Anda di halaman 1dari 15

Kondisi Kesehatan Pada Masa Pendudukan Jepang:

Kondisi Kesehatan Jugun Ianfu Pada


Masa Pendudukan Jepang di Indonesia 1942-1945
(The Health’s Condition During The Japanese Occupation:
The Health’s Condition of Jugun Ianfu
During The Japanese Occupation in Indonesia 1942-1945)
Oleh: Nadila Erningtiyas (1606824616)

I. Latar Belakang

Setiap perempuan memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Namun, bagaimana


jika hak tersebut dirampas secara paksa? Jika kasus tersebut terjadi di
Indonesia pada masa kini, maka sang pelaku akan dijatuhi hukuman sesuai
undang-undang yang berlaku di Indonesia. Sang pelaku bisa dijatuhi hukuman
kurungan penjara selama beberapa tahun, seumur hidup, atau bahkan dijatuhi
hukuman mati. Namun, bagaimana bila perampasan paksa hak perempuan
atas tubuhnya sendiri terjadi secara sistematis dan juga diatur dalam suatu
kebijakan pemerintah? Hal ini pernah terjadi di Indonesia pada saat Jepang
menduduki wilayah Indonesia pada tahun 1942-1945.

Negeri Jepang mempunyai sebuah ajaran yang berbunyi 八紘一宇


(Hakkō Ichiu). Hakkō Ichiu berarti delapan penjuru dunia di bawah satu atap.
Artinya, bahwa dunia itu terdiri 8 penjuru yang merupakan keluarga besar dan
Jepang adalah pemimpinnya. Di dalam usahanya ini, Amerika Serikat adalah
salah satu penghalang Jepang. Armada Amerika Serikat di Pasifik yang
berpangkalan di Pearl Harbour, Hawaii, merupakan penghalang besar bagi
Jepang untuk menguasai bahan-bahan industri yang ada di negara-negara

1
selatan1. Sehingga pada 7 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbour
dan Jepang resmi ikut andil dalam Perang Dunia II.

Sebelumnya, pada 4 Oktober 1940, Indonesia sudah direncanakan


untuk menjadi sasaran Jepang sesuai dengan “Rencana Tentatif bagi Suatu
Kebijaksanaan Mengenai Daerah Daerah Selatan” yang dirumuskan oleh
Kementrian Angkatan Darat Jepang. Dalam rencana tersebut, Indonesia
dianggap sebagai sebuah bahan strategis terutama minyak dan karet yang
harus dikuasai demi kepentingan perang yaitu dengan cara menduduki
Indonesia2. Sehingga, setelah melakukan berbagai serangan kilat, Belanda
berhasil menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 9 Maret 1942 di Kalijati,
Subang.
Setelah berhasil menduduki Indonesia, Jepang langsung
melangsungkan tekniknya untuk menguasai sumber daya alam dan juga
sumber daya manusia Indonesia demi keperluan perangnya. Salah satu
kebijakan Jepang yang masih menimbulkan luka yang sangat mendalam
sampai saat ini adalah Jugun Ianfu. Jugun Ianfu, secara kasar bisa diartikan
sebagai wanita pemuas seks tentara Jepang. Salah satu kebijakan pada masa
pendudukan Jepang ini banyak menimbulkan dampak-dampak bagi para
korbannya khususnya di bidang kesehatan dan psikis.
Jugun Ianfu, atau dengan istilah asing Comfort Women, direkrut
dengan cara dipaksa dengan cara kekerasan, propaganda, dan ancaman. Jugun
Ianfu ini kemudian dibawa ke rumah bordil a’la Jepang yang disebut Ian-jo3.
Para Jugun Ianfu ini dijadikan sebagai pemuas kebutuhan biologis Jepang
baik di kalangan militer ataupun sipil. Pada tahun 1942, pendirian Ian-jo ini
sudah mulai diterapkan di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Jawa,

