Anda di halaman 1dari 10

46 DIMENSI, VOL. 10, NO.

1, JUNI 2017

Rasialisme Media: Telaah Kritis Media Massa di


Indonesia

Puji Laksono
Institut KH. Abdul Chalim, Mojokerto

pujilaksono@ikhac.ac.id

Abstract

The images in the mass media present a culture of mass that tends to be discriminatory against
certain groups. Various mass cultures presented by the mass media construct a body that unilaterally
imaged as the ideal body. The bodies presented by the media tend to represent races with white,
straight-haired traits. The practice of mass media racism, makes us should re-question the role of
the mass media who carry out the mandate to uphold the public interest. Racism is an example of
how the mass media is more concerned with the market than the public interest. The ideal body
construction that is represented in every opportunity such as advertising, film, soap operas, and
ideal images are created to meet profit targets. The mass media must return to the basic principle
for the common good, giving the same space of expression to the entire Indonesian blood spill.

Keywords: racism, mass media, media construction, representation

Abstrak

Citra-citra yang berkeliaran di media massa menyuguhkan representasi budaya massa


yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu. Berbagai budaya
massa yang disuguhkan media masa mengkonstruk sebentuk tubuh yang secara sepihak
dicitrakan sebagai tubuh yang ideal. Tubuh-tubuh yang disajikan oleh media cenderung
mepresentasikan ras dengan ciri-ciri berkulit putih, berambut lurus. Laku rasialisme media
massa, membuat kita selayaknya mempertanyakan kembali peran media massa yang
mengemban amanat untuk menjunjung kepentingan umum. Laku rasialisme menjadi
contoh kasus bagaimana media massa lebih mementingkan pasar dari pada kepentingan
umum. Konstruksi tubuh ideal yang direpresentasikan dalam setiap kesempatan seperti
iklan, film, sinetron, dan citra-citra ideal diciptakan untuk memenuhi target laba. Media
massa harus kembali kepada prinsip dasar untuk kepentingan umum, memberikan ruang
ekspresi yang sama bagi segenap tumpah darah Indonesia.

