibal kemudin digiring menuju Teluk Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat,
yakni di Padang Seurahet, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat,
lalu diarahkan ke Sungai Rundeng. Ketika menepi di Sungai Rundeng, pihak
Polair mengatakan kapal mereka akan dibawa ke Sungai Meurebo untuk
dijadikan barang bukti, tetapi karena air pasang dan tak bisa melintas jembatan,
kapal dibawa ke Ujong Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat.

78
CATATAN AKHIR TAHUN

Pada 25 Maret 2017, penyidik Polairud Aceh Barat melakukan pemeriksaan


terhadap kapal KM Iqtibal dan kemudian terhadap enam tersangka yang
semuanya Anak Buah Kapal.
Kemudian ke-6 nelayan tersebut diminta oleh Polair Aceh Barat untuk berangkat
ke Banda Aceh pada malam harinya tanggal 27 Maret 2017 dengan dalih untuk
diselesaikan, karena di Aceh Barat tidak ada penyidik. Akhirnya, mereka
berangkat menuju Polair Polda Aceh yang terletak di Lampulo Banda Aceh.
Mereka sampai pukul 01.00 WIB malam hari dan akhirnya ditahan lebih kurang
sebulan lamanya. Baru kemudian perkara di limpahkan ke Kejaksaan Negeri
Aceh Barat, dan ditahan sejak 25 April 2017 dan akhirnya diadili pada Pengadilan
Negeri Meulaboh. LBH Aceh mendampingi seluruh proses pemeriksaannya.

Dakwaan JPU
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum menyebutkan terdakwa melakukan tindak
pidana yang diatur dalam Pasal 85 Undang-undang RI Nomor 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang
Perikanan yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau
menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

Aparat kepolisian sama sekali tidak mempertimbangkan surat edaran menteri


kelautan dan perikanan Nomor : B.1/SJ/PL.610/I/2017 dalam melakukan upaya
penegakan hukum terhadap Terdakwa. Padahal, mestinya ada beberapa upaya
preventif seperti pembinaan/penertiban yang termuat dalam Surat Edaran
tersebut, yakni:
1. Membentuk kelompok kerja penanganan penggantian alat penangkapan
ikan yang melibatkan kementerian/lembaga terkait;
2. Memfasilitasi akses pendanaan dan pembiyaan melalui perbankan dan
lembaga keuangan non bank;
3. Merelokasi daerah penangakapan ikan;
4. Mempercepat proses perizinan API pengganti yang diizinkan;
5. Memfasilitasi pelatihan penggunaan API pengganti; dan
6. Tidak menerbitkan SIPI baru untuk API yang dilarang.

79
YLBHI

Amar Putusan
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

Dalam perkara ini hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh memvonis seluruh
terdakwa dengan hukuman 2 bulan penjara.

LBH JAKARTA
JAKARTA KRITIS (Gerakan Partisipasi Masyarakat Jakarta untuk Jakarta
yang Lebih Baik)
Yang terjadi di Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2017 benar-
benar memanaskan suhu politik nasional. Sejak pidato Basuki Tjahaja Purnama
di Pulau Pramuka tentang Surat Al-Maidah pada 15 Oktober 2016 lalu, berbagai
berita palsu maupun hasutan-hasutan muncul dan menyebar dengan mudah
melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Basuki dihantam dengan
sentimen anti Tionghoa, dituduh Partai Komunis Indonesia (PKI), dan tentu
saja penistaan agama. Anies Baswedan dihujani tuduhan Syiah. Sedangkan
calon yang sudah tersingkir, Agus Yudhoyono diserang dengan tuduhan berada
di balik aksi “Bela Islam”.
Polarisasi Hak Asasi Manusia (HAM), hak sipil  vis-à-vis  hak ekosob dalam
perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017 terjadi. HAM yang seharusnya dipandang
sebagai satu kesatuan yang utuh menjadi terpisah. Nilai-nilai pada Hak Asasi
Manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan (indivisibility) antara hak sipil dan
hak ekosob, sebab nilai pada Hak Asasi Manusia juga saling bergantung dan
berkaitan satu sama lain (interdependency, interrelated). Pemisahan antara satu
hak dengan hak yang lain dan menganggap bahwa hak yang satu lebih tinggi
dari hak yang lain justru menyebabkan HAM tidak terpenuhi. Oleh karena
pemahaman yang tidak utuh pada nilai HAM tersebut, muncul polemik yang
hingga hari ini tak kunjung surut pada masyarakat di DKI Jakarta. Masalah-
masalah yang kemudian muncul antara lain:

Intoleransi
Permasalahan isu sektarian berbasiskan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan
(SARA) menjadi isu utama yang muncul pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Picu
utama dalam permasalahan ini berawal dari (ethically incorrect ) ucapan Basuki
Tjahja Purnama (pada saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta)
di Kepulauan Seribu. Kemarahan masyarakat DKI Jakarta kemudian tumpah,
terutama dari mereka yang terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan Basuki
Tjahja Purnama selama menjabat. Rata-rata mereka adalah masyarakat yang
kecewa atas penggusuran-penggusuran paksa yang kerap dilakukan Basuki
selama menjabat atau mereka korban dari reklamasi di Teluk Jakarta. Kemarahan
tersebut, lebih parah tidak hanya tertuju pada sosok Basuki Tjahja Purnama saja,

80
CATATAN AKHIR TAHUN

tapi kemudian berimbas kepada mereka para keturunan Tionghoa.


Penggusuran dan Hak atas Perumahan
Sejarah mencatat bahwa masa pemerintahan Basuki Tjahja Purnama menjadi
masa pemerintahan yang paling tinggi dalam hal kasus penggusurannya.
Berdasarkan laporan LBH Jakarta sepanjang tahun 2015, terjadi 113 kasus
penggusuran paksa di DKI Jakarta. Penggusuran paksa tersebut berdampak pada
8.145 Kepala Keluarga (KK) an 6283 unit usaha. Dari keseluruhan penggusuran
tersebut, 84% (97 kasus) dilakukan tanpa melalui prosedur musyawarah dengan
warga. Penggusuran yang dilakukan oleh Basuki Tjahja Purnama tersebut
bahkan menggunakan kekuatan polisi dan kekuatan militer yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Basuki Tjahja Purnama dan Djarot Saiful hanya menawarkan rumah susun
sebagai solusi tunggal dari penggusuran yang mereka lakukan. Namun,
LBH Jakarta kembali menemukan bahwa warga yang direlokasi mengalami
peningkatan kebutuhan hidup sehari-hari dibandingkan ketika mereka belum
digusur. Biaya transportasi, listrik, air adalah sedikit dari beban yang bertambah
bagi mereka warga tergusur dan direlokasi. Bahkan beberapa mereka yang
awalnya memiliki rumah sendiri, setelah direlokasi, mereka harus menyewa
rumah susun tersebut.
Di sisi lain, Anies Baswedan-Sandiaga Uno memanfaatkan celah yang dibuat
oleh lawan politiknya. Dalam berbagai wawancara mereka berjanji tidak akan
melakukan penggusuran. Sebagai gantinya, mereka berjanji akan membuat
konsep peremajaan pemukiman. Namun, dalam satu-dua kesempatan mereka
mengatakan akan tetap melakukan penggusuran dengan cara berkomunikasi
yang lebih baik. Anies-Sandiaga juga menjanjikan warga Jakarta dengan rumah
murah uang muka 0%.

Banjir
Banjir menjadi masalah yang berulang di DKI Jakarta setiap musim penghujan
tiba. Basuki-Djarot selalu menyatakan bahwa penyebab banjir Jakarta adalah
sungai yang menyempit. Mereka kemudian menyatakan bahwa normalisasi
sungai merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Solusi
normalisasi tersebut kemudian juga menjadi dasar dalam beberapa penggusuran
yang mereka lakukan. Warga Kampung Pulo dan Bukit Duri adalah contoh
imbas dari normalisasi sungai yang Basuki dan Djarot terapkan.

Kemacetan
Kemacetan sudah menjadi hal yang lazim di kota Jakarta. Rata-rata kecepatan

81
YLBHI

kendaraan untuk bisa melaju di jalanan Jakarta ialah 20 kilometer per jam dan
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

di jam-jam tertentu kecepatan kendaraan kurang dari 10 kilometer per jam. Hal
ini akan terus bertambah parah mengingat setiap hari ada 6.000 kendaraan baru
di Jakarta sedangkan tingkat perutumbuhan jalan hanya 0,01 persen per tahun.

Reklamasi Teluk Jakarta


Reklamasi teluk Jakarta dilakukan murni untuk memenuhi insting bisnis para
pengembang yang tidak puas dengan lahan yang ada. Kegiatan menimbun laut
di Teluk Jakarta untuk kepentingan bisnis tersebut mengancam keberlangsungan
hidup 17 ribu nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya pada Teluk
Jakarta. Belum lagi, dampak ekologis yang disebabkan oleh proyek reklamasi
juga sangat besar.
Pada pertarungan politik antara Basuki-Dajrot dan Anies-Sandi memunculkan
dua pandangan yang jauh berbeda. Basuki-Djarot tetap pada pendiriannya
untuk menggusur nelayan yang tinggal di pesisir sementara Anies-Sandiaga
tegas menolak proyek ini, namun pernyataan Anies-Sandi semakin terlihat
diplomatis dari hari ke hari.

Hak-Hak Penyandang Disabilitas


Meskipun Jakarta termasuk provinsi yang menjanjikan fasilitas umum terbaik
di seluruh Indonesia, ternyata Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih belum
dapat memberikan fasilitas umum yang dapat memenuhi kebutuhan para
penyandang disabilitas. Hampir seluruh layanan transportasi publik, gedung
instansi pemerintah dan gedung instansi non pemerintah, yang menjadi objek
observasi berada pada pada kriteria “kurang aksesibel” atau “tidak aksesibel”.
Basuki-Djarot pernah menjanjikan akan layanan bus khusus penyandang
disabilitas di RPTRA tiap akhir pekan dan pelebaran trotoar yang ramah
bagi penyandang disabilitas. Sedangkan Anies-Sandiaga menjanjikan untuk
menciptakan DKI Jakarta wilayah yang ramah terhadap disabilitas.

Hak atas Bantuan Hukum


Hak atas bantuan hukum merupakan bagian dari hak atas peradilan yang adil
(fair trial). Namun, pemenuhan atas hak atas bantuan hukum ini bisa dikatakan
ditelantarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Bantuan Hukum tak jelas nasibnya. Apabila
warga Jakarta yang miskin terlibat atau memiliki masalah hukum tidak ada
mekanisme yang disediakan oleh pemerintah provinsi. Tidak ada pula program
bantuan hukum dalam program kerja Basuki-Djarot maupun Anies-Sandiaga.

82
CATATAN AKHIR TAHUN

Kualitas Udara dan Polusi


Kualitas udara Jakarta semakin buruk dari hari ke hari. Konsentrasi polutan di
udara Jakarta mencapai 45 mikrogram per meter kubik. Angka itu tiga kali lebih
tinggi dari batas aman yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia (WHO). Di
Kedoya, Jakarta Barat, angka kualitas udara mencapai 173. Di Warung Buncit,
Jakarta Selatan, angka kualitas udara mencapai 194 ketika subuh. Padahal
ambang batas udara sehat adalah 50-100. Namun tidak ada program dari para
kandidat untuk mengatasi masalah ini.

Kemiskinan dan Ketimpangan


Masih ada banyak penduduk miskin di Jakarta.  BPS menunjukkan bahwa
koefisien gini di Jakarta mencapai 0,41 (dari skala 0-1). Para kandidat menjawab
masalah kemiskinan dengan bantuan modal dan bantuan uang.

Hak atas Air


Air bersih di Jakarta semakin hari semakin langka. Pasokan air yang disediakan
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mampu memenuhi kebutuhan 10
juta orang dan pelaju 3 juta orang dengan total 950 juta meter kubik air untuk
mencukupi kebutuhan harian penduduk, industri dan komersial. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 31 K/Pdt/2017 yang memerintahkan remunisipalisasi
pengelolaan air daerah ke Pemerintah Provinisi DKI Jakarta juga belum ada
tanda-tanda pelaksanaan.

Hak atas Pekerjaan


Kenaikan upah buruh di Jakarta saat Basuki Tjahja Purnama masih menjabat
sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, awalnya memberikan kenaikan Upah
Minimum Provinsi (UMP) yang cukup tinggi untuk menyesuaikannya dengan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Tetapi semenjak Basuki menjadi gubernur,
kenaikannya tidak signifikan dan tidak sesuai dengan KHL. Sedangkan untuk
usaha informal seperti pedagang kaki lima, mereka semakin kesulitan dengan
kebijakan penggusuran pedagang kaki lima di era Basuki-Djarot.

Warga Jakarta yang Kritis


Pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 telah selesai namun pertarungan politik
tersebut masih saja menyisakan luka. Masyarakat Jakarta dituntut untuk berubah
ke arah yang lebih baik. Perubahan ini tentu saja membutuhkan suatu wadah
gerakan sosial yang transformatif.

83
YLBHI

Pada tanggal 21 November 2017 masyarakat sipil dari berbagai elemen


ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

mendeklarasikan Jakarta Kritis. Jakarta Kritis adalah sebuah gerakan yang


menjadi wadah bagi warga Jakarta yang kritis akan kotanya. Jakarta Kritis
Bertujuan menguatkan dan mempersatukan warga untuk mengawal pemenuhan
Hak Asasi Manusia di Jakarta. Hal itu dapat dilakukan dengan mengawal
program-program kerja serta kebijakan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta,
atau dengan mengusulkan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah
DKI Jakarta. Warga yang bergabung dalam Jakarta Kritis, harus berkomitmen
untuk tidak hanya mengawal mengenai hak-hak sipil dan politik dengan bingkai
toleransi dan kebhinekaan, tetapi sekaligus juga mengawal hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya di mana masalah penggusuran dan perampasan ruang
masyarakat miskin menjadi masalah yang menonjol di Jakarta. Selain itu, warga
yang bergabung bukan sebagai tim sukses dari masing-masing kedua pasangan
calon dan bukan juga anggota partai politik. Jakarta Kritis terbuka untuk seluruh
warga Jakarta yang memutuskan tidak memilih dalam Pilkada 2017, maupun
memilih tetapi bukan sebagai simpatisan dari kedua pasangan calon.
Dalam deklarasi Jakarta Kritis tersebut, Direktur Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta, Alghiffari Aqsa, S.H. mengatakan bahwa Jakarta Kritis akan terbuka
bagi siapapun yang ingin mengkritisi kebijakan-kebijakan di Jakarta. Jakarta
Kritis berusaha untuk memecah polarisasi politik yang terjadi hingga saat ini
dan mengimbau warga Jakarta bersatu untuk membangun Jakarta dengan
menggunakan hak mereka atas kota. Dalam membangun Kota Jakarta dan
mengkritisi kebijakan di Jakarta, masyarakat harus melepas segala bentuk
keterkaitan dan ketergantungan terhadap elit-elit politik tertentu. Warga Jakarta
punya daya tawar untuk mengubah sesuatu dan bukan bergantung kepada elit-
elit politik.
Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022 sudah menjanjikan pemerintahan
yang partisipatif. Oleh karena itu masyarakat harus menuntut sebuah partisipasi
yang sejati. Bentuk partisipasi tertinggi bukanlah kolaborasi melainkan
pemberdayaan. Artinya pemerintah mengetahui apa yang diinginkan oleh
masyarakat dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut dengan sumber daya
pemerintah DKI Jakarta. Dalam partipasi ini juga pada akhirnya membuka
akses pengawasan masyarakat sipil terhadap pemerintah.
Gerakan ini mengambil nama Jakarta Kritis dengan harapan warga yang kritis
atas persoalan-persoalan Jakarta, saat terjadi pelanggaran mereka tetap berani
mengkritisi pemerintah siapapun Gubernurnya, bukan berdasarkan rasa
ketidaksukaan melainkan berdasarkan kekritisan atas pemenuhan hak-hak
masyarakat.

84
CATATAN AKHIR TAHUN

LBH JAKARTA
PENYERANGAN KANTOR LBH JAKARTA-YLBHI
Diskusi berjudul “Pembukaan Kebenaran Sejarah 1965/1966” pada awalnya
direncanakan diadakan di gedung YLBHI pada tanggal 16-17 September 2017.
Para peserta kebanyakan adalah korban pelanggaran hak asasi manusia masa
lalu di bawah rezim Orde Baru Soeharto yang sekarang telah lanjut usia. Ada
informasi palsu yang disebarluaskan dengan menggunakan propaganda anti-
komunis yang mengatakan bahwa diskusi tersebut adalah kebangkitan kembali
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Semalam sebelumnya, Jumat 16 September 2017, polisi telah berkoordinasi
dengan panitia dan berjanji untuk mengamankan penyelenggaraan acara dan
menjamin keselamatan semua peserta acara diskusi dan telah mengetahui
mengenai demonstrasi yang direncanakan akan diadakan di depan kantor
YLBHI - LBH Jakarta.
Pada hari Sabtu, 17 September 2017 pagi sekitar pukul 6 pagi, polisi membarikade
kantor LBH Indonesia dan melarang setiap orang memasuki gedung kami. Para
peserta manula bersama dengan para aktivis terpaksa duduk di pinggir jalan
di luar gedung. Mereka tidak mendapatkan akses ke toilet selama beberapa
jam sampai kami beberapa kali meminta kepada Polisi, yang kemudian hanya
mengizinkan per dua orang memasuki gedung untuk mengakses toilet. Para
peserta manula, aktivis dan pengacara serta staf kami hanya mendapatkan akses
ke gedung secara keseluruhan sekitar pukul 12.00 WIB karena meningkatnya
demonstrasi. Ada tekanan kepada panitia untuk membatalkan acara tersebut
dan akhirnya acara dibatalkan.
Kemudian pada sore itu ada rapat koordinasi di kalangan aktivis untuk
menanggapi pembatasan hak atas kebebasan berkumpul dan berdiskusi. Polisi
kemudian masuk secara paksa ke kantor kami dan memerintahkan rapat untuk
dibubarkan, kemudian menyita spanduk acara yang masih terpasang.
Semua aktivis yang hadir memutuskan untuk menyelenggarakan sebuah acara
pertunjukan seni pada keesokan harinya, Minggu, 17 September 2017 untuk
mengumpulkan solidaritas atas pelanggaran hak atas berkumpul secara damai
dan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Acara berlangsung lancar mulai
pukul 15.00 - 21.30 dengan penjagaan polisi di luar gedung.
Sepanjang acara pentas seni, di sekitar area kantor kami terjadi penggalangan
massa untuk melakukan demonstrasi dengan tuduhan palsu bahwa acara tersebut
berisi materi komunisme. Pukul 21.30 WIB jumlah massa yang berkumpul
semakin bertambah. Semua yang berpartisipasi dalam acara seni terpaksa tetap
berada di dalam gedung karena terhalang oleh massa. Sampai pukul 24.00 WIB
Polisi tidak melakukan apapun untuk membubarkan massa.

85
YLBHI

Protes dari massa terus meningkat sampai para pemrotes menuntut untuk
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

memasuki gedung kami, mendorong gerbang dan bahkan melempari batu


ke arah gedung. Baru pada saat itu pasukan Kepolisian kemudian berupaya
membubarkan massa dengan menggunakan meriam air dan gas air mata. Kami
menyayangkan respon yang menggunakan kekerasan ini, yang seharusnya tidak
diperlukan apabila mekanisme peringatan dini dilakukan. Lebih dari 140 orang
yang hadir dalam acara seni terguncang, ketakutan, dan terpaksa menunggu
sampai pukul 05.00 pagi untuk dievakuasi demi keamanan.
Enam orang polisi terluka karena bentrok dengan massa dan terkena lemparan
batu dan harus dibawah ke rumah sakit. Tiga orang masyarakat sipil kambuh
penyakitnya saat penyerangan terjadi karena terguncang. Pagar gedung LBH
Indonesia rusak, dan kaca di lantai dasar gedung banyak yang pecah akibat
lemparan batu. Hingga laporan ini ditulis, Polisi belum menemukan dan
memproses hukum aktor intelektual penyerangan terhadap LBH Indonesia.
Polisi sempat meminta keterangan dari beberapa saksi dan menahan terduga
pelaku namun mereka akhirnya dibebaskan.

LBH MAKASSAR
Penangkapan 4 Petani dalam kawasan hutan di Kab. Sopeng, Provinsi
Sulawesi Selatan
Pada 22 Oktober 2017 sekitar pukul 11.00 WITA telah terjadi penangkapan
paksa terhadap 4 petani di Kabupaten Sopeng, Sulawesi Selatan oleh Polisi
Kehutanan. 4 Petani yang ditangkap paksa tersebut adalah Muhammad Sahidin
bin Kadire, Jamadi alias Jamak bin Kadu, Sukardi bin Massalesse alias Suka
dan Ammase. Penangkapan paksa terjadi karena para petani tersebut disangka
melakukan tindak pidana kehutanan berupa “melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat
berwenang, dan atau melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
secara tidak sah dan atau melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri
di dalam kawasan hutan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Ayat (1) dan
atau Pasal 12 huruf b atau huruf c Jo. Pasal 82 Ayat (1) huruf a dan/atau huruf
b dan/atau huruf c dan Pasal 17 Ayat (2) huruf n Jo. Pasal 92 huruf a Undang –
Undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
Penangkapan terhadap 4 petani tersebut tidak sesuai dengan aturan dan
merupakan perlakuan sewenang-wenang oleh Polisi Kehutanan, karena para
petani tidak mengelola kebunnya untuk kepentingan komersil, melainkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015
menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap

86
CATATAN AKHIR TAHUN

masyarakat yang secara turun - temurun hidup di dalam kawasan hutan dan
tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”.
Tindakan Polisi Kehutanan dalam menetapkan para petani sebagai tersangka
telah melanggar ketentuan Pasal 30 Peraturan Presiden Nomor 88 tahun 2017
tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan “Instansi
pemerintah tidak melakukan pengusiran, penangkapan, penutupan akses
terhadap tanah, dan/atau perbuatan yang dapat mengganggu pelaksanaan
penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.”. Karena saat
terjadi penangkapan 4 petani tersebut Pemerintah Kabupaten Soppeng bersama
Pemerintah Provinsi Sulsel dan bahkan Polisi Kehutanan sendiri sedang
melakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan Laposo
Niniconang dengan membentuk Tim Terpadu untuk meneliti perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan yang selama ini digarap oleh masyarakat dalam
kawasan hutan untuk kemudian dilakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sulsel;
Penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan terhadap
Para petani dilakukan dengan cara – cara yang bertentangan dengan hukum.
Karena para petani yang ditangkap tidak tahu - menahu dalam hal apa mereka
dijemput oleh Polisi Kehutanan, karena mereka tidak memperlihatkan surat
tugas dan tidak disertai surat perintah penangkapan yang mencantumkan
identitas Para Pemohon dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian
singkat perkara yang disangkakan dan tempat mereka diperiksa, perbuatan
mana telah melanggar pasal 18 ayat (1) dan (3) KUHAPidana.
Setelah ditangkap Para Petani selama 3 (tiga) hari sejak tanggal 22 s/d 24 Oktober
2017 disekap oleh Polisi Kehutanan di Markas Sporc Brigade Anoa tanpa status
hukum dan tanpa diketahui oleh keluarga Para Petani.
Kejanggalan yang terjadi terhadap Para Petani yang ditangkap adalah sebagai
berikut:
- Pada tanggal 24 Oktober 2017, Polisi Kehutanan baru mengeluarkan Surat
Perintah Penyidikan atas Para Petani;
- Pada tanggal 25 Oktober 2017, dalam tempo satu hari Polisi Kehutanan
mengeluarkan sekaligus 3 (tiga) surat yaitu :
 Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas Para Petani;
 Surat Perintah Penangkapan terhadap Para Petani;
 Surat Perintah Penahanan terhadap Para Petani.
Penyekapan Para Petani selama 3 (tiga) hari oleh Polisi Kehutanan adalah
bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena Para Petani disekap tanpa
status hukum yang jelas dan tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka.
Para Petani tidak pernah dipanggil secara patut oleh Polisi Kehutanan untuk

87
YLBHI

dilakukan pemeriksaan terkait dugaan tindak pidana yang disangkakan atau


ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

dalam kapasitasnya sebagai calon Tersangka. Akan tetapi, Polisi Kehutanan


langsung melakukan penangkapan terhadap Petani secara sewenang-wenang.
Sehingga tidak dengan seimbang Para Petani dapat melakukan klarifikasi
terhadap apa yang dituduhkan kepada mereka, maka hal ini jelas bertentangan
dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 yang
menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal
17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti
sesuai Pasal 184 KUHAP.
Pada saat ini 3 dari 4 petani yang ditangkap secara paksa tersebut mengajukan
pra-peradilan kepada Pengadilan Negeri Kelas IA Makassar guna menegakkan
kebenaran yang sebenarnya.

LBH SURABAYA
Kriminalisasi Warga Tolak Pertambangan Tumpang Pitu Banyuwangi
Dampak Pertambangan Tumpang Pitu
Di wilayah selatan Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, terdapat bukit bernama
Tumpang Pitu, di bukit ini terdapat perusahaan tambang emas, milik PT.
Merdeka Copper Gold Tbk., yaitu PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT. Damai
Suksesindo (DSI). PT. BSI memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi (IUP OP) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/
KEP/429.011/2012 tanggal 9 Juli 2012, sebagaimana terakhir kali diubah dengan
Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/928/KEP/429.011/2012 tertanggal
7 Desember 2012. Sedangkan PT. DSI memiliki Izin Usaha Pertambangan
Eksplorasi (IUP Eksplorasi) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No.
188/930/KEP/429.011/2012 tanggal 10 Desember 2012, di mana terakhir kali
diubah dengan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/109/KEP/429.011/2014
tanggal 20 Januari 2014.
Lokasi IUP OP PT. BSI seluas 4.998 ha, yang akan berlaku sampai dengan
25 Januari 2030. Sedangkan IUP Eksplorasi DSI seluas 6.623 ha, berlaku
sampai dengan 25 Januari 2016. Izin yang dimiliki oleh PT. BSI dan PT. DSI
ini merupakan hasil rangkaian panjang perizinan yang dikeluarkan kepada
perusahaan tambang sejak tahun 1995. Akan tetapi perusahaan-perusahaan
sebelumnya tidak sampai pada tahap eksplorasi, barulah PT. BSI dan PT. DSI
yang melakukan eksplorasi di bukit Tumpang Pitu, Banyuwangi.
Saat ini, terdapat 2 desa yang berada di kawasan berstatus eksploitasi dan terletak
di ring 1 pertambangan, yakni Desa Pesanggaran dengan jumlah penduduk
terdampak sebanyak 14.450 orang (7.327 laki-laki dan 7.123 perempuan) dan

88
CATATAN AKHIR TAHUN

Desa Sumberagung dengan jumlah penduduk terdampak sebanyak 13.912 orang


(7.038 laki-laki dan 6.874 perempuan). Sementara itu, terdapat 3 desa lain yang
berada dikawasan berstatus eksplorasi, yakni Desa Sarongan, Sumbermulyo,
dan Kandangan yang tentunya juga akan terdampak adanya pertambangan.
Akibat dari beroperasinya perusahaan grup PT. Merdeka Copper Gold Tbk., tak
kurang dari 5 tahun sejumlah kerusakan sosial-ekologis telah hadir nyata dan
mengancam keberlangsungan ruang hidup rakyat Banyuwangi dan sekitarnya.
Selain rusaknya lingkungan, kekerasan dan represi pihak aparat keamanan
terhadap warga meningkat. Lima kali terjadi kriminalisasi terhadap warga
yang berusaha berjuang mempertahankan dan menyelamatkan lingkungannya
dengan cara menolak pertambangan di Tumpang Pitu.

Kasus-Kasus Kriminalisasi Terhadap Warga Tolak Tambang


Beroperasinya kegiatan industri pertambangan di Gunung Tumpang Pitu yang
dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT. Damai Suksesido (PT DSI)
sejak tahun 2012 mempunyai dampak sosial-ekologis dan dampak keselamatan
ruang hidup rakyat di lima desa yaitu Desa Sumberagung, Pesanggaran,
Sumbermulyo, Kandangan, dan Sarongan.
Dampak yang terjadi akibat pertambangan tersebut diantaranya adalah adanya
kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir (2012-2017) telah terjadi sedikitnya lima kali kriminalisasi terhadap
warga karena berusaha berjuang mempertahankan dan menyelamatkan
lingkungannya dengan cara menolak pertambangan di Tumpang Pitu.
Apalagi, sejak ditetapkannya kawasan pertambangan Tumpang Pitu menjadi
Objek Vital Nasional pada tahun 2016 melalui SK Menteri Nomor: 631K/30/
MEM/2016 yang mengakibatkan penjagaan dari aparat keamanan semakin ketat.
Berdasarkan hasil monitoring dan investigasi, terdapat 5 kasus kriminalisasi
terhadap warga yang melakukan penolakan terhadap pertambangan sepanjang
kurun waktu 2015-2017, antara lain :
1. Pertengahan November 2015, satu orang warga dituduh merusak drone
milik perusahaan. Akibat tuduhan ini warga tersebut menjadi tersangka;
2. Akhir November 2015, 8 orang warga dituduh merusak fasilitas perusahaan.
Saat ini kasus tersebut berstatus 4 orang divonis bebas murni, dan 4 warga
lainnya, kasusnya masih berjalan di tingkat kasasi (Mahkamah Agung);
3. Awal April 2017, 22 orang warga dituduh membawa spanduk aksi yang
diduga mirip logo palu arit. Saat ini atas tuduhan tersebut, 4 orang warga
Sumberagung ditetapkan menjadi tersangka, dan salah satu diantaranya
(Heri Budiawan) ditahan dan sedang menjalani persidangan di Pengadilan
Negeri (PN) Banyuwangi. Menurut keterangan warga, kasus ini bermula

89
YLBHI

dari aksi pemasangan spanduk tolak tambang yang dilakukan pada tanggal
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

4 April 2017 (aksi pemasangan spanduk penolakan ini bukan pertama kali
dilakukan, sebelumnya juga sudah pernah dilakukan aksi yang sama). Aksi
pemasangan spanduk penolakan ini dilakukan di sepanjang pantai Pulau
Merah, dusun Pancer, Sumberagung hingga kantor Kecamatan Pesanggaran.
Satu hari pasca aksi (5/4) tersebut, muncul beberapa pernyataan dari
pihak aparat keamanan Banyuwangi (TNI/Polri), bahwa di dalam spanduk
penolakan warga terdapat gambar yang mirip palu arit bersilangan. Atas
kasus ini, warga memberikan pernyataan bahwa tidak satupun spanduk yang
mereka pasang terdapat logo yang dituduhkan pihak aparat keamanan. Warga
menduga tuduhan tersebut hanya bertujuan untuk melemahkan gerakan
penolakan yang sedang mereka lakukan, sekaligus untuk memecah belah
persatuan perjuangan warga menggunakan isu komunisme. Atas peristiwa
ini, 4 orang warga yang ditetapkan sebagai tersangka dikenakan pasal 170a
UURI No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara;
4. Akhir April 2017, satu orang warga dituduh melakukan penghadangan
terhadap pekerja PT. DSI. Atas tuduhan tersebut, 1 orang warga kini
ditetapkan sebagai tersangka;
5. Mei 2017, 1 orang kuasa hukum (pengacara) warga dituduh melakukan
pencemaran nama baik perusahaan. Kasus ini bermula saat pengacara warga
tersebut mengatakan kepada media bahwa aktivitas kegiatan pertambangan
di Tumpang Pitu diduga telah mencemari lingkungan. Atas kasus ini,
pengacara warga tersebut kini ditetapkan menjadi tersangka.