1
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman
Jepang dan Zaman Republik (1942-1998), Jakarta: Balai Pustaka, 2011, hlm. 1.
2
Nugroho Notosusanto, The Peta Army: During The Japanese Occupation Of Indonesia, Tokyo:
Waseda University Press, 1979, hlm. 29-30
3
Pusponegoro dan Notosusanto, op.cit., hlm. 69

2
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Sumatera hingga ke
Papua.
Dengan mengangkat topik “jugun ianfu” yang sangat kontroversial ini,
penulis ingin mengetahui lebih banyak tentang jugun ianfu ini. Selain itu,
dalam paper ini, penulis juga akan melihat lebih dalam dampak Jugun Ianfu
dalam bidang kesehatan fisik dan mental di kalangan jugun ianfu itu sendiri.
Terakhir, penulis ingin mengetahui kisah-kisah kelam dari para jugun ianfu.

II. Kondisi Kesehatan Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang di


Indonesia 1942-1945
2.1 Awal Mula Kedatangan Jepang di Indonesia
Bangsa Jepang mempunyai sebuah pepatah kuno yang berbunyi
“Hokojin-Nanbutsu” (Bangsa di Utara, Bahan di Selatan). Istilah “utara”
merujuk kepada bangsa Barat yang pada saat itu kemajuan taraf hidupnya
sudah melebihi negara-negara di Asia. Jepang menganggap bahwa kemajuan
bangsa Barat adalah sesuatu yang harus dicapai oleh Jepang atau bahkan
dilampaui. Sedangkan istilah “selatan” merujuk kepada bangsa Asia yang
dianggap Jepang sebagai jalan hidupnya yaitu sumber-sumber daya untuk
menyokong kehidupannya.
Sebelum Perang Dunia II, haluan politik luar negeri yang dianut
Kekaisaran Jepang sudah menunjukkan keinginannya untuk melakukan
ekspansi yang disebabkan oleh tiga faktor, antara lain kepadatan penduduk,
kesulitan ekonomi (krisis ekonomi dunia 1930 membuat Jepang mengalami
kekurangan bahan baku untuk perkembangan industri di dalam negeri),
dan pertimbangan politik4. Pada masa itu, Indonesia (pada saat itu masih
Hindia Belanda) yang merupakan bagian dari “selatan” dijadikan Jepang

4
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Jaringan Advokasi Jugun Ianfu
Indonesia
(JAJI), Menggugat Negara Indonesia atas Pengabaian Hak-hak Asasi Manusia (Pembiaran) Jugun
Ianfu sebagai
Budak Seks Militer dan Sipil Jepang 1942 – 1945, Jakarta: Komnas HAM, 2012, hlm. xvi

3
sebagai wilayah logistik Jepang dalam Perang Pasifik. Hal ini dikarenakan
pertimbangan bahwa perang modern menaklukan Asia Pasifik yang
dilakukan militer Jepang tidak akan mungkin dilakukan tanpa persediaan
minyak. Hindia Belanda adalah salah satu wilayah dengan kandungan minyak
yang besar di Asia.
Pada awalnya, Jepang tidak langsung menginvasi wilayah-wilayah di
Indonesia dari tangan Belanda. Selama tahun 1930-an, orang-orang Jepang
mulai berdatangan ke Indonesia dan menjadi pedagang dan menjual barang
dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan pedagang-pedagang
lain5. Selain menjadi pedagang, ada juga yang menjadi tukang foto keliling,
tukang sol sepatu, dan lain-lain. Hal ini dilakukan Jepang untuk mencari
wilayah-wilayah yang aman untuk mendarat nantinya. Pada masa ini juga,
orang-orang Jepang yang berada di Indonesia telah memainkan strategi yang
licik. Mereka berlaku sangat sopan sehingga pribumi lebih hormat dan
bersimpati kepada mereka dibandingkan dengan orang-orang Belanda.
Pada tanggal 1 Maret 1942, Tentara Ke-16 Jepang berhasil mendarat
di tiga tempat sekaligus, yakni Teluk Banten, Eretan (Jawa Barat), dan Kragan
(Jawa Tengah)6. Pulau Jawa hanya bisa dipertahankan Belanda selama
delapan hari saja. Pada 9 Maret 1942, belanda menyerah tanpa syarat ke
Jepang di Kalijati, Subang. Sejak saata itu, pendudukan Jepang di Indonesia
resmi dimulai.
Pada awalnya, Jepang diterima dengan sangat baik oleh para pribumi.
Hal ini dikarenakan Jepang yang berhasil menumpaskan kolonialisme
Belanda di Indonesia. Selain itu, penerimaan yang terbuka oleh rakyat
Indonesia juga disebabkan oleh salah satu Ramalan Jayabaya yang
meramalkan bahwa akan ada orang kate yang akan menguasai Indonesia
hanya seumur jagung dan sesudah itu kemerdekaan akan tercapai 7. Selain dari