Kata Kunci: rasialisme, media massa, konstruksi media, representasi


Puji, Rasialisme Media... 47

Pendahuluan memang dianggap sudah berlalu semenjak


Masyarakat yang beradab sejatinya zaman kolonial berakhir, namun laku
adalah masyarakat yang masing-masing pelanggengannya masih dapat kita temui
individunya mengakui bahwasanya di era saat ini melalui media massa. Citra-
realitas kehidupan ini heterogen adanya. citra yang berkelidatan di media massa
Lebih dari itu, masing-masing individu menyuguhkan suatu budaya massa
tidak hanya mengakui kehidupan yang yang cenderung diskriminatif terhadap
heterogen saja, tetapi juga menjunjung kelompok-kelompok tertentu. Berbagai
tinggi kesederajatan. Karena wujud kehi­ budaya massa yang disuguhkan media
dupan yang heterogen merupakan takdir masa mengkonstruk sebentuk tubuh yang
sosial yang tidak dapat dielakkan. Kita secara sepihak dicitrakan sebagai tubuh
tidak bisa mengingkari bahwa masyarakat yang ideal. Tubuh-tubuh yang ideal yang
adalah entitas keberagaman yang terdiri dikonstruk media dengan mengabaikan
dari berbagai etnisitas, ras, agama, gender, bahwa tubuh individu-individu dalam
dan kelompok-kelompok yang memiliki masyarakat tidaklah homogen.
keunikannya masing-masing. Dalam konteks manusia Indonesia,
Berbagai pemikiran dan usaha untuk tidaklah bisa kita menyebut bahwa tubuh-
mewujudkan masyarakat yang beradab tubuh manusia Indonesia hanya terdiri
dengan menghargai heterogenitas tersebut dari satu ras saja, semisal ras Malayan-
sudah banyak didengungkan. Salah satu Mongoloid saja. Kita tidak bisa mengabaikan
pemikiran yang terus dikampanyekan bahwa manusia Indonesia terdiri dari
adalah ideologi multikulturalisme. Ideologi berbagai ras yang berbeda, seperti adanya
multikulturalisme dapat diartikan sebagai ras Melanesia di bagian Indonesia Timur.
ideologi yang mengakui dan menghargai Namun dalam citra-citra budaya massa
adanya perbedaan sosio-kultural. Tidak di Indonesia cenderung terabaikan.
hanya sekedar perbedaan saja, tetapi Di sinilah letak laku rasialisme tanpa
juga menekankan pada kesederajatan disadari turut dilanggengkan oleh media
dalam hubungan sosial antar-kelompok. massa di Indonesia. Tulisan ini berusaha
Penerapan ideologi multikulturalisme mengungkap bagaimana laku rasialisme
diyakini akan membentuk pola hubungan disuguhkan dalam budaya massa melalui
yang didasarkan atas kesadaran plural, media massa di Indonesia.
yang memungkinkan kelompok minoritas
untuk mengekspresikan kebudayaannya Tubuh-Tubuh Ideal dalam Budaya Massa
dan bisa berpartisipasi tanpa prasangka Budaya massa berkembang karena
dalam masyarakat luas. teknologi komunikasi yang canggih saat ini
Di atas segalanya, mayoritas masya­ melalui media massa, salah satunya adalah
rakat mendukung berbagai pemikiran televisi. Para teoritisi mahzab Frankfurt
yang menjunjung tinggi persamaan derajat melihat media massa seperti televisi syarat
manusia. Namun kita yang hidup di era akan muatan-muatan makna ideologis
teknologi informasi ini, terkadang silap tersembunyi. Theodore Adorno menyebut,
terhadap sesuatu tindakan-tindakan yang makna ideologis tersebut muncul melalui
tanpa disadari turut melanggengkan cara suatu acara atau iklan memandang
laku diskriminatif secara kultural dalam manusia. Pemirsa (massa) dalam hal ini,
kehidupan sehari-hari, seperti rasialisme. diundang untuk melihat satu karakter
Secara formal-struktural rasialisme dengan cara yang sama ia melihat dirinya,
48 DIMENSI, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2017

