Anda di halaman 1dari 11

Melihat Sejarah

Dari Perspektif
Ilmu
Komunikasi
• Sabrina Meliani Sukma 2110412047
• Gusti Wafiq Ukhti Hafa 2110412057
• Dafa Syachrullah 2110412058
• Dimas Noveryan 2110412066
• Reza Rafif Rusfandi 2110412235
Dalam kaitan antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial, pada buku yang
berjudul “Penjelasan Sejarah (Historical Explanation)”, penulis
menulis bahwa kooperasi antara ilmu sejarah dan ilmu sosial bisa saja
tampak sebagai kontradiksi. Sejarah berhubungan dengan gejala yang
unik, sekali terjadi, dan terikat dengan konteks waktu dan tempat.
Sementara ilmu sosial berusaha mencari hukum umum, terjadi

berulang dan lepas dari konteks waktu dan tempat .


Penjelasan Sejarah dan Perspektif Ilmu Komunikasi
Ilmu komunikasi sendiri mempelajari sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan.ilmu komunikasi
dipahami sebagai ilmu yang multiperspektif. Bidang multiperspektif dalam ilmu komunikasi
disebabkan bahwa gejala komunikasi merupakan fenomena pokok dalam kehidupan manusia. Dapat
dikatakan bahwa manusia tidak dapat tidak berkomunikasii. Ketika manusia niscaya berkomunikasi,
sementara kehidupan manusia berada dalam konteks-konteks yang beragam maka komunikasi itu
sendiri bersifat kontekstual dan unik.Ada beberapa sumber perspektif yang berkutat dalam
pemahaman menyeluruh tentang ilmu komunikasi. Salah satu diantara sumber tersebut adalah
perspektif disiplin atau sub-disiplin dalam ilmu komunikasi.

Sejarah dengan pendekatannya yang interdisipliner memerlukan ilmu lain agar bisa memanjang dalam
ruang (sinkronik), karena sejarah adalah ilmu yang memanjang dalam waktu (diakronik). Sementara
ilmu komunikasi justru dengan multiperspektifnya malah bisa memberikan sudut pandang bagi ilmu
lain dalam kajiannya
 
Penulisan Sejarah Tentang Jaman Pendudukan
Jepang

Karya dengan ‘nuansa berbeda’ mengenai sejarah pendudukan Jepang di


Indonesia sejauh ini hanyalah karya-karya yang kajiannya ditinjau dari sudut
pandang orang Jepang atau Belanda. Karya yang cukup lengkap tentang jaman
penjajahan Jepang di Indonesia adalah disertasi George Kanahele, The Japanese
Occupation of Indonesia : Prelude to Independence. Karya Kanahele ini
mengungkapkan pertumbuhan nasionalisme Indonesia dalam kaitannya dengan
sejarah pendudukan Jepang, mulai dari hubungan yang terjadi antar kedua
bangsa pada masa sebelum perang hingga kekalahan Jepang di tahun 1945.
Buku kajian mengenai jaman Jepang di Indonesia yang ditulis oleh sarjana non-Indonesia
diantaranya adalah :

• The Putera Reports: Problems in Indonesian-Japanese Wartime Cooperation (Frederick, 2009)


• Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (A nderson, 1972)
• Some Aspects of Indonesian Politics under The Japanese Occupation 1944-1945 (Anderson, 2009)
• The Kenpeitai in Java and Sumatra (Shimer dan Hobbs, 2011)
• War, Nationalism, and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1942-1945 (Sato, 1994)
• The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs of 1942-1945 (Reid dan Oki, 1986)
• Crescent and the Rising Sun: The Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942 – 1945
(Benda, 1958)
• Japanese Military Administration in Indonesia: Selected Documents (Benda, Irikura dan Kishi,
1965)
Sedangkan buku kajian tentang jaman penjajahan Jepang di Indonesia yang ditulis oleh sarjana
Indonesia di antaranya:

● Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (Notosusanto, 1979)


● Pemberontakan Tentara Peta Blitar Melawan Djepang (Notosusanto, 1968)
● Kesusasteraan Indonesia Dimasa Djepang (Jassin, 1954)

Ketiganya tidak membahas secara khusus Gerakan 3 A.

Penelitian mengenai propaganda Jepang selama menduduki Indonesia sebenarnya pernah ditulis. Satu
nama yang perlu disebut adalah Dewi Yuliati, Doktor Sejarah di Universitas Diponegoro. Yuliati pernah
melakukan tiga penelitian mengenai propaganda dan media massa pada masa pendudukan Jepang,
masing-masing Sistem Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945 , Seni Sebagai Media Propaganda Pada
Masa Pendudukan Jepang di Jawa 1942- 1945, Pengawasan Terhadap Pers Bumi Putera di Jawa Pada
Masa Pendudukan Jepang 1942- 1945.
Propaganda Jepang dan Gerakan 3 A
 Bermula Ketika Jenderal Ter Poorten menyerah tanpa
syarat di hadapan Jenderal Imamura Hitsoji pada 8
Maret 1942, menandakan berakhirnya kekuasaan
Belanda di Indonesia.