5
Notosusanto, op.cit., hlm. 20
6
Pusponegoro dan Notosusanto, op.cit., hlm. 7
7
Pusponegoro dan Notosusanto, ibid, hlm. 27

4
dua hal tersebut, Jepang juga melakukan propaganda-propaganda yang
ditujukan untuk menarik simpati rakyat Indonesia.
Setibanya di Indonesia, Jepang langsung membentuk organisasi-
organisasi yang ditujukan untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya yang
ingin dimenanginya. Dalam bidang militer, Jepang membentuk PETA dan
Heiho. Dalam bidang semi-militer, Jepang membentuk Seinendan, Keibodan,
Fujinkai, Jibakutai, dan lain-lain. Dalam bidang politik, Jepang membentuk
Gerakan Tiga A, Chuo Sangi In, dan PUTERA. Lalu, dalam bidang
“hiburan”, pemerintah Jepang membentuk Jugun Ianfu.
Jugun ianfu didirikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang kepada perempuan lokal.
Karena pemerkosaan kerap terjadi di daerah-daerah yang diduduki oleh
Jepang. Salah satunya adalah peristiwa pembantaian dan pemerkosaan massal
yang terjadi di Nanking yang terjadi saat Jepang menduduki wilayah tersebut.
Pembantaian dan pemerkosaan massal ini merupakan perbuatan keji yang
tidak bermoral. Atas dasar ini, pemerintah militer Jepang mulai mengeluarkan
kebijakan “comfort system” dimana didalamnya terdapat “comfort stations”
atau Ian-jo yang merupakan rumah bordil yang menampung para “comfort
women” atau jugun ianfu. Kebijakan ini diterapkan di setiap wilayah yang
diduduki Jepang.

2.2 Awal Jugun Ianfu di Indonesia


Pada awal pembentukan jugun ianfu, pemerintah Jepang berharap akan
adanya hiburan yang “layak” bagi para tentara untuk meningkatkan
kinerjanya8. Dengan adanya pengontrolan dalam bidang “hiburan” bagi
tentara ini, diharapkan penyakit kelamin bisa lebih mudah untuk diatur. Inilah
dasar-dasar dibentuknya jugun ianfu di setiap negara yang diduduki oleh
Jepang. Hal ini diperkuat dengan saran seorang dokter militer yang juga

8
Dimar Kartika Listiyanti, 2008, Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia 1942-1945:
Sebuah Analisis Perspektif Gender (Skripsi), Universitas Indonesia, hal. 56

