Anda di halaman 1dari 17

Bioskop Megaria Tidak Boleh Diubah

March 14th, 2007


Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta tidak
mempersoalkan penjualan gedung bioskop Megaria di Jalan
Pegangsaan Timur nomor 21, Jakarta Pusat. “Tapi pemilik baru tidak
boleh mengubah tampak muka, ornamen, dan struktur utama
bangunan itu,” kata Aurora Tambunan, Kepala Dinas Kebudayaan
dan Permuseuman DKI.

Menurut dia, gedung bioskop Megaria termasuk cagar budaya. Tapi,


bangunan lainnya, seperti pusat belanja, restoran, dan arena
permainan bola sodok, boleh dihancurkan, karena tidak termasuk
cagar budaya.

Aurora memahami kenapa pemilik gedung bioskop itu hendak


menjual bangunan tersebut. “Pemeliharaanya membutuhkan biaya
besar, kalau tak sanggup, pemilik bisa menjualnya” ucap Aurora,
kemarin.

Jika pemilik baru akan memugar bioskop yang dibangun tahun


1932, menurut Aurora, harus ada persetujuan dari Dinas
Kebudayaan dan Permuseuman. “Kami juga akan memberi
masukan dan mengawasi proses pemugaran tersebut,” ujarnya.

Seperti diwartakan kemarin, pemilik bioskop tertua di Jakarta,


Megaria (ex-Metropole), akan dijual oleh pemiliknya, Handoyo, 80
tahun. Penjualan Megaria diumumkan melalui internet di situs
indorealestates.com. Harga yang ditawarkan Rp 151.099.000.000.

Di atas tanah seluas 11.800 meter persegi itu, terdapat 12


pengontrak. Antara lain, pasar serba ada Hero, permainan bola
sodok, pencukur raBioskop Megaria Tidak Boleh Diubah
March 14th, 2007
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta tidak
mempersoalkan penjualan gedung bioskop Megaria di Jalan
Pegangsaan Timur nomor 21, Jakarta Pusat. “Tapi pemilik baru tidak
boleh mengubah tampak muka, ornamen, dan struktur utama
bangunan itu,” kata Aurora Tambunan, Kepala Dinas Kebudayaan
dan Permuseuman DKI.

Menurut dia, gedung bioskop Megaria termasuk cagar budaya. Tapi,


bangunan lainnya, seperti pusat belanja, restoran, dan arena
permainan bola sodok, boleh dihancurkan, karena tidak termasuk
cagar budaya.
Aurora memahami kenapa pemilik gedung bioskop itu hendak
menjual bangunan tersebut. “Pemeliharaanya membutuhkan biaya
besar, kalau tak sanggup, pemilik bisa menjualnya” ucap Aurora,
kemarin.

Jika pemilik baru akan memugar bioskop yang dibangun tahun


1932, menurut Aurora, harus ada persetujuan dari Dinas
Kebudayaan dan Permuseuman. “Kami juga akan memberi
masukan dan mengawasi proses pemugaran tersebut,” ujarnya.

Seperti diwartakan kemarin, pemilik bioskop tertua di Jakarta,


Megaria (ex-Metropole), akan dijual oleh pemiliknya, Handoyo, 80
tahun. Penjualan Megaria diumumkan melalui internet di situs
indorealestates.com. Harga yang ditawarkan Rp 151.099.000.000.

Di atas tanah seluas 11.800 meter persegi itu, terdapat 12


pengontrak. Antara lain, pasar serba ada Hero, permainan bola
sodok, pencukur rambut, dan ayam bakar Megaria.

Rencana penjualan gedung bioskop tertua itu disayangkan Ketua


Komunitas Pecinta Sejarah Historia, Asep Kambali. Dia khawatir,
pemilik baru akan mengubah struktur bangunan kuno itu atau
membangun gedung baru di lahan parkir. “Cagar budaya akan
kehilangan maknanya jika tertutup oleh bangunan baru,” kata Asep.

Gedung monumental itu diresmikan pada tahun 1949 oleh Wakil


Presiden Mohammad Hatta. “Saat itu, bioskop itu tergolong bioskop
paling mewah di Jakarta karena saat itu yang ada cuma bioskop
misbar (gerimis bubar),” kata Asep. Berdasarkan Surat keputusan
nomor 475 tahun 1993 tentang Bangunan Cagar Budaya, di Jakarta
terdapat 216 gedung. (Yudha Setiawan|Reza Maulana)

Sumber: Tempo Interaktif, 14 Maret 2007mbut, dan ayam bakar


Megaria.

Rencana penjualan gedung bioskop tertua itu disayangkan Ketua


Komunitas Pecinta Sejarah Historia, Asep Kambali. Dia khawatir,
pemilik baru akan mengubah struktur bangunan kuno itu atau
membangun gedung baru di lahan parkir. “Cagar budaya akan
kehilangan maknanya jika tertutup oleh bangunan baru,” kata Asep.