tanpa menyadari bahwa sebenarnya telah media massa Burhan Bungin (2000),
terjadi indoktrinasi (Ibrahim, 1997). Media berlangsung dengan cepat dan sebarannya
massa seperti televisi telah melakukan merata. Pada tahap pembentukannya
indoktrinasi terhadap realitas yang ideal melalui tiga tahap pembentukan, yakni;
secara sepihak terhadap massa. Salah pertama, konstruksi realitas pembenaran,
satunya adalah mengkonstruk sebentuk dan kedua, kesediaan dikonstruksi oleh
tubuh yang ideal yang “seharusnya” media massa, dan ketiga, sebagai pilihan
dimiliki oleh individu-individu dalam konsumtif, di mana seseorang secara
masyarakat. habit tergantung pada media massa.
Konstruk tubuh-tubuh ideal terse- Media massa dengan sistem teknologi
but tersuguh secara masif berkelidatan telah menguasai masyarakat, termasuk
melalui media massa, dari film, sinetron, menguasai jalan pikiran. Pikiran-pikiran
iklan dll. Kita bisa menyaksikan Raisa An- masyarakat dikuasai dengan cara
driana, Dea Valencia, dan Zee Zee Shahab membangun teater dalam pikiran manusia
dalam iklan pemutih kulit Ponds. Dalam (theater of mind) (Bungin, 2006: 212-
tayangan iklan digambarkan Raisa me- 221). Dalam dunia kognitif inilah media
wakili suara perempuan muda di dunia massa mengkonstruksi tubuh ideal yang
musik Indonesia, Dea mewakili desainer mempengaruhi masyarakat dan diarahkan
batik Indonesia, yang mengembangkan untuk mempercayai realitas bentukan
batik sebagai trend fashion muda, dan Zee media tersebut.
mewakili aktris film. Ketiganya seperti Realitas dalam media semacam tubuh
memberikan motivasi untuk tidak menye­ ideal oleh Bauldillard disebut sebagai
rah menghadapi tantangan dalam meraih sebagai simulasi, yaitu penciptaan model-
cita-cita. Salah satu yang disebut tantangan model nyata yang tanpa usul atau realitas
bagi mereka adalah noda hitam pada ku- yang hiper-realitas. Melalui model simulasi,
lit, yang bisa diselesaikan dengan produk manusia dijebak dalam satu ruang, yang
Ponds. Digambarkan bahwa wajah Indo- disadarinya sebagai nyata, meskipun
nesia adalah putih bercahaya. Dalam versi sesungguhnya semu atau khayalan belaka.
lain iklan Ponds Men, yang diperankan Manusia mendiami suatu ruang realitas,
oleh Rio Dewantoro gambaran serupa ten- yang di dalamnya perbedaan antara yang
tang kulit wajah ideal juga disuguhkan. nyata dan yang fantasi atau yang benar
Tidak hanya dalam iklan Ponds, iklan- dan yang palsu menjadi beda tipis (Piliang,
iklan lain juga menyuguhkan gambaran 2011:161). Konstruk tubuh ideal secara
yang serupa. Dalam sinetron, film, maupun masif tersebar melalui media massa dengan
acara-acara lainnya representasi tentang logika kapitalisme, sistem tanda tubuh
tubuh ideal digambarkan serupa, bahwa digunakan untuk menghasilkan pundi-
tubuh ideal adalah berkulit putih, berambut pundi kapital. Sehingga citra ideal suatu
lurus/gelombang. Gambaran tubuh ideal realitas kehidupan sengaja diciptakan
dikonstruk ke dalam tanda-tanda sistem untuk menarik minat masyarakat terhadap
komunikasi yang merepresentasikan produk budaya massa. Penonton dibuat
rambut, mata, bibir, hidung, tangan, buah percaya bahwa apa yang ditampilkan di
dada, kaki, dan kulit pada jenis ras tertentu televisi merupakan realita sosial yang ada
saja. dalam kehidupan mereka. Salah satunya
Realitas tubuh ideal yang dikonstruksi adalah konstruk realita bahwa tubuh ideal
media, menurut teori konstruksi sosial adalah yang seperti dicitrakan di media
Puji, Rasialisme Media... 49

