Anda di halaman 1dari 7

E-ISSN: 2798-4907

Vol.1, No.3 hlm. 1-15

Film Sebagai Alat Propaganda Masa Pendudukan Jepang


di Indonesia Tahun 1942-1945
Fahreza Nur Azizah
Universitas Negeri Malang (Kota Malang, 65126, Indonesia)
0895601634845
Fhrz.azizah@gmail.com
Abstract
Film became one of the propaganda tools used by Japan during its occupation of Indonesia
in 1942-1945. The propaganda aims to win over and increase the sympathy of the
Indonesian people for Japan. The purpose of this study was to find out how the
development of films as a form of Japanese propaganda in Indonesia and the response of
the Indonesian people to the existence of Japanese films. This research method uses
historical research methods consisting of Heuristics, Criticism, Interpretation, and
Historiography stages. The results obtained indicate that the film is an effective
propaganda tool used. Just as film is an audio-visual medium and functions as
entertainment, so that it is easy for Indonesian people to grasp the meaning and plot of
the story, considering that at that time some Indonesians, especially natives, were still
uneducated and unable to read and write.
Keywords : Japan, Film, Propaganda
Abstrak
Film menjadi salah satu alat propaganda yang diterapkan Jepang pada masa
pendudukannya di Indonesia tahun 1942-1945. Propaganda tersebut bertujuan untuk
mengambil hati dan meningkatkan rasa simpati rakyat Indonesia kepada Jepang. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan film sebagai
bentuk propaganda Jepang di Indonesia serta respon rakyat Indonesia terhadap adanya
film Jepang. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri
dari tahap Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi. Hasil yang didapatkan
menunjukka bahwa film menjadi alat propaganda yang efektif digunakan. Sebagaimana
memang film sebagai media audio visual serta berfungsi sebagai hiburan, sehingga
rakyat Indonesia mudah menangkap maksud dan jalan cerita mengingat pada masa itu
sebagian rakyat Indonesia khususnya pribumi masih tak berpendidikan dan belum
mampu membaca dan menulis.
Kata Kunci : Jepang, Film, Propaganda

Pendahuluan

Masuknya Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 membawa perubahan yang


signifikan bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam usaha agar mendapatkan simpati
dari para rakyat, Jepang melancarkan strategi yang disebut propaganda agar para rakyat
Indonesia berpihak pada Jepang. Propaganda menurut Lasswell (2007) bertujuan agar: 1.

Fahreza Nur Azizah, Film Sebagai Alat Propaganda


1
Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Vol.1, No.3 hlm. 1-15

Menumbuhkan kebencian terhadap musuh; 2. untuk melestarikan persahabatan sekutu; 3.