Gedung monumental itu diresmikan pada tahun 1949 oleh Wakil


Presiden Mohammad Hatta. “Saat itu, bioskop itu tergolong bioskop
paling mewah di Jakarta karena saat itu yang ada cuma bioskop
misbar (gerimis bubar),” kata Asep. Berdasarkan Surat keputusan
nomor 475 tahun 1993 tentang Bangunan Cagar Budaya, di Jakarta
terdapat 216 gedung. (Yudha Setiawan|Reza Maulana)

Sumber: Tempo Interaktif, 14 Maret 2007

http://www.arsitekturindis.com/?p=374

Reinkarnasi Metropole
Legenda Jakarta

Bioskop Megaria pada tahun 2009 (VIVAnews/Tri Saputro)

Bioskop Menteng yang kini menjadi Megaria tahun 1955 (KITLV)

Jejak sejarah terkisah di sebuah bangunan kuno yang terletak di Jalan


Diponogoro, Jakarta Pusat ini. Berbeda dengan bangunan bersejarah
lainnya, bangunan ini memang mengkhususkan untuk tempat khusus
pertunjukan film.

Bioskop Megaria yang sekarang ini kembali berganti menggunakan


nama lamanya, Metropole.

Gedung ini mulai dibangun pada 11 Agustus 1949 dan rampung


sekaligus mulai dioperasikan sebagai bioskop yang diberi nama
Metropole pada tahun 1951.

Menurut keterangan pedagang majalah yang sudah berjualan sejak


tahun 1965, Hairul Salam, 50 tahun, sejak dibangun tempat ini
langsung digunakan untuk bioskop. "Tidak ada bentuk bangunan yang
berubah sampai sekarang," katanya.

Bangunan cukup monumental berarsitektur paduan gaya Art-Deco


Tropis dan De Stijl dengan menara lancipnya yang khas ini berada di
lokasi yang sangat strategis di sudut persimpangan dua jalan yang
cukup ramai, yakni antara Jalan Cikini, Jalan Proklamasi (Pegangsaan
Timur), dan Jalan Diponegoro yang kala itu bernama Oranje Boulevard.

Berdasarkan catatan sejarah, bioskop Megaria merupakan hasil


rancangan Johannes Martinus (Han) Groenewegen, arsitek Belanda
kelahiran Den Haag tahun 1888 yang tinggal di Jakarta sampai dengan
akhir hayatnya hingga tahun 1980.
Saat-saat Metropole mulai beroperasi tahun 1951, bioskop ini memutar
film produksi MGM (Metro Goldwyn Mayer), Amerika Serikat.

Meskipun demikian, sekali-kali memutar film Indonesia. "Waktu saya


berjualan di sini namanya sudah diganti dari Metropole menjadi
Megaria, konon diganti jadi Megaria karena, Bung Karno (Presiden
pertama Indonesia) ketika itu tak suka pada nama berbau Belanda itu,"
ujarnya.

Setelah bergabung dengan kelompok bioskop 21 pada tahun 1990-an,


namanya diganti lagi menjadi Metropole 21.

Akhirnya, sejak beberapa tahun silam, balik lagi memakai nama


Megaria 21, dan tahun 2008 kembali lagi menjadi Metropole XXI.

Hairul mengatakan penggantian nama Metropole menjadi Megaria


terjadi beberapa kali. Setelah menjadi Megaria, diganti lagi menjadi
Metropole, tetapi ditetapkan menjadi Megaria pada tahun 1960-an,
sampai akhirnya mengunakan nama semula menjadi Metropole XXI.

Pada dekade 1960 dan 1970-an, bioskop dengan kapasitas 1.500


penonton itu sempat menjadi salah satu yang terbaik dan bergengsi di
Jakarta.

Namun, setelah ruang bioskop dipecah-pecah menjadi empat teater


kecil ala sinepleks kelompok bioskop 21, pamor Megaria malah merosot
dan cuma jadi tujuan penonton film kelas dua

Bagi Hairul, tidak ada perubahan mencolok ketika gedung bioskop


sudah beberapa kali berganti nama. Hanya loket penjualan tiket yang
dulu terletak di bagian luar kini menjadi tempat pijat refleksi.

Tempat penjualan tiket kini terletak di bagian dalam. Di samping kanan


bioskop, yang dulu berupa toko-toko tekstil, kini diisi barber shop,
pedagang empek-empek, wartel dan rumah makan ayam kambali.

Di sini juga terdapat kantor sekuriti Metropole, induk dari bioskop


Megaria 21. Bagian belakang gedung bioskop, dekat tempat parkir
kendaraan bermotor yang kini menjadi studio 5 dan 6, dimana dulunya
adalah perumahan militer.

