Anda di halaman 1dari 16

Women and Media

A.Woman in/as Entertainment


B.Woman as Audience
C.Woman and Production; Gender and the
political economy of Media Industry
Woman and Media

• Kapan perempuan pertama kali mendapatkan stereotipe sebagai


orang yang mudah menangis, tidak mandiri, meledak-ledak
emosinya, dan pemarah? Sejak ia lahir dan mengenal
lingkungannya, atau sejak lingkungan membentuknya pada
konstruksi hierarki gender yang melekat?
• Stereotipe memproyeksikan pola pikir masyarakat pada tubuh
perempuan. Pada rambut yang harus lurus dan panjang, pada mata
yang harus lentik, pada bibir yang harus memerah ranum dan pada
tubuh yang harus tinggi dan langsing. Kalangan feminis pasca-
modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan tersebut
kemudian dibesarkan oleh industri media.
• Dalam pandangan konstruktivisme, peristiwa yang disajikan media
massa merupakan hasil konstruksi pekerja media
• Media massa memang bukan yang melahirkan ketidaksetaraan
gender, namun media massa dapat memperkokoh, melestarikan,
bahkan memperburuk ketidakadilan terhadap perempuan dalam
masyarakat
Woman in/as Entertainment

• Perempua dijadikan media iklan komersial untuk pencapaian


keuntungan. Tidak hanya sampai di situ, dalam tayangan sinetron .
media TV sering sekali menampilkan peran seorang istri yang
selingkuh, ibu yang jahat,istri yang tidak berdaya, seolah
mempertegas perempuan memang bertipikal buruk.
• persepsi pengiklan begitu yakin pada persuasinya dengan
menggunakan perempuan sebagai pelengkap iklannya. mereka
mengharapkan pesan-pesan promosi mereka akan selalu melekat
dalam ingatan orang, di mana setiap orang melihat perempuan
cantik dan seksi, penonton akan selalu teringat barang-barang
produksi mereka
• media populer seperti film, televisi, surat kabar, dan majalah
terus membingkai (dalam setiap arti kata) perempuan dalam
repertoar sempit yang sedikit atau tidak ada hubungannya dengan
bagaimana wanita sejati menjalani kehidupan nyata mereka.
• Kaum perempuan karena saking seringnya dieksploitasi oleh media
patriarki, tidak pernah merasa sedang dijadikan objek fantasi bagi
lelaki. Bahkan sebaliknya, mereka merasa lebih bebas untuk
berekspresi dan mengaktualisasikan dirinya di segala sendi
kehidupan.
Woman as Audience

• Sinetron, bentuk seni lintas-generasi dan lintas-budaya yang abadi, secara


tradisional dianggap sebagai "genre wanita", bukan hanya karena lokasi aslinya
dalam jadwal siaran, pada saat "para ibu" berada di rumah dan dengan demikian
menjadi penonton setia, tetapi karena gaya dan struktur naratif melodramatik,
pilihannya pada dialog, dan fokusnya pada hubungan keluarga dan hubungan
sosial yang intim dianggap sangat populer di kalangan wanita (McQuail 1994).

• Berfokus pada genre yang sama tetapi menggunakan pendekatan yang berbeda,
Ien Ang (1985) melakukan studi terhadap program Dallas, ditemukan bahwa
sebagian besar pemirsa yang berpartisipasi dalam studinya percaya bahwa
pertunjukan itu "realistis" dan sesuai dengan pengalaman dan kehidupan mereka
sendiri.
• Sementara audiens perempuan untuk sinetron lainnya, seperti
pemirsa Crossroads. Menurut Hobson, bahwa terdapat alur cerita
yang realistis dan kesulitan karakter identik dengan masalah
pribadi, bentuk-bentuk identifikasi seperti itu di Crossroads lebih
dapat dimengerti, karena pemirsa dan karakter dapat berbagi
lingkungan sosial yang serupa.
• Hobson menemukan pula bahwa pemirsa yang menikmati
pertunjukan itu, sering merasa malu untuk mengakui bahwa
mereka menonton, atau membela kesenangan bersalah mereka,
mengungkapkan penghinaan yang terinternalisasi untuk serial ini,
yang telah mereka “pelajari” dari kritik budaya.
Morley mengemukakan tiga posisi hipotetis di dalam mana pembaca teks/audien
kemungkinan mengadopsi isi media:
• Dominant (atau ‘hegemonic’) reading : pembaca/audien sejalan dengan kode-
kode program (yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, sikap, keyakinan dan
asumsi) dan secara penuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki
oleh si pembuat program.
• Negotiated reading : pembaca/audien dalam batas=batas tertentu sejalan
dengan kode-kode program dan pada dasarnya menerima makna yang
disodorkan oleh si pembuat program namun memodifikasikannya sedemikian
rupa sehingga mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya.
• Oppositional (‘counter hegemonic’) reading: pembaca/audien tidak sejalan
dengan kode-kode program dan menolak makna atau pembacaan yang
disodorkan, dan kemudian menentukan frame alternatif sendiri di dalam
menginterpretasikan pesan/program.
Woman and Production; Gender and the political
economy of Media Industry

• Secara umum televisi memiliki keterkaitan dengan industri pasar.


