Anda di halaman 1dari 8

10 Elemen Jurnalisme

Sejarawan Mitchell stephens dalam karyanya History of News: From the Drum to the Satelite menulis
“Manusia telah saling bertukar aneka macam berita … sepanjang sejarah dan lintas budaya”. Mulai dari
sekelompok suku di Afrika sampai pulau yang paling terpencil di Samudera Pasifik. Orang-orang primitif
ini ternyata mempunyai definisi yang sama tentang apa yang disebut dengan berita.

Mereka mencari kualitas yang sama dalam diri si pembawa pesan yang mereka pilih untuk
mengumpulkan dan menyampaikan berita. Mereka menginginkan orang yang bisa berlari cepat melintasi
bukit, bisa mengumpulkan informasi secara akurat, dan bisa menceritakan ulang dengan memikat.

Bagaimana hal ini dapat terjadi? Jawabannya, Harvey Molotch, sejarawan dan sosiolog New York
University menjelaskan bahwa berita ternyata memuaskan dorongan hati manusia yang mendasar. Orang
mempunyai kubutuhan dalam dirinya—sebuah naluri untuk mengetahui apa yang terjadi di luar
pengalaman langsung dari mereka sendiri. Tahu terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak bisa kita
saksikan dengan mata sendiri ternyata mengahadirkan rasa aman, kontrol diri, dan percaya diri. Molotch
menyebutnya sebagai naluri dasar.

Kita membutuhkan berita untuk menjalani hidup kita, untuk melindungi diri kita, menjalin ikatan satu
sama lain, mengenali teman dan musuh. Jurnalisme tak lain adalah sistem yang dilahirkan masyarakat
untuk memasok berita. Para sejarawan pun sepakat bahwa kesamaan nilai-nilai dasar dalam berita
terbukti bertahan dalam perjalanan waktu. Inilah alasan mengapa kita peduli terhadap karakter berita dan
jurnalisme yang kita dapatkan: mereka mempengaruhi kualitas hidup kita, pikiran kita, dan budaya kita.

Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap jurnalis. Prinsip-prinsip
ini telah melalui masa pasang dan surut. Namun, dalam perjalanan waktu, terbukti prinsip-prinsip itu tetap
bertahan.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople
Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), merumuskan prinsip-prinsip
itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Bill Kovach yang memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959
di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik
di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.
Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah
kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach
membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika.

Sedangkan Tom Rosenstiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan
jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah
organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.

Kesembilan elemen tersebut adalah:


1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda?
Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu
persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?

Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh
informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai
ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional.

Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out)
yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan
jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa
dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya
dari bentuk komunikasi lain.

Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta
yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses
pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang
divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu
kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses
pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah-- tersebut, karena memang hal itu diperlukan
dan bisa dipraktikkan.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran
dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar.
Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan
sebagainya.
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga
Sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei
menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat
urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa
penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan
isinya sensasional. Hal ini mengakibatkan di tahun 1999, hanya 21 persen Amerika yang berpikir
bahwa pers peduli terhadap rakyat, turun dari 41 persen pada 1985, tulis Mitchell Stephens dalam
History of News: From the Drum to the Satelite.

Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna
dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan
terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan
karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan perusahaan. Jurnalis
memiliki kewajiban sosial, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan
mereka.

3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi


Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru,
manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. verifikasi juga membedakan antara
jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni. Hiburan –dan saudara
sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian.
Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi
dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.

Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa,


membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin
verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan
apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya
bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
 Jangan menambah atau mengarang apa pun;
 Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
 Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam
melakukan reportase;
 Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
 Bersikaplah rendah hati.

4. Wartawan harus tetap independen dari pihak yang mereka liput


Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala sesuatu
dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada kecenderungan media untuk
menerapkan ketentuan “jarak” yang lebih ketat pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh
menjadi pengurus parpol atau konsultan politik politisi tertentu.

Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar
belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial-ekonomi, dan
gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang
harus didahulukan. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun,
ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi,
kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.

5. Wartawan harus bertindak sebagai pemantau kekuasaan


Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau
dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam
kerangka ikut menegakkan demokrasi. Dalam praktiknya wartawan tak sekedar memantau
pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat.

Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-
hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang
menangani urusan publik.
Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase
di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran
hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya
dirahasiakan.
6. Jurnalisme harus menghadirkan sebuah forum untuk kritik dan komentar publik
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik
diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk
membuat penilaian dan mengambil sikap.

Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang
tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan
pendapatnya, kritik, dan sebagainya

Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik.
Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-
prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi.

Dalam suratkabar umumnya wartawan mengingatkan publik akan suatu peristiwa atau kondisi di
komunitas. Laporan ini bisa saja berisi analisis yang menyebutkan dampak yang mungkin
muncul. Konteks mungkin dihadirkan untuk perbandingan atau kontras, dan editorial yang
membarenginya bisa saja mengevaluasi informasi tersebut. Kolumnis mungkin menghadirkan
komentar pribadi untuk persoalan itu.