5
Kepala Biro Medis Kementerian Perang, Setsuzo Kinbara, sejak tahun 1941
sudah giat menganjurkan agar ian-jo didirikan di Indonesia. Selain itu,
pendirian ian-jo dan pembentukan jugun ianfu juga dipertimbangkan atas
mayoritas agama yang dianut pribumi pada saat itu yaitu Islam. Apabila nafsu
tentara Jepang yang tidak dapat tersalurkan, maka hal tersebut akan memicu
adanya pemerkosaan. Pemerkosaan tersebut dikhawatirkan akan menurunkan
simpati rakyat Indonesia terhadap Jepang. Ian-jo pun mulai didirikan di
beberapa tempat di Jawa, Balikpapan, Ambon, dan beberapa wilayah lainnya
di Indonesia.
Perekrutan wanita-wanita yang akan dijadikan jugun ianfu dilakukan
dengan berbagai cara. Mulai dari cara yang halus dan kasar. Cara halus
dilancarkan dengan janji-janji yang diberikan oleh pemerintah Jepang kepada
perempuan-perempuan Indonesia. Janji-janjinya antara lain diberangkatkan
untuk menempuh pendidikan di Singapura dan Jepang secara gratis. Selain
pendidikan gratis, ada janji lain yang diberikan oleh pemerintah Jepang. Yaitu
diberikan posisi atau jabatan yang tinggi ketika kembali ke tanah air. Karena
janji-janji yang diberikan berfokus pada bidang pendidikan, maka tak heran
yang terbuai akan janji-janji ini adalah perempuan muda berumur 13-17
tahun. Dengan umur yang masih amat belia, maka dapat disimpulkan bahwa
kondisi perempuan-perempuan belia tersebut masih perawan. Walaupun
sudah berjanji, namun kenyataannya tidak ada perempuan yang benar-benar
sampai ke tujuan untuk menempuh pendidikan. M.engapa perempuan-
perempuan Indonesia sangat mudah terbuai oleh janji-janji yang diberikan
oleh pemerintah Jepang? Ada tiga faktor penyebabnya, yakni 1). Semangat
para perempuan muda untuk memperbaiki kondisi keluarga dan mengabdi
untuk bangsanya, 2). Keadaan Indonesia yang sangat sulit pada saat itu
sehingga banyak perempuan yang memimpikan kehidupan yang lebih baik,
dan 3). Peran orangtua yang bekerja dan mengabdikan diri kepada Jepang.
Pada umumnya, mereka dijadikan Jugun Ianfu di daerahnya sendiri. Namun
ada pula yang dikirim ke Burma dan Filiphina.

6
Selain dengan cara halus, pemerintah Jepang juga merekrut para jugun
ianfu dengan cara paksaan, kekerasan, dan juga ancaman. Bahkan ada seorang
perempuan korban jugun ianfu yang diculik paksa ketika sedang bermain di
pinggir jalan. Pemerintah Jepang juga melancarkan ancaman-ancaman kepada
para calon Jugun Ianfu dan juga para orangtua. Para perempuan-perempuan
yang sudah terekrut, dikumpulkan dalam ian-jo yang merupakan bekas
asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang, dan rumah-rumah
penduduk yang sengaja dikosongkan9.

2.3 Pemeriksaan Kesehatan Terhadap para Calon Jugun Ianfu

Ketika berada dalam ian-jo, para jugun ianfu mendapat kamar dengan
nomor kamar dan namanya diganti menjadi nama Jepang. Hal ini
dimaksudkan agar para tentara Jepang merasa sedang menggauli perempuan
dari negaranya sendiri, padahal mereka sedang menggauli perempuan
Indonesia. Dalam ian-jo, para jugun ianfu diberi makan rata-rata dua kali
sehari namun tak jarang pula hanya diberi sarapan.

Sejak awal pendiriannya, pihak militer Jepang telah menerbitkan


peraturan lengkap untuk mengelola “comfort system”. Antara lain peraturan
tersebut adalah peraturan kesehatan yang dirancang untuk mencegah dan
menemukenali penyakit menular seksual. Profesor Yoshimi menyatakan,
Angkatan Laut Jepang menerbitkan peraturan yang mengharuskan Jugun
Ianfu atau “comfort women” bebas dari penyakit menular seksual.
Berdasarkan peraturan tersebut, ada dokter yang melakukan pemeriksaan awal
(kerap disertai perkosaan) dan pemeriksaan medis yang sangat tidak nyaman
terhadap “comfort women” sebanyak dua kali per minggu. Pada praktiknya,
pemeriksaan dilakukan dalam situasi yang tidak mengindahkan privasi
perempuan dan sering dengan cara yang penuh kekerasan. Pemeriksaan
penyakit kelamin ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit menulai

9
Pusponegoro dan Notosusanto, op.cit., hlm. 69

7
seksual di antara para tentara, dan bukan untuk kepentingan para
perempuan10.