untuk mempertahankan persahabatan dan, jika mungkin, untuk menjalin kerja sama
dengan pihak-pihak netral, dan 4. untuk menghancurkan semangat musuh. Hal ini sangat
sesuai dengan tujuan propaganda Jepang agar mampu menumbuhkan kebencian rakyat
Indonesia terhadap Belanda dan meningkatkan kecintaan pada Jepang. Sehingga pada
tahun 1943, Jepang membentuk sebuah Departemen Propaganda (Sendenbu) dalam
lingkup badan pemerintahan militer (Gunseikanbu). Departemen Propaganda dibentuk
dengan tujuan agar masyarakat mau bekerja sama dengan pemerintah pendudukan
Jepang atau untuk memobilisasi seluruh rakyat dalam berperang melawan Sekutu.
Sendenbu sendiri memiliki tiga seksi, yakni Seksi Administrasi, Seksi Berita dan Pers, serta
Seksi Propaganda.
Dalam masa perkembangannya, Sendenbu akhirnya membentuk badan-badan
propaganda sebagai akibat dari kondisi pemerintahan yang semakin rumit. Di samping itu,
di setiap pemerintahan daerah juga dibentuk dinas-dinas propaganda. Tidak hanya itu,
Pemerintah Jepang juga membentuk organisasi pembantu Sendenbu yang dinamakan
Keimin Bunka Shidosho atau Pusat Kebudayaan. Organisasi ini dibentuk dengan tugas untuk
menghapuskan kebudayaan barat yang bertentangan dengan kebudayaan timur,
Membangun budaya timur untuk menjadi dasar bagi kemajuan Asia, serta menghimpun
dan melatih para seniman Indonesia agar terlatih. (Yoesoef, 2010). Pusat kebudayaan
terbagi menjadi lima seksi yang masing-maisng terdapat orang Indonesia. Lima seksi
tersebut adalah seksi administrasi, sastra, musik, seni rupa, dan seni pertunjukan (teater,
tari, dan film).
Bentuk-bentuk propaganda yang dilakukan Jepang adalah dengan melalui media-
media komunikasi seperti halnya radio, surat kabar, poster, film, majalah, dan lain
sebagainya. Salah satu konsep propaganda yang menarik adalah dengan menggunakan
film. Dalam proses tujuannya, film bertujuan agar membawa pemikiran dan emosi
penonton untuk larut dalam narasi film yang disajikan, sehingga film menjadi sebuah
langkah propaganda yang tepat dilakukan oleh Jepang. Di samping itu, film yang
merupakan media audio visual sangat efektif untuk diterapkan mengingat pada masa itu
banyak pribumi yang tidak berpendidikan dan buta huruf.
Film sudah menjadi alat politis dan hiburan sejak zaman Belanda. Pada awal tahun
1900 an, Belanda mempertontonkan film dokumenter yang bercerita tentang
perkembangan wilayah Belanda dan Afrika Selatan, serta silsilah keluarga kerajaan Belanda
yang diputar di Batavia. Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1926 dibangunlah sebuah
industri film pertama di Indonesia. Salah satu film pertama yang dibuat Indonesia adalah
“Loetoeng kasaoreng” yang berhasil dikenal masyarakat hingga masa sekarang. Lantas
dalam perkembangannya, Jepang menggantikan Belanda menduduki Indonesia. Sehingga
film-film di Indonesia digantikan dengan film-film Jepang. Oleh karena itu, peneliti tertarik
untuk lebih dalam mengetahui bagaimana peran film serta perkembangannya dalam
rangka sebagai bentuk propaganda Jepang kepada rakyat Indonesia pada tahun 1942-1945.

Fahreza Nur Azizah, Film Sebagai Alat Propaganda


2
Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Vol.1, No.3 hlm. 1-15

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian sejarah. Metode ini dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulanyang sistematis
dari sebuah aturan-aturan yang dimaksudkan untuk membantu dengan secara efektif
dalam pengumpulan bahan-bahan sumber dari sejarah, dalam menilai atau menguji
sumber-sumber itu secara kritis, dan menyajikan suatu hasil “sinthese” (pada umumnya
dalam bentuk tertulis) dari hasil-hasil yang dicapai (Garraghan, 1957: 33).
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian sejarah adalah
sebagai berikut : 1.) Tahap Heuristik Peneliti mengumpulkan berbagai sumber yang relevan
dan berkaitan dengan materi yang akan dibahas. 2.) Sumber-sumber yang dicantumkan
dalam penelitian adalah berupa jurnal-jurnal penelitian sejarah. 3.) Kritik Sumber. Setelah
data-data atau sumber terkumpul, peneliti melakukan kritik terhadap sumber yang
didapatkan baik dengan intern maupun ekstern. 4.) Interpretasi. Setelah data yang dikritik
sudah terverifikasi, peneliti mencoba menafsirkan atau menghubungkan fakta-fakta
sejarah yang memuat informasi tentang perfilman pada masa Pendudukan Jepang di
Indonesia. 5.) Historiografi. Tahap ini menjadi tahap terakhir dalam penelitian sejarah.
Peneliti harus menuangkan segala macam informasi yang didapatkan dalam bentuk tulisan
atau sebuah karya ilmiah.

