ABSTRAK
Masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lainnya. Karakteristik
tersebut diantaranya adalah: (1) Pluralistik/keberagaman, (2) sikap saling pengertian antara sesama
anggota masyarakat, (3) toleransi yang tinggi dan (4) memiliki sanksi moral. Karakteristik-karakteristik
tersebut diharapkan senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat madani model Indonesia nantinya.
Keberadaan masyarakat Indonesia dapat dicermati melalui perjalanan bangsa Indonesia. dunia
pendidikan sebagai bagian dari pendidikan umat manusia haruslah senantiasa berpartisipasi untuk
membangun terwujudnya masyarakat madani.
A. Latar Belakang
Perkembangan globalisasi yang pemerintah dan seluruh masyarakat
sedang berlangsung sekarang ini membawa Indonesia.
dampak tersendiri bagi kehidupan masyarakat Masyarakat yang diinginkan tentunya
Indonesia. Kemajuan teknologi komunikasi adalah masyarakat yang damai, sejahtera,
telah membabat habis batas-batas yang terbuka, maju, dan modern atau yang lebih
mengisolasi kehidupan manusia. Karena itu, GLNHQDO VHEDJDL ³Civil Society´ 0DV\DUDNDW
lahirlah apa yang disebut masyarakat terbuka Madani) bukan sebagai masyarakat yang
(open society) dimana terjadi aliran bebas totaliter, yakni masyarakat yang menginjak-
informasi, yakni manusia, perdagangan, serta injak akan hak asasi manusianya sendiri.
berbagai bentuk-bentuk aktivitas kehidupan Masyarakat madani akan tersusun dari
global lainnya yang dapat menyatukan umat masyarakat-masyarakat madani lokal dengan
manusia dari berbagai penjuru dunia. berdasarkan pada kebudayaannya masing-
Masyarakat mau tidak mau dengan masing.
terpaksa harus mau menyadari bahwa betapa Oleh karena itu, dunia pendidikan
pentingnya memperjuangkan hak-hak sebagai bagian dari pendidikan umat manusia
asasinya serta harus mampu bertanggung haruslah senantiasa berpartisipasi untuk
jawab terhadap kehidupan dalam membangun membangun terwujudnya masyarakat madani.
keadaan masyarakatnya sendiri. Oleh karena Baru-baru ini hampir semua masyarakat
itu, kelangsungan hidup manusia mendatang diseluruh dunia menginginkan kehidupan
di negara Indonesia ini sudah menjadi demokrasi partisipatoris, yakni kehidupan
kelaziman apabila menjadi tanggung jawab masyarakat yang menghendaki rakyatnya
bersama untuk memajukannya. Tanggung supaya berkemampuan untuk ikut serta dalam
jawab tersebut bukanlah merupakan tanggung membangun masyarakatnya sendiri.
jawab dari satu masyarakat atau oleh negara Perkembangan demokratisasi masyarakat ini
saja tetapi merupakan tanggung jawab tentunya menuntut suatu pendidikan yang
kolaborasi, yakni sesuai. Sebab pendidikan merupakan bagian
dari proses memasyarakatkan masyarakatnya
664
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
665
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
666
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
667
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
668
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
hanya mementingkan sekelompok
demikian masyarakat madani Indonesia manusia seperti manusia yang
bukanlah masyarakat yang terbentuk atau berinteligensi tinggi saja, tentunya tidak
dibentuk melalui proses indoktrinasi tetapi demokratis sifatnya. Demikian pula proses
pengetahuan akan kebhinnekaan dan belajar yang tidak menumbuhkan sikap
penghayatan terhadap adanya kreatif dan bebas serta sanggup
kebhinnekaan tersebut sebagai unsur mengemukakan pendapat, berbeda
penting dalam pembangunan pendapat, dan menghargai pendapat yang
kebudayaan nasional.
d. Akhirnya untuk melaksanakan nilai-nilai lebih baik, perlu dimasukkan di dalam
yang khas tersebut diperlukan suatu proses belajar serta kurikulum. Demikian
wadah kehidupan bersama yang diwarnai pula para pendidik, para dosen yang
oleh adanya kepastian hukum. Tanpa otokratis tidak memungkinkan tumbuhnya
kepastian hukum sifat-sifat toleransi dan sikap demokratis dari para peserta didik.
saling pengertian antara sesama anggota 2. Sikap toleran
masyarakat pasti tidak dapat diwujudkan. Wajah budaya Indonesia yang
bhinneka menuntut sikap toleran yang,
Dari beberapa pendapat di atas, tinggi dari setiap anggota masyarakat.
penulis menyimpulkan bahwa masyarakat Sikap toleransi tersebut harus dapat
Indonesia dikatakan telah berhasil mencapai diwujudkan oleh semua anggota dan
kehidupan madani apabila didalamnya telah lapisan masyarakat sehingga terbentuk
memiliki: suatu masyarakat yang kompak tapi
1. Keimanan dan ketaqwaan yang kokoh. beragam sehingga kaya akan ide-ide baru.
2. Berpendidikan maksimal (berkualitas). Di dalam diskusi yang diselenggarakan
3. Kembali menjadi insan Pancasilais. oleh Indonesian Council on World Affairs
4. Memiliki cita-cita (komitmen) dan harapan (ICWA) Maret 1999, Juwono Sudarsono
(secara kolektif) untuk setara dengan mengemukakan di samping sikap toleransi
negara-negara maju. juga penting sikap kompromi perlu
5. Memiliki kepercayaan diri untuk bersaing. dikembangkan dalam pendidikan.
6. Loyalitas terhadap bangsa dan negara 3. Saling pengertian
Indonesia (bakan terhadap partai politik Di dalam suatu masyarakat
saja). demokrasi, perbedaan pendapat justru
merupakan suatu hikmah untuk
F. Tantangan Masyarakat Madani di Indonesia membentuk suatu masyarakat yang
Masyarakat madani merupakan suatu mempunyai horizon yang luas dan kaya.