Saat diperiksa, para perempuan-perempuan calon jugun ianfu tidak


bisa berbuat apa-apa, apalagi melawan. Pemeriksaan tersebut berupa
pemasukan alat yang terbuat dari besi panjang ke vagina, dan jika alat ini
ditekan, bagian ujungnya akan mengembang dan dapat membuat vagina
menjadi lebih lebar. Melalui alat tersebut, dapat dilihat bahwa kemaluan calon
jugun ianfu sudah terserang penyakit kelamin atau belum11.

Alat yang digunakan pada saat pemeriksaan awal jugun ianfu

“Pada saat itulah saya, yang telah meninggalkan rumah dan pergi
begitu jauhnya untuk bekerja dan menjadi mandiri, syok tak terbayangkan
pekerjaan yang harus saya lakukan.... Saya berontak tidak mau berbaring di
papan pemeriksaan, tetapi petugas medis langsung menelanjangi dan lalu
memeriksa saya”12. Itulah pengakuan dari Song Shin Do13. Karena sudah
dikatakan bahwa Jepang tidak hanya menetapkan kebijakan “comfort system”
di Indonesia melainkan di setiap negara yang diduduki Jepang. Para

10
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Pengadilan Kejahatan Perang Internasional
Terhadap Perempuan Keputusan 4 Desember 2001, Jakarta: Komnas HAM, 2013, hlm 106
11
Pusponegoro dan Notosusanto, op.cit., hlm 72
12
Komnas HAM, op.cit., hlm. 116
13
Seorang jugun ianfu asal negeri Korea yang dibawa ke Indonesia

8
perempuan-perempuan di daerah-daerah tersebut kemudian bisa menjadi
jugun ianfu di daerahnya sendiri ataupun dikirim ke negara lain.

2.3 Kehidupan Para Jugun Ianfu di Ian-jo


2.3.1 Kondisi Ian-jo
Setelah melakukan pemeriksaan kesehatan saat awal memasuki
ian-jo, para jugun ianfu ditempatkan di kamarnya masing-masing.
Testimoni Suhanah14 menyatakan bahwa di ian-jo di Bandung,
tempatnya diperbudak, ada “kamar khusus untuk pemerkosaan” yang
mempunyai dua ranjang dan dua perempuan harus melayani tentara
pada saat yang sama15. Selama berada di dalam kamar, para
perempuan tersebut dilarang untuk berbicara satu sama lain.
Untuk masalah makanan, para jugun ianfu hanya diberi makan
dua kali sehari atau terkadang hanya diberi sarapan saja. Lauk yang
disajikan hanyalah nasi dan acar. Bahkan, terkadang mereka tidak
sempat mandi karena antrean tentara yang harus mereka layani sangat
panjang. Dalam kasus ini, mereka tidak secara sukarela dijadikan
objek pemuas nafsu para tentara Jepang. Mereka diperkosa, diancam,
ditampar, dan bentuk kekerasan fisik lainnya apabila mereka menolak
untuk melayani. Tentara Jepang harus membeli tiket atau karcis untuk
mendapatkan “pelayanan” seharga 2,5 rupiah pada pukul 17.00-24.00
dan 12,5 rupiah untuk bisa mendapatkan “pelayanan” sampai pagi16.
Para jugun ianfu mendapatkan tiket atau karcis ini setelah mereka
melayani satu tentara. Tiket atau karcis ini nantinya akan ditukarkan
dengan uang. Namun, hal ini tidak pernah terjadi.
Dengan kondisi yang sangat buruk ini, para jugun ianfu sangat
rentan terkena malaria dan tuberkulosa17. Selain dua penyakit tersebut,

14
Salah satu korban yang terpaksa menjadi jugun ianfu dan ditempatkan di Bandung
15
Komnas HAM, op.cit., hlm.18
16
Pusponegoro dan Notosusanto, op.cit., hlm. 74
17
Komnas HAM, op.cit., hlm. 119

9
para jugun ianfu pastinya sangat rentan terkena penyakit menular
seksual. Namun, hal tersebut tidak dapat tertangani dengan baik.