Catatan Proses Peradilan Terhadap Budi Pego (Dari Penyidikan hingga


Persidangan)
Kasus yang menimpa Heri Budiawan alias Budi Pego ini berawal dari aksi
spontan pemasangan spanduk tolak tambang oleh warga Sumberagung pada
tanggal 4 April 2017 di sepanjang Pantai Pulau Merah hingga kantor Kecamatan
Pesanggaran. Satu hari pasca aksi, pada tanggal 5 April 2017, muncul beberapa
pernyataan dari pihak aparat keamanan Negara yaitu TNI dan Polri bahwa
dalam spanduk penolakan warga terdapat gambar mirip palu arit yang
disilangkan. Padahal berdasarkan keterangan warga, tidak ada satupun spanduk
yang terpasang terdapat gambar mirip palu arit. Karena pada saat pembuatan
spanduk, ada dari pihak kepolisian yang mengawal sejak dari proses awal
pembuatan hingga pemasangan dan spanduk yang dibuat oleh warga berjumlah
11 (sebelas) spanduk dan semuanya telah terpasang.
Dalam proses penyidikan ditingkat kepolisian resort Banyuwangi, Budi Pego
tidak dilakukan penahanan, namun pada saat pelimpahan berkas perkara, Senin

90
CATATAN AKHIR TAHUN

tanggal 4 September 2017, dia resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Banyuwangi.
Saat ini Budi Pego telah menjadi Terdakwa dan disidangkan di Pengadilan Negeri
Banyuwangi dengan nomor register perkara 559/Pid.B/2017/PN.Byw. yang
didakwa dengan dakwaan tunggal, yakni melanggar ketentuan Pasal 107 huruf
a Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara terkait dengan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Maxisme-Leninisme.
Beberapa catatan penting terkait dengan proses hukum terhadap Budi Pego
antara lain :
a. Bahwa penyidik Kepolisian Resort Banyuwangi memaksakan kasus ini
karena sesungguhnya pada saat pembuatan spanduk, anggota kepolisian dari
Polsek Pesanggaran melakukan pengawalan sejak awal pembuatan spanduk
hingga pemasangan. Jadi, sesungguhnya penyidik kepolisian tahu kejadian
ini sejak awal;
b. Dalam proses pendampingan pemeriksaan Tersangka Budi Pego di Polres
Banyuwangi, tim pengacara yang tergabung dalam TeKAD GARUDA (Tim
Kerja Advokasi Untuk Daulat Agraria) mendapati pemeriksaan yang sangat
ketat. Tim pengacara yang mendampingi dibatasi hanya dua pengacara
saja, padahal saat itu ada lima pengacara yang hadir untuk mendampingi
pemeriksaan;
c. Barang bukti berupa spanduk yang bergambar mirip palu arit juga tidak bisa
dihadirkan oleh Penyidik Polres Banyuwangi, sehingga barang bukti yang
dihadirkan hanya foto dan video aksi;
d. Dari surat dakwaan yang dirumuskan oleh JPU diketahui bahwa Budi Pego
didakwa telah melanggar ketentuan Pasal 107a karena dianggap diam dan
tidak melarang adanya spanduk bergambar mirip palu arit. Dia seolah-olah
dianggap bertanggung jawab sebagai pimpinan aksi. Padahal, dalam aksi-
aksi protes yang dilakukan oleh warga, tidak ada pimpinan aksi. Aksi-aksi
warga dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi;
e. Pada saat sidang pertama kasus ini yaitu 14 September 2017, tim kuasa
hukum tidak diberikan informasi yang jelas mengenai waktu dimulainya
persidangan. Berdasarkan informasi Panitera Pengganti (Hariyono, SH),
sidang dijadwalkan pada pukul 09.40 WIB. Namun, pada pukul 09.15 WIB
Budi Pego dibawa Jaksa Penuntut Umum masuk ke ruang persidangan yang
di dalamnya sudah lengkap berisi majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum, dan
Panitera Pengganti. Dalam proses tanya jawab awal antara Majelis Hakim
dan Budi Pego selaku Terdakwa, hakim baru mengetahui jika Terdakwa
didampingi kuasa hukum, namun kuasa hukumnya belum hadir di
persidangan, sehingga sidang harus ditunda hingga hari Rabu, 21 September
2017. Padahal, JPU sendiri tahu bahwa Budi Pego telah memiliki Penasihat

91
YLBHI

Hukum dan pada hari tersebut kuasa hukum telah hadir di pengadilan
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

namun persidangan dimulai tanpa kehadiran kuasa hukum.


Kasus ini sedang dalam proses persidangan di PN Banyuwangi.

LBH BALI
Isu Sumber Daya Alam
Pembangunan PLTU Tahap I Celukan Bawang
Di Bali PLTU Celukanbawang dibangun di atas tanah Dusun/Banjar Dinas
Pungkukan Desa Celukan Bawang Kabupaten Buleleng, luas Dusun Pungkukan
sekitar 70 Ha. Awalnya pembangunan PLTU terdiri dari 3 Fase dengan total
kapasitas produksi 780 MW. Namun dalam perkembangannya pemrakarsa
merevisi kapasitas produksi yaitu Fase I terdiri dari 2x125 MW dan 1x130 MW
sehingga total kapasitasnya menjadi 380 MW. Kemudian Fase II terdiri dari
2x300 MW sehingga total kapasitas keseluruhan adalah 980 MW. Bahan Bakar
PLTU Celukan Bawang menggunakan Batu Bara dengan investor Cina Huandian
Engineering Cooperation (CHEC). Pemrakarsa/perusahaan pengembang PLTU
Celukan Bawang tahap I adalah PT General Energy Bali (GEB) dan Pemrakarsa
tahap II adalah PT PLTU Celukan Bawang.
Tahun 2013, Keputusan Gubernur Bali, nomor 626/04-B/HK/2013 tentang Izin
Lingkungan rencana PLTU Celukan Bawang.
Di Desa Celukan Bawang terdapat lima kelompok nelayan yang tersebar di
3 Dusun yaitu Dusun Pungkukan, Dusun Berombong dan Dusun Celukan
Bawang. Sebelum adanya PLTU perairan Celukan Bawang merupakan tempat
berkumpulnya ikan karena dasar lautnya celuk (cekung) ke bawah. Ikan teri
banyak terdapat di perairan Celukan Bawang, dalam satu malam Nelayan bisa
mendapatkan sekitar 3 ton ikan. Jarak nelayan mencari ikan di pinggir perairan
Celukan Bawang sekitar 15-30 menit. Namun sejak adanya PLTU, ikan sudah
mulai berkurang diperairan Celukan Bawang sehingga para Nelayan harus
mencari ikan jauh ke tengah laut sekitar 5 jam, dan menghabiskan Bahan Bakar
Minyak (BBM) lebih banyak.
Tahun 2017, salah satu nelayan yaitu Bapak GD menyampaikan bahwa biaya
pengeluaran nelayan saat ini lebih besar dari pada pendapatannya karena dia
pernah merasakan hal tersebut. Ia harus memberli BBM Rp 200.000,00 untuk
perjalanan sejauh hampir ke perairan pulau Kangean Madura. Bapak GD hanya
mendapatkan ikan 5 kg sedangkan harga jual ikan Rp 25.000/kg, maka Bapak GD
hanya mendapatkan 125 ribu. Dari hasil nelayan Bapak GD tidak mendapatkan
keuntungan melainkan mengalami kerugian modal sekitar 75 ribu.
Beberapa penyebab susahnya nelayan mencari ikan di perairan Celukan Bawang,
karena adanya aktivitas konstruksi dan beroperasi PLTU seperti adanya getaran

92
CATATAN AKHIR TAHUN

keras saat kontruksi, pengerukan laut untuk pelabuhan PLTU, adanya cahaya
lampu PLTU yang terang pada malam hari, adanya pembuangan air panas ke
laut melalui pipa bawah tanah, dan masih banyak penyebab lainnya. Saat ini tak
sedikit nelayan di Celukan Bawang beralih kerja menjadi buruh serabutan dan
mencari penghasilan ekonomi lainnya.
Selain dampak di perairan laut, dampak di darat juga dirasakan warga. Salah
satu warga yaitu nenek KRM yang tempat tinggalnya masih berada di dalam
lahan pembangunan PLTU menyampaikan bahwa sebelum ada PLTU hasil
kebun pohon kelapa beliau bisa mencapai 900-1.000 buah kelapa dalam sekali
panen, namun setelah ada PLTU hasil kebun pohon kelapa turun 200-100 buah
kelapa dalam sekali panen.
Kemudian dampak kesehatan seperti gangguan Infeksi Saluran Pernapasan
(ISPA), gangguan ISPA paling rentan dialami oleh anak-anak dan lansia. ISPA
terhadap anak yaitu MY rumahnya dekat dengan pembangunan PLTU. MY
mengalami sakit saat ada debu dari kegiatan kontruksi PLTU Celukan Bawang.
Pada tahun 2013 dan 2014 MY harus dirawat ke dokter spesialis anak. Paru-
paru MY dirontgen dan dokter menyatakan MY sakit radang paru-paru. Selama
MY sakit, orang tua MY membayar biaya pengobatan dan pemeriksaan dari
kantongnya sendiri.
Dari berbagai dampak persoalan warga yang ditimbulkan karena adanya PLTU
Celukan Bawang berbahan batubara, maka warga bersama YLBHI-LBH Bali
melakukan diskusi dan kajian tentang dampak lingkungan PLTU batubara
terhadap warga.

Kriminalisasi Aktivis Bali Tolak Reklamasi


Gerakan Bali Tolak Reklamasi (BTR) adalah salah satu gerakan terbesar
masyarakat Bali saat ini karena melibatkan banyak komponen dari lapisan
masyarakat dan tokoh masyarakat adat di situ. Setiap perlawanan masyarakat
terhadap pengusaha dan pemerintah acapkali dibarengi dengan upaya
pelemahan masyarakat. Upaya pelemahan yang sering menghantui tokoh
gerakannya adalah kriminalisasi. Jawaban klasik dari polisi untuk menyangkal
tuduhan dari masyarakat adalah dengan berdalih bahwa istilah “kriminalisasi”
tidak ada dalam KUHP, jadi tuduhan masyarakat terhadap polisi itu tidak benar.
Kriminalisasi terjadi pada dua orang aktivis gerakan Bali Tolak Reklamasi
(BTR), ditangkapnya I Gusti Putu Dharmawijaya alias Gung Omlet dan I Made
Jhoni alias De Jhon pada 7 September 2016 malam tanpa diawali surat perintah
penangkapan. Kedua aktivis dari Desa Mekar Sari Indramayu tersebut dituduh
menghina bendera.
Sangkaan yang digunakan polisi kepada aktifis BTR tersebut terlalu mengada

93
YLBHI

ngada dan dipaksakan. Ketentuan pidana Pasal 66 UU 24 tahun 2009 terkait


ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

pidana Penghinaan Bendera Negara sudah jelas unsurnya, yakni:


1. setiap orang (artinya selama sebagai subyek hukum dan manusia maka unsur
ini masuk);
2. merusak, merobek menginjak injak, membakar (faktanya, tak ada satu pun
dari unsur ini yang terpenuhi);
3. Dengan maksud menodai menghina atau merendahkan kehormatan
Bendera Negara (di sinilah perdebatannya);
4. Dipidana pidana penjara paling lama lima tahun atau denda Rp 500 juta.
Pemaknaan melakukan kegiatan lain dalam unsur pasal itu harus dibaca
satu tarikan makna dengan kalimat di depannya, yaitu merusak, merobek,
menginjak injak, membakar. Ia harus sinonim atau perbuatan yang sejenis. Sifat
inti dari perbuatan yg dipidana itu adalah membuat rusak bendera. Padahal
yang dilakukan oleh kedua aktifis tersebut adalah bendera itu diturunkan dan
kemudian dinaikan kembali dengan bendera For Bali berada di bawahnya.
Menurut LBH Bali sebagai anggota tim hukum, hal ini justru merupakan
bentuk penghormatan terhadap bendera merah putih karena tetap berada di
atas bendera For Bali.
Tim hukum melakukan pendampingan yang melibatkan partisipasi masyarakat
dan beberapa tokoh masyarakat adat (Bendesa Desa Pakraman) untuk menjamin
kedua tersangka. Setiap pemeriksaan di kepolisian selalu disertai long march oleh
masyarakat. Akhirnya, Polda Bali menangguhkan penahanan kedua aktifis BTR
tersebut. Meski ditangguhkan, kasus tetap diproses kepolisian. Saat ini posisi
kasus masih bolak-balik dari kepolisian-kejaksaan.

Isu Marginal & Kelompok Rentan


Kasus Kematian Anak akibat Tersetrum Air Minum Otomatis
RR (13) Siswa kelas VIII SMP yang beralamat di Denpasar itu meninggal dunia
sekitar pukul 16.50 Wita pada Kamis (15/4/2017) akibat tersetrum saat minum
air minum PDAM di Lapangan Puputan Denpasar seusai main bola bersama
teman-temannya. RR kesetrum dan terjatuh di lantai tempat air minum.
Korban sempat dilarikan ke RSAD namun nyawanya tak tertolong, baju korban
tersangkut di besi saluran air. Atas kejadian ini pihak kepolisian langsung
melakukan pemeriksaan ke pihak-pihak terkait fasilitas umum tersebut. Setelah
dicek, alat tersebut (mesin air) mengeluarkan arus listrik karena rusak. Kabag
Humas dan Protokol Setda Kota Denpasar, IB Rahoela, menyatakan kejadian
itu murni kecelakaan dan berharap hal itu tidak terjadi lagi. Sebelum kejadian
nahas itu, ada korban lain LS (14) yang pernah mengalami peristiwa serupa,
namun tak sampai berakibat fatal.

94
CATATAN AKHIR TAHUN

LBH Bali bersama Aliansi Peduli Fasilitas Publik telah melakukan dua kali
hearing kepada Pihak Polresta Kota Denpasar untuk mendesak ditetapkan
tersangka dalam kasus ini, namun hingga saat ini Polresta kota Denpasar belum
menetapkan tersangka.

LBH LAMPUNG
Polisi Menembak Mati Lima Pelajar Asal Jabung Terduga Begal
Pada 1 April 2017 sekitar pukul 01.30 WIB telah terjadi penembakan oleh aparat
Polisi (Polresta) Bandar Lampung terhadap lima pelajar di Lampung. Kelimanya
dituduh sebagai residivis dan DPO kepolisian. Mereka ditangkap pada saat ada
razia yang dipimpin Polresta Bandar Lampung. Polisi beralasan para pelajar
melakukan perlawanan sehingga ditembak. Kejadian tersebut mengakibatkan
tewasnya lima orang pelajar asal Jabung, Kabupaten Lampung Timur yang
dituduh sebagai komplotan begal/curas. Mereka adalah: Yogi Yudistira (20),
Riko Adit N (17), Herman Effendi (17), Indra Saputra (17) dan Saparudin (20).
Kejadian tersebut menjadi viral setelah beberapa anggota polisi berfoto selfie
dengan kelima korban yang tewas ditembak.
LBH Lampung melakukan advokasi pada kasus ini atas laporan masyarakat.
Menurut keterangan keluarga, setelah jenazah diterima keluarga masing-masing,
mereka menemukan keanehan. Pada jenazah ditemukan luka-luka penyiksaan
sebelum ditembak mati, seperti leher patah, kaki tangan dan muka lebam.
Kelima terduga begal ini adalah anak di bawah umur dan berstatus sebagai pelajar
di sekolah SMAN 1 Jabung dan SMK Perintis Adiluhur Kabupaten Lampung
Timur. Menurut keterangan pihak sekolah (kepala sekolah, guru, wali kelas, dan
teman-teman sekolah) mereka adalah siswa yang aktif dalam kegiatan ekstra
kurikuler seperti Pengurus OSIS, Pramuka, Gerakan Pecinta Alam, Drumband,
Saka Bhayangkara, dan lain-lain.
LBH Lampung melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan Propam Mabes
Polri, namun sampai sekarng belum ada tindak lanjut.

LBH PADANG
Kriminalisasi Masyarakat Adat Agam
Dua orang anggota kesatuan masyarakat hukum adat Nagari Koto Malintang
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, Agusri Masnefi, dan Erdi Datuak
Samiak mendekam di tahanan Polres Agam sejak 27 September 2017. Keduanya
disangka oleh tim gabungan Polres Agam dan Polisi Kehutanan dengan tindak
pidana penebangan kayu secara tidak sah yang menurut negara berada pada
kawasan hutan konservasi cagar alam.

95
YLBHI

Masyarakat sendiri hanya mengetahui bahwa tanah tersebut adalah parak,


ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

ulayat suku yaitu Suku Tanjung. Titik penebangan berada pada hamparan datar
dekat sawah-sawah dan peladangan masyarakat yang selama ini telah mereka
kelola secara turun temurun. Karena umur terus berlanjut dan mimpi untuk
memperbaiki ekonomi, Agusri Masnepi dan keluarga berniat membangun
kedai di pinggir Danau Maninjau. Dengan begitu ia tidak perlu berkeliling dan
menantunya bisa pula membuka usaha kecil-kecilan di kedai itu. Ia menjual dan
menggadaikan sepeda motornya untuk menyewa tanah kedai, membeli bahan
dan modal kedai. Namun uang hasil penjualan motor tidak mencukupi untuk
membeli seluruh papan dan kayu yang dibutuhkan. Keluarga Masnefi kemudian
meminta izin kepada Ninik Mamak untuk diizinkan menebang kayu di Ulayat
Suku.
Masyarakat Nagari Koto Malintang telah memiliki kearifan lokal sendiri dalam
memastikan kelestarian sumber daya alam. Misalnya dengan membatasi jumlah
pohon yang boleh ditebang, kayu yang boleh ditebang pun juga adalah jenis
kayu tertentu, misalnya kayu bayur, sejenis kayu tebangan yang kalau ditebang
tidak langsung mati tapi akan tumbuh kembali.
Masyarakat sendiri sadar sebagai bagian dari warga negara republik Indonesia
mereka harus menghormati hukum, karna itu pula sekalipun menebang kayu di
parak atau di ulayat-ulayat suku, masyarakat tetap berkoordinasi dengan jorong
dan wali nagari sebagai representasi pemerintah RI. Dalam kasus ini sudah ada
rekomendasi dari jorong dan wali nagari. Ini sudah kebiasaan yang berlangsung
lama di masyarakat adat Nagari Koto Malintang.
Berbekal surat izin ini Agusri Masnepi meminta tolong kepada bantuan Erdi
Dt. Samiak untuk menebang dua pohon kayu bayur. Namun kemudian Erdi
Dt. Samiak yang sedang menebang kayu ditangkap oleh Tim Gabungan Polisi
Kehutanan dan Polres Agam. Dengan santai dia memperlihatkan surat yang
dimiliki namun tidak dihiraukan oleh penegak hukum. Ia langsung dibawa ke
Kepolisian Resor Agam pada 27 September 2017.
Agusri Masnepi yang merasa bertanggungjawab mencoba mendatangi Polres
Agam untuk meminta penjelasan, namun sejak itu ia tidak lagi pulang ke rumah,
ia langsung ditahan hingga sekarang karena dianggap melanggar Pasal 82 ayat
(1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pengrusakan Hutan dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya.
Kasus kriminalisasi masyarakat adat ini adalah permasalahan struktural yang
berujung pada ketidakadilan. Ketidakadilan muncul akibat kesewenangan
pemerintah dalam menetapkan status kawasan hutan. Hutan ulayat kaum
Aslinda telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Maninjau tanpa diketahui
oleh Aslinda dan masyarakat lainnya. Padahal dalam Putusan Mahkamah

96
CATATAN AKHIR TAHUN

Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2010 yang menjelaskan bahwa Pasal 4 ayat


(3) UU Kehutanan, pemerintah saat menetapkan kawasan hutan berkewajiban
menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol
terhadap pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional
warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik
yang tidak boleh diambil oleh siapapun. Seharusnya kasus ini tak perlu sampai
ke penegak hukum. Penegak hukum perlu memahami dan mengerti keberadaan
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor: 95-PUU-XII/2014 yang menegaskan
orang-orang yang sudah turun temurun hidup di sekitar kawasan hutan yang
memanfaatkan hasil termasuk kayu tidak dapat dipidana dengan syarat bukan
dikomersilkan.

LBH YOGYAKARTA
Pemerintah berencana membangun bandara internasional di Kulonprogo,
Yogyakarta. Senin, 27 November 2017 sampai 4 Desember 2017, PT. Angkasa
Pura (AP) 1 mengosongkan lahan dan rumah milik warga petani terdampak
pembangunan Bandar Udara Baru (New Yogyakarta International Airport/
NYIA). Sebelumnya, pemerintah sudah melakukan proses land clearing.
Proyek ini sudah memiliki Izin Lingkungan yang terbit pada 17 Oktober 2017.
Tetapi, studi amdal yang melandasi terbitnya izin tersebut tidak sah dan cacat
hukum. Dari aspek pelingkupan, muatan tentang kesesuaian lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan dengan rencana tata ruang sesuai ketentuan peraturan
perundangan tidak terpenuhi. Demikian juga deskripsi rona lingkungan hidup
awal (environmental setting) yang pada dasarnya merupakan kawasan rawan
bencana alam tsunami (kawasan lindung geologi). Maka, makin tidak layaklah
NYIA Kulonprogo dibangun. Sementara secara prosedural, proses studi amdal
itu tidak dilakukan pada tahapan yang semestinya. Ada tahapan yang dilompati
oleh AP1. AMDAL tidak disusun terlebih dulu sebagai prasyarat untuk
menerbitkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang
Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Untuk Pengembangan Bandara Baru
di DIY (IPL). Pemrakarsa telah melompat jauh ke tahapan groundbreaking dan
bahkan sudah masuk ke tahapan kontruksi (mobilisasi alat).
Selain itu, dalam PP Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-
Bali) hingga peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Perda Provinsi
DIY  Nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
DIY tahun 2009-2029)  tidak ada satu pun klausula yang  merekomendasikan
pembangunan bandar udara baru di Kulonprogo. Yang ada ialah pengembangan
dan pemantapan fungsi bandara Adi Sucipto yang terpadu/satu kesatuan sistem
dengan bandara Adi Sumarmo, di Kabupaten Boyolali.

97
YLBHI

Hal lain, calon bandara NYIA berdiri di atas kawasan rawan bencana tsunami.
ADVOKASI KASUS-KASUS PENTING DI DAERAH

Hal ini dapat dilihat di dalam Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR
Pulau Jawa-Bali dimana Kabupaten Kulonprogo jadi salah satu wilayah yang
ditetapkan sebagai zona rawan bencana alam geologi (pasal 46 ayat 9 huruf d).
Selain itu, menilik Perda Provinsi DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang RTRW DIY,
sepanjang pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan
rawan tsunami (Pasal 51 huruf g). Bahkan Perda Kabupaten Kulon Progo
Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogo pun lebih detail
menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah satunya meliputi Kecamatan
Temon (pasal 39 ayat 7 huruf a).
Tim peneliti Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
bahkan menemukan deposit tsunami di dekat bakal lokasi bandar udara baru
di Yogyakarta. Deposit tsunami itu diperkirakan berusia 300 tahun, seumuran
jejak pantai selatan Banten dan Jawa Barat. Potensi gempa di kawasan ini,
berdasarkan sebaran deposit tsunaminya, bisa di atas M9, demikian kata Kepala
Geoteknologi LIPI Eko Yulianto di Kompas, Selasa 25 Juli 2017. Jika suatu saat
terjadi lagi tsunami seperti di Pantai Pangandaran dengan (kekuatan kegempaan)
magnitude lebih tinggi sedikit saja, bandara baru itu akan kena mulai bagian
apron, terminal sampai runwaynya. Khalayak umum terutama masyarakat calon
pengguna jasa transportasi udara seakan-akan sedang dijerumuskan ke kawasan
beresiko bahaya ekstra, yaitu kawasan rawan bencana tsunami.

Penggusuran Paksa
Selain masalah lingkungan, pemerintah dan aparat kepolisian di juga
melakukan penggusuran paksa terhadap warga yang menolak pindah rumah
dan menyerahkan lahan garapannya untuk bandara. Rumah-rumah mereka
dirobohkan dalam beberapa kali proses penggusuran.
Selama kurang lebih empat tahun, LBH Yogyakarta melakukan pengorganisasian
pada satu kelompok warga petani penolak bandara. Banyak hal sudah dilakukan,
mulai dari memberikan pendidikan hukum kritis, mengadakan pertemuan-
pertemuan baik formal maupun non-formal, mengkampanyekan kasus ini
dengan membuat konferensi pers dan siaran pers dengan jumpa pers, menggelar
diskusi publik, memproduksi film Kinjeng Wesi, mengajukan gugatan terhadap
izin penetapan lokasi yang diterbitkan Gubernur DIY, mendampingi empat orang
petani yang dikriminalkan dengan pasal penghasutan dan pengrusakan karena
mereka menolak bandara, melakukan uji materi terhadap Perda Kulonprogo
tentang RTRW yang mengatur tentang pembangunan bandara (bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi), dan melakukan pendampingan pada
para mahasiswa yang ditangkap polisi saat penggusuran rumah-rumah warga
dilakukan.

98
CATATAN AKHIR TAHUN

KESIMPULAN
Kasus-kasus lingkungan hidup, perampasan tanah, pelanggaran hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan, kasus perburuhan, penyiksaan dan
extra judicial killing oleh aparat kepolisian, dan kriminalisasi masyarakat adalah
kasus-kasus yang mengemuka sepanjang 2017. Kasus yang melibatkan aparat
kepolisian, seperti biasanya masih sulit diungkap. Dalam kasus Lampung karena
tidak adanya respon dari pemerintah (Komnas HAM) maupun institusi di
atasnya (Propam). Sementara itu, masyarakat juga masih dihantui kriminalisasi
ketika mengakses sumber daya alam atau memperjuangkan hak atas tanah.
Meskipun keberadaan masyarakat adat telah diakui dalam konstitusi, namun
kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Lahan-lahan mereka dirampas
dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dan kehutanan.
Sementara itu, jika mereka mengakses sumber daya hutan akan terancam
kriminalisasi. Kriminalisasi juga menimpa para pejuang lingkungan seperti yang
terjadi di Bali dan Kendeng. Dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan,
masih terdapatnya diskriminasi dan intoleransi terhadap beberapa penganut
agama dan keyakinan tertentu. Artinya situasi perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia di semua isu tersebut tidak membaik.

99
YLBHI

BAB IV
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

ANALISIS KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN


HAM NASIONAL

K EBIJAKAN PEMERINTAH 2017 DAN RESPON


YLBHI-LBH
Bagian ini memaparkan kebijakan-kebijakan pemerintah sepanjang
tahun 2017 khususnya di tingkat nasional dan respon YLBHI-LBH.

1. Penerbitan PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas UU


No 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
Pada 10 Juli 2017, Pemerintah mengundangkan PERPPU No 2 Tahun
2017 Tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Atas penerbitan ini, YLBHI bersama dengan 15 kantor
LBH melakukan protes keras dan dan mengeluarkan pers rilis. Dalam rilisnya
YLBHI menjelaskan setidaknya ada enam kesalahan PERPPU ORMAS
tersebut, yaitu:
1. Secara prosedural, penerbitan PERPPU tersebut tidak memenuhi tiga
syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
dalam putusan No 38/PUU-VII/2009, yaitu adanya kebutuhan mendesak
untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-
Undang, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum
ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi
dengan prosedur normal pembuatan UU. Terakhir, syarat tersebut tidak
terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur
penjatuhan sanksi terhadap ormas;
2. Kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan
berbagai UU yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah.
Perppu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk
berserikat yang tidak legitimate. Pembatasan kebebasan berserikat hanya
bisa dibatasi apabila diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk
kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban
umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan
atas hak dan kebebasan dari orang lain;
3. PERPPU sebagai mana dimaksud juga menegaskan arogansi negara
karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan
kegiatan ormas;
4. PERPPU ini menambah ketentuan pidana yaitu “penistaan agama”. Istilah
yang sebelumnya tidak dikenal baik dalam pasal 156a KUHP maupun

100
CATATAN AKHIR TAHUN

UU 1/PNPS/1965 yang menjadi asal usul penodaan agama dalam pasal


156a KUHP;
5. PERPPU ini melanggengkan pasal karet warisan zaman revolusi yaitu
penyalahgunaan, penodaan terhadap agama yang telah memakan banyak
sekali korban dengan tindakan yang berbeda-beda karena memang
ketentuan ini tidak jelas definisinya. Padahal pasal penyalahgunaan dan
penodaan agama selama ini sering digunakan oleh orang/kelompok
intoleran atau radikal untuk menyeragamkan praktek keagamaan atau
keyakinan;
6. PERPPU ini menambah berat pemidanaan penyalahgunaan dan
penodaan agama dari maksimal 5 tahun menjadi seumur hidup atau
paling sedikit 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
YLBHI berpendapat bahwa upaya negara menjaga kedaulatan bangsa dan
falsafah negara ini harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan
prinsip negara hukum sebagaimana mandat Konstitusi. Cara-cara represif
dalam sejarahnya telah menunjukkan tidak pernah berhasil mengubah
keyakinan seseorang malah sebaliknya dapat membuat seseorang semakin
keras meyakini sesuatu. YLBHI juga meyakini pelanggaran suatu hak akan
menimbulkan pelanggaran hak lainnya karena Hak Asasi Manusia memiliki
keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain.

YLBHI turut mengajukan diri menjadi Pihak terkait dalam Pengujuan


Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi
Menindaklanjuti advokasi terhadap PERPPU ini, YLBHI yang tergabung
dalam Tim Advokasi Untuk Kebebasan Berserikat (YLBHI, PERLUDEM,
WALHI, IMPARSIAL, ELSAM, KontraS, Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA), KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia), HRWG mengajukan
diri sebagai pihak terkait langsung dalam perkara No. 38/PUU-XV/2017 di
Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Organisasi Advokat Indonesia.
Sayangnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan ini dengan
argumen bahwa sudah sangat banyak pihak yang berperkara di MK dan
inti keterangannya sama. Permohonan ini hanya dianggap sebagai Ad
Informandum oleh MK.
Dalam permohonannya, Tim Advokasi mendalilkan sejumlah argumentasi
bahwa: (i) penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi syarat kegentingan
yang memaksa, sehingga bertentangan dengan pasal 22 UUD 1945;
(ii) penerbitan Perppu Ormas memberangus kebebasan berserikat dan
berorganisasi, sehingga bertentangan dengan pasal 28 dan pasal 28E ayat (3)
UUD 1945; (iii) pasal 61 dan pasal 80A Perppu Ormas bertentangan dengan
prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan pasal 1 ayat (3) UUD 1945;

101
YLBHI

(iv) pasal 59 ayat (3) huruf b dan pasal 82A ayat (2) bertentangan dengan
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditegaskan pasal 28D ayat
(1) UUD 1945.