massa. Tubuh ideal adalah seperti Raisa diskriminatif rasialisme secara kultural
Andriana, Dea Valencia, Zee Zee Shahab, dalam kehidupan sehari-hari. Rasialisme
Rio Dewantoro, dan sederetan tubuh-tubuh memang dianggap sudah berlalu semenjak
yang merepresentasikan ras tertentu. zaman kolonial berakhir, namun praktik
pelanggengannya masih dapat kita temui
Laku Rasialisme Media di era saat ini melalui media massa.
Robert Knox (1950) dalam karyanya Citra-citra yang berkelidatan di media
The Races of Men berpendapat bahwa dunia massa membentuk suatu budaya massa
secara alami dibagi ke dalam sejumlah yang cenderung diskriminatif terhadap
ras yang berbeda, yang masing-masing kelompok-kelompok tertentu. Seperti
memiliki ciri mental dan fisik yang berbeda representasi ras dalam media yang
(Small, 2013). Konsepsi ras secara sosiologis cenderung mengkonstruk tubuh ideal
dan antropologi fisik didefinisikan sebagai pada jenis ras tertentu saja.
suatu kelompok atau kategori orang-orang Representasi perihal ras tertentu oleh
yang mengidentifikasi diri mereka sendiri, media massa menunjukkan bahwa terjadi
dan diidentifikasi orang lain, sebagai pengabaian terhadap ras lainnya. Media
perbedaan sosial yang dilandasi oleh ciri- massa dengan suguhan-suguhan tayangan
ciri fisik atau biologis (Sanderson, 2011). yang menyajikan konstruk tubuh ideal
Sedangkan praktik-praktik diskriminasi seperti pembahasan sebelumnya, telah
terhadap ras tertentu disebut rasialisme mengingkari takdir sosial bahwa tubuh-
(Sunarto, 2004). Ras sendiri merupakan tubuh manusia Indonesia tidaklah
suatu konstruksi sosial, yang mana terdiri dari ras tunggal. Tubuh-tubuh
proses mendefinisikan ras biasanya yang disajikan oleh media cenderung
menguntungkan mereka yang kekuasaan mepresentasikan ras dengan ciri-ciri
dan hak istimewanya lebih dari yang lain berkulit putih, berambut lurus. Tubuh
(Schaefer, 2012). Sejarah menunjukkan dengan ciri tersebut disajikan dan
bagaimana laku rasialisme ini dipraktikkan dikonstruk sebagai ciri ideal manusia
melalui kekuasaan politik di masa kolonial. dalam kehidupan. Seakan lupa bahwa
Kasus politik apartheid di Afrika Selatan manusia di belahan Indonesia Timur,
yang mensegregasi masyarakat ke dalam jauh dari ciri-ciri fisik yang demikian. Ras
kelompok-kelompok sosial atas dasar ras tersebut adalah ras Melanosoid, yang secara
(Eropa berkulit putih dan pribumi berkulit fisik memiliki ciri kulit kehitam-hitaman,
hitam). Hal serupa terjadi pada masyarakat berambut keriting, bibir tebal, kekar,
Indonesia di masa kolonial Belanda yang dan berhidung besar. Ciri fisik tersebut
menempatkan kulit putih Eropa di kelas sangatlah berbeda dengan gambaran
paling atas, disusul Timur Asing (Arab, tubuh ideal yang dicitrakan media massa
China, Jepang), dan kulit berwarna pribumi di Indonesia. Jikalau pun tubuh dengan ras
sebagai kelas paling bawah. jenis ini ditampilkan, hanya dengan sedikit
Massa kolonial memang sudah berlalu porsi, dan biasanya distereotip sebagai
dan rasialisme seperti yang dipraktikkan yang “eksotik”. Inilah yang penulis sebut
bangsa kolonial juga sudah tidak sebagai laku rasialisme media massa di
dipraktikkan secara formal-struktural, Indonesia.
namun ternyata di era saat ini, terkadang Laku rasialisme yang dipraktikkan
kesilapan pada tindakan-tindakan yang media jika ditelusuri tidak bisa dilepaskan
tanpa disadari turut melanggengkan laku dari praktik rasialisme pada masa kolonial.
50 DIMENSI, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2017