Salah satu ian-jo di Jakarta

Ian-jo dirancang mirip penjara. Ada pintu-pintu yang terkunci,


tentara dan polisi militer bersenjata yang berjaga-jaga, anjing penjaga,
pagar kawat berduri sekeliling .bangunan, dan jendela yang berjeruji.
Beberapa Ian-jo terletak di markas militer atau garnisun. Hal ini
dimaksudkan agar tentara lebih mudah apabila ingin mengunjungi ian-
jo dan juga mempersulit para jugun ianfu untuk kabur.
2.3.2 Kondisi Kesehatan Jugun Ianfu
Kesehatan para jugun ianfu menurun drastis saat berada di
ian-jo. Sejumlah perempuan meninggal karena dibunuh penyakit, mal
nutrisi, kelelahan, perlakuan brutal, atau bunuh diri18. Selain malaria
dan tuberkulosa, penyakit gonorrhea dan sifilis juga merajalela di ian-
jo karena jumlah kondom yang sangat terbatas. Kondom yang ada
sering digunakan berkali-kali. Para tentara Jepang juga sering menolak
untuk menggunakan kondom karena mereka yakin bahwa para jugun
ianfu bebas dari penyakit menular.
Pada saat itu, pemeriksaan kesehatan sama saja dengan
pemerkosaan. Karena, sang dokter yang memeriksa juga ikut

18
Komnas HAM, op.cit., hlm 125

10
memerkosa. Saat diperiksa dan ditelanjangi bulat-bulat, pintu ruang
pemeriksaan terbuka lebar agar para tentara dapat melihat.
Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan bukanlah bertujuan untuk
menyembukan penyakit, namun hanya untuk menekan gejala-gejala
agar bisa terus bekerja. Akibatnya, infeksi yang terjadi justru semakin
parah.

2.4 Kekerasan Fisik dan Mental yang Diterima Para Jugun Ianfu
Selama berada di ian-jo, para jugun ianfu dipaksa untuk terus
melayani para tentara Jepang siang dan malam. Hal ini terjadi dalam kurun
waktu berbulan-bulan atau bahkan bertaun-tahun. Karena pemerkosaan yang
terjadi terus menerus, kemaluan mereka menjadi membengkak dan terus
menerus mengalami pendarahan. Sebagian dari mereka tidak dapat berjalan,
duduk, dan buang air kecil tanpa mengalami rasa sakit. Apabila
pembengkakan yang terjadi sudah parah, akan dioleskan semacam krim untuk
memungkinkan tentara melakukan penetrasi terhadap perempuan yang sudah
sangat kesakitan dan kemaluannya membengkak.

Selain siksaan secara seksual, siksaan-siksaan lain juga kerap terjadi.


Misalnya adalah penyayatan kulit para jugun ianfu dengan pedang. Hal ini
kerap dilakukan apabila jugun ianfu melawan atau tidak mengerti maksud dari
tentara Jepang yang sudah dimabuk nafsu. Penyiksaan yang terjadi akan lebih
parah apabila tentara Jepang yang harus dilayani sedang dalam kondisi
mabuk.

Selain melayani para tentara di ian-jo, tak jarang ada beberapa jugun
ianfu yang dijadikan jugun ianfu pribadi untuk tentara yang berpangkat tinggi.
Mereka dibawa ke kompleks perwira. Suhanah19 adalah salah satu jugun ianfu
yang memiliki pengalaman menjadi jugun ianfu pribadi salah seorang
petinggi militer Jepang. Ia bersaksi bahwa ia diboyong ke rumah perwira

19
Seorang korban jugun ianfu Indonesia

11
tersebut beberapa kali seminggu. Walaupun demikian, siksaan fisik yang
dialami tidak berkurang.