2. Pembangkangan Gubernur Jawa Tengah Terhadap Hukum dan Terbitnya


Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Tahap 1 untuk Pegunungan
Kendeng
Masyarakat Kendeng dan pegiat lingkungan hidup bersukacita atas Putusan
Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung dalam Nomor 99 PK/TUN/2016
tanggal 5 Oktober 2016 yang membatalkan Izin Lingkungan Kegiatan
Penambangan Bahan Baku Semen Dan Pembangunan Serta Pengoperasian
Pabrik Semen PT. Semen Indonesia (Persero) TBK di Kabupaten Rembang
Provinsi Jawa Tengah.
Tetapi kemudian, Gubernur Jawa Tengah pada 16 Januari 2017 melakukan
penyelewengan hukum ketika dalam Keputusan Pencabutan Izin
Lingkungannya, tapi juga “Memerintahkan kepada PT Semen Indonesia
(Persero) Tbk untuk menyempurnakan dokumen adendum Andal dan RKL-
RPL dan Komisi Penilai AMDAL Provinsi Jawa Tengah untuk melakukan
proses penilaian dokumen adendum Andal dan RKL-RPL yang saat ini sedang
berlangsung “.
Dalam proses yang sangat cepat, tidak transparan, dan bertentangan dengan
Undang-Undang, pada 23 Februari 2017 Gubernur Jawa Tengah Ganjar
Pranowo mengeluarkan Keputusan Nomor 660.1/6 Tahun 2017 tentang
Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen
PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk Di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa
Tengah.
Padahal pada 16 Januari 2017, Menteri Lingkungan Hidup Strategis telah
memperingatkan Gubernur Jawa Tengah mengenai kawasan CAT Watuputih
yang merupakan area tambang PT. Semen Indonesia sebagai kawasan
bentang alam karst yang harus dilindungi dan tidak boleh ditambang.
Atas peristiwa ini, YLBHI bersama Koalisi Masyarakat Sipil Peduli
Pegunungan Kendenga dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan
Kendeng (JMPPK) protes keras dan melakukan beberapa upaya di antaranya:
melaporkan Gubernur ke Ombudsman Republik Indonesia, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kepala
Kantor Staf Kepresidenan. Namun, aporan-laporan tersebut hingga kini
tidak ada tindak lanjutnya.
Atas Surat Keputusan yang baru tersebut, YLBHI bersama dengan LBH
Semarang dan Tim Advokasi lainnya menjadi Kuasa Hukum dari WALHI

102
CATATAN AKHIR TAHUN

mengajukan gugatan pembatalan SK tersebut ke Pengadilan Tata Usaha


Negara Semarang. Sayangnya, dalam pemeriksaan pendahuluan, Ketua
PTUN menetapkan bahwa Keputusan tersebut tidak bisa digugat karena
merupakan pelaksanaan dari Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah
Agung. Tim Advokasi pun melakukan perlawanan atas penetapan tersebut
yang ditujukan ke Ketua PTUN Semarang, namun lagi-lagi Hakim PTUN
menolak perlawanan ini.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Diabaikan, Dicampakkan


Pada 2 Agustus 2016, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kantor Staf
Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyusun Kajian
Lingkungan Hidup Strategis di Pegunungan Kendeng. Berdasarkan
putusan Peninjauan Kembali Izin Lingkungan PT. Semen Indonesia yang
membatalkan Izin Lingkungan PT. Semen Indonesia, KLHS Tahap 1
didahulukan untuk wilayah CAT Watuputih (Kabupaten Rembang).
KLHS tahap 1 dibuat di tengah dinamika gerakan masyarakat Kendeng.
Masyarakat Kendeng berupaya dilibatkan dalam proses itu. Jaringan
Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng pun menggelar aksi di depan
Istana Negara12 untuk meminta pabrik semen di Kendeng dihentikan. Kajian
Lingkungan Hidup Strategis tahap 1 akhirnya keluar pada 12 April 2017.
KLHS menyimpulkan bahwa kawasan CAT Watuputih di Rembang, Jawa
Tengah merupakan Kawasan Bentang Alam Karst yang harus dilindungi
dan tidak boleh ditambang. KLHS juga merekomendasikan agar regulasi-
regulasi yang tidak konsisten agar diperbaiki, juga merekomendasikan agar
pemerintah melakukan moratorium dan menghentikan seluruh proses
penambangan di CAT Watuputih.
Sayangnya KLHS ini diabaikan dan penambangan terus berjalan. Masyarakat
menemukan bahwa PT. Semen Indonesia menampung batu gamping
yang ditambang oleh perusahaan lain di kawasan CAT Watuputih. Dalam
perjalanannya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak
menunjukkan itikad baik melaksanakan hasil KLHS ini. Menanggapi hal ini,
pada 28 Agustus 2017 tim advokasi Pegunungan Kendeng melaporkan bukti-
bukti pelanggaran KLHS ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Namun, hingga Desember 2017 tak nampak penegakan hukum oleh KLHK.
Dalam setiap kesempatan bertemu KLHK, Koalisi Kendeng Lestari terus
meminta agar KLHK bersikap tegas segera menyegel pabrik semen PT SI
dan wilayah operasinya di CAT Watuputih.
12
Aksi ini dinamai Aksi #DipasungSemen2 dilakukan sejak 13 Maret 2017 sampai dengan 20 Maret 2017 yang
melibatkan 60 orang lebih warga kendeng yang dicor kakinya. Tiap hari mereka menginap di Kantor YLBHI. Aksi
ini diwarnai peristiwa yang menyedihkan, dimana setelah aksi selesai dilakukan pada 21 Maret 2017, Ibu Patmi
yang merupakan bagian dari peserta aksi cor kaki meninggal dunia. Aksi cor kaki kemudian dilanjutkan oleh
pegiat lingkungan selama sepekan di depan Istana Negara.

103
YLBHI

Dengan pembangkangan-pembangkangan dan pelanggaran-pelanggaran


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

serius di atas, Presiden Joko Widodo justru memberikan Penghargaan HAM


kepada Gubernur Jawa Tengah.

3. Pelemahan Sistematis dan Brutal Tehadap KPK


Tahun 2017 adalah tahun pelemahan KPK. Di tahun ini, KPK melakukan
penyidikan dan penuntutan terhadap perkara-perkara yang melibatkan
aktor-aktor kekuasaan seperti e-KTP dan menindaklanjuti kasus Basuki
Hariman (penyuap hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar). Beberapa
tindakan pelemahan KPK di antaranya:

Dorongan untuk Merevisi UU KPK


Pada 2017, Badan Legislasi dan Badan Keahlian DPR gencar melakukan
sosialisasi ke kampus-kampus untuk mengusung gagasan Revisi UU
KPK. Tetapi sosialisasi itu ditolak oleh pegiat antikorupsi, para Guru
Besar, akademisi dan mahasiswa di beberapa kampus. Sosialisasi itu pun
mengendur.
Usul dan pernyataan-pernyataan revisi UU KPK kembali naik disuarakan
oleh anggota DPR saat kasus Korupsi e-KTP mulai disidangkan dan makin
intens saat Pansus Angket KPK bergulir di DPR.

Pansus Angket di DPR


17 Maret 2017 atau tiga hari setelah pembacaan dakwaaan di sidang
Kasus Korupsi e-KTP yang menyebut keterlibatan Setya Novanto dan
puluhan anggota DPR lainnya, 26 anggota DPR menggulirkan hak angket
untuk KPK. Walau pada awalnya ditolak mayoritas fraksi, akhirnya pada
24 April 2017, DPR menggulirkan hak angket dengan empat tujuan:
mendesak KPK membuka rekaman Miryam S Haryani terkait korupsi
e-KTP, penyalahgunaan anggaran, dugaan kebocoran proses hukum, dan
penyelidikan ketidakharmonisan pimpinan dan anggotanya. Hak angket
ini kemudian disahkan dalam Rapat Paripurna pada 28 April 2017 dengan
disertai protes dan ketidaksetujuan sebagian fraksi.
Jika dilihat keterkaitan kasus e-KTP dengan beberapa nama di DPR, jelas
terlihat keinginan sebagian anggota DPR memaksakan menggunakan
hak angket merupakan upaya mengintervensi penegakkan hukum dan
menyalahgunakan kewenangannya. Modus menggunakan hak angket
adalah pola baru untuk menyerang KPK dan menghalang-halangi proses
pemberantasan korupsi.

104
CATATAN AKHIR TAHUN

Dalam perjalanannya, Pansus Angket KPK menunjukkan semangat tidak


baik, membuat manuver yang sangat buruk, dan terlihat mengarah pada
pelemahan KPK. Misalnya, mereka berkunjung ke Lapas Sukamiskin
menemui para koruptor yang ditahan untuk meminta keterangan dari
para terpidana korupsi terkait proses penyidikan yang dilakukan KPK,
mendatangi rumah aman, menghadirkan saksi yang tendensius, dan
melakukan pembohongan publik.

Pelemahan dari dalam semakin jelas


Pelemahan KPK dari dalam kian jelas terlihat. Aris Budiman mendatangi
Panggilan Pansus Angket DPR untuk KPK pada 29 Agustus 2017 yang lalu,
dia membangkang dan melawan perintah Pimpinan KPK yang melarang
untuk datang ke Pansus Angket di DPR serta tidak mengakui Pansus Angket
ini. Kemudian Aris menceritakan hal-hal masalah internal yang harusnya
diselesaikan secara internal KPK. Seperti diketahui, Aris Budiman masuk
dan diangkat menjadi Direktur Penyidikan di masa KPK dipimpin oleh
Taufiqurrahman Ruki sebagai Plt Ketua KPK.
Pada 2015, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Penetapan
tersangka ini kemudian diiringi oleh kriminalisasi terhadap Abraham Samad,
Bambang Widjojanto, Novel Baswedan, penyidik-penyidik lain, bahkan juga
aktifis Anti Korupsi seperti Denny Indrayana. Kosongnya jabatan pimpinan
kemudian diisi oleh Taufiqurrahman Ruqi sebagai Ketua bersama Indrianto
Seno Adji dan Johan Budi.
Tak lama dari ini, KPK juga mengembalikan dua penyidik dari kepolisian,
yakni Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy dan Komisaris Harun ke
Kepolisian RI. Mereka diduga telah merusak serta menghilangkan bukti
ketika menyidik kasus suap mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar.
Peristiwa ini semakin menguatkan dugaan pegiat anti korupsi bahwa ada
upaya pelemahan dari dalam.

Pembentukan Densus Tipikor di Kepolisian


Saat bergulir Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK, tiba-tiba Kapolri Tito
Karnavian mengusulkan pembentukan Detasemen Khusus Kepolisian untuk
Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor). Pembentukan yang tiba-tiba
ini juga didukung langsung oleh Komisi III DPR RI, walau membutuhkan
anggaran hingga 2,6 Trilyun. Pembentukan Densus Tipikor yang berangkat
dengan asumsi bahwa KPK adalah lembaga Adhoc diyakini merupakan
bagian dari pelemahan untuk menggantikan KPK. Beruntung Jusuf Kalla
menolak, demikian juga Presiden Joko Widodo menundanya.

105
YLBHI

Upaya Kriminalisasi Pimpinan dan Para Penyidik KPK


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

Upaya pelemahan KPK semakin kuat dengan laporan-laporan pidana


terhadap pimpinan dan para penyidik/penyelidik KPK. Agus Rahardjo dan
Saut Situmorang dilaporkan oleh Setya Novanto, begitu pun laporan pidana
terhadap tiga penyidik dan Novel Baswedan yang dilaporkan oleh Aris
Budiman.

Serangan-serangan Brutal terhadap Penyidik


Subuh, 11 April 2017 setelah menunaikan sholat Subuh di dekat rumahnya,
Novel Basweddan disiram air keras dan mengenai mata dan wajahnya. Novel
sudah mencurigai sebelumnya karena sudah seminggu rumahnya diintai;
HP Novel serta orang-orang terdekatnya diduga kuat disadap. Hingga hari
ini sudah tujuh bulan berlalu, namun pelaku penyerangan Novel belum
diungkap oleh aparat kepolisian yang melakukan penyidikan. Serangan
terhadap Novel ini tercatat bukan serangan yang pertama. Novel sudah
beberapa kali menerima serangan. YLBHI bersama Koalisi Masyarakat Anti
Korupsi terus berusaha melakukan pendampingan hukum terhadap Novel
Basweddan dengan cuma-cuma.
Tak jauh dari peristiwa Novel, pada 4 April 2017 terjadi perampasan tas
berisi laptop milik penyidik KPK Surya Tarmiani yang sedang menyidik
perkara korupsi suap. Informasi dari Tempo, ketika itu Surya baru selesai
menumpang taksi dari Bandar Udara Soekarno-Hatta di Tangerang ke tempat
tinggalnya di Setiabudi, Jakarta Pusat. Saat tiba di dekat rumahnya, ketika
hendak mengambil tas ranselnya di bagasi taksi, tiba-tiba seorang pria tak
dikenal merampas tas tersebut. Pelaku lantas berlari dan kabur bersama lima
rekannya menggunakan sepeda motor. Laptop itulah yang diduga diincar
kelompok pencuri. Seorang penegak hukum di KPK mengungkapkan, di
laptop itu tersimpan bukti penting kasus Basuki Hariman. Di sana, Surya
menyimpan salinan pindaian dua buku bank perusahaan Basuki. Buku itu
mencatat aliran dana dari perusahaan impor daging Basuki ke sejumlah
lembaga pemerintah, seperti kepolisian dan kementerian13.

4. LBH Jakarta bersama Jaringan Buruh Migran mengawal Perubahan UU


Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
YLBHI melalui LBH Jakarta bersama dengan Jaringan Buruh Migran,
sejak 2010 mengawal perubahan Undang-Undang 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Setelah tujuh tahun berjuang bersama, merumuskan draft dan daftar
13
Periksa https://nasional.tempo.co/read/1042012/setya-novanto-didakwa-mengintervensi-proyek-e-ktp.

106
CATATAN AKHIR TAHUN

isian masalah tandingan, lobby-lobby dan negosiasi serta langkah lainnya


akhirnya pada 25 Oktober 2017 Rancangan Undang-Undang Pekerja Migran
Indonesia (RUU PPMI) disahkan dalam sidang Paripurna DPR RI.
Ada cukup banyak perubahan signifikan dalam Undang-undang ini.
Untuk hal ini, LBH Jakarta bersama Jaringan Buruh Migran mengapresiasi
perubahan ini14.
Perubahan tersebut di antaranya:
1. Definisi buruh migran dan anggota keluarga (darat dan laut) telah sesuai
dengan Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Seluruh Hak
Buruh Migran dan Para Anggota Keluarga Mereka yang ditandatangani
pada 18 Desember 1990. Konvensi ini juga masuk dalam konsideran,
sehingga pengakuan hak-hak buruh migran lebih banyak, salah satunya
kebebasan berserikat, perlindungan sosial, ekonomi dan hukum;
2. Pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh PJTKI (penyalur jasa
tenaga kerja Indonesia) sekarang menjadi tanggungjawab pemerintah.
Ini diharapkan akan meningkatkan keterampilan calon pekerja migran
tidak hanya formalitas dan mengurangi biaya penempatan hingga 8 juta;
3. Layanan informasi ketenagakerjaan dan pendataan sejak dari desa;
4. Ada kejelasan pembagian kewenangan operator dan regulator
(kementerian dan badan), serta pembagian tugas dan wewenang
pemerintah pusat, provinsi, daerah, dan desa;
5. Rezim asuransi TKI diganti dengan Badan Penyelenggaran Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan;
6. Layanan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di daerah-daerah, sehingga
tidak harus dilakukan di Pusat;
7. Menghapus Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), kartu yang sering
menjadi alat untuk pemerasan pekerja migran;
8. Penguatan peran Atase ketenagakerjaan di luar negeri;
9. Dalam penempatan dan juga posisi pekerjaan ada verifikasi terhadap
agency dan calon pemberi kerja oleh Atase Ketenagakerjaan;
10. Pengurangan peran PJTKI.
11. Sanksi tidak hanya untuk korporasi tetapi juga untuk pejabat;
12. Adanya pasal mengenai conflict of interest (pejabat yang memiliki
kewenangan untuk melaksanakan tindakan penempatan dan
perlindungan dilarang merangkap sebagai komisaris/pengurus
perusahaan penempatan);
13. Aturan turunan dibatasi dua tahun harus selesai. Sebelumnya ada amanat
undang-undang yang tidak dilaksanakan.
14
Periksa https://www.koranperdjoeangan.com/ini-sikap-jbm-terhadap-pengesahan-ruu-perlindungan-pekerja-
migran-indonesia/.

107
YLBHI

Meski demikian, jaringan buruh migran mencatat masih ada banyak


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

kekurangan. Tetapi kemajuan-kemajuan di atas patut dicatat dan diapresiasi.

5. LBH Jakarta mengkritisi Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan


Tentang Hari Sekolah
Sebagaimana dilaporkan dalam Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Muhadjir Effendy
menerbitkan kebijakan penyamarataan jam belajar sekolah. Melalui
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 23 Tahun 2017
tentang Hari Sekolah, waktu belajar menjadi 8 jam per hari atau 40 jam
selama 5 hari, atau setara dengan jam kerja orang dewasa.
Pemberlakuan aturan penyamarataan jam belajar tersebut mendapatkan
kritik keras dari siswa, orang tua siswa, dan pegiat hak anak dari berbagai
organisasi. Hal tersebut berpotensi untuk membuat anak semakin depresi,
bias perkotaan, dan mengganggu otonomi sekolah untuk menentukan
kurikulum dan pedagogi, terutama bagi sekolah berbasis madrasah atau
pendidikan khusus.
LBH Jakarta bergabung dengan aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan yang
terdiri dari puluhan organisasi pegiat hak anak, komunitas orang tua murid,
dan komunitas siswa untuk menolak kebijakan tersebut. Setelah beragam
tekanan publik melalui kegiatan kampanye dan kajian, Presiden Republik
Indonesia, Joko Widodo, memutuskan untuk mencabut kebijakan tersebut
dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter.
Kasus ini sepatutnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk
mengedepankan partisipasi peserta didik dan institusi pendidikan sebelum
melahirkan kebijakan yang berpotensi mengganggu penyelenggaraan
pendidikan. Pemerintah juga gagal melihat bahwa akar masalah pendidikan
di Indonesia adalah ketimpangan infrastruktur pendidikan, bukan jam
belajar. Penambahan jam belajar tanpa diiringi dengan peningkatan
infrastruktur juga akan merugikan siswa karena tidak mendapatkan kualitas
pembelajaran maksimal.

Putusan dan Upaya-Upaya melalui MK


1. Perkara 130/PUU-XIII/2015 Tanggal 11 Januari 2017 (JR Pasal-Pasal Pra
Penuntutan di KUHAP)
MK mewajibkan Penyidik untuk memberitahukan dan menyerahkan
Surat dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan

108
CATATAN AKHIR TAHUN

korban/pelapor (SPDP) paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkan


SPDP.
Permohonan ini diajukan oleh LBH Jakarta bersama Mappi FH UI terkait
pasal-pasal pra Penuntutan dalam KUHAP, dengan pemohon Choky
Riska Ramadhan (Ketua Mappi FHUI), Carolus Boromeus Beatrix Tuah
Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto. Permohonan berangkat dari
permasalahan bahwa sangat banyak kasus penyidikan yang tidak jelas apakah
berlanjut atau tidak, apakah berkualitas atau tidak, dikarenakan kurangnya
peran supervisi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai Dominus Litis.
Putusan ini memberikan tafsir baru terhadap pasal Pasal 109 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menjadi ”Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah
dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor
dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah
penyidikan”.
Berdasarkan putusan ini, SPDP idealnya dapat digunakan sebagai alat
kontrol jaksa dan masyarakat terhadap penyidikan kepolisian. Kini penyidik
wajib menyampaikan SPDP tidak hanya kepada jaksa namun juga kepada
terlapor dan korban dalam jangka waktu tujuh hari pasca diterbitkannya
surat perintah penyidikan.
Tafsir baru ini memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pihak
dalam proses penyidikan. Bagi pihak terlapor, mereka dapat mempersiapkan
bahan-bahan pembelaan maupun menunjuk penasihat hukum untuk
mendampinginya. Sedangkan bagi korban/pelapor, penyampaian SPDP
dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti
yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.

2. JR Pasal-pasal Kesusilaan di KUHP (Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016)


MK menegaskan tidak boleh mempidanakan tindakan yang seharusnya
tidak dipidana
Permohonan ini diajukan oleh Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S., dkk dalam
Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 dengan tujuan memperluas delik Pasal
–Pasal Kesusilaan dalam Pasal 284, 285, dan 292 KUHP.
YLBHI memutuskan untuk menjadi Pihak Terkait dalam pengujian ini,
karena YLBHI memandang permohonan yang meminta memperluas definisi
pasal-pasal yang diuji akan mengancam pelanggaran atas penghormatan dan
perlindungan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga dan kehormatan
dan martabat seseorang sebagaimana yang dijamin UUD. YLBHI juga
memandang memerluas keberlakuan pasal-pasal 284, 285 dan 292 KUHP

109
YLBHI

yang berarti membuat norma baru dan merupakan open legal policy yang
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

merupakan ranah Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam


menjalankan fungsi legislasi, atau bukan kewenangan MK. Jika permohonan
ini dikabulkan, juga akan mengakibatkan over criminalization yang akan
berseberangan dengan jaminan kemerdekaan dan hak-hak asasinya yaitu
hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Dalam prosesnya
YLBHI juga mengajukan bukti dan ahli.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang dibacakan pada tanggal 14
Desember 2017 menolak permohonan tersebut. Dalam pertimbangannya,
MK menjelaskan bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan
tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan Presiden
dan DPR. MK pun memberikan pertimbangan yang jelas ketika hendak
mengkriminalkan suatu perbuatan mengingat pidana adalah ultimum
remedium atau obat terakhir sehingga tidak semua permasalahan diselesaikan
melalui hukum pidana.
YLBHI mengapresiasi putusan MK ini, dan YLBHI pun menilai bahwa
pertimbangan ini harus menjadi pertimbangan DPR dan Pemerintah ketika
menyusun dan melakukan perubahan KUHP.

3. Menguji Hak Angket DPR terhadap KPK


Seperti dituliskan di bagian pelemahan terhadap KPK, di tahun 2017 ini
DPR mencoba melemahkan KPK melalui Hak Angket, meskipun para
Guru Besar dan banyak kalangan sudah menjelaskan bahwa DPR tidak bisa
melakukan Hak Angket terhadap KPK, terlebih mengangket persoalan-
persoalan penegakan hukum seperti penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan upaya-upaya paksa lainnya.
YLBHI bersama dengan Pak Busyro Muqoddas, ICW, dan Konfederasi
Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) mengajukan Judicial Review terhadap
Pasal 79 ayat (3), Pasal 199 ayat (3), dan Pasal 201 ayat (2) UU Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Dalam permohonannya YLBHI dkk memohon agar MK memutuskan bahwa
Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Tidak termasuk
didalamnya lembaga-lembaga Independen dan/atau lembaga dalam ruang
lingkup tugas dan wewenang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman
seperti KPK, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan

110
CATATAN AKHIR TAHUN

lembaga Independen dan/atau badan/lembaga dalam ruang lingkup tugas


dan wewenang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman lainnya”.
Dalam perjalanannya, setelah persidangan memeriksa saksi, ahli dan
menyerahkan kesimpulan, YLBHI dkk mengajukan pencabutan dan
penarikan permohonan. Pencabutan permohonan dilakukan karena
terdapat perkembangan, dimana ditemukan dugaan pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. Arief
dilaporkan bernegosiasi dengan Anggota Dewan karena masa kerja Arief
sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi wakil dari DPR akan berakhir. Di
media massa diberitakan dan disebutkan bahwa Arief menjanjikan akan
memenangkan perkara gugatan angket jika ia dipilih kembali sebagai Hakim
MK. Pencabutan permohonan tersebut kemudian dikabulkan dan MK pun
mengeluarkan penetapan. Meski demikian, masih tersisa tiga permohonan
JR lain di MK yang tidak dicabut.

4. Menguji (Kembali) UU 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan


Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama
Pada tahun 2009 bersama dengan masyarakat sipil lainnya, YLBHI
mengajukan Judicial Review UU Nomor 1/PNPS/1965 dengan Nomor
Perkara 140/PUU-VII/2009, tetapi permohonan ini ditolak oleh MK.
Pada tahun 2017 UU ini kemudian dimohonkan untuk diuji kembali oleh
Asep Saepudin dkk (9 orang) yang merupakan anggota Jemaat Ahmadiyah
Indonesia. Mereka merupakan bagian dari korban yang selama ini mengalami
kekerasan, tindakan-tindakan intoleransi, dan juga diskriminasi dikarenakan
keahmadiyahan mereka. Mereka sulit beribadah, masjidnya disegel dan
dirusak. Mereka mendalilkan bahwa pasal 1, 2, dan 3 UU No. 1/PNPS/1965
telah menghasilkan adanya ketidakpastian hukum karena munculnya ruang
penafsiran yang beragam dan pelanggaran hak atas beragama dan beribadah.
Untuk mendukung permohonan ini, YLBHI mengajukan diri menjadi
pihak terkait. MK pun mengabulkan dan memberikan kesempatan kepada
YLBHI untuk menjelaskan permohonannya dan mengajukan ahli dan
saksi. Dalam permohonannya, YLBHI mendalilkan bahwa pasal 1, 2, dan
3 UU ini bermasalah secara substansi dan multitafsir, sehingga melanggar
hak-hak konstitusionalitas warga negara yaitu: menimbulkan praktik yang
diskriminatif, melanggar asas kepastian hukum, dan berakibat melanggar
hak warga negara untuk menganut agama dan beribadah/mengamalkan
keyakinan. YLBHI memohon agar MK:
1. Menyatakan Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 dan UU Nomor 5 Tahun 1969
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Tidak bisa

111
YLBHI

digunakan untuk meniadakan/membatasi hak setiap orang untuk bebas


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

menganut agama dan kepercayaannya masing-masing, melakukan ibadah


serta menjalankan/ mengamalkan agama dan kepercayaannya itu secara
internal atau masing-masing”;
2. Menyatakan pasal 2 ayat (1) UU No. 1/PNPS/1965 dan UU Nomor 5
Tahun 1969 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“Bagi yang dituduh tersebut haruslah diberikan kesempatan melakukan
pembelaan secara adil dan Keputusan Bersama tersebut adalah Keputusan
Tata Usaha Negara (Beschikking) yang dapat digugat di Pengadilan Tata
Usaha Negara”;
3. Menyatakan pasal 2 ayat (2) UU No. 1/PNPS/1965 dan UU Nomor 5
tahun 1969 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“Pembubaran tersebut dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran
organisasi berbadan hukum”.
Persidangan permohonan ini masih berlangsung hingga tulisan ini dibuat.

5. LBH Jakarta, LBH Papua, dan Jaringan Masyarakat Sipil Menguji Pasal
Makar di KUHP; Upaya Membendung Pembungkaman Kemerdekaan
Berpendapat
Selama ini pasal makar di KUHP lebih banyak digunakan untuk
membungkam ekspresi politik yang berbeda dari warga negara. LBH Jakarta
bersama dengan LBH Papua dan Jaringan masyarakat sipil yang tergabung
dalam Tim Advokasi untuk Kebebasan Warga Negara menjadi kuasa hukum
dari Hans Wilson Wader dan Meki Elosak bersama lembaga keagamaan
yaitu Gereja Kemah Injil (KINGMI) dan Gereja berbentuk Sinodal, serta
Yayasan Satu Keadilan mengajukan permohonan uji materiil pasal Pasal
104,106,107,108, dan Pasal 110 KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada
22 Maret 2017.
Dalam permohonannya, Tim Advokasi untuk Kebebasan Warga Negara
menjelaskan bahwa pasal-pasal yang diujikan bertentangan dengan tiga
prinsip dan hak yang diatur dalam UUD 1945. Pertama, pasal tersebut
bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Kedua, pasal tersebut bertentangan dengan hak
atas jaminan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 D ayat
(1) UUD 1945. Ketiga, pasal tersebut bertentangan dengan hak kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat, pikiran secara lisan dan
tulisan sebagaimana amanat Pasal 28 dan Pasal 28 e ayat (30 UUD 1945.

112
CATATAN AKHIR TAHUN

Atas dasar 3 (tiga) hal tersebut, Pemohon meminta MK untuk menghapus


pasal-pasal yang diujikan. Uji materiil dengan permohonan penghapusan
pasal makar ini menjadi harapan baru bagi terwujudnya kemerdekaan
berpendapat di negeri ini.

6. LBH Jakarta melakukan Judicial Review Undang-Undang Nomor 51 Prp


Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak
Atau Kuasanya
LBH Jakarta yang selama ini mendampingi dan membela korban-korban
penggusuran melakukan Permohonan Judicial Review Nomor 96/PUU-
XIV/2016 yang menguji UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya. LBH Jakarta
menjadi kuasa hukum dari Rojiyanto, Mansur Daud, dan Rando Tanadi
para korban penggusuran paksa. Dalam permohonannya LBH Jakarta
menjelaskan bahwa:
 Undang-undang ini kerap digunakan oleh pemerintah untuk melakukan
penggusuran paksa terhadap masyarakat tanpa kompensasi apapun;
 Undang-undang ini memberikan wewenang yang sangat besar bagi
pemerintah mengambil lahan dari rakyat tanpa partisipasi warga,
padahal peraturan tersebut sesungguhnya sudah tidak lagi relevan
dengan perubahan-perubahan mendasar di konstitusi kita. Ketentuan
ini dulu diterbitkan oleh pemerintah utuk memberikan wewenang bagi
militer untuk melakukan penertiban tanah dalam situasi perang atau
dalam keadaan bahaya;
 Undang-undang ini juga menjustifikasi pemerintah untuk mengabaikan
prinsip-prinsip HAM yang sepatutnya wajib dilindungi negara didalam
melakukan pengadaan tanah yang mengarah pada penggusuran paksa.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan
ini. Para kuasa hukum, pemohon, dan para korban penggusuran menyayangkan
putusan ini. MK mengabaikan fakta bahwa lebih dari 50 persen tanah di
Indonesia adalah tanah informal, termasuk tanah-tanah adat. Sehingga, putusan
ini semakin menjustifikasi bahwa seluruh lahan yang tidak formal, boleh
dirampas sewenang-wenang oleh negara. MK juga menjustifikasi keterlibatan
TNI dalam penggusuran paksa sebagai “jalan terakhir”. Hal ini menyuburkan
militerisme dan bertentangan dengan semangat reformasi sektor militer yang
digaungkan sejak Orde Baru. MK juga mengabaikan konteks dilahirkannya
UU, yaitu pada saat “negara dalam keadaan bahaya” dan sama sekali tidak
memberikan pandangannya terkait hal tersebut.
LBH Jakarta berkomitmen terus melakukan lobi kepada pihak parlemen untuk
segera merevisi UU terkait agar semakin sesuai dengan standar HAM.