Pembahasan
1. Perkembangan film produksi Jepang pada tahun 1942-1945 di Indonesia

Melihat eksistensi film yang sangat berpotensi sebagai media propaganda,


maka sejak awal kedatangan Jepang di Indonesia, mereka langsung membentuk
badan-badan yang bertugas untuk mengembangkan industri film di Indonesia.
Dalam proses pembuatannya, Jepang merekrut para propogandis baik yang berasal
dari Jepang maupun Indonesia. Orang Indonesia direkrutnya atas dasar karier
sebelum perang, orientasi politik, kedudukan dalam masyarakat tradisional, sifat
karismatik dan agitatif, serta kemampuan berpidato, misalnya guru sekolah sangat
disukai, dan propagandis lainnya yang mempunyai latar belakang yang anti akan
Belanda diterima dengan senang hati. (Widiatmoko, 2010). Beberapa tokoh
nasionalis juga terlibat dalam pembuatan film Jepang seperti halnya Mohammad
Yamin yang bertugas sebagai Sanyo (Penasehat untuk Sendenbu) dengan
pertimbangan bahwasannya beliau merupakan tokoh nasional serta berprofesi
sebagai guru. Disamping itu, terdapat pula Chairul Shaleh, dan Sukarni. Dalam
proses pembuatan film propaganda, materi yang disajikan harus disajikan dengan
tujuan yang diciptakan oleh Pemerintah Militer Jepang. Secara umum, substansi
materi propaganda film Jepang khususnya di Jawa bertujuan tentang (1)
Meningkatkan hasil panen dan penyerahan sebagian hasil panen kepada

Fahreza Nur Azizah, Film Sebagai Alat Propaganda


3
Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Vol.1, No.3 hlm. 1-15

pemerintah militer Jepang. Jawa adalah pusat persediaan tenaga bagi Jepang
untuk pulau-pulau lainnya. Angkatan Darat Ke-16 mempersiapkan sejumlah besar
persediaan bahan makanan untuk menghadapi kemungkinankemungkinan yang
akan terjadi. Beberapa produk agraris yang harus diusahakan oleh penduduk adalah
padi, jagung, minyak jarak, rami, dan coklat. (2) Penguatan pertahanan Jawa dan
daerah-daerah pendudukan Jepang yang lain. Untuk itu diperlukan tambahan
serdadu dan tenaga kerja. (Zorab, 1954) (Yuliati, 1945).
Dalam rangka memperlancar pembuatan film maka pada Oktober 1942
dibentuklah sebuah organisasi sementara untuk menjalankan kebijakan perfilman
(Jawa Eiga Kōsha) setelah sebelumnya tentara ke 16 Angkatan Darat Jepang
menyita seluruh perusahaan film begitu berhasil menguasai pulau Jawa.Namun,
tidak berapa lama setelah itu, kendali dunia perfilman dialihkan pada dua
perusahaan Jepang Nichi’ei (Perusahan film Jepang) dan Eihai (Perusahaan
distribusi film Jepang) yang keduannya berkator pusat di Tokyo.Sejak saat itu,
industri perfilman disatukan ke dalam jaringan besar yang membentang di seluruh
wilayah Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. (Irianti, 2017). Dalam
rangka untuk mengambil hati rakyat Indonesia, pihak Pemerintah jepang masih
pemutaran film-film barat, namun lambat laun, pemerintah mengeluarkan
peraturan dilarang untuk memutar film-film barat dan seluruhnya diganti dengan
film buatan Jepang. Pada awalnya, Sejumlah 52 film Jepang diimpor setiap tahun
dari Jepang. Selama pendudukan Jepang, hampir seluruhnya adalah film-film
Jepang dan hanya film-film yang berguna untuk propaganda saja yang diputar.
(Budiarto, 2021).
Pemerintah Jepang telah mengatur topik / tema yang harus diangkat dalam
pembuatan film, diantaranya adalah 1.) Film yang menekankan persahabatan
Jepang dan negara Asia lainnya, 2.) Film yang mendorong pemujaan patriotisme
dan nasionalisme, 3.) Film yang menceritakan operasi militer dan kekuatan militer
jepang, 4.) Film yang menggambarkan kejahatan bangsa barat, 5.) Film yang
meningkatkan moral, seperti : kasih sayang orangtua, pengorbanan seorang ibu,
persahabatan, kesetiaan, dll, 6.) Film yang meningkatkan produksi dan kampanye
perang. (Erwantoro, 2010).
Pembuatan film pertama diawali dengan judul “Djawa Baharoe” oleh Jawa
Eiga Kōsha) yang diluncurkan setiap bulan. Kemudian, Nichiei melanjutkannya
dengan Judul “Berita Film di Djawa” setiap dua mingguan. Pada awal tahun 1944,
judul film itu diubah menjadi “Nanpo Hodo Nyusu (Warta Berita Selatan)”. Film
berita ini dipublikasikan dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.
Film ini berdurasi sekitar 10 menit dan dikirim ke beberapa wilayah di Indonesia
seperti Sumatra, Celebes, dan Borneo (Kalimantan). (Widiatmoko, 2010).
Selanjutnya, Nichie memproduksi beberapa film dengan judul : Ke Sebrang (1943)
yang disutradarai oleh Rd. Arifin, Hujan (1943) sutradara R. Ibnu Perbatasari,

