Pendahuluan
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian sejarah. Metode ini dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulanyang sistematis
dari sebuah aturan-aturan yang dimaksudkan untuk membantu dengan secara efektif
dalam pengumpulan bahan-bahan sumber dari sejarah, dalam menilai atau menguji
sumber-sumber itu secara kritis, dan menyajikan suatu hasil “sinthese” (pada umumnya
dalam bentuk tertulis) dari hasil-hasil yang dicapai (Garraghan, 1957: 33).
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian sejarah adalah
sebagai berikut : 1.) Tahap Heuristik Peneliti mengumpulkan berbagai sumber yang relevan
dan berkaitan dengan materi yang akan dibahas. 2.) Sumber-sumber yang dicantumkan
dalam penelitian adalah berupa jurnal-jurnal penelitian sejarah. 3.) Kritik Sumber. Setelah
data-data atau sumber terkumpul, peneliti melakukan kritik terhadap sumber yang
didapatkan baik dengan intern maupun ekstern. 4.) Interpretasi. Setelah data yang dikritik
sudah terverifikasi, peneliti mencoba menafsirkan atau menghubungkan fakta-fakta
sejarah yang memuat informasi tentang perfilman pada masa Pendudukan Jepang di
Indonesia. 5.) Historiografi. Tahap ini menjadi tahap terakhir dalam penelitian sejarah.
Peneliti harus menuangkan segala macam informasi yang didapatkan dalam bentuk tulisan
atau sebuah karya ilmiah.
Pembahasan
1. Perkembangan film produksi Jepang pada tahun 1942-1945 di Indonesia
pemerintah militer Jepang. Jawa adalah pusat persediaan tenaga bagi Jepang
untuk pulau-pulau lainnya. Angkatan Darat Ke-16 mempersiapkan sejumlah besar
persediaan bahan makanan untuk menghadapi kemungkinankemungkinan yang
akan terjadi. Beberapa produk agraris yang harus diusahakan oleh penduduk adalah
padi, jagung, minyak jarak, rami, dan coklat. (2) Penguatan pertahanan Jawa dan
daerah-daerah pendudukan Jepang yang lain. Untuk itu diperlukan tambahan
serdadu dan tenaga kerja. (Zorab, 1954) (Yuliati, 1945).
Dalam rangka memperlancar pembuatan film maka pada Oktober 1942
dibentuklah sebuah organisasi sementara untuk menjalankan kebijakan perfilman
(Jawa Eiga Kōsha) setelah sebelumnya tentara ke 16 Angkatan Darat Jepang
menyita seluruh perusahaan film begitu berhasil menguasai pulau Jawa.Namun,
tidak berapa lama setelah itu, kendali dunia perfilman dialihkan pada dua
perusahaan Jepang Nichi’ei (Perusahan film Jepang) dan Eihai (Perusahaan
distribusi film Jepang) yang keduannya berkator pusat di Tokyo.Sejak saat itu,
industri perfilman disatukan ke dalam jaringan besar yang membentang di seluruh
wilayah Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. (Irianti, 2017). Dalam
rangka untuk mengambil hati rakyat Indonesia, pihak Pemerintah jepang masih
pemutaran film-film barat, namun lambat laun, pemerintah mengeluarkan
peraturan dilarang untuk memutar film-film barat dan seluruhnya diganti dengan
film buatan Jepang. Pada awalnya, Sejumlah 52 film Jepang diimpor setiap tahun
dari Jepang. Selama pendudukan Jepang, hampir seluruhnya adalah film-film
Jepang dan hanya film-film yang berguna untuk propaganda saja yang diputar.
(Budiarto, 2021).
Pemerintah Jepang telah mengatur topik / tema yang harus diangkat dalam
pembuatan film, diantaranya adalah 1.) Film yang menekankan persahabatan
Jepang dan negara Asia lainnya, 2.) Film yang mendorong pemujaan patriotisme
dan nasionalisme, 3.) Film yang menceritakan operasi militer dan kekuatan militer
jepang, 4.) Film yang menggambarkan kejahatan bangsa barat, 5.) Film yang
meningkatkan moral, seperti : kasih sayang orangtua, pengorbanan seorang ibu,
persahabatan, kesetiaan, dll, 6.) Film yang meningkatkan produksi dan kampanye
perang. (Erwantoro, 2010).
Pembuatan film pertama diawali dengan judul “Djawa Baharoe” oleh Jawa
Eiga Kōsha) yang diluncurkan setiap bulan. Kemudian, Nichiei melanjutkannya
dengan Judul “Berita Film di Djawa” setiap dua mingguan. Pada awal tahun 1944,
judul film itu diubah menjadi “Nanpo Hodo Nyusu (Warta Berita Selatan)”. Film
berita ini dipublikasikan dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.
Film ini berdurasi sekitar 10 menit dan dikirim ke beberapa wilayah di Indonesia
seperti Sumatra, Celebes, dan Borneo (Kalimantan). (Widiatmoko, 2010).
Selanjutnya, Nichie memproduksi beberapa film dengan judul : Ke Sebrang (1943)
yang disutradarai oleh Rd. Arifin, Hujan (1943) sutradara R. Ibnu Perbatasari,
Berdjoang (1943) sutradara Rd. Arifin, Di Desa, Jatuh Berkait, dan menara (1944)
yang disutradarai oleh Rustam Sutan Palindih. (Proyogo, 2009). Sebelum film-film
tersebut diputar secara luas, pihak Nichie harus menyetorkan dulu ke Sendenbu,
Ketika dari Sendenbu dinyatakan lolos sensor, maka film tersebut baru diputar
secara luas.