113
YLBHI

PERAMPASAN LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRA-


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

STRUKTUR
Pemerintah memiliki resep yang manjur untuk menanggulangi kemiskinan dan
mengisi pembangunan, yaitu mengundang investor. Hal tersebut terjadi di setiap
level baik tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat. Logika yang dibangun
adalah investasi menambah pemasukan dan menyediakan lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu mengundang investor menjadi sah dan sakral dilakukan oleh
pemerintah. Umumnya rakyat Indonesia mengamini logika tersebut sehingga
masuknya investor disambut baik dan mendapat tempat mulia. Lihat saja dalam
proses kontestasi pemilihanBupati, Gubernur hingga Presiden selalu didengung-
dengungkan investasi dan pembangunan infrastruktur. Akan tetapi mereka tak
pernah membicarakan investor seperti apa yang akan didatangkan.
Investasi yang bergulir saat ini berkaitan erat dengan industrialisasi yang
terjadi di Indonesia. Sejak zaman kolonial Belanda, Indonesia memasuki
era industrialisasi. Posisi Indonesia sebenarnya sebagai produsen, akan
tetapi jalur distribusi dimonopoli oleh perusahaan asing serta negara-negara
kolonial. Maka, korporasi lah yang meraup keuntungan. Melalui kerja paksa,
pemerintah kolonial Belanda masif membangun perkebunan seperti teh, kopi,
tebu, dan rempah-rempah untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa. Untuk
memuluskan agenda tersebut dimulailah pembangunan proyek infrastruktur,
seperti pembuatan rel kereta api, pembangunan jalan Anyer Panarukan, dan
pembangunan pelabuhan-pelabuhan. Melalui kereta api, jalan tol hasil bumi
nusantara diangkut ke pelabuhan kemudian disebarkan ke Eropa.
Kondisi seperti itu berlangsung hingga saat ini. Pasar internasional sangat
berpengaruh terhadap perkembangan industri di Indonesia. Terjadi juga
metamorfosis industri dari industri perkebunan kemudian menjadi migas dan
manufaktur.

SKEMA PENGEMBANGAN WILAYAH DI INDONESIA


Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono telah meluncurkan Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang kemudian
dilanjutkan Presiden Joko Widodo. Dalam dokumen tersebut, Indonesia telah
dibagi ke dalam 6 koridor ekonomi, yaitu15:
1. Koridor Sumatra sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan
lumbung energi nasional;
2. Koridor Jawa sebagai pendorong industri dan jasa nasional;
3. Koridor Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang
dan lumbung energi nasional;
4. Koridor Bali Nusa Tenggara sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung
Periksa Dokumen MP3EI.
15

114
CATATAN AKHIR TAHUN

pangan nasional;
5. Koridor Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian,
perkebunan, perikanan, migas, dan pertambangan nasional;
6. Koridor Papua dan Kep Maluku sebagai pengembangan energi, pangan,
perikanan, dan tambang nasional.
Dari pembagian wilayah tersebut, nampak orientasi pembangunan Indonesia.
Misalnya, Sumatera dan Kalimantan sebagai lumbung energi nasional.
Lumbung energi tentu erat kaitannya dengan pengadaan energi, dimana energi
yang ada saat ini masih pada energi yang tak terbarukan seperti batu bara dan
minyak bumi. Sementara Jawa sebagai pendorong industri dan jasa, karena itu
perluasan kawasan industri akan banyak terjadi di Jawa. Sulawesi, Maluku, dan
Papua dibuatkan satu skema yang sama yaitu sebagai pertambangan nasional,
sedangkan Bali dan Nusa Tenggara sebagai gerbang pariwisata. Semua agenda
ekonomi tersebut memerlukan pembangunan infrastruktur sebagai penopang
agenda tersebut.
Dalam pemerintahan Presiden Jokowi, skema pembangunan atau sasaran
pengembangan wilayah-wilayah menjadi seperti berikut16:
1. Pembangunan Wilayah Papua
• percepatan pengembangan industri berbasis komoditas lokal yang
bernilai tambah di sektor/subsektor pertanian, perkebunan, peternakan
dan kehutanan;
• percepatan pengembangan ekonomi kemaritiman melalui pengembangan
industri perikanan dan pariwisata bahari;
• percepatan pengembangan pariwisata budaya dan alam melalui
pengembangan potensi sosial budaya dan keanekaragaman hayati;
• percepatan pengembangan hilirisasi industri pertambangan, minyak, gas
bumi, dan tembaga;
• peningkatan kawasan konservasi dan daya dukung lingkungan untuk
pembangunan rendah karbon;
• penguatan papasitas kelembagaan Pemerintah Daerah dan masyarakat;
• pengembangan kawasan ekonomi inklusif dan berkelanjutan berbasis
wilayah kampung masyarakat adat melalui percepatan peningkatan
kualitas sumberdaya manusia papua yang mandiri, produktif dan
berkepribadian.
2. Pembangunan Wilayah Kepulauan Maluku
• produsen makanan laut dan lumbung ikan nasional;
• percepatan pembangunan perekonomian berbasis maritim (kelautan)
melalui pengembangan industri berbasis komoditas perikanan;
16
Periksa RPJMN 2015-2019 buku 3.

115
YLBHI

• pengembangan industri pengolahan berbasis nikel dan tembaga;


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

• pariwisata bahari.
3. Pembangunan Wilayah Kepulauan Nusa Tenggara
• pintu gerbang pariwisata ekologis melalui pengembangan industri
meeting, incentive, convention and exhition (MICE);
• penopang pangan nasional dengan percepatan pembangunan
perekonomian berbasis maritim (kelautan) melalui pengembangan
industri perikanan, garam, dan rumput laut;
• pengembangan industri berbasis peternakan sapi dan perkebunan
jagung;
• pengembangan industri mangan dan tembaga.
4. Pembangunan Wilayah Pulau Sulawesi
• salah satu pintu gerbang Indonesia dalam perdagangan internasional dan
pintu gerbang kawasan timur Indonesia;
• pengembangan industri berbasis logistik;
• lumbung pangan nasional dengan pengembangan industri berbasis
kakao, padi, dan jagung;
• pengembangan industri berbasis rotan, aspal, nikel, bijih besi, dan gas
bumi;
• percepatan pembangunan ekonomi berbasis maritim (kelautan) melalui
pengembangan industri perikanan dan pariwisata bahari.
5. Pembangunan Wilayah Pulau Kalimantan
• mempertahankan fungsi Kalimantan sebagai paru-paru dunia dengan
meningkatkan konservasi dan rehabilitasi DAS, lahan kritis, hutan
lindung dan hutan produksi, serta mengembangkan sistem bencana
alam banjir dan kebakaran hutan;
• lumbung energi nasional dengan pengembangan hilirisasi komoditas
batubara termasuk pengembangan energi baru terbarukan berbasis
biomasa dan air atau matahari atau sesuai dengan kondisi SDA masing-
masing provinsi;
• pengembangan industri berbasis komoditas kelapa sawit, karet, bauksit,
bijih besi, gas alam cair, pasir zircon, dan pasir kuarsa.
• menjadikan Kalimantan sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
6. Pembangunan Wilayah Pulau Jawa-Bali
• lumbung pangan nasional;
• pendorong sektor industri dan jasa nasional dengan pengembangan
industri makanan minuman, tekstil, otomitif, alutsista, telematika, kimia,
alumina, dan besi baja;

116
CATATAN AKHIR TAHUN

• salah satu gerbang pariwisata terbaik dunia dengan pengembangan


ekonomi kreatif;
• percepatan pembangunan ekonomi berbasis maritim (kelautan) melalui
pengembangan industri perkapalan dan pariwisata bahari.
7. Pembangunan Wilayah Pulau Sumatera
• salah satu pintu gerbang Indonesia dalam perdagangan internasional;
• lumbung energi nasional termasuk pengembangan energi terbarukan
biomasa;
• pengembangan hilirisasi komoditas batubara;
• industri berbasis komoditas kelapa sawit, karet, timah, bauksit, dan
kaolin;
• percepatan pembangunan ekonomi berbasis maritim (kelautan)
melalui pengembangan industri perikanan, pariwisata bahari, industri
perkebunan dan industri pertambangan;
Dari paparan di atas, agenda pembangunan ekonomi di era pemerintahan
Soesilo Bambang Yoedhoyono dengan era Joko Widodo tak jauh berbeda.
Kesimpulan dari data di atas, percepatan pembangunan ekonomi dilakukan
dengan mengembangkan industri baik industri pangan, tambang, minyak dan
gas, batubara, kelapa sawit, karet, dan lain-lain.
Industri yang sedang digenjot tersebut membutuhkan penopang. Mereka
tidak akan tumbuh dan berkembang di Indonesia tanpa penopang berupa
infrastruktur yang memadai. Karena itu, pemerintah Indonesia memberikan
jaminan yang berbasis pada kebutuhan industri di antaranya:
1. pengadaan infrastruktur yang memadai;
2. pengadaan tanah;
3. tenaga jerja dengan upah murah;
4. pengadaan energi;
5. jaminan keamanan.

PENGADAAN INFRASTRUKTUR YANG AMBISIUS


Pengadaan infrastruktur bergantung corak industrinya. Industri yang kapitalistik
akan mendorong pembangunan infrastruktur yang lebih mengutamakan
kebutuhan modal daripada rakyatnya.
Presiden Joko Widodo sangat gencar untuk mencari investor yang mendanai
proyek-proyek infrastruktur. Beberapa Konferensi Tingkat Tinggi dimanfaatkan
oleh Presiden Joko Widodo untuk menarik investor di Indonesia. Salah satunya
KTT G-20.

117
YLBHI

Dalam KTT Asia Afrika tahun 2015, Presiden Joko Widodo melakukan
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

pertemuan bilateral dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping.


Hasilnya adalah kesepakatan bahwa Tiongkok akan ikut investasi dalam
proyek infrastruktur di Indonesia. Beberapa proyek infrastruktur yang akan
menggandeng Tiongkok antara lain, pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar
udara, pembangunan jalan sepanjang 1000 km, pembangunan jalan kereta api
sepanjang 8700 km, pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 Mega
Watt (MW), dan pembangunan kereta cepat Bandung – Jakarta17.
Selain itu masih banyak acara-acara KTT yang dimanfaatkan oleh Presiden
Jokowi di antaranya KTT G20 tahun 2015 di Antalya Turki. Jokowi mendorong
pengusaha Kanada untuk tingkatkan investasi di Indonesia khususnya di sektor
SDM, pertanian, teknologi berkelanjutan, serta infrastruktur18.
Pendanaan proyek infrastruktur hingga tahun 2019 sebesar 4000 trilyun
yang ditopang oleh dana pemerintah dan swasta. Dana swasta lebih besar
dari pemerintah. Perinciannya, dana swasta dan BUMN sebesar 2.667 trilyun
sedangkan dana pemerintah sebesar 1.333 trilyun. Dana insfrastruktur di tahun
2015 sebesar 290,3 trilyun dan tahun 2017 sebesar 387,3 trilyun19.
Di bawah ini adalah beberapa nilai proyek infrastruktur mulai era Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono hingga Jokowi20:
1. Jalan Tol Pemalang – Semarang, total proyek 15,5 trilyun;
2. Jalan Tol Cimanggis – Cibitung, total proyek 14 trilyun;
3. Jembatan Merah Putih Ambon, total proyek 772,9 milyar;
4. Bandara Kertajati Majalengka, total proyek 10 trilyun;
5. Pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW, total proyek 1.200 trilyun;
6. Jalan Tol Serang – Panimbang Banten, total proyek 10,8 trilyun;
7. Jalan Tol Manado- Bitung Sulawesi Utara, total proyek 5,1 trilyun;
8. Jalan Tol Balikpapan – Samarinda Kalimantan Timur, total proyek 9,9 trilyun;
9. 8 Ruas Jalan Tol Sumatera, total proyek 81 trilyun;
10. MRT Jakarta, total proyek 14,9 trilyun;
11. Light Rail Transit Palembang, total proyek 7,15 trilyun;
12. LRT Jakarta, Bogor, Depok Bekasi, total proyek 20,6 trilyun;
13. Kereta Api Express Bandara Soekarno-Hatta, total proyek 24 trilyun;
14. Kereya Api Makasar-Pare pare, total proyek 9,37 trilyun;
15. Kereta Api Kalimantan Timur, total proyek 25 trilyun;
Periksa https://ekonomi.kompas.com/read/2015/04/25/165045026/Tiongkok.Sapu.Bersih.Proyek.Infrastruktur.
17

Indonesia.
Periksa https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151115162051-92-91789/temui-pm-kanada-jokowi-bahas-
18

kerjasama-dagang.
19
Periksa https://grafis.tempo.co/read/812/megaproyek-infrastruktur-sejak-era-sby-sampai-jokowi.
20
Ibid.

118
CATATAN AKHIR TAHUN

16. Pelabuhan Internasional hub Bitung, Sulawesi Utara total proyek 34 trilyun;
17. Pelabuhan Internasional hub Kuala Tanjung, total proyek 30 trilyun;
18. Inland Waterway Cikarang – Bekasi- Laut Jawa, total proyek 3,4 trilyun.
Dari tahun 2014 hingga 2016, pemerintah sudah membangun jalan sepanjang
2,225 km dan jalan tol 132 km.

INFRASTRUKTUR ENERGI UNTUK INDUSTRIALISASI


Pengadaan energi termasuk bagian dari agenda pembangunan infrastruktur
di Indonesia. Ada banyak jenis energi, tetapi bagian ini fokus pada energi
kelistrikan.
Dalam RUPTL tahun 2015-2024 dinyatakan bahwa ketersediaan batubara
sebagai sumber primer sebesar 119,4 milyar ton. Batubara ini tersebar di
Kalimantan sebanyak 55,8 milyar ton dan di Sumatra sebesar 63,2 milyar ton.
Adapun cadangan batubara sebesar 29 milyar ton. Dengan angka tersebut, dalam
RUPTL terkandungasumsi bahwa batubara selalu tersedia untuk pembangkit
listrik21.
Berangkat dari asumsi tersebut dikaitkan dengan dokumen RPJMN,
pertambangan batubara merupakan sektor yang akan terus digenjot oleh
pemerintah. Jika merujuk pada dokumen RPJMN yang berkali-kali menyatakan
mengembangkan industri hilirisasi batubara, maka patut diduga salah satunya
adalah pembangkit listrik. Oleh karenanya pembangkit listrik dengan bahan
primer batubara akan dikembangkan terus oleh pemerintah. Dalam dokumen
RUPTL tahun 2015-2024 maupun RUPTL 2016-2025 tersebut dalam bagian
Rencana Pengembangan Pembangkit telah direncanakan sebagai berikut22

Wilayah Sumatera
Kandidat pembangkit yang digunakan pada simulasi penambahan pembangkit
di sistem Sumatra cukup bervariasi yaitu kandidat PLTU Batubara yaitu 300
MW dan 600 MW. PLTG/MG/U pemikul beban puncak 100 MW dan 250 MW.
PLTP diberlakukan sebagai fixed project. Sistem lainnya menggunakan kandidat
pembangkit yang lebih kecil.

Jawa Bali
Pada sistem Jawa-Bali, kandidat yang dipertimbangkan untuk wilayah
pengembangan adalah PLTU Batubara Supercritical kelas 1000 Mw dan
600 MW. Pemilihan ukuran unit untuk sistem Jawa Bali sebesar 1000 MW
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2015-2024, hal 59.
21

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2015-2024, hal 81.
22

119
YLBHI

dipertimbangkan berdasarkan efisiensi dan kesesuaian dengan ukuran sistem


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

tenaga listrik Jawa Bali yang beban puncaknya sudah akan melampaui 25.000
MW dan akan menjadi 50.000 MW pada tahun 2050.

Wilayah Timur
Kandidat pembangkit yang digunakan pada simulasi penambahan pembangkit
di Indonesia timur cukup bervariasi tergantung pada kapasitas sistem, yaitu
kandidat pembangkit batubara 25 MW, 50 MW, 100 MW, 150 MW, 200 MW,
300 MW, dan kandidat PLTG/GU pemikul beban puncak kelas 50-450 MW.
Sedangkan sistem lainnya menggunakan pembangkit yang lebih kecil.
Selain itu ada program percepatan pembangkit berbahan bakar batubara.
Dengan Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2006 tentang penugasan kepada
PT PLN Persero untuk melakukan percepatan pembangunan pembangkit
tenaga listrik yang menggunakan batubara sebagaimana telah tiga kali diubah
dengan Peraturan Presiden nomor 59 tahun 2009, Peraturan Presiden nomor
47 tahun 2011, dan Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2014, pemerintah
telah menugaskan PT PLN Persero untuk membangun pembangkit listrik
berbahan bakar batubara kurang lebih 10.000 MW untuk memperbaiki fuel mix
dan sekaligus memenuhi kebutuhan permintaan listrik di seluruh Indonesia.
Program ini dikenal sebagai proyek percepatan pembangkit 10.000 MW.
Selain persoalan pengadaan tanah, pembangkit listrik berbahan batubara juga
tidak ramah secara ekologis. PLTU memberikan dampak lingkungan yang
cukup besar yaitu berupa polusi baik air maupun udara dan berpengaruh
terhadap perubahan iklim.

REKLAMASI DAN BISNIS PROPERTI


Gencarnya proyek reklamasi di Indonesia banyak mendapat perhatian publik,
di antaranya Reklamasi Teluk Benoa di Bali, Reklamasi Jakarta, dan Reklamasi
Makassar. Akan tetapi ternyata proyek reklamasi tidak hanya itu. Beberapa proyek
reklamasi lainnya antara lain Teluk Balikpapan, Pantai Bitung Manado, Pantai
Tanjung Merah Manado, Pantai Boulevard Manado, Pantai Talise Palu, Pantai
Kenjeran di Surabaya, Pantai Lamongan, Pulau Serangan Bali, Pantai Swering
Ternate, dan Pantai Marina Semarang. Jika dijumlahkan, ke-14 wilayah tersebut
akan menjadi daratan dengan luas 20.724 hektr23.
Umumnya, lokasi reklamasi akan dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan
kawasan terpadu seperti bisnis, hunian, wisata dan lain-lain, mayoritas merupakan
bisnis properti. Penolakan masyarakat terhadap reklamasi didasarkan kepada
upaya-upaya untuk melindungi ekosistem dan lingkungan hidup.
Periksa https://tirto.id/menebar-reklamasi-di-negara-ribuan-pulau-FDu.
23

120
CATATAN AKHIR TAHUN

5 SEKTOR TERBESAR DALAM PROYEK STRATEGIS NASIONAL


Sektor energi menjadi prioritas pembangunan masa pemerintahan Joko Widodo
dan Jusuf Kalla. Hal itu terlihat dalam besarnya kebutuhan pembiayaan dalam
sektor energi dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yaitu senilai 1.244 trilyun
dari total 4.197 trilyun. Menurut Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur
prioritas (KPPIP), di sektor energi terdapat 12 proyek prioritas, antara lain
pembangunan kilang minyak di Bontang yang diperkirakan membutuhkan dana
197,5 trilyun, ekspansi kilang minyak Tuban yang diperkirakan membutuhkan
dana sebesar 199 trilyun, dan upgrading kilang minyak eksisting di Jawa Tengah,
Jawa Barat, Riau, dan Sumatra Selatan dengan biaya 246 trilyun. Sementara
itu, sektor ketenagalistrikan membutuhkan nilai investasi sebesar 1,035 trilyun
untuk membangun pembangkit listrik maupun transmisi. Sementara untuk
pembangunan jalan terdapat 74 proyek di seluruh Indonesia dengan nilai
investasi 684 trilyun. Sektor kereta api 23 proyek dengan kebutuhan dana 613
trilyun dan pembangunan kawasan ada 30 proyek dengan kebutuhan dana 290
trilyun24.

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PENDUKUNG INFRASTRUKTUR


Begitu vitalnya pembangunan infrastruktur, sehingga berbagai jaminan
diberikan oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo ketika menutup rapat kerja
nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menyatakan
bahwa APBN hanya ingin fokus saja pada infrastruktur. Karena ini menjadi hal
yang sangat mendasar, sangat penting bagi kompetisi sebuah negara”.25
Dalam rangka memanjakan investor dengan menggenjot pembangunan
infrastruktur tersebut, pemerintah tidak hanya mengalokasikan APBN, tetapi
juga memberikan kemudahan-kemudahan yang diatur di dalam berbagai
regulasi dan kebijakan, di antaranya:
1. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah
peraturan yang cukup banyak menuai keberatan dari berbagai pihak.
Keberatan tersebut didasarkan kepada beberapa hal. Di antaranya upaya
melakukan percepatan mekanisme pengadaan tanah. Di dalam Undang-
undang nomor 2 tahun 2012 upaya percepatan itu nampak dengan sangat
jelas. Karena undang-undang memberikan limitasi waktu yang sangat ketat
dan memberikan waktu untuk mengajukan keberatan dengan sangat terbatas
Periksa https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/10/18/inilah-5-sektor-terbesar-dalam-proyek-
24

strategis-nasional.
Periksa https://nasional.kompas.com/read/2017/07/20/20054901/jokowi--saya-hanya-ingin-apbn-fokus-ke-
25

infrastruktur.

121
YLBHI

pula.
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

Berbagai tahapan yang sudah disusun dalam mekanisme pengadaan tanah


adalah sebagai berikut:
1. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan pemilikan penggunaan dan
pemanfaatan tanah:
• Inventarisasi dan identifikasi penguasaan pemilikan penggunaan dan
pemanfaatan tanah harus selesai dalam jangka waktu 30 hari;
• Pengumuman dilakukan paling lama 14 hari;
• Pengajuan keberatan paling lama 14 hari;
• Verifikasi dan perbaikan dilakukan paling lama 14 hari.
2. Penilaian Ganti Kerugian
• Penilaian ganti kerugian dilakukan paling lama 30 hari.
3. Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
• Musyawarah penetapan ganti kerugian dilakukan paling lama 30 hari;
• Dalam hal tidak tercapai kesepakatan maka keberatan dapat dilakukan
ke Pengadilan Negeri Setempat paling lama 14 hari;
• Pengadilan memutus paling lama 30 hari setelah diterima keberatan;
• Upaya hukum yang dilakukan langsung kasasi paling lama pengajuan
14 hari.
• Mahkamah agung akan memutus paling lama 30 hari.
4. Pemberian Ganti Kerugian
• Penolakan atau keberatan atas ganti kerugian baik berdasarkan
musyawarah dan/atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah
Agung, ganti kerugian dititipkan pada Pengadilan Negeri setempat.
Dari uraian diatas menegaskan bahwa undang-undang ini dibuat
dengan semangat percepatan. Undang-undang tidak memberikan
waktu yang cukup kepada masyarakat untuk mengajukan keberatan,
negosiasi, bahkan menentukan sikap. Pengadilan merupakan sarana
yang digunakan untuk melakukan percepatan tersebut. Dengan waktu
yang singkat seperti itu, masyarakat dipaksa untuk menentukan secara
sendiri-sendiri dan menghilangkan semangat kolektif masyarakat untuk
berembug dan menentukan sikap atas pembayaran ganti rugi.
Selain itu, keberatan juga didasarkan kepada beberapa alasan lain yaitu:
• Adanya pertentangan makna dari pasal per pasal dalam undang-undang
tersebut. Misalnya, dijelaskan pengertian tentang kepentingan umum
yang diartikan sebagai kepentingan bangsa, negara dan masyarakat
yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat, namun pasal berikutnya menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan kepentingan umum itu adalah pembangunan-

122
CATATAN AKHIR TAHUN

pembangunan tertentu di antaranya jalan tol, rumah sakit, jaringan


telekomunikasi, dan lain-lain;
• Masyarakat tidak diberikan kesempatan untuk menentukan apakah
suatu pembangunan itu merupakan kepentingan umum atau bukan;
• Dalam kenyataannya, beberapa jenis pembangunan seperti jalan tol,
pelabuhan, dan lain-lain memiliki dimensi kepentingan bisnis dan tidak
dapat dinikmati oleh siapa saja.

2. INPRES Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek


Strategis Nasional
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2016 ditujukan kepada seluruh jajaran
pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Isntruksi ini diberikan
kepada jajaran kabinet, Jaksa Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Kantor
Staff Presiden, Lembaga Pemerintah non Kementrian, Gubernur dan Bupati/
Walikota. Adapun yang di intruksikan adalah untuk mendukung percepatan
pelaksanaan proyek strategis nasional. Artinya semua jajaran pemerintahaan
dikerahkan untuk mendukung proyek strategis nasional. Beberapa substansi
Inpres ini yaitu:
• Diktum pertama menginstruksikan kepada para pejabat tersebut untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan
kewenangan yang dimiliki untuk melakukan percepatan pelaksanaan
proyek strategis nasional;
• Diktum kedua isinya tentang penyelesaian berbagai masalah dan hambatan
dalam pelaksanaan pembangunan proyek strategis nasional. Termasuk
didorong untuk melakukan diskresi, menyempurnakan, mencabut dan/
atau mengganti peraturan-peraturan yang dapat menghambat proyek
strategis nasional;
• Diktum kesembilan memberikan instruksi kepada gubernur dan bupati/
walikota untuk mengendalikan kenaikan harga terkait pengadaan tanah
untuk kepentingan percepatan pelaksanaan pembangunan proyek
strategis nasional.
Selain itu semua, Presiden juga telah membuat beberapa kebijakan untuk
mempermudah proses perizinan. Misalnya dalam ketentuan pasal 3 Peraturan
Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan pelaksanaan proyek strategis
nasional yang berbunyi “Menteri/Kepala Lembaga, Gubernur dan Bupati/
Walikota memberikan perizinan dan nonperizinan yang diperlukan dalam rangka
pelaksanaan proyek strategis nasional sesuai dengan kewenangannya”
Untuk memahami pasal tersebut, harus dilihat bahwa judul dari peraturan
pemerintah itu adalah “percepatan pelaksanaan…” sehingga makna percepatan
tersebut dapat diartikan tidak memberikan hambatan.

123
YLBHI

Kedua, dalam kalimat pasal tersebut dinyatakan “menteri/kepala lembaga,


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

gubernur dan bupati/walikota memberikan perizinan…” hal ini memberikan arti


bahwa pihak pemberi izin merupakan pihak yang aktif. Ia akan memberikan
izin, dengan kata lain tidak ada izin yang ditolak atau semua izin proyek strategis
nasional pasti lah terbit. Karena ada irah-irah “percepatan”, maka proses nya
pun tidak mendapatkan hambatan. Padahal fungsi pemerintah seharusnya
mengendalikan perizinan, bukan mendorong pemberian izin.

KASUS-KASUS YANG DITANGANI LBH


1. LBH Palembang – kasus jalan tol
Agenda pembangunan infrastruktur di Sumatera Selatan di antaranya,
pembangunan beberapa ruas jalan tol sebagai bagian dari tol trans Sumatera.
Selain itu juga pembangunan lain termasuk venue olahraga dan wisma atlit
untuk keperluan penyelenggaraan SEA GAMES 2018.
Pembangunan jalan tol tersebut di antaranya adalah tol Palembang – Indralaya
sepanjang 22 km, tol Terbanggi Besar – Pematang Panggang sepanjang 100 km,
tol Pematang Panggang – Kayu Agung sepanjang 86,5 km, tol Palembang –
Tanjung Api-Api sepanjang 70 km, dan tol Kayu Agung-Palembang – Betung
sepanjang 112 km. Total pembangunan ruas jalan tol di Sumatera Selatan adalah
390,6 km.
Dari semua proyek tersebut, LBH Palembang mendapat pengaduan dari 14
Kepala Keluarga dari Dusun Karang Anyar, Kelurahan Bukit Baru, Kecamatan
Ilir Barat I, Palembang . Pengaduan tersebut menyangkut pembebasan lahan
yang merugikan masyarakat. Pembangunan jalan tol tersebut menghilangkan
lahan yang sebelumnya merupakan lahan milik warga untuk tanaman karet.
LBH Palembang mendampingi masyarakat sampai mereka memperoleh ganti
rugi sesuai tuntutannya.

2. LBH Jakarta dan Reklamasi Teluk Jakarta


Di sepanjang Pantai Jakarta, setidaknya ada 17 pulau (palsu) yang direncanakan
melalui reklamasi. Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut dimanfaatkan oleh
investor untuk membangun bisnis properti. Agenda bisnis properti melalui
reklamasi pantai Jakarta ini mendapat banyak tentangan dari masyarakat Jakarta.
Terutama kelompok-kelompok nelayan dan penduduk pesisir karena dianggap
merugikan rakyat.
LBH Jakarta bersama kelompok masyarakat sipil berkolaborasi melakukan
penolakan reklamasi tersebut. Strategi hukum yang dilakukan diantaranya adalah
melakukan gugatan atas izin reklamasi pulau F, pulau I, pulau K dan pulau G.

124
CATATAN AKHIR TAHUN

3. LBH Padang – Penolakan Pembangunan Geothermal


Di Wilayah Kabupaten Solok Provinsi Sumatra Barat direncanakan akan
dibangun Geothermal. Proyek tersebut membutuhkan lahan seluas 27.000 hektar
yang terletak di Gunung Talang-Bukit Kili. Geothermal tersebut dibangun untuk
menghasilkan tenaga listrik sebesar 20 MW.
Gunung Talang selama ini merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat
sekitar yang pada umumnya petani penghasil beras dengan kualitas nomor satu.
Pembangunan Geothermal tersebut meresahkan masyarakat sekitar Gunung
Talang karena akan berdampak terhadap pertanian masyarakat dan kelestarian
lingkungan.
LBH Padang mendampingi masyarakat yang menolak pembangunan
Geothermal di Gunung Talang tersebut. Mereka melakukan berbagai aksi
penolakan. Kuatnya penolakan warga tersebut direspon perusahaan dengan
melibatkan aparat keamanan seperti TNI. Sampai dengan catatan akhir tahun
dibuat, masyarakat di sekitar Gunung Talang masih menolak pembangunan
Geothermal.

4. LBH Bandung – PLTU Indramayu, Cirebon, dan Bendungan Jatigede


Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara yang
mendapatkan penolakan adalah PLTU Cirebon dan Indramayu. Di Cirebon
sebelumnya sudah eksisting PLTU Batubara dengan kapasitas 3X300 MW
dan akan dibangun lagi dengan kapasitas 1000 MW oleh PT Cirebon Energi
Prasarana. Sedangkan di Indramayu sebelum nya sudah berdiri PLTU.
Pembangunan PLTU Batubara baik di Cirebon maupun di Indramayu
sebelumnya sudah mendapatkan penolakan dari warga dan kelompok
masyarakat sipil lainnya. LBH Bandung mewakili warga dan organisasi non-
pemerintah mengajukan gugatan untuk penambahan PLTU baik di Cirebon
maupun Indramayu. Kedua Gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim di
Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Saat ini Pemerintah Provinsi Jawa
Barat telah menerbitkan ulang izin lingkungan untuk Pembangunan PLTU di
Cirebon. Sementara perkara PLTU Indramayu masih menunggu proses banding.