Fahreza Nur Azizah, Film Sebagai Alat Propaganda


4
Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Vol.1, No.3 hlm. 1-15

Berdjoang (1943) sutradara Rd. Arifin, Di Desa, Jatuh Berkait, dan menara (1944)
yang disutradarai oleh Rustam Sutan Palindih. (Proyogo, 2009). Sebelum film-film
tersebut diputar secara luas, pihak Nichie harus menyetorkan dulu ke Sendenbu,
Ketika dari Sendenbu dinyatakan lolos sensor, maka film tersebut baru diputar
secara luas.
Di samping beberapa judul film diatas, Terdapat beberapa contoh judul film
yang digunakan untuk media propaganda, antara lain;
1) Upacara pengibaran Bendera Matahari Terbit.
2) Sumpah kesetiaan rakyat Indonesia terhadap Jepang.
3) Baris-berbaris.
4) Pasukan bambu runcing dan pacul!
5) Diakhiri dengan: "Awas MataMata Moesoeh!"
Salah satu film dokumenter bertemakan “Tona Rigumi" saat itu diproduksi
oleh Nippon Eigasha / Nichie. Naskah film diambil dari majalah Djawa Baroe tangal 1
Mei 1944, halaman 23-26. Isi dari film tersebut menceritakan pentingnya
pembentukan Tonari Gumi bagi rakyat Jawa. (Putri, 2018).
Pemutaran film buatan Jepang ditayangkan di beberapa bioskop yang
tersebar di pulau Jawa. Bioskop-bioskop tersebut milik para peranakan Cina, namun
kemudian diambil alih oleh Jepang. Setiap kali pemutaran film dikenakan HTM
(Harga Tiket Masuk) yang sudah ditetapkan oleh Jepang. Tiket untuk pribumi HTM-
nya 10 sen, orang cina 25 sen, sedangkan kelas terhormat 50 sen dan satu gulden.
Jepang dengan bantuan orang-orangnya, membuat jaringan propaganda disetiap
sudut dan pelosok desa. Di samping itu, dalam rangka distribusi film, juga diadakan
bioskop keliling atau yang biasa disebut “layar tancep”. Kelompok penyelenggara
bioskop ini berkeliling dari desa yang satu ke desa yang lainnya dengan membawa
proyektor film, generator dan film yang diangkut oleh sebuah truk. Film-film
dipertontonkan dialam terbuka bagi siapa saja tanpa dipungut bayaran.

2. Respon Rakyat Indonesia Terhadap Propaganda Film yang dilancarkan Jepang

Dalam menyikapi film yang dibuat oleh Jepang, respon rakyat Indonesia
berbeda-beda. Bagi kaum terpelajar, menyikapi bahwasannya film tersebut menjadi
sebuah hiburan tersendiri tanpa menerapkan sepenuhnya isi dari film tersebut.
Kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang
pengetahuan yang luas karena akses informasi dan bisa memberikan landasan
penilaian lebih rasional dan akurat mengenai isi pesan film. Di sisi lain, adanya film
ini juga memberikan manfaat bagi sebagian besar rakyat Indonesia khususnya yang
berpendidikan, karena dalam proses pembuatan film jepang juga melibatkan rakyat
Indonesia, sehingga setidaknya mereka mendapatkan informasi sedikit demi sedikit

Fahreza Nur Azizah, Film Sebagai Alat Propaganda


5
Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Vol.1, No.3 hlm. 1-15

tentang ilmu perfilman yang dapat bermafaat bagi perkembangan film di Indonesia
selanjutnya.
Namun bagi kaum yang belum berpendidikan, khususnya di wilayah-wilayah
desa, sebagian besar cenderung menelan mentah-mentah informasi atau
doktrinisasi yang terkandung dalam isi film tersebut. Karena disamping propaganda
berupa film, mereka juga mendapatkan propaganda berupa poster-poster dan
ungkapan-ungkapan seperti halnya “Jepang adalah saudara tua”, 3A, dan lain
sebagainya. Hal ini menjadikan semakin mudahnya rakyat percaya kepada Jepang.
Sehinggapenerapan propaganda pada rakyat Indonesia dapat dikatakan efektif,
karena menyangkut respon sebagian besar rakyat Indonesia yang cenderung
positif.