Hegemoni pengetahuan Barat masih ini dapat disimpulkan bahwa sejatinya


menjadi rujukkan untuk mendefinisikan realitas ditentukan oleh mereka yang
realitas, seperti definisi ras yang ideal memegang kuasa, dan menjadi pemenang.
digambarkan dengan jelas pada konstruksi Seandainya dahulu bangsa kolonial adalah
tubuh ideal oleh media massa. Pada bangsa Negroid Afrika, bisa jadi konstruksi
suguhan citra-citra tubuh oleh media tubuh ideal adalah berkulit hitam.
massa, cenderung menggambarkan bahwa Frantz Fanon (1952), salah satu teoritisi
ras ideal adalah berkulit putih/berkulit poskolonial, menguraikan masalah
cerah. Yang mana pengetahuan tubuh konstruksi ras dalam karyanya yang
yang ideal seperti tubuh-tubuh manusia berjudul Black Skin, White Mask. Fanon
Barat, ras Kaukasoid yang berkulit putih. menjelaskan bahwa pendefinisian ras
Dan pengetahuan semacam ini diamini dan etnisitas (kulit putih dan kulit hitam)
oleh media massa dengan citra-citra selalu merupakan hasil proses sejarah
tubuh yang ditampilkan. Seperti yang dan konstruksi politik yang dominan di
digambarkan Raisa dalam iklan Ponds samping masalah kebudayaan. Melalui
bahwa hitam dianggap penghalang, noda, sejarah kolonialisasi, sang penjajah (kulit
dan patut untuk dibersihkan, karena kulit putih) melakukan konstruksi secara
yang ideal adalah putih bercahaya. subjektif terhadap identitas kaum kulit
Gejala laku rasialisme yang hitam yang dijajah dan dirinya sendiri.
mendefisinikan tubuh ideal adalah kulit Pada konteks yang luas, melalui proses
putih, menurut teoritisi poskolonialisme sejarah pula, kaum terjajah berupaya
merupakan bentuk penjajahan kultural memahami dan mengikuti simbol-simbol
yang masih berlanjut. Pengetahuan tentang dan identitas yang dikonstruksi sang
tubuh ideal berkulit putih merupakan penjajah, bahkan pada tingkatan tertentu,
hasil hegemoni bangsa kolonial Barat mereka juga memiliki keinginan untuk
pada masa lampau. Pengetahuan tersebut menirukan dan mengganti kedudukan
tertanam begitu dalam pada kognitif atau posisi sebagai sang penjajah (Fanon,
bangsa terjajah dan pada akhirnya diamini 2016). Kondisi inilah yang mempengaruhi
sebagai suatu kebenaran bahwa kulit proses mental masyarakat Timur untuk
putih ras Kaukasoid seperti si penjajah cenderung mengikuti pengetahuan
adalah tubuh ideal. Posisi bangsa kolonial tentang ras ideal seperti kulit putih yang
yang superior menjadikan bangsa terjajah disuguhkan media massa di Indonesia.
tidak berdaya, kalah, termasuk dalam Media massa memiliki efek yang besar
hal pengetahuan kultural tentang tubuh. dalam mempengaruhi sikap seseorang.
Pengetahuan tersebut terwariskan dari Lebih dari itu media massa juga dapat
generasi ke generasi. Artinya pandangan mempengaruhi perilaku, bahkan pada
tentang tubuh ideal adalah berkulit putih tataran sikap yang lebih jauh, efek media
merupakan konstruksi sosial warisan dapat mempengaruhi sistem-sistem
bangsa kolonial Barat, menguasai dan sosial maupun sistem budaya masyarakat
membentuk realitas yang ideal bagi bangsa (Bungin, 2006: 321). Pelanggengan
terjajah. Jadi apa yang kita sebut rupawan rasialisme dengan konstruksi tubuh ideal
sekarang ini merupakan konstruk bangsa oleh media massa di Indonesia, turut
kolonial Barat. Dan kulit putih didamba mempengaruhi pola pikir, sikap, dan
banyak masyarakat Timur yang kemudian perilaku masyarakat yang terabaikan dalam
melakukan peniruan (mimikri). Hal representasi ras. Masyarakat Indonesia
Puji, Rasialisme Media... 51

