Anda di halaman 1dari 9

Kesimpulan elemen ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists

mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200


wartawan dalam periode tiga tahun. Elemen-elemen jurnalisme adalah
menyatu, artinya kesepuluh elemen ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain,
semuanya mempunyai kedudukan yang sama, tidak bisa hanya salah satu
saja yang dipatuhi oleh jurnalis. Kesepuluh elemen tersebut adalah:

1. Elemen Kebenaran
Chapter 2, Truth: The First and Most Confusing Principle, page 36

Bentuk kebenaran jurnalistik yang ingin dicapai ini bukan sekedar akurasi,
namun juga merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional.
Kebenaran dalam penyampaian peristiwa. Ini bukan soal kebenaran mutlak
atau filosofis. Kewajiban utama ini agar masyarakat bisa memperoleh
informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat.

.
2. Elemen Loyalitas Kepada Warga
Chapter 3, Who Journalists Work For, page 50

Organisasi pemberitaan memang dituntut untuk melayani berbagai


kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal,
perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain
untuk pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama HARUS diberikan
kepada publik/warga. Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.

.
3. Elemen Disiplin Verifikasi
Chapter 4, Journalism of Verification, page 70

Kovach membuka bab ini dengan kutipan dari Thucydides, wartawan perang
Peloponnesia pada 5 SM, yaitu:

Sekalipun ada peristiwa faktual yang saya saksikan, saya berprinsip untuk tak
langsung menuliskan cerita pertama yang datang kepada saya. Saya tidak
akan tergiring oleh kesan-kesan dari saksi mata walaupun sudah saya periksa
seteliti mungkin. Kebenaran tidak mudah didapatkan, saksi mata berbeda
memberikan kesaksian yang berbeda pada satu peristiwa yang sama. Ada
yang menyebut sebagian saja, dari satu sisi atau sisi lainnya, karena ingatan
berbeda-beda.

Prinsip ribuan tahun dari Thucydides itu yang kemudian menjadi penyangga
prinsip disiplin verifikasi. Disiplin verifikasi itulah yang membedakan antara
jurnalisme dengan hiburan (infotainment), buletin propaganda, fiksi, atau
artikel seni. Hiburan (infotainment) berfokus pada apa yang paling bisa
memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa
fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan
jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.

Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi


peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta
komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan
apa yang sebenar-benarnya terjadi. Dalam kaitan dengan apa yang sering
disebut sebagai obyektivitas dalam jurnalisme, maka yang obyektif
sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam
meliput berita.

Di Amerika Serikat, verifikasi sudah menjadi kultur jurnalisme sejak 1919.


Pelopornya Walter Lipman dan Charles Menz redaktur harian New York World.
Mereka mengkritik berita-berita tentang Rusia saat itu yang menurutnya
hanya menuliskan apa yang ingin dilihat, bukan yang benar-benar terjadi.

Menurut Kovach, di era internet dan social-media, verifikasi menjadi semakin


ditinggalkan. Informasi begitu deras dan cepat datangnya. Lipman memberi
pertanyaan kunci pada hati masing-masing jurnalisnya sebelum menulis
berita:

Apakah saya tidak bersikap berat sebelah pada sumber-sumber saya?

Apakah salah satu pihak tidak gusar dengan tulisan ini?


Pemeriksaan keterangan saksi semaksimal mungkin akan menghindarkan
pers menjadi jurnalisme katanya. Ada sejumlah prinsip intelektual dalam
ilmu peliputan, yang dikenal dengan Lima Prinsip Verifikasi Lipman, antara
lain:
1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada;
2) Jangan menipu/mengecoh pembaca;
3) Bersikaplah setransparan mungkin dalam metode dan motivasi penulisan;
4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri;
5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

Kovach dan Rosenstiel juga menawarkan metode yang kongkrit dalam


melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan
harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis.
Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News
mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya accuracy
checklist, yaitu:

Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang


cukup?
Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi
atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang
ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan
jabatan?
Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan
apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin
halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan
laporan ini lebih dari batas yang wajar?

Apa ada yang kurang?


Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang
memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan
pendapat dari yang bersangkutan?
Jika jurnalis tidak mengetahui langsung peristiwa yang diceritakan
saksi/sumber maka pembaca harus diberi tahu itu. Termasuk menuliskannya
dalam judul. Lipman mencontohkan berita Lenin meninggal yang dikutip dari
kata orang. Maka judulnya: Helsingfor Mengatakan Lenin Meninggal. Bukan
lantas ditulis Lenin Meninggal sebab wartawan tidak melihat langsung
jenazahnya.

Waktu, lokasi, tanggal kejadian peristiwa menjadi elemen mendasar pada


disiplin verifikasi. Kantor-kantor pers AS menerapkan sistem kontrol sangat
ketat. Misalnya harian Oregonian di Portland Oregon yang dikutip Kovach,
wartawan Oregonian ditanya Bagaimana Anda tahu?, Mengapa pembaca
harus mempercayai ini?, Apa asumsi di balik kalimat ini?

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu


saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat
mungkin. David Protess seorang Professor Medill School of Journalism dari
Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran
yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama
kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen
misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan
sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

David Protess melatih mahasiswa anti asumsi. Jurnalis itu haram berasumsi!
David Protess berhasil menyelamatkan lima calon terpidana mati setelah
memeriksa ulang dokumen berbasis asumsi.

Keempat, pengecekan fakta ala Tom French (pemenang Pulitzer 1998) yang
disebut Tom Frenchs Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang
spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida,
memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya,
baris per baris, kalimat per kalimat. Dengan pensil warnanya, ia menandai
mana yang opininya dan mana yang hasil wawancara narasumber. Seorang
sumber di-check ulang latar belakangnya, terutama motif utama dia

memberikan informasi. Kepentingan apa? uang? popularitas?

Pada proses penyuntingan itu seideal mungkin melibatkan reporter dan


redaktur yang duduk berdampingan dan reporter membawa naskah aslinya.
Jika jarak berjauhan, bias kadang muncul. Jawa Pos pernah mengalaminya.

Kejadian saat jurnalis Jawa Pos, Rizal Husein, memalsukan wawancara istri Dr.
Azahari, Wan Nooraini Jusoh (Nur Aini). Wawancara secara eksklusif itu
dilakukan via telepon, mengingat Nur Aini ada di Johor, Malaysia. Satu bulan
kemudian (10 Nopember 2005), Jawa Pos kembali mempublikasikan
wawancaranya dengan Nur Aini, beberapa hari setelah Azahari dilaporkan
tewas dalam operasi penyergapan polisi di Villa Flamboyan, Batu, Jawa Timur.
Koran itu juga menggambarkan dialek Nur Aini kental dengan logat Melayu.

Kebohongan Rizal terkuak, ketika beberapa saat kemudian, stasiun televisi


Trans TV menayangkan wawancara langsung dengan Nur Aini. Dalam
tayangan itu, Nur hanya bisa berkomunukasi lewat tulisan tangan. Ternyata
faktanya, Nur Aini sama sekali tidak bisa bicara. Sejak beberapa tahun
sebelumnya, perempuan itu menderita penyakit kanker kelenjar thyroid, yang
membuat pita suara di tenggorokannya terganggu. Kebohongan telah
terungkap dari seorang jurnalis Jawa Pos yang membuat berita bohong, fiktif
dan rekayasa.

Setelah ketahuan memanipulasi berita, Rizal Husein kemudian dipecat dan


Jawa Pos meminta maaf secara terbuka di halaman pertama. Rizal Husein
mengaku tidak punya itikad jahat. Dia hanya ingin Jawa Pos menjadi media
terdepan dalam liputan terorisme. Simak berita yang memalukan itu di sini.

.
4. Elemen Independensi
Chapter 5, Independence from Faction, page 94

Jurnalis harus sebisa mungkin bersikap independen dari faksi-faksi, tanpa


takut dan tanpa tekanan, tanpa konflik kepentingan. Namun, dalam banyak

kasus, jurnalis tidak pernah bisa benar-benar independen. Mereka bekerja


untuk majikan yang punya kekuasaan dan uang. Atau mungkin mereka punya
saudara yang dekat kekuasaan. Terlebih lagi jika mereka bekerja di sebuah
media yang dibiayai oleh donor asing, bisakah mereka mengklaim
independen?