kondisi yang senantiasa diidam-idamkan oleh Untuk keperluan tersebut diperlukan
semua lapisan masyarakat di negara pengetahuan dan penghayatan mengenai
Indonesia. Karena itu, tantangan yang harus kebhinnekaan tersebut. Pendidikan
mampu dilakukan oleh seluruh masyarakat nasional harus menampung akan
supaya tercapai kehidupan madani adalah: kebutuhan masyarakat yang beragam
1. Sikap demokratis tersebut. Keanekaragaman budaya daerah
Mengembangkan sikap demokratis haruslah dikembangkan seoptimal
bukan hanya mengenai pembentukan mungkin sehingga pada gilirannya dapat
individu yang mempunyai harga diri, yang memberikan sumbangan kepada
berbudaya, yang memiliki identitas sebagai terwujudnya suatu budaya nasional,
bangsa Indonesia yang bhinneka, tetapi budaya Indonesia. Saling pengertian hanya
juga menumbuhkan sikap demokratis dapat ditumbuhkan apabila komunikasi
tersebut perlu didukung oleh suatu sistem antarpenduduk dan antar etnis
yang juga mengembangkan sikap
demokratis. Sistem pendidikan yang
669
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
dapat terwujud dengan bebas dan intens. bahaya yang inheren di dalam gelombang
Oleh sebab itu pengembangan budaya globalisasi yang perlu diwaspadai dalam
daerah, pertukaran kunjungan antar proses pendidikan. Tantangan-tantangan
masyarakat dan budaya daerah haruslah tersebut ialah regionisasi, polarisasi,
diintensifkan. marginalisasi, dan fragmentasi.
4. Berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa Gelombang globalisasi juga telah
Masyarakat Indonesia yang melahirkan berbagai kerjasama regional
bhinneka dengan beragam nilai-nilai yang pada gilirannya menuntut program
budayanya, namun merupakan ciri khas dan langkah-langkah yang, sesuai di
dari masyarakat Indonesia, adalah dalam pendidikan nasional anggota
masyarakat yang beriman. Manusia yang kerjasama regional tersebut. Dengan
beriman adalah manusia yang berakhlak demikian regionisasi akan memberikan
tinggi oleh karena semua agama yang keuntungan tetapi juga malapetaka bagi
hidup dan berkembang di Indonesia anggota kerjasama regional yang tidak
adalah agama yang mengajarkan nilai- mempersiapkan diri sehingga hanya akan
nilai moral yang tinggi. Keragaman agama menguntungkan anggota-anggota yang
yang hidup dan berkembang di Indonesia lebih siap. Globalisasi juga dapat
menuntut sikap toleransi dan saling menyebabkan polarisasi antara negara
pengertian setiap anggotanya. Oleh sebab yang maju dan negara berkembang. Oleh
itu pendidikan agama di dalam sistem sebab itu negara berkembang harus
pendidikan nasional haruslah pandai-pandai mempersiapkan diri
dilaksanakan begitu rupa sehingga sehingga tidak akan menjadi mangsa dari
terwujudlah suatu kehidupan bersama kekuatan global yang lebih kuat.
yang mengandung unsur-unsur toleransi Akibatnya ialah pemiskinan negara-
serta saling pengertian yang mendalam. negara yang dilindas oleh kekuatan-
Kita perlu menghindari ramalan kekuatan global seperti di dalam ekonomi
Huntington yang memprediksikan adanya dan perdagangan. Selanjutnya,
konflik-konflik budaya dan agama sebagai gelombang globalisasi dapat menjadikan
pengganti konflik kekerasan senjata sekelompok manusia tercecer atau
dalam kehidupan umat manusia pada terbuang dari arus perubahan Proses
melenium ketiga yang akan datang. marginalisasi kita rasakan di dalam era
5. Manusia dan masyarakat yang krisis moneter yang telah mengakibatkan
berwawasan global sejumlah besar rakyat Indonesia hidup di
Masyarakat Indonesia memasuki bawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu
suatu kehidupan baru dalam melenium pendidikan nasional harus, mempunyai
ketiga yaitu masyarakat global yang visi untuk dapat memberdayakan rakyat
ditandai oleh kemajuan teknologi serta banyak sehingga rentan terhadap
perdagangan bebas. Kehidupan global perubahan-perubahan global yang
tersebut memberikan kesempatan- menimpannya Sejalan dengan kekuatan-
kesempatan yang baru tetapi juga kekuatan yang disebut tadi, juga
tantangan-tantangan yang semakin sulit globalisasi dapat menyebabkan
dan kompleks sehingga meminta kualitas fragmentalisasi masyarakat Indonesia di
sumber daya manusia Indonesia yang dalam kelompok-kelompok yang
bukan saja menguasai dan dapat diuntungkan dan kelompok-kelompok
mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi yang dikalahkan akibat kepentingan-
juga yang terampil di dalam memecahkan kepentingan tertentu. Demikian pula
masalah-masalah yang muncul akibat tumbuh-suburnya proses demokrasi
gelombang globalisasi tersebut. Menurut dapat memecah belah kehidupan
pengamatan UNESCO terdapat beberapa berbangsa dan bertanah air sehingga
masyarakat dan bangsa Indonesia dapat
670
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
terpecah belah menjadi masyarakat yang
lemah. Sistem pendidikan nasional Ahdiyana, Mahrita, 2009. PemiluSebagai Wahana
mempunyai tugas untuk melihat secara Pendidikan Politik (Pidato Ilmiah dalam
dini masalah-masalah tersebut di atas Rangka Dies Natalis XXX STIA-AAN
agar supaya dapat mempersiapkan Yoyakarta). Yogyakarta: tidak diterbitkan.
manusia dan masyarakat Indonesia
untuk lebih siap menghadapi tantangan- Brownhill, Robert and Smart Patricia, 1989.
tantangan global tersebut. Political Education. London: New Fetter
Lane.
H. Daftar Pustaka
671
SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
(Ditinjau dari Prespektif Sejarah Bangsa Indonesia)
Tridays Repelita 1
Dosen Universitas Buana Perjuangan Karawang
Jl. HS. Ronggo Waluyo, Puseur Jaya, Teluk Jambe Timur, Kabupaten Karawang
ABSTRAK
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang digunakan di Negara Republik Indonesia
(NKRI). Pada perkembangannya, dengan semakin pesatnya arus globalisasi, modernisasi, ilmu
pengetahuan, teknologi, Bahasa Indonesia harus dapat menjadi sebuah instrumen dalam melakukan
komunikasi utama di Indonesia. Penelitian ini lebih relevan menggunakan metode penelitian pustaka,
alasan dikarenakan persoalan penelitian ini hanya bisa dijawab lewat penelitian pustaka dan sebaliknya
tidak mungkin mengharapkan datanya dari riset lapangan. Untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia,
telah diadakan 10 kali kongres bahasa Indonesia yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga
eksistensi bahasa Indonesia di dalam perkembangan globalisasi dan modernisasi. Kongres bahasa
Indonesia yang 1 dilaksanakan di Kota Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 25-28 Juni Tahun 1938,
Kongres bahasa Indonesia II dilaksanakan di Kota Medan, Sumatra Utara, pada 28 Oktober-1 November
1954, Kongres bahasa Indonesia III dilaksanakan di Ibukota Jakarta, pada 28 Oktober-2 November
1978, Kongres bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta, dari 21-26 November 1983, Kongres
bahasa Indonesia yang V dilaksanakan di Jakarta, pada 28 Oktober-3 November 1988, Kongres bahasa
Indonesia yang VI dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober-2 November 1993, Kongres bahasa
Indonesia VII dilaksanakan di Hotel Indonesia, Jakarta, yakni pada 26-30 Oktober 1998, Kongres bahasa
Indonesia VIII diselenggarakan di Jakarta, yakni pada 14-17 Oktober 2003, Kongres bahasa Indonesia
IX dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober -1 November 2008, Kongres bahasa Indonesia yang
X dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28-31 Oktober 2013.