Bendungan Jatigede
Bendungan Jatigede direncanakan sejak tahun 1963. Kegiatan pembebasan
tanah pertama kali dilakukan tahun 1982, diresmikan tahun 2015, dan PLTA
beroperasi tahun 2017. Bendungan Jatigede menenggelamkan 26 Desa di 5
Kecamatan. Hingga saat terakhir sebelum pengosongan masih tinggal 11.000
KK.

125
YLBHI

Luas Waduk Jatigede kurang lebih 4.951 ha lahan, terdiri dari lahan pemukiman,
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

lahan pertanian produktif dan hutan negara. Perjalanan proyek yang panjang
dinilai tidak sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Pembangunan bendungan ini melalui beberapa rezim dan beberapa ketentuan
aturan ganti rugi.
Saat ini Bendungan Jatigede sudah beroperasi, tetapi masih menyisakan proses
penyelesaian baik dalam hal ganti rugi, kompensasi, dan lain-lain. Di lapangan
terjadi perbedaan perspektif antara warga dengan pemerintah dalam hal ini
yang membuat penyelesaian konflik di Jatigede berlarut-larut. Saat ini banyak
warga eks Jatigede yang tinggal di beberapa wilayah dalam keadaan yang sangat
memprihatinkan karena kehilangan pekerjaan.
LBH Bandung mendampingi warga Jatigede sejak mereka bergabung dengan
Serikat Petani Jawa Barat. LBH Bandung bergabung dalam aksi-aksi penolakan,
membentuk Forum Komunikasi Rakyat Jatigede (FKRJ), melakukan penolakan
terhadap pembangunan waduk Jatigede, dan mengajukan Judicial Review
Perpres No 1 tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan
Pembangunan Waduk Jatigede.

5. LBH Yogyakarta – Bandara Kulonprogo


Bandara Baru bertitel New Yogyakarta International Airport (NYIA) akan di
bangun di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo. Bandara ini dimaksudkan
untuk menggantikan Bandar Udara Internasional Adisutjipto yang dinilai sudah
padat dan akan dikembalikan kepada TNI AU untuk kepentingan pendidikan
Militer.
New Yogyakarta International Airport membutuhkan lahan seluas 650 ha dan
pembiayaan sebesar 7 triliun. Bandara Tersebut juga akan dilengkapi dengan
akses jalan nasional, jalan tol dan kereta bandara. Semua itu adalah paket
lengkap pembangunan infrastruktur dan bisnis.
Pembangunan bandara ditolak warga, LBH Yogyakarta mendampingi masyarakat
untuk mengajukan gugatan atas Ijin Penetapan Lokasi (IPL) pembangunan
bandara Kulon Progo. Di tingkat pertama, gugatan warga dikabulkan, namun
di tingkat kasasi putusan hakim dibatalkan Mahkamah Agung. Selain itu LBH
Yogyakarta mengajukan permohonan Judicial Review atas Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulonprogo ke Mahkamah Agung.
Proses pembebasan tanah di Kulonprogo belum sepenuhnya diterima oleh
warga, tetapi pihak Angkasa Pura mengeluarkan surat peringatan untuk
pengosongan lahan dan dilanjutkan dengan menggusur warga dan rumahnya
secara paksa. Kasus penggusuran pada awal Desember 2017 tersebut berakhir
dengan penangkapan beberapa aktivis yang mendampingi warga di Kulonprogo.

126
CATATAN AKHIR TAHUN

LBH Bali – PLTU Celukan Bawang


Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara di Desa Celukan Bawang,
Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali resmi beroperasi pada tahun
2015. Adapun pembangkit listrik tersebut menghasilkan listrik dengan kapasitas
380 MW dan membutuhkan lahan seluas 40 hektar.
Pembangunan PLTU Celukan Bawang berdampak pada mata pencaharian
warga, terutama mereka yang bekerja sebagai petani kelapa. Menurut warga,
hasil panennya berkurang setelah beroperasinya PLTU. Warga juga melaporkan
adanya polusi, terutama debu yang berasal dari kolam pembuangan limbah
PLTU.
Di tengah banyaknya keluhan terhadap pengoperasian PLTU Batubara di
Celukan Bawang, ternyata akan dibangun lagi PLTU Batubara Celukan Bawang
II dengan kapasitas 2X300 MW.
Saat ini, LBH Bali sedang melakukan advokasi terhadap warga yang keberatan
dengan pengoperasian PLTU I maupun rencana pembangunan PLTU II.

6. LBH Makassar – Reklamasi dan PLTU Batubara


Reklamasi
Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan Izin Reklamasi pantai seluas 157,23
hektar. Reklamasi tersebut dilakukan dalam rangka pembangunan megaproyek
Center Point Indonesia (CPI). Izin reklamasi tersebut dilengkapi juga dengan
Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan
Investor. Dalam perjanjian tersebut, investor akan melakukan reklamasi seluas
157 hektar, 102 hektar akan dimanfaatkan oleh investor untuk kepentingan
komersial dan pusat bisnis terpadu, sisanya 52 hektar akan dimanfaatkan oleh
Pemerintah Provinsi.
Proyek reklamasi tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, baik
masyarakat maupun kelompok masyarakat sipil. LBH Makasar mendampingi
kelompok masyarakat sipil untuk mengajukan gugatan reklamasi tersebut.

Proyek PLTU
Pembangunan Proyek PLTU I berlokasi di Dusun Punagaya, Desa Punagaya,
Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto. Pelaksana proyeknya adalah PT
Bosowa energi PT Sumber Energi Prima (SSP) PLTU terdiri dari 4 unit dengan
kapasitas 500 MW. Dalam kasus ini sudah muncul korban yaitu 63 warga
keracunan kerang, diduga kerang terpapar limbah dari PLTU.
Sedangkan proyek PLTU 2 berlokasi di Tarowang Dusun Ra’nga, Desa Balang

127
YLBHI

Belu, Kecamatan Tarowang. PLTU 2 ini akan berdampak terhadap lima desa.
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

Sementara kerusakan lain yang mungkin timbul rumput laut yang ditanam oleh
warga serta dan berkurangnya hasil tangkapan warga.
Sampai dengan saat ini LBH Makassar masih bersama-sama dengan kelompok
masyarakat sipil yang lain melakukan advokasi atas kerugian-kerugian yang
muncul karena pengoperasian PLTU.

Dampak Pembangunan Infrastruktur


Pemerintah telah merencanakan dan membangun infrastruktur secara massif
dengan dukungan swasta dan dilandasi peraturan. Manfaat pembangunan juga
telah dipropagandakan, yaitu untuk penanggulangan kemiskinan, mendorong
pertumbuhan perekonomian, dan lain sebagainya. Tetapi ada tiga dampak yang
secara umum yang akan dialami masyarakat yaitu:
1. Rusaknya rantai ekologis
Pembangunan infrastruktur merubah bentang alam. Semakin banyak,
luas dan massif maka perubahan bentang alam semakin nyata. Hilangnya
lahan pemukiman, lahan pertanian, bahkan lahan hutan yang terkonversi
menjadi infrastruktur membuat daya dukung alam semakin berkurang.
Hutan primer hilang karena geothermal dan bendungan, lahan-lahan hilang
karena bandara, jalan tol semakin mengikis daya dukung ruang. Hal tersebut
diperparah dengan terpaparnya udara, air dan tanah dari zat-zat berbahaya
beracun yang mengakibatkan warga menjadi kesulitan untuk mendapatkan
udara bersih, air bersih dan tanah. Rantai ekologis menjadi terganggu.
Ketika rantai ekologis terganggu, maka terganggu pula hak dasar manusia
atas lingkungan hidup yang sehat.
2. Rusaknya rantai ekonomi
Pembangunan infrastruktur yang didukung oleh kebijakan-kebijakan yang
tidak pro terhadap rakyat, mengakibatkan terampasnya tanah-tanah warga.
Kehilangan lahan kehidupan baik rumah maupun tanah. Dengan sistem ganti
rugi yang ada membuat kemampuan warga untuk bertahan hidup dalam
jangka waktu yang panjang semakin tidak memungkinkan. Hilangnya mata
pencaharian utama membuat warga harus merubah mata pencahariannya.
Seorang petani harus berubah menjadi tukang ojek, buruh pabrik, supir
angkot dan lain-lain. Hampir semua korban yang tergusur mengalami
penurunan kualitas hidupnya dan penurunan kesejahteraan hidup.
3. Rusaknya rantai sosial
Hilangnya lahan-lahan pertanian, rusaknya kualitas lingkungan seperti air,
udara dibarengi dengan semakin mempercepat proses kotanisasi. Warga
yang semula hidup dengan kultur agraris, harus masuk ke dalam dunia
industri. Hal tersebut menimbulkan shock culture. Hidup di dunia industri

128
CATATAN AKHIR TAHUN

tanpa ditopang oleh soft skill hanya akan menempatkan orang kedalam
rantai kehidupan paling bawah. Fenomena human trafficking, buruh migran,
munculnya kaum-kaum miskin perkotaan menjadi semakin nyata di depan
mata. Tidak ada lagi sistem kekerabatan ala masyarakat agraris, terjadi
perubahan watak dan karakter warga. Kemiskinan tersebut akan menyeret
warga menjadi manusia yang rentan, termasuk rentan dalam harapan hidup
dan rentan terkena kasus pidana.
Dari uraian di atas, pembangunan infrastruktur yang telah merusak rantai
ekologis, rantai ekonomi dan rantai sosial dapat diartikan telah merubah struktur
kehidupan dan struktur alam. Perencanaan ambisius dalam membangun proyek
infrastruktur yang dimanjakan oleh program dan kebijakan pemerintah yang
menimbulkan kerusakan parah merupakan kejahatan yang sempurna.

Beberapa simpulan dari isu infrastruktur


Dari uraian di atas, terdapat beberapa simpulan, di antaranya:
1. Pembangunan infrastruktur yang sepihak mengakibatkan hilangnya hak-
hak masyarakat atas tanah dan lingkungan hidup yang pada akhirnya
membawa kemiskinan. Korban pembangunan infrastruktur pada umumnya
masyarakat dalam jumlah besar karena infrastruktur yang dibangun berupa
megaproyek dan berdampak luas;
2. Pemerintah tidak menangani dampak pembangunan infrastruktur secara
maksimal, tak ada dukungan pemerintah maupun peraturan perundangan
dan kebijakan yang mempertimbangkan hak korban dan upaya pemulihannya;
3. Hampir semua proyek infrastruktur mengesampingkan partisipasi
masyarakat, khususnya masyarakat yang terdampak;
4. Pembangunan infrastruktur diikuti massifnya perampasan lahan dan alih
fungsi lahan26.

Seluruh proyek infrastruktur dalam uraian di atas membutuhkan tanah, yang perolehannya bisa didapat secara
26

sewenang-wenang. Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa terdapat terdapat 74 kawasan industri


dengan total luas lahan sekitar 30.000 ha. Dalam rencana induk pembangunan industri nasional tahun 2015-
2035, pemerintah ditargetkan untuk membangun minimal 36 kawasan industri baru dengan penambahan
lahan minimal 50.000 hektar. Sedangkan untuk periode 2015-2019, Kementerian Perindustrian memfasilitasi
pembangunan 14 kawasan industri di luar Jawa dengan perincian 7 kawasan industri di wilayah timur dan sisanya
di barat. Kawasan industri di Jawa akan diarahkan untuk fokus pada pengembangan jenis industri tertentu,
sedangkan pengembangan kawasan-kawasan industri baru di luar Jawa diarahkan pada industri berbasis
sumberdaya alam dan pengolahan mineral. Jika dihitung, ada 30.000 hektar kawasan industri yang sudah ada
dan akan ada perluasan seluas 50.000 hektar sehingga totalnya 80.000 hektar. Pada masa pemerintahan Presiden
Yudhoyono, pembangunan jalan sepanjang 4.770 km jalan nasional dan 420 km jalan tol. Pada era Jokowi,
dibangun 2.225 mm jalan nasional dan 132 km jalan tol. Calon luas tol di Sumatera Selatan sepanjang 390,6 km.
Sementara itu Bendungan Jatigede seluas 4.951 ha, Bandara Kulonprogo seluas 650 ha, Bandara Kertajati seluas
1.800 Ha dan areal pendukung nya 3.500 ha.

129
YLBHI

PEMBIARAN KONFLIK AGRARIA DAN KRIMINALISASI


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

Konflik Agraria
Konflik agraria di Indonesia menjadi masalah menahun, berdampak luas, dan tak
terselesaikan. Data YLBHI dan data yang dihimpun dari 15 kantor menunjukkan
konflik struktural agraria merata terjadi di seluruh Indonesia. Pengumpulan
data berasal dari hasil pengaduan atau konsultasi masyarakat yang mendatangi
kantor-kantor LBH dan penanganan kasus-kasus secara langsung. Konflik-
konflik tersebut belum mendapat penyelesaian signifikan sampai sekarang.
Di bawah ini adalah data konflik agraria di 15 provinsi di Indonesia.

Dari 15 provinsi tersebut, luas lahan konflik adalah 338.280,47 hektar. Papua dan
Makassar menduduki peringkat 1 dan 2 dalam hal luas lahan konflik terbesar.
Grafik 9. Jenis Konflik Agraria

Konflik-konflik agraria tersebut terjadi di sektor perkebunan, kehutanan,


pertambangan, pesisir dan kelautan, perkotaan, dan infrastruktur. Kasus-
kasus konflik agraria di sektor perkebunan berlatar belakang perampasan

130
CATATAN AKHIR TAHUN

lahan masyarakat lokal/petani/masyarakat adat oleh perusahaan-perusahaan


perkebunan milik swasta atau negara. Sedangkan konflik-konflik agraria di sektor
kehutanan dilatarbelakangi oleh dimasukkannya lahan-lahan pertanian/lahan
garapan masyarakat atau lahan-lahan masyarakat adat ke dalam konsesi-konsesi
perusahaan HTI, HPH, IUPHHK-HTI, IUPHHK-HA, Konservasi/Lindung,
dan Perhutani. Konflik-konflik tersebut terbagi menjadi konflik warisan masa
lalu, konflik yang terjadi pada masa Orde Baru yang masih berlanjut sampai
sekarang, dan konflik-konflik yang terjadi setelah masa Reformasi. Masa
Reformasi digunakan sebagai penanda karena seharusnya terjadi perubahan
dalam konteks penyelesaian konflik dan penguasaan lahan.
Dalam grafik di atas, konflik agraria tertinggi ada di sektor perkotaan (45%)
dengan data-data yang masuk dari LBH Jakarta. Kasus-kasus terbanyak di
perkotaan adalah kasus penggusuran. Di luar perkotaan, konflik agraria
terbanyak di sektor perkebunan (18%), diikuti kehutanan (12%), pertambangan
(4%), infrastruktur (3%), dan pesisir dan kelautan (3%). Jumlah korban dari
seluruh konflik tersebut 95.567 KK atau 249.855 orang.
Grafik 10. Penyebab Konflik

Dari grafik di atas, penyebab konflik terbesar adalah pengambilalihan lahan untuk
perkebunan (74 kasus), tanah dimasukkan dalam kawasan hutan (63 kasus),
pengambilalihan lahan untuk kepentingan lain (51 kasus), pengambilalihan
lahan untuk infrastruktur (27 kasus), pengambilalihan lahan untuk tambang (15
kasus), dan reklamasi (12 kasus).
Pada masa Reformasi, YLBHI-LBH mendampingi para petani, masyarakat
adat, masyarakat lokal yang memperjuangkan lahannya kembali. Para petani di
wilayah-wilayah tersebut mereklaim lahan-lahan yang dahulu mereka buka dan
garap tetapi kemudian diambil/dirampas perusahaan-perusahaan perkebunan
maupun kehutanan. Aksi-aksi reklaiming tersebut berhasil mengembalikan
ribuan hektar lahan-lahan masyarakat. Tetapi, pada beberapa tempat, polisi

131
YLBHI

mengkriminalkan masyarakat atas laporan perusahaan-perusahaan atas aksi


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

reklaiming lahan yang dilakukan.


Pada masa Reformasi, kasus-kasus agraria bentuk baru bermunculan. Pada
masa Orde Baru, beberapa kasus besar perampasan lahan untuk infrastruktur
juga terjadi, salah satunya adalah kasus Kedungombo.
Setelah Reformasi, kasus-kasus lahan berlatar belakang pembangunan
infrastruktur bermunculan setelah adanya Infrastructure Summit pada tahun
2005 yang kemudian diikuti dengan keluarnya Perpres No. 36 Tahun 2005
yang diperbarui dengan Perpres No. 35 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. SBY kemudian mengeluarkan
master plan pembangunan bernama Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pemberlakuan masterplan
ini meningkatkan kasus-kasus konflik agraria di beberapa tempat karena
pengambilalihan lahan-lahan masyarakat. Hal ini diperparah dengan ditolaknya
Judicial Review UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum. Akibatnya, di beberapa daerah, konversi lahan-
lahan pertanian untuk pembangunan infrastruktur semakin besar. Masyarakat
yang menolak menyerahkan lahan dipaksa menerima konsignasi atau penitipan
uang ganti rugi lahan di pengadilan.
Konflik agraria juga terjadi di perkotaan. Konflik ini terjadi karena penggusuran
lahan-lahan masyarakat di perkotaan. Lahan-lahan milik masyarakat tersebut
dianggap illegal. Konflik agraria di perkotaan terbesar terjadi di Jakarta.
Sedangkan di wilayah pesisir dan kelautan, konflik agraria terjadi karena
diambilnya ruang hidup masyarakat di wilayah pesisir untuk reklamasi.
Grafik 11. Tipe Konflik

132
CATATAN AKHIR TAHUN

Para pihak yang selama ini terlibat konflik adalah:


1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2. Perusahaan perkebunan swasta
3. Perusahaan perkebunan negara (PTPN)
4. Perusahaan kehutanan swasta
5. Perhutani
6. Perusahaan pertambangan
7. Pemerintah daerah
8. TNI/Militer
Sementara itu masyarakat yang terlibat konflik adalah masyarakat adat,
masyarakat lokal, dan petani.
Aktor yang paling besar berkonflik dengan masyarakat adalah perusahaan
swasta (112 kasus). Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan
swasta ini terjadi karena diberikannya izin-izin, konsensi-konsesi, dan Hak
Guna Usaha dari pemerintah kepada perusahaan-perusahaan swasta dengan
cara mengambil alih atau merampas lahan masyarakat. Sedangkan peringkat
kedua adalah konflik antara masyarakat melawan negara (83 kasus) dimana di
dalamnya termasuk perusahaan negara (PTPN) dan pemerintah (Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Perhutani dijadikan aktor tersendiri
karena wilayah konfliknya spesifik di Jawa. Konflik agraria dengan TNI karena
pengambilalihan lahan-lahan oleh TNI juga tergolong banyak (65 kasus). Jawa
Timur tergolong wilayah yang banyak terjadi konflik agraria dengan TNI.

Kriminalisasi
Konflik agraria tersebut mengakibatkan banyak orang (petani, masyarakat adat)
dikriminalkan. Jumlah korban kriminalisasi dengan UU P3H selama tahun
2015-2017 adalah 16 orang.
1. Petani Surokonto, 3 orang (2017)
2. Asyani (2015)
3. Sujana, petani Cilacap (2017)
4. Parno Jombang (2016)
5. Lilik Sudawarti Blora (2016)
6. Ngasiran Blora dan satu petani Blora (2017)
7. Warga Aceh Timur, 3 orang (2017)
8. Poniran dan Ngatiran, Jombang (2017)
9. Dua orang masyarakat adat di Kabupaten Agam, Sumatera Barat (2017),
menggunakan UU P3H dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

133
YLBHI

Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

Sementara itu data para pejuang lingkungan hidup dan hak atas tanah yang
dikriminalkan adalah 50 orang.
1. Joko Prianto
2. I Wayan Gendo Suardana
3. Tiga nelayan Pulau Pari (Sawin, Nanto, Sukma)
4. Empat warga Tumpang Pitu Banyuwangi, satu proses sidang, tiga orang
berstatus tersangka. Ketentuan yang dikenakan adalah UU No. 27 Tahun
1999 pasal 107 a tentang isu komunisme
5. Tiga orang penolak Bandara Kertajati
6. 11 orang masyarakat organisasi Serikat Tani Korban Gusuran BNIL (STKGB)
Lampung melawan PT BNIL
7. 11 masyarakat Gowa Sulawesi Selatan
8. Lima nelayan Takalar, Sulawesi Selatan (menggunakan KUHP)
9. Satu orang petani STTB Karawang, Jawa Barat, kasus konflik tanah
Telukjambe
10. Tujuh orang di Sumatera Barat, kasus geothermal
11. 3 orang petani Indramayu yang menolak PLTU Indramayu, Jawa Barat

Militerisasi
Pada 2017, pemerintah banyak melibatkan militer dalam pembangunan
termasuk pembangunan desa, pertanian, dan infrastruktur. Tahun-tahun
sebelumnya, militer sudah aktif menjaga perusahaan-perusahaan perkebunan
swasta dan negara. Pada tahun 2017, pemerintah mengadakan beberapa
perjanjian kerjasama atau MOU dengan TNI, di antaranya:
1. MOU BPN dengan Kemenhan mengenai sertifikasi asset TNI27
2. MOU Menteri Perindustrian dengan Menteri Perindustrian, Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Menteri Ristek Dikti, Menteri BUMN, dan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan TNI terkait penelitian
dan pengembangan alutsista dan non-alutsista28;
3. Kerjasama Menteri Pertanian dengan TNI dalam bidang pengawalan upaya
khusus jagung, padi, serapan gabah dan cetak sawah;
4. MOU Kemendes dengan TNI terkait pembangunan kawasan perdesaan
termasuk penggunaan dana desa;
Periksa http://nasional.kompas.com/read/2017/03/31/11432781/kemhan.dan.kementerian.atr.percepat.
27

sertifikasi.aset.ribuan.hektar.tanah
Periksa http://www.tribunnews.com/nasional/2016/03/23/nota-kesepahaman-tni-dengan-instansi-
28

kementerian-dan-bnpb.

134
CATATAN AKHIR TAHUN

5. MOU antara TNI dengan Mendikbud Muhadjir Effendy tentang Perluasan


dan Peningkatan Mutu Layanan Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam
kerjasama ini, TNI akan terlibat dalam program Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) Kemendikbud termasuk program Tentara Masuk Sekolah29.
YLBHI telah mengeluarkan pernyataan sikap berkaitan MOU antara BPN
dengan Kemenhan. Dari catatan YLBHI 2017, Kementerian Pertahanan dan
TNI merupakan salah satu institusi yang banyak berkonflik dengan masyarakat
petani atau masyarakat lokal. Selama ini konflik-konflik agraria yang melibatkan
Kemenhan/TNI tak pernah diselesaikan. Selain karena tak ada itikad baik,
Kemenhan/TNI juga menolak tunduk di hadapan birokrasi tanah Kementerian
ATR/BPN. Penandatanganan kerjasama tersebut menunjukkan Kementerian
ATR/BPN tak memiliki kemauan menyelesaikan konflik-konflik agraria
yang melibatkan masyarakat dengan Kemenhan/TNI dan justru melegalkan
penguasaan lahan-lahan Kemenhan/TNI yang sedang dalam sengketa. MOU itu
mengunci peran-peran Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam memfasilitasi
penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan yang menyangkut tanah
Kementerian Pertahanan dan TNI yang akan semakin melegalkan penguasaan
lahan-lahan yang sedang dalam konflik/sengketa dan melanggengkan kekerasan
di wilayah-wilayah tersebut.

Pelibatan TNI/POLRI dalam Obyek Vital Nasional


Dalam Keputusan Presiden No 63 Tahun 2004 tentang pengamanan obyek vital
nasional dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan obyek vital adalah kawasan/
lokasi bangunan/instalasi dan/atau usaha menyangkut hajat hidup orang banyak,
kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.
Pasal 6 Keppres tersebut menyebutkan bahwa “Kepolisian Republik Indonesia
mengerahkan kekuatan pengamanan obyek vital nasional berdasarkan kebutuhan
dan perkiraan ancaman dan/atau gangguan yang timbul”. Sedangkan pasal 7
menyatakan “dalam melaksanakan pengamanan obyek vital nasional Kepolisian
Republik Indonesia dapat meminta kekuatan Tentara Nasional Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Maka, dapat disimpulkan bahwa aktor utama pengamanan obyek vital nasional
ini adalah Polri dan TNI. Pelibatan TNI dalam pengamanan obyek vital nasional
ini juga tidak dijelaskan pada situasi seperti apa; penilaiannya diserahkan kepada
pihak kepolisian. Berikutnya, yang dimaksud dengan pengamanan. Dalam pasal
1 angka (3) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengamanan adalah
“segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam rangka pencegahan, penangkalan
dan penanggulangan serta penegakan hukum terhadap setiap ancaman dan
gangguan terhadap obyek vital nasional”. Rumusan tadi menjelaskan bahwa
Periksa https://news.detik.com/berita/d-3753614/panglima-mendikbud-teken-mou-bakal-ada-tentara-masuk-
29

sekolah.

135
YLBHI
ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

pengamanan tersebut ditafsirkan oleh pihak kepolisian dengan pengelola obyek


vital nasional. Bentuk kegiatannya bisa berbentuk apa saja karena dalam pasal2
berikutnya tidak dijelaskan lebih rinci. Tetapi teks tentang kriminalisasi di dalam
ketentuan tersebut sangat jelas, yaitu dengan memasukkan kalimat penegakan
hukum terhadap setiap ancaman dan gangguan terhadap obyek vital nasional.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 620/M-IND/
kep/12/2012 tentang Obyek Vital Nasional Sektor Industri, puluhan perusahaan
yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional, antara lain:
1. PT Inti Celluloceutama Indonesia;
2. PT Dahana (Persero);
3. PT Dirgantara Indonesia;
4. PT Garam (Persero);
5. PT Laju Perdana Indah;
6. PT Toba Pulp Lestari;
7. PT Riau Andalan Pulp and Paper;
8. PT Kertas Leces;
9. PT Indonesia Asahan Aluminium;
10. PT Krakatau Steel;
11. PT Smelting co;
12. PT Multimas Nabati Asahan;
13. PT Nubika Jaya;
14. PT Smart;
15. PT Multi Nabati Sulawesi;
16. PT Permata Hijau Sawit;
17. PT Sumber Indah Perkasa;
18. PT Salim Ivo Mas Pratama;
19. PT PAL;
20. PT PINDAD;
21. PT Dok Perkapalan Surabaya;
22. PT Chandra Asri Petrochemical;
23. PT Petrokimia Gresik;
24. PT Iskandar Muda;
25. PT Pupuk Sriwijaya Palembang;
26. PT Pupuk Kalimantan Timur;
27. PT Pupuk Kujang;

136
CATATAN AKHIR TAHUN

28. PT Lafarge Cement Indonesia;


29. PT Semen Baturaja;
30. PT Indocement Tunggal Prakasa;
31. PT Semen Gresik;
32. PT Semen Padang;
33. PT Holcim Indonesia;
34. PT Semen Kupang;
35. PT Semen Tonasa;
36. PT Inti;
37. PT LEN;
38. PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
Sedangkan untuk kawasan-kawasan industri sebagai berikut:
1. Kawasan Industri Modern Cikande Industrial Estate;
2. Kawasan Industri East Jakarta Industrial Park (EJIP);
3. Kawasan Industri Ngrono Industrial Park I;
4. Kawasan Industri Ngrono Industrial Park II;
5. Kawasan Industri Medan Star Industrial Estate;
6. Kawasan Industri Panbil Industrial Estate;
7. Kawasan Industri Kaltim Industrial Estate;
8. Kawasan Industri Medan;
9. Kawasan Industri Jababeka Industrial Estate – Cikarang;
10. Kawasan Industri Karawang International Industrial City.
Beberapa perusahaan dan kawasan industri tersebut erat singgungannya
dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya, yang berpotensi meminggirkan
hak-hak masyarakat. Misalnya, pemberlakuan upah murah yang memicu aksi-
aksi buruh di kawasan-kawasan industri, aksi masyarakat karena pencemaran
lingkungan, dan pengambilalihan tanah-tanah masyarakat. Polri dan TNI kerap
menggunakan pendekatan represif dalam mengamankan aksi-aksi tersebut.
Pelibatan Polri dan TNI dalam pengamanan obyek vital nasional memicu
pemberangusan hak-hak masyarakat, khususnya yang berkonflik dengan
perusahaan-perusahaan tersebut.
Seluruh keterlibatan militer dalam ranah sipil di atas justru dilegitimasi oleh
Mahkamah Konstitusi dengan keluarnya Putusan No. 95/PUU-XIV/2016
tentang Pengujian Perppu No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Dalam putusan tersebut, majelis

137
YLBHI

hakim berpendapat bahwa “Pelibatan TNI dalam penggusuran dapat dibenarkan


ANALISA KEBIJAKAN SITUASI HUKUM DAN HAM NASIONAL

sebagai upaya akhir untuk melindungi keamanan dalam negeri”. Masyarakat sipil
yang miskin dan menjadi korban dianggap sebagai ancaman keamanan dalam
negeri; hal ini membuka peluang digunakannya kekuatan militer bagi kasus-
kasus penggusuran di Indonesia30.

LBH Jakarta, 2017. Redupnya Api Reformasi: Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2017. Jakarta: LBH Jakarta.
30

138
CATATAN AKHIR TAHUN

139
YLBHI

BAB V
LBH DARI MASA KE MASA

LBH DARI MASA KE MASA

B
agian ini menguraikan secara singkat kasus-kasus yang ditangani LBH-
YLBHI pada masa Orde Baru.

PERAMPASAN LAHAN
Taman Mini – 1972
TMII mulai dibangun tahun 1972 dan diresmikan pada 20 April 1975. Proyek ini
menempati areal seluas 150 hektar. Dalam pembangunan ini, sekitar 500 kepala
keluarga terkena penggusuran paksa tanpa adanya ganti rugi yang layak. Protes
tentang proyek ini dilakukan melalui demonstrasi di mana-mana dan menandai
periode awal-awal kritik terhadap Orde Baru/Soeharto.