Di samping beberapa judul film diatas, Terdapat beberapa contoh judul film
yang digunakan untuk media propaganda, antara lain;
1) Upacara pengibaran Bendera Matahari Terbit.
2) Sumpah kesetiaan rakyat Indonesia terhadap Jepang.
3) Baris-berbaris.
4) Pasukan bambu runcing dan pacul!
5) Diakhiri dengan: "Awas MataMata Moesoeh!"
Salah satu film dokumenter bertemakan “Tona Rigumi" saat itu diproduksi
oleh Nippon Eigasha / Nichie. Naskah film diambil dari majalah Djawa Baroe tangal 1
Mei 1944, halaman 23-26. Isi dari film tersebut menceritakan pentingnya
pembentukan Tonari Gumi bagi rakyat Jawa. (Putri, 2018).
Pemutaran film buatan Jepang ditayangkan di beberapa bioskop yang
tersebar di pulau Jawa. Bioskop-bioskop tersebut milik para peranakan Cina, namun
kemudian diambil alih oleh Jepang. Setiap kali pemutaran film dikenakan HTM
(Harga Tiket Masuk) yang sudah ditetapkan oleh Jepang. Tiket untuk pribumi HTM-
nya 10 sen, orang cina 25 sen, sedangkan kelas terhormat 50 sen dan satu gulden.
Jepang dengan bantuan orang-orangnya, membuat jaringan propaganda disetiap
sudut dan pelosok desa. Di samping itu, dalam rangka distribusi film, juga diadakan
bioskop keliling atau yang biasa disebut “layar tancep”. Kelompok penyelenggara
bioskop ini berkeliling dari desa yang satu ke desa yang lainnya dengan membawa
proyektor film, generator dan film yang diangkut oleh sebuah truk. Film-film
dipertontonkan dialam terbuka bagi siapa saja tanpa dipungut bayaran.
Dalam menyikapi film yang dibuat oleh Jepang, respon rakyat Indonesia
berbeda-beda. Bagi kaum terpelajar, menyikapi bahwasannya film tersebut menjadi
sebuah hiburan tersendiri tanpa menerapkan sepenuhnya isi dari film tersebut.
Kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang
pengetahuan yang luas karena akses informasi dan bisa memberikan landasan
penilaian lebih rasional dan akurat mengenai isi pesan film. Di sisi lain, adanya film
ini juga memberikan manfaat bagi sebagian besar rakyat Indonesia khususnya yang
berpendidikan, karena dalam proses pembuatan film jepang juga melibatkan rakyat
Indonesia, sehingga setidaknya mereka mendapatkan informasi sedikit demi sedikit
tentang ilmu perfilman yang dapat bermafaat bagi perkembangan film di Indonesia
selanjutnya.
Namun bagi kaum yang belum berpendidikan, khususnya di wilayah-wilayah
desa, sebagian besar cenderung menelan mentah-mentah informasi atau
doktrinisasi yang terkandung dalam isi film tersebut. Karena disamping propaganda
berupa film, mereka juga mendapatkan propaganda berupa poster-poster dan
ungkapan-ungkapan seperti halnya “Jepang adalah saudara tua”, 3A, dan lain
sebagainya. Hal ini menjadikan semakin mudahnya rakyat percaya kepada Jepang.
Sehinggapenerapan propaganda pada rakyat Indonesia dapat dikatakan efektif,
karena menyangkut respon sebagian besar rakyat Indonesia yang cenderung
positif.
Kesimpulan
Aksi propaganda berupa film menjadi sebuah strategi Jepang dalam
merebut hati rakyat Indonesia. Berdasarkan tujuannya, film berfungsi agar membawa
pemikiran dan emosi penonton untuk larut dalam narasi film yang disajikan, sehingga film
menjadi sebuah langkah propaganda yang tepat dilakukan oleh Jepang. Di samping itu, film
yang merupakan media audio visual sangat efektif untuk diterapkan mengingat pada masa
itu banyak pribumi yang tidak berpendidikan dan buta huruf. Sebagai bentuk propaganda,
Jepang memutarkan film-film buatan jepang yang diputar di gedung bioskop maupun di
bioskop keliling atau yang disebut layar tancep. Pemutaran bioskop keliling sendiri menjadi
sebuah antusiasme rakyat Indonesia karena dianggap sebagai salah satu bentuk hiburan.
Genre film yang diputarkan kepada rakyat Indonesia tentu harus sesuai sensor Sendenbu
yang memuat tentang keunggulan-keunggulan jepang dibanding negara-negara barat. Dari
hasil telaah sumber, menunjukkan bahwa sebagian besar respon masyarakat Indonesia
positif terhadap bentuk propaganda Jepang yang berupa film. Sehingga hal ini menjadi
sebuah tindakan efektif Jepang dalam melancarkan propagandanya.
Daftar Rujukan
Putri, T. A., & Arif, S. (2018). Propaganda Jepang dalam Melancarkan Kebijakan
Pendudukan di Indonesia Tahun 1942-1945. Pesagi, 6(01).
Widiatmoko. (2010). Film sebagai Media Propaganda Politik di Jawa Pada Masa
Pendudukan Jepang (1941-1945). 221.