Anda di halaman 1dari 5

Jurnalisme:

Hakikat dan Realitas

“Kalau masih ditanya juga soal apa agama saya, saya akan jawab: agama saya
adalah jurnalisme.”

(Andreas Harsono)

Pernyataan andreas harsono di awal menyiratkan betapa dunia jurnalisme


begitu mulia, sehingga ia mengibaratkannya seperti sebuah agama. Hal ini tidak
berlebihan, mengingat jurnalisme dan agama sama-sama menempatkan kebenaran
sebagai prinsip dasar. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
(Kovach dan Rosenstiel, 2001: 38). Bedanya, kebenaran yang dicari melalui
agama adalah kebenaran mutlak atau kebenaran filosofis yang bersumber dari
tuhan, sedangkan dalam jurnalisme, kebenaran yang dicari adalah kebenaran
praktis atau fungsional. Kebenaran fungsional tersebut diupayakan melalui
rangkaian proses jurnalistik. Tak heran, jurnalisme memiliki peranan yang sangat
signifikan dalam kehidupan manusia. Namun seiring dengan teknologi yang
semakin berkembang, lahir berbagai teknik, metode, dan spesifikasi baru di dunia
jurnalisme. Teknologi membentuk perusahaan informasi baru yang memasukkan
jurnalisme ke dalam kategori yang lebih luas (Kovach dan Rosenstiel, 2001: 13).
Sayangnya, perkembangan tersebut membuat peranan jurnalisme dalam
menyajikan kebenaran menjadi bias. Keuntungan perusahaan menjadi perhatian
utama melebihi kualitas berita. Privasi dan hak-hak pribadi sering kali dilupakan.
Batasan-batasan dalam mengorek informasi sering kali diabaikan. Sensasionalitas
pun dijadikan modal utama untuk menarik minat masyarakat. Tulisan ini akan
menjelaskan mengenai hakikat jurnalisme dan membandingkannya dengan
realitas yang ada. Pembandingan tersebut dilakukan untuk menyadarkan para
pembacanya tentang esensi jurnalisme yang sebenarnya.
Hakikat Jurnalisme

Jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan


melaporkan peristiwa (Kusumaningrat, 2005: 15). Semua itu dilakukan guna
memenuhi right people to know, atau hak masyarakat untuk tahu. Logikanya,
manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melapornkan,
katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya
suatu tren sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak
(Harsono, 2010: 27). John McCain, senator Amerika Serikat dari Arizona,
menulis dalam biografinya bahwa dalam masa 5 tahun menjadi tawanan perang di
Hanoi, Vietnam, yang paling ia rindukan bukanlah hiburan, makanan, kebebasan,
atau bahkan keluarga dan teman. “Hal yang paling saya rindukan adalah
informasi--bebas sensor, tak terdistorsi, dan jumlahnya berlimpah” (McCain dan
Salter, 1999:221). Kebutuhan akan informasi atau berita inilah yang membuat
jurnalisme begitu penting dalam kehidupan masyarakat, terlebih lagi masyarakat
yang demokratis.

Jurnalisme menyampaikan kebenaran dan mencerdaskan masyarakat


melalui berita yang disampaikan. Berita adalah bagian dari komunikasi yang
membuat kita terus memperoleh informasi tentang pergantian peristiwa, isu, dan
tokoh di dunia luar (Kovach dan Rosenstiel, 2001: 16). Semakin berkualitas
jurnalisme di tengah masyarakat, maka semakin berkualitas berita yang disajikan,
dengan demikian, semakin cerdas pula masyarakat tersebut.

Dalam menggeluti dunia jurnalisme, tentunya ada asas-asas yang harus


dipegang oleh seorang jurnalis. Seorang wartawan profesional tidak akan menipu
pembacanya, walau sedikit, karena ia sadar terhadap etika dan bahaya yang akan
mengancam (Bujono dan Hadad, 1996: 23). Kejujuran adalah asas yang paling
dasar. Asas-asas lainnya tercantum pula dalam Kode Etik Jurnalistik maupun
peraturan hukum yang berlaku. Ada hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan
oleh seorang jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya. Ada hak-hak
pribadi maupun kelompok yang tidak boleh diciderai. Ada metode-metode dan
teknik-teknik yang harus dipergunakan untuk menghasilkan berita yang
mengandung nilai kebenaran. Asas-asas yang berlaku ini tidak ditujukan untuk
membatasi kebebasan seorang jurnalis, melainkan untuk menjaga
profesionalitasnya. Dengan demikian, peranan jurnalisme untuk bisa menyediakan
informasi yang dibutuhkan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri dapat
terwujud.

Kovach dan Rosenstiel (2001: 6) bersama Committtee of Concerned


Journalists telah melakukan penelitian dan pengujian terhadap kesaksian lebih dari
300 wartawan senior selama lebih dari dua tahun. Di dalam bukunya Sembilan
Elemen Jurnalisme, mereka menetapkan sembilan elemen utama yang harus
dipahami dan ditaati oleh wartawan agar bisa menjalankan tugasnya secara apik.