Simprug - 1972
108 Kepala Keluarga bersengketa dengan PT Berdikari, sebuah perusahaan
developer perumahan mewah yang memperoleh izin dari Pemerintah DKI Jaya
untuk melakukan pembebasan tanah di daerah Kampung Simpruk, Kebayoran.
Lahan itu diperuntukkan perumahan mewah, adapun ganti rugi yang disediakan
tidak sesuai dengan harga pasaran umum. Warga hanya diberi Rp 3,000,00/
m2 ditambah dengan ganti rugi lainnya berupa uang untuk pemilik bangunan
dan penyewa bangunan. Pemerintah DKI Jakarta atas nama tertib hukum dan
kepentingan umum kemudian membongkar paksa, memotong, dan menebang
pohon-pohon di areal tanah itu, dimana di atasnya tumbuh aneka buah sebagai
sumber ekonomi masyarakat. Warga juga menerima intimidasi dan ancaman-
ancaman oleh oknum-oknum tertentu.
Warga kemudian datang ke LBH Jakarta untuk mengadu dan meminta bantuan
hukum. Melalui surat kuasa tertanggal 6 Februari 1972, LBH Jakarta dan warga
Kampung Simpruk melancarkan protes dan peringatan kepada PT Berdikari
yang telah melakukan pembongkaran dan penebangan pohon-pohon secara
paksa. “Ketika buldoser dan alat-alat berat tiba di tempat dengan kawalan militer
bersenjata, pengacara LBH berdiri siap bersama masyarakat untuk mencegah
mereka melaksanakan pengosongan tanah itu”, demikian tutur Adnan Buyung
Nasoetion31.
Musyawarah antara LBH, PT Berdikari, dan pemerintah DKI Jakarta pada 12
Februari 1973 akhirnya membuahkan kesepakatan. Ganti rugi tanah dinaikkan
menjadi Rp 5,000,00 per m2, ditambah ganti rugi atas bangunan, tanaman, dan
Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional: Pikiran dan Gagasan, Gramedia Pustaka Utama, hal. 76.
31

140
CATATAN AKHIR TAHUN

biaya pindah. Selain itu para warga bersangkutan juga mendapat penampungan
di Kampung Rawa yang harus ditebus sebesar Rp 3,000,00.

Tapos - 1980
Pada tahun 1990-an, Soeharto meminta Gubernur Jawa Barat untuk menyediakan
tanah di sekitar wilayah Tapos itu. Akibatnya ada sekitar 300 keluarga yang harus
meninggalkan tanah pertaniannya. Lahan pertanian yang benar-benar seperti
ranch yaitu tertutup, tidak bisa dimasuki orang biasa32.  Belakangan diketahui
pembiayaan Tapos merupakan bagian dari dugaan korupsi Soeharto.

Sumber gambar: bukujadul.com

Jatigede - 1982
Pemerintah berencana membangun bendungan seluas 26 desa dan 6 kecamatan
seluas 4.891 hektar pada tahun 1960an dan dimulai pada tahun 1980-an.
Pengusiran warga dimulai dengan SK Gubernur Jabar 1981 tentang pengamanan
lahan di wilayah genangan Jatigede yang berakibat dilarangnya renovasi rumah
dan sekolah, perbaikan jalan, listrik hingga tahun 1990-an. Terdapat pula
pengurangan luas tanah dan tidak dihitungnya tanaman dan bangunan di
atasnya. Pemerintah seolah-olah bertindak baik dengan memberikan ganti
rugi pada tahun 1982 dan membiarkan masyarakat tetap tinggal di tanahnya
hingga proyek dijalankan. Tetapi sesungguhnya hal ini menimbulkan kerugian
yang sangat besar kepada masyarakat karena artinya pembayaran menggunakan
Radio Nederland Wereldomroep Indonesia, Ingat Soeharto, Ingat Tapos. Periksa http://archief.wereldomroep.nl/
32

bahasa-indonesia/article/ingat-soeharto-ingat-tapos.

141
YLBHI

harga yang rendah. 16 warga yaitu Muhammad Rahmat, dkk sempat dipanggil,
LBH DARI MASA KE MASA

ditahan, dan disiksa di Kodim. LBH Bandung melakukan pengorganisasian dan


mendampingi warga hingga akhirnya proses berhenti sementara karena kuatnya
penolakan warga.

Badega – 1984
Sekitar 800 petani yang telah menggarap lahan turun-temurun sejak tahun 60-
an di Gunung Badega, Kecamatan Cikajang, dan Banjarwangi Kabupaten Garut,
Jabar mengajukan permohonan untuk memperoleh hak kepemilikan atas tanah
seluas 450 hektar kepada Bupati Garut. Permohonan petani ditolak, namun
tanpa sepengetahuan petani pada 1986 HGU perkebunan terlantar dimiliki oleh
PT SAM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.SK.33/HGU/
DA/86 yang ditandatangani Dirjen Agraria. PT SAM kemudian meminta para
petani segera menyerahkan tanah garapan mereka dan dijanjikan akan diterima
menjadi buruh perkebunan PT SAM dengan upah Rp 600/hari.
Perjuangan petani akhirnya mengakibatkan 13 petani ditahan di Polres Garut
dengan tuduhan menyerobot tanah. Petani mengalami banyak kekerasan dan
ada pula penangkapan aktivis oleh Kodim.

Jatiwangi - 1986
Tahun 1942 ketika tentara Jepang merampas tanah seluas 1043 hektar milik
kurang lebih 2247 orang warga di daerah Jatiwangi Majalengka. Kemudian
membangun markas pangkalan udara dan tempat penyimpanan logistik
untuk perang dunia ke dua. Tahun 1943 pangkalan udara Jepang beroperasi
namun lahan yang digunakan hanya sekitar 450 ha. Sehingga sisa tanah yang
dimanfaatkan kembali oleh para pemilik sebelumnya. Kekalahan perang dunia
kedua berdampak tentara Jepang harus meninggalkan Indonesia. Dari tahun
1945 masyarakat kembali menggarap tanah tersebut. Tahun 1950 TNI AU
dari lapangan udara Cibeureum Tasikmalaya menguasai lahan tersebut dan
mengusir masyarakat yang bertani di lahan tersebut. Dimulailah konflik antara
petani Jatiwangi dengan TNI AU.
Tahun 1960 petani mulai berorganisasi sebagai wadah perjuangan untuk merebut
kembali tanah tersebut. Tahun 1986 TNI AU mensertifikatkan seluruh tanah di
lokasi tersebut. Warga pun melakukan perlawanan dan mulai didampingi oleh
LBH Bandung. Aksi-aksi protes dilakukan oleh petani jatiwangi beserta dengan
jaringan petani lainnya. Petani Jatiwangi juga bergabung dengan Serikat Petani
Jawa Barat untuk melakukan perjuangan bersama dengan kaum tani lainnya.
Tahun 1998 ketika Soeharto jatuh warga memiliki semangat untuk lebih
bangkit. Perlawanan-perlawanan dilakukan terus. Saat ini kasus situasi lahan

142
CATATAN AKHIR TAHUN

diduduki oleh masyarakat, namun pihak TNI AU masih menempatkan prajurit-


prajuritnya untuk berjaga.

Kedungombo – 1987-1989
Pemerintah berencana membangun waduk seluas 9.623 hektar dengan
menggunakan uang pinjaman dari Bank Dunia. Untuk keperluan itu, Pemerintah
harus membebaskan 7.394 hektar tanah Hak Milik dari 5.823 KK. Ribuan KK
ini bermukim di 37 desa dan tujuh kecamatan yang berada di tiga kabupaten
yaitu Boyolali, Grobogan, dan Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Warga menolak
melepaskan tanah. Penolakan warga diabaikan; bahkan terjadi intimidasi berupa
pemanggilan warga oleh aparat desa. Warga yang menolak juga dicap komunis
hingga diberi tanda ET (Eks Tapol) di KTP nya. 1 Januari 1989 pintu air waduk
ditutup hingga menggenangi tanah serta rumah warga.
34 warga Kedungpring yang diwakili LBH Semarang mengajukan gugatan
perdata, tetapi kalah di tingkat PN dan PT. Gugatan warga dimenangkan MA di
tingkat kasasi, tetapi putusan MA ini kemudian dibatalkan melalui putusan PK
yang diajukan oleh Gubernur Jateng dan pimpinan proyek. Kasus Kedungombo
masih belum selesai hingga sekarang.

Nipah - 1993
Pemerintah berencana membangun waduk di Desa Nagasari, Kecamatan
Banyuates, Kabupaten Sampang, Madura. Sebelum masyarakat pemilik tanah
memberikan persetujuan, pengukuran tanah sudah dilakukan dengan kawalan
dari polisi dan tentara. Demonstrasi yang terjadi pada tanggal 25 September 1993
dibalas dengan tembakan hingga 4 warga terbunuh yaitu Nindin (14), Mutirah
(51), Simuki alias Supriadi (24), dan Muhammad (38) sedangkan empat lainnya
luka-luka.
LBH Surabaya sempat mengajukan surat protes kepada Panglima ABRI,
Mendagri, Gubernur Jawa Timur, Pangdam V Brawijaya, dan Bupati Sampang
tertanggal 16 Januari 1996 karena selama tiga hari berturut-turut yaitu tanggal
8-10 Januari 1996 antara pukul 11.00-15.00 WIB di Desa Tolang dan Nagasari,
Kecamatan Banyuates, Sampang, tempat rencana dibangunnya Waduk Nipah,
telah dilakukan pengukuran secara sepihak oleh tim pengukur dari Sampang.
Tim ini disertai aparat keamanan sekitar 40 orang dilengkapi senjata api dan
pentungan.

143
YLBHI
LBH DARI MASA KE MASA

Sumber gambar: http://dadang-trisasongko.blogspot.co.id/2013/03/waduk-nipah-madura.html

Kasus Jenggawah
Kasus Jenggawah memiliki sejarah panjang. Lahan-lahan petani hasil membuka
hutan, sebagian diklaim menjadi tanah Hak Erfpacht perkebunan swasta Belanda
bernama NV Landbouw Maatschappij Oud Jember (LMOD). Setelah Indonesia
merdeka, tanah-tanah petani seluas 3.274 hektar diambil alih PTP XXVII untuk
perkebunan tembakau. Hal ini dilakukan tanpa persetujuan petani. Setelah SK
HGU diperoleh pada 1970, PTP memaksa petani menyerahkan petok pajak atas
tanah garapannya. Masyarakat dijanjikan mendapat sertifikat tanah. Perlawanan
petani mengembalikan hak atas tanah dihambat dengan tindak kekerasan,
intimidasi, dan penyiksaan yang dilakukan tentara dan polisi. Tujuh tokoh
petani dipenjara pada tahun 1979 dan beberapa petani lagi dipenjara pada tahun
1981-1983. LBH Surabaya dan YLBHI mulai terlibat pada pembelaan petani
Jenggawah pada sekitar tahun 1994 saat dimulainya perjuangan tahap 2 paska
cooling down. Tahun 1998, perjuangan petani Jenggawah mulai menemui titik
terang dengan dilepaskannya sebagian tanah PTPN X dan disertifikasi untuk
petani.

Rancamaya
Pada tahun 1992, PT. Suryamas Duta Makmur (perusahaan ini utamanya
dimiliki pebisnis Kenneth Lian, namun memiliki hubungan dengan Soeharto,
karena Presiden Komisarisnya, Pensiunan Jenderal Yoga Sugama, sebelumnya

144
CATATAN AKHIR TAHUN

adalah Kepala Badan Intelijen Indonesia, BAKIN. Istri Sugama memiliki


hubungan dengan Istri Soeharto) mendirikan Resort Rancamaya seluas 400
hektar di lereng Gunung Gede, Bogor. Di atas resort ini akan dibangun lapangan
golf, hotel, perumahan mewah, pacuan kuda dan fasilitas kemewahan lainnya.
Pembangunan ini kemudian mengancam akan menggusur ratusan petani
lokal/pemilik tanah. Sekitar 600 petani/pemilik tanah, dengan dukungan
aktivis mahasiswa melakukan perlawanan. Petani dan Mahasiswa melakukan
demonstrasi ke Kantor DPRD dan Gubernur Jawa Barat di Bandung. Perlawanan
ini justru berujung dengan kriminalisasi terhadap aktivis Cheppy Sudrajat.
Ia 2 kali mengalami pemidanaan pada tahun 1992 dan 1992 dengan tuduhan
berbeda. YLBHI-LBH Bandung pun mendampingi kasus ini. Kasus ini diadukan
ke Komnas HAM pada tahun 1994. Komnas HAM pun melakukan mediasi dan
dianggap berhasil.
Sumber : George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki
Berkaki Tiga : Istana, Tangsi dan Partai Penguasa, LKIS, 2006

Cibaliung
Pada 11 November 2001 telah terjadi penyerbuan terhadap desa dan lahan
petani desa Cibaliung, Pandeglang, Banten. Penyerbuan terjadi dengan alasan
bahwa tanah yang ditempati warga adalah tanahj milik Perhutani. Sehari
setelah penyerbuan33, sembilan petani Desa Cibaliung ditangkap dan ditahan
oleh Perutani dan Polres Pandeglang dengan tuduhan telah melakukan
penebangan dan pencurian kayu, padahal tanah tersebut merupakan tanah
adat Desa Cibaliung. Masalah sebenarnya berawal pada tahun 1980, dimana
lahan pertanian milik warga Cibaliung yang ditanami padi dan jagung untuk
kelangsungan hidup mereka, dijadikan hutan melalui program pemerintah dan
didukung TNI namun selanjutnya pasca reformasi lahan tersebut malah diklaim
sebagai lahan Perhutani34.
Para petani Desa Cibaliung yang dikriminalkan saat itu sempat didampingi
oleh LBH Bandung dan LBH Jakarta pada tahun 2001-2002. Banyak upaya
penguasaan dan pengelolaan lahan yang telah dilakukan oleh petani untuk
merebut kembali lahan mereka, tetapi menurut pemberitaan yang ada, kasus
tanah Cibaliung pada saat ini sudah selesai melalui musyawarah termasuk
dengan KOMNASHAM, namun dengan hasil sementara menentukan bahwa
tanah tersebut merupakan tanah milik Departemen Kehutanan35.

Periksa https://lama.elsam.or.id/downloads/1265989923_Lapo ran_ham_2004.pdf.


33

Periksa http://kolsus.elsam.or.id/index.php?p=show_detail&id=2686.
34

Periksa http://kolsus.elsam.or.id/index.php?p=show_detail&id=2658.
35

145
YLBHI

Kasus Cimacan
LBH DARI MASA KE MASA

Tanah di daerah Kabupaten Cianjur di kaki gunung Gede Pangrango seluas 31,6
ha dibuldozer untuk dijadikan lapangan golf. Sebelum nya tanah diambil secara
paksa oleh PT Bandung Asri Mulia. Tahun 1987 petani penggarap dan buruh
dipaksa untuk menerima ganti rugi sebesar Rp 30 per M2.
Dalam musyawarah yang dilakukan dengan Lembaga Keamanan Masyarakat
Desa (LKMD), Danramil turun dan memaksa warga untuk menerima tawaran
tersebut. Tidak berhenti disana, pemimpin petani dicari dan dianiaya oleh oknum
tentara dan Polsek Pacet. Tentara ini juga memaksa petani menandatangani surat
pernyataan bersedia menerima ganti rugi dan mencabut kuasa dari LBH Jakarta.
Beberapa petani yang buta huruf ditipu bahkan dipalsukan tandatangannya.
Empat orang sempat dituduh PKI karena tidak mau menyerahkan lahannya.
Ketika menangani kasus ini, LBH Jakarta bersama dengan Skephi (Sekretariat
Pelestarian Hutan Indonesia), LBH Bandung, dan aktivis mahasiswa melakukan
upaya-upaya baik litigasi, non-litigasi, dan pemberdayaan masyarakat. Di tengah
represivitas penguasa, pengadilan tidak bekerja secara fair, melainkan penuh
kejanggalan. Pengadilan Negeri Cianjur menolak gugatan para petani, demikian
pula Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Pada 1998, petani Cimacan kembali menduduki dan mencangkuli lapangan golf.
Aksi pendudukan itu dibalas dengan serangan brutal oleh aparat kepolisian.
Berbagai spanduk dirusak, tujuh petani dan mahasiswa diancam, dipukuli,
dan ditendang. Atas tindakan ini, LBH Ampera melaporkan aparat kepolisian
dilaporkan kepada Komnas Ham oleh. Pada akhir juli 2000, warga Cimacan
menggelar aksi di kantor pertanahan Cianjur, menuntut dikeluarkannya
sertifikat Hak Milik atas 287 petani yang lahannya digusur. Setelah berupaya
sekian lama, pada tanggal 14 Agustus 2000, BPN memberikan sertifikat tanah
untuk petani Cimacan.

Kemayoran36
Kasus tanah Kemayoran adalah kasus pelanggaran HAM di masa awal Orde
Baru ( tahun 1970). Kasus ini berawal dari Angkatan Udara Republik Indonesia
(AURI) yang sejak era Presiden Soekarno diberikan kuasa atas pengelolaan
Bandara Kemayoran. Akibatnya, AURI melakukan pengadaan lahan dengan
cara merampas tanah 500-an Kepala Keluarga. Secara sepihak, AURI mematok
sekitar 1000 hektar tanah-tanah masyarakat.
Dengan didampingi LBH, masyarakat melakukan perjuangan mempertahankan
tanahnya, dan mencabut patok-patok kayu yang ditanam oleh pihak AURI.
Periksa https://kumparan.com/manik-sukoco/ketika-demokrasi-dihancurkan-di-gedung-demokrasi
36

http://apatra.blogspot.co.id/2008/11/bantuan-hukum-indonesia-mengurai_04.html
https://tirto.id/yang-tersisa-dari-bandara-kemayoran-b5cl

146
CATATAN AKHIR TAHUN

KASUS-KASUS LINGKUNGAN HIDUP


Kasus Indorayon - 198937
PT Inti Indorayon Utama (IIU) adalah perusahaan raksasa nomor dua terbesar
di Sumatera Utara yang memproduksi pulp dan rayon sebagai bahan baku
kertas. Masalah pertama, izin lokasi diberikan di wilayah Hulu Sungai Asahan
padahal di hilirnya terdapat PLTN Asahan – Inalum yang memproduksi listrik.
Izin lokasi juga bermasalah karena di lapangan luasnya bertambah terus, yang
kedua, PT IIU juga mencemari lingkungan.
YLBHI menjadi kuasa hukum Walhi mengajukan gugatan di Jakarta. Gugatan
diarahkan pada akar masalah yaitu surat izin yang dikeluarkan oleh BKPM,
Menteri Perindustrian, Meneg KLH, Menteri Kehutanan, dan Gubernur
Sumut serta PT IIU. Setelah menempuh proses sembilan bulan, gugatan tidak
dikabulkan. Demikian pula eksepsi Tergugat bahwa Walhi tidak cakap sebagai
penggugat tidak dikabulkan pula. Artinya putusan ini menjadi tonggak adanya
gugatan menggunakan mekanisme legal standing.
Gugatan juga datang dari masyarakat di tepian Sungai Asahan dengan kuasa
hukum LBH Medan. Tetapi, gugatan juga tidak dikabulkan dengan alasan harus
ada upaya mediasi sebelumnya. Sementara itu, warga diintimidasi sejak sebelum
pengajuan gugatan hingga setelah putusan PN. Akibatnya 4 orang Penggugat
mengundurkan diri sebelum gugatan diajukan dan proses banding tidak jadi
diajukan karena seluruh penggugat mencabut kuasa dari LBH Medan.

Pembabatan Hutan Mangrove di Kawasan Hutan Lindung Teluk Bintuni,


Papua - 198938
Teluk Bintuni terletak di Kecamatan Bintuni dan Babo, Kabupaten Manokwari,
Papua. Teluk Bintuni merupakan teluk yang dikenal dengan kawasan hutan
bakau yang terbesar di Asia Tenggara. Ekosistem Teluk Bintuni sangat kaya,
dengan 140 jenis ikan, 88 jenis burung, serta berbagai jenis fauna lainnya.
Hutan lindung Bintuni memiliki luas 60.400 hektar dan hutan suaka seluas
57.300 hektar. Pada tanggal 15 Maret 1988 luasan hutan tersebut dikurangi
40.000 hektar untuk areal hutan produksi, berikut jalur hutan lindung selebar
200 meter sepanjang pantai dengan konsesi bagi PT. Bintuni Utama Murni Wood
Industries (BUMWI). Selain itu, pemerintah juga memberikan izin kepada PT
SSL untuk memanfaatkan kawasan Bintuni untuk pengolahan tepung sagu
seluas 270.000 hektar dalam jangka waktu 20 tahun.
Pemberian izin tersebut melanggar kawasan hutan lindung. Izin yang juga
diberikan di akhir tahun 1989 tersebut dikeluarkan tanpa melalui Analisis
YLBHI, 1989. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: YLBHI. Periksa juga YLBHI, 1990. Laporan
37

Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: YLBHI.


YLBHI, 1989. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989. Jakarta: YLBHI.
38

147
YLBHI

Mengenai Dampak Lingkungan Hidung (AMDAL) yang merupakan syarat


LBH DARI MASA KE MASA

dalam setiap proyek berdampak penting berdasarkan UUPLH No. 4/1982


dan PP No. 29/1986. Hal ini berdampak pada kehidupan masyarakat karena
penebangan hutan mangrove menyebabkan erosi dan menghancurkan habitat
dari berbagai spesies buruan mereka. Berbagai pelanggaran hak atas tanah adat
dan kejutan budaya juga perlu dipertimbangkan sebagai akibat.

Pencemaran Debu dan Pengembangan Kawasan Industri tanpa Kejelasan


Tata Ruang di Kawasan Industri Cibinong - 198939
Pada tahun 1976, SPU SKSD Palapa dibangun. 13 tahun kemudian sekitar tahun
1989 beredar berita rencana pemindahan SPU SKSD Palapa ke Daan Mogot.
Hal ini dikarenakan pencemaran debu yang terjadi akibat dibukanya wilayah
Cibinong menjad Zona Industri Cibinong. Di wilayah tersebut sudah terdapat
setidaknya 109 pabrik besar dan menengah yang beroperasi dan 20 pabrik
dalam tahap konstruksi. Dua dari 109 pabrik yang sudah beroperasi di antaranya
adalah PT Semen Cibinong dan PT Indocement.
Dibukanya Zona Industri Cibinong mempunyai dampak bagi pemukiman desa
di sekitar Zona Industri Cibinong. Dampaknya adalah perubahan lingkungan
yang cepat, perubahan tersebut terutama disebabkan karena perubahan
penggunaan lahan yang disertai perubahan fisiografi permukaan tanah. Dampak
lainnya adalah timbulnya limbah industri.
Penyebab turunnya produksi tanaman penduduk adalah akibat adanya
penumpukan debu pada tanaman serta berkurangnya intensitas matahari
yang diterima daun yang berguna untuk proses fotosintesa. Pencemaran debu
tidak hanya berdampak pada manusia dan tumbuhan saja melainkan juga
terhadap hewan. Permasalahan yang terjadi diakibatkan karena diabaikannya
pembangunan wilayah, rendahnya monitoring oleh pemerintah, dan
ketidakpedulian perusahaan.

EXTRA JUDICIAL KILLING


Marsinah
Marsinah adalah buruh perempuan yang disiksa dan diperkosa sebelum dibunuh.
Ia dibunuh karena mengajak teman-temannya untuk menuntut kenaikan upah
sebesar 20% dari Rp. 1.700 menjadi Rp. 2.250 dari PT Catur Putra Surya sesuai
Instruksi Gubernur KDH Tk. I Jawa Timur No. 50/Tahun 1992.
Setelah rapat dengan teman-teman buruhnya, ia menghilang selama 3 hari
sebelum ditemukan tewas. Setelah kematiannya, pihak militer menangkap
delapan petinggi PT CPS. Di markas militer, para petinggi ini dipaksa mengaku
YLBHI, 1990. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1990. Jakarta: YLBHI.
39

148
CATATAN AKHIR TAHUN

bahwa mereka menjadi dalang pembunuhan Marsinah. Delapan belas hari


kemudian mereka dipindahkan ke tahanan Polda Jatim40.
Pemilik pabrik dijatuhi hukuman 17 tahun oleh Pengadilan. Tanggal 7 Juni 1994,
Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan hukuman 12 tahun untuk 2 satpam
PT CPS. Semua terdakwa akhirnya dibebaskan di tingkat Mahkamah Agung
karena kesaksian mereka di pengadilan berubah-ubah dan didapatkan melalui
penyiksaan. Almarhum Munir, yang saat itu di LBH Surabaya membela kasus
Marsinah menyatakan bahwa tiga dalang sebenarnya pembunuhan Marsinah
belum dibawa ke pengadilan dan personel ABRI tertentu terlibat dalam
penutupan kebenaran dalam kasus ini41.

PENGHILANGAN PAKSA
Penghilangan paksa terjadi sejak 1997 terhadap lima orang: Dedy Hamdun,
Noval Alkatiri, Ismail, Yani Afrie, dan Sonny. Menjelang dan selama Sidang
Umum MPR pada Maret 1998, penghilangan paksa terjadi lagi pada 18 orang:
Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Suyat, Raharja Waluya
Jati, Faisol Riza, Aan Rusdianto, Mugiyanto, Nezar Patria, Andi Arief, “St”, Lucas
da Costa, Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Umar Hamdun, Noval
Alkatiri, Ismail42. Setelahnya, aktivis lain yang juga hilang adalah Wiji Thukul
dan Petrus Bima Anugrah.
Selama kerusuhan Mei 1998, empat orang kembali dilaporkan hilang: Ucok
Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Beberapa saat setelah mundurnya Soeharto, seorang aktivis di Solo bernama
Leonardus Nugroho alias Gilang ditemukan meninggal. Dari keseluruhan 29
orang hilang, masih ada 13 orang yang belum kembali hingga saat ini43.
Hingga saat ini pelaku penghilangan paksa, pembunuhan, penyiksaan dan
kejahatan lain yang menyertai upaya penghilangan paksa belum diusut dan
diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.

PERSEKUSI
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2)(h) Statuta Roma, persekusi didefinisikan
sebagai perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang
Periksa Merdeka, Ini Kronologi Hilangnya Marsinah Hingga Ditemukan Tewas, 2 Mei 2016, <https://www.merdeka.
40

com/peristiwa/ini-kronologi-hilangnya-marsinah-hingga-ditemukan-tewas.html> terakhir diakses 18 Desember


2017.
41
Periksa 12 Tahun Buat Pembunuh Marsinah < https://www.library.ohio.edu/indopubs/1994/06/07/0000.html>
terakhir diakses 18 Desember 2017.
42
Periksa Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998, 30 Oktober 2006, hal. 17
<https://www.scribd.com/document/220011330/Ringkasan-Eksekutif-Kasus-Penghilangan-Paksa-1997-1998-
Komnas-HAM> terakhir diakses 18 Desember 2017.
43
Ibid, hal. 42.

149
YLBHI

bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok


LBH DARI MASA KE MASA

atau kolektivitas tersebut. Beberapa kasus dibawah ini kami golongkan sebagai
persekusi, berdasarkan kolektivitas korban yang berakibat pada perampasan
hak-hak dasar korban.

PENEMBAKAN MISTERIUS 1982 – 1985


Penembakan misterius (Petrus) terjadi pada tahun 1982 -1985, diawali di
Yogyakarta yang kemudian menyebar ke kota-kota lainnya. Awalnya, Petrus
disebut sebagai Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Operasi ini memakan
korban 10.000 jiwa berdasarkan laporan Tim Ad-Hoc Penyelidikan Pelanggaran
HAM Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985. Kasus ini ditangani
oleh LBH-YLBHI pada tahun 1984-1985. Dalam kasus ini, para korban
dipersekusi berdasarkan tuduhan sebagai tuduhan sebagai preman (gali) yang
harus diberantas. Para korban dibunuh, disiksa, ditahan sewenang-wenang, atau
dihilangkan paksa. Pola-pola yang digunakan:44
- dijemput oleh atau diduga oleh tentara atau polisi;
- dijemput atau dieksekusi atau oleh orang yang tidak dikenal;
- dijemput di tempat umum;
- tidak diketahui apa yang terjadi pada orang tersebut
Orang-orang yang menjadi korban adalah preman kelas teri yang dianggap
melawan kekuasaan Soeharto, yaitu gali, brocomorah, tukang palak, tukang
copet, preman, residivis atau mantan narapidana, orang yang dituduh sebagai
penjahat, dan orang-orang bertato.

DUKUN SANTET
Pada Februari 1998, terjadi pembantaian terhadap lebih dari 200 orang yang
diduga mempraktekkan ilmu santet atau ilmu hitam di Banyuwangi, Jember,
Lumajang, hingga Pangandaran45.
Pembunuhan diawali dengan data yang dikumpulkan oleh Bupati Banyuwangi
saat itu, Purnomo Sidik, berisi nama-nama orang yang diduga dukun santet.
Para pelaku tak hanya menyasar mereka yang diduga sebagai dukun santet
tapi juga meluas ke guru ngaji dan ulama kampung. Pelaku pembantaian telah
diproses hukum, namun belum terkuak dalang utama di balik pembataian
ini. Berdasarkan keterangan saksi yang selamat dari percobaan pembunuhan,
pelakunya merupakan orang dengan penutup kepala dan pakaian hitam-hitam
KOMNAS HAM, Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
44

yang Berat Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985, hal. 18.
CNN Indonesia, Kasus Pembantaian Dukun Santet Banyuwangi Jadi PR Komnas HAM, Kamis, 27 Juli 2017 <
45

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170727093716-12-230625/kasus-pembantaian-dukun-santet-
banyuwangi-jadi-pr-komnas-ham> terakhir diakses 18 Desember 2017.

150
CATATAN AKHIR TAHUN

yang hanya terbuka di bagian mata serupa ninja. Pelaku memiliki keahlian tinggi
dalam melakukan pembunuhan.

TRAGEDI MEI 1998


Pada masa Orde Baru, diskriminasi berdasarkan kelas ekonomi dan ras sangat
terasa, khususnya terhadap Warga Negara Indonesia beretnis Tionghoa. Puncak
dari diskriminasi ini terjadi pada pertengahan Mei 1998, dimana terjadi
kerusuhan yang menyasar etnis Tionghoa di Indonesia. Pada tanggal 13 sampai
15 Mei 1998, terjadi penjarahan atas properti dan barang-barang milik etnis
Tionghoa, pembakaran gedung, dan perkosaan terhadap perempuan etnis
Tionghoa. Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat adanya upaya sistematis
saat kerusuhan, dan terjadi 151 perkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa46.
Seluruh tindakan penjarahan, pembakaran properti, pembunuhan, dan
perkosaan yang menyasar etnis Tionghoa merupakan persekusi berbasis etnis
yang menyebabkan sebagian besar korban etnis Tionghoa menyelamatkan diri
ke luar negeri.

HAUR KONENG
Haur Koneng merupakan nama jamaah yang berlokasi di Dusun Gunung
Seureuh, Lembah Sirna Galih, Desa Sinargalih, Kecamatan Lemahsugih,
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Para korban tragedi Haur Koneng
merupakan penghuni empat rumah yang terdiri dari 15 petani miskin, 5 di
antaranya perempuan dan 2 anak-anak. Pemimpin mereka adalah Abdul Manan,
seseorang yang pernah belajar selama 12 tahun di pesantren. Ia mengajarkan
zikir dan wirid kepada pengikutnya. Dalam perjalanannya, Abdul Manan dan
pengikutnya bersikap kritis terhadap peraturan pemerintah. Mereka mengkritik
pajak bumi dan bangunan yang dianggap tidak berhasil menyejahterakan rakyat
kecil. Mereka juga mempraktekkan hijrah atau menyendiri untuk menghindari
praktek mabuk-mabukkan dan membeli SDSB (Sumbangan Dana Sosial
Berhadiah). Namun, Abdul Manan dan jemaahnya malah dituduh penganut
aliran sesat, memutus tali silaturahmi, dan bahkan membangkang pemerintah47.
Pada 29 Juli 1993, jemaah Haur Koneng dikepung oleh tiga lapis aparat: 14
anggota Sabhara, satuan tempur Brimob, dan SST Yonif 321/Majalengka yang
berjangka 400 meter dari lokasi. Jemaah ditembaki dan dilempari granat serta
bom molotov. Akibat pengepungan dan penyerbuan ini, delapan orang tewas,
termasuk Abdul Manan dan dua orang anak berusia 9 dan 12 tahun. Sisanya
Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Laporan Mei 1998, dalam Komnas Perempuan, Seri Dokumen Kunci 3: Temuan
46

Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Oktober 2002, hal. 91.
Periksa <http://effendisaman.blogspot.co.id/2012/03/sebagai-relawan-lbhbandung-ylbhi-masa.html> terakhir
47

diakses 18 Desember 2017.