ABSTRACT
Indonesian is the national language used in the Republic of Indonesia (NKRI). In its development,
with the rapid flow of globalization, modernization, science, technology, Indonesian Language must be
able to become an instrument in making key communications in Indonesia. This research is more
relevant using the library research method, the reason being that this research problem can only be
answered through library research and conversely it is impossible to expect the data from field research.
To maintain the existence of the Indonesian language, 10 Indonesian congresses have been held which
aim to maintain and maintain the existence of Indonesian in the development of globalization and
modernization. The 1st Indonesian Language Congress was held in Solo City, Central Java, on June
25-28, 1938, the Indonesian Language Congress II was held in Medan City, North Sumatra, on October
28-November 1, 1954, the Indonesian Language Congress III was held in the capital city Jakarta, on
28 October-2 November 1978, the IV Indonesian Language Congress was held in Jakarta, from 21-26
November 1983, the V-Indonesian Congress was held in Jakarta, on 28 October-3 November 1988, the
VI Indonesian Language Congress was held in Jakarta , namely on October 28-November 2, 1993, the
VII Indonesian Language Congress was held at Hotel Indonesia, Jakarta, namely on 26-30 October
1998, the VIII Indonesian Language Congress was held in Jakarta, namely on 14-17 October 2003, the
IX Indonesian Congress was held in Jakarta, namely on 28 October -1 November 2008, the Indonesian
Language Congress X was held in Jakarta, namely on 28-31 October 2013.
1
Penulis Koresponden
E-mail address: tridaysrepelita@yahoo.com
doi: http://dx.doi.org/10.25157/ja.v5i1.1927 Copyright©2018 Jurnal Artefak e-ISSN: 2580-0027
Halaman | 45
Jurnal Artefak:
History and Education, Vol.5 No.1 April 2018
Halaman | 46
Tridays Repelita
Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
(Ditinjau dari Prespektif Sejarah Bangsa Indonesia)
samaannya dalam kehidupan berbangsa dan telah dilakukan secara sadar oleh para
bernegara. cendikiawan dan budayawan Indonesia pada
Dilandasi hal tersebut, sudah sepatutnya waktu itu. Sampai pada akhirnya pada 18
bahasa Indonesia di lestarikan dengan Agustus 1945 disyahkannya Undang -Undang
seutuhnya, Begitu pula dengan kebanggan Dasar 1945, pada Pasal 36 menetapkan bahasa
individu untuk ber bahasa Indonesia agar Indonesia sebagai bahasa negara.
senantiasa memakai bahasa Indonesia sebagai Diresmikannya penggunaan Ejaan Republik
bahasa sehari-hari, sehingga terwujud sikap sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang
positif bangsa Indonesia terhadap bahasanya berlaku sebelumnya, peresmian ini terjadi pada
sendri. Untuk itu kesadaran akan kaidah tanggal 19 Maret 1947.
pemakaian bahasa Indonesia harus selalu
ditingkatkan. 2. Kongres Bahasa Indonesia II
Kongres bahasa Indonesia yang kedua
dilaksanakan pada 28 Oktober-1 November
METODE PENELITIAN 1954 di Kota Medan, Sumatra Utara,. Kongres
bahasa Indonesia ini merupakan sebuah tindakan
Penelitiian ini merupakan penelitian atau rasionalisasi dari keinginan yang kuat dan keras
riset kepustakaan. Penelitihan pustaka atau riset dari bangsa Indonesia untuk selalu
pustaka ialah serangkaian kegiatan yang menyempurnakan bahasa Indonesia yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data dijadikan bahasa nasional.
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah Pemerintah pada 16 Agustus 1972,
bahan koleksi perpustakaan saja tanpa meresmikan penggunaan Ejaan yang
memerlukanriset lapangan (Mestika, 2004:3). Disempurnakan (EYD) yang diperkuat dengan
Penelitian ini lebih relevan menggunakan adanya Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972.
metode penelitian pustaka, alasan dikarenakan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada 31
persoalan penelitian ini hanya bisa dijawab lewat Agustus 1972, menetapkan Pedoman Umum
penelitian pustaka dan sebaliknya tidak mungkin Bahasa Ejaan Bahasa Indonesia yang
mengharapkan datanya dari riset lapangan. Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh
wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3. Kongres Bahasa Indonesia III
Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga Kongres bahasa Indonesia ketiga
eksistensi bahasa Indonesia menjadi bahasa dilaksanakan pada 28 Oktober-2 November
nasional. Upaya pemerintah dan para tokoh 1978 di Ibukota Jakarta. Hasil yang didapat dari
bahasa yang memiliki komitmen terhadap kongres bahasa Indonesia ketiga ini yaitu
pelestarian bahasa Indonesia mengadakan memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan
kongres-kongres dalam rangka membahas perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun
perkembangan bahasa Indonesia, Pertemuan 1928 dan selalu berusaha dengan optimal untuk
yang rutin dilaksanakan ini diberi nama kongres memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa
bahasa Indonesia. Keberlngsungan Kongres- Indonesia.
kongres tersebut sangatlah penting bagi proses
perkembangan bahasa Indonesia. Oleh karena 4. Kongres Bahasa Indonesia IV
dengan adanya kongres bahasa Indonesia, Kongres bahasa Indonesia keempat
muatan dari bahasa Indonesia menjadi lebih diselenggarakan pada tanggal 21-26 November
komprehensif dan di sesuaikan dengan 1983 di Jakarta. Pada pelaksanaan kongres
perkembangan zaman. Berikut ini kongres bahasa Indonesia ke empat bertepatan dengan
bahasa Indonesia yang sudah dilaksanakan: hari Sumpah Pemuda yang ke-55 yang
1. Kongres Bahasa Indonesia I (Pertama) menghasilkan kesepakatan bahwa pembinaan
Kongres bahasa Indonesia yang pertama dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih
dilaksanakan pada tanggal 25-28 Juni tahun ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di
1938 di kota Solo, Jawa Tengah. Kongres dalam GBHN, yang mewajibkan kepada seluruh
pertama ini menghasilkan beberapa kesepakatan warga negara Indonesia untuk menggunakan
dan kesepahaman yakni urgensi dari usaha bahasa Indonesia yang baik dan benar tercapai
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia seoptimal mungkin.
Halaman | 47
Jurnal Artefak:
History and Education, Vol.5 No.1 April 2018
Halaman | 48
View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE
provided by Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Abstract
Kata-kata Kunci:
Masyarakat warga; keberadaban; demokrasi; pasar.
Pendahuluan
Sejauh ini, sudah terlanjur mapan pandangan yang menempatkan
masyarakat warga atau masyarakat sipil sebagai kekuatan yang lahir untuk
mengimbangi dan mengontrol kekuasaan negara. Kecenderungan negara
yang despotik dan sewenang-wenang dipahami sebagai syarat ontologis
bagi munculnya fenomena masyarakat warga. Problem utama masyarakat
warga dengan demikian adalah negara yang otoriter, anti-demokrasi atau
anti-kebebasan.
* Agus Sudibyo adalah Anggota Dewan Pers 2010-2013. Ia bisa dihubungi melalui email
pringgodani2@gmail.com.
23
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
24
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
1 B Herry Priyono, Sketsa Evolusi Istilah Civil Society, manuskrip pengantar kuliah
“Membaca Ulang Civil Society”, 2008, hlm. 2.
25
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
2 Richard Hooker “Civil society as political society”, dalam John A. Hall and Frank
Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory and Global Politics, Palgrave
Macmillan, 2005, hlm. 2: Inasmuch as every man is towards himself, and them whom he
greatly affecteth, partial; and therefore that strifes and troubles would be endless; except they
gave their common consent all to be ordered by some whom they should agree upon: without
which consent, there were no reason that one man should take upon him to be lord or judge over
another; because althougth there be according the the opinion of some very great and judicious
men, a kind of natural right in the noble, wise, and virtuous, to govern them which are of
servile disposition; nevertheless for manifestation of this their right, and men’s more peacable
contentment on both sides, the assent of them who are to be governed seemeth necessary.
26
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
secara sempurna, adanya masyarakat warga tetap lebih baik daripada ketika
kehidupan manusia dihadapkan pada benturan-benturan state of nature.3
Pada konteks yang sama, Filsuf Inggris dan kritikus Thomas Hobbes
yang tersohor, John Locke (1632-1704) melihat masyarakat warga sebagai
tatanan sosial yang terbentuk karena benturan keadaan alamiah, state of nature
manusia. Masyarakat warga diperlawankan dengan chaos ketika manusia
saling berhadap-hadapan dengan state of nature masing-masing. Manusia
dilahirkan dengan kebebasan yang sempurna dan perwujudan yang tak
terkontrol atas hak-hak dan privilese masing-masing. Manusia menggunakan
state of nature untuk melindungi hak milik dari berbagai pelanggaran atau
penyerobotan pihak lain serta untuk menjatuhkan hukuman bagi siapa saja
yang melanggar state of nature tersebut. Masyarakat politik adalah sebuah
tatanan sosial yang diciptakan untuk mengatasi state of nature yang menjadi
problematis ketika relasi antar manusia semakin kompleks.
Problem utama masyarakat warga adalah state of nature dan
individualitas, bukan negara atau kekuasaan-kekuasaan yang terlembaga.
Masyarakat warga pertama-tama adalah keluarga, lalu menjadi komunitas
warga, meningkat menjadi masyarakat politik dan berujung pada
terbentuknya institusi formal negara. Masyarakat warga atau political
society dibentuk dengan tujuan yang spesifik: menjamin hak milik pribadi
dan melakukan penertiban sosial dengan menjatuhkan sanksi bagi para
pelanggar peraturan.4
3 Hooker, ibid., hlm. 28: Nature furnished man with wit and valour, and as it were with armour, which
may be used as well unto extreme evil as good? Yea, were they not used by the rest of the world unto
evil; unto the contrary only by Seth, Enoch, and those few the rest in that line? We all make complaint
of the iniquity of our times, not unjustly, for the days are evil. But compare with those times wherein
there was as yet no manner of public regiment established, with those times wherein there were not
above eight righteous persons living upon the face of the earth; and we have surely good cause to think
that God hath blessed us exceedingly, and hath made us behold most happy days.
4 John Locke, “Masyarakat warga vs the state of nature”, dalam Hall and Trentmann (ed.),
Civil Society..., op.cit., hlm. 31: But because no political society can be nor subsist without having
in itself the power to preserve the property, and in order thereunto, punish the offences of all those
of that society, there, and there natural power, resigned it up into the hands of the community in all
cases that exclude him not from appealing for protection to the law established by it; and thus all
private judgement of every particular member being excluded, the community comes to be umpire;
and by understanding indifferent rules and men authorised by the community for their execution,
decided all the difference that may happen between any members of that society concerning any
matter of right, punishes thoses offences which any member hath commited againt the society....
27
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
5 Locke, ibid., hlm. 31: whereby it is easy to discern who are and are not in political society
together. Those who are united into one body, and have a common established law and judicature
ta appeal to, with authority to decide controversies between them and punish offenders, are in
masyarakat warga one with another; but those who have no such common appeal – I mean on
earth—are still in the state of nature, each being, where there is no other, judge for himself and
executioner, which is, as I have before shown it, the prefect state of nature. (hlm. 31)
28
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
6 Immanuel Kant, “Civil Society, nation, cosmopolitanism”, dalam Hall and Trentmann
(ed.), Civil Society… op.cit., hlm. 93.
7 Kant, ibid., hlm. 93.
29
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
30
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
10 Thomas Paine, “Rights of Man,” dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society...,
op.cit.,, hlm. 100.
31
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
11 Paine ibid., hlm. 100: Government is no farther necessary than to supply the few cases
to which society and Civilization are not conveniently competent….
12 Paine. Ibid., hlm. 101: The more prefect civilization is, the less occasion has it for government,
because the more it does regulate its own affairs, and govern itself.
32
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
13 Vaclav Havel, “The Power of The Powerless”, dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil
Society..., op.cit.,, hlm. 200.
14 Havel, ibid., hlm. 201.
33
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
15 Havel ibid., hlm. 202 : …the traditional parliamentary democracies can offer no fundamental
opposition to the automatism of technological civilization and the industrial-consumer society…
People are manipulated in ways that are infinitely more subtle and refined than the brutal
methods used in the post-totalitarian societies. But this static complex of rigid, conceptually
sloppy and politically pragmatic mass political parties run by professional apparatuses and
releasing the complex focuses of capital accumulation engaged in secret manipulations and
expansion…Bandingkan Wildan Pramudya, Konfrontasi “Kekuasaan Kaum Nirkuasa”
(Masyarakat Sipil) dengan Totalitarianisme, (paper kuliah), 2008, hlm. 5.
16 John A. Hall and Frank Trentmann “Contests Over Civil Society: Introduction
Perspectives”, pengantar dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society..., op.cit.., hlm.
7-9.
34
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
35
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
18 B Jean Jacques Rousseau, “The burden of Civilization” dalam Hall and Trentmann
(ed.), Civil Society..., op.cit., hlm. 77: The first man who, having enclosed a piece ground,
bethought of himself of saying This is mine, and found people enough to believe him, was the
real founder of masyarakat warga. From how many crimes, wars and murders, from how many
horrors and misfortunes might not any one have saved mankind, by pulling up the stakes….
and crying to his fellows,”Beware of listening to this impostor; you are undone if you once
forget that fruits of the earth belong to us all, and the earth itself to nobody.”
19 Rousseau, ibid., hlm. 79: In reality, the source of all the difference is, that the savage lives
within himself, while social man lives constantly outside himself, and only knows how to live in
the opinion of others, so that he seems to receive the consciousness of his own existence merely
from the judgment of others concerning him.
36
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
20 Bandingkan Adam Smith, “The social benefits of deception”, dalam Hall and Trentmann
(ed.), Civil Society..., op.cit., hlm. 80: How many people ruin themselves by laying out money
on trinkets of frivolous utility? What pleases these lovers is not so much the utility, as the
aptness of the machines which are fitted to promote it. All their pockets are stuffed with little
inconveniencies. They contrive new pockets, unknown in the clothes of other people, in order to
carry a greater number…..
21 Smith, ibid., hlm. 80: The poor man’s son, whom heaven in its anger has visited with ambition,
when he begins to look around him, admires the condition of the rich. He finds the cottage of his
father too small for his accommodation, and fancies he should be lodged more at his ease in a
palace…..
37
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
22 Georg Wilhelm Friedrich Hegel “Burgerliche Gesellchaft”, dalam Hall and Trentmann
(ed.), Civil Society..., op.cit., hlm. 131: “The concrete person, who is himself the object of his
particular aims, is, as a totality of wants and a mixtiure of caprice and physical necessity, one
principle of civil society……But civil society tears the individual from his family ties, estranges
the members of the family from one another, and recognizes them as self-subsistent persons.
23 Hegel, ibid., hlm. 130-131: In these contrasts and their complexity, civil society affords a
spectatle of extravagance and want as well as of the physical and ethical degeneration common
to them both.
38
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
24 Hegel, ibid., hlm. 129: But the particular person is essentially so related to other
particular persons that each established himself and finds saticfaction by means of the
others, and at the same time purely and simply by means of the form of universality,
the second principle here. .
25 Hegel, ibid., hlm. 131 : In administration of justice, however, Civil society return to its
concept, to the unity of the implicit universal with the subjective particular, although
here the later is only that present in single cases and the universality in question is that
of abstract right.
39
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
Catatan Kritis
Berdasarkan uraian dari beberapa sudut pandang di atas, dapat
disimpulkan masyarakat warga merujuk pada pengertian tentang
tatanan sosial yang beradab dan adil, yang mampu mewadahi sekaligus
individualitas maupun sosialitas, partikularitas maupun universalitas.
Problem masyarakat warga memang dapat berupa negara yang despotik,
26 Hegel, ibid., hlm. 129 : In the course of the actual attainment of selfish ends – an
attainment conditioned in this way by universality – there is formed a system of
complete interdependence: wherein the livelihood, happiness and legal status of one
man is interwoven with the livelihood, happiness and right of all. On this system,
individual happiness, depend and only in this connected syste are they actualized and
secured. This system may be prima facie regarded as the external state, the state based
on need, the state as the understanding envisages it.
27 Hegel sebagaimana dikutip dalam Sitorus, op.cit., hlm. 6.
40
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
41
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
42
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
politik dan ekonomi mereka sendiri. Dalam konteks ini, tentu saja
kerangka analisis yang state-centrism perlu direvisi. Demikian juga secara
lebih luas, pandangan yang menempatkan negara sebagai satu-satunya
sumber masalah bagi masyaraka warga, tidak memadai lagi. Apalagi jika
kita merujuk pada fakta betapa maraknya tindakan-tindakan kekerasan,
perusakan dan penyerbuan terhadap penerbitan pers oleh kelompok-
kelompok massa di berbagai tempat sepuluh tahun terakhir pasca 1998.
Konsekuensi dari analisis di atas, gerakan masyarakat sipil
harus mengubah orientasi dan strategi. Yang perlu diantisipasi bukan
hanya potensi kekerasan terhadap masyarakat sipil oleh negara, tetapi
juga oleh kekuatan modal secara tidak langsung, serta oleh unsur-unsur
dalam masyarakat sendiri. Persoalan semakin kompleks ketika dalam
praktiknya, pada kasus tertentu, kekuatan politik (formal) berkolaborasi
dengan kekuatan modal guna menciptakan simbiosis mutualisme.
Katakanlah berhadap-hadapan dengan tuntutan gerakan masyarakat
warga untuk peningkatan kesejahteraan buruh, transparansi pengelolaan
sumber daya publik, ruang publik media yang lebih ramah keluarga, dan
seterusnya.
Kedua, namun juga ada yang perlu dikritik dari masyarakat warga
sendiri. Sebagaimana dikatakan Hegel, masyarakat warga bisa jatuh pada
fenomena partikularitas. Ini terjadi ketika individu terdiferensiasi satu
sama lain berdasarkan kepentingan subjektif partikularnya. Ini terjadi
ketika masyarakat warga tak lebih dan tak kurang adalah sebagai ‘sistem-
sistem kebutuhan’ (das System der Bedurfnisse). Masyarakat yang terbentuk
karena kesadaran bahwa pemuasan kebutuhan-kebutuhan individu tidak
mungkin berlangsung dalam isolasi. Individu dapat memenuhi kebutuhan
kita melalui orang lain, yang juga hendak memenuhi kebutuhannya
melalui kita.
Masyarakat warga meghilangkan ciri positif keluarga, yakni
adanya kesatuan organis yang menempatkan kepentingan bersama di
atas kepentingan pribadi. Masyarakat warga mencoba menggantikannya
dengan pengakuan terhadap individualitas-subyektivitas, namun
kemudian terjerumus pada liberalisme individu yang cenderung tanpa
batas dan menggerus ikatan-ikatan alamiah manusia sebagai zoon
politikon.
43
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
44
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
Daftar Pustaka
Hall, John A. dan Trentmann, Frank. (2005). ‘Contests Over Civil Society:
Introduction Perspectives.’ Dalam John A. and Frank Trentmann (ed.),
Civil Society, A Reader in History, Theory and Global Politics. London:
Palgrave Macmillan.
Havel, Vaclav. (2005). ‘The Power of The Powerless.’ Dalam John A. and Frank
Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory and Global
Politics. London: Palgrave Macmillan.
Hooker, Richard. (2005), ‘Civil society as political society.’ Dalam John A. Hall
and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory
and Global Politics. London: Palgrave Macmillan.
Kant, Immanuel. (2005). ‘Civil society, Nation, Cosmopolitanism.’ Dalam John
A. and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory
and Global Politics. London: Palgrave Macmillan.
Locke, John. (2005), ‘Masyarakat Warga vs The State of nature,’ Dalam John A.
and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory
and Global Politics. London: Palgrave Macmillan.
Paine, Thomas. (2005). ‘Rights of Man,’ Dalam John A. and Frank Trentmann
(ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory and Global Politics.
London: Palgrave Macmillan.
Priyono, B. Herry. (2008). ‘Sketsa Evolusi Istilah Civil society.’ Manuskrip
pengantar kuliah Membaca Ulang Civil Society, hlm. 2.
Rousseau, B Jean Jacques. (2005). ‘The burden of Civilization.’ Dalam John A.
and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory
and Global Politics. London: Palgrave Macmillan.
Smith, Adam. (2005). ‘The social benefits of deception.’ Dalam John A. and
Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory and
Global Politics. London: Palgrave Macmillan.
45
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010
46
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
Abstrak
230
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
A. Pendahuluan
Sepanjang sejarah perkembangan kebudayaan manusia sejak zaman
prasejarah selalu dihiasi dengan lembaran hitam peristiwa “menghilangnya”
suku bangsa, baik diusir dari tanah kelahirannya atau dilibas, di afrika, Eropa,
Amerika, Timur Tengah maupun Asia.2Salah satu puncaknya adalah
pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman.Peristiwa tersebut terus berlanjut,
diawali abad XV saat manusia Eropa merasa menemukan benua baru
Amerika dan Australia. Pembantaian suku bangsa Astec dan Maya, pelibasan
suku bangsa Indian di Amerika, suku Aborigin dan Tasmania di Australia,
dan hingga abad kini di Kamboja.
Cikal bakal nenek moyang bangsa Indonesia ditengarai sebagai
keturunan hasil percampuran ras Mongolia, Kaukasoid dan Negrito, sebagai
manusia bertradisi benua yang kemudian berganti tradisi kepulauan pasca
zaman es, jauh sebelum masehi di masa prasejarah. Perlahan-lahan
melampaui waktu ratusan ribu tahun, manusia benua tersebut ditransfer oleh
lingkungan dangkalan Sunda dan Sahul menjadi manusia kepulauan, yang
sejak semula mencakup kawasan yang kini disebut Sumatra sampai Papua,
2
Tabrani, Primadi..Belajar Dari Sejarah Dan Lingkungan. Sebuah Renungan
Mengenai Wawasan Kebangsaan Dan Dampak Globalisasi. (Bandung: ITB. 1995), hlm. 11
231
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
hingga membentuk pribadi dan tradisi maritim yang berjiwa bahari dengan
teknologi maritim yang terus berkembang.
Setapak demi setapak terbentuklah manusia kepulauan yang berjiwa
bahari dengan teknologi maritime yang terus berkembang. Dengan alat
penyebrangan yang masih sederhana, sekiar 60.000 SM, nenek moyang
Indonesia melanjutkan pengembaraannya ke benua Australia.3Dalam hal ini
Tabrani tidak menjelaskan secara gamblang tentang kapan waktu
terbentuknya kepulauan Nusantara. Meskipun memang untuk mendukung
temuannya Tabrani menyampaikan argument tentang bukti-bukti sejarah
berupa gambar perahu di gua/cadas di wilayahNusantara.
Berita yang dimuat oleh media online dari Universitas Oxford
(ox.ac.uk/media) menyebutkan bahwa studi yang dipimpin oleh Universitas
Leeds dan diterbitkan dalam bulan Mei 2008, Molecular Biology and
Evolution,menunjukkan bahwa sebagian besar dari garis-garis DNA
mitokondria (diwarisi oleh keturunan perempuan) telah berkembang di
kawasan pulau Asia Tenggara untuk jangka waktu yang lebih lama, yaitu
sejak manusia modern tiba sekitar 50.000 tahun yang lalu. DNA
menunjukkan garis keturunan penduduk pada waktu yang sama dengan
naiknya permukaan laut dan juga menunjukkan migrasi ketaiwan, ke timur
ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan Asia Tenggara - dalam
10.000 tahun terakhir.
Pada tahun 2009, para ilmuwan Asia yang di pimpin oleh ahli
biomolekuler Indonesia , Prof. Sangkot Marzuki juga melakukan riset DNA
dan melaporkan hasil risetnya seperti yang dimuat di kompas.com, yaitu:
“Nenek-moyang bangsa-bangsa Asia yang keluar dari Afrika sekitar
100.000 tahun lalu itu menyusuri sepanjang pesisir selatan ke arah timur dan
lebih dulu berpusat di Asia Tenggara sekitar 60.000 tahun lalu, baru
kemudian menyebar ke berbagai kawasan di utaranya di Asia,” kata Direktur
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Dr Sangkot Marzuki kepada pers
di Jakarta, Jumat (11/12/2009). Riset ini dilakukan oleh lebih dari 90
ilmuwan dari konsorsium Pan-Asian SNP (Single-Nucleotide
Polymorphisms) dinaungi Human Genome Organization (Hugo) yang
meneliti 73 populasi etnik Asia di 10 negara (Indonesia, Singapura, Malaysia,
Thailand, Filipina, India, China, Korea, Jepang, dan Taiwan) dengan total
sekitar 2.000 sampel.
Menurut Sangkot Marzuki, kesimpulan terbaru ini membantah teori
sebelumnya yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang
bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan, serta membantah
3
Ibid, hlm. 12
232
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
233
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
4
Tabrani, op.cit., hlm 13-14
234
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
5
Dick,Robert –Read. Penjelajahan Bahari (Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika).
(Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2008)., hlm 35-38
6
George Miller, (ed) 1996. To The Spice Islands and Beyond: Travels in Eastern
Indonesia. (New York: Oxford University Press, 2008)., hlm 237
235
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
7
Tabrani, op.cit., hlm 16
8
Slamet Subiyantoro. Antropologi Seni Rupa. Teori, Metode & Contoh Telaah
Kritis.(Surakarta:UNS Press. 2010)., hlm.20
9
Dadang Kahmad,.Persentuhan Unsur Budaya lokal dan Islam (sebuah Kasus
Sinkretisme).Makalah.,Tanpa tahun.hlm. 2-3
10
Dadang Kahmad., Ibid, hlm. 3
236
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
237
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
13
Tabrani, op.cit., hlm 20
14
Rizali, Nanang. Perwujudan Tekstil Tradisional Indonesia; Kajian Makna Simbolik
Ragam Hias Bati yang Bernafaskan Islam pada Etnik Melayu, Sunda, Jawa dan Madura.
Abstrak (Disertasi. ITB Bandung, 2000)., hlm
238
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
15
K.M. Saini. Pemuliaan sumber Kebudayaan.Makalah disajikan dalam acara
Konferensi Batik Jawa Barat, 11-13 Mei 2001.(Hotel Horison Bandung2001)., hlm. 1-2
16
Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. (Bandung:
Remaja Rosda Karya), hlm.63
239
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
D. Penutup
Perlu disepakat bahwa keharusan adanya wawas diri dari seluruh anak
negeri sebagaimana dikemukakan baik oleh Primadi Tabrani, H. Dadang
17
Wikipedia. Ensiklopedi Bebas. http://wikipedia.org
18
ibid
19
ibid
240
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
Daftar Pustaka
241
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an
Miller, George (ed) 1996. To The Spice Islands and Beyond: Travels in
Eastern Indonesia. New York: Oxford University Press.
Subiyantoro, Slamet. 2010. Antropologi Seni Rupa. Teori, Metode & Contoh
Telaah Kritis. Surakarta:UNS Press.
242
Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628
Nurdien H. Kistanto
Abstract
Social scientists have conceptualized several stages of sociocultural transformation as societal
development. One version modified in this article constitutes a typology of preindustrial and
industrial societies which consists of one, hunting & gathering societies; two, pastoral societies;
three, village agrarian societies; four, advanced traditional agrarian societies; and five,
industrial societies; and six, postindustrial societies. To analyse the sociocultural transformation
which happens in the Indonesian society, one has to observe and consider the long historical
background which produces social heterogeneity. Thus, the direction and ideals of sociocultural
transformation can be identified and conceptualized.
pula bentuk-bentuk baru dalam hubungan tradisional pertanian kompleks dan maju,
kekuasan muncul dalam wujud negara-kota, sebagai bagian dari masyarakat-masyarakat
kekuasaan birokrasi, atau feudalisme sehingga pra-industrial, yang sudah lanjut, atau maju
sangat berkembang kelompok sosial dengan (complex and advanced traditional agrarian
struktur dan stratifikasi sosial yang maju, societies).
unggul, turun-temurun, dan penyebab-
penyebab perbedaan terutama bersifat 2. 5. Masyarakat Industrial (Industrial
ekonomik. Era masyarakat-masyarakat Societies), yang hidup pada zaman moderen,
pertanian yang tercatat meliputi masyarakat- mulai tumbuh bersamaan dengan Revolusi
masyarakat Mesir kuno dan Cina, melampaui Industri di Inggris yang berlangsung pada
Abad Pertengahan hingga permulaan antara tahun-tahun 1760 dan 1830 (abad ke
masyarakat industrial moderen; dalam era ini 18-19) (Ritzer, 1979) dan diwarnai dengan
sistem kenegaraan tumbuh dan menjadi protes-protes keras berkesinambungan oleh
lembaga pusat (Ritzer, 1979: 233-4; Vago, masyarakat (Stearns, 1972). Masyarakat
1989: 172). industrial moderen merupakan tipe
masyarakat terakhir dalam transformasi
2. 4. Masyarakat Pertanian Tradisional sosial-budaya dan perkembangan peradaban
Maju (Advanced Traditional Agrarian masyarakat manusia, sebelum kemudian
Societies), dalam masyarakat ini, pertanian berkembang mulai akhir abad ke 20 tipe
masih merupakan andalan sistem ekonominya, masyarakat pasca-industrial (postindustrial
akan tetapi kota-kota hidup sebagai pusat societies) dalam masyarakat pascamoderen
perdagangan dan produksi; sebagian (postmodern societies) (Bell, 1973).
pemerintahan masyarakat tradisional bisa Kemajuan masyarakat industrial ditandai
sangat luas, dengan warga berjumlah jutaan dengan dominasi kegiatan-kegiatan
orang, meskipun sebagian besar sangat sosialbudaya dan ekonomi berbasis industri
terbatas dibandingkan masyarakat industrial manufaktur atau pemrosesan atau pengolahan
yang besar sekarang ini; pemerintahan (manufacturing/processing industries).
tradisional memiliki aparat pemerintahan
khusus, dipimpin oleh raja atau kaisar, dengan 2. 6. Masyarakat Pascaindustrial
perbedaan tingkatan-tingkatan di antara kelas- (Postindustrial Societies), sesungguhnya
kelas sosial yang berbeda-beda. Oleh Giddens adalah tahapan akhir dari masyarakat
(1991: 54-55) disebutkan, masyarakat industrial, yang setidak-tidaknya berkembang
tradisional telah hidup sejak 6.000 tahun mulai pada akhir abad ke-20 dan mencapai
sebelum Masehi sampai abad ke-19; sebagian puncak kemajuannya pada abad ke-21. Selain
besar pemerintahan tradisional atau bahkan dukungan manajemen dan teknologi
semuanya sekarang punah; sedangkan Ritzer sebagaimana dicapai oleh masyarakat
(1979) mengatakan bahwa masyarakat industrial dengan aktivitas-aktivitas industri
tradisional ini agaknya hidup sezaman dan manufaktur, pemrosesan, pengolahan
bersamaan dengan masyarakat agrarian, (manufacturing/processing industries),
namun sudah lebih maju karena masyarakat masyarakat pascaindustri pada abad ke-21
pertanian ini sudah mengembangkan kota- mengembangkan keunggulan teknologi
kota sebagai pusat-pusat perdagangan dan informasi (information technology) yang
produksi, sehingga dapat dikatakan sebagai meliputi teknologi keuangan (financial
masyarakat pertanian-tradisional atau
technology/fintech) dan teknologi media sosial masyarakat pekebun yang maju (advanced
(social media technology). horticultural societies). Dalam pembahasan
Sesungguhnya Ritzer (1979: 232-3), Vago (1989: 172), masyarakat pekebun
dengan mendiskripsikan kembali tulisan- sederhana bercocok tanam dengan
tulisan Lenski (1966) dan Lenski & Lenski menggunakan alat tongkat untuk menggali
(1974) menyelipkan satu tahapan masyarakat (digging stick), sebagai alat paling sederhana
perkebunan atau pekebun (Horticultural dari perekonomian kebun (gardening
Societies), di antara masyarakat pemburu- economy) dan bercocok tanaman lebih dapat
pengumpul (Hunting and Gathering Societies) mengandalkan hasil kebun sebagai persediaan
dan masyarakat agrarian atau pertanian bahan pangan, yang pada gilirannya
(Agrarian Societies), sebagai masyarakat berhubungan dengan munculnya pembagian
yang, setidak-tidak-tidaknya sebagian, lebih kerja (division of labor), termasuk dalam
menggantungkan hidupnya dari penanaman pengembangan pekerjaan spesialis bernilai
bahan makanan dan memelihara binatang, ekonomis dan pekerjaan-pekerjaan penuh
daripada dari berburu binatang dan waktu dalam politik dan keagamaan.
mengumpulkan buah-buahan dan tanaman Spesialisasi fungsional ini pada waktunya
yang tumbuh liar untuk dimakan. Masyarakat melahirkan status-status sosial dan hubungan-
ini, menurut Ritzer (1979: 233), hidup antara hubungan kekuasaan baru. Dalam masyarakat
tahun-tahun 7000 sebelum Masehi sampai pekebun maju, peningkatan perbedaan status
3000 sebelum Masehi, sebelum tumbuh dan dan peran dalam masyarakat semakin
hidupnya masyarakat agrarian pada tahun bertambah, misalnya dengan berkembangnya
3000 sebelum Masehi sampai dengan 1800 alat kebun, cangkul, yang memungkinkan
sesudah Masehi, dan perubahan kebiasaan pemanfaatan tanah lebih besar dengan
dari berburu dan mengumpulkan ke berkebun pengembangan pengkotak-kotakan kebun,
ini menandai penurunan kecenderungan untuk pengairan, pupuk, atau metalurgi. Tahapan
hidup secara nomadik yang berpindah-pindah teknologi lebih tinggi mendorong peningkatan
dan menjadi awal dari komunitas-komunitas spesialisasi dalam kegiatan ekonomi dan
permanen, yang terdiri dari lebih banyak pengembangan kekuasaan politik. Bersamaan
anggota yang menetap dan dapat memanen dengan itu, terjadi perluasan status-status
hasil kebun dalam jumlah lebih besar, formal yang diikuti peningkatan hak atas
dibandingkan komunitas-komunitas dari kekayaan yang meliputi hak atas kepemilikan
masyarakat pemburu dan pengumpul yang manusia, atau perbudakan, dan tersedianya
hidup berpindah-pindah. aset-aset yang dapat dipindahkan seperti uang,
Demikian pula Vago (1989: 172), yang hewan ternak, dan budak. Dari jurusan
menekankan pembahasan tentang dinamika hubungan kekuasaan, tahapan pengembangan
hubungan kekuasaan ( the dynamics of power teknologi dan kemasyarakatan melahirkan
relations) dari Lenski (1966), menyelipkan 2 lapisan sosial yang diperoleh secara turun-
(dua) tipe masyarakat di antara masyarakat- temurun secara tegas.
masyarakat yang, mengandalkan hidupnya
dari, berburu binatang dan mengumpulkan
hasil tanaman liar, dan masyarakat- 3. Transformasi Sosial-Budaya dalam
masyarakat pertanian, yaitu masyarakat- Masyarakat Indonesia
masyarakat pekebun yang sederhana (simple
horticultural societies) dan masyarakat-
kebaikan dunia. Niat dan kehendak untuk De Jong, P. E. De Josselin. 1984. Unity
membangun kebaikan dan kesejahteraan in Diversity: Indonesia as a Field of
penting disampaikan karena kegiatan-kegiatan Anthropological Study. Dordrecht, Holland:
manusia sehingga mencapai tahapan-tahapan Foris Publications.
peradaban dengan peningkatan kualitasnya
selalu dijalankan bagi kebaikan dan Geertz, Clifford. 1995. After the Fact:
kesejahteraan manusia. Tanpa niat dan Two Countries, Four Decades, One
kehendak untuk meningkatkan kebaikan dan Anthropologist. Cambridge: Harvard
kesejahteraan manusia melalui kegiatan- University Press.
kegiatan yang terus-menerus meningkat
kualitasnya, manusia industrial moderen dan Giddens, Anthony. 1991. Sociology.
pascaindustrial, pascamoderen, mengalami Oxford: Polity Press.
kemunduran kualitas dan terperosok dalam
jurang kekosongan dan kehancuran rohani dan Harris, Marvin, 1978. Cannibals and
jasmani, dengan tanda-tanda serakah terhadap Kings: The Origins of Cultures. London:
alam, kekuasaan dan harta benda, arogan dan Fontana.
sewenang-wenang dalam kekuatan, dan
menutup mata terhadap penderitaan dan nasib Hart, Gillian, Andrew Turton, Benjamin
umat manusia. White. 1989. Agrarian Transformation: local
Processes and the State in Southeast Asia.
Berkeley; University of California Press.