Para jugun ianfu selalu ditekan dengan sejumlah teror. Apabila para
tentara tidak puas dengan pelayanan yang ada, maka tentara tersebut akan
mengadu ke pengelola. Kemudian, pengelola akan memukuli jugun ianfu
yang dilaporkan tersebut. Akibat penyiksaan ini, para jugun ianfu mengalami
cedera berkepanjangan akibat pemukulan dan penyiksaan, seperti patah tulang
yang tidak bisa pulih lagi, kehilangan pendengaran,cacat bekas luka, sakit
kepala, mimpi buruk dan masalah pencernaan20

Sebagian besar perempuan bersaksi bahwa mereka diperkosa tanpa


henti oleh banyak tentara, setiap hari, tanpa memperdulikan kondisi seperti
menstruasi, kehamilan, kesakitan, atau adanya pembengkakan dibagian
manapun ditubuh mereka. Bila ada perempuan yang hamil, maka
kandungannya akan digugurkan secara paksa. Mardiyem21, bersaksi bahwa ia
hamil saat berumur 14 tahun. Mardiyem dipaksa menggugurkan
kandungannya yang berumur 5 bulan. Karena kandungannya sudah lumayan
besar, maka obat yang digunakan tidak ampuh. Para pengelola akhirnya
menekan perut Mardiyem dan kandungannyapun gugur. Setelah dipaksa
menggugurkan kandungannya, Mardiyem dipaksa untuk melayani tentara
Jepang lagi.

Untuk makanan dan tempat tinggal, para jugun ianfu harus membayar
dengan harga yang sangat mahal. Mereka dijerat dengan hutang-hutang yang
tidak masuk akal dan harus menggantinya dengan tetap melayani para tentara
Jepang untuk melunasi hutangnya. Hal inilah yang membuat para jugun ianfu
sulit untuk meloloskan diri. Selain hal ini, hukuman fisik yang terjadi apabila
mereka melarikan diri juga membuat mereka berpikir dua kali untuk
melarikan diri. Hukuman fisik bisa berupa digantung, ditusuk oleh besi,

20
Komnas HAM, op.cit., hlm. 123
21
Seorang korban jugun ianfu asal Indonesua

12
disayat-sayat, dipukul, dan lain-lain. Hukuman-hukuman fisik ini
menyebabkan cacat sementara dah bahkan cacat permanen.

2.5 Kondisi Jugun Ianfu Masa Kini


Sampai saat ini, pemerintah Jepang belum pernah memberikan
reparasi secara langsung terhadap para jugun ianfu Indonesia sebagai bentuk
kompensasi atau permintaan maaf resmi negara Jepang yang telah menjadikan
perempuan perempuan Indonesia budak seks selama pendudukan Jepang di
Indonesia 1942-1945. Untuk mengelak dari tanggung jawab perang,
Pemerintah Jepang tahun 1995 membentuk Lembaga swasta yang bernama
Asian Women’s Fund (AWF)22 yang bertujuan untuk memberikan ganti
rugi uang secara tunai kepada para jugun ianfu Asia yang masih hidup tanpa
permintaan maaf yang resmi dari Pemerintah Jepang.
Dengan pertimbangan pelanggaran HAM yang dilakukan sudah sangat
berat, uang ganti rugi justru menimbulkan kontroversi. Kontroversi ini
diakibatkan uang yang digunakan berasal dari para pengusaha dan masyarakat
Jepang yang tidak tahu menahu tentang jugun ianfu itu sendiri. Kontroversi
lain juga diakibatkan karena uang bukanlah solusi yang tepat untuk masalah
ini. Trauma fisik dan mental yang dialami para mantan jugun ianfu tidak akan
mampu ditebus oleh apapun.
Di Indonesia sendiri, AWF telah memberikan dananya melalui
Departemen Sosial untuk membangun panti-panti jompo di beberapa titik di
Indonesia. Namun, pembangunan panti jompo ini belum jelas kabarnya
hingga saat ini. Panti jompo bukanlah solusi yang tepat juga. Dalam
wawancara di Kompas TV dengan para mantan jugun ianfu, dikatakan bahwa