Kesimpulan
Aksi propaganda berupa film menjadi sebuah strategi Jepang dalam
merebut hati rakyat Indonesia. Berdasarkan tujuannya, film berfungsi agar membawa
pemikiran dan emosi penonton untuk larut dalam narasi film yang disajikan, sehingga film
menjadi sebuah langkah propaganda yang tepat dilakukan oleh Jepang. Di samping itu, film
yang merupakan media audio visual sangat efektif untuk diterapkan mengingat pada masa
itu banyak pribumi yang tidak berpendidikan dan buta huruf. Sebagai bentuk propaganda,
Jepang memutarkan film-film buatan jepang yang diputar di gedung bioskop maupun di
bioskop keliling atau yang disebut layar tancep. Pemutaran bioskop keliling sendiri menjadi
sebuah antusiasme rakyat Indonesia karena dianggap sebagai salah satu bentuk hiburan.
Genre film yang diputarkan kepada rakyat Indonesia tentu harus sesuai sensor Sendenbu
yang memuat tentang keunggulan-keunggulan jepang dibanding negara-negara barat. Dari
hasil telaah sumber, menunjukkan bahwa sebagian besar respon masyarakat Indonesia
positif terhadap bentuk propaganda Jepang yang berupa film. Sehingga hal ini menjadi
sebuah tindakan efektif Jepang dalam melancarkan propagandanya.

Daftar Rujukan

Budiarto, G. (2021). Media Poster Dan Film Sebagai Instrumen Propaganda


Militer Jepang Di Indonesia 1942-1945. Agastya: Jurnal Sejarah Dan
Pembelajarannya, 11(1), 35. https://doi.org/10.25273/ajsp.v11i1.6206

Erwantoro, H. (2010). SEJARAH SENSOR FILM DI INDONESIA Masa Hindia


Belanda dan Pendudukan Jepang (1916 – 1945). Patanjala : Jurnal Penelitian
Sejarah Dan Budaya, 2(1), 1. https://doi.org/10.30959/patanjala.v2i1.192

Irianti, M. B. (2017). Menabur Kebiasaan: Propaganda Gerakan Menabung


Jepang (1941-1945). Lembaran Sejarah, 11(1), 71.
https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.23784

Fahreza Nur Azizah, Film Sebagai Alat Propaganda


6
Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Vol.1, No.3 hlm. 1-15

Proyogo, W. A. (2009). Kebijakan Pemerintah..., Wisnu Agung Prayogo, FIB UI,


2009. (November 1900), 3–22.

Putri, T. A., & Arif, S. (2018). Propaganda Jepang dalam Melancarkan Kebijakan
Pendudukan di Indonesia Tahun 1942-1945. Pesagi, 6(01).

Yoesoef, M. (2010). SEBUAH CATATAN TENTANG MANUSIA INDONESIA DI


ZAMAN PERANG Plays in Japanese Occupation Period ( 1942 — 1945 ):
Some Notes about Indonesian People in the War Era Abstract. 14(1), 11–16.

Yuliati, Dewi. (1945). MEWASPADAI PROPAGANDA MELALUI KAJIAN SEJARAH


(STUDI ATAS SISTEM PROPAGANDA JEPANG DI JAWA 1942-1945) .

Widiatmoko. (2010). Film sebagai Media Propaganda Politik di Jawa Pada Masa
Pendudukan Jepang (1941-1945). 221.

Zorab, A.A. 1954. De Japanse Bezetting van Indonesië en Haar Volkenrechtelijke


Zijde. Leiden: Universitaire Pers.

Fahreza Nur Azizah, Film Sebagai Alat Propaganda


7

Anda mungkin juga menyukai