151
YLBHI

luka-luka. LBH Bandung membentuk Tim Pencari Fakta sekaligus mendampingi


LBH DARI MASA KE MASA

keluarga korban dalam kasus ini.


Dalam keempat kasus di atas, persekusi dilakukan dibarengi dengan pelanggaran
HAM lainnya seperti pemerkosaan, pengrusakan properti, pembunuhan di luar
eksekusi pengadilan, dan diskriminasi. Kesamaan dari keempat kasus di atas
adalah: sasaran korban diidentifikasi sebagai suatu kolektif atau kelompok, yang
tidak harus mewujud dalam suatu organisasi tertentu. Kolektivitas ini juga dapat
dilihat dari bagaimana pelaku memilih atau menarget korbannya.
Efek dari persekusi ini tidak hanya dirasakan korban langsung dari empat
insiden di atas, tetapi juga orang-orang lain yang memiliki kesamaan dengan
para korban yang menjadi terancam atau terbatasi dalam mengekspresikan atau
mempraktekkan hak-haknya.

KEBEBASAN BERSERIKAT, BERKUMPUL, DAN


BEREKSPRESI
Peristiwa Malari
Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah suatu gerakan mahasiswa yang
merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah terkait kerja sama dengan
pihak asing untuk pembangunan nasional. Para mahasiswa menganggap
kebijakan pemerintah kala itu sudah menyimpang dan tidak berhaluan kepada
pembangunan yang mementingkan rakyat. Mahasiswa menilai kerjasama ini
kian memperburuk kondisi ekonomi rakyat48. Malari dapat dikatakan sebagai
peristiwa kerusuhan besar pertama yang melanda Jakarta. Peristiwa Malari
tepatnya terjadi pada tanggal 15 Januari 1974 pada saat kedatangan PM Jepang
Tanaka Kakuei.
Aksi mahasiswa tersebut tiba-tiba meluas menjadi sebuah kerusuhan. Kerusuhan
meluas dan terjadi di beberapa titik ibukota seperti Senen, Roxi, dan Glodok.
Dalam kerusuhan tersebut terjadi pengrusakan fasilitas umum, pembakaran,
dan pengrusakan terjadap kendaraan-kendaraan buatan Jepang. Kerusuhan ini
menimbulkan banyak korban.
Pada peristiwa Malari, Orde Baru menunjukan wajah aslinya. Kasus ini mungkin
adalah salah satu kasus pemberangusan kebebasan berekspesi dan kriminalisasi
pertama yang terjadi terhadap orang-orang yang berada di oposisi pemerintah.
Paska kejadian Malari, banyak aktivis dan mahasiswa ditangkap, antara lain
Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, dan H.J.C Princen. Mereka ditahan
selama satu tahun lebih tanpa diadili. Peristiwa ini juga awal dari pembredelan
media.
Periksa https://www.merdeka.com/peristiwa/malari-perlawanan-terhebat-pertama-terhadap-orde-baru-
48

hariman-dan-malari-1.html.

152
CATATAN AKHIR TAHUN

Laporan investigasi TEMPO menyebutkan bahwa peristiwa Malari merupakan


operasi khusus yang dilakukan Ali Murtopo dari pemerintahan Orde Baru
untuk meredam perlawanan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa ITB 1978


Pada era Orde Baru, mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan
pihak yang sangat lantang menentang pemerintahan Soeharto. Melalui suatu
proses konsolidasi yang cukup panjang, pada tahun 1977 mahasiswa ITB
membangun Gerakan Anti Kebodohan, yaitu suatu konsep untuk menolak
pembodohan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat Indonesia.
Pada 16 Januari 1978, mahasiswa menggelar apel bersama 2000 mahasiswa ITB
yang dipimpin oleh Heri Akhmadi. Dalam apel itu, mahasiswa menyatakan
sikap “tidak mempercayai dan tidak menginginkan Soeharto kembali menjadi
Presiden Indonesia”. Sebagai bentuk perlawanan, mahasiswa ITB melakukan
berbagai kegiatan, di antaranya adalah penerbitan buku putih dan mogok
kuliah. Pembuatan buku putih itu sendiri dimotori oleh Rizal Ramli. Buku putih
tersebut berisi data, kajian fakta dan pemikiran-pemikiran untuk memperbaiki
bangsa.
Gerakan mahasiswa ITB digebuk aparat, kemudian dilakukan operasi
pendudukan kampus ITB oleh tentara dan beberapa pimpinan gerakan
mahasiswa dipenjara di tahanan politik.
Adnan Buyung Nasution dan Ny Amartiwi Saleh membentuk tim untuk
melakukan pembelaan terhadap tokoh-tokoh mahasiswa ITB. Gerakan
mahasiswa dan gerakan bantuan hukum saat itu melebur, hingga akhirnya
lahirlah LBH Bandung49.

AJI - 1994
Kriminalisasi terhadap empat orang pegiat Aliansi Jurnalis Independen adalah
puncak dari pengendalian pers oleh Orde Baru sebagai salah satu modus Orde
Baru mengekalkan pemerintahan otoriternya. Munculnya AJI merupakan
respon terhadap maraknya penutupan pers oleh pemerintah tanpa melalui jalur
pengadilan yang biasa disebut pembredelan pers. Pada zaman Orde Baru tercatat
setidaknya terdapat gelombang pembredelan:
o 1974: Harian Nusantara, Suluh Berita di  Surabaya, Mingguan Mahasiswa
Indonesia di Bandung, Harian KAMI,  Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta
Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Harian Pedoman Mingguan
Ekspres, Mingguan Indonesia Pos50

49

Bredel Malari Dimata Mashuri, Suara Independen No. 7/II/Januari-Pebruari 1996. Periksa https://www.library.
50

ohio.edu/indopubs/1996/03/31/0015.html.

153
YLBHI

o 1992: Majalah Tempo


LBH DARI MASA KE MASA

o 1994: Detik, Editor, Tempo


Agustus 1994, sebulan sesudah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, sekitar
100 wartawan asal Bandung, Jakarta, Jogjakarta dan Surabaya, mendirikan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan salah satu tujuan AJI memperjuangkan
kebebasan pers.
16 Maret 1995, setelah peluncuran Buletin Independen ke-12 AJI di depan Hotel
Wisata Internasional Jakarta, Ahmad Taufik, Eko Maryadi, Danang K Widyoko
ditangkap polisi. Penangkapan juga terjadi pada Liston P Siregar, Sri Bintang
Pamungkas, dan lain-lain. Ahmad Taufik, Eko, dan Danang sempat ditahan di
Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Pemerintah menyatakan penerbitan
Buletin Independen merupakan penghinaan kepada pemerintah serta melawan
hukum.
LBH Jakarta mendampingi proses pemeriksaan di Polda Metro Jaya dan
terus mendampingi dalam proses peradilan. Taufik dan Eko diputus 2 tahun
8 bulan penjara oleh PN Jakarta Pusat. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi
menaikkan hukuman menjadi 3 tahun, demikian juga kasasi di Mahkamah
Agung menguatkan putusan banding. Selama setahun mereka ditahan di Rutan
Salemba. Usai vonis MA, mereka dipindahkan ke LP Cipinang Jakarta Timur
selama 3,5 bulan kemudian dipindahkan lagi ke LP Kesambi Cirebon selama
7 bulan. Mereka selanjutnya dipindah lagi ke LP Cijoho Kuningan, Jawa Barat
selama 5 bulan51.

Tanjung Priok
Peristiwa Tanjung Priok diawali dengan dicopotnya pamflet di Musala As-Sa’adah
di Koja, Tanjung Priok pada tanggal 8 September 1984. Dua Bintara Pembina
Desa (Babinsa) masuk ke musala tanpa melepas sepatu dan menggunakan air
comberan untuk mencopot pamflet yang mereka nilai sebagai ujaran kebencian
terhadap pemerintah.
Kejadian ini menyulut konflik antara aparat militer, kepolisian, dan masyarakat.
Puncaknya, 12 September 1984 sekitar 1500 warga mendatangi Polres Tanjung
Priok dan Brimob yang berdekatan untuk menuntut dibebaskannya empat
warga yang ditahan sejak 10 September 1984. Para tentara menembaki massa
dengan senjata otomatis. Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (SONTAK)
mencatat sekitar 400 warga meninggal, sedangkan Panglima ABRI saat itu, L.B.
Moerdani menyatakan hanya ada 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka52.
LBH Jakarta mendampingi Abdul Qadir Djaelani, para ulama, para tokoh
masyarakat Tanjung Priok, dan para aktivis lainnya yang dianggap membela
Periksa https://www.bantuanhukum.or.id/web/membungkam-dan-memberangus-pers-kriminalisasi-pengurus-
51

aliansi-jurnalis-independen/.
Tirto, Mengenang Tragedi 33 Tahun Tragedi Pembantaian Tanjung Priok, 12 September 2017 < https://tirto.id/
52

mengenang-33-tahun-tragedi-pembantaian-tanjung-priok-cwpi> terakhir diakses 18 Desember 2017.

154
CATATAN AKHIR TAHUN

ulama Tanjung Priok dengan tuduhan subversif. Beberapa di antaranya adalah


A.M. Fatwa dan H.R. Dharsono yang mengeluarkan petisi berjudul Lembaran
Putih Tanjung Priok53 bersama-sama dengan tokoh lainnya (yang kemudian
dikenal dengan nama petisi 50 untuk membela masyarakat korban.

Petisi 50
50 orang tokoh termasuk di dalamnya mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin,
A.H. Nasution, mantan Kapolri  Hoegeng Imam Santoso, mantan Perdana
Menteri  Burhanuddin Harahap  dan Mohammad Natsir yang dikenal sebagai
Petisi 50 mengajukan protes terhadap kebijakan Soeharto, antara lain
penyalahgunaan Pancasila untuk memukul musuh-musuh politiknya dan
meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di atas seluruh golongan
masyarakat. Mereka kemudian mendapatkan berbagai tekanan dari Orba mulai
dari dilarang ke luar negeri hingga melarang koran-koran menerbitkan foto-
foto ataupun mengutip pernyataan mereka. Para anggota petisi 50 juga tidak
dapat memperoleh pinjaman bank dan kontrak-kontrak.

Muchtar Pakpahan
Muchtar Pakpahan adalah mantan Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI) yang dipidana pada masa Orde Baru dengan Pasal 160 dan 161 ayat
(1) KUHP. Pidana ini dijatuhkan karena tindakan Muchtar Pakpahan yang
menandatangani selebaran, mengutarakan pendapat dalam rapat buruh yang
berisi ajakan untuk memperjuangkan kebebasan berserikat bagi buruh melalui
SBSI sebagai serikat di lain SPSI, serta upah minimum yang layak54.
Akhirnya ia dibebaskan oleh Mahkamah Agung pada tahun 1995, tetapi MA
kemudian membatalkannya karena upaya Peninjauan Kembali (PK) yang
dilakukan oleh Jaksa. Muchtar Pakpahan didampingi oleh YLBHI dan LBH
Jakarta dalam kasusnya.

Sri Bintang Pamungkas -1995


Pada tahun 1995, Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas dihadapkan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana subversi
sesuai dengan pasal 1 (1) a, b, dan c UU No. 11/PNPS/1963. Ia dituduh sebagai
motor penggerak demonstrasi di Dresden lewat ceramah yang disampaikannya
di Technische Universitat Berlin, Jerman pada 9 April 1995. Bintang dianggap
telah menghina Presiden Soeharto.
Tirto, LBH dan Advokasi Umat Islam, 21 September 2017 <https://tirto.id/lbh-dan-advokasi-umat-islam-cwY8>
53

terakhir diakses 18 Desember 2017.


Periksa Putusan MA No. 395 K/Pid/1995.
54

155
YLBHI

YLBHI dan LBH Jakarta sebagai penasehat hukum di persidangan membuktikan


LBH DARI MASA KE MASA

bahwa ada rekayasa kasus dalam perkara ini, saksi-saksi semua menegaskan
bahwa ini adalah sebuah kuliah, diskusi akademik. Tetapi pengadilan
tersandera, persidangan yang berlangsung sebanyak 28 kali ini tetap memutus
bersalah Sri Bintang Pamungkas dan menghukum penjara Bintang selama dua
tahun sepuluh bulan. Pada 8 Mei 1996, Sri Bintang mengajukan banding dan
pada 1998 dia diberikan Amnesti oleh Presiden Habibie. Pada masa Soeharto,
pengadilan tidak bisa menunjukkan independensinya; pasal subversif menjadi
alat pemukul dan alat pembungkaman bagi siapapun yang kritis.

Ket: Dr Sri Bintang Pamungkas, seorang tahanan politik yang kini mendekam di
Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, hari Minggu 24 Mei 1998 merangkul
istrinya Ny Ernalia dan salah seorang anaknya, Bimbim, seusai mengikuti
syukuran kemenangan reformasi bersama tahanan politik lain, seperti Muchtar
Pakpahan dan Budiman Soedjatmiko. Sumber gambar:
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/reformasi/Chronicle/Kompas/May25/
habi01.htm

Pengkambinghitaman PRD
Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah partai yang tumbuh dan dibangun
sebagai alat pergerakan rakyat dalam melawan penindasan. Pembentukan
PRD ditandai dengan Kongres Pertama PRD pada 15 April 1996 di Sleman,
Yogyakarta. Ia merupakan puncak dari proses penyatuan gerakan rakyat di masa
kediktatoran Orde Baru. Proses ini dapat ditelusuri dari pembangunan komite-
komite aksi pada tahun 1980-an; pembangunan organisasi pergerakan di sektor

156
CATATAN AKHIR TAHUN

mahasiswa, buruh, tani, rakyat miskin dan seniman pada awal tahun 1990-an
dan kemudian penggalangan persatuan lintas-wilayah dan lintas-sektoral antara
berbagai organisasi rakyat menjelang 199655. PRD melakukan deklarasi di
Gedung YLBHI-LBH Jakarta.
Sejak awal pendirian, PRD sudah menunjukkan sikap oposisi terhadap
pemerintahan otoriter Orde Baru. PRD dijadikan kambing hitam sebagai dalang
Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli). Setelah kejadian Kudatuli, banyak pimpinan-
pimpinan PRD yang ditangkap, dipenjarakan, dan dihilangkan secara paksa.
Ketua pertama PRD, Budiman Sudjatmiko dipidana dengan pasal subversive
yang ditangani oleh LBH Jakarta, namun tetap mendapat hukuman 13 tahun
penjara.

Kudatuli
Peristiwa Kudatuli (akronim dari kerusuhan dua puluh tujuh Juli) adalah
peristiwa yang terjadi pada 27 Juli 1996. Saat itu terjadi peristiwa pengambilalihan
secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro
58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.
Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi yang diakui oleh rezim
Orde Baru sebagai Ketua Umum melalui Kongres PDI di Medan pada Juni
1996. Penyerangan diindikasikan kuat dilakukan oleh aparat TNI yang berada
di belakang penyerang. Hal tersebut dilakukan dalam upaya pemerintah Orde
Baru membungkam kelompok yang berseberangan, karena pemerintah Orde
Baru mendukung PDI Suryadi, bukan PDI Megawati.
Komnas HAM menyimpulkan ada pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli.
Komnas HAM mendapatkan temuan bahwa lima orang meninggal, 149 orang
luka-luka, 136 orang ditahan, dan 23 orang dihilangkan secara paksa. Temuan
ini menunjukkan telah terjadi pelanggaran HAM pada kerusuhan 27 Juli 199656.
Peristiwa ini juga memicu terjadinya penangkapan terhadap aktivis PRD yang
dijadikan kambing hitam. Kerusuhan terjadi di beberapa wilayah di Jakarta
khususnya di Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat.

KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN


Kasus Talangsari Lampung
Kasus Talangsari merupakan peristiwa penyerbuan terhadap penduduk Desa
Talangsari, Kecamatan Way Jepara, Lampung yang dilakukan oleh aparat
Korem Garuda Hitam pada 7 Februari 198957 yang menyebabkan sejumlah
korban tewas, ratusan orang hilang tidak jelas, perkampungan habis dibakar,
Periksa http://www.prd.or.id/blog/2010/07/12/sekilas-tentang-prd/.
55

Periksa http://historia.id/modern/komnas-ham-peristiwa-27-juli-1996-adalah-pelanggaran-ham.
56

Saat itu AM Hendropriyono menjabat sebagai Danrem berpangkat kolonel.


57

157
YLBHI

serta ratusan orang ditangkap, disiksa, ditahan, dan diadili secara semena-mena.
LBH DARI MASA KE MASA

Desa itu merupakan tempat dimana Warsidi tokoh agama setempat dan teman-
temannya dituduh pihak militer melakukan kegiatan subversif yaitu hendak
menggulingkan pemerintah Soeharto agar bisa mendirikan negara Islam. 
Peristiwa Lampung terjadi akibat kecurigaan pemerintah terhadap Islam. Kritik
keras serta penolakan masyarakat terhadap kebijakanasas tunggal Pancasila
dihadapi aparat dengan pembantaian. Ini bisa dilihat Pernyataan Alm. Jenderal
Soemitro dalam buku biografinya yang berjudul Pangkopkamtib Soemitro dan
Peristiwa 15 Januari 1974 yang berbunyi:
“Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya, sejak
awal menyadari tentang kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam.
Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI -yang kemudian secara formal diperkuat
dengan keputusan pembuabaran PKI- secara politis mengakibatkan naiknya
pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap
Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat
posisinya. Padahal disadari oleh Angkatan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap
Islam masih terdapat bibit ekstrimisme yang amat potensial. Sehingga policy
(kebijakan) umum militer ketika itu sebenarnya adalah menhancurkan kekuatan
ekstrim kiri PKI, dan menekan (bukan mengahncurkan) sayap Soekarno pada
umumnya, “sambil amat berhati-hati untuk mencegah naiknya Islam”. (Jakarta:
Sinar Harapan, 1998), hal.46.

Kasus Situbondo
Pada 10 Oktober 1996 terjadi kerusuhan di Situbondo. Kerusuhan bermula
dari tuduhan terhadap Saleh yang dianggap melakukan penodaan agama dan
melanggar pasal 156 (a) KUHP. Ia dilaporkan oleh K.H. Achmad Zaini, Pimpinan
Pondok Nurul Hikam, yang juga tetangga Saleh. Pada persidangan tanggal 10
Oktober 1996, Jaksa menuntut Saleh dengan hukuman maksimal yaitu 5 tahun.
Usai persidangan mulai terjadi kerusuhan, hal ini disebabkan oleh sebagian
massa yang hadir dalam persidangan yang merasa tidak puas dengan tuntutan
Jaksa dan menginginkan Saleh untuk dihukum seumur hidup.
Tidak diketahui asal muasal siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak
bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion yang letaknya sekitar 200 meter dari
PN Situbondo. Keadaan di PN Situbondo pun memanas dan massa langsung
menuju ke Gereja Bukit Sion dan setelah itu membakar gereja tersebut. Setelah
membakar Gereja Bukit Sion, massa yang masih merasa tidak puas melanjutkan
membakar tempat lain sampai akhirnya tempat-tempat yang dibakar ada sekitar
24 gereja, PN Situbondo, panti asuhan, dan beberapa sekolah. Selain itu ada juga
pengerusakan terhadap bioskop dan rumah biliard. Yang paling mengenaskan
adalah dibakarnya GPPS (Gereja Pantekosta Pusat Surabaya) yang menjadi satu

158
CATATAN AKHIR TAHUN

dengan Paroki (Rumah Kependetaan) yang mengakibatkan lima orang terbakar


hidup-hidup, sedangkan dua orang berhasil melarikan diri dari kobaran api.
Kasus Arswendo Atmowiloto
Arswendo Atmowiloto didakwa melakukan penistaan agama berdasarkan Pasal
156 a KUHP dan dijatuhi hukuman pidana empat tahun enam bulan setelah
mengajukan banding dan kasasi. Pidana ini dikenakan ke Arswendo karena jajak
pendapat mengenai tokoh yang paling dikagumi masyarakat yang dilakukan
Tabloid Monitor yang saat itu dipimpinnya.
Jajak pendapat tersebut dinilai berdasarkan kartu pos yang dikirimkan pembaca
ke redaksi. Hasilnya, Presiden Soeharto berada di urutan teratas dengan 5.003
pengagum yang mengirim kartu pos. Menristek B.J. Habibie dengan 2.975
pengagum, Mantan Presiden Sukarno dengan 2.662 pengagum, Iwan Fals
dengan 2.431 pengagum. Dari peringkat 5 sampai 10 diisi oleh: Zainudin
MZ, Try Sutrisno, Saddam Husein, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut
dan Arswendo selaku pemimpin redaksi menempati posisi 10 dengan 797
pengagum.58 Nabi Muhammad SAW menempati posisi 11, dan hal ini dianggap
melecehkan umat Islam.

PENGGUSURAN
Becak
Becak dilarang beroperasi di Jakarta. Para tukang becak pun menggugat. Pada
31 Juli 2000 di PN Jakarta Pusat, Majelis Hakim pada persidangan yang diketuai
Manis Soejono, S.H mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Dalam putusan
tersebut, tukang becak yang saat itu didampingi YLBHI dan LBH Apik diizinkan
untuk kembali menarik becak di pemukiman-pemukiman tertentu dan jalur-
jalur khusus yang akan diatur oleh Pemda. Dasar dari permasalahan ini adalah
Perda nomor 11 tahun 1988 Pasal 18 tentang Ketertiban Umum yang melarang
becak beroperasi di Jakarta.
Namun, pada tahun 2007 Pemda Jakarta mengeluarkan Perda Nomor 8 Tahun
2007 tentang Ketertiban Umum yang isinya adalah melarang becak untuk
beroperasi di seluruh wilayah Jakarta. Pelarangan untuk becak tidak hanya
terjadi di Jakarta, melainkan juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia
seperti Yogyakarta dan Bandung.
Bemo
Pada tahun 1996 LBH Jakarta mengajukan Judicial Review terhadap SK Kepala
Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) DKI Jakarta No. 139 Tahun
1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peremajaan Kendaraan Bemo di DKI
Tirto, Mereka Dipenjara Karena Didakwa Menista Agama, 16 November 2016 <https://tirto.id/mereka-dipenjara-
58

karena-didakwa-menista-agama-b46G> terakhir diakses 18 Desember 2017.

159
YLBHI

Jakarta. Alasan pengajuan judicial review adalah SK DLLAJ tersebut bertentangan


LBH DARI MASA KE MASA

dengan PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan dan Peraturan Daerah
(Perda) No. 5 Tahun 1984 tentang Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta
untuk tahun 1985-2005.
Menurut LBH Jakarta, PP No. 41/1993 tersebut sama sekali tidak mengatur
pemusnahan bemo. Tetapi, dalam SK Kepala DLLAJ malah ditemukan aturan
seperti itu, padahal SK tersebut didasarkan pada PP No. 41/1993. Padahal, Perda
No. 5/1984 juga tidak mengatur Daerah Bebas Bemo, hal ini jelas menunjukan
bahwa menciptakan daerah bebas bemo dianggap bertentangan dengan Perda.
Setelah 10 tahun menunggu, MA menolak permohonan Judicial review tersebut.
Pertimbangannya, SK kepala DLLAJ tersebut tergolong Keputusan Tata Usaha
Negara yang memuat peraturan yang bersifat umum. Yang tidak lazim, putusan
tersebut dibuat MA pada 24 Februari 2003 alias 7 tahun setelah diajukan, tetapi
baru 3 tahun kemudian, tepatnya pertengahan Desember 2006, LBH Jakarta
sebagai pemohon menerima salinan putusan MA tersebut.
Keadaan semakin memburuk, karena sejak 6 Juni 2017 angkutan lingkungan
Bemo resmi tidak boleh beroperasi di DKI Jakarta berdasarkan Surat Edaran
Kadishub Nomor 84/SE/2017 tanggal 5 Juni 2017. Pemerintah menjelaskan
bahwa telah melakukan sosialisasi sejak bulan September 2016. Alasan
dilarangnya bemo beroperasi adalah karena tidak memiliki surat izin, tidak
ramah lingkungan, usia yang sudah tua, dan dinilai terlalu berbahaya untuk
dijadikan angkutan umum massal.

FAIR TRIAL
Ditje
Kasus bermula dari pembunuhan seorang bekas peragawati bernama Dice
Budimuljono pada 8 September 1986 malam, di Jalan Dupa, Kalibata, Jakarta
Selatan. Seseorang bernama Pak De kemudian dijadikan tersangka dan dihukum
seumur hidup oleh PN Jakarta Jaksel hingga MA. Tuduhan ini terkait dengan
praktek konsultasi dukun, yaitu Pak De dituduh tidak bisa mengembalikan uang
Rp. 10 juta yang ia janjikan bisa digandakan. LBH Jakarta yang menjadi penasehat
hukum menyaksikan pengadilan penuh dengan kejanggalan pembuktian.
Antara lain, hasil uji balistik dan saksi meringankan tidak digunakan.
Kasus-kasus di atas sebenarnya adalah wajah terluar dari pengaturan rezim
Orde Baru yang otoriter. Di bawah ini akan diperlihatkan kebijakan-kebijakan
yang menjadi penyebab kasus-kasus di atas.

160
CATATAN AKHIR TAHUN

Sumber gambar: https://youchenkymayeli.blogspot.co.id/2016/05/islam-pada-masa-orde-baru.html

PEMBANGUNANISME
Investasi dengan politik upah murah
Meskipun ditandatangani oleh Sukarno, UU 1/1967 adalah agenda awal Orde
Baru. UU yang disahkan Januari 1967 ini muncul setelah keluarnya Supersemar
yang menandai beralihnya kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Melalui
UU ini, penanaman modal asing diperbolehkan.
Kurang dari 3 bulan setelah UU Penanaman modal yaitu 7 April 1967, Menteri
Pertambangan Slamet Bratana melakukan Penandatanganan Kontrak Karya
untuk masa 30 tahun yang menjadikan PTFI sebagai kontraktor eksklusif
tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi59. Kontrak karya ini sudah
disiapkan jalannya melalui pasal 8 UU 1/1967 yaitu “penanaman modal asing
di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah
berdasarkan suatu kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku” dan pasal 10 UU 11/1967 “Pemerintah
dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor dengan mengadakan perjanjian
(Kontrak Karya)”.
Watak Orba yang menumpukan diri pada investasi tergambar pula pada bagian
pertimbangan UU 1/1967 :
“bahwa penggunaan modal asing perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk
mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang-
bidang dan sektor-sektor yang dalam waktu dekat belum dan atau tidak dapat
dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri”.

Berita Kita Media Komunikasi Komunitas Freeport Indonesia, Maret 2014, Edisi No. 240. https://ptfi.co.id/media/
59

files/publication/5626fabe75911_bk240.pdf

161
YLBHI

Kebijakan investasi ini salah satunya disokong dengan politik upah murah.
LBH DARI MASA KE MASA

Strategi ekspor memberi penekanan kepada upah murah dan industri


berteknologi rendah seperti tekstil, garmen dan sepatu60. Kebijakan ini membuat
kondisi buruh buruk karena upahnya tidak mencukupi.

Infrastruktur
Orde Baru menitikberatkan Pembangunan Jangka Panjang pada “pembangunan
bidang ekonomi dengan sasaran utama untuk mencapai keseimbangan antara
bidang pertanian dan bidang industri, yang berarti bahwa sebagian besar dari
usaha pembangunan diarahkan kepada pembangunan ekonomi, sedangkan
pembangunan di bidang-bidang lainnya bersifat menunjang dan melengkapi
bidang ekonomi”61. Tentu saja pembangunan memerlukan pembangunan
prasarana. Meskipun Repelita I telah menyebutkannya tetapi hal ini lebih
dijabarkan dalam Repelita II:
“Dalam rangka usaha memperluas lapangan kerja perlu digariskan kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang menyeluruh pada semua sektor, seperti pemilihan teknologi,
pendidikan ketrampilan, pembangunan industri, pembangunan prasarana,
penentuan skala investasi, kebijaksanaan kebijaksanaan perpajakan serta
perkreditan dan sebagainya”.
Pembangunan era Soeharto ini juga berambisi meningkatkan pembangunan
produksi jasa di berbagai sektor antara lain “sektor perhubungan dan
telekomunikasi”62. Pembangunan infrastruktur seperti “irigasi, listrik, jalan-jalan
dan prasarana-prasarana lainnya harus ditingkatkan untuk dapat mendukung
dan mencukupi peningkatan pertumbuhan produksi barang dan jasa”63.
Swasembada Beras
Salah satu ambisi Orba adalah swasembada beras. Pelaksanaan swasembada ini
sarat dengan bias salah satunya semua orang Indonesia mengkonsumsi beras
sebagai bahan makanan pokok. Akibatnya terdapat penyebaran bibit beras
yang ke daerah-daerah yang tadinya tidak menjadikan beras sebagai makanan
pokok. Tidak hanya menghilangkan kekayaan budaya, lebih dari itu pemaksaan
monokultur itu juga berpotensi menghilangkan keragaman hayati. Kebijakan
ini memunculkan ketergantungan pada beras dan menciptakan sumber korupsi
baru yaitu Bulog.

Hadiz, Vedi. R, Economic Liberalism A new Orthodoxy dalam The politics of Economic Development in Indonesia,
60

hal. 115.
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita I.
61

TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita II.


62

TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita II.


63

162
CATATAN AKHIR TAHUN

Hutang asing
Hutang adalah andalan Orde Baru untuk melakukan pembangunan. Hutang
masa Orba adalah Rp 551,4 triliun atau US$ 68,7 miliar. Saat itu, rasio utang
mencapai 57,7 persen terhadap PDB. Tunggakan hutang kemudian menyebabkan
di periode 1999 total  outstanding utang Indonesia mencapai Rp 938,8 triliun
atau setara dengan US$ 132,2 miliar. Rasio utang membengkak jadi 85,4 persen
dari PDB64.

Militerisasi
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN dalam sasaran pelaksanaan pembangunan
jangka panjang Bidang Pertahanan Keamanan Nasional merencanakan
menciptakan sistim pertahanan keamanan nasional yang mampu menyukseskan
dan mengamankan perjuangan nasional pada umumnya dan pembangunan
nasional pada khususnya dari setiap ancaman yang datang dari luar negeri
serta dari dalam negeri, sehingga benar-benar aman dan tertib usaha bangsa
dalam” mencapai tujuan nasional. “Stabilitas” menjadi kata penting Orba untuk
mendukung rezim pembangunanismenya.