Sembilan elemen jurnalisme tersebut:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.


2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat.
3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
4. Praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber
berita.
5. Jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan
masyarakat.
7. Jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting
menarik dan relevan.
8. Jurnalisme harus menyediakan berita komprehensif dan
proporsional.
9. Praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Realitas

Semakin pesatnya perkembangan teknologi membuat arus informasi kian


deras. Rasa ingin tahu masyarakat terhadap segala sesuatu kian meluas.
Jurnalisme pun telah meluas ke arah bisnis komersial. Keuntungan perusahaan
menjadi prioritas dalam setiap kegiatan jurnalistik. Guna memenangkan
persaingan, sebagian besar perusahaan jurnalisme pun menggunakan segala untuk
menjadi yang paling diminati masyarakat. Persaingan ini memunculkan sebuah
realitas yang kontras dengan hakikat jurnalisme.

Kita sering melihat headline di berbagai surat kabar yang menggunakan


bahasa-bahasa sensasional untuk menarik audiensnya. Saat ia memisahkan diri
dari kontrol politik pada abad ke-19, jurnalisme berusaha mendapatkan
audiensnya yang pertama dengan mengandalkan berita kriminalistas yang
sensasional, skandal seks, hal-hal yang menegangkan, dan pemujaan kaum
selebritas (Kovach dan Rosenstiel, 2001: 41). Desas-desus tentang tindakan
politik dan hukum juga sering disebarluaskan. Pertemuan pengusaha dan politisi
Aburizal Bakrie dengan Gayus, contohnya. Desas-desus ini sempat menjadi
headline di beberapa surat kabar nasional, walaupun sampai sekarang tidak
terbukti kebenarannya.

Pencerahan

Meraih perhatian audiens dengan cara seperti ini tentunya tidak


dibenarkan. Pemberitaan mengenai hal-hal yang bersifat pribadi dan tidak
berkaitan dengan kepentingan publik adalah perbuatan melanggar etika. Ada
banyak pembelaan disini. Para pelaku jurnalisme kuning bisa berpendapat bahwa
mereka berusaha memenuhi hak masyarakat untuk tahu dan desas-desus yang
disampaikannya bisa saja benar, bahkan sering kali benar. Namun jurnalisme
punya etika. Ketika kita berbicara tentang etika, maka kita tidak hanya berbicara
masalah benar atau salah, melainkan pantas dan tidak pantas. Pemberitaan
mengenai fakta yang dikemas dengan sensasional, skandal, seks, dan perceraian
bisa saja benar, namun belum tentu pantas untuk dijadikan konsumsi publik.

Mengumbar sensasi demi atensi boleh jadi efektif untuk meraih


keuntungan dalam bisnis jurnalisme. Masyarakat cenderung tertarik dengan hal-
hal yang berbau sensasi. Desas-desus yang dikemas sebagai berita memang
mempunyai nilai jual yang cukup tinggi. Namun hal ini tidak akan bertahan lama,
masyarakat yang terus mengikuti perkembangan berita pun akan bosan dengan
sensasi yang diumbar-umbar. Masyarakat yang sudah cerdas pun akan memilih
jurnalisme yang berkualitas untuk dijadikan panduan.

Penjelasan di depan memberikan sebuah gambaran mengenai hakikat


jurnalisme dan membandingkannya dengan realitas yang ada. Akhirnya, dari
pembandingan tersebut diperoleh pencerahan tentang esensi jurnalisme yang
seharusnya kita pegang. Dari penjelasan di depan, dapat kita tarik sebuah
pelajaran berharga mengenai pentingnya memahami hakikat jurnalisme sebagai
penyaji kebenaran, komitmen inilah yang harus kita pegang.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih
jauh dari sempurna. Contoh yang lebih beragam mengenai realitas di dunia
jurnalisme tentunya dapat memperkaya tulisan ini. Sembilan elemen jurnalisme
yang harus dipegang oleh seorang jurnalis juga akan lebih bermakna apabila
dibahas secara mendalam. Berbagai koreksi dari pembaca dapat menjadi nasehat
yang sangat berharga bagi penulis.

Daftar Pustaka

Bujono, Bambang dan Toriq Hadad. 1996. Seandainya Saya Wartawan


Tempo. Jakarta: ISAI dan Yayasan Alumni Tempo.
Harsono, Andreas. 2010. Agama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta:
Kanisius.
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2001. Sembilan Elemen Jurnalisme
(terj.). Jakarta: Pantau.
McCain, John dengan Mark Salter. 1999. Faith Of My Fathers. Dalam Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel. Sembilan Elemen Jurnalisme (terj.). Jakarta: Pantau.

Anda mungkin juga menyukai