22
Berdasarkan penelusuran dan riset yang dilakukan oleh Komnas HAM dan JAJI, AWF ternyata
merupakan
kendaraan politik Pemerintah Jepang, untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap masalah Jugun
Ianfu Asia
dengan menawarkan uang 2 juta yen tanpa permintaan maaf secara resmi kepada Jugun Ianfu dari
beberapa negara di Asia secara sembunyi-sembunyi. Dana AWF berasal dari pengusaha swasta dan
pajak masyarakat yang tidak mengetahui masalah Jugun Ianfu sebagai hutang perang Pemerintah
Jepang yang belum terselesaikan.

13
sudah banyak korban jugun ianfu yang telah meninggal dunia. Selain itu, sulit
untuk mendata para korban jugun ianfu karena mereka yang pernah menjadi
korban kekejaman ini merasa malu membuka identitasnya sebagai mantan
korban budak seks tentara Jepang.

III. Penutup
Dengan uraian yang dipaparkan diatas, dapat diketahui bahwa
perlakuan yang didapatkan para jugun ianfu adalah suatu bentuk
pelanggaran ham berat. Salah satu pelanggaran HAM berat menurut
Undang-Undang RI nomor 26 tahun 2000 adalah kejahatan terhadap
kemanusiaan dimana di dalamnya termasuk pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, pengusiran paksa, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan,
perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan
apartheid. Menurut UU tersebut, sistem jugun ianfu telah mencakup lima
hal yakni perbudakan, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan,
perkosaan, dan penganiayaan. Melihat fakta-fakta sejarah yang ada
tentang jugun ianfu ini, dapat kita tarik pelajaran bahwa HAM bisa
dilanggar dengan beralaskan tujuan kemenangan perang semata. Manusia
bisa begitu serakahnya memanfaatkan sesamanya dengan kejam untuk
memenuhi tujuannya. Bahkan kata kejam saja tidak cukup untuk
melukiskan perbudakan seksual yang terjadi dalam kurun waktu 1942-
1945 di Indonesia.
Kasus ini belum menemukan titik terang hingga saat ini. Kedua belah
pihak, baik Indonesia maupun Jepang harus bersama-sama menangani
kasus ini secara serius. Walaupun sudah berlalu dan menjadi sejarah,
bukan berarti kejahatan bisa lolos begitu saja. Terlebih jika kejahatan
tersebut menimbulkan korban jiwa dan luka yang sangat mendalam di diri
para korban yang masih hidup.

14
DAFTAR PUSTAKA

Buku & Skripsi:

Adriani, Natalia. 2001. Jugun Ianfu: Kekerasan Seksual Dalam Bentuk Pelacuran
Pada Masa Pendudukan Jepang di Jawa Tengah dan Yogyakarta Periode
1942-1945 (Skripsi). Universitas Indonesia

Listiyanti, Dimar Kartika. 2008. Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang di
Indonesia 1942-1945: Sebuah Analisis Perspektif Gender (Skripsi).
Universitas Indonesia

Notosusanto, Nugroho. 1979. The Peta Army: During The Japanese Occupation Of
Indonesia. Tokyo: Waseda University Press

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 2011. Sejarah

Nasional Indonesia Jilid VI : Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia

(1942-1998). Jakarta : Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Laporan:

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). 2013. Pengadilan


Kejahatan Perang Internasional Terhadap Perempuan: Keputusan 4 Desember 2001.
Jakarta: Komnas HAM

Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Jaringan
Advokasi Jugun Ianfu Indonesia (JAJI). 2013. Menggugat Negara Indonesia atas
Pengabaian Hak-hak Asasi Manusia (Pembiaran) Jugun Ianfu sebagai Budak Seks
Militer dan Sipil Jepang 1942 – 1945. Jakarta: Komnas HAM

15

Anda mungkin juga menyukai