Dwi Fungsi ABRI


Turunan stabilitas adalah dijalankannya doktrin dwi fungsi ABRI yang
menempatkan militer tidak saja sebagai penjaga keamanan tetapi juga berperan
dalam kehidupan sosial politik. Dokumen GBHN berikut ini memberikan jalan
yang lebih dari cukup untuk hal itu:
“Pelaksanaan Pembangunan Nasional harus berjalan bersama-sama dengan
pembinaan dan pemeliharaan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, baik
dibidang politik maupun dibidang ekonomi, karena kegoncangan-kegoncangan
dalam masyarakat dan kegoncangan-kegoncangan ekonomi akan menghambat
pembangunan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa stabilitas nasional
memperlancar pembangunan nasional dan pembangunan nasional memperkuat
stabilitas nasional”.
Kebijakan inilah yang menjadi salah satu faktor pencetus kasus-kasus kekerasan,
penyiksaan yang menimpa buruh, petani, mahasiswa, dan kelompok lain yang
mengkritik jalannya pembangunan Orde Baru.

Polisi menjadi ABRI


Militerisasi meluas dengan menjadikan polisi sebagai angkatan ke-4. Pasal 3 UU
Ini Rasio Utang Pemerintah RI dari Era Soeharto hingga Jokowi, Liputan6.com. http://bisnis.liputan6.com/
64

read/2854387/ini-rasio-utang-pemerintah-ri-dari-era-soeharto-hingga-jokowi.

163
YLBHI

No. 13/1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara menyatakan


LBH DARI MASA KE MASA

“Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata”. Ketika UU ini diganti dengan


UU No. 28/1997 tentang Kepolisian Negara RI, Pasal 5 UU ini mengatur hal
yang sama: “Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah unsur Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang terutama berperan memelihara keamanan
dalam negeri”. Selain karakter sipil yang berubah menjadi militer, perubahan
ini juga menyulitkan proses akuntabilitas kinerja kepolisian terutama berkaitan
dengan pertanggungjawaban melalui pengadilan karena polisi tidak diadili di
peradilan negeri tetapi peradilan militer.

PELEMAHAN POLITIK OPOSISI


Fusi parpol
Pada tahun 1968, Ali Moertopo menggagas peleburan banyak partai politik
menjadi segelintir partai, yang dengan demikian dapat lebih mudah dikendalikan
pemerintah65. Akhirnya tahun 1973, fusi ini terjadi dengan bergabungnya
partai-partai politik menjadi tiga yang Orde Baru istilahkan sebagai dua partai
politik dan satu Golongan Karya. Fusi ini kemudian dilembagakan melalui UU
No. 3/1975 yang dalam bagian a pertimbangannya mengatakan:
“dalam rangka penyederhanaan dan pendayagunaan kehidupan politik,
dewasa ini organisasi-organisasi kekuatan sosial politik yang telah ada telah
mengelompokkan diri menjadi dua Partai Politik dan satu Golongan Karya,
seperti yang telah dinyatakan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara”.
Melalui UU No. 3/1975 ini, dapat diketahui maksud fusi parpol ini lagi-lagi
demi stabilitas yang ujungnya pembangunan66.

Komposisi MPR
Pasal 2 (1) UUD 1945 sebelum amandemen mengatur “Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan
yang ditetapkan dengan undang-undang”. Utusan daerah dan utusan golongan
yang diangkat ini kemudian menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan Orde
Baru karena sifatnya yang ditunjuk.
UU No. 16/1969 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kemudian menurunkan ketentuan UUD 1945 sehingga menjadi seperti di

Periksa https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/2017/02/22/ali-moertopo/
65

Bagian pertimbangan UU 3/1975 menyebutkan “diharapkan agar Partai-partai Politik dan golongan Karya benar-
66

benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya
percepatan pembangunan”.

164
CATATAN AKHIR TAHUN

bawah ini67:
1) MPR terdiri atas Anggota DPR ditambah dengan Utusan-utusan dari Daerah,
Golongan Politik dan Golongan Karya.
2) Jumlah anggota MPR adalah dua kali lipat jumlah anggota DPR
3) Anggota tambahan MPR terdiri dari:
a. Utusan Daerah
b. Utusan Golongan Politik, yang terdiri dari:
• organisasi Golongan Politik/Karya yang ikut pemilihan umum, tetapi
tidak mendapat wakil di DPR dijamin satu utusan di MPR yang
jumlah keseluruhannya tidak melebihi sepuluh orang utusan
• Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan
Karya bukan Angkatan Bersenjata yang ditetapkan berdasarkan
pengangkatan.
a. Jumlah anggota MPR. yang diangkat ditetapkan 1/3 dari seluruh anggota
MPR dan terdiri:
• Anggota DPR yang diangkat seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (4);
• Anggota tambahan MPR dari golongan Karya Angkatan Bersenjata
ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Menteri Pertahanan
dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata.
• Anggota tambahan MPR dari Golongan Karya bukan Angkatan
Bersenjata diangkat oleh Presiden baik atas usul organisasi yang
bersangkutan maupun atas prakarsa Presiden.
• Jumlah Utusan Golongan Karya ABRI dan Golongan Karya bukan
ABRI ditetapkan oleh Presiden.
Dari ketentuan di atas, terlihat Presiden sangat berkuasa karena dapat menunjuk
siapa yang duduk di MPR.

PELEMAHAN DAN PEMBERANGUSAN KEBEBASAN


BERSERIKAT
Pelemahan Gerakan Mahasiswa68
Pelemahan gerakan mahasiswa dilakukan secara sistematis dan bertahap.
Dimulai dengan Deklarasi Pemuda Indonesia pada 23 Juli 1973. Kemudian
dibentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia pada tahun  1973 yang
mengarahkan seluruh agar organisasi mahasiswa yang ada seperti HMI, GMNI,
PMII bernanung di bawah KNP. Hal ini terlihat dalam Anggaran Dasar KNPI
berikut ini: “organisasi kemasyarakatan pemuda dan seluruh potensi pemuda
Indonesia berhimpun dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia”.
Pasal 1 UU 16/1969.
67

Mengikuti pembabakan oleh Arbi Sanit.


68

165
YLBHI

Langkah kedua adalah pembekuan Dewan Mahasiswa oleh KOPKAMTIB pada


LBH DARI MASA KE MASA

tanggal 21 Januari  1978. Setelah sebelumnya “menertibkan” organisasi ekstra


kampus, kebijakan kali ini menyasar organisasi intra kampus.  Kebijakan ini
diikuti oleh Menteri Pendidikan melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan
No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang
meletakkan organisasi mahasiswa intra fakultas di bawah pengendalian,
pengarahan, dan pembiayaan  kampus dan melarang mahasiswa  melakukan
kegiatan bernuansa berpolitik, kecuali sebagai individu dan memasuki
organisasi politik resmi. Demikian juga Surat Keputusan Menteri Pendidikan No.
037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan mengatur bentuk dan
susunan organisasi kemahasiswaan yang bertujuan untuk mengontrol kegiatan
mahasiswa dari kegiatan politik dan penyatuan keorganisasian mahasiswa
dengan kampus melalui Rektor dan Dekan.
Kebijakan-kebijakan ini tidak hanya digunakan untuk melemahkan gerakan
mahasiswa tetapi seolah dijadikan patokan bolehnya tidaknya kekerasan kepada
mahasiswa yang dianggap bertentangan dengan kebijakan stabilitas pemerintah
ini. Sanksi keras berupa pemecatan juga menjadi kebijakan birokrasi kampus
saat itu.

Asas Tunggal: UU Ormas


Ketentuan Pasal 2 UU No. 3/1985 tentang Perubahan Atas UU 3/1975 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya berbunyi sebagai berikut: “(1) Partai
Politik dan Golongan Karya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
(2) Asas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Pasal 2 (1) UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga mengatur
hal yang sama yaitu Ormas berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
(2) Asas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ancaman terhadap ormas mengintai dari Pasal 13 dan 14 UU Ormas, yaitu
“Pemerintah dapat membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat Organisasi
Kemasyarakatan dan kemudian membubarkannya apabila Organisasi
Kemasyarakatan: a. melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan
ketertiban umum; b. menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan
Pemerintah; c. memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan
kepentingan Bangsa dan Negara”.

Pembredelan Pers
Pers dikendalikan oleh pemerintah melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers

166
CATATAN AKHIR TAHUN

(SIUPP) melalui Peraturan Menteri Penerangan No. 1/ Per/Menpen/1984


tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan SK Menpen Nomor 214
A/Kep/Menpen/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk mendapatkan
SIUPP.
Pemerintah juga berusaha mengendalikan jurnalis dan penerbit pers dengan
SK Menpen Nomor 47/Kep/Menpen/1975 tentang Pengukuhan PWI dan SPS
masing-masing sebagai satu-satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi
Penerbit Pers.

Unifikasi dan kontrol terhadap organisasi rakyat: SB, organisasi petani,


nelayan, guru, PNS , organisasi keagamaan.
Kontrol terhadap serikat buruh dimulai dari MPBI yang didirikan pada tahun
1967. MPBI terdiri dari serikat-serikat buruh selain SOBSI. Pada tahun 1970-an,
MPBI kemudian berubah menjadi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI)69.
Kemudian muncul Permenakertrans No. 1/1975 tentang Pendaftaran Organisasi
Buruh. Pasal 2 peraturan ini mengatur bahwa organisasi buruh yang berbentuk
gabungan harus memiliki pengurus daerah sekurangnya di 20 provinsi dan
anggota 15 serikat buruh. Akhirnya hanya FBSI yang dianggap sah.
Kontrol terhadap serikat buruh juga diperkuat dengan legalisasi keterlibatan
militer Kepmenakertrans No. 342/1986 yang menyatakan aparat keamanan
boleh ikut campur dalam penyelesaian perselisihan perburuhan terutama yang
mengarah pada aksi mogok.
Pola yang sama terjadi pada organisasi rakyat lain yang dianggap Orde Baru
berpotensi menjadi kekuatan informal seperti organisasi petani, nelayan, guru,
PNS, dan organisasi keagamaan.
Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) sebagai Bentuk Patrimonial
Estimasi Korupsi Soeharto adalah 35 milyar USD70. Jeffrey A. Winter menulis,
dari pinjaman Bank Dunia saja telah dikorupsi US$ 10 milyar dari total pinjaman
US$ 30 milyar71.
Situasi KKN pada masa Orde Baru tergambar dalam berbagai produk hukum
yang lahir pada masa awal reformasi. Bagian pertimbangan UU No. 28/1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi,
Dan Nepotisme dalam pertimbangannya merekam situasi ini:
“Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, Penyelenggara Negara tidak dapat
menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan
Majalah Sedane
69

Periksa http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9987/ti-mantan-presiden-soeharto-pemimpin-paling-
70

korup-di-dunia-.
Winters, Jeffry,
71

167
YLBHI

negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena adanya
LBH DARI MASA KE MASA

pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/


Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di samping itu, masyarakat pun
belum sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang
efektif terhadap penyelenggaraan negara”.
“Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab tersebut tidak hanya
berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan
moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih
menguntungkankelompok tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme
tersebut tidak hanya dilakukan oleh Penyeienggara Negara, antar-Penyelenggara
Negara, melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti
keluarga, kroni, dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi
negara”.
Hal yang sama juga terdokumentasi dalam TAP MPR X/1998 tentang Pokok-
Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi
Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara “Kekuasaan eksekutif yang terpusat
dan tertutup di bawah lembaga kepresidenan mengakibatkan krisis struktural
dan sistemik sehingga tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai
lembaga kenegaraan, politik, dan sosial secara proporsional dan optimal.
Terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di masa lalu adalah
salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan”.

168
CATATAN AKHIR TAHUN

169
YLBHI

BAB VI
PENUTUP

PENUTUP

K
asus-kasus dan kebijakan pada bagian sebelumya apabila diamati adalah
sebuah gejala yang memiliki akar. Bagian penutup ini karenanya akan
mencoba memunculkan akar dari gejala yang sudah dipaparkan.
Pertama, pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang mengambil hak rakyat
dan memiskinkan. Pembangunan yang dari asal katanya dapat kita mengerti
memiliki arti positif ternyata menimbulkan hal buruk. Bukannya dibangunkan
dari tidur panjang kemiskinan, penderitaan sebaliknya proyek-proyek
pembangunan ini menghilangkan yang sudah ada, merampas yang sudah
ditanam dan memundurkan kemajuan menjadi kemiskinan di segala bidang.
Hal ini terjadi karena pembangunan yang direncanakan tidak mengambil arah
yang diharapkan rakyat. Rakyat yang terdampak tidak ditanya apa kemauannya
dan apa rencananya dengan kata lain hak rakyat atas pembangunan tidak diakui.
Pembangunan juga dititikberatkan pada pembangunan fisik yaitu infrastruktur
dan ekonomi. Sungguh jauh dari “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor ekonomi domestik melalui akomodasi kehendak rakyat
atas sektor ekonomi yang mereka telah dan mau geluti” dan juga perlindungan
terhadap tanah, air, udara yang menjadi janji Jokowi-JK dalam Nawacita.
Kedua, keterlibatan TNI dalam pembangunan. Sembilan belas tahun setelah
TAP MPR X/1998 dan 17 tahun setelah pemisahan TNI/Polri militer kembali
dilibatkan dalam masalah sosial politik yang bukan menjadi tugasnya. Hal
ini bisa bermakna banyak. Mulai dari penurunan fungsi militer, yang tadinya
dibutuhkan karena ketrampilan khususnya, hingga ketidakpatuhan kepada
hukum. Pastinya yang paling mengkuatirkan adalah seperti yang ditulis dalam
bagian pertimbangan TAP MPR No. VI/2000 berikut ini:
“bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia menyebabkan tejadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat
tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat”.
Ketiga. kebebasan berserikat, berkumpul, berpendapat dihambat. Kebebasan
selalu ditakuti oleh pemerintahan yang otoriter. Tentu saja kebebasan dalam
tulisan ini bermakna kebebasan yang bersumber dari HAM dalam arti
dilakukan secara damai serta tidak melanggar ketentuan HAM seperti siar
kebencian. Pemerintah mengejutkan publik saat mengeluarkan Perppu Ormas
yang membatasi kebebasan berserikat, meskipun lebih mengejutkan lagi
melihat perppu tersebut diloloskan oleh DPR mengingat Presiden tidak berasal
dari parpol dan tidak memiliki dukungan mayoritas dari partai politik. Kasus-

170
CATATAN AKHIR TAHUN

kasus pada bab sebelumnya juga menunjukkan pembatasan hak berkumpul dan
berpendapat melalui pelarangan diskusi, pameran juga kriminalisasi pembela
HAM yang sedang melakukan advokasi baik kasusnya sendiri maupun kasus
yang didampinginya.
Keempat, hukum yang digunakan penguasa untuk melawan rakyat. Hukum
memang produk politik dan karena itu tidak heran hukum (senantiasa)
digunakan oleh mereka yang berkuasa untuk melawan rakyat; merampas sumber
penghidupan rakyat dan lain-lain. Terjadi tumpang tindih aturan hukum baik
yang setara maupun antar peraturan daerah dengan undang-undang.
Kelima, peradilan sebagai lembaga pemulihan tidak bekerja dan justru
mendukung perampasan hak rakyat. Peradilan sesungguhnya adalah mekanisme
pengujian suatu tindakan dalam hal ini termasuk tindakan penguasa. Oleh
karena itu peradilan bukanlah hanya sekedar mekanisme melainkan sarana
untuk memberikan pemulihan. Sayangnya kasus-kasus yang ada menunjukkan
peradilan belum mampu menjalankan fungsi mulia ini. Sebaliknya peradilan
menjadi alat impunitas, penghapus kesalahan dan perampas hak rakyat.
Keenam, pembangkangan kepada hukum. Saat peradilan bekerja dan hukum
memihak kepada rakyat, senjata pamungkas pembangkangan kepada hukum
dan peradilan bekerja. Kasus-kasus yang ada menunjukkan kemenangan rakyat
kerap tinggal di atas kertas. UU dan mekanisme yang bertujuan mengikat
pelayan publik bertindak sesuai UU ternyata juga tidak mampu memutus rantai
pembangkangan ini.
Ketujuh, korupsi sebagai sumber pelanggaran HAM. Korupsi dan mesin
penggeraknya ternyata masih bercokol kuat. Hal ini ditunjukkan oleh perlawanan
balik terhadap KPK oleh berbagai institusi dengan berbagai bentuknya. Padahal
korupsi tidak saja pelanggaran HAM itu sendiri tetapi ia menjadi sumber
pelanggaran HAM. Peradilan yang korup akan membuat mekanisme pemulihan
tidak bekerja. Pejabat yang korup akan menyebabkan ia tidak mematuhi hukum
dan putusan peradilan. DPR yang korup juga akan membuat hukum yang
menguntungkan segelintir orang bukan rakyat.
Kedelapan, pemaksaan keseragamaan. Meskipun Bhineka Tunggal Ika tidak
pernah berpindah dari lambang negara tetapi pelaksanaannya sungguh berbeda.
Ancaman tidak lagi datang hanya dari aparat pemerintah tetapi juga ormas,
kelompok dan individu masyarakat. Kasus-kasus menunjukkan kekerasan baik
fisik maupun verbal bahkan perburuan manusia atas manusia lain. Tentu saja
tetap ada dimensi struktural dalam hal ini yaitu peninggalan Orde Baru yang
melakukan pemberangusan kebebasan termasuk menganut keyakinan tertentu.
Pengalaman ini tentu menimbulkan ketidakpercayaan jika keragamaan bisa
berdampingan dan hak tidak hanya bisa didapatkan dengan menguasai. Tentu
saja konservatisme dan ketidakadilan juga menjadi akar persoalan ini.

171
YLBHI

Kesembilan, delegitimasi HAM. Beriringan dengan pelanggaran hak-hak rakyat,


PENUTUP

pengabaian agenda reformasi terkait penuntasan pelanggaran HAM masa Orde


Baru dan pemaksaan keseragamaan, terjadi delegitimasi HAM. Hal ini diawali
dengan politisasi HAM melalui berbagai pernyataan tanpa dasar dan bukti seperti
HAM berasal dari Barat dan lain-lain. Padahal amandemen konstitusi yang
tidak terlepas dari agenda reformasi salah satunya adalah penambahan HAM ke
dalam UUD 1945. Demikian pula TAP MPR X/1998 yang merupakan dokumen
tertinggi kedua setelah konstitusi menyebutkan tujuan reformasi pembangunan
poin 3 adalah “menegakkan hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran
dan keadilan, Hak Asasi Manusia menuju terciptanya ketertiban umum
dan perbaikan sikap mental”. Oleh karena itu menolak HAM sesungguhnya
menolak konstitusi, TAP MPR ini juga UU.
Terakhir sekali kami ingin mengemukakan refleksi atas kondisi hukum dan
HAM di Indonesia dengan membandingkan apa yang terjadi baik pada masa
reformasi dan sebelumnya. Pertama, pola yang berulang. Terlihat kasus-kasus
yang terjadi pada masa ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa
lalu. Baik mengenai jenis, pola pelanggaran maupun penyelesaiannya. Kedua,
reformasi bergerak mundur. Tonggak yang dibuat pada tahun 1998 hingga awal
2000 ternyata bukan hanya tidak dijalankan tetapi ditinggalkan. Orang-orang
termasuk pejabat negara tidak berkomitmen terhadap agenda reformasi bahkan
mempraktekkan hal-hal yang sudah dinyatakan sebagai hal yang buruk dalam
dokumen-dokumen reformasi. Ketiga, demokrasi digerogoti. Reformasi adalah
tonggak ditinggalkannya rezim otoriter menuju pemerintahan yang demokratis.
Oleh karena itu mempraktekkan hal-hal pada masa Orde Baru sama dengan
melakukan penggerogotan terhadap demokrasi.

172
CATATAN AKHIR TAHUN

DAFTAR PUSTAKA
Aliansyah, M.A, 2014. Malari Perlawanan Terhebat Pertama Terhadap Orde Baru.
Diakses dari: https://www.merdeka.com/peristiwa/malari-perlawanan-
terhebat-pertama-terhadap-orde-baru-hariman-dan-malari-1.html. Terakhir
diakses 20 Desember 2017.
Armandhanu, Denny, dan Armenia, Resty, 2015. Temui PM Kanada Jokowi
Bahas Kerjasama Dagang. Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20151115162051-92-91789/temui-pm-kanada-jokowi-bahas-
kerjasama-dagang. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Arifin, Syarif, 2017. Cukup Dikenang, Tidak untuk Diulang. Sedane Majalah
Perburuhan, 20 Februari 2017.
Ariyanti, Fiki, 2017. Ini Rasio Utang Pemerintah RI dari Era Soeharto hingga Jokowi.
Diakses dari: http://bisnis.liputan6.com/read/2854387/ini-rasio-utang-
pemerintah-ri-dari-era-soeharto-hingga-jokowi. Terakhir diakses 23
November 2017.
Bappenas dan UNDP, 2015. Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2015.
Bagir, Zainal Abidin, 2012. Presentasi dalam Diskusi Publik CRCS memperingati Hari
Perdamaian Internasional (HPI) dan HTKI, Oktober 2012.
Berita Kita, Media Komunikasi Komunitas Freeport Indonesia, Maret 2014, Edisi No.
240. Diakses dari: https://ptfi.co.id/media/files/publication/5626fabe75911_
bk240.pdf . Terakhir diakses 16 Desember 2018.
CNN Indonesia.com, 15 November 2015 “Temui PM Kanada Jokowi bahas kerjasama
dagang”. Diakses dari: https://grafis.tempo.co/read/812/megaproyek-
infrastruktur-sejak-era-sby-sampai-jokowi. Terakhir diakses 18 November
2017.
CNN Indonesia, Kasus Pembantaian Dukun Santet Banyuwangi Jadi PR Komnas
HAM, Kamis, 27 Juli 2017 . Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/
nasional/20170727093716-12-230625/kasus-pembantaian-dukun-santet-
banyuwangi-jadi-pr-komnas-ham. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Dahlan, Juniawan, 2017. Ali Moertopo. Diakses dari: https://kebudayaan.kemdikbud.
go.id/mkn/2017/02/22/ali-moertopo/. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Elsam, 2014. Laporan HAM ELSAM 2004. Diakses dari: Elsam. Koleksi Khusus. Diakses
dari: https://lama.elsam.or.id/downloads/1265989923_Lapo ran_ham_2004.
pdf. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Elsam. Koleksi Khusus. Diakses dari: http://kolsus.elsam.or.id/index.php?p=show_
detail&id=2686. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Elsam. Koleksi Khusus. Diakses dari:
http://kolsus.elsam.or.id/index.php?p=show_detail&id=2658. Terakhir diakses 18
Desember 2017.
Fachrudin, F, 2017. Kemhan dan Kementerian ATR Percepat Sertifikasi Aset
Ribuan Hektar Tanah. Diakses dari: http://nasional.kompas.com/
read/2017/03/31/11432781/kemhan.dan.kementerian.atr.percepat.sertifikasi.
aset.ribuan.hektar.tanah. Terakhir diakses 20 Desember 2017.
Hadiz, Vedi. R and Chalmers, Ian (eds.), 2000. Economic Liberalism A New Orthodoxy

173
YLBHI
dalam The politics of Economic Development in Indonesia: contending
perspectives. New York: Routledge.
Hamdi, Ahmad Zainul, 2017. Makalah Diskusi Berkala HAM dengan Komunitas
Perempuan, Agama/Keyakinan, dan Etnis serta Inklusi Sosial Lainnya di LBH
Surabaya, 26 April 2017.
Ihsanuddin, 2017. Jokowi: Saya Hanya Ingin APBN Fokus ke Insfrastruktur. Diakses
dari: https://nasional.kompas.com/read/2017/07/20/20054901/jokowi--saya-
hanya-ingin-apbn-fokus-ke-infrastruktur. Terakhir diakses 19 Desember
2017.
Ikhsanudin, Arif, 2016. KOMNAS HAM: Peristiwa 27 Juli 1996 adalah Pelanggaran
HAM. Diakses dari: http://historia.id/modern/komnas-ham-peristiwa-27-
juli-1996-adalah-pelanggaran-ham. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Katadata, 2017. Inilah 5 Sektor Terbesar dalam Proyek Strategis Nasional. Diakses
dari: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/10/18/inilah-5-sektor-
terbesar-dalam-proyek-strategis-nasional. Terakhir diakses 20 Desember
2017.
KOMNAS HAM, Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Penembakan Misterius
Periode 1982 – 1985.
Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Penghilangan Orang
Secara Paksa Periode 1997-1998, 30 Oktober 2006. Diakses dari: https://
www.scribd.com/document/220011330/Ringkasan-Eksekutif-Kasus-
Penghilangan-Paksa-1997-1998-Komnas-HAM. Terakhir diakses 18
Desember 2017.
KOMNAS HAM, 2016. Laporan HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun
2016.
Kompas.com, 25 April 2015 “Tiongkok sapu bersih proyek infrastruktur Indonesia”.
Diakses dari: https://ekonomi.kompas.com/read/2015/04/25/165045026/
Tiongkok.Sapu.Bersih.Proyek.Infrastruktur.Indonesia. Terakhir diakses 20
November 2017.
KP Online, 2017. Ini Sikap JBM terhadap Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja
Migran Indonesia. Diakses dari: https://www.koranperdjoeangan.com/
ini-sikap-jbm-terhadap-pengesahan-ruu-perlindungan-pekerja-migran-
indonesia/. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
LBH Jakarta, 2016. Mengenang 20 Tahun Kriminalisasi Aliansi Jurnalis Independen.
Diakses dari: https://www.bantuanhukum.or.id/web/membungkam-dan-
memberangus-pers-kriminalisasi-pengurus-aliansi-jurnalis-independen/.
Terakhir diakses 18 Desember 2017.
LBH Jakarta, 2017. Redupnya Api Reformasi: Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2017.
Jakarta: LBH Jakarta.
Metanasi, P, 2016. Yang Tersisa dari Bandara Kemayoran. Diakses dari: https://tirto.
id/yang-tersisa-dari-bandara-kemayoran-b5cl. Terakhir diakses 20 Desember
2017.
Merdeka, Ini Kronologi Hilangnya Marsinah Hingga Ditemukan Tewas, 2 Mei 2016.
Diakses dari: https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kronologi-hilangnya-

174
CATATAN AKHIR TAHUN
marsinah-hingga-ditemukan-tewas.html. Terakhir diakses 18 Desember
2017.
Pincus, Jonathan R and Winters, Jeffrey A. ed., 2002. Reinventing the World Bank,
Cornell University Press: Ithaca and London.
PRD, 2010. Sekilas Tentang PRD. Diakses dari: http://www.prd.or.id/blog/2010/07/12/
sekilas-tentang-prd/. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Putusan MA No. 395 K/Pid/1995.
Radio Nederland Wereldomroep Indonesia, Ingat Soeharto, Ingat Tapos. Diakses dari:
http://archief.wereldomroep.nl/bahasa-indonesia/article/ingat-soeharto-
ingat-tapos. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2015-2024.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2015-2024.
Riau Online, 2017. Sejarah, Pemkab Inhu Komitmen Akui Hak Adat Suku Talang
Mamak. http://www.riauonline.co.id/riau/read/2017/08/24/sejarah-pemkab-
inhu-komitmen-akui-hak-adat-suku-talang-mamak. Terakhir diakses 14
November 2017.
RPJMN 2015-2019 buku 3.
Saman, E, 2012. Mereka Membela Diri, Mengenang Tragedi Haur Koneng. Diakses dari:
http://effendisaman.blogspot.co.id/2012/03/sebagai-relawan-lbhbandung-
ylbhi-masa.html. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Setara Institute, 2016. Laporan Setara Institute Tahun 2016.
Sukoco, Manik, 2017. Ketika Demokrasi Dihancurkan di Gedung Demokrasi. Diakses
dari: https://kumparan.com/manik-sukoco/ketika-demokrasi-dihancurkan-
di-gedung-demokrasi. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Suara Independen No. 7/II/Januari-Pebruari 1996 . Bredel Malari DiMata Mashuri.
Diakses dari: https://www.library.ohio.edu/indopubs/1996/03/31/0015.
html. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Taufiq, Fatkhurrohman, 2012. Tempo.com, “forum umat : Fatwa Sesat Syiah oleh
MUI Tidak Sah” 31 Agustus 2012. Diakses dari: http://www.tempo.co/read/
news/2012/08/31/078426687/Fotum-Umat-Fatwa-Sesat-Syiah-oleh-MUI-
Tidak-Sah. Terakir diakses 20 Desember 2017.
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita I.
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita II.
TAP MPR IV/1973 tentang GBHN Repelita II.
Tempo.co, 2017. Setya Novanto Didakwa Mengintervensi Proyek E-KTP. Diakses
dari: https://nasional.tempo.co/read/1042012/setya-novanto-didakwa-
mengintervensi-proyek-e-ktp. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Laporan Mei 1998, dalam Komnas Perempuan
2001, Seri Dokumen Kunci Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa
Kerusuhan Mei 1998.
Tirto.id, 2016. Menebar Reklamasi di Negara Ribuan Pulau. Diakses dari: https://tirto.
id/menebar-reklamasi-di-negara-ribuan-pulau-FDu. Terakhir diakses 22
November 2017.
Tirto.id, Mereka Dipenjara Karena Didakwa Menista Agama, 16 November 2016.
Diakses dari: https://tirto.id/mereka-dipenjara-karena-didakwa-menista-

175
YLBHI
agama-b46G. Terakhir diakses 20 Desember 2017.
Tirto.id, LBH dan Advokasi Umat Islam, 21 September 2017. Diakses dari https://tirto.
id/lbh-dan-advokasi-umat-islam-cwY8. Terakhir diakses 18 Desember 2017.
Tirto.id, Mengenang Tragedi 33 Tahun Tragedi Pembantaian Tanjung Priok, 12
September 2017. Diakses dari: https://tirto.id/mengenang-33-tahun-tragedi-
pembantaian-tanjung-priok-cwpi. Terakhir diakses 19 Desember 2017.
Tribunnews.com, 2016. Nota Kesepahaman TNI dengan Instansi Kementerian dan
BNPB. Diakses dari: http://www.tribunnews.com/nasional/2016/03/23/nota-
kesepahaman-tni-dengan-instansi-kementerian-dan-bnpb. Terakhir diakses
16 Desember 2017.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wildansyah, S., 2017. Panglima-Mendikbud Teken MOU Bakal ada ‘Tentara Masuk
Sekolah”. Diakses dari: ttps://news.detik.com/berita/d-3753614/panglima-
mendikbud-teken-mou-bakal-ada-tentara-masuk-sekolah. Terakhir diak-ses
14 Desember 2017.
YLBHI, 1989. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: YLBHI.
YLBHI, 1990. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakara: YLBHI.
Zen, M. Arief Patra, 2008. Bantuan Hukum Indonesia: Mengurai Gagasan dan
Praktiknya Lewat Perjalanan LBH. Diakses dari: http://apatra.blogspot.
co.id/2008/11/bantuan-hukum-indonesia-mengurai_04.html. Terakhir
diakses 16 Desember 2017.

176

Anda mungkin juga menyukai