yang terkategori dalam ras Melanosoid, Dari sini kita akan menemukan relativitas
berkulit hitam seperti masyarakat Papua makna kebudayaan, pemaknaan yang
cenderung merasa inferior, dan berusaha heterogen. Namun seiring perubahan
untuk menjadi (mimikri) ras seperti yang masyarakat yang semakin global didukung
digambarkan oleh media massa. teknologi informasi, definisi-definisi
Perasaan inferior dan mimikri yang tersebut cenderung terseragamkan, yang
dialami oleh orang-orang Papua, digam­ dulu heterogen menjadi terhomogenisasi.
barkan dalam studi Y. Sanaha Purba (2007) Media massa telah menjadikan
yang berjudul The Teacher and Student Lived konstruk tubuh ideal sebagai suatu kultur
Experience in the Equity Pedagogy sebuah dominan dengan proses homogenisasi
studi yang dilakukan pada siswa Papua terhadap makna tubuh. Tubuh ideal yang
di SMP Kanisius Kalasan, Yogyakarta. direpresentasikan media massa yakni kulit
Studi tersebut menemukan bahwa kecen­ putih cerah yang mewakili ras tertentu
derungan siswa Papua memandang tubuh saja, seakan-akan menggambarkan bahwa
yang ideal adalah berambut lurus dan tubuh-tubuh masyarakat Indonesia itu
berkulit terang. Siswa Papua memiliki hanyalah tunggal. Media massa cenderung
kegemaran untuk meluruskan rambut mengabaikan keberadaan ras Melanosoid
dan berpacaran dengan siswi non-Papua yang berkulit hitam sebagai bagian dari
(seperti Jawa). Siswa Papua ingin meniru bangsa Indonesia. Realitas masyarakat
pola pikir, bahasa, konsep kecantikan/ Indonesia digambarkan homogen, dan
ketampanan, dan gaya hidup non-Papua. mengesampingkan keberadaan masya­
Meluruskan rambut dan memutihkan kulit rakat lainnya yang berbeda dari sisi ras.
adalah cara yang lekat dengan mimikri Menyuguhkan kultur dominan semacam
dalam wacana poskolonial (Purba, 2010). ini telah menenggelamkan heterogenitas
Sebelum masyarakat dunia menjadi ras pada masyarakat Indonesia. Menyu­
global, sebelum kolonialisme menjajah guhkan keunggulan satu ras dan menge­
jiwa dan raga, sebelum teknologi informasi sampingkan ras lainnya. Praktik semacam
merobek sekat-sekat teritorial, masyarakat ini merupakan bentuk pelang­gengan
dunia merupakan kelompok-kelompok rasialisme oleh media massa.
kecil yang membentuk realitas sosio-
kultural, yang difahami bersama, dan Refleksi Peran Media Massa
mengendap dalam alam kesadaran kolektif. Media massa memiliki peran penting
Realitas sosial dikonstruksi dan memiliki dalam membentuk konstruksi sosial
makna hanya sebatas kelompok saja. masyarakat beradab di era modern
Begitu pun realitas tubuh ideal, apa yang dan posmodern ini. Melalui fungsinya
difahami sebagai tubuh ideal (kecantikan sebagai saluran informasi, edukasi, dan
dan ketampanan) didefinisikan menurut hiburan yang mampu mempengaruhi
karakter sosio-kultural dalam kelompok masyarakat, ia menjadi harapan bagi
tersebut. Sehingga definisi kecantikan dan berkembangnya demokrasi untuk menuju
ketampanan akan menjadi berbeda dari masyarakat yang beradab. Media massa
satu kebudayaan dengan kebudayaan memberikan harapan sebagai ruang
lainnya. Kelompok masyarakat dengan publik bagi masyarakat untuk turut serta
tipikal ras kulit hitam akan memiliki membangun demokrasi, dengan posisi
definisi yang berbeda dengan kelompok pentingnya sebagai pilar keempat dalam
masyarakat dengan tipikal ras kulit putih. sistem demokrasi. Peran penting tersebut
52 DIMENSI, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2017