Konsekuensinya media berorientasi pada keuntungan dan
akumulasi modal serta sensitif terhadap dinamika persaingan
pasar, oleh karena itu media mengintegrasikan diri ke dalam
aktivitas industri (Albaran, 1996,5).
• Televisi tidak hanya fokus sebagai media penyiaran, namun juga
berkaitan dengan akumulasi modal, bisnis dan persaingan pasar.
Program-program televisi yang disiarkan begitu mudah diintervensi
oleh berbagai kepentingan kapitalis, yang tak lain adalah bermotif
keuntungan
Media khususnya televisi terjerat dalam tiga situasi:
• pertama, tingginya investasi yang harus disiapkan dan yang
mengakibatkan desakan untuk menjamin return of investment sesuai
dengan rencana bisnis awal.
• Kedua, kecenderungan meningkatnya biaya overhead dari tahun ke
tahun yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti suku bunga,
peningkatan biaya produksi terutama peralatan.
• Ketiga, desakan teknologi yang menuntut dipenuhinya teknologi baru
secara terus menerus untuk memungkinkan kualitas dan kreatifitas
produksi agar tetap kompetitif terhadap produk dalam maupun luar
negeri (Ishadi, 2010: 128). Tuntutan program acara yang menarik,
seringkali mengabaikan persoalan norma dan nilai yang ada di
masyarakat.
• Menurut Shoemaker (1991:121), organisasi media merupakan
entitas ekonomi, formal dan sosial yang menghubungkan para
awak media, pemilik modal, dan pasar dengan tujuan untuk
memproduksi, mendistribusi dan membuka cara konsumsisme yang
ditawarkan
• Fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan
segmen audien bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis
(Smythe 1997).
• Dalam era konglomerasi hari ini, media yang digunakan untuk
kepentingan politik dan ekonomi para pemiliknya sangat berorientasi
pada pasar, karena ritme politik pemilik media selalu didukung oleh
ritme ekonomi.
• Dalam skala 15 tahun sesudah reformasi, orientasi industri tampak di
sejumlah media di Indonesia. Media online yang tumbuh dengan
menyajikan berita yang menjual sensasi dan menjadikan perempuan
sebagai objek berita. TV meraup untung dengan menayangkan sinetron
dan infotainment yang mengubek-ubek kehidupan pribadi.
• Salah satu komoditas yang banyak diekspos dalam tayangan
televisi adalah perempuan. Secara kodrati perempuan adalah
sosok yang menarik, terutama dalam ranah yang bersifat seksual
(sex appeal).
• Dibalik kemasannya yang bagus, iklan memberikan banyak hal
yang bisa kita pelajari, termasuk isu perempuan di dalamnya
seperti ekploitasi, objek kekerasan, gaya hedonisme, konsumtif,
bahasa, pencitraan, stereotip
• Piliang dalam bukunya Posrealitas, (2004), menjelaskan mengenai
perempuan yang dijadikan modal kapital serta berbagai tumpukan
kode sosial yang dimiliki perempuan untuk dipasarkan dalam dunia
ekonomi kapitalistik
• Ahmad Z. Akbar (dalam Ibrahim, 1998) mengatakan bahwa, “para
produsen memang sofistikatif dalam mengeksploitasi unsur-unsur biologis
yang indah pada diri perempuan untuk kepentingan promosi barang
mereka”.
• Piliang mengemukakan bahwa:
Tubuh menjadi titik sentral dari mesin produksi, promosi, distribusi, dan
konsumsi kapitalisme. Tubuh diproduksi sebagai komoditi dengan
mengeksplorasi berbagai potensi hasrat dan libidonya untuk
dipertukarkan sebagai komoditi (video girl). Tubuh juga dijadikan
sebagai metakomoditi yaitu komoditi untuk menjual komoditi lain, lewat
peran sentralnya di dalam sistem promosi kapitalisme (cover girl). Tubuh
juga mempunyai peran sentral di dalam sistem distribusi, yaitu sebagai
pendamping komoditi (promo girl).”
Kepedulian Organisasi Internasional dan
Pemerintah

PBB dalam konferensi di tingkat regional Asia Pasifik


mengeluarkan putusan untuk klausul perempuan dan
media. Putusan tersebut berbunyi: “Pemerintah akan
menjamin tidak adanya stereotype di media yang
mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan di
media, dan Pemerintah akan membuka partisipasi
terhadap perempuan di media dan dalam menggunakan
teknologi. Pemerintah juga memastikan tidak terjadi
kesenjangan dalam penggunaan teknologi dan adanya
kebebasan berekspresi.”
Ada tiga persoalan yang harus dilakukan pemerintah
Indonesia untuk memperbaiki nasib perempuan melalui
media.
Pertama, pemerintah harus menjamin adanya partisipasi
yang melibatkan perempuan dan kelompok rentan dalam
media.
Kedua, Pemerintah harus menjamin adanya perbaikan pada
nasib buruh perempuan media.
Ketiga, Pemerintah harus menjamin bahwa media tidak
digunakan untuk kepentingan ekonomi-politik pemilik media
semata.

Anda mungkin juga menyukai