Di sebelahnya terdapat Hero Super Market. Menurut keterangan,


pemilik gedung bioskop Megaria, pada tahun 1970-an dan 1980-an,
juga membangun Bioskop New Garden Hall yang kini berubah menjadi
pertokoan Blok M Plaza.
Gedung ini milik PT Bioskop Metropole, yang punya orang Semarang.
Sampai sekarang pemiliknya masih sama.

Meskipun sudah banyak biskop yang lebih modern, tidak membuat


biskop yang berlokasi di pertigaan jalan antara Jalan Diponegoro dan
Jalan Cikini Raya itu sepi dari pengunjung.

Dinding-dinding bioskop yang menyejarah menjadi saksi bisu kenangan


indah pencinta bioskop di masa lalu.

Pada 1993, Gubernur DKI Jakarta melalui SK No. 475 menyatakan


Bioskop Metropole sebagai Bangunan Cagar Budaya Kelas A yang
dilindungi dan tak boleh dibongkar.

Pada awal 2007, tersiar berita bahwa gedung bioskop ini akan dijual.
Lahan dan bangunannya ditawarkan dengan harga Rp 15 juta per m²
atau total sekitar Rp 151,099 miliar.

Namun hal itu tenyata tidak menjadi kenyataan, bioskop Metropole XXI
hingga kini masih berdiri megah meskipun sudah mengalami sejumlah
pembaharuan.

"Saat ini pengunjung memang tidak tahu nama Metropole, mereka pasti
bilangnya Megaria, karena itu lebih populer," katanya.
http://jakartanow.blogspot.com/2009/05/reinkarnasi-metropole.html

Monday, 26 March 2007


Selamatkan Sejarah Panjang Bioskop
Megaria!
Selasa, 20-03-2007 14:21:34 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Layanan Publik
Setiap orang, umumnya, selalu ingin mempunyai keterkaitan dengan
masa lalu. Orang tak mau kehilangan "akar sejarah" dirinya. Tak heran
bila segala sesuatu yang terkait dengan masa lalu, selalu menarik
perhatian masyarakat. Begitu juga dengan Bioskop Megaria yang
terletak di pertigaan Jalan Cikini Raya, Jalan Diponegoro, dan Jalan
Proklamasi, di Jakarta Pusat.

Heboh berita penawaran penjualan bangunan Bioskop Megaria di


Jakarta Pusat, membangkitkan perhatian banyak kalangan pada
bangunan tua ini. Setelah kehilangan Stadion Menteng yang letaknya
tak terlalu jauh dari Megaria, rupanya masyarakat takut hal yang sama
akan terulang pada Megaria.
Megaria ini bagaikan nenek tua yang duduk di kursi goyang di sudut
ruangan. Setiap hari orang lalu lalang melewati dan terbiasa
melihatnya di sana. Terkadang orang mampir sebentar tapi tidak
punya cukup waktu untuk bercakap-cakap mengenalnya. Ternyata bila
kita mencoba mengenalnya cukup banyak kisah yang bisa
diberikannya.
Dari segi arsitektur misalnya. Bangunan Bioskop Megaria merupakan
salah satu data sejarah perkembangan arsitektur di Tanah Air. Dari
catatan yang ada, pada akhir abad ke-19 mulai terjadi perubahan di
dalam dunia arsitektur. Tersedianya berbagai ragam bahan bangunan
baru seperti semen, kaca, besi, dan baja, disertai dengan peningkatan
teknik-teknik konstruksi telah melahirkan gerakan-gerakan baru dalam
dunia arsitektur. Perkembangan industri mesin serta gejolak-gejolak
politik juga bisa ditelusuri di dalam perkembangan arsitektur dunia.
Sejak tahun 1920 berkembang perancangan bangunan yang tampil
sederhana dan lebih mengarah ke fungsi bangunan. Tampilan
arsitektural ini kemudian dikenal nama International Style.
Selanjutnya, pada suatu pameran di New York pada tahun 1932,
berbagai macam aliran perancangan arsitektur dirangkum dalam satu
istilah yakni "Arsitektur Modern", klasifikasi yang banyak ditujukan
pada bangunan dalam periode tahun 1920 sampai 1970.
Salah satu gaya yang mempengaruhi International Style adalah gaya De
Stijl dari Belanda. De Stijl sendiri berasal dari nama sebuah majalah
seni yang didirikan oleh Theo van Doesburg, seorang pelukis yang
terkadang juga merancang bangunan (arsitek). Aliran idealis yang
mengarah pada gaya kolektif dan universal ini banyak menggunakan
garis-garis lurus (vertikal maupun horisontal), dengan bentuk-bentuk
dasar dan juga warna-warna dasar sebagai elemennya. Elemen
dekoratif bukan bagian dari gerakan yang menekankan kebutuhan
praktis, fungsional dan ekonomis dari sebuah bangunan. Warna yang
digunakan bukan sebagai elemen dekoratif, melainkan sebagai media
ekspresi diri.
Van Doesburg sendiri dalam sebuah artikel yang diterbitkan majalah
De Stijl pada tahun 1924 (Van Doesburg Manifesto) mengorientasikan
diri sebagai aliran arsitektur yang plastis yang mencoba menciptakan
keseimbangan harmonis dari bangunan dengan pendekatan empat
dimensi (bukan hanya pendekatan ruang, tapi juga pendekatan
waktu). Semua pertimbangan dalam perancangan perlu dikaji
berdasarkan pertimbangan praktis dan logika dengan mengedepankan
keseimbangan karakteristik fungsional bangunan.
Tampaknya Bioskop Megaria yang dirancang oleh Han Groenewegen
(lahir di Den Haag 1888, meninggal di Jakarta 1980) banyak
berorientasi pada aliran De Stijl seperti tampak pada menara
menjulang yang merupakan salah satu ciri khas De Stijl, dengan
permainan garis horisontal dan vertikal sebagai bagian dari ekspresi
bangunan. Bangunan model ini biasanya dirancang dalam empat
tampak, yaitu tampak depan, samping kiri dan kanan, serta tampak
belakang, dan tidak seperti gaya bangunan frontal yang lebih
mengutamakan tampak depan.