 Kedatangan Jepang disambut baik oleh masyarakat


Indonesia. Terlebih saat diizinkan untuk mengibarkan
sang saka merah putih dan mengumandangkan lagu
kebangsaan Indonesia Raya, yang sebelumnya dilarang
oleh Belanda.

 Sambutan positif rakyat Indonesia ini bisa juga


merupakan indikasi keberhasilan propaganda Jepang.
Jauh sebelum menguasai Indonesia, Jepang
sebenarnya sudah mempersiapkan diri untuk
mengambil hati rakyat Indonesia yang ketika itu masih
berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda
●  Propaganda dilakukan jepang sebagai alat untuk mempersiapkan perang secara sistematis selama
bertahun tahun sebelum melaksanakan invasi ke wilayah selatan.

● Bahasa propaganda jepang bersifat jauh, mulai dari realistis seperti menanamkan sikap anti Barat
kepada rakyat Indonesia hingga memberi pengaruh kepada kalangan Islam dengan menekankan
persamaan antara Shinto dengan Islam, dan mengumbar harapan bahwa Kaisar akan memeluk
Islam serta melukis suatu gambar tentang kekuasaan Islam yang berpusat di sekeliling Kaisar
Khilafah Jepang.

● Jepang menerapakan propaganda putih dan propaganda hitam. sekaligus Propaganda hitam (black
propaganda) adalah penyebaran kebohongan yang dilakukan dengan sengaja dan strategis.
Sedangkan propaganda putih (white propaganda) merupakan stra- tegi yang berlawanan dengan
propaganda buruk dengan mempro- mosikan informasi dan ide yang positif.

● Namun tidak hanya menerapkan propaganda putih dan hitam, pemerintah pendudukan Jepang
ternyata juga menerapkan bentuk propaganda lain yang abu-abu (grey propaganda). Ini adalah
jenis propaganda yang dilakukan melalui penyebaran informasi atau ide yang samarsamar.
Penyebarnyapun sulit untuk bisa dipastikan, meski bisa diduga.
Gerakan 3A dan Kegagalan Propaganda Sejak Awal
• Pemerintah menunjuk Raden Samsoedin sebagai ketua untuk memimpin Gerakan 3A lalu
mencoba mempropagandakan Gerakan 3A ke seluruh Jawa. Dengan semboyan : “Nippon
Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia”, Gerakan 3 A dibentuk
pemerintah militer Jepang dengan tujuan mengumpulkan dukungan bagi tujuan perang
Jepang untuk mencapai “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”.
• September 1942, Gerakan 3A dibubarkan pemerintah militer Jepang. kegagal- an Gerakan
3A sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kesalahan sejak awal yang dilakukan oleh
pemerintah pendudukan Jepang sendiri:
1. komponen propagandis dalam propaganda,
2. teknik propaganda yang dilakukan yang masih berkait dengan propagandis
3. serta persepsi yang mulai timbul di kalangan masyarakat namun tampak dikesam- pingkan
oleh Jepang.
• Acuan tiga hal ini bagaimanapun mencoba ikuti formulasi Laswell dalam unsur-unsur
proses komunikasi, meskipun tidak sama persis, yaitu : who (propagandis : gerakan 3A dan
pemimpinnya), say what (propaganda untuk merebut simpati raky at Indonesia agar
mendukung Jepang), in which channel (penerapan teknik propaganda), to whom
(komunikan : rakyat Indonesia), with what effect (kegagalan propaganda).
●Mengacu pada komponen pertama, pemerintah pendudukan Jepang
sepertinya memang telah “salah” dalam menunjuk kepemimpinan Gerakan
3A. Mr. Samsoeddin, pemimpin yang ditunjuk, adalah tokoh muda
Parindra 10. Dalam memimpin institusi ini, ia dibantu oleh tokohtokoh
Parindra lain, yang memang kemudian menjadi dominan di lembaga ini,
seperti Soetan K. Pamuntjak dan Mohammad Saleh. Tokoh-tokoh populer
dan berpengaruh seperti Soekarno 11, Hatta dan Ki Hajar Dewantara tidak
diikutsertakan. Bahkan Abikoesno Tjokrosoejoso, pemimpin PSII dan
politisi Islam terkemuka pada masa itu hanya diposisikan mengepalai
sebuah subseksi dalam Gerakan 3A

●Jadinya, adalah wajar bila pemerintahan pendudukan Jepang


memilih orang-orang Parindra untuk diajak bekerjasama. Apalagi tokoh-
tokoh Parindra bukanlah orang yang tidak populer. Soetomo, Mohammad
Hoesni Thamrin, Mr. Susanto Tirtoprodjo dan R. Pandji Soeroso adalah
contoh sedikit nama di Parindra yang pada masa itu sudah terkenal
reputasinya. Namun dalam konteks menjadi propagandis yang memiliki
daya pikat massa, bagaimanapun figur-figur semacam Soe- karno, Hatta
atau bahkan Sutan Sjahrir jelas lebih memiliki kharisma.
Thank
You

Anda mungkin juga menyukai