Mereka mungkin bisa independen terhadap partai politik tertentu, tapi


bisakah independen terhadap kepentingan bisnis tertentu, misalnya
wartawan Kompas terhadap Gramedia Group; wartawan Metro dan Media
terhadap Surya Paloh Group yang tidak hanya bisnisman tapi juga tokoh
partai politik?

Bill Kovach memberi jalan keluar untuk kemustahilan itu:

Jika wartawan/media memiliki hubungan yang bisa dipersepsikan sebagai


konflik kepentingan, mereka berkewajiban melakukan full-disclosure tentang
hubungan itu.

Tujuannya adalah agar pembaca waspada dan menyadari bahwa


tulisan/liputan itu tidak benar benar independen. Wartawan boleh
mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka
tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.

.
5. Elemen Pemantau Kekuasaan
Chapter 6, Monitor Power and Offer Voice to the Voiceless, page 111

Jurnalisme berfungsi pula sebagai pemantau jalannya pemerintahan dan


lembaga kuat di masyarakat. Dengan adanya pers, pejabat dan para
pemimpin didorong untuk tidak melakukan hal yang buruk dan menggunakan
kekuasaanya dengan adil. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang
lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.

.
6. Elemen Diskusi Publik
Chapter 7, Journalism as a Public Forum, page 131

Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan


forum dimana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar
penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan
mengambil sikap.

.
7. Elemen Menarik dan Relevan
Chapter 8, Engagement and Relevance, page 147

Jurnalis harus mampu mengubah berita penting menjadi semenarik dan


serelevan mungkin untuk dibaca, didengar atau ditonton. Pembaca tidak
akan bosan membaca berita dengan komposisi berita dan penulisan yang
baik.

.
8. Elemen Komprehensif dan Proporsional
Chapter 9, Make the News Comprehensive and Proportional, page 163

Judul yang sensasional dan isi berita yang terlalu emosional bukanlah suatu
produk jurnalistik yang baik. Isi berita harus proporsional, sedangkan yang
dimaksud dengan komprehensif adalah sifat menyeluruh dimana jurnalis
harus mencari fakta-fakta lebih jauh (tidak hanya menerima fakta yang
terlalu mudah bisa diraih) dan disusun dalam sebuah konteks sehingga
terlihat keterkaitannya masing-masing.

.
9. Elemen Hati Nurani

Chapter 10, Journalists Have a Responsibility to Conscience, page 179

Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika
dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Jurnalis yang
independen adalah yang bisa exercise hati nurani itu tanpa tekanan dan
tanpa iming-iming, termasuk tekanan atasan dan tekanan kehilangan
pekerjaan. Jika seorang jurnalis meyakini suatu kebenaran, tapi dia takut
mengungkapkannya karena takut dipecat, maka dia tidak independen,
bertentangan dengan elemen ke-4.

.
10. Elemen Jurnalisme oleh Masyarakat
Chapter 11, The Rights and Responsibilities of Citizens

Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi,


khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media,
tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Warga masyarakat dapat
menyumbangkan berita di blog masing-masing yang dikenal dengan citizen
journalism. Selain blog, terdapat jurnalisme online, jurnalisme warga,
jurnalisme komunitas, dan media alternatif lain.

Sebagai blogger, kita semua mempunyai hak untuk menulis berita, tapi
jangan melupakan tanggungjawab yaitu memuat kebenaran dan tidak
manipulatif. Patuhilah elemen-elemen yang telah diuraikan di atas. Tulisan
manipulatif penuh dengan fitnah itu bukan hanya menghancurkan orang lain
tetapi juga menghancurkan diri sendiri.

Itulah Sepuluh Elemen Jurnalisme, tentunya akan sangat panjang kalau


diuraikan dengan detail. Bukunya setebal 268 halaman, menarik sekali isinya,
dan sudah ada edisi terjemahannya.

Penikmat (pembaca) media bila secara disiplin menerapkan setiap elemen


tersebut, akan tahu benar mana berita yang dibuat-buat, diarah-arahkan,
disetting untuk kepentingan tertentu. Ini tentunya akan menjadi tantangan

jurnalisme jika tidak ingin ditinggal konsumen yang semakin cerdas, maka
harus kembali ke prinsip-prinsip dasar. Diantaranya prinsip verifikasi.

Anda mungkin juga menyukai