adalah memberikan ruang publik bagi memiliki ciri kulit putih. Produk-produk
masyarakat untuk mengekspresikan suara. budaya massa yang dihasilkan sering kali
Dalam konteks negara Indonesia, maka mendefinisikan bahwa suatu yang bagus/
media massa harus mampu menyokong cantik/tampan/good looking, menjadi
tercapainya tujuan kehidupan masyarakat absah jika seperti ras yang berkulit cerah.
Indonesia sesuai yang diamanatkan Kita tidak pernah melihat tayangan iklan
Undang-Undang Dasar 1945, yakni untuk sabun mandi menggunakan pemeran
mencapai kehidupan yang sejahtera, orang dari ras berkulit hitam. Kita tidak
cerdas, damai, adil, dan makmur. Artinya pernah melihat bahwa pemeran utama
kepentingan umum menjadi prinsip utama dalam sinetron Indonesia adalah orang
media massa. Papua. Kita tidak pernah melihat seorang
Namun laku rasialisme media massa, bintang film asal Papua dipuja-puja karena
membuat kita selayaknya mempertanyakan ketampanan/kecantikannya. Hampir
kembali peran media massa yang semua yang telah didefinisikan sesuatu
mengemban amanat untuk menjunjung yang bagus dan ditayangkan media massa,
kepentingan umum tersebut. Burhan hanyalah atas dasar logika kapitalisme.
Bungin (2007) menguraikan bagaimana Semua ditampilkan sebagus mungkin
media massa menyiapkan materi untuk meraih keuntungan komersil
konstruksi sosial yang tidak memihak sebesar-besarnya.
kepentingan umum. Keberpihakan kepada Produk-produk budaya massa yang
masyarakat cenderung semu. Bentuk dihasilkan media massa semacam ini
keberpihakan yang ditunjukkan media menurut para teortisi mahzab Frankfurt
massa dalam bentuk empati, simpati, dan Horkheimer dan Adorno disebut “industri
partisipasi kepada masyarakat, ujung- kebudayaan” yang merupakan sebutan
ujungnya adalah untuk “menjual berita” untuk industrialisasi dan komersialisasi
dan menaikkan rating untuk kepentingan budaya di bawah hubungan produksi
kapitalis. Keberpihakan media massa kapitalis. Mereka meyakini bahwa
lebih jelas kepada kapitalisme. Media penindasan yang terjadi pada masyarakat
massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan modern adalah penindasan kultural
kapital sebagai mesin peciptaan uang dan atas individu dalam masyarakat. Teori
pelipatgandaan modal (Bungin, 2009). Ini kritis melihat bahwa masyarakat modern
artinya visi media massa untuk melayani merupakan masyarakat yang irrasional.
kepentingan umum patut diragukan. Dalam masyarakat seperti ini, produksi
Laku rasialisme menjadi contoh sebenarnya tidak diciptakan untuk
kasus bagaimana media massa lebih memenuhi kebutuhan manusia, melainkan
memen­tingkan pasar dari pada kepen­ kebutuhan manusia yang diciptakan,
tingan umum. Konstruksi tubuh ideal dimanipulasikan demi produksi (Suyanto,
yang direpresentasikan dalam setiap 2010: 121).
kesempatan seperti iklan, film, sinetron, Industri kebudayaan oleh media
dan citra-citra ideal diciptakan untuk massa yang telah menghasilkan laku
memenuhi target laba. Sajian-sajian rasialisme, menjadi suatu keraguan telak
media massa dirancang sedemikian terhadap keberpihakan media massa pada
rupa untuk memperoleh keuntungan masyarakat. Peran pentingnya sebagai
komersial. Seperti konstruksi tubuh ideal penyedia dan memberikan ruang publik
yang dicitrakan dengan ras tertentu yang bagi masyarakat untuk mengekspresikan
Puji, Rasialisme Media... 53