Forum publik ini juga harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi
kuat saja atau bagian demografis yang menarik sebagai sasaran iklan. Idealnya jurnalisme
berjalan untuk terus menghidupkan pemikiran forum terbuka dengan publik. Ketika suratkabar
akhirnya punya berita untuk dikabarkan, halaman editorial menjadi tempat diskusi komunitas
melalui penerbitan surat-surat pembaca, dan belakangan juga halaman lawannya (oppisite
editorial page) yang diisi oleh penulis non-wartawan suratkabar tersebut.

7. Wartawan harus membuat hal yang penting menjadi menarik dan relavan
Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan
relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus
menemukan campuran yang tepat antara yang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan
hari mana pun. Meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.”

Jurnalisme adalah mendongeng dengan sebuah tujuan. Tujuannya adalah menyediakan informasi
yang dibutuhkan orang dalam memahami dunia. Tantangan pertama adalah menemukan
informasi yang dibutuhkan orang untuk menjalani hidup mereka. Kedua adalah membuatnya
bermakna, relevan, dan enak disimak. Namun, menarik audiens hanya dengan menyajikan
informasi/tontonan yang enak dilihat akan gagal sebagai strategi jurnalisme. Karena jurnalis
hanya menyuapi orang-orang dengan masalah sepele dan hiburan semata. Jurnalis harus
memperlihatkan liputan yang penting bagi khalayak.

8. Wartawan harus menjaga berita dalam proporsi dan menjadikannya komprehensif


Jika prinsip menarik dan relevan membantu menjelaskan bagaimana bisa secara lebih efektif
mendekati berita mereka, prinsip yang mengikutinya menginformasikan berita apa saja yang
perlu diliput. Apa saja berita itu? Dengan keterbatasan ruang, waktu, dan sumber daya, apa yang
penting dan yang tidak, apa yang disertakan dan apa yang harus ditinggalkan? Dan siapa yang
perlu didengar?

kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan


Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-
judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh
terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam
pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan
seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas
pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang
telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit
orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin
banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang
proporsional.
Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita
mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa
berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan
Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional
dalam menyajikan berita. Warga bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak.
Sebaliknya warga juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.

Jurnalisme adalah kartografi modern. Ia menghasilkan sebuah peta bagi warga untuk mengambil
keputusan tentang kehidupan mereka sendiri. Maka siaran berita atau suratkabar yang
mengabaikan komunitas yang utus dapat menciptakan problem bagi komunitas tersebut. pertama
media menjadikan audiensinya miskin informasi karena begitu banyak yang ditinggalkan.

Apabila hal ini dilakukan, jurnalisme hanya menhadirkan informasi yang sebelumnya telah
disebutkan orang sebagai ikhwal yang ingin mereka ketahui, kita hanya memberi tahu mereka
tentang sebuah bagian komunitas yang telah mereka kenal.

Seperti halnya peta kuno yang menyisakan sebagian besar dunia sebagai daerah tak dikenal,
audiens dewasa ini menghadapi jurnalisme dengan ruang kosong serupa di tempat grup
demografik yang tak menarik. Menurut kovach, stasiun berita yang meliput topik dengan cakupan
yang lebih luas cenderung meningkatkan atau mempertahankan audiensinya daripada yang tidak

9. Wartawan punya kewajiban terhadap nurani


wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi,
semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab
sosial.
“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan
berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E
Network.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan
manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini.
Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap
orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.
Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi
untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta
otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali
muncul ketika ia menentang manajemennya.”

10. Hak dan tanggungjawab warga terhadap berita


Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet.
Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media
sendiri. Terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism),
jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat
menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya.

Elemen jurnalisme adalah pernyataan hak-hak dasar sebuah masyarakat sekaligus menjadi
pernyataan tanggung jawab wartawan. Warga punya hak untuk mengharapkan peran anjing
penjaga terhadap organisasi berita demi kepentingan publik.

Kovach dan Rosenstiel menegaskan kepada mereka yang memproduksi jurnalisme harus menggunakan
elemen ini untuk membimbing langkah etis tulisan mereka. Sejarah telah mengajari kita lewat
pengalaman berdarah yang terjadi pada sebuah masyarakat di mana negaranya bertindak atas dasar
informasi demi kepentingan sendiri-apakah itu propaganda dari negara despotik atau maklumat dari kelas
yang punya kegemaran bermewah-mewah yang meyediakan roti dan sirkus sebagai ganti kekuasaan.

Bacaan:
 Bill Kovach, Tom Rosenstiel. 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme. Pantau: Jakarta
 Andreas Harsono. 2010. A9ama Saya Adalah Jurnalisme. Kanisius:Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai