Anda di halaman 1dari 62

Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015

KONSEP MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA DALAM MASA


POSTMODERN (SEBUAH ANALITIS KRITIS)
Suroto
PPKn, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
Alamat e-mail: suroto_unlam@yahoo.com

ABSTRAK

Masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lainnya. Karakteristik
tersebut diantaranya adalah: (1) Pluralistik/keberagaman, (2) sikap saling pengertian antara sesama
anggota masyarakat, (3) toleransi yang tinggi dan (4) memiliki sanksi moral. Karakteristik-karakteristik
tersebut diharapkan senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat madani model Indonesia nantinya.
Keberadaan masyarakat Indonesia dapat dicermati melalui perjalanan bangsa Indonesia. dunia
pendidikan sebagai bagian dari pendidikan umat manusia haruslah senantiasa berpartisipasi untuk
membangun terwujudnya masyarakat madani.

A. Latar Belakang
Perkembangan globalisasi yang pemerintah dan seluruh masyarakat
sedang berlangsung sekarang ini membawa Indonesia.
dampak tersendiri bagi kehidupan masyarakat Masyarakat yang diinginkan tentunya
Indonesia. Kemajuan teknologi komunikasi adalah masyarakat yang damai, sejahtera,
telah membabat habis batas-batas yang terbuka, maju, dan modern atau yang lebih
mengisolasi kehidupan manusia. Karena itu, GLNHQDO VHEDJDL ³Civil Society´ 0DV\DUDNDW
lahirlah apa yang disebut masyarakat terbuka Madani) bukan sebagai masyarakat yang
(open society) dimana terjadi aliran bebas totaliter, yakni masyarakat yang menginjak-
informasi, yakni manusia, perdagangan, serta injak akan hak asasi manusianya sendiri.
berbagai bentuk-bentuk aktivitas kehidupan Masyarakat madani akan tersusun dari
global lainnya yang dapat menyatukan umat masyarakat-masyarakat madani lokal dengan
manusia dari berbagai penjuru dunia. berdasarkan pada kebudayaannya masing-
Masyarakat mau tidak mau dengan masing.
terpaksa harus mau menyadari bahwa betapa Oleh karena itu, dunia pendidikan
pentingnya memperjuangkan hak-hak sebagai bagian dari pendidikan umat manusia
asasinya serta harus mampu bertanggung haruslah senantiasa berpartisipasi untuk
jawab terhadap kehidupan dalam membangun membangun terwujudnya masyarakat madani.
keadaan masyarakatnya sendiri. Oleh karena Baru-baru ini hampir semua masyarakat
itu, kelangsungan hidup manusia mendatang diseluruh dunia menginginkan kehidupan
di negara Indonesia ini sudah menjadi demokrasi partisipatoris, yakni kehidupan
kelaziman apabila menjadi tanggung jawab masyarakat yang menghendaki rakyatnya
bersama untuk memajukannya. Tanggung supaya berkemampuan untuk ikut serta dalam
jawab tersebut bukanlah merupakan tanggung membangun masyarakatnya sendiri.
jawab dari satu masyarakat atau oleh negara Perkembangan demokratisasi masyarakat ini
saja tetapi merupakan tanggung jawab tentunya menuntut suatu pendidikan yang
kolaborasi, yakni sesuai. Sebab pendidikan merupakan bagian
dari proses memasyarakatkan masyarakatnya

664
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015

dengan kebudayaan yang konkrit, maka kehidupannya melalui kerjasama dengan


pembentukan masyarakat madani dengan sesama manusia lain.
sistem nilai yang ingin diwujudkan tidak Dalam bahasa Arab konsep
terlepas dari konfigurasi nilai-nilai yang masyarakat Madani dikenal dengan istilah al-
terdapat dalam kebudayaan setempat. PXMWDPD¶ al-madani, dalam bahasa Inggris
Masalah ini bagi masyarakat dan bangsa disebut dengan istilah civil society. Selain
Indonesia merupakan hal yang wajar dengan kedua istilah tersebut, ada dua istilah yang
realitas kebhinnekaan masyarakat dan merupakan istilah lain dari masyarakat madani
budayanya. yaitu masyarakat sipil dan masyarakat
kewargaan.
B. Rumusan Masalah Civil society berasal dari proses sejarah
Artikel ini membahas mengenai masyarakat Barat. Cicero yang memulai
permasalahan pokok masyarakat madani di menggunakan istilah Societas Civilis dalam
Indonesia, keadaan dan tantangannya ke filsafat politiknya, yang berarti komunitas politik
depan. Karena itu, rumusan masalahnya dapat yang beradap, dan didalamnya termasuk
dirumuskan sebagai berikut : masyarakat kota yang memiliki kode hukum
1. Bagaimana konsep masyarakat madani. tersendiri. Masyarakat madani merupakan
2. Bagaimana karakter masyarakat konsep yang merujuk pada masyarakat yang
Indonesia. pernah berkembang di Madinah pada zaman
3. Apa hambatan dalam mewujudkan Nabi Muhammad SAW, yaitu masyarakat yang
masyarakat madani di Indonesia. mengacau pada nilai-nilai kebijakan umum,
4. Bagaimana tantangan masyarakat madani yang disebut al-khair.
di Indonesia ke depan. Berkenaan dengan pengertian
masyarakat madani atau civil society,
C. Tujuan beberapa ahli saling mengemukakan
Penulisan artikel ini ingin menggali pandangannya yang tentunya berbeda antara
lebih dalam mengenai fenomena kehidupan yang satu dengan yang lainnya, diantaranya
masyarakat Indonesia dalam mewujudkan sebagai berikut: Hikam (Supriatna)
kehidupan madani termasuk tantangan yang berpendapat bahwa civil society secara
harus diwaspadai oleh bangsa Indonesia institusional diartikan sebagai pengelompokan
sendiri. Lebih jelas tujuan yang ingin dicapai anggota-anggota masyarakat sebagai warga
adalah sebagai berikut : negara mandiri yang dapat dengan bebas
1. Ingin mengetahui tentang konsep bertindak aktif dalam wacana dan praktis
masyarakat madani. mengenai segala hal yang berkaitan dengan
2. Ingin mendalami tentang berbagai karakter masalah kemasyarakatan pada umumnya.
masyarakat Indonesia yang dapat
menopang kehidupan madani. Gallner (Supriatna), menunjuk konsep
3. Ingin mengetahui hambatan-hambatan civil society sebagai masyarakat yang terdiri
dalam mewujudkan masyarakat madani. atas berbagai institusi non-pemerintah yang
4. Ingin menganalisa tantangan masyarakat otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi
madani di Indonesia ke depan. negara. Victor Perez-Diaz, menyatakan bahwa
civil society lebih menekankan pada keadaan
D. Apakah Masyarakat Madani itu? pada keadaan masyarakat yang telah
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada mengalami pemerintahan yang terbatas,
hakikat manusia mempunyai kesamaan, yakni memiliki kebebasan, mempunyai sistem
karena kemanusiaannya. Di dalam kesamaan ekonomi pasar dan timbulnya asosiasi-
manusia itu dimungkinkan lahirnya asosiasi masyarakat yang mandiri serta satu
kebudayaan. Dari situlah manusia dapat hidup sama lain saling menompang.
mempertahankan eksistensinya dan bahkan
berkembang membangun

665
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015

Berdasarkan uraian di atas dapat 4. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang


disimpulkan secara umum masyarakat madani disepakati bersama. Masyarakat madani
atau civil society dapat diartikan adalah masyarakat yang berdasarkan
hukum dan bukan negara kekuasaan.
sebagai suatu corak kehidupan masyarakat
yang terorganisir, mempunyai sifat Sementara itu Nurcholis Madjid dalam
kesukarelaan, keswadayaan, kemandirian, sudut pandang lain mengemukakan ciri-ciri
namun mempunyai kesadaran hukum yang masyarakat madani sebagai berikut:
tinggi. 1. Semangat egalitarianisme atau
Untuk mewujudkan cita-cita ke arah kesetaraan.
masyarakat madani dalam kehidupan 2. Penghargaan kepada orang berdasarkan
berbangsa dan bernegara, diperlukan prestasi, bukan prestise seperti keturunan
berbagai prasyarat sebagaimana diungkapkan kesukuan, ras, dan lain-lain.
oleh Han Sung-Jun: 3. Keterbukaan.
1. Diakui dan dilindunginya hak-hak individu 4. Partisipasi seluruh anggota masyarakat.
dan kemerdekaan berserikat serta mandiri 5. Penentuan kepemimpinan melalui
dari negara. pemilihan.
2. Adanya ruang publik yang memberikan
kebebasan bagi siapa saja dalam Sedangkan Hidayat Syarif
mengartikulasikan isu-isu politik. berpandangan bahwa masyarakat madani
3. Terdapatnya gerakan kemasyarakatan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
yang berdasar pada nilai-nilai budaya 1. Masyarakat yang beriman dan bertakwa
tertentu. kepada Tuhan YME, Pancasilais, dan
4. Terdapatnya kelompok inti di antara memiliki cita-cita serta harapan masa
kelompok-kelompok menengah yang depan.
mengakar dalam masyarakat dan mampu 2. Masyarakat yang demokratis dan beradab
menggerakkan masyarakat dalam yang menghargai perbedaan pendapat.
melakukan modernisasi sosial ekonomi. 3. Masyarakat yang menghargai Hak Azazi
Manusia (HAM).
Masyarakat madani (civil society) 4. Masyarakat yang tertib dan sadar hukum
sebagai sebuah tatanan masyarakat yang yang direfleksikan dari adanya budaya
mandiri dan menunjukkan kemajuan dalam hal malu apabila melanggar hukum.
peradaban, mempunyai ciri-ciri atau 5. Masyarakat yang memiliki kepercayaan diri
karakteristik tertentu yang membedakannya dan kemandirian.
dengan bentuk masyarakat lainnya. Menurut 6. Masyarakat yang memiliki pengetahuan
A.S Hikam ada empat ciri utama dari dan kompetitif dalam suasana kooperatif,
masyarakat mandani, yaitu sebagai berikut : penuh persaudaraan dengan bangsa-
1. Kesukarelaan artinya tidak ada paksaan, bangsa lain dengan semangat
namun mempunyai komitmen bersama kemanusiaan universal (pluralis).
untuk mewujudkan cita-cita bersama.
2. Keswasembadaan, setiap anggota
mempunyai harga diri yang tinggi, mandiri E. Masyarakat Madani di Indonesia
yang kuat tanpa menggantungkan pada
negara atau lembaga-lembaga negara Masyarakat Indonesia mempunyai
atau organisasi lainnya. karakteristik yang berbeda dengan negara
3. Kemandirian yang cukup tinggi dari lainnya. Karakteristik tersebut diantaranya
individu-individu dan kelompok-kelompok adalah: (1) Pluralistik/keberagaman, (2) sikap
dalam masyarakat, utamanya ketika saling pengertian antara sesama anggota
berhadapan dengan negara. masyarakat, (3) toleransi yang tinggi dan (4)
memiliki sanksi moral.

666
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015

Karakteristik-karakteristik tersebut pemenuhan hak-hak asasi setiap warga


diharapkan senantiasa mewarnai kehidupan negara yang intinya mengarahkan pada aspek
masyarakat madani model Indonesia nantinya. kemandirian dari setiap warga negara.
keberadaan masyarakat Indonesia dapat Dari zaman orde lama sampai era
dicermati melalui perjalanan bangsa reformasi saat ini, permasalahan perwujudan
Indonesia. Secara historis perwujudan masyarakat madani di Indonesia selalu
menunjukkan hal yang sama. Beberapa
masyarakat madani di Indonesia sebenarnya permasalahan yang bisa menjadi hambatan
sudah mulai dicita-citakan semenjak terjadinya sekaligus tantangan dalam mewujudkan
perubahan sosial ekonomi pada masa kolonial, masyarakat madani model Indonesia, yaitu
terutama ketika kapitalisme mulai sebagai berikut :
diperkenalkan oleh Belanda. Hal ini ikut 1. 6HPDNLQ EHUNHPEDQJQ\D RUDQJ ³PLVNLQ´
mendorong terjadinya pembentukan sosial dan orang yang merasa miskin.
melalui proses industrialisasi, urbanisasi, dan 2. LSM dan partai politik muncul bagaikan
pendidikan modern. Hasilnya antara lain jamur yang tumbuh di musim penghujan
munculnya kesadaran baru di kalangan kaum sehingga memungkinkan berbagai
elit pribumi yang mendorong terbentuknya ³NHWLGDNMHODVDQ´
organisasi sosial modern. Pada masa 3. Pers berkembang pesat dan semakin
demokrasi terpimpin politik Indonesia FDQJJLK WHWDSL MXVWUX ³IHVLPLVPH´
didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa masyarakat yang terjadi.
sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya setiap 4. Kaum cendikiawan semakin banyak tetapi
usaha yang dilakukan masyarakat untuk cenderung berorientasi pada kekuasaan.
mencapai kemandirian beresiko dicurigai 5. Kurang pede untuk bersaing dan
sebagai kontra revolusi. Sehingga senantiasa merasa rendah diri.
perkembangan pemikiran menuju masyarakat
madani kembali terhambat. Mencermati keadaan sekarang, maka
Perkembangan orde lama dan diperlukan sebuah strategi jitu untuk mencapai
munculnya orde baru memunculkan secercah kehidupan yang madani. Proses
harapan bagi perkembangan masyarakat pemberdayaan tersebut menurut Dawam
madani di Indonesia. Pada masa orde baru, Rahardjo dapat dilakukan dengan tiga model
dalam bidang sosial-ekonomi tercipta strategi sebagaimana sebagai berikut :
pertumbuhan ekonomi, tergesernya pola 1. Strategi yang lebih mementingkan integrasi
kehidupan masyarakat agraris, tumbuh dan nasional dan politik.
berkembangnya kelas menengah dan makin 2. Strategi yang lebih mengutamakan
tingginya tingkat pendidikan. Sedangkan reformasi sistem politik demokrasi.
dalam bidang politik, orde baru memperkuat 3. Strategi yang memilih pembangunan
posisi negara di segala bidang, intervensi masyarakat madani sebagai basis yang
negara yang kuat dan jauh terutama lewat kuat ke arah demokratisasi.
jaringan birokrasi dan aparat keamanan. Hal
tersebut berakibat pada terjadinya Sebagaimana yang dikemukakan oleh
kemerosotan kemandirian dan partisipasi Rahardjo, penulis berasumsi bahwa untuk
politik masyarakat serta menyempitkan ruang- mencapai kehidupan madani diperlukan
ruang bebas yang dahulu pernah ada, beberapa suplemen sebagai berikut:
sehingga prospek masyarakat madani kembali 1. Tanamkan nilai religiusme yang didukung
mengalami kegelapan. oleh jaminan keamanan.
Setelah orde baru tumbang dan diganti 2. Tanamkan semangat insan pancasilais.
oleh era reformasi, perkembangan masyarakat 3. Berdayakan kaum cendikiawan/alumni luar
madani kembali menorehkan secercah negeri bangsa Indonesia melalui
harapan. Hal ini dikarenakan adanya pemberian peran riil.
perluasan jaminan dalam hal

667
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015

4. Sanksi tegas terhadap penyelewengan di dalam pembangunan bangsa. Cita-cita


kekuasaan dan anggaran tanpa reformasi yang diinginkan ialah mengakui
mengesampingkan asas praduga tak adanya kebhinnekaan sebagai modal
bersalah. utama bangsa Indonesia dalam rangka
untuk mewujudkan suatu masyarakat
Berdasarkan uraian di atas dapat madani yang menghargai akan perbedaan
disimpulkan bahwa untuk menuju masyarakat sebagai kekuatan bangsa dan sebagai
madani Indonesia tidak ditempuh melalui identitas bangsa Indonesia yang secara
proses yang radikal dan cepat (revolusi), tetapi kultural sangat kaya dan bervariasi.
proses yang sistematis dan berharap serta Seperti yang telah dikemukakan
cenderung lambat (evolusi), yaitu melalui bahwa cita-cita membentuk masyarakat
upaya pemberdayaan masyarakat dalam madani harus menjadi cita-cita yang serius
berbagai aspek kehidupan. bagi bangsa Indonesia sejalan dengan
Melalui era reformasi bangsa berkembangnya kehidupan berdemokrasi.
Indonesia memiliki tujuan untuk membina bahkan ide masyarakat madani telah mulai
suatu masyarakat Indonesia baru dalam dikembangkan sejak jaman Yunani klasik
rangka untuk mewujudkan cita-cita seperti ahli pikir Cicero.
Proklamasi tahun 1945 yaitu membangun Setelah mencermati berbagai ciri
masyarakat Indonesia yang demokratis. masyarakat madani, maka tampak dengan
Masyarakat Indonesia yang demokratis atau jelas bahwa masyarakat madani adalah suatu
masyarakat madani ala Indonesia masyarakat demokratis dan menghargai
merupakan visi dari gerakan reformasi dan human dignity atau hak-hak dan tanggung
juga visi dari reformasi sistem pendidikan jawab manusia. Melihat keadaan masyarakat
nasional. dan bangsa Indonesia maka ada beberapa
Gerakan untuk membentuk masyarakat prinsip khas yang perlu kita perhatikan dalam
madani berkaitan dengan proses membangun masyarakat madani di Indonesia,
demokratisasi yang sedang melanda dunia prinsip-prinsip tersebut ialah:
dewasa ini. Sudah tentu perwujudan a. Kenyataan adanya keragaman budaya
kehidupan yang demokratis untuk setiap Indonesia yang merupakan dasar
bangsa mempunyai ciri-ciri tertentu di samping pengembangan identitas bangsa Indonesia
ciri-ciri universal. Salah satu ciri dari dan kebudayaan nasional.
kehidupan bermasyarakat Indonesia ialah b. Pentingnya adanya saling pengertian
kebhinnekaan dari bangsa Indonesia. Pada masa antara sesama anggota masyarakat.
orde baru unsur kebhinnekaan itu cenderung Seperti yang telah dikemukakan oleh
dikesampingkan dan menekankan sifat kesatuan filosof Isaiah Berlin, yang diperlukan di
bangsa. Padahal justru dalam kebhinnekaan dalam masyarakat bukan sekedar
itulah terletak kekuatan dari persatuan mencari kesamaan dan kesepakatan
bangsa Indonesia. yang tidak mudah untuk dicapai. Justru
Orde Baru telah menghilangkan yang penting di dalam masyarakat yang
kekuatan kebhinnekaan itu dan mencoba bhinneka ialah adanya saling pengertian.
menyusun suatu masyarakat yang uniform Konflik nilai-nilai justru merupakan
sehingga terciptalah suatu struktur dinamika dari suatu kehidupan bersama di
kekuasaan yang sangat sentralistik dan dalam masyarakat madani. Konflik nilai-
birokratik. Hal ini justru telah nilai tidak selalu berarti hancurnya suatu
mengakibatkan disintegrasi bangsa kita kehidupan bersama. Dalam masyarakat
karena dalam usaha menekankan demokratis, konflik nilai akan
persatuan yang mengesampingkan memperkaya horison pandangan dari
perbedaan melalui cara-cara represif, setiap anggota.
berakibat mematikan inisiatif dan c. Berkaitan dengan kedua ciri khas tadi
kebebasan berpikir serta bertindak robotik ialah toleransi yang tinggi. Dengan

668
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
hanya mementingkan sekelompok
demikian masyarakat madani Indonesia manusia seperti manusia yang
bukanlah masyarakat yang terbentuk atau berinteligensi tinggi saja, tentunya tidak
dibentuk melalui proses indoktrinasi tetapi demokratis sifatnya. Demikian pula proses
pengetahuan akan kebhinnekaan dan belajar yang tidak menumbuhkan sikap
penghayatan terhadap adanya kreatif dan bebas serta sanggup
kebhinnekaan tersebut sebagai unsur mengemukakan pendapat, berbeda
penting dalam pembangunan pendapat, dan menghargai pendapat yang
kebudayaan nasional.
d. Akhirnya untuk melaksanakan nilai-nilai lebih baik, perlu dimasukkan di dalam
yang khas tersebut diperlukan suatu proses belajar serta kurikulum. Demikian
wadah kehidupan bersama yang diwarnai pula para pendidik, para dosen yang
oleh adanya kepastian hukum. Tanpa otokratis tidak memungkinkan tumbuhnya
kepastian hukum sifat-sifat toleransi dan sikap demokratis dari para peserta didik.
saling pengertian antara sesama anggota 2. Sikap toleran
masyarakat pasti tidak dapat diwujudkan. Wajah budaya Indonesia yang
bhinneka menuntut sikap toleran yang,
Dari beberapa pendapat di atas, tinggi dari setiap anggota masyarakat.
penulis menyimpulkan bahwa masyarakat Sikap toleransi tersebut harus dapat
Indonesia dikatakan telah berhasil mencapai diwujudkan oleh semua anggota dan
kehidupan madani apabila didalamnya telah lapisan masyarakat sehingga terbentuk
memiliki: suatu masyarakat yang kompak tapi
1. Keimanan dan ketaqwaan yang kokoh. beragam sehingga kaya akan ide-ide baru.
2. Berpendidikan maksimal (berkualitas). Di dalam diskusi yang diselenggarakan
3. Kembali menjadi insan Pancasilais. oleh Indonesian Council on World Affairs
4. Memiliki cita-cita (komitmen) dan harapan (ICWA) Maret 1999, Juwono Sudarsono
(secara kolektif) untuk setara dengan mengemukakan di samping sikap toleransi
negara-negara maju. juga penting sikap kompromi perlu
5. Memiliki kepercayaan diri untuk bersaing. dikembangkan dalam pendidikan.
6. Loyalitas terhadap bangsa dan negara 3. Saling pengertian
Indonesia (bakan terhadap partai politik Di dalam suatu masyarakat
saja). demokrasi, perbedaan pendapat justru
merupakan suatu hikmah untuk
F. Tantangan Masyarakat Madani di Indonesia membentuk suatu masyarakat yang
Masyarakat madani merupakan suatu mempunyai horizon yang luas dan kaya.
kondisi yang senantiasa diidam-idamkan oleh Untuk keperluan tersebut diperlukan
semua lapisan masyarakat di negara pengetahuan dan penghayatan mengenai
Indonesia. Karena itu, tantangan yang harus kebhinnekaan tersebut. Pendidikan
mampu dilakukan oleh seluruh masyarakat nasional harus menampung akan
supaya tercapai kehidupan madani adalah: kebutuhan masyarakat yang beragam
1. Sikap demokratis tersebut. Keanekaragaman budaya daerah
Mengembangkan sikap demokratis haruslah dikembangkan seoptimal
bukan hanya mengenai pembentukan mungkin sehingga pada gilirannya dapat
individu yang mempunyai harga diri, yang memberikan sumbangan kepada
berbudaya, yang memiliki identitas sebagai terwujudnya suatu budaya nasional,
bangsa Indonesia yang bhinneka, tetapi budaya Indonesia. Saling pengertian hanya
juga menumbuhkan sikap demokratis dapat ditumbuhkan apabila komunikasi
tersebut perlu didukung oleh suatu sistem antarpenduduk dan antar etnis
yang juga mengembangkan sikap
demokratis. Sistem pendidikan yang

669
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
dapat terwujud dengan bebas dan intens. bahaya yang inheren di dalam gelombang
Oleh sebab itu pengembangan budaya globalisasi yang perlu diwaspadai dalam
daerah, pertukaran kunjungan antar proses pendidikan. Tantangan-tantangan
masyarakat dan budaya daerah haruslah tersebut ialah regionisasi, polarisasi,
diintensifkan. marginalisasi, dan fragmentasi.
4. Berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa Gelombang globalisasi juga telah
Masyarakat Indonesia yang melahirkan berbagai kerjasama regional
bhinneka dengan beragam nilai-nilai yang pada gilirannya menuntut program
budayanya, namun merupakan ciri khas dan langkah-langkah yang, sesuai di
dari masyarakat Indonesia, adalah dalam pendidikan nasional anggota
masyarakat yang beriman. Manusia yang kerjasama regional tersebut. Dengan
beriman adalah manusia yang berakhlak demikian regionisasi akan memberikan
tinggi oleh karena semua agama yang keuntungan tetapi juga malapetaka bagi
hidup dan berkembang di Indonesia anggota kerjasama regional yang tidak
adalah agama yang mengajarkan nilai- mempersiapkan diri sehingga hanya akan
nilai moral yang tinggi. Keragaman agama menguntungkan anggota-anggota yang
yang hidup dan berkembang di Indonesia lebih siap. Globalisasi juga dapat
menuntut sikap toleransi dan saling menyebabkan polarisasi antara negara
pengertian setiap anggotanya. Oleh sebab yang maju dan negara berkembang. Oleh
itu pendidikan agama di dalam sistem sebab itu negara berkembang harus
pendidikan nasional haruslah pandai-pandai mempersiapkan diri
dilaksanakan begitu rupa sehingga sehingga tidak akan menjadi mangsa dari
terwujudlah suatu kehidupan bersama kekuatan global yang lebih kuat.
yang mengandung unsur-unsur toleransi Akibatnya ialah pemiskinan negara-
serta saling pengertian yang mendalam. negara yang dilindas oleh kekuatan-
Kita perlu menghindari ramalan kekuatan global seperti di dalam ekonomi
Huntington yang memprediksikan adanya dan perdagangan. Selanjutnya,
konflik-konflik budaya dan agama sebagai gelombang globalisasi dapat menjadikan
pengganti konflik kekerasan senjata sekelompok manusia tercecer atau
dalam kehidupan umat manusia pada terbuang dari arus perubahan Proses
melenium ketiga yang akan datang. marginalisasi kita rasakan di dalam era
5. Manusia dan masyarakat yang krisis moneter yang telah mengakibatkan
berwawasan global sejumlah besar rakyat Indonesia hidup di
Masyarakat Indonesia memasuki bawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu
suatu kehidupan baru dalam melenium pendidikan nasional harus, mempunyai
ketiga yaitu masyarakat global yang visi untuk dapat memberdayakan rakyat
ditandai oleh kemajuan teknologi serta banyak sehingga rentan terhadap
perdagangan bebas. Kehidupan global perubahan-perubahan global yang
tersebut memberikan kesempatan- menimpannya Sejalan dengan kekuatan-
kesempatan yang baru tetapi juga kekuatan yang disebut tadi, juga
tantangan-tantangan yang semakin sulit globalisasi dapat menyebabkan
dan kompleks sehingga meminta kualitas fragmentalisasi masyarakat Indonesia di
sumber daya manusia Indonesia yang dalam kelompok-kelompok yang
bukan saja menguasai dan dapat diuntungkan dan kelompok-kelompok
mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi yang dikalahkan akibat kepentingan-
juga yang terampil di dalam memecahkan kepentingan tertentu. Demikian pula
masalah-masalah yang muncul akibat tumbuh-suburnya proses demokrasi
gelombang globalisasi tersebut. Menurut dapat memecah belah kehidupan
pengamatan UNESCO terdapat beberapa berbangsa dan bertanah air sehingga
masyarakat dan bangsa Indonesia dapat

670
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
terpecah belah menjadi masyarakat yang
lemah. Sistem pendidikan nasional Ahdiyana, Mahrita, 2009. PemiluSebagai Wahana
mempunyai tugas untuk melihat secara Pendidikan Politik (Pidato Ilmiah dalam
dini masalah-masalah tersebut di atas Rangka Dies Natalis XXX STIA-AAN
agar supaya dapat mempersiapkan Yoyakarta). Yogyakarta: tidak diterbitkan.
manusia dan masyarakat Indonesia
untuk lebih siap menghadapi tantangan- Brownhill, Robert and Smart Patricia, 1989.
tantangan global tersebut. Political Education. London: New Fetter
Lane.

G. Kesimpulan Huda, Nurul, Urgensi Pendidikan Politik. (On line).


1. Masyarakat madani atau civil society dapat http://pemudapemimpin.
diartikan sebagai suatu corak kehidupan blogspot.com/p/urgensi-pendidikan
masyarakat yang terorganisir, mempunyai politik.html?zx=c9d0a8073bc19230.
sifat kesukarelaan, keswadayaan, Diakses tanggal 28 September 2011.
kemandirian, namun mempunyai
kesadaran hukum yang tinggi. Lutfiah, 2007. Urgensi Pendidikan dalam Budaya
2. Masyarakat Indonesia mempunyai Politik. (On line). http://
karakteristik yang berbeda dengan negara insaniaku.files.wordpress.com/2009/03/2-
lainnya. Karakteristik tersebut diantaranya urgensi-pendidikan-dalambuda ya -politik-
adalah: (1) Pluralistik/keberagaman, (2) lutfiyah.pdf. diakses tanggal 28 September
sikap saling pengertian antara sesama 2011.
anggota masyarakat, (3) toleransi yang
tinggi dan (4) memiliki sanksi moral. Nasiwan, 2005. Model Pendidikan Politik: Studi
3. Beberapa permasalahan yang bisa Kasus PKS DPD Sleman, Yogyakarta.
menjadi hambatan sekaligus tantangan Yogyakarta : Cakrawala Pendidikan
dalam mewujudkan masyarakat madani
model Indonesia, yaitu sebagai berikut : (a) Roqib, Muh, 2010. Politik Pendidikan dan
VHPDNLQ EHUNHPEDQJQ\D RUDQJ ³PLVNLQ´ Pendidikan Politik. (On line) http://makalah-
dan orang yang merasa miskin, (b) LSM gratis.blogspot.com/2010/03/makalah-
dan partai politik muncul bagaikan jamur pendidikan-politik-pendidikan.html.
yang tumbuh di musim penghujan Diakses tanggal 28 September 2011.
sehingga memungkinkan berbagai
³NHWLGDNMHODVDQ´ F SHUV EHUNHPEDQJ Sumantri, Endang, 1993. Pendidikan Moral: Suatu
pesat dan semakin canggih tetapi justru Tinjauan dari Sudut Konstruksi dan
³IHVLPLVPH´ PDV\DUDNDW \DQJ WHUMDGL G Proposisi. Bandung: Tidak diterbitkan.
kaum cendikiawan semakin banyak tetapi
cenderung berorientasi pada kekuasaan, Sumantri, Endang. 2008. An Outline Citizenship
(e) kurang pede untuk bersaing dan and Moral Education in Major Countries of
senantiasa merasa rendah diri. Southeast Asia. Bandung: Bintang
4. Tantangan yang harus dihadapi oleh Warliartika.
masyarakat Indonesia ke depan adalah (1)
sikap demokratis, (2) sikap toleran, (3) 6XSULDWQD 1DQD «« Hakikat Masyarakat
saling pengertian, (4) berakhlak tinggi, Madani. (On-line) Tersedia: http://frog-
beriman dan bertaqwa, (5) berwawasan belajar.blogspot.com/2010/12/hakikat-
global. masyarakat-madani.html. Diakses tanggal
28 September 2011

H. Daftar Pustaka

671
SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
(Ditinjau dari Prespektif Sejarah Bangsa Indonesia)

Tridays Repelita 1
Dosen Universitas Buana Perjuangan Karawang
Jl. HS. Ronggo Waluyo, Puseur Jaya, Teluk Jambe Timur, Kabupaten Karawang

ABSTRAK
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang digunakan di Negara Republik Indonesia
(NKRI). Pada perkembangannya, dengan semakin pesatnya arus globalisasi, modernisasi, ilmu
pengetahuan, teknologi, Bahasa Indonesia harus dapat menjadi sebuah instrumen dalam melakukan
komunikasi utama di Indonesia. Penelitian ini lebih relevan menggunakan metode penelitian pustaka,
alasan dikarenakan persoalan penelitian ini hanya bisa dijawab lewat penelitian pustaka dan sebaliknya
tidak mungkin mengharapkan datanya dari riset lapangan. Untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia,
telah diadakan 10 kali kongres bahasa Indonesia yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga
eksistensi bahasa Indonesia di dalam perkembangan globalisasi dan modernisasi. Kongres bahasa
Indonesia yang 1 dilaksanakan di Kota Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 25-28 Juni Tahun 1938,
Kongres bahasa Indonesia II dilaksanakan di Kota Medan, Sumatra Utara, pada 28 Oktober-1 November
1954, Kongres bahasa Indonesia III dilaksanakan di Ibukota Jakarta, pada 28 Oktober-2 November
1978, Kongres bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta, dari 21-26 November 1983, Kongres
bahasa Indonesia yang V dilaksanakan di Jakarta, pada 28 Oktober-3 November 1988, Kongres bahasa
Indonesia yang VI dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober-2 November 1993, Kongres bahasa
Indonesia VII dilaksanakan di Hotel Indonesia, Jakarta, yakni pada 26-30 Oktober 1998, Kongres bahasa
Indonesia VIII diselenggarakan di Jakarta, yakni pada 14-17 Oktober 2003, Kongres bahasa Indonesia
IX dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober -1 November 2008, Kongres bahasa Indonesia yang
X dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28-31 Oktober 2013.

Kata Kunci: Perkembangan Bahasa Indonesia, Kongres Bahasa Indonesia

ABSTRACT
Indonesian is the national language used in the Republic of Indonesia (NKRI). In its development,
with the rapid flow of globalization, modernization, science, technology, Indonesian Language must be
able to become an instrument in making key communications in Indonesia. This research is more
relevant using the library research method, the reason being that this research problem can only be
answered through library research and conversely it is impossible to expect the data from field research.
To maintain the existence of the Indonesian language, 10 Indonesian congresses have been held which
aim to maintain and maintain the existence of Indonesian in the development of globalization and
modernization. The 1st Indonesian Language Congress was held in Solo City, Central Java, on June
25-28, 1938, the Indonesian Language Congress II was held in Medan City, North Sumatra, on October
28-November 1, 1954, the Indonesian Language Congress III was held in the capital city Jakarta, on
28 October-2 November 1978, the IV Indonesian Language Congress was held in Jakarta, from 21-26
November 1983, the V-Indonesian Congress was held in Jakarta, on 28 October-3 November 1988, the
VI Indonesian Language Congress was held in Jakarta , namely on October 28-November 2, 1993, the
VII Indonesian Language Congress was held at Hotel Indonesia, Jakarta, namely on 26-30 October
1998, the VIII Indonesian Language Congress was held in Jakarta, namely on 14-17 October 2003, the
IX Indonesian Congress was held in Jakarta, namely on 28 October -1 November 2008, the Indonesian
Language Congress X was held in Jakarta, namely on 28-31 October 2013.

Keywords: Indonesian Language Development, Indonesian Language Congress

1
Penulis Koresponden
E-mail address: tridaysrepelita@yahoo.com
doi: http://dx.doi.org/10.25157/ja.v5i1.1927 Copyright©2018 Jurnal Artefak e-ISSN: 2580-0027

Halaman | 45
Jurnal Artefak:
History and Education, Vol.5 No.1 April 2018

PENDAHULUAN Sebelum adanya bahasa Indonesia, belum ada


bahasa yang memiliki fungsi untuk
Indonesia merupakan sebuah negara mempersatukan bangsa dalam prespektif
berkembang di kawasan Asia Tenggara. Dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Seiring
letak geografis Negara Indonesia yang terdiri diikrarkan Sumpah para pemuda nusantara pada
dari beberapa pulau yang terpisah oleh lautan, tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta, menjadi titik
mengakibatkan Indonesia memiliki banyak awal perkembangan bahasa Indonesia sebagai
sekali perbedaan. Budaya yang berbeda dan bahasa nasional.
bahasa yang berbeda menjadi keunikan Bahasa Indonesia merupakan bahasa
tersendiri bagi Negara Indonesia itu sendiri. nasional yang digunakan di Negara Republik
Apabila ditinjau dari prespektif historis Indonesia (NKRI). Pada perkembangannya,
Negara Indonesia, bahasa Indonesia diadopsi dengan semakin pesatnya arus globalisasi,
dari prototipe bahasa Melayu. Bahasa Melayu modernisasi, ilmu pengetahuan, teknologi,
merupakan salah satu bahasa daerah yang berada Bahasa Indonesia harus dapat menjadi sebuah
di Negara Indonesia. Bahasa Melayu telah instrumen dalam melakukan komunikasi utama
dipakai sebagai lingua franca selama berabad- di Indonesia. Melihat keadaan tersebut, berbagai
abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air steakholder harus mempunyai inovasi agar
kita. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang Bahasa Indonesia dapat senantiasa beradaptasi
ditemukan, seperti: prasasti yang ditemukan di mengikuti perkembangan zaman agar bahasa
Palembang, Jambi dan Bangka, dapat diambil Indonesia memiliki kedaulatannya tersendiri di
sebuah analisia bahwa bahasa Melayu sudah Negara Indonesia.
dipergunakan sejak dulu di beberapa wilayah Upaya untuk terus menjaga dan
Indonesia khususnya di wilayah-wilayah mengembangkan Bahasa Indonesia dilakukan
sumatera dan terdapat beberapa kerajaan besar dengan berbagai cara. Salah satu cara untuk terus
yang berpengaruh pada saat itu. Kerajaan menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yaitu dengan diadakannya beberapa kongres
yang terletak di wilayah Sumatera. Seiring bahasa Indonesia. Pada dasarnya kongres-
dengan kejayaan kerajaan Sriwijaya, bahasa kongres yang dilaksanakan merupakan wujud
Melayu mengalami perkembangan yang dari eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa
signifikan. Perubahan sosio kultural pada tata nasional yang harus tetap berkembang sesuai
kehidupan masyarakat terus berlangsung searah dengan perkembangan zaman dari masa ke
dengan perkembangan zaman, termasuk masa. Dari kongres yang telah dilaksanakan
perubahan kedudukan bahasa Melayu bagi telah menghasilkan beberapa inovasi yang
bangsa Indonesia. Pada saat perjuangan ditunjukan untuk eksistensi bahasa Indonesia
kemerdekaan, bangsa Indonesia memerlukan seiring dengan perkembangan zaman dan
alat pemersatu dalam berinteraksi antar suku teknologi.
bangsa yang ada di Indonesia. Dipilihlah bahasa Dalam konteks kedudukannya sebagai
Melayu sebagai bahasa pemersatu bangsa di bahasa nasional negara Indonesia, bahasa
Indonesia. Pada peristiwa Sumpah Pemuda Indonesia memiliki fungsi:
tanggal 28 Oktober 1928 ditetapkan bahasa 1. lambang kebanggaan nasional;
Melayu menjadi bahasa Indonesia. Penetapan itu 2. lambang identitas nasional;
pun merupakan awal bahasa Indonesia 3. Alat pemersatu berbagai suku bangsa yang
berkedudukan sebagai bahasa nasional. berlatar belakang sosial budaya dan bahasa
Bahasa Indonesia pertama kali di akui yang berbeda, dan
sebagai bahasa nasional bertepatan dengan 4. Alat perhubungan antar daerah dan antar
sebuah peristiwa bersejarah dalam perjalanan budaya.
Bangsa Indonesia, peristiwa tersebut sering kita
kenal dengan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Sebagai sebuah simbol identitas nasional,
Oktober 1928. Tujuan dari lahirnya bahasa bahasa Indonesia merupakan cerminan dari
Indonesia pada saat sumpah pemuda pada nilai-nilai sosial budaya bangsa yang mendasari
dasarnya agar bangsa Indonesia memiliki bahasa rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Melalui
persatuan yang dapat mempersatukan bangsa bahasa Indonesia, bangsa Indonesia berusaha
Indonesia melalui bahasa yang dilatar belakangi untuk mengkristalisasikan semangat keber-
oleh banyaknya bahasa daerah yang ada.

Halaman | 46
Tridays Repelita
Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
(Ditinjau dari Prespektif Sejarah Bangsa Indonesia)
samaannya dalam kehidupan berbangsa dan telah dilakukan secara sadar oleh para
bernegara. cendikiawan dan budayawan Indonesia pada
Dilandasi hal tersebut, sudah sepatutnya waktu itu. Sampai pada akhirnya pada 18
bahasa Indonesia di lestarikan dengan Agustus 1945 disyahkannya Undang -Undang
seutuhnya, Begitu pula dengan kebanggan Dasar 1945, pada Pasal 36 menetapkan bahasa
individu untuk ber bahasa Indonesia agar Indonesia sebagai bahasa negara.
senantiasa memakai bahasa Indonesia sebagai Diresmikannya penggunaan Ejaan Republik
bahasa sehari-hari, sehingga terwujud sikap sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang
positif bangsa Indonesia terhadap bahasanya berlaku sebelumnya, peresmian ini terjadi pada
sendri. Untuk itu kesadaran akan kaidah tanggal 19 Maret 1947.
pemakaian bahasa Indonesia harus selalu
ditingkatkan. 2. Kongres Bahasa Indonesia II
Kongres bahasa Indonesia yang kedua
dilaksanakan pada 28 Oktober-1 November
METODE PENELITIAN 1954 di Kota Medan, Sumatra Utara,. Kongres
bahasa Indonesia ini merupakan sebuah tindakan
Penelitiian ini merupakan penelitian atau rasionalisasi dari keinginan yang kuat dan keras
riset kepustakaan. Penelitihan pustaka atau riset dari bangsa Indonesia untuk selalu
pustaka ialah serangkaian kegiatan yang menyempurnakan bahasa Indonesia yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data dijadikan bahasa nasional.
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah Pemerintah pada 16 Agustus 1972,
bahan koleksi perpustakaan saja tanpa meresmikan penggunaan Ejaan yang
memerlukanriset lapangan (Mestika, 2004:3). Disempurnakan (EYD) yang diperkuat dengan
Penelitian ini lebih relevan menggunakan adanya Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972.
metode penelitian pustaka, alasan dikarenakan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada 31
persoalan penelitian ini hanya bisa dijawab lewat Agustus 1972, menetapkan Pedoman Umum
penelitian pustaka dan sebaliknya tidak mungkin Bahasa Ejaan Bahasa Indonesia yang
mengharapkan datanya dari riset lapangan. Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh
wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3. Kongres Bahasa Indonesia III
Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga Kongres bahasa Indonesia ketiga
eksistensi bahasa Indonesia menjadi bahasa dilaksanakan pada 28 Oktober-2 November
nasional. Upaya pemerintah dan para tokoh 1978 di Ibukota Jakarta. Hasil yang didapat dari
bahasa yang memiliki komitmen terhadap kongres bahasa Indonesia ketiga ini yaitu
pelestarian bahasa Indonesia mengadakan memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan
kongres-kongres dalam rangka membahas perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun
perkembangan bahasa Indonesia, Pertemuan 1928 dan selalu berusaha dengan optimal untuk
yang rutin dilaksanakan ini diberi nama kongres memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa
bahasa Indonesia. Keberlngsungan Kongres- Indonesia.
kongres tersebut sangatlah penting bagi proses
perkembangan bahasa Indonesia. Oleh karena 4. Kongres Bahasa Indonesia IV
dengan adanya kongres bahasa Indonesia, Kongres bahasa Indonesia keempat
muatan dari bahasa Indonesia menjadi lebih diselenggarakan pada tanggal 21-26 November
komprehensif dan di sesuaikan dengan 1983 di Jakarta. Pada pelaksanaan kongres
perkembangan zaman. Berikut ini kongres bahasa Indonesia ke empat bertepatan dengan
bahasa Indonesia yang sudah dilaksanakan: hari Sumpah Pemuda yang ke-55 yang
1. Kongres Bahasa Indonesia I (Pertama) menghasilkan kesepakatan bahwa pembinaan
Kongres bahasa Indonesia yang pertama dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih
dilaksanakan pada tanggal 25-28 Juni tahun ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di
1938 di kota Solo, Jawa Tengah. Kongres dalam GBHN, yang mewajibkan kepada seluruh
pertama ini menghasilkan beberapa kesepakatan warga negara Indonesia untuk menggunakan
dan kesepahaman yakni urgensi dari usaha bahasa Indonesia yang baik dan benar tercapai
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia seoptimal mungkin.

Halaman | 47
Jurnal Artefak:
History and Education, Vol.5 No.1 April 2018

5. Kongres Bahasa Indonesia V Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud),


Kongres bahasa Indonesia yang kelima merekomendasikan hal-hal yang perlu dilakukan
dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober-3 pemerintah.
November 1988 di Jakarta.. Pada kongres bahasa
Indonesia kelima ini, dilahirkan karya
monumental yaitu sebuah Kamus Besar Bahasa PENUTUP
Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Simpulan
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi
6. Kongres Bahasa Indonesia VI Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bahasa
Kongres bahasa Indonesia yang keenam persatuan bangsa Indonesia. Untuk menjaga
dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober-2 eksistensi bahasa Indonesia, telah diadakan 10
November 1993 di Jakarta. Hasil dari kongres kali kongres bahasa Indonesia yang bertujuan
bahasa Indonesia kelim diantaranya yaitu untuk memelihara dan menjaga eksistensi
pengusulan Pusat Pembinaan dan bahasa Indonesia di dalam perkembangan
Pengembangan Bahasa Indonesia ditingkatkan globalisasi dan modernisasi. Kongres bahasa
statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, Indonesia yang 1 dilaksanakan di Kota Solo,
di samping mengusulkan disusunnya Undang- Jawa Tengah, pada tanggal 25-28 Juni tahun
Undang Bahasa Indonesia. 1938, Kongres bahasa Indonesia II dilaksanakan
di Kota Medan, Sumatra Utara, pada 28
7. Kongres Bahasa Indonesia VII Oktober-1 November 1954, Kongres bahasa
Kongres bahasa Indonesia ketujuh Indonesia III dilaksanakan di Ibukota Jakarta,
dilaksanakan pada tanggal 26-30 Oktober 1998 pada 28 Oktober-2 November 1978, Kongres
di Jakarta. Hasil dari kongres bahasa Indonesia bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta,
ke tujuh yaitu mengusulkan dibentuknya Badan dari 21-26 November 1983, Kongres bahasa
Pertimbangan Bahasa Indonesia Indonesia yang V dilaksanakan di Jakarta, pada
28 Oktober-3 November 1988, Kongres bahasa
8. Kongres Bahasa Indonesia VIII Indonesia yang VI dilaksanakan di Jakarta, yakni
Kongres bahasa Indonesia kedelapan pada 28 Oktober-2 November 1993, Kongres
diselenggarakan pada tanggal 14-17 Oktober bahasa Indonesia VII dilaksanakan di Hotel
2003 di Jakarta. Pada kongres bahasa Indonesia Indonesia, Jakarta, yakni pada 26-30 Oktober
ke tujuh menghasilkan kesepakatan pengusulan 1998, Kongres bahasa Indonesia VIII
bulan Oktober dijadikan bulan bahasa. Agenda diselenggarakan di Jakarta, yakni pada 14-17
pada bulan bahasa adalah berlangsungnya Oktober 2003, Kongres bahasa Indonesia IX
seminar bahasa Indonesia di berbagai lembaga dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober
yang memperhatikan bahasa Indonesia. -1 November 2008, Kongres bahasa Indonesia
yang X dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28-
9. Kongres Bahasa Indonesia IX 31 Oktober 2013.
Kongres bahasa Indonesia kesembilan
dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober-1
November 2008 di Jakarta. Kongres bahasa DAFTAR PUSTAKA
Indonesia ke lima membahas lima hal utama,
yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, Sukartha, I Nengah, dkk. 2010. Bahasa
penggunaan bahasa asing, pengajaran bahasa Indonesia Akademik Untuk Perguruan
dan sastra, serta bahasa media massa. Kongres Tinggi. Bali: Udayana University Press
bahasa ini berskala internasional yang Nasucha, Yakub. 2010. Bahasa Indonesia untuk
menghadirkan pembicara-pembicara dari dalam Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta:
dan luar negeri. Media Perkasa.
Lawson, F.R 1981. Conference, Convention &
10.Kongres Bahasa Indonesia X Exhibition Facilities. London
Kongres bahasa Indonesia yang kesepuluh Mestika, Zed. 2004. Metode Penelitihan
dilaksanakan pada tanggal 28-31 Oktober 2013 Kepustakaan. Jakarta: Yayasan bogor
di Jakarta. Hasil dari kongres bahasa Indonesia Indonesia
ke sepuluh merekomendasikan yaitu Menteri

Halaman | 48
View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE
provided by Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
Volume 14, Nomor 1, Juli 2010 (23-46)
ISSN 1410-4946

Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban


Agus Sudibyo*

Abstract

The emergence of civil society in Indonesia has always been located in


a framework to deal with such a strong state hegemony. Civil society
is located as the antithesis to the state. This article argues that civil
society in Indonesia is also facing the threat of the existence of civil
society itself, so uncivil society emerged as a threat to civil society
that comes from civil society itself. In addition, a serious threat to
civil society also emerged from the stronger market intervention.

Kata-kata Kunci:
Masyarakat warga; keberadaban; demokrasi; pasar.

Pendahuluan
Sejauh ini, sudah terlanjur mapan pandangan yang menempatkan
masyarakat warga atau masyarakat sipil sebagai kekuatan yang lahir untuk
mengimbangi dan mengontrol kekuasaan negara. Kecenderungan negara
yang despotik dan sewenang-wenang dipahami sebagai syarat ontologis
bagi munculnya fenomena masyarakat warga. Problem utama masyarakat
warga dengan demikian adalah negara yang otoriter, anti-demokrasi atau
anti-kebebasan.

* Agus Sudibyo adalah Anggota Dewan Pers 2010-2013. Ia bisa dihubungi melalui email
pringgodani2@gmail.com.

23
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

Namun persoalan menjadi berbeda dengan munculnya kasus seperti


penyerangan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBP) di Monumen
Nasional Jakarta awal Juni 2008. Kasus kekerasan ini jelas merupakan fakta
masyarakat warga yang menggambarkan bagaimana kelompok-kelompok
dalam masyarakat pluralistik berinteraksi satu sama lain, bagaimana
perbedaan dan keragaman diperlakukan, serta bagaimana peran negara
pada aras itu.
Pada kasus kekerasan FPI terhadap AKKBP, jelas pula problem
masyarakat warga bukan tendensi negara yang otoriter dan despotik.
Tak ada sosok negara yang kuat dan otoritatif pada kasus ini. Yang ada
adalah peragaan telanjang state of nature, naluri instingtif-alamiah manusia,
perilaku tidak beradab kelompok masyarakat terhadap kelompok
masyarakat yang lain. Pada kasus ini, masyarakat warga dihadapkan pada
kondisi tidak adanya tatanan untuk ‘kebersaman dalam keberagaman’,
yang mampu menjamin keselamatan dan kenyamanan warga masyarakat
untuk menjalankan aktivitas di ruang publik, entah dalam bentuk undang-
undang, hukum, etika publik, solidaritas sosial dan seterusnya.
Kekerasan FPI terhadap AKKBP, sebagaimana kasus kekerasan
dan ketidakberadaban tindakan-tindakan dalam relasi antarwarga
masyarakat yang msih kerap terjadi di negeri ini hingga kini, menjadi
titik-tolak untuk merenungkan kembali, apakah sesungguhnya fenomena
masyarakat warga? Bagaimana genealogi lahirnya masyarakat warga? Apa
saja problem-problemnya? Bagaimana duduk-perkara hingga akhirnya
muncul pemahaman tentang masyarakat warga sebagai antinomi dari
negara? Tulisan ini memberikan tinjauan atas perkembangan teori tentang
masyarakat warga tersebut.
Pada bagian pertama, akan dijelaskan versi awal masyarakat warga
sebagai pengertian yang diberikan kepada adanya masyarakat dengan
suatu tatatan vis a vis masyarakat yang tanpa tatanan dan hidup dalam
situasi barbar, perang semua melawan semua. Masyarakat warga perlu
dibentuk karena tidak mungkin lagi manusia hidup dengan insting alamiah
dan kebebasannya yang tanpa batas. Bagian kedua menjelaskan konteks
sejarah ‘perpecahan’ antara masyarakat warga dengan negara. Mengapa
kekuatan negara harus dikontrol? Dan masyarakat seperti apakah yang
dapat melakukannya? Bagian ketiga menjelaskan kemunculan masyarakat

24
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

warga dalam kaitannya dengan fenomena perdagangan dan komersialisasi.


Persoalannya, apakah perdagangan menjadi faktor pendorong
perkembangan lebih advance dari masyarakat warga, atau sebaliknya
perdagangan justru merusak sendi-sendi kebersamaan, solidaritas, empati
sosial, nilai-nilai kewargaan sebagai sendi-sendi penopang masyarakat
warga. Bagian keempat menampilkan pandangan-pandangan kritis tentang
fenomena masyarakat warga.

Ketidakberadaban: Problem Asali Masyarakat Warga


Fenomena masyarakat warga dapat dilacak dari karya klasik
Aristoteles berjudul Politics. Dalam buku ini, Aristoteles membahas
tentang koinonia politike sebagai konsep awal dari masyarakat warga.
Koinonia politike dalam perjalanannya diterjemahkan sebagai politica
communicatio, communitas politica, Civilis communitas, societas civilis
hingga akhirnya menjadi Civil society. Merujuk pada hasil terjemahan
tokoh Renaissance Italia, Leonardo Bruni, atas karya Aristoteles tersebut,
koinonia politike merujuk pada pengertian tentang: pemerintahan negara
republik, komunitas hidup bersama, tatanan sosial, komunitas beradab,
tata hidup beradab, atau nilai-nilai keadaban. Keberagaman makna
inilah yang membentuk perkembangan makna masyarakat warga dalam
sejarah selanjutnya.
Dalam konteks Aristotelian, masyarakat warga adalah ‘kondisi
tatanan sosial’ sebagai kebalikan dari ‘kondisi hukum rimba’, keberadaban
versus barbarisme. Keberadaban dimungkinkan oleh kapasitas manusia
untuk berpikir secara moral hingga menghasilkan produk hukum,
undang-undang, dan konstitusi. Sedangkan masyarakat barbar merujuk
pada kehidupan yang melulu disandarkan pada hukum rimba, pada
naluri-naluri alami manusia yang saling beradu satu sama lain. (Politics,
buku I, bab 2).1
Aristoteles tidak sendirian di sini. Pandangan aristotelian tentang
masyarakat warga itu juga dapat ditemukan dalam pemikiran beberapa
pemikir pada jaman yang berbeda. Dalam buku Of the Law of Ecclesiastical
Polity, Richard Hooker (1554-1600) mengasalkan terbentuknya masyarakat
warga dari kecenderungan-kecenderungan alamiah (natural inclination)

1 B Herry Priyono, Sketsa Evolusi Istilah Civil Society, manuskrip pengantar kuliah
“Membaca Ulang Civil Society”, 2008, hlm. 2.

25
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

yang mendorong manusia untuk membentuk kehidupan sosial dan


ikatan persahabatan. Sebelum terbentuknya masyarakat warga, manusia
digambarkan hidup dalam lingkaran ketakutan, ancaman dan bahaya
karena manusia berhadap-hadapan satu sama lain dengan kepentingan
dan naluri masing-masing. Maka masyarakat warga sesungguhnya
terbentuk melalui logika negatif, dengan mekanisme leisure of evil:
hukum dan aturan diciptakan justru untuk membatasi dan memblokir
insting-insting gelap manusia. Untuk mengatasi situasi saling melanggar,
menyakiti dan menyengsarakan antarindividu, tak ada cara lain kecuali
mengembangkan kesepakatan dan peraturan di antara mereka, dengan
membentuk pemerintahan (government public). Kepada pemerintahan
ini diatribusikan otoritas untuk mengatur dan memerintah kehidupan
bersama guna menciptakan perdamaian, kesetaraan dan kebahagiaan
bersama.
Muncul kesadaran bahwa tidaklah mungkin manusia secara rasional
bertindak hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya sendiri. Jika
setiap orang secara partikular hanya mengurusi dirinya sendiri dan orang-
orang yang berada dalam kekuasaannya, maka yang tercipta adalah situasi
pertengkaran dan konflik yang tak ada akhirnya.2 Situasi ini hanya akan
berakhir jika muncul kesadaran bersama (common consent) tentang perlunya
pemerintahan untuk mengatur kehidupan antar individu dan antarkelompok.
Dengan demikian, masyarakat warga ditandai dengan adanya tiga unsur:
komunitas politik, pemerintahan dan hukum. Isi dari masyarakat warga
adalah ketaatan pada hukum, persetujuan hidup bersama, kesetaraan
dan penyelenggaraan pemerintahan. Lawan masyarakat warga dengan
demikian adalah kondisi-kondisi tidak adanya hukum, pemerintahan, dan
komunitas politik. Meskipun masyarakat warga tidak pernah terbentuk

2 Richard Hooker “Civil society as political society”, dalam John A. Hall and Frank
Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory and Global Politics, Palgrave
Macmillan, 2005, hlm. 2: Inasmuch as every man is towards himself, and them whom he
greatly affecteth, partial; and therefore that strifes and troubles would be endless; except they
gave their common consent all to be ordered by some whom they should agree upon: without
which consent, there were no reason that one man should take upon him to be lord or judge over
another; because althougth there be according the the opinion of some very great and judicious
men, a kind of natural right in the noble, wise, and virtuous, to govern them which are of
servile disposition; nevertheless for manifestation of this their right, and men’s more peacable
contentment on both sides, the assent of them who are to be governed seemeth necessary.

26
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

secara sempurna, adanya masyarakat warga tetap lebih baik daripada ketika
kehidupan manusia dihadapkan pada benturan-benturan state of nature.3
Pada konteks yang sama, Filsuf Inggris dan kritikus Thomas Hobbes
yang tersohor, John Locke (1632-1704) melihat masyarakat warga sebagai
tatanan sosial yang terbentuk karena benturan keadaan alamiah, state of nature
manusia. Masyarakat warga diperlawankan dengan chaos ketika manusia
saling berhadap-hadapan dengan state of nature masing-masing. Manusia
dilahirkan dengan kebebasan yang sempurna dan perwujudan yang tak
terkontrol atas hak-hak dan privilese masing-masing. Manusia menggunakan
state of nature untuk melindungi hak milik dari berbagai pelanggaran atau
penyerobotan pihak lain serta untuk menjatuhkan hukuman bagi siapa saja
yang melanggar state of nature tersebut. Masyarakat politik adalah sebuah
tatanan sosial yang diciptakan untuk mengatasi state of nature yang menjadi
problematis ketika relasi antar manusia semakin kompleks.
Problem utama masyarakat warga adalah state of nature dan
individualitas, bukan negara atau kekuasaan-kekuasaan yang terlembaga.
Masyarakat warga pertama-tama adalah keluarga, lalu menjadi komunitas
warga, meningkat menjadi masyarakat politik dan berujung pada
terbentuknya institusi formal negara. Masyarakat warga atau political
society dibentuk dengan tujuan yang spesifik: menjamin hak milik pribadi
dan melakukan penertiban sosial dengan menjatuhkan sanksi bagi para
pelanggar peraturan.4

3 Hooker, ibid., hlm. 28: Nature furnished man with wit and valour, and as it were with armour, which
may be used as well unto extreme evil as good? Yea, were they not used by the rest of the world unto
evil; unto the contrary only by Seth, Enoch, and those few the rest in that line? We all make complaint
of the iniquity of our times, not unjustly, for the days are evil. But compare with those times wherein
there was as yet no manner of public regiment established, with those times wherein there were not
above eight righteous persons living upon the face of the earth; and we have surely good cause to think
that God hath blessed us exceedingly, and hath made us behold most happy days.
4 John Locke, “Masyarakat warga vs the state of nature”, dalam Hall and Trentmann (ed.),
Civil Society..., op.cit., hlm. 31: But because no political society can be nor subsist without having
in itself the power to preserve the property, and in order thereunto, punish the offences of all those
of that society, there, and there natural power, resigned it up into the hands of the community in all
cases that exclude him not from appealing for protection to the law established by it; and thus all
private judgement of every particular member being excluded, the community comes to be umpire;
and by understanding indifferent rules and men authorised by the community for their execution,
decided all the difference that may happen between any members of that society concerning any
matter of right, punishes thoses offences which any member hath commited againt the society....

27
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

Locke membedakan antara orang yang bermasyarakat dengan


orang yang tidak bermasyarakat. Yang pertama bersatu dalam satu tubuh
komunitas, mempunyai hukum bersama yang mapan dan otoritatif untuk
memutuskan sengketa dan menjatuhkan sanksi, mempunyai mekanisme
peradilan yang terbuka bagi kemungkinan mengoreksi hukum. Yang
kedua tidak disatukan oleh sistem hukum yang sama, di mana setiap orang
bisa menjadi hakim dan eksekutor bagi dirinya sendiri, dan berinteraksi
dengan lingkungan sekitar sepenuhnya insting-insting alamiah.5
Gambaran tentang state of nature sebagai pendorong terbentuknya
masyarakat warga lebih dramatis lagi di tangan Thomas Hobbes. Hobbes
menegaskan, seluruh kelakuan manusia dapat dikembalikan pada satu
hal saja: perasaan takut terhadap maut dan naluri untuk menyelamatkan
diri darinya. Jika keadaan alamiah sebagai titik tolak tindakan manusia,
ini berarti semua orang bebas bertindak, karena tidak ada lembaga atau
otoritas yang berwenang mengatur individu dan masyarakat. Semua
orang sama kedudukannya, sama-sama memiliki hak-hak alamiah,
terutama hak untuk membela diri. Semua orang hidup sendiri-sendiri,
sesuai dengan kebutuhan individual masing-masing.
Keadaan inilah yang akhirnya menyadarkan individu-individu
untuk memikirkan tindakan bersama. Mereka lalu mengadakan perjanjian
di antara mereka sendiri untuk mendirikan lembaga yang berwenang
mutlak untuk menata semua orang dan menuntut ketaatannya terhadap
undang-undang. Mereka menyerahkan semua hak alamiah mereka
kepada lembaga itu, kecuali hak untuk melindungi diri. Dari perjanjian
bersama ini lahirlah negara. State of nature ditempatkan Hobbes sebagai
ikhwal lahirnya negara. Namun yang kurang menonjol dari Hobbes adalah
penjelasan tentang masyarakat warga. Hobbes tidak menjelaskan bahwa
sebelum atau di samping fenomena negara, ada fenomena masyarakat
warga.
Jika Hooker bicara tentang natural inclination, dan Locke dan
Hobbes bicara tentang state of nature, maka filosof besar Jerman, Immanuel

5 Locke, ibid., hlm. 31: whereby it is easy to discern who are and are not in political society
together. Those who are united into one body, and have a common established law and judicature
ta appeal to, with authority to decide controversies between them and punish offenders, are in
masyarakat warga one with another; but those who have no such common appeal – I mean on
earth—are still in the state of nature, each being, where there is no other, judge for himself and
executioner, which is, as I have before shown it, the prefect state of nature. (hlm. 31)

28
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

Kant (1724-1804) berbicara tentang antagonisme sosial sebagai dasar


ontologis kelahiran masyarakat warga. Masyarakat warga tak terelakkan
karena antagonisme yang inheren pada manusia, dan juga pada lembaga-
lembaga ciptaannya tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Antagonisme
ini bersumber dari keinginan setiap orang untuk menikmati kebebasan
yang sebesar-besarnya. Jika setiap orang menghendaki demikian, maka
manusia akan saling menghancurkan satu sama lain. Oleh karena itu,
secara alamiah manusia kemudian terdorong untuk menghindari situasi
chaos, lalu terkondisikan untuk membutuhkan atau menerima adanya
hukum yang mengatur kehidupan bersama. Manusia tidak dapat hidup
satu sama lain dalam kebebasan liar yang tanpa batas. Di sini Kant
merumuskan masalah alami terbesar kehidupan manusia: bagaimana
menyeimbangkan antara kebebasan yang diatur oleh hukum-hukum
eksternal dalam derajatnya paling besar, dengan otoritas formal atau
konstitusi yang adil, legitimate dan harus dipatuhi bersama.6
Dalam konteks Kantian ini, hukum adalah instrumen untuk
mengatur agar kebebasan setiap orang tidak sampai menghambat
kebebasan orang lain. Hukum berfungsi mendisiplinkan naluri-
naluri kebebasan manusia yang cenderung tanpa batas. Namun yang
dilakukan hukum bukan menghapuskan antagonisme sosial, namun
mempertahankannya dalam equilibrium. Di satu sisi manusia mempunyai
kebebasannya, tetapi di sisi lain manusia harus siap untuk terbatasi
kebebasannya. Kebebasan individu berada dalam koridor kebebasan
orang lain. Menurut Kant, tujuan tertinggi alam, yakni pengembangan
semua kapasitas manusia hanya dapat dicapai dalam masyarakat
yang memungkinkan kebebasan terbesar (the greatest freedom), namun
dapat mempertahankan antagonisme anggota-anggotanya, dapat pula
menerapkan pembatasan kebebasan yang paling pasti.7
Antagonisme bukan sesuatu yang harus disingkirkan. Peradaban
manusia maju dan berkembang berkat antagonisme. ”Semua kebudayaan
dan seni yang memuliakan kemanusiaan, dan tatanan sosial yang paling
baik, adalah buah dari ketidaksosialan, yang mengharuskan manusia

6 Immanuel Kant, “Civil Society, nation, cosmopolitanism”, dalam Hall and Trentmann
(ed.), Civil Society… op.cit., hlm. 93.
7 Kant, ibid., hlm. 93.

29
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

mendisisplinkan diri, dan memaksanya untuk mengembangkan potensi-


potensi alaminya secara sempurna,” tulis Kant.8
Sudut pandang yang sama juga digunakan Kant untuk menjelaskan
konstitusi sipil universal. Sebelum adanya konstitusi sipil universal,
bangsa-bangsa senantiasa berada dalam ketegangan mengantisipasi
serangan atau ancaman bangsa lain. Kebutuhan untuk keluar dari situasi
serba tidak pasti dan tidak nyaman ini, secara alamiah mendorong bangsa-
bangsa untuk untuk mengikat diri dalam kesatuan sipil universal yang
diatur oleh hukum antar negara. Maka terbentuklah Liga Bangsa Bangsa.
Di sini menurut Kant, alam kembali menggunakan ketidaksosialan umat
manusia, dan bahkan ketidaksosialan masyarakat dan lembaga-lembaga
ciptaan manusia, sebagai sarana untuk menghasilkan kondisi damai
dan aman. Dialektika antagonisme (mutual antagonism) tidak berujung
pada kekacauan, tetapi kepada saling pemahaman dan tatanan. “Alam
bekerja melalui perang dan ketegangan terus-menerus menghadapi
kemungkinan perang, untuk memaksa manusia memulai usaha-usaha
melaksanakan tujuan alam. Dan akhirnya, setelah melalui kehancuran,
penggulingan kekuasaan dan bahkan kelelahan dahsyat, bangsa-bangsa
didorong untuk menciptakan sebuah tatanan sipil universal.”9
Dari penelusuran pemikiran Aristoteles, Hooker, Rousseau,
Hobbes dan Kant, tampak bahwa oposisi masyarakat warga versus negara
bukan bagian hakiki dari konsep awal masyarakat warga. Bahkan negara
atau pemerintahan sesungguhnya merupakan bagian dari masyarakat
warga dalam artian political community. Negara adalah masyarakat
warga itu sendiri. Negara adalah civitas, dan civitas adalah societas civilis.
Jika masyarakat warga identik dengan suatu tatanan, maka negara
sesungguhnya adalah perkembangan lebih lanjut dari masyarakat warga.
Negara adalah komplikasi lebih lanjut dari sistemisasi dan penataan
masyarakat. Negara dan masyarakat sipil terbentuk oleh alasan yang
sama: dibutuhkannya tatanan dan hukum bagi kehidupan bersama.
Negara Sebagai Problem Masyarakat Warga
Selain konteks aristotelian masyarakat warga di atas, kita juga
dapat menemukan pengertian masyarakat warga dalam konteks alam

8 Kant, ibid., hlm. 94.


9 Kant, ibid., hlm. 94.

30
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

pikir humanisme Renaissance. Dengan latar-belakang upaya membe­


baskan masyarakat dari alam pikir teologis abad Pertengahan, Humanisme
Renaissance melahirkan konsep masyarakat warga sebagai ‘tatanan sosial
manusiawi/duniawi’ (de civitate mundi) diperlawankan dengan ‘tatanan
Ilahiah/surgawi’ (de civitate dehi).
Pada abad ke-17 dan ke-18, peradaban Barat dihadapkan pada
kecenderungan semakin sulitnya mengontrol kekuasaan negara. Perluasan
kekuasaan negara di antaranya karena konflik agama antara Katolik
dan Protestan. Para raja dan bangsawan sebagai pemegang kekuasaan
menyita kekayaan gereja dan pemuka agama sehingga menghasilkan
pemusatan sumber daya ekonomi dan politik yang sangat besar. Dari
sini tumbuh benih-benih kekuasaan yang absolut dan despotik. Dari
sini pula bermula narasi sejarah yang menempatkan masyarakat warga
sebagai kekuatan untuk mengimbangi dan mengontrol negara guna
menghindari kesewenang-wenangan dan penindasan. Narasi masyarakat
warga bertransformasi dari antinomi ‘keberadaban versus barbarisme’
menuju antinomi ‘tatanan oleh hukum versus tatanan oleh koersi’.
Narasi itu antara lain dimunculkan Thomas Paine (1737-1809)
seorang transatlantik radikal, pendukung revolusi Amerika dan Perancis.
Bertolak dari pengalaman rezim-rezim despotik Eropa, Thomas Paine
mendobrak kemapanan narasi aristotelian masyarakat warga dengan
memetakan masyarakat warga sebagai kekuatan untuk melawan
kecenderungan otoriter-represif negara. Negara yang despotik, yang
tak memberi peluang bagi pengembangan kecenderungan fundamental
manusia untuk berkomunikasi, menjalin solidaritas sekaligus berkompetisi
antarsesamanya. Masyarakat warga hadir untuk mengisi kekosongan itu.
Paine menyoroti negara-negara Eropa yang sedang dalam ‘krisis
legitimasi’. Negara yang merumuskan kepentingannya sendiri berbeda
dengan kepentingan rakyat, memerintah tidak berbasis pada kepercayaan
dan kebutuhan warga dan secara sewenang-wenang memaksakan kehendak
kepada yang diperintah. Dalam pandangan Paine, dalam rezim otoriter-
despotik, kehidupan sosial ditindas negara. Negara menjadi penyebab
kekacauan yang seharusnya justru dicegahnya. Negara menganggap
diri terpisah dari masyarakat dan terus merusak ikatan-ikatan alamiah
masyarakat. 10

10 Thomas Paine, “Rights of Man,” dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society...,
op.cit.,, hlm. 100.

31
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

Untuk mengatasi problematik ini, Paine mengajukan setidaknya


dua gagasan. Pertama, negara yang terbatas lingkup kekuasaannya
dan legitimate. Bertolak dari prinsip-prinsip kontrak sosial, serta untuk
mereduksi potensi kesewenang-wenangan negara terhadap warganya,
Paine menegaskan perlunya pembatasan kekuasaan negara. Negara
hanya perlu mengurusi hal-hal yang benar-benar tidak bisa diurusi
sendiri oleh masyarakat.11 Negara juga harus legitimate dalam melindungi
hak alamiah warganya, memperhatikan persetujuan aktif dan hak
warga untuk menarik mandat dari pelaksana pemerintahan kapanpun
mereka mau. Pemerintahan yang beradab adalah pemerintahan
konstitusional yang sungguh-sungguh didasarkan kepada persetujuan
aktif dari yang diperintah. Bagi pemerintah yang legitimate dan beradab,
yang dikedepankan bukan hak, melainkan kewajiban untuk melayani
kebutuhan-kebutuhan warga.
Kedua, pemerintahan oleh warga masyarakat sendiri. Masyarakat
yang harmonis dan beradab tidak mengandaikan pemerintah. Semakin
sempurna peradaban, semakin tidak diperlukan pemerintah. Masyarakat
bisa mengurus dan memerintah dirinya sendiri. Ketertiban dan keamanan
dengan sendirinya ada pada masyarakat beradab. Pemerintah tidak
harus mengurusi pertahanan karena manusia telah memiliki mekanisme
alamiah untuk meredam potensi gangguan keamanan, yang ditandai
dengan munculnya perhimpunan bersama untuk menciptakan keamanan
bersama.12
Dalam konteks yang sama, kita menemukan pemikiran Vaclav
Havel sastrawan sekaligus Presiden Republik Czech hingga 2003.
Pemikiran Havel lahir dalam rangka berkonfrontasi dengan sistem
totalitarian: Marxisme dan Komunisme. Menurut Havel, ada yang hilang
dalam sistem totaliter, yakni kehidupan masyarakat yang independen,
individu-individu yang bebas dan mampu mengemansipasi diri. Maka
Havel menawarkan konsep masyarakat yang hidup dalam kebenaran
(living within the truth). Bukan dalam arti hidup dengan penyangkalan
atas kedustaan dan kepura-puraan, melainkan hidup merdeka dengan

11 Paine ibid., hlm. 100: Government is no farther necessary than to supply the few cases
to which society and Civilization are not conveniently competent….
12 Paine. Ibid., hlm. 101: The more prefect civilization is, the less occasion has it for government,
because the more it does regulate its own affairs, and govern itself.

32
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

tingkat emansipasi diri yang tinggi. ‘Hidup dalam kebenaran’ mencakup


spektrum yang cukup luas: pendidikan oleh diri sendiri (self education),
berpikir tentang dunia, aktivitas bebas kreatif, komunikasi dengan
orang lain, hingga pengorganisasian masyarakat secara mandiri. Perlu
digarisbawahi bahwa hidup yang independen ini sering berkelindan
dalam tubuh manusia yang sama dengan dimensi-dimensi hidup yang
dependen.13
Bersamaan dengan momen living the truth itu, kita juga
membutuhkan apa yang disebut struktur paralel (parallel structure).
Seperti dalam konteks perlawanan terhadap sistem totaliter di
Czechoslovakia, struktur paralel merujuk pada sekelompok masyarakat
yang kurang-lebih sadar politik, mendefinisikan dirinya secara politik,
bertindak dan berkonfrontasi satu sama lain. Struktur paralel adalah
kehidupan yang mampu menghidupi keberagaman dan perbedaan, dan
yang dapat mengubah strukturnya sendiri sesuai dengan tujuan yang mau
dicapai. Struktur paralel juga mencakup upaya-upaya masyarakat untuk
menolak menjadi bagian dari totalitarianisme atau re-totalitarianisme.
Struktur paralel dengan demikian berhubungan dengan penegasan
individu yang aktual. Akan tetapi struktur paralel bukan berarti manusia
harus mengisolasi diri dan berpikir maupun bertindak partikular.
Tindakan manusia tetap harus berdampak (positif) terhadap lingkungan
sekitarnya.14
Havel tidak hanya berkonfrontasi dengan sistem totaliter,
namun juga dengan sistem pasca totalitarian. Havel mengidentifikasi
dampak negatif demokrasi terhadap keberadaban masyarakat, terhadap
masyarakat warga. Demokrasi parlementer yang semula diandaikan
mampu menopang pengembangan masyarakat yang bebas dan otonom,
ternyata gagal dalam mengemban fungsi ini. Problem demokrasi
parlementer berbeda dengan problem pemerintahan totaliter, namun
sama-sama berdampak merusak terhadap masyarakat. Demokrasi
parlementer konvensional tidak mampu mengatasi dampak otomatisme
peradaban teknologis dan masyarakat konsumtif industrial. Demokrasi
parlementer bahkan begitu mudah takluk dalam determinasi sistem

13 Vaclav Havel, “The Power of The Powerless”, dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil
Society..., op.cit.,, hlm. 200.
14 Havel, ibid., hlm. 201.

33
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

industrial. Demokrasi parlementer tidak dapat berbuat banyak, bahkan


turut berperan ketika masyarakat dimanipulasi dengan cara-cara yang
lebih halus dan canggih, bukan cara-cara brutal sebagaimana pada rezim
totaliter, untuk menjadi masyarakat yang dependen, terotomatisasi dan
teratomisasi satu sama lain.15 Pada momentum inilah, masyarakat warga
mengalami krisis serius. Atau sebaliknya, masyarakat warga menjadi
solusi untuk melawan gejala otomatisasi dan atomisasi masyarakat itu.
Pada titik ini, Havel tidak hanya mengidentifikasi problem
masyarakat warga pada negara, tetapi juga pada industrialisasi dan
determinasi teknologi. Havel mengritik kondisi-kondisi demokrasi
parlementer: pengelompokan statis dan kaku partai-partai politik massa,
kehidupan politik yang secara konseptual kacau, dikelola oleh aparat-
aparat profesional. Namun Havel juga mengritik kediktatoran kegiatan
produksi, periklanan, dunia finansial serta budaya konsumen. Sebuah
pengantar menuju diskursus masyarakat sipil dalam relasinya dengan
komersialisasi dan perdagangan.

Perdagangan Sebagai Problem Masyarakat Warga


Apakah perdagangan cenderung melemahkan sumber-sumber
kultur keutamaan warga? Ataukah justru melahirkan sumber-sumber
baru solidaritas sosial dan kekuatan politik?16 Pertanyaan ini muncul
ketika pada abad ke-17 dan ke-18, terjadi percepatan ekspansi dan
dominasi masyarakat perdagangan (commercial society) di Eropa. Sebuah
transformasi besar pada tradisi Kristiani ilmu politik di Barat yang
sebelumnya telah memandang negatif aktivitas perdagangan (money-
making) dengan melihatnya sebagai sebentuk pelupaan atas segi-segi

15 Havel ibid., hlm. 202 : …the traditional parliamentary democracies can offer no fundamental
opposition to the automatism of technological civilization and the industrial-consumer society…
People are manipulated in ways that are infinitely more subtle and refined than the brutal
methods used in the post-totalitarian societies. But this static complex of rigid, conceptually
sloppy and politically pragmatic mass political parties run by professional apparatuses and
releasing the complex focuses of capital accumulation engaged in secret manipulations and
expansion…Bandingkan Wildan Pramudya, Konfrontasi “Kekuasaan Kaum Nirkuasa”
(Masyarakat Sipil) dengan Totalitarianisme, (paper kuliah), 2008, hlm. 5.
16 John A. Hall and Frank Trentmann “Contests Over Civil Society: Introduction
Perspectives”, pengantar dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society..., op.cit.., hlm.
7-9.

34
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

kejiwaan manusia. Perdagangan juga menghadirkan tantangan yang


belum pernah terjadi sebelumnya terhadap tradisi republikanisme yang
lebih menonjolkan keutamaan dan nilai-nilai kewargaan sebagai sumber
vital pembentukan kehidupan berbasis publik dan komunitas.
Dalam konteks ini, teoritkus politik Baron Montesquieu (1689-
1755) berpendapat bahwa perdagangan dengan dampak moral dan
sivilisasinya telah mengubah relasi sosial dan relasi antarbangsa.17
Perdagangan membuka jalan bagi Eropa untuk lepas dari barbarisme.
Perdagangan dianggap obat mujarab untuk syakwasangka-syakwasangka
yang paling merusak dalam masyarakat barbar, dengan menciptakan
adat bersama (agreeable manner) dalam komunitas-komunitas, serta
mendorong perdamaian di antara mereka. Perdagangan mendorong
saling ketergantungan antarmanusia dan memfasilitasi munculnya
kesadaran akan pentingnya budaya perbedaan. Hanya dalam negara bebas
(free states), di mana pemerintahan republik memiliki apresiasi memadai
terhadap keutamaan publik, perdagangan mendapatkan tempat. Dengan
latar belakang perang dan pertikaian antara negara, di sini bangsa-
bangsa mempunyai pilihan: merdeka dalam bentuk monarkhi otokratik
teritorial, namun dengan masyarakat yang lebih terbuka dan komersial.
Montesquieu mencontohkan Inggris sebagai masyarakat yang dapat
mencapai dan menikmati 3 hal besar bersamaan: agama, perdagangan,
kebebasan.
Berbeda dengan Montesquieu, teoritikus politik lainnya,
Jean Jacques Rousseau (1712-1778) mempunyai pandangan pesimis
terhadap perdagangan dan masyarakat warga. Perhatian Rousseau
adalah pada hilangnya solidaritas sosial dan tradisi keutamaan publik
dengan munculnya masyarakat warga bercorak borjuis sebagaimana
digambarkan Montesquieu. Rousseau mempertanyakan klaim kemajuan
dari masyarakat barbarik bersandar pada state nature yang buruk menuju
masyarakat warga. Jauh dari gambaran tentang kehidupan masyarakat
yang anarkistis, di mana orang-orang saling memangsa satu sama lain,
state of nature digambarkan Rousseau sebagai kondisi di mana kesetaraan
justru tercipta di antara orang-orang yang belum terkontaminasi hasrat
kemewahan, kekuasaan dan perbudakan. Justru pada masyarakat warga,
dengan adanya kepemilikan privat dan peningkatan kompetisi untuk

17 Hall dan Trentmann, Ibid., hlm. 7.

35
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

mengejar keuntungan pribadi, berkembang-biak motif-motif dominasi


dan keserakahan terhadap hak-hak milik atas tanah, kekayaan dan lain-
lain.18
Sebelum lahirnya masyarakat warga, orang dapat bahagia
dengan dirinya sendiri. Dalam masyarakat warga, masyarakat menjadi
budak dari konvensi bersama tentang selera dan kebiasaan massal.
Kebahagiaan individu tergantung pada pengakuan dari yang lain. Ini
justru mencerminkan kehidupan primitif di mana masyarakat hidup
di luar dirinya sendiri, dan hanya tahu bagaimana hidup bersandarkan
opini orang lain.19 Dengan kata lain, Rousseau melihat visi kebebasan
dalam masyarakat warga justru jauh dari makna kebebasan itu sendiri,
karena kehidupan masyarakat diintegrasikan dalam domain perebutan
kekuasaan, sehingga tak ada lagi kesadaran independen. Bertolak dari
pandangan Rousseau, perdagangan menjadi identik dengan patologi
sosial.
Dalam konteks yang sama, Adam Smith (1723-1790) meragukan
budaya baru yang dibentuk aktivitas perdagangan. Yang terjadi adalah,
masyarakat menjadi terinspirasi mengejar hal-hal yang kurang lebih
remeh-temeh dan parsial. Budaya konsumsi membentuk masyarakat
yang benar-benar baru, dengan kebiasaan, penampilan, identitas dan
pola interaksi baru. Orang-orang tidak pernah bisa leluasa menyimpan
hartanya, dan hanya berpikir bagaimana mengejar kekayaan sebanyak-
banyaknya. Jika mungkin ”mereka bahkan menyelipkan dompet secara
tidak diketahui pada saku orang lain, guna mendapatkan lebih banyak

18 B Jean Jacques Rousseau, “The burden of Civilization” dalam Hall and Trentmann
(ed.), Civil Society..., op.cit., hlm. 77: The first man who, having enclosed a piece ground,
bethought of himself of saying This is mine, and found people enough to believe him, was the
real founder of masyarakat warga. From how many crimes, wars and murders, from how many
horrors and misfortunes might not any one have saved mankind, by pulling up the stakes….
and crying to his fellows,”Beware of listening to this impostor; you are undone if you once
forget that fruits of the earth belong to us all, and the earth itself to nobody.”
19 Rousseau, ibid., hlm. 79: In reality, the source of all the difference is, that the savage lives
within himself, while social man lives constantly outside himself, and only knows how to live in
the opinion of others, so that he seems to receive the consciousness of his own existence merely
from the judgment of others concerning him.

36
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

uang.”20 Yang miskin bermimpi menjadi kaya. Masyarakat warga seperti


roda putar hamster (hamster wheel) di mana individu terlibat dalam
sirkuit tak berujung mengejar kekayaan dan penghargaan yang lebih
tinggi dan lebih tinggi lagi. Pada akhirnya, individu-individu kecewa
karena mengetahui kemakmuran yang mereka kejar ternyata tak lebih
dari sekedar hal-hal yang tak berguna dan remeh-temeh.21
Smith melihat paradoks yang lebih halus namun jelas dalam
masyarakat warga. Individu terkunci dalam sirkuit pencarian status tidak
berdasarkan pada kehendak bebasnya sendiri, tetapi berdasarkan apa
kata the spectator. Namun dari perspektif pendukung masyarakat warga,
penyimpangan ini ternyata dianggap ada gunanya. Penyimpangan ini
adalah sebentuk mekanisme yang menjaga gerak kontinyu perdagangan
menuju penemuan teknologi baru, makanan yang lebih berkualitas
dan melimpah, dan proses komunikasi antarmanusia. Kompetisi untuk
mendapatkan status dan pengejaran kemakmuran yang lebih besar
juga membawa mekanisme built-in dalam harmoni sosial. Dengan
kemampuan membayangkan menjadi kaya, orang miskin menerima
fakta ketidaksetaraan sosial, dan melupakan opsi untuk melawannya
secara anarkistis. Perdagangan menstabilkan masyarakat warga dengan
cara ini. Kesenjangan tidak lagi dilihat sebagai masalah, tetapi diam-diam
diterima sebagai kenyataan.
Ekonomi borjuasi disempurnakan dengan kreasi politik ke­
wargaan dalam revolusi Perancis. Revolusi Perancis menghancurkan
tatanan masyarakat lama, dan menjanjikan kebebasan yang ternyata
semu. Manusia mendapatkan hak milik dan kebebasan untuk berdagang,
namun tidak pernah bebas dari properti dan materialisme itu sendiri.

20 Bandingkan Adam Smith, “The social benefits of deception”, dalam Hall and Trentmann
(ed.), Civil Society..., op.cit., hlm. 80: How many people ruin themselves by laying out money
on trinkets of frivolous utility? What pleases these lovers is not so much the utility, as the
aptness of the machines which are fitted to promote it. All their pockets are stuffed with little
inconveniencies. They contrive new pockets, unknown in the clothes of other people, in order to
carry a greater number…..
21 Smith, ibid., hlm. 80: The poor man’s son, whom heaven in its anger has visited with ambition,
when he begins to look around him, admires the condition of the rich. He finds the cottage of his
father too small for his accommodation, and fancies he should be lodged more at his ease in a
palace…..

37
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

Kedirian orang menjadi terpecah: kewarganegaraan universal abstrak


dalam politik dan individu materialistik dalam masyarakat warga.

Masyarakat Warga dan Partikularitas


Pandangan kritis atas hubungan antara masyarakat warga
dengan aktivitas perdagangan juga disampaikan oleh Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831). Hegel membahas masyarakat warga dalam
domain kritiknya terhadap gejala-gejala masyarakat industrial. Hegel
menggambarkan masyarakat warga sebagai momentum ‘kerajaan
kebebasan’ bagi individu-individu menanggalkan domain keluarga,
terpisah satu sama lain dan menjadi individu yang cukup diri (self-subsistent
persons), lalu bertemu satu sama lain berdasarkan dorongan kepentingan
subyektif masing-masing. Masyarakat warga adalah pengakuan atas
manusia-manusia konkret dengan segala kebutuhan, nafsu-nafsu egois,
perasaan dan kehendak yang harus dipenuhi. Manusia konkret yang bebas
dan menjadikan dirinya sebagai tujuan partikularnya. Dengan demikian,
masyarakat warga harus dipahami sebagai arena di mana manusia-manusia
konkret seperti ini bekerja dan berusaha memuaskan kebutuhannya
sendiri.22
Namun sebagaimana Rousseau, Hegel melihat masyarakat
warga sebagai masyarakat yang bercorak borjuis, di mana kepentingan
subyektif yang dimaksud adalah kepentingan dalam arti ekonomi. Jika
Rousseau melihat masyarakat warga sebagai momentum ketika individu
kehilangan otentisitasnya, Hegel melihat masyarakat warga sebagai
momentum ketika kebersamaan lengser, digantikan oleh kepentingan
partikular subjektif individu-individu. Orang melakukan aktivitas
perdagangan bukan untuk memenuhi kebutuhan orang lain, melainkan
untuk memenuhi kebutuhan subjektifnya sendiri. Masyarakat warga
adalah arena kegila-gilaan pemenuhan kebutuhan diri.23

22 Georg Wilhelm Friedrich Hegel “Burgerliche Gesellchaft”, dalam Hall and Trentmann
(ed.), Civil Society..., op.cit., hlm. 131: “The concrete person, who is himself the object of his
particular aims, is, as a totality of wants and a mixtiure of caprice and physical necessity, one
principle of civil society……But civil society tears the individual from his family ties, estranges
the members of the family from one another, and recognizes them as self-subsistent persons.
23 Hegel, ibid., hlm. 130-131: In these contrasts and their complexity, civil society affords a
spectatle of extravagance and want as well as of the physical and ethical degeneration common
to them both.

38
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

Masyarakat warga digambarkan Hegel sebagai masyarakat borjuis


di mana partikularitas dan individualitas jauh lebih menonjol daripada
nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas. Dalam masyarakat warga, setiap
orang menjadikan dirinya sebagai tujuan. Maka aktivitas perdagangan
menciptakan sebuah sistem interdependensi yang sempurna Dengan
mengejar kepentingan pribadi, kita otomatis akan melayani kepentingan
orang lain. Hegel secara spesifik menyebut momentum ketika masing-
masing individu terdiferensiasi satu sama lain berdasarkan kepentingan
subjektif partikularnya sebagai momentum partikularitas.
Persoalannya kemudian, tatanan masyarakat tidak dapat diba­
yangkan jika setiap orang hanya mengejar kepentingan subjektifnya dan
selalu bersikap instrumentalistik terhadap orang lain. Partikularitas dan
egoisme subjektif jelas tidak memadai sebagai dasar tatanan sosial. Di
sini, muncul kesadaran bahwa pemenuhan kebutuhan partikular hanya
dapat dilakukan dengan pemenuhan kebutuhan universal, membuat
partikularitas kehilangan eksklusivitasnya. Kita harus memperhatikan
atau memenuhi kepentingan universal, karena hanya dengan demikian
kita dapat memenuhi kepentingan partikular.24
Pada titik inilah masyarakat lahir, sebagai sintesis antara parti­
kularitas dan unversalitas.25 Pada titik ini pula benih negara bersemi,
sebagai sintesis dialektis antara unsur-unsur positif pada keluarga dan
masyarakat warga. Unsur positif keluarga adalah kesatuan organis
yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi,
sementara unsur negatifnya adalah tidak memberikan tempat pada
subyektivitas dan individualitas. Unsur positif dalam masyarakat warga
adalah adanya pengakuan terhadap individualitas-subyektivitas, adanya
prinsip-prinsip pengaturan kehidupan bersama, sedangkan unsur
negatifnya adalah liberalisme individu yang cenderung anarkistis.

24 Hegel, ibid., hlm. 129: But the particular person is essentially so related to other
particular persons that each established himself and finds saticfaction by means of the
others, and at the same time purely and simply by means of the form of universality,
the second principle here. .
25 Hegel, ibid., hlm. 131 : In administration of justice, however, Civil society return to its
concept, to the unity of the implicit universal with the subjective particular, although
here the later is only that present in single cases and the universality in question is that
of abstract right.

39
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

Negara yang dimaksud Hegel disebut sebagai ”negara eksternal”


(external state) Negara yang terbentuk berdasarkan murni pertimbangan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan warganya. Dalam pandangan Hegel,
masyarakat warga adalah sebuah momen dialektis, dan karena itu
bagian integral dari negara eksternal ini. Masyarakat warga yang juga
dilihat sebagai ‘sistem-sistem kebutuhan’. Masyarakat yang terbentuk
karena kesadaran bahwa pemuasan kebutuhan-kebutuhan individu
tidak mungkin berlangsung dalam isolasi. Kita hanya dapat memenuhi
kebutuhan kita melalui orang lain, yang juga hendak memenuhi
kebutuhannya melalui kita.26
Ketika masyarakat warga sebagai sistem kebutuhan-kebutuhan,
selanjutnya kita dihadapkan pada fenomena multiplikasi kebutuhan
yang tanpa batas, atau yang melampaui kewajaran yang kemewahan
(luxury). Dinamika dalam masyarakat warga di sini melahirkan kondisi-
kondisi tertentu yang pemecahannya membutuhkan campur tangan
Negara. Kondisi yang dimaksud adalah kelebihan produksi, kemiskinan,
keterasingan dan polarisasi sosial. Kelebihan produksi hanya dapat
diatasi negara dengan cara mencari koloni-koloni baru sebagai tempat
pemasaran komoditi. Dialektika internal masyarakat warga dengan
demikian mendorongnya untuk melampaui batasnya sendiri dan berusaha
mencari pasar.27 Masyarakat warga dengan demikian juga menjadi jalan
bagi lahirnya kolonialisme-imperialisme.

Catatan Kritis
Berdasarkan uraian dari beberapa sudut pandang di atas, dapat
disimpulkan masyarakat warga merujuk pada pengertian tentang
tatanan sosial yang beradab dan adil, yang mampu mewadahi sekaligus
individualitas maupun sosialitas, partikularitas maupun universalitas.
Problem masyarakat warga memang dapat berupa negara yang despotik,

26 Hegel, ibid., hlm. 129 : In the course of the actual attainment of selfish ends – an
attainment conditioned in this way by universality – there is formed a system of
complete interdependence: wherein the livelihood, happiness and legal status of one
man is interwoven with the livelihood, happiness and right of all. On this system,
individual happiness, depend and only in this connected syste are they actualized and
secured. This system may be prima facie regarded as the external state, the state based
on need, the state as the understanding envisages it.
27 Hegel sebagaimana dikutip dalam Sitorus, op.cit., hlm. 6.

40
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

menindas, anti-kebebasan dan mengesampingkan hak-hak alamiah


warga. Namun ini bukan satu-satunya problem. Ancaman terhadap
tatanan sosial beradab juga bisa berasal dari komponen masyarakat
sendiri sebagaimana tercermin pada aksi penghakiman sepihak FPI
terhadap kelompok AKKBB. Bisa pula berasal dari determinisme budaya
komersial-konsumtif terhadap nilai-nilai kewargaan dan struktur alamiah
masyarakat, atau determinisme logika akumulasi modal atas ruang-
ruang publik. Manifestasinya bisa berupa perilaku tidak beradab, yang
menegasikan hukum dan tatanan sosial. Bisa mewujud dalam kondisi
masyarakat yang dependen, dengan individu yang terotomatisasi dan
teratomisasi satu sama lain. Bisa mewujud dalam penyangkalan terhadap
individu yang aktual dan otentik, atau hilangnya pengakuan atas kekuatan
personal dalam ruang publik deliberatif. Problem masyarakat warga juga
bisa berwujud dampak negatif perdagangan berupa penguatan motif-
motif dominasi, multiplikasi kebutuhan tanpa batas yang bermuara pada
kolonialisme atau neo-kolonialisme.
Mengutip Michel Foucault, sosok kekuasaan itu jamak. Kekuasaan
tidak hanya mewujud pada sosok negara formal. Kekuasaan bukan hanya
berdimensi politik, namun juga ekonomi, sosial dan budaya. Ia melekat
pada kekuatan modal, legitimasi moral, hierarki sosial, status ilmiah,
kekuatan diskursus-simbolik. Seluas itu dimensi kekuasaan, seluas
itu pula potensi ketidakberadaban dan ketidakadilan. Seluas itu pula
kemungkinan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip masyarakat warga.
Tinjauan komprehensif tentang masyarakat warga sangat relevan
untuk Indonesia. Pertama, untuk mengevaluasi tren gerakan dan analisis
tentang masyarakat warga (atau masyarakat sipil) di Indonesia yang
sejauh ini masih sangat state centrism. Kecenderungan yang secara garis
besar mengisolasi masalah yang harus dihadapi gerakan masyarakat
warga semata-mata adalah sosok negara yang tidak demokratis, feodal
dan gamang terhadap ide-ide kebebasan dan perubahan.
Hingga tahun 2008 ini, gerakan reformasi masih tetap berorientasi
kepada state-based powers. Seolah-olah domain kekuasaan politik-
pemerintahan formal adalah satu-satunya yang harus direformasi. Tidak
banyak dipersoalkan problem-problem pada aras publik dan modal
misalnya. Tidak cukup dianggap penting problem pada struktur dan
kultur masyarakat, serta kompleksitas persoalan yang disebabkan oleh

41
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

intensifikasi intervensi kekuatan bisnis pada segi-segi kehidupan sosial


dan politik.
Sebagai contoh, dapat dilihat tafsir dominan tentang ekonomi-
politik media di Indonesia pasca 1998. Apakah yang terjadi setelah
momentum 1998 benar-benar pergeseran dari determinasi state-based
powers menuju determinasi public-based power atas ruang publik media?
Apakah pergeseran ini sungguh signifikans bagi upaya menjadikan media
sebagai ranah pembentukan etos dan keutamaan warga (civic virtues)?
Di Indonesia, studi ekonomi-politik media sedemikian rupa
terpola dalam kerangka analisis yang sepenuhnya berdasar pada
argumentasi-argumentasi state-based powers. Kerangka analisis yang
menegaskan negaralah satu-satunya faktor penentu corak dan mutu
ruang publik media. Kerangka analisis yang sejauh ini mendorong kita
untuk menyimpulkan bahwa setelah negara Orde Baru mengalami
kebangkrutan, hanya satu opsi bagi pers Indonesia: masuk ke dalam
rezim demokrasi di mana kekuatan-kekuatan publik lebih determinan.
Terlupakan opsi lain yang justru lebih dominan belakangan: media
Indonesia masuk ke dalam rezim pasar yang notabene dikendalikan oleh
rasionalitas dan logika akumulasi modal.
Dinamika ekonomi-politik media di Indonesia belakangan,
khususnya pasca judicial review UU Penyiaran No 32/2002 menunjukkan
pergeseran menuju media yang demokratis itu tidak sepenuhnya terjadi.
Secara faktual, yang terjadi pasca judicial review UU Penyiaran No
32/2002, adalah konsolidasi dan reorganisasi antara market-based powers
dan state-based powers. Konsolidasi ini terjadi dan semakin menguat
karena kekuatan dan dinamika masyarakat sipil tidak berkembang
sedemikian rupa hingga mampu menandingi kekuatan state-based power
dan marker-based power yang telah terlebih dahulu mengontrol kehidupan
media penyiaran. Kekosongan kekuasaan pasca reformasi 1998 di bidang
media hanya terjadi sesaat, dan ini ternyata tidak bisa dimanfaatkan oleh
gerakan masyarakat sipil untuk mengambil alih kendali dari negara dan
kekuatan modal.
Singkat kata, problem masyarakat sipil Indonesia dalam urusannya
dengan isu kebebasan media pasca 1998 adalah bersatunya kekuatan
politik formal dan kekuatan bisnis untuk sedemikian rupa menentukan
wajah ruang publik media sesuai dengan partikularitas kepentingan

42
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

politik dan ekonomi mereka sendiri. Dalam konteks ini, tentu saja
kerangka analisis yang state-centrism perlu direvisi. Demikian juga secara
lebih luas, pandangan yang menempatkan negara sebagai satu-satunya
sumber masalah bagi masyaraka warga, tidak memadai lagi. Apalagi jika
kita merujuk pada fakta betapa maraknya tindakan-tindakan kekerasan,
perusakan dan penyerbuan terhadap penerbitan pers oleh kelompok-
kelompok massa di berbagai tempat sepuluh tahun terakhir pasca 1998.
Konsekuensi dari analisis di atas, gerakan masyarakat sipil
harus mengubah orientasi dan strategi. Yang perlu diantisipasi bukan
hanya potensi kekerasan terhadap masyarakat sipil oleh negara, tetapi
juga oleh kekuatan modal secara tidak langsung, serta oleh unsur-unsur
dalam masyarakat sendiri. Persoalan semakin kompleks ketika dalam
praktiknya, pada kasus tertentu, kekuatan politik (formal) berkolaborasi
dengan kekuatan modal guna menciptakan simbiosis mutualisme.
Katakanlah berhadap-hadapan dengan tuntutan gerakan masyarakat
warga untuk peningkatan kesejahteraan buruh, transparansi pengelolaan
sumber daya publik, ruang publik media yang lebih ramah keluarga, dan
seterusnya.
Kedua, namun juga ada yang perlu dikritik dari masyarakat warga
sendiri. Sebagaimana dikatakan Hegel, masyarakat warga bisa jatuh pada
fenomena partikularitas. Ini terjadi ketika individu terdiferensiasi satu
sama lain berdasarkan kepentingan subjektif partikularnya. Ini terjadi
ketika masyarakat warga tak lebih dan tak kurang adalah sebagai ‘sistem-
sistem kebutuhan’ (das System der Bedurfnisse). Masyarakat yang terbentuk
karena kesadaran bahwa pemuasan kebutuhan-kebutuhan individu tidak
mungkin berlangsung dalam isolasi. Individu dapat memenuhi kebutuhan
kita melalui orang lain, yang juga hendak memenuhi kebutuhannya
melalui kita.
Masyarakat warga meghilangkan ciri positif keluarga, yakni
adanya kesatuan organis yang menempatkan kepentingan bersama di
atas kepentingan pribadi. Masyarakat warga mencoba menggantikannya
dengan pengakuan terhadap individualitas-subyektivitas, namun
kemudian terjerumus pada liberalisme individu yang cenderung tanpa
batas dan menggerus ikatan-ikatan alamiah manusia sebagai zoon
politikon.

43
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

Pada sisi lain, Rousseau kurang lebih mengingatkan bahwa


masyarakat warga bisa terjerumus pada kegilaan kepada publisitas dan
eskpresi diri yang membabi-buta Merujuk pada antinomi Arendtian,
masyarakat warga turut memberikan kontribusi dalam menjadikan
ruang publik sebagai panggung bagi spirit agonal, di mana individu-
individu berkompetisi untuk berbicara paling keras, berargumentasi
paling tajam, dan untuk menjadi “penari” yang memukau di antara lain.
Akibatnya, ruang publik kehilangan signifikansi sebagai ruang solidaritas,
sebaga ruang kebersamaan dalam perbedaan. Meminjam pernyataan
Rousseau: honour without virtue, reason without wisdom, and pleasure without
happiness.*****

44
Agus Sudibyo, Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

Daftar Pustaka

Hall, John A. dan Trentmann, Frank. (2005). ‘Contests Over Civil Society:
Introduction Perspectives.’ Dalam John A. and Frank Trentmann (ed.),
Civil Society, A Reader in History, Theory and Global Politics. London:
Palgrave Macmillan.
Havel, Vaclav. (2005). ‘The Power of The Powerless.’ Dalam John A. and Frank
Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory and Global
Politics. London: Palgrave Macmillan.
Hooker, Richard. (2005), ‘Civil society as political society.’ Dalam John A. Hall
and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory
and Global Politics. London: Palgrave Macmillan.
Kant, Immanuel. (2005). ‘Civil society, Nation, Cosmopolitanism.’ Dalam John
A. and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory
and Global Politics. London: Palgrave Macmillan.
Locke, John. (2005), ‘Masyarakat Warga vs The State of nature,’ Dalam John A.
and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory
and Global Politics. London: Palgrave Macmillan.
Paine, Thomas. (2005). ‘Rights of Man,’ Dalam John A. and Frank Trentmann
(ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory and Global Politics.
London: Palgrave Macmillan.
Priyono, B. Herry. (2008). ‘Sketsa Evolusi Istilah Civil society.’ Manuskrip
pengantar kuliah Membaca Ulang Civil Society, hlm. 2.
Rousseau, B Jean Jacques. (2005). ‘The burden of Civilization.’ Dalam John A.
and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory
and Global Politics. London: Palgrave Macmillan.
Smith, Adam. (2005). ‘The social benefits of deception.’ Dalam John A. and
Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in History, Theory and
Global Politics. London: Palgrave Macmillan.

45
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010

46
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

MELACAK JEJAK KEBUDAYAAN NUSANTARA,


MEMBANGUN SEMANGAT KE BHINEKA TUNGGAL IKA AN
Puji Dwi Darmoko1
pujimoko@gmail.com

Abstrak

Cikal bakal nenek moyang bangsa Indonesia ditengarai sebagai


keturunan hasil percampuran ras Mongolia, Kaukasoid dan Negrito,
sebagai manusia bertradisi benua yang kemudian berganti tradisi
kepulauan pasca zaman es, jauh sebelum masehi di masa prasejarah.
Berdasarkan studi Universitas Leeds dan diterbitkan dalam bulan
Mei 2008, Molecular Biology and Evolution,sebagian besar dari
garis-garis DNA mitokondria (diwarisi oleh keturunan perempuan)
telah berkembang di kawasan pulau Asia Tenggara untuk jangka
waktu yang lebih lama, yaitu sejak manusia modern tiba sekitar
50.000 tahun yang lalu. Temuan itu membentuk kesimpulan terbaru
yang membantah teori sebelumnya yang menyebut bahwa ada jalur
majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur
utara dan jalur selatan, serta membantah bahwa bangsa Asia
Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan. Hal
tersebut dibuktikan dengan berkembangnya teknologi maritim nenek
moyang bangsa Indonesia yang jauh lebih canggih dari Eropa pada
masa yang sama, jejak budaya penduduk kawasan Nusantara ini
menyebar di seluruh kawasan lautan Hindia Belanda dan Pasifik,
sejak Madagaskar di barat, kepulauan Paskah di Timur, Hawaii di
Utara, dan Selandia Baru di Selatan. Perahun cadik yang dienal khas
Nusantara, ditemukan menyebar di seluruh kawasan Samudra Hindia
dan Samudra Pasifik. Maka bila para cerdik cendekia mampu
merasakan getaran teori wawasan kepulauan Nusantara hingga lahir
Republik Kesatuan Indonesia ber bhineka Tunggal Ika dan ber-
Pancasila, cendikiawan Indonesia harus mampu meneliti lebih
mendalam tentang kekhasan sejarah dan lingkungan Nusantara yang
berjiwa bahari dan agraris, dengan dualism dwitunggal dan bhineka
tunggal Ikanya hingga dapat diperoleh “citra” manusia Indonesia
yang sebenarnya, untuk mengoreksi “citra manusia Indonesia” hasil
rekayasa ilmuwan barat (benua) di masa lalu, yang ternyata kurang
benar atau bahkan salah dan selalu merendahkan bangsa Indonesia.
1
STIT Pemalang

230
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

Kata kunci : jejak kebudayaan nusantara, bhineka tunggal Ika, citra


manusia Indonesia

A. Pendahuluan
Sepanjang sejarah perkembangan kebudayaan manusia sejak zaman
prasejarah selalu dihiasi dengan lembaran hitam peristiwa “menghilangnya”
suku bangsa, baik diusir dari tanah kelahirannya atau dilibas, di afrika, Eropa,
Amerika, Timur Tengah maupun Asia.2Salah satu puncaknya adalah
pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman.Peristiwa tersebut terus berlanjut,
diawali abad XV saat manusia Eropa merasa menemukan benua baru
Amerika dan Australia. Pembantaian suku bangsa Astec dan Maya, pelibasan
suku bangsa Indian di Amerika, suku Aborigin dan Tasmania di Australia,
dan hingga abad kini di Kamboja.
Cikal bakal nenek moyang bangsa Indonesia ditengarai sebagai
keturunan hasil percampuran ras Mongolia, Kaukasoid dan Negrito, sebagai
manusia bertradisi benua yang kemudian berganti tradisi kepulauan pasca
zaman es, jauh sebelum masehi di masa prasejarah. Perlahan-lahan
melampaui waktu ratusan ribu tahun, manusia benua tersebut ditransfer oleh
lingkungan dangkalan Sunda dan Sahul menjadi manusia kepulauan, yang
sejak semula mencakup kawasan yang kini disebut Sumatra sampai Papua,
2
Tabrani, Primadi..Belajar Dari Sejarah Dan Lingkungan. Sebuah Renungan
Mengenai Wawasan Kebangsaan Dan Dampak Globalisasi. (Bandung: ITB. 1995), hlm. 11

231
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

hingga membentuk pribadi dan tradisi maritim yang berjiwa bahari dengan
teknologi maritim yang terus berkembang.
Setapak demi setapak terbentuklah manusia kepulauan yang berjiwa
bahari dengan teknologi maritime yang terus berkembang. Dengan alat
penyebrangan yang masih sederhana, sekiar 60.000 SM, nenek moyang
Indonesia melanjutkan pengembaraannya ke benua Australia.3Dalam hal ini
Tabrani tidak menjelaskan secara gamblang tentang kapan waktu
terbentuknya kepulauan Nusantara. Meskipun memang untuk mendukung
temuannya Tabrani menyampaikan argument tentang bukti-bukti sejarah
berupa gambar perahu di gua/cadas di wilayahNusantara.
Berita yang dimuat oleh media online dari Universitas Oxford
(ox.ac.uk/media) menyebutkan bahwa studi yang dipimpin oleh Universitas
Leeds dan diterbitkan dalam bulan Mei 2008, Molecular Biology and
Evolution,menunjukkan bahwa sebagian besar dari garis-garis DNA
mitokondria (diwarisi oleh keturunan perempuan) telah berkembang di
kawasan pulau Asia Tenggara untuk jangka waktu yang lebih lama, yaitu
sejak manusia modern tiba sekitar 50.000 tahun yang lalu. DNA
menunjukkan garis keturunan penduduk pada waktu yang sama dengan
naiknya permukaan laut dan juga menunjukkan migrasi ketaiwan, ke timur
ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan Asia Tenggara - dalam
10.000 tahun terakhir.
Pada tahun 2009, para ilmuwan Asia yang di pimpin oleh ahli
biomolekuler Indonesia , Prof. Sangkot Marzuki juga melakukan riset DNA
dan melaporkan hasil risetnya seperti yang dimuat di kompas.com, yaitu:
“Nenek-moyang bangsa-bangsa Asia yang keluar dari Afrika sekitar
100.000 tahun lalu itu menyusuri sepanjang pesisir selatan ke arah timur dan
lebih dulu berpusat di Asia Tenggara sekitar 60.000 tahun lalu, baru
kemudian menyebar ke berbagai kawasan di utaranya di Asia,” kata Direktur
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Dr Sangkot Marzuki kepada pers
di Jakarta, Jumat (11/12/2009). Riset ini dilakukan oleh lebih dari 90
ilmuwan dari konsorsium Pan-Asian SNP (Single-Nucleotide
Polymorphisms) dinaungi Human Genome Organization (Hugo) yang
meneliti 73 populasi etnik Asia di 10 negara (Indonesia, Singapura, Malaysia,
Thailand, Filipina, India, China, Korea, Jepang, dan Taiwan) dengan total
sekitar 2.000 sampel.
Menurut Sangkot Marzuki, kesimpulan terbaru ini membantah teori
sebelumnya yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang
bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan, serta membantah

3
Ibid, hlm. 12

232
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

bahwa bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari


Taiwan.
Namun demikian tetap terjadi adanya kesan kontradiksi antara pendapat
yang disampaikan Tabrani dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pada
tahun sekitar 60.000 SM kepulauan Nusantara belum terbentuk.

Gambar 1Gambar Gua Prasejarah Telapak Tangan,Gua Leang-Leang ,


Desa Maris, Sulawesi selatan. 10.000 SM-6.000 SM (Foto: Tabrani).

Gambar 2Gambar Gua Prasejarah di Kep. Key Maluku 6.000 SM-


5.000SM(Foto : Tabrani).
Sementara kepulauan Nusantara baru terbentuk pada akhir Zaman
Esyaitu 20.000-10.000 tahun yang lalu,di mana suhu rata-rata bumi
meningkat dan permukaan laut meningkat pesat, sehingga sebagian besar
Paparan Sunda tertutup lautan dan membentuk rangkaian perairan Selat
Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Pada periode
inilah terbentuk Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau

233
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya. Di timur, Pulau Irian dan


Kepulauan Aru terpisah dari daratan utama Benua Australia. Pada saat inilah
kepulauan Nusantara sejatinya baru terbentuk, dan karena kenaikan muka
laut inilah yang memaksa masyarakat penghuni wilayah ini saling terpisah
dan mendorong terbentuknya masyarakat penghuni Nusantara moderen.
Perlu diketahui dan diakui bahwa sejarah geologi Nusantara
mempengaruhi flora dan fauna, termasuk makhluk mirip manusia yang
pernah menghuni wilayah ini, sebagaimana banyak ditemukan di situs Sangir
Solo. Sebagian daratan Nusantara dulu merupakan dasar laut, seperti wilayah
pantai selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Aneka fosil hewan laut ditemukan di
wilayah ini. Daerah ini dikenal sebagai daerah karst yang terbentuk dari
endapan kapur terumbu karang purba.Endapan batu bara di wilayah Sumatera
dan Kalimantan memberi indikasi pernah adanya hutan dari masa
Paleozoikum.
Laut dangkal di antara Sumatera, Jawa (termasuk Bali), dan Kalimantan,
serta Laut Arafura dan Selat Torres adalah perairan muda yang baru mulai
terbentuk kala berakhirnya Zaman Es terakhir (hingga 10.000 tahun sebelum
era moderen). Inilah yang menyebabkan mengapa ada banyak kemiripan
jenis tumbuhan dan hewan di antara ketiga pulau besar tersebut.
Flora dan fauna di ketiga pulau tersebut memiliki kesamaan dengan
daratan Asia (Indocina, Semenanjung Malaya, dan Filipina). Harimau, gajah,
tapir, kerbau, babi, badak, dan berbagai unggas yang hidup di Asia daratan
banyak yang memiliki kerabat di ketiga pulau ini.
Selanjutnya Tabrani mengemukakan bahwa dengan mengembangkan
teknologi maritim yang lama makin canggih, jauh lebih canggih dari Eropa
pada masa yang sama, jejak budaya penduduk kawasan Nusantara ini
menyebar di seluruh kawasan lautan Hindia Belanda dan Pasifik, sejak
Madagaskar di barat, kepulauan Paskah di Timur, Hawaii di Utara, dan
Selandia Baru di Selatan. Perahun cadik yang dienal khas Nusantara,
ditemukan menyebar di seluruh kawasan Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik.Demikian pula pengaruh budaya perahu pada arsitektur atap
bangunan. Seperti bentuk atap rumah tradisional Batak, Minangkabu,
Sulawesi, Papua dan Jawa itu sendiri, yang mencerminkan bentuk lain dari
perahu (dalam posisi terbalik).4
Ceng Ho dan Colombus adalah dua pelaut ulung yang tersohor di
penjuru dunia.Mereka terkenal sebagai figur tangguh yang berani menantang
ganasnya samudra dengan perahu sejarahnya.Tapi, ternyata kepiawaian
mereka jauh ketinggalan dari pelaut Nusantara.Memang sulit untuk

4
Tabrani, op.cit., hlm 13-14

234
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

dipercaya.Tapi, demi membuktikan kebenaran itulah Robert dick-read,


peneliti asal Inggris bersusah payah melakukan penelitian.
Dengan berdasar pada sumber sejarah yang berlimpah, Dick bercerita
tentang pelaut-pelaut nusantara yang sudah menjejakkan kaki di Afrika sejak
abad ke-5 M. Jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika dan jauh sebelum
bangsa Arab berlayar ke Zanzibar.Ceng Ho apalagi, pelaut China yang
pernah mengadakan muhibah ke Semarang pada abad ke-14 M ini jelas
ketinggalan dari nenek moyang Nusantara.
Yang menarik, penelitian Dick-read tentang pelaut nusantara ini seperti
kebetulan. Awalnya, ia datang ke mozambik pada 1957 untuk meneliti masa
lalu Afrika. Disana.untuk pertama kalinya mendengar bagaimana masyarakat
Madagaskar fasih berbicara dengan bahasa Austronesia laiknya pemukim di
wilayah pasifik. Ia juga tertarik dengan perompak Madagaskar yang
menggunakan Kano (perahu yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri)
yang mirip perahu khas Asia timur. Ketertarikannya memuncak setelah ia
banyak menghadiri seminar tentang masa lalu Afrika, yang menyiratkan
adanya banyak hubungan antara Nusantara dan sejarah Afrika.
Dalam penelusurannya, Dick-read menemukan bukti-bukti mutakhir
bahwa pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra hindia dan berlayar
sampai Afrika Sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan
bahari mereka.5Diantara bukti tersebut adalah banyaknya kesamaan alat-alat
musik, teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa bangsa Zanj
(ras Afro-Indonesia) dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan
sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang
dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas
Nusantara. Ada juga kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife, Nigeria
dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.
Beberapa tanaman khas Indonesia yang juga tak luput di hijrahkan ke
sana, semisal pisang raja, ubi jalar, keladi dan jagung. Menurut penelitian
George Miller,6 profesor berkebangsaan Amerika pada 1959, tanaman-
tanaman itu dibawa orang-orang Indonesia saat melakukan perjalan ke
Madagaskar.Diantaranya, rentang antara abad ke-5 dan ke-7 M, kapal-kapal
Nusantara banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia.Pada waktu itu
perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut
Nusantara.Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa perkapalan Cina ternyata

5
Dick,Robert –Read. Penjelajahan Bahari (Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika).
(Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2008)., hlm 35-38
6
George Miller, (ed) 1996. To The Spice Islands and Beyond: Travels in Eastern
Indonesia. (New York: Oxford University Press, 2008)., hlm 237

235
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

banyak mengadopsi teknologi dari Indonesia.Bahkan kapal Jung yang banyak


dipakai orang Cina ternyata dipelajari dari pelaut Nusantara.
Tetapi, sayang Primadi Tabrani tidak mendeskripsikan tentang
bagaimana asal muasal kata Nusantara sebagaimana dalam kita
Nagarakertagamaatau Kidung Sunda.

B. Dualisme yang dwitunggal, sebuah persentuhan unsur budaya


Dalam tradisi Indonesia tak ada karya seni rupa yang dibuat semata
untuk keindahan, sebaliknya tak ada benda pakai yang asal bisa dipakai, ia
pasti indah. Indahnya bukan sekedar memuaskan mata, tapi melebur dengan
kaidah moral, adat, tabu, agama dan sebagainya hingga selain bermakna,
sekaligus indah.Karena itu, pembuatan karya seni rupa memerlukan ketelitian
duplikasi, namun tak ada dua karya yang persis sama, bukan hanya Karen
buatan tangan manusia (bukan mesin), tapi masih terpengaruh situasi,
kondisi, dan siapa senimannya. Dalam perupaan seni tradisi di Indonesia, tak
ada yang senaturalis atau seabstrak Barat, yang disukai dekoratif dan ragam
hias, juga tak ada yang sesimetri atau seasimetri Barat, yang disukai
keseimbangan dinamis, juga tak disukai berpikir dan berkomunikasi yang
sekonkret atau seabstrak Barat, yang disukai simbolik.7
Hal ini sebagaimana filosofis tradisi Nusantara yang kosmologis,
dinamis dan keseimbangan, yaitu adanya dunia atas dan dunia bawah.8
Sementara itu, Dadang Kahmad , mengemukakan bahwa di bidang
kebudayaan spiritual adalah gagasan-gagasan yang lahir dari paduan
berimbang dan harmonis antara tradisi Hindu-Budha India dengan anasir
keagamaan pribumi Jawa. Di dalam kerangka berpikir yang demikian itu,
tertib duniawi mencerminkan dan mewujudkan yang surgawi.Raja dipandang
sebagai dewa, raja beserta kerajaannya merupakan titik kosmos yang
menjaga keseimbangan.Karenya, ketimpangan dan ketidakselarasan harus
dicegah.Pandangan dunia seperti ini dapat disebut sebagai kosmik-monisme.9
Pandangan kosmikmonistik merupakan wajah kebudayaan yang
berkembang di Jawa selama kekuasaan kerajaan Majapahit.Sementara, pulau-
pulau di luar Jawa, tetap mempertahankan kepercayaan dan adat istiadat
masing-masing.Pada sebagian besar Sumatra, rakyat lebih cenderung untuk
menganut adat pribumi ketimbang peradaban Hndu.10

7
Tabrani, op.cit., hlm 16
8
Slamet Subiyantoro. Antropologi Seni Rupa. Teori, Metode & Contoh Telaah
Kritis.(Surakarta:UNS Press. 2010)., hlm.20
9
Dadang Kahmad,.Persentuhan Unsur Budaya lokal dan Islam (sebuah Kasus
Sinkretisme).Makalah.,Tanpa tahun.hlm. 2-3
10
Dadang Kahmad., Ibid, hlm. 3

236
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

Hal tersebut erat hubungannya dengan tradisi Nusantara yang bersifat


dualisme yang dwitunggal sebagaimana pradigma oposisi biner, yaitu
pandangan yang menjadikan sesuatu itu berpasangan, ada dunia atas; dewa,
angkasa, gunung, lelaki, baik, kanan, dan sebagainya.Sebagai pasangannya,
ada dunia bawah; manusi, laut, wanita, jahat, kiri dan sebagainya.Namun,
dualisme ini bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk
diintegrasikan.Yang penting bukan mana yang lebih unggul, kuat, berkuasa,
tapi bagaimana keduanya bekerjasama, yang satu belum lengkap bila belum
didampingi pasangannya.Oleh karena kemajuan dipahami sebagai hasil dari
dualisme menjadi dwitunggal.Hal ini berbeda dengan tradisi Barat, yang
memahami kemajuan sebagai hasil pertentangan antara dualisme (dua kutub
yang bertentangan), yang dikenal sebagai dialektka. Di Indonesia, secara
tradisional dualisme diintegrasikan menjadi dwitunggal agar seimbang,
selaras, serasi dan lestari. Oleh karena itu, kawasan kepulauan Nusantara
memunculkan ciri yang unik dalam kebudayaannya; dualisme yang
dwitunggal, sebagai pemersatu kawasan Nusantara dengan ke bhineka
Tunggal Ika, meski kini terobek dengan berbagai kasus separatisme dan isu
terorisme
Dualisme yang dwitunggal ini tidak lepas dari adanya persentuhan
unsur-unsur budaya, mulai dari persentuhan budaya asli (pribumi) dengan
budaya Hindu, Budha, Islam dan Kristen.

C. Akulturasi dan sinkretisme; antara semangat kebangsaan,


persentuhan unsur budaya dan pemuliaan sumber kebudayaan
Manusia di kawasan Nusantara tidak mau dipecah-belah oleh suatu yang
datang dari luar, agama sekalipun.Pendudukkawasan ini lebih cinta Indonesia
daripada harus berperang karena sesuatu yang datang dari luar.Semangat
kebangsaan ini sudah ada sejak semula dan penguatnya adalah lautan
wawasan Nusantara, dengan dualisme dwitunggal dan Kebhineka tunggal
Ika.11
Hal tersebut tidak berbeda sebagaimana Koentjaraningrat,
mengemukakan bahwa ada persentuhan budaya atau adalah proses sosial
yang timbul bila suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur
kebudayaan asing, dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri,
sering diistilahkan akulturasi.12Unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan
secara terpisah, melainkan senantiasa dalam suatu gabungan atau kompleks
11
Tabrani,op.cit., hlm. 10
12
Koentjaraningrat.. Pengantar Ilmu Antropologi.(Jakarta: Aksara Baru1995)., hlm 155

237
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

yang terpadu.Koentjaraningrat lebih lanjut menjelaskan bahwa proses


akulturasi memang sudah terjadi sejak zaman dulu kala, akan tetapi
akulturasi dengan sifat yang khusus baru terjadi ketika kebudayaan-
kebudayaan bangsa Eropa Barat mulai menyebar ke daerah-daerah lain di
muka bumi pada awal abad ke-15 dan mulai mempengaruhi masyarakat-
masyarakat suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan
Amerika Latin.
Tak sedikit raja Jawa dan Sumatra yang setelah mangkat diperingati
dengan sekaligus dua candi; candi Budha dan candi Hindu, bahkan ada yang
diperingati dengan satu patung mencitrakan sebegai Siwa-Budha.Ada masa
Hindu berkuasa di kawasan utara Jawa Tengah dan Budha di kawasan selatan
Jawa Tengah.Namun, di masa itu sejumlah candi Budha didirikan di tanah
yang dihibahkan Raja Hindu dan sebaliknya. Fakta lain, candi Prambanan
yang Hindu berdiri di wilayah Kerajaan Budha, karena ada Ratu Budha di
selatan yang menikah dengan Raja Hindu dari utara.
Bahkan agama Islam tanpa canggung memanfaatkan wayang Hindu yang
berbentuk sekuel (prompogan/rombongan) menjadi wayang kulit
tunggal.Majapahit yang Hindu, tiap ada pemujaan roh nenek moyang, Budha
dan Islam diperkenankan hidup berdampingan.Penemuan terakhir.Yang perlu
dikaji lebih mendalam adalah ditemukannya makam Islam Troloyo di
Trowulan yang diindikasikan sebagai ibukota Majapahit.13
Nanang Rizali mengatakan bahwa hadirnya ajaran Islam di Nusantara
memperkenalkan suatu pandangan religius-monoteistis yang menjadi
kekuatan pembebasan spiritual terhadap bentuk ketahyulan dan kemusyrikan.
Oleh karena itu dalam setiap proses penciptaan karya tekstil khususnya batik
senantiasa dilandasi oleh konsepsi tahuid sebagai muara nilai-nilai seperti
niat, qonaat, tawadhu, tawaqal, akhlaq dan aqidah.14Karya-karya terasebut
diungapkan atas dasar manfaat untu kesejahteraan seluruh umat manusia
(rahmatan lil alamin).Unsur-unsur ragam hias pra Islam ternyata dalam
perkembangannya tampak tidak bertentangan dengan nilai dan nafas ke
Islaman. Bahkan di dalamnya tercermin kalimat syahadat yang sela bersatu
dalam langkah kehidupan setiap perajin muslim, yaitu konsep hablum-
minallah dan hablum-minannas. Selanjutnya Rizali, menyampaikan, para
perajin muslim Nusantara menjadi pewaris untuk meneruskan tradisi
pembatikan pra Islam dengan menghidupkan kembali kekuatan keindahan,

13
Tabrani, op.cit., hlm 20
14
Rizali, Nanang. Perwujudan Tekstil Tradisional Indonesia; Kajian Makna Simbolik
Ragam Hias Bati yang Bernafaskan Islam pada Etnik Melayu, Sunda, Jawa dan Madura.
Abstrak (Disertasi. ITB Bandung, 2000)., hlm

238
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

dan spiritual Islam dengan tetap mempertahanan ciri khas masing-masing


tradisi budaya lokal. Dengan kata lain terjadilah suatu pemuliaan budaya.
Dalam hal ini, Saini berpendapat bahwamanusia harus mengubah
(mentransformasikan) gagasannya, perlakunya, peralatannya untuk
menghadapi tantangan dan bahaya dari zaman yang sudah berlainan dengan
zaman sebelumnya. Selanjutnya, Saini, menyampaikan bahwa kebudayaan
dapat mengalami proses yang disebut ‘byzantinisasi’ atau mandek dan
bahkan proses fosilisasi atau mati.15
Sementara menurut Tilaar, nilai-nilai dan norma budaya yang
berkembang di suatu lingkungan masyarakat itu harus hidup, menghidupi,
dan mengarahkan kehidupan masyarakatnya kini dan masa depan guna
memperkuat jati diri demi ketahanan bangsa. Sikap dan kemampuan serta
pemahamannya terhadap nilai-nilai budaya, kelak akan dapat membimbing
hidup manusia dalam menghadapi nilai-nilai global.16
Lebih lanjut, Saini, mengemukakan bahwa memelihara kebudayaan
berarti memelihara kreativitas agar masyarat selamat dan sejahtera.Salah satu
upaya kearah itu ialah dengan melakukan “pemuliaan” terhadap sumber-
sumber nilai budaya.Pemuliaan berarti menjaga tetap lestarinya unsur-unsur
kebudayaan.Dalam hal ini Kontjaraningrat menyampaian bahwa unsur
kebudayaan ada tujuh yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem
religi dan kesenian.
Sinkretisme adalah usaha memperdamaikan atau sintesis terhadap
prinsip-prinsip atau praktek-praktek yang bertentangan.Pada umumnya
timbul karena terjadinya saling hubungan antara kepercayaan atau keyakinan
yang berlainan hakikat.Sementara pendapat lain mengakatan bahwa
sinkretisme adalah percampuran dua unsur budaya atau lebih dari beberapa
agama membentuk budaya baru seakan-akan kemudian menjadi suatu ajaran
atau paham (aliran) baru dari agama tetentu untuk mencari keserasian,
keseimbangan, dsb: upacara Syiwa Buddha adalah ungkapan agama Buddha
dan Hindu, tahlil-an sebagai ungkapan ajaran Islam.
Dalam hal ini, harus diluruskan, bagaimana seharusnya unsur-unsur
budaya agama yang boleh bercampur dan yang tidak boleh bercampur, sejauh
unsur budaya tersebut tidak menyangkut akidah terutama dalam Islam, maka
tidak menjadi masalah, sebaliknya jika itu berkaitan dengan akidah Islam

15
K.M. Saini. Pemuliaan sumber Kebudayaan.Makalah disajikan dalam acara
Konferensi Batik Jawa Barat, 11-13 Mei 2001.(Hotel Horison Bandung2001)., hlm. 1-2
16
Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. (Bandung:
Remaja Rosda Karya), hlm.63

239
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

harus ditolak.Batik, misalnya karena tidak berkaitan dengan akidah, maka


tidak perlu dipersoalkan.
Asal muasal kataIndonesiaduludipopulerkan oleh Adolf Bastian,
seorang ilmuwan Jermanahli etnografi terkenal dari Berlin, dalam karya
klasiknya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel, lima jilid
terbitan 1884 dan 1894. Reputasi Bastian membuat kata Indonesia jadi
pindah dari jurnal kecil terbitan Penang ke tempat terhormat di kalangan
akademisi Eropa.
Namun sejatinya kata Indonesia jauh sebelumnya sudah di sebut oleh
James Richardson Logan dalamJournal of the Indian Archipelago and
Eastern Asia dan bukuLanguage and Ethnology of the Indian Archipelago.17
Kata Indonesia pertama kali dibuat pada 1850, mulanya dalam bentuk
Indu-nesiansoleh George Samuel Windsor Earl dalam Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia. Earl sedang mencari-cari terminologi
etnografis untuk menerangkan “that branch of the Polynesian race inhabiting
the Indian Archipelago atau the brown races of the Indian Archipelago”.
Meski sudah menggabungkan dua kata itu, masing-masing dari kata “Indu”
atau “Hindu” dengan kata “nesos” atau “pulau” dari bahasa Yunani, Earl
menolaknya sendiri. Dia menganggap kata Indunesia terlalu umum. Earl
menawarkan terminologi lain, yang dinilainya lebih jelas, “Malayunesians”.18
James Logan menanggapi usul George Earl soal “Indunesians”.Logan
berpendapat Indonesian merupakan kata yang lebih menjelaskan dan lebih
tepat daripada kata “Malayunesians” terutama untuk pemahaman geografi,
daripada secara etnografi, “I prefer the purely geographical term Indonesia,
which is merely a shorter synonym for the Indian islands or the Indian
Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or
Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian
Islanders”.19
R. E. Elson dalam bukunya The Idea of Indonesia menulis James Logan
adalah orang pertama yang menggunakan kata Indonesia untuk menerangkan
kawasan ini.Logan lantas memakai kata Indonesian maupun Indonesians
untuk menerangkan orang-orang yang tinggal di kawasan ini.Dia membagi
Indonesia dalam empat daerah, dari Sumatra hingga Formosa.

D. Penutup
Perlu disepakat bahwa keharusan adanya wawas diri dari seluruh anak
negeri sebagaimana dikemukakan baik oleh Primadi Tabrani, H. Dadang
17
Wikipedia. Ensiklopedi Bebas. http://wikipedia.org
18
ibid
19
ibid

240
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

Kahmad, Saini KM dan Nanang Rizali dalam tulisannya masing-masing yang


menjunjung tinggi kebudayaan Nusantara dengan berbagai ragam.
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar dan merupakan keturunan bangsa
dengan peradaban yang tinggi, oleh karena itu kita harus bangga dan ikut
melestarikan warisan budaya nenek moyang melalui “pemuliaan” sumber-
sumber budaya. Dibuktikan dengan adanya riset-riset DNA yangmemakan
waktu tiga tahun dan telah dirilis di jurnal Science pada 10 Desember 2009
berjudul “Mapping Human Genetic Diversity in Asia” yang jauh lebih akurat
dibanding riset-riset sebelumnya yang hanya menggunakan DNA
mitokondria atau kromosom Y karena menganalisis seluruh kromosom.”telah
membuktikannya, bagaimana dengan respon para arkeolog Indonesia
menanggapi 2(dua) riset DNA di atas yang membuktikan bahwa bangsa-
bangsa di Asia justru berasal dari kepulauan di Asia Tenggara (Nusantara)
Maka bila para pemimpin dan cerdik cendekia dari angkatan ’08, ’28,
’45, ’51, ’66 mampu merasakan getaran teori wawasan kepulauan Nusantara
hingga lahir Republik Kesatuan Indonesia ber bhineka Tunggal Ika dan ber-
Pancasila, maka para cendikiawan Indonesia abad XX harus mampu meneliti
secara lebih mendalam tentang kekhasan sejarah dan lingkungan Nusantara
yang berjiwa bahari dan agraris, dengan dualism dwitunggal dan bhineka
tunggal Ikanya hingga dapat diperoleh “citra” manusia Indonesia yang
sebenarnya, untuk mengoreksi “citra manusia Indonesia” hasil rekayasa
ilmuwan barat (benua) di masa lalu, yang ternyata kurang benar atau bahkan
salah dan selalu merendahkan bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Alfandi, Widoyo. 2002. Reformasi Indonesia: Bahasan dari Sudut Pandang


Geografi Politik dan Geopolitik. Yogyakarta:Gadjah Mada University.

Dick,Robert –Read. 2008. Penjelajahan Bahari (Pengaruh Peradaban


Nusantara di Afrika). Jakarta: PT. Mizan Pustaka.

D. G. E. tanpa tahun. Sejarah Asia Tenggara.Usaha Nasional. Surabaya.

HaOlthof, W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Penerbit Narasi. Yogyakarta.

Ihromi, T.O. 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta. Yayasan


Obor Indonesia.

Kahmad, Dadang. Tanpa tahun.Persentuhan Unsur Budaya local dan Islam


(sebuah Kasus Sikretisme).Makalah.

241
Jurnal Madaniyah, Volume 8 Nomor 2 Edisi Agustus 2018 ISSN (printed) : 2086-3462
Puji Dwi Darmoko, Melacak Jejak Kebudayaan Nusantara, ISSN (online) : 2548-6993
Membangun Semangat Ke Bhineka Tunggal Ika an

Koentjaraningrat.1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

Masinambouw.EKM. 2010. Koentjaraningrat Dan Antropologi Di Indonesia .


Jakarta. Yayasan Obor.

M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia


1: Jaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.

Miller, George (ed) 1996. To The Spice Islands and Beyond: Travels in
Eastern Indonesia. New York: Oxford University Press.

Rizali, Nanang. 2000. Perwujudan Tekstil Tradisional Indonesia; Kajian


Makna Simbolik Ragam Hias Bati yang Bernafaskan Islam pada Etnik
Melayu, Sunda, Jawa dan Madura. Abstrak Disertasi. ITB Bandung.

Saini.K.M. 2001.Pemuliaan sumber Kebudayaan.Makalah disajikan dalam


acara Konferensi Batik Jawa Barat, 11-13 Mei 2001. Hotel Horison
Bandung

Soekmono, Dr R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.


Yogyakarta, Indonesia: Penerbit:Kanisius.

Subiyantoro, Slamet. 2010. Antropologi Seni Rupa. Teori, Metode & Contoh
Telaah Kritis. Surakarta:UNS Press.

Suwardi MS. 2008. Dari Melayu ke Indonesia.Penerbit Pustaka Pelajar


Yogyakarta.

Tabrani, Primadi. 1995.belajar dari Sejarah dan Lingkungan. Sebuah


Renungan mengenai wawasan Kebangsaan dan dampak Globalisasi.
Bandung: ITB.

Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani


Indonesia, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Wikipedia. Ensiklopedi Bebas. http://wikipedia.org.

242
Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA

Nurdien H. Kistanto

Fakultas Ilmu Budaya


Universitas Diponegoro
nhkistanto@gmail.com

Abstract
Social scientists have conceptualized several stages of sociocultural transformation as societal
development. One version modified in this article constitutes a typology of preindustrial and
industrial societies which consists of one, hunting & gathering societies; two, pastoral societies;
three, village agrarian societies; four, advanced traditional agrarian societies; and five,
industrial societies; and six, postindustrial societies. To analyse the sociocultural transformation
which happens in the Indonesian society, one has to observe and consider the long historical
background which produces social heterogeneity. Thus, the direction and ideals of sociocultural
transformation can be identified and conceptualized.

Key Words: sociocultural transformation, cultural dynamics, types of societies, Indonesian


society.

1. Pendahuluan periodicity, stadial characteristic and the


direction to any state. In this context, culture
Transformasi sosial-budaya dipahami should be seen as a dynamic system, defining
sebagai perubahan besar dan menyeluruh as a set of elements that are in relationship
dalam wujud dan karakteristik masyarakat, and connection with each other, which is form
dari suatu keadaan ke keadaan lain sehingga certain integrity, and which changes its status
menjadi lebih baik atau lebih maju. Ilmuwan over time under the influence of external and
sosialbudaya Rusia, Alexei N. Tarasov (2016) internal forces. Analysis of the culture as a
melihat transformasi sosialbudaya sebagai dynamic system shows that none of its element
dinamika budaya (cultural dynamics); is a static entity. The philosophical concept or
bersama dengan ilmuwan sosialbudaya Rusia a religious doctrine, a masterpiece of world
lainnya, N. V. Shishova (2009), Tarasov culture or scientific discovery - everything is
menekankan bahwa, “Dynamics is an the result of complex, long and contradictory
attribute characteristic of culture, which process of development of the spiritual
includes the entire set of changes that occur in aspects of society, thus transforming and
it under the influence of internal and external newly interpreting in the course of human
factors; its analysis provides research funds, development. Therefore, culture acts as an
mechanisms and processes that describe the ambivalent connection of conservation,
changes” (Tarasov, 2016; Shishova, 2009). reproduction and constant renewal, and,
Lebih lanjut Tarasov (2016) menerangkan, consequently, the complexity, expressing it in
“Thus, the cultural dynamics means any a bizarre combination of traditional and
change, sustainable order of interaction of its innovative, conservative and modernizing,
constituent components, as well as a certain personal and social” (Tarasov, 2016: 11994).

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 169


Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

Para penjelajah, pedagang, dan kerajaan-kerajaan yang lemah di luar batas


misionaris yang dikirim ke berbagai tempat di dunia beradab. Dan ada pula India, tanah
dunia pada abad kejayaan penemuan oleh tempat sapi-sapi dimuliakan dan beban hidup
bangsa Eropa bertemu dengan bermacam- yang berbeda dibagi secara adil menurut
macam masyarakat, sebagaimana disampaikan kebaikan tiap jiwa pada inkarnasi sebelumnya.
oleh antropolog Marvin Harris (1978: 13-14), Dan kemudian, ada pula pemerintah-
seperti berikut. pemerintah dan kerajaan-kerajaan Amerika
Di beberapa wilayah seperti Australia, asli, dengan dunianya sendiri, masing-masing
Kutub Utara (the Arctic), ujung selatan dengan seni-budaya dan agamanya yang
Amerika Selatan dan Afrika, mereka berbeda, yaitu orang-orang Incas, dengan
menemukan kelompok-kelompok manusia benteng-benteng batu yang besar, jembatan-
yang hidup mirip dengan nenek-moyang jembatan gantung, lumbung-lumbung yang
zaman batu Eropa kuno: rombongan dari penuh, dan perekonomian terkendali
duapuluh-tigapuluh orang, yang tersebar pemerintah; dan orang-orang Aztecs, dengan
melintasi wilayah sangat luas, selalu bergerak, dewa-dewa haus darah yang disuapi hati
dan hidup sepenuhnya dengan berburu manusia dan yang tak putus-putus mencari
binatang dan mengumpulkan tanaman liar – korban-korban segar (Harris, 1978; Giddens,
mereka para pemburu-pengumpul ini 1991: 42).
merupakan anggota-anggota dari species Transformasi sosial-budaya sebagai
langka dan terancam punah (a rare and dinamika budaya dalam peradaban
endangered species). Di wilayah-wilayah lain, masyarakat manusia meliputi proses yang
seperti di hutan-hutan bagian timur Amerika lama dan bertahap-tahap, tidak selalu linear
Utara, hutan-hutan belantara Amerika Selatan, dan tidak selalu berjalan lurus dan lempang
dan Asia Timur, mereka menemukan dari tahap ke tahap. Tahapan-tahapan dari
penduduk yang lebih padat yang menghuni transformasi ini kemudian menghasilkan
desa-desa yang kurang-lebih permanen, tipologi masyarakat dengan wujud dan
dengan bertani dan terdiri dari satu atau dua karakteristik kehidupannya. Transformasi
struktur komunal, akan tetapi di sini pula sosialbudaya, dengan demikian, terjadi dari
senjata dan peralatan yang dipakai masih satu tahap ke tahapan yang lain, di satu waktu
merupakan peninggalan prasejarah. Di tempat atau di waktu lain, di satu tempat atau di
lain, para penjelajah tentunya juga tempat lain, berlangsung tidak sama. M. Alan
menemukan pemerintah dan kerajaan yang Kazlev (2009) menegaskan, “Included here is
sangat maju, dipimpin oleh raja dhalim dan the evolution and transformation of society as
kelas-kelas penguasa, dan dipertahankan oleh a whole. This comes about through the
lasykar-lasykar yang siaga. Itulah kerajaan- influence of the totality of the individuals and
kerajaan besar, dengan kota-kotanya, communities, groups and movements within
monumen-monumen, istana-istana, candi- that society as a whole.”
candi dan harta-kekayaan, yang telah memikat Para sosiolog telah menyederhanakan
tokoh-tokoh seperti Marco Polo dan pemahaman transformasi sosial-budaya atau
Columbus melintasi lautan dan padang pasir dinamika budaya (cultural dynamics)
terlebih dahulu menuju negeri Cina, kerajaan (Tarasov, 2016) atau evolusi dan transformasi
terbesar dan canggih di dunia, yang para (evolution and transformation) (Kazlev,
pemimpinnya memandang rendah ‘para 2009), yang menghasilkan tipologi
barbar bermuka merah,’ para pemohon dari masyarakat dalam tipe-tipe masyarakat pra-

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 170


Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

moderen atau pra-industrial dan tipe 2. 2. Masyarakat Penggembala (Pastoral


masyarakat moderen atau industrial (Lenski, Societies), yaitu masyarakat yang tergantung
1966; Lenski & Lenski, 1974; Ritzer, pada pemeliharaan binatang ternak untuk
Kammeyer, Yetman, 1979; Vago, 1989; bahan makanan sendiri; jumlahnya antara
Giddens, 1991), seperti disampaikan berikut beberapa ratus orang sampai ribuan orang;
ini. mereka ditandai oleh perbedaan khusus dan
dipimpin oleh para kepala kelompok dan raja-
2. Tipologi Masyarakat Praindustrial raja perang; masa mulai hidupnya sama
dan Industrial sampai Pascaindustrial dengan masa hidup masyarakat pertanian
desa, dan sekarang sebagian besar menjadi
Perubahan masyarakat manusia yang bagian dari pemerintahan masyarakat yang
berlangsung dari zaman ke zaman melalui besar, dan cara-cara hidup tradisional mereka
transformasi sosial-budaya telah menuju kepunahan (Giddens, 1991: 54).
menghasilkan terbentuknya 5 (lima) tipe
masyarakat praindustri (preindustrial 2. 3. Masyarakat Pertanian Desa (Village
societies) dan industrial (industrial societies), Agrarian Societies), menurut Giddens (1991:
sebagai berikut. 54), merupakan masyarakat yang berbasis
komunitas-komunitas pedesaan yang kecil,
2. 1. Masyarakat Pemburu-Pengumpul tanpa kota-kota dengan mata pencaharian
(Hunting & Gathering Societies), terdiri dari utama bertani, dan sering ditambah dengan
segerombolan kecil orang-orang nomadik berburu binatang atau ikan dan
yang berpindah-pindah dan mengandalkan mengumpulkan tanaman; ditandai dengan
kehidupannya dari berburu binatang, perbedaan yang lebih tajam daripada
menangkap ikan, dan mengumpulkan tanaman masyarakat pemburu dan pengumpul, dan
dan buah-buahan yang dapat dimakan; tak dipimpin oleh para kepala (chiefs); mereka
banyak perbedaan di antara anggota hidup sejak 12.000 tahun yang lalu hingga
masyarakat dan antar masyarakat mereka; sekarang, dan sebagian besar sekarang
perbedaan tingkatan atau jabatan terbatas pada menjadi bagian dari satuan politik dan
umur dan jenis kelamin, dengan laki-laki pemerintahan sehingga kehilangan identitas
berburu binatang atau menangkap ikan, khususnya. Sedangkan Ritzer (1979: 233-4)
sedangkan wanita mengumpulkan bahan menyebut, masyarakat agrarian menguasai
makanan dari tumbuh-tumbuhan; kelebihan peradaban dari masa tahun 3000 sebelum
personal yang dimiliki semata-mata Masehi hingga tahun 1800 sesudah Masehi,
berdasarkan ketrampilan dan kemampuan dengan tanah-tanah pertanian yang sangat luas
personal merupakan suatu bentuk keunggulan dan tempat-tempat tinggal permanen sehingga
yang tak bisa secara sosial ditularkan kepada menghasilkan panenan berlimpah yang
anak-anak keturunannya; mereka kira-kira dimungkinkan oleh inovasi teknologi seperti
hidup sejak 50.000 tahun yang lalu sampai alat pertanian bajak yang secara efisien ditarik
tahun 7000 sebelum Masehi (Giddens, 1991: oleh hewan. Lenski (1966) juga mencatat
54; Ritzer, 1979: 232; Lenski, 1966; Vago, terjadinya peningkatan produksi dan
1989: 172), dan sekarang hampir punah kelebihan pangan yang tajam dalam
(Giddens, 1991: 54). masyarakat pertanian ini sehingga mengalami
kemajuan dalam transportasi, komunikasi,
perteknikan, dan teknologi militer; demikian

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 171


Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

pula bentuk-bentuk baru dalam hubungan tradisional pertanian kompleks dan maju,
kekuasan muncul dalam wujud negara-kota, sebagai bagian dari masyarakat-masyarakat
kekuasaan birokrasi, atau feudalisme sehingga pra-industrial, yang sudah lanjut, atau maju
sangat berkembang kelompok sosial dengan (complex and advanced traditional agrarian
struktur dan stratifikasi sosial yang maju, societies).
unggul, turun-temurun, dan penyebab-
penyebab perbedaan terutama bersifat 2. 5. Masyarakat Industrial (Industrial
ekonomik. Era masyarakat-masyarakat Societies), yang hidup pada zaman moderen,
pertanian yang tercatat meliputi masyarakat- mulai tumbuh bersamaan dengan Revolusi
masyarakat Mesir kuno dan Cina, melampaui Industri di Inggris yang berlangsung pada
Abad Pertengahan hingga permulaan antara tahun-tahun 1760 dan 1830 (abad ke
masyarakat industrial moderen; dalam era ini 18-19) (Ritzer, 1979) dan diwarnai dengan
sistem kenegaraan tumbuh dan menjadi protes-protes keras berkesinambungan oleh
lembaga pusat (Ritzer, 1979: 233-4; Vago, masyarakat (Stearns, 1972). Masyarakat
1989: 172). industrial moderen merupakan tipe
masyarakat terakhir dalam transformasi
2. 4. Masyarakat Pertanian Tradisional sosial-budaya dan perkembangan peradaban
Maju (Advanced Traditional Agrarian masyarakat manusia, sebelum kemudian
Societies), dalam masyarakat ini, pertanian berkembang mulai akhir abad ke 20 tipe
masih merupakan andalan sistem ekonominya, masyarakat pasca-industrial (postindustrial
akan tetapi kota-kota hidup sebagai pusat societies) dalam masyarakat pascamoderen
perdagangan dan produksi; sebagian (postmodern societies) (Bell, 1973).
pemerintahan masyarakat tradisional bisa Kemajuan masyarakat industrial ditandai
sangat luas, dengan warga berjumlah jutaan dengan dominasi kegiatan-kegiatan
orang, meskipun sebagian besar sangat sosialbudaya dan ekonomi berbasis industri
terbatas dibandingkan masyarakat industrial manufaktur atau pemrosesan atau pengolahan
yang besar sekarang ini; pemerintahan (manufacturing/processing industries).
tradisional memiliki aparat pemerintahan
khusus, dipimpin oleh raja atau kaisar, dengan 2. 6. Masyarakat Pascaindustrial
perbedaan tingkatan-tingkatan di antara kelas- (Postindustrial Societies), sesungguhnya
kelas sosial yang berbeda-beda. Oleh Giddens adalah tahapan akhir dari masyarakat
(1991: 54-55) disebutkan, masyarakat industrial, yang setidak-tidaknya berkembang
tradisional telah hidup sejak 6.000 tahun mulai pada akhir abad ke-20 dan mencapai
sebelum Masehi sampai abad ke-19; sebagian puncak kemajuannya pada abad ke-21. Selain
besar pemerintahan tradisional atau bahkan dukungan manajemen dan teknologi
semuanya sekarang punah; sedangkan Ritzer sebagaimana dicapai oleh masyarakat
(1979) mengatakan bahwa masyarakat industrial dengan aktivitas-aktivitas industri
tradisional ini agaknya hidup sezaman dan manufaktur, pemrosesan, pengolahan
bersamaan dengan masyarakat agrarian, (manufacturing/processing industries),
namun sudah lebih maju karena masyarakat masyarakat pascaindustri pada abad ke-21
pertanian ini sudah mengembangkan kota- mengembangkan keunggulan teknologi
kota sebagai pusat-pusat perdagangan dan informasi (information technology) yang
produksi, sehingga dapat dikatakan sebagai meliputi teknologi keuangan (financial
masyarakat pertanian-tradisional atau

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 172


Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

technology/fintech) dan teknologi media sosial masyarakat pekebun yang maju (advanced
(social media technology). horticultural societies). Dalam pembahasan
Sesungguhnya Ritzer (1979: 232-3), Vago (1989: 172), masyarakat pekebun
dengan mendiskripsikan kembali tulisan- sederhana bercocok tanam dengan
tulisan Lenski (1966) dan Lenski & Lenski menggunakan alat tongkat untuk menggali
(1974) menyelipkan satu tahapan masyarakat (digging stick), sebagai alat paling sederhana
perkebunan atau pekebun (Horticultural dari perekonomian kebun (gardening
Societies), di antara masyarakat pemburu- economy) dan bercocok tanaman lebih dapat
pengumpul (Hunting and Gathering Societies) mengandalkan hasil kebun sebagai persediaan
dan masyarakat agrarian atau pertanian bahan pangan, yang pada gilirannya
(Agrarian Societies), sebagai masyarakat berhubungan dengan munculnya pembagian
yang, setidak-tidak-tidaknya sebagian, lebih kerja (division of labor), termasuk dalam
menggantungkan hidupnya dari penanaman pengembangan pekerjaan spesialis bernilai
bahan makanan dan memelihara binatang, ekonomis dan pekerjaan-pekerjaan penuh
daripada dari berburu binatang dan waktu dalam politik dan keagamaan.
mengumpulkan buah-buahan dan tanaman Spesialisasi fungsional ini pada waktunya
yang tumbuh liar untuk dimakan. Masyarakat melahirkan status-status sosial dan hubungan-
ini, menurut Ritzer (1979: 233), hidup antara hubungan kekuasaan baru. Dalam masyarakat
tahun-tahun 7000 sebelum Masehi sampai pekebun maju, peningkatan perbedaan status
3000 sebelum Masehi, sebelum tumbuh dan dan peran dalam masyarakat semakin
hidupnya masyarakat agrarian pada tahun bertambah, misalnya dengan berkembangnya
3000 sebelum Masehi sampai dengan 1800 alat kebun, cangkul, yang memungkinkan
sesudah Masehi, dan perubahan kebiasaan pemanfaatan tanah lebih besar dengan
dari berburu dan mengumpulkan ke berkebun pengembangan pengkotak-kotakan kebun,
ini menandai penurunan kecenderungan untuk pengairan, pupuk, atau metalurgi. Tahapan
hidup secara nomadik yang berpindah-pindah teknologi lebih tinggi mendorong peningkatan
dan menjadi awal dari komunitas-komunitas spesialisasi dalam kegiatan ekonomi dan
permanen, yang terdiri dari lebih banyak pengembangan kekuasaan politik. Bersamaan
anggota yang menetap dan dapat memanen dengan itu, terjadi perluasan status-status
hasil kebun dalam jumlah lebih besar, formal yang diikuti peningkatan hak atas
dibandingkan komunitas-komunitas dari kekayaan yang meliputi hak atas kepemilikan
masyarakat pemburu dan pengumpul yang manusia, atau perbudakan, dan tersedianya
hidup berpindah-pindah. aset-aset yang dapat dipindahkan seperti uang,
Demikian pula Vago (1989: 172), yang hewan ternak, dan budak. Dari jurusan
menekankan pembahasan tentang dinamika hubungan kekuasaan, tahapan pengembangan
hubungan kekuasaan ( the dynamics of power teknologi dan kemasyarakatan melahirkan
relations) dari Lenski (1966), menyelipkan 2 lapisan sosial yang diperoleh secara turun-
(dua) tipe masyarakat di antara masyarakat- temurun secara tegas.
masyarakat yang, mengandalkan hidupnya
dari, berburu binatang dan mengumpulkan
hasil tanaman liar, dan masyarakat- 3. Transformasi Sosial-Budaya dalam
masyarakat pertanian, yaitu masyarakat- Masyarakat Indonesia
masyarakat pekebun yang sederhana (simple
horticultural societies) dan masyarakat-

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 173


Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

Masyarakat pascaindustrial kota-kota besar dan metropolitan. Berbagai


(postindustrial societies) merupakan tipe masyarakat ini semua menjadi bangsa
kelanjutan dari masyarakat industrial (the Indonesia.
advancement of industrial societies) yang Transformasi sosial-budaya bagi
berkarakteristik masyarakat penyedia industri masyarakat-bangsa Indonesia harus
jasa (service industry), dengan unggulan diperlakukan, dibayangkan dan dicita-citakan
teknologi informasi (information technology), secara khusus dengan mempertimbangkan
terutama teknologi keuangan (financial latar-belakang historis yang sudah menjadi
technology/fintech) dan teknologi media sosial pengalaman bangsa dan latar budaya yang
(social media technology), selain berbagai merupakan realitas yang dimiliki masyarakat-
teknologi peralatan-peralatan supercanggih masyarakat di Indonesia dan sekitarnya,
(super-sophisticated equipment technology). sehingga setidak-tidaknya 2 (dua) masalah
Masyarakat industrial dan masyarakat sosial-budaya harus diperhatikan, sebagai
pascaindustrial seperti di Indonesia, berikut.
sesungguhnya berlatar belakang atau berbasis
masyarakat pertanian dan perkebunan, bahkan 3. 1. Latar Belakang Historis
meliputi masyarakat pemburu hewan,
termasuk ikan dan pengumpul hasil tanaman Pertama, latar-belakang historis sebagai
dan tumbuh-tumbuhan liar, di darat maupun di pengalaman bermasyarakat dan berbangsa
laut, dan di udara, hingga saat ini. yang berasal dari nilai-nilai dan kearifan-
Mempertimbangkan transformasi sosial- kearifan lokal dari kerajaan-kerajaan, yang
budaya dengan tahapan-tahapan yang dicapai tradisional agraris, maritim, feodal, yang dari
dalam tipologi masyarakat pra-moderen dan zaman ke zaman mengalami dan menjalin
moderen, agaknya masyarakat-masyarakat di pertemuan-pertemuan dan hubungan-
wilayah kepulauan Indonesia pun hubungan intensif, menerima, menyerap, dan
mengalaminya, bahkan hingga sekarang mengamalkan nilai-nilai dan praktek-praktek
semua tipe masyarakat tersebut masih hidup: kehidupan bersama dengan nilai-nilai dari
sebagian seperti tipe-tipe masyarakat luar, seperti India (sejak abad ke-1), dengan
pemburu-pengumpul, seperti pemburu hewan agama-agama dan nilai-nilai Hindu dan
di hutan dan semak-semak, dan nelayan Budha, Cina (sejak abad ke-3) dan Kong Hu
tradisional tradisional, serta masyarakat Cu, dan Islam dan Timur Tengah (sejak abad
pengumpul hewan dan penggembala dan ke-13), yang dilanjutkan dengan kolonial
pekebun, menjadi tipe peninggalan budaya di Eropa, Belanda (abad ke-17 sampai abad ke-
banyak wilayah yang maju maupun yang 20). Pertemuan-pertemuan dan hubungan-
hampir punah; sebagian lagi seperti tipe-tipe hubungan yang dibangun pada umumnya
masyarakat pekebun, masyarakat pertanian melalui perdagangan yang dilaksanakan atas
dan masyarakat tradisional, atau tipe kesepakatan bersama, yang dengan
masyarakat pertanian-tradisional atau masyarakat India, Cina, dan Timur Tengah
tradisional-pertanian, atau pertanian- pada umumnya berlangsung secara damai;
tradisional-feodal, masih hidup dan sedangkan dengan Eropa, Belanda diwarnai
berkembang, hidup bersama sebagai suatu dengan kehendak untuk penguasaan, melalui
entitas bangsa, yang hidup di wilayah-wilayah agresi bersenjata, oleh bangsa Barat yang
terpencil-pedalaman-terasing, di desa-desa, berekspansi dengan persiapan organisasi,
desa-desa-kota, di kota-kota kecil, bahkan di peralatan dan persenjataan yang canggih,

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 174


Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

sehingga terjadi penjajahan dan penguasaan negara-bangsa berbentuk Republik Kesatuan,


kegiatan-kegiatan ekonomi, politik dan yaitu negara-bangsa yang bersatu, kokoh-kuat,
pemerintahan, dengan strategi devide et berdaulat, demokratis, dan moderen. Untuk
empera (pecah-belah dan kuasai). mewujudkan ideal type, masyarakat dan
negara yang dicita-citakan itu, bangsa
3. 2. Latar Budaya Heterogin Indonesia harus meneguhkan kembali akan
kesadaran terhadap cita-cita bersama untuk
Kedua, latar budaya sebagai realitas menjadi negara-bangsa yang bersatu di atas
dengan nilai-nilai masyarakat kepulauan yang realitas bhinneka tunggal ika, sebagai negara
sangat heterogin, plural, multietnik, kesatuan yang didukung dan disangga oleh
multilingual, multiras - sehingga disebut unsur-unsur yang berbeda sebagai “serat-serat
multikultural - berpaduan dengan realitas budaya” bangsa (Kayam, 1989: 25). Modal-
geografis (berkarakteristik alam daratan dan modal sebagai negara kesatuan telah dibangun
lautan), geopolitik (kawasan strategis dalam oleh para pendiri dan pengembang bangsa
pergaulan antar bangsa dengan kepentingan- yang merupakan hasil-hasil budaya bangsa
kepentingan politik dan ideologi), dan moderen, seperti nama Indonesia yang indah
geoekonomi (berkarakteristik ekonomi, dan tepat; Bahasa Indonesia sebagai bahasa
manajemen, dan matapencaharian agraris- nasional dan bahasa kesatuan dan pemersatu;
tradisional-feodal). Latar budaya yang Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
kompleks, rumit dan khas ini dapat Konstitusi Negara dan payung hukum, dan
menguntungkan jika upaya-upaya Pancasila sebagai payung politik, hukum,
pengelolaannya tidak terganggu oleh sikap dasar negara, nilai-nilai dan norma-norma
dan tingkah-laku warga masyarakat yang luhur dan mulia. Dari modal-modal bangsa ini
kontra-produktif dan mementingkan diri dapat dibangun sistem sosial-budaya nasional
sendiri dan kelompok-kelompoknya. yang mewadahi kepentingan seluruh bangsa,
dengan ketahanan bangsa dalam masyarakat
3. 3. Arah dan Cita-Cita yang sepenuhnya sadar dan bersedia
Transformasi Sosial-Budaya berkorban untuk mewujudkan kesatuan
nasional yang kokoh.
Mempertimbangkan masalah 2 (dua)
latar tersebut, transformasi sosial-budaya 3. 3. 2. Menjadi Negara-Bangsa
masyarakat Indonesia menuju masyarakat- Industrial Moderen
bangsa yang dicita-citakan, dengan
merumuskan format dan wujud budaya yang Mentransformasikan masyarakat dari
mampu dan efektif dalam menjawab status keterbelakangan sosial-budaya dan
tantangan sosial-budaya, ekonomi dan politik, ekonomi agraris-feodal menjadi masyarakat
dapat dibagi menjadi 2 (dua) arah dan tujuan, industri moderen yang demokratis.
sebagai berikut. Transformasi sosial-budaya ini mengandaikan
suatu masyarakat yang bersedia menerima,
3. 3. 1. Menjadi Negara-Bangsa mempelajari dan melaksanakan sistem nilai
Kesatuan yang Kuat liyan yang akan diterapkan, yaitu sistem nilai
industrial moderen yang menekankan
Mentransformasikan bekas negara rasionalitas, efisiensi, keterbukaan dan
jajahan yang terpecah-pecah menjadi suatu transparansi, sikap egaliter, demokrasi dengan

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 175


Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

kebebasan berpendapat, penghargaan terhadap industrial dan pascaindustrial tersebut; akan


hak azasi, dan persaingan sehat dan terbuka. tetapi agaknya masih lebih banyak warga
Tahapan kesadaran sikap-mental kolektif yang masyarakat, bahkan warga masyarakat elit,
dapat diterapkan untuk kegiatan ideal dan yang memahami dan melaksanakannya tanpa
praktis dengan rajin dan tekun (industrious) mengindahkan etika, norma, nilai-nilai baik
bagi kemakmuran bangsa sangat penting dan hukum yang disepakati, dengan
sebagai modal dasar yang dikembangkan pelaksanaan yang kebablasan dan tak
menuju masyarakat industri moderen berbasis mencerminkan sikap masyarakat yang baik
kegiatan-kegiatan sosial-budaya ekonomi dan beretika, semisal yang berkembang dalam
kreatif, produktif, dan inovatif dalam sarana- teknologi informasi, melalui program-
sarana industri manufacturing dan sarana- program media sosial. Kemajuan masyarakat
sarana pasca-industri jasa, menuju masyarakat menjadi masyarakat pascaindustri harus
yang kegiatan sosi-budaya dan dibarengi dengan etika, norma-norma, dan
perekonomiannya berbasis industri jasa, nilai-nilai yang menghormati hak dan harapan
service industry, yang menjadi karakteristik manusia dalam masyarakat,
postindustrial society, dalam sistem sosial- Transformasi sosial-budaya dalam
budaya pascaindustri, sociocultural masyarakat Indonesia dapat dipahami sebagai
postindustrial system. energi dan daya dorong bagi masyarakat
Indonesia untuk dengan rajin dan tekun
4. Simpulan melakukan dan meningkatkan perubahan
sosial-budaya dari suatu keadaan dan
Berbeda dari rumusan yang disusun oleh kehidupan masyarakat ke keadaan dan
para sosiolog, transformasi sosialbudaya atau kehidupan masyarakat yang lebih baik,
dinamika budaya (cultural dynamics) yang menuju kemakmuran dan kesejahteraan,
berlangsung dari zaman ke zaman di melalui kegiatan-kegiatan hidup yang
Indonesia tidak linear, tidak persis mengikuti kualitasnya bertahap-tahap sesuai dengan
tahapan-tahapan, sebagaimana tipologi tingkat peradabannya. Tahapan-tahapan dan
perkembangan kebudayaan manusia dalam tingkat-tingkat peradaban telah menjadi
teks-teks sosiologi. Oleh sebab itu pengalaman bermasyarakat dan berbangsa
masyarakat-bangsa Indonesia sekarang ini dalam masyarakat-bangsa Indonesia, sehingga
terdiri dari semua tipe masyarakat yang menjadi masyarakat-bangsa dalam tahapan
pernah berada dan berkembang di Indonesia, sekarang ini yang menyiapkan dan
jauh sebelum disebut Indonesia, mulai dari mengembangkan diri di dalam pergaulan
masyarakat pemburu-pengumpul bahan lokal-domestik-internal bangsa dan dalam
makanan di perairan, daratan dan udara, pergaulan antar bangsa menuju pemantapan
masyarakat pertanian, masyarakat industrial tahapan kualitas peradaban masyarakat-
yang berbasis manufacturing, pembuatan atau bangsa berikutnya, bagi kemakmuran dan
pengolahan, dan masyarakat pascaindustrial, kesejahteraan masyarakat-bangsa yang
yang berbasis industri pelayanan (service bermartabat dan terkemuka sebagai
industry), dengan teknologi, peralatan dan khalifatullah di atas bumi manusia dan
manajemen modern-rasional. makhluk-makhluk ciptaan Allah Sang
Pada saat ini masyarakat Indonesia di Pencipta, yaitu khalifatullah yang mengemban
pusat-pusat kemajuan sudah belajar dan mulai amanah untuk menjaga, melestarikan dan
terbiasa dengan nilai-nilai masyarakat mengolah bumi, bagi kesejahteraan dan

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 176


Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

kebaikan dunia. Niat dan kehendak untuk De Jong, P. E. De Josselin. 1984. Unity
membangun kebaikan dan kesejahteraan in Diversity: Indonesia as a Field of
penting disampaikan karena kegiatan-kegiatan Anthropological Study. Dordrecht, Holland:
manusia sehingga mencapai tahapan-tahapan Foris Publications.
peradaban dengan peningkatan kualitasnya
selalu dijalankan bagi kebaikan dan Geertz, Clifford. 1995. After the Fact:
kesejahteraan manusia. Tanpa niat dan Two Countries, Four Decades, One
kehendak untuk meningkatkan kebaikan dan Anthropologist. Cambridge: Harvard
kesejahteraan manusia melalui kegiatan- University Press.
kegiatan yang terus-menerus meningkat
kualitasnya, manusia industrial moderen dan Giddens, Anthony. 1991. Sociology.
pascaindustrial, pascamoderen, mengalami Oxford: Polity Press.
kemunduran kualitas dan terperosok dalam
jurang kekosongan dan kehancuran rohani dan Harris, Marvin, 1978. Cannibals and
jasmani, dengan tanda-tanda serakah terhadap Kings: The Origins of Cultures. London:
alam, kekuasaan dan harta benda, arogan dan Fontana.
sewenang-wenang dalam kekuatan, dan
menutup mata terhadap penderitaan dan nasib Hart, Gillian, Andrew Turton, Benjamin
umat manusia. White. 1989. Agrarian Transformation: local
Processes and the State in Southeast Asia.
Berkeley; University of California Press.

Daftar Pustaka Harvey, Edward B. 1975. Industrial


Society – Structures, Roles, and Relations.
Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, Georgetown, Ontario: The Dorsey Press.
and Bryan S. Turner. 1988. Dictionary of
Sociology. London: Penguin Books. Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins
Dictionary of Sociology. Glasgow:
Bell, Daniel. 1973. The Coming of Post- HarperCollins.
Industrial Society: a Venture in Social
Forecasting. London: Heinemann. Kayam, Umar. 1989. “Transformasi
Budaya Kita,” Pidato Pengukuhan Jabatan
Breese, Gerald. 1966. Urbanization in Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas
Newly Developing Countries. Englewood Gadjah Mada, Yogyakarta, 19 Mei.
Cliffs: Prentice-Hall. Kazlev, M. Alan. 2009. Social and
Cultural Transformation. Kheper Home:
Cambridge Advanced Learner’s Creative Commons License.
Dictionary, third edition, 2008. Cambridge:
Cambridge University Press, p. 1548. Kistanto, Nurdien H. August 1991.
“Peasants, Civil Workers, and Industrial
Crow, Ben, Mary Thorpe, et. al. 1988. Workers in Java,” SOJOURN, Vol. 6, Number
Survival and Change in the Third World. 2.
Oxford: Polity Press.

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 177


Sabda Volume 13, Nomor 2, Desember 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

Lenski, Gerhard E. 1966. Power and Schaefer, Richard T. 2004. Sociology


Privilege: A Theory of Social Stratification. Matters. Boston: McGraw-Hill.
New York: McGraw-Hill Book.
Shanin, Teodor, Ed. Reprinted 1975.
________ and Jean Lenski. 1974. Peasants and Peasant Societies.
Human Societies: An Introduction to Harmondsworth: Penguin Education.
Macrosociology, 2nd ed. New York:
McGraw-Hill. Shishova, N. V. 2009. Kul’turologiya.
Slovar’-spravochnik. Rostov-on-Don: Feniks.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara 596 p.
dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa
Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Stearns, Peter N. (Ed.). 1972. The
Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Impact of the Industrial Revolution: Protest
Indonesia. and Alienation. Englewood Cliffs: Prentice-
Hall.
Nurdien H. K. Ed. 1983. Perubahan
Nilai-Nilai di Indonesia. Bandung: Alumni. Tarasov, Alexei N. 2016. “Theoretical–
methodological Bases of the Sociocultural
Offe, Claus. 1976. Industry and Transformation” Concept Explication.
Inequality. London: Edward Arnold. International Journal of Environmental and
Science Education Vol. 11, No. 18, 11993-
Oxford Advanced Learner’s Dictionary 12003.
of Current English, 2000. Oxford: Oxford
University Press, p. 1382. Triyono, Lambang dan Nasikun. 1992.
Proses Perubahan Sosial di Desa Jawa:
Parker, S. R., et. al. 1981. The Sociology Teknologi, Surplus Produksi, dan Pergeseran
of Industry. London: George Allen & Unwin. Okupasi. Yogyakarta: FISIP UGM &
Rajawali Pers.
Rabie, Mohamed. 2013. Saving
Capitalism and Democracy. USA: Palgrave Vago, Steven. 1989. Social Change.
Macmillan. Second edition. Englewood Cliffs: Prentice
Hall.
Ramaswamy, E. A. 1981. Industry and
Labour. Oxford: Oxford University Press. Van Peursen, C. A. 1976. Strategi
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius & Jakarta:
Reading, Hugo F. 1977. A Dictionary of BPK Gunung Mulia.
Social Sciences. London: Routledge & Kegan
Paul. Wolf, Eric. 1966. Peasants. Englewood
Cliffs: Prentice-Hall.
Ritzer, George, Kenneth C.W.
Kammeyer, Norman R. Yetman. 1979.
Sociology: Experiencing a Changing Society.
Boston: Allyn and Bacon.

TRANSFORMASI SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA | 178

Anda mungkin juga menyukai