suara tidak terlihat. Yang ada hanya pergi ke tempat di mana mereka dianggap
memunculkan suara-suara dominan yang keberadaannya. Hal semacam inilah yang
bisa laku di pasaran. Dengan konstruk menurut dugaan penulis, menjadi salah
tubuh ideal yang selalu digambarkan satu faktor mengapa sekelompok saudara
berkulit cerah, hanya memberikan ruang kita di Papua ada yang ingin memisahkan
bagi ras tertentu untuk mengekspresikan diri dari negara Indonesia. Setelah puluhan
dirinya. Sedang ras berkulit gelap menjadi tahun di masa Orde Baru mereka terasing
terabaikan, termarginalkan, dan tenggelam karena Jawasentrisme, kemudian sekarang
sebagai kelompok yang tidak memiliki ditambah media massa yang cenderung
nilai jual. didominasi oleh konstruksi tubuh ideal
Laku rasialisme di madia massa yang berbeda secara fisik dengan mereka.
Indonesia, seperti halnya yang terjadi di Terkadang tanpa kita sadari di balik
media massa Amerika Serikat, yang sensitif gemerlap ketampanan dan kecantikan
terhadap isu rasialisme. Opera sabun tubuh-tubuh ideal yang dicitrakan media
Amerika banyak yang tidak memiliki massa, ada saudara sebangsa kita yang
catatan bagus dalam menghadirkan merasakan pedihnya menjadi berbeda.
masyarakat Amerika yang multikultur. Media massa harus menyadari
Menurut Barker (2004), tidak tampaknya bahwa ras di Indonesia tidaklah
warga kulit hitam dalam media tidak tunggal. Mungkin selama ini pengakuan
sepadan dengan peran demokratis media, terhadap heterogenitas kebudayaan turut
lebih dari itu menunjukkan ketidakpedulian didengung-dengungkan media massa.
warga kulit putih terhadap warga kulit Namun tanpa disadari laku rasialisme
hitam. Dengan mengabaikan warga kulit dipraktikkan secara nyata oleh media
hitam, media massa menempatkan mereka massa di Indonesia yang cenderung
di luar arus utama masyarakat, memberi memberi porsi yang dominan pada ras
tanda bahwa mereka berada di pinggiran tertentu, dan mengabaikan entitas ras
dan tidak relevan (Barker, 2011). lainnya. Media massa harus kembali
Praktik melanggengkan rasialisme kepada prinsip dasar untuk kepentingan
oleh media massa merupakan tindakan umum, memberikan ruang ekspresi
yang tidak adil bagi terwujudnya yang sama bagi segenap tumpah darah
masyarakat yang demokratis. Perasaan Indonesia. Karena sesungguhnya setiap
tidak dianggap, inferior, sebagai liyan entitas manusia Indonesia memiliki hak
sangat tidak mendukung bagi terwujudnya yang sama sebagai putra-putri bangsa.
cita-cita masyarakat Indonesia yang
demokratis, adil, dan makmur. Dengan Penutup
konstruk tubuh ideal yang dicitrakan Indonesia adalah bangsa yang besar,
media massa di Indonesia selama ini, bangsa heterogen yang terdiri dari berbagai
menjadikan kelompok ras lain merasa komponen yang membentuk suatu bentuk
inferior. Yang mana pada kenyataannya kebangsaan yang berbeda dalam persatuan.
mereka ada tetapi tidak dianggap ada. Maka, segala laku diskriminatif baik
Ketika orang merasa tidak dianggap, etnosentrisme, primodilisme, sektarian,
merasa beda, merasa diabaikan, merasa seksisme, dan rasialisme tidak sepatutnya
asing, maka ada dua kemungkinan dilanggengkan. Media massa sebagai kanal
; mereka akan memilih tetap tinggal milik bersama juga harus menjadi media
bersama pedihnya perasaan, atau memilih yang tidak semata mementingkan kalkulasi
54 DIMENSI, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2017

untung-rugi dalam tayangannya, tetapi dominan, dan abai terhadap keberadaan


juga harus mampu membawa kepentingan kelompok ras lain hendaknya segera
umum dengan tidak abai terhadap ditinjau ulang. Media massa harus sensitif
entitas kelompok lainnya yang menjadi terhadap isu sosio-kultural untuk benar-
komponen pembentuk kebangsaan bangsa benar memainkan perannnya sebagai
Indonesia. Laku rasialisme di media massa penyambung lidah rakyat, termasuk
seperti konstruk tubuh ideal dengan mereka yang termarginalkan secara
memberi ruang luas pada kelompok ras kultural.
Puji, Rasialisme Media... 55

Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Fanon, Frantz. 2016. Black Skin White Masks: Kolonialisme, Rasisme, dan Psikologi Kulit Hitam.
Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, Idi Subandy.1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia. Yogjakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Bandung: Matahari.
Purba, Y. Sahana. 2010. Melawan Sekaligus Meniru: Siswa Papua di SMP Kanisius
Kalasan, Yogyakarta, dalam Wacana (Post-) Kolonial. Dalam Budiawan (Ed).
2010. Ambivalensi Post-kolonialisme: Membedah Musik Sampai Agama Di Indonesia.
Yogyakarta: Jalasutra.
Sanderson, Stephen. 2011. Makrososiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Schaefer, Richard. 2012. Sociology (Edisi 1). Jakarta : Salemba Humanika.
Small, Stephen. 2013. Race and Racialisation. Dalam John Scott (Ed). Sosiologi: The Key Concept.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suyanto, Bagong. 2010. Teori Kritis: Di Antara Keberagaman Pemikiran dan Tuntutan Menyikapi
Isu Kekinian. Dalam Bagong Suyanto, dan M. Khusna Amal (Ed). Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial. Malang: Aditya Media.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Cetakan Ketiga. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai