Bahan Perkuliahan
Jurnalisme Investigasi
Erwin Kustiman
• Ada masa di mana menjadi jurnalis dianggap cukup dengan berbekal akal sehat, kearifan
(conventional wisdom), dan sedikit fakta. Dengan bekal sedikit fakta semacam itu, jurnalis
menganggap dirinya sah saja untuk melakukan interpretasi dan lalu mengambil kesimpulan-
kesimpulan drastis, dalam menulis berita atau analisis.
• Misalnya, sesudah lima kali naik taksi, dan di sepanjang perjalanan si jurnalis selalu mendengar
keluhan dari sopir taksi tentang pemerintahan SBY, sang jurnalis langsung menulis: “Rakyat tidak
puas pada pemerintahan SBY.” Padahal, yang ia dengar baru keluhan dari lima sopir taksi, yang
belum tentu mewakili suara seluruh sopir taksi. Bahkan, suara seluruh sopir taksi juga belum bisa
dianggap mewakili profesi-profesi lain. Apalagi jika dianggap mewakili seluruh rakyat Indonesia!
• Contoh lain: Pemerintah mengklaim telah berhasil menurunkan jumlah warga miskin secara
signifikan. Kali ini, si jurnalis justru menelan mentah-mentah begitu saja isi klaim pemerintah
tersebut. Si jurnalis lupa, ada definisi atau batasan penghasilan tertentu untuk bisa memasukkan orang
dalam kategori miskin. Kriteria miskin yang digunakan pemerintah Indonesia berbeda dengan yang
digunakan Singapura, Malaysia, India, Arab Saudi, Somalia, Amerika, Swedia, dan berbeda pula
dengan Bank Dunia ataupun PBB.
• Selain itu, garis pembeda antara miskin dan tidak miskin bisa sangat tipis. Misalnya,
orang dikatakan miskin jika penghasilannya per hari di bawah Rp 10.000. Artinya, jika
penghasilan Anda sudah Rp 10.200 per hari, Anda tidak lagi masuk kategori miskin. Ini
adalah kondisi “tidak miskin” yang rawan, karena begitu ada goncangan sedikit dalam
perekonomian (misalnya, harga sembako naik, harga BBM naik), terjadi bencana alam,
atau kecelakaan, Anda bisa langsung jatuh lagi ke kategori miskin!
• Jadi, jika si jurnalis bersikap kritis, ia sepatutnya bertanya, jika betul ada sekian juta
warga yang sudah terangkat dari status “miskin,” berapakah persisnya penghasilan
mereka per harinya sekarang? Karena penghasilan per hari Rp 10.200, Rp 20.000, Rp
100.000, Rp 300.000, dan Rp 500.000, sama-sama berstatus “bukan warga miskin.”
Tetapi, penghasilan Rp 10.200 jelas sangat berbeda dengan Rp 300.000.
• Dengan adanya contoh-contoh di atas, tidak mengherankan jika dalam
jurnal-jurnal populer yang mengritik media, bisa kita temukan banyak
keluhan terhadap praktik jurnalisme modern. Misalnya, jurnalis dianggap
tidak tahu mana butir informasi yang penting, terlalu tergantung pada
siaran pers, mudah dimanipulasi oleh politisi dan kepentingan khusus, serta
gagal mengkomunikasikan apa yang diketahuinya secara efektif.