Sejarah Film
Selain dari segi arsitektur, Megaria juga merupakan salah satu bukti
sejarah perfilman di Indonesia. Bioskop itu memang bukan bangunan
bioskop pertama atau tertua di Tanah Air, namun paling tidak bisa
dikatakan Megarian adalah bioskop tua dan bersejarah yang masih
bertahan sampai sekarang. Lainnya, sudah "tertelan zaman",
dirubuhkan, atau hancur sendiri, dan berganti bentuk.
Bioskop itu juga memegang peranan penting saat penyelenggaraan
Festival Film Indonesia (FFI) untuk pertama kalinya pada akhir Maret
sampai pertengahan April 1955. Bioskop yang ketika itu masih
bernama Metropole merupakan salah satu bioskop yang ikut memutar
film-film peserta FFI.
Hebatnya bukan hanya sekadar memutar film peserta FFI. Namun pada
keberanian pemilik bioskop yang berani "memotong" kontrak.
Sebenarnya Metropole telah terikat kontrak untuk (hanya) memutar
film-film dari MGM, Amerika Serikat. Namun, saat berlangsungnya FFI,
Bioskop Metropole ikut memutar film Indonesia berjudul Krisis. Film
itu laris luar biasa. Selama sekitar lima minggu, penonton antre setiap
hari di depan pintu loket Bioskop Metropole untuk menonton Krisis.
Bioskop itu memang menjadi bioskop utama di Jakarta pada 1950-an
sampai awal 1980-an. Tak heran, film apa pun yang diputar di situ,
selalu laku keras. Soal pendiriannya memang belum jelas. Ada yang
mengatakan bioskop itu kabarnya diresmikan oleh Wakil Presiden RI,
Mohammad Hatta, pada 1949. Rumah Hatta di Jalan Diponegoro
memang hanya sekitar 3 menit berjalan kaki ke bioskop itu.
Ada lagi sumber lain yang mengatakan Bioskop Metropole diresmikan
pada tahun 1951. Saat diresmikan, tercatat kapasitas tempat duduk
mencapai 1.700 orang. Lalu di bioskop bertingkat tiga itu, ada pula
bagian untuk ruang dansa. Mungkin ruang dansa itulah yang kini
menjadi tempat bermain biliar.
Di gedung bioskop itu juga pernah diadakan rapat penting yang
akhirnya melahirkan persatuan bioskop secara nasional. Organisasi itu
kemudian dinamakan Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia
(GPBSI). Nama Metropole kemudian berubah menjadi Megaria, saat
Presiden Soekarno muncul dengan "instruksi"nya untuk mengubah
nama-nama asing menjadi nama yang berbau Indonesia. Maka
Metropole pun berubah menjadi Megaria.

Cagar Budaya
Sejarah panjang Bioskop Megaria itu agaknya yang juga menjadi dasar
Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI
Jakarta No. 475/1993 tentang Bangunan Cagar Budaya. Tercatat ada
lebih dari 200 bangunan bersejarah yang dilindungi, termasuk Bioskop
Megaria.
Peraturan itu, menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman
DKI Jakarta, Aurora Tambunan, mengharuskan siapa pun pemilik
Bioskop Megaria, maka bangunan utama bioskop yang kabarnya sedang
ditawarkan untuk dijual itu, tak boleh diubah bentuknya. Bangunan
pelengkap lain boleh saja dihancurkan atau diubah, tetapi bangunan
utamanya harus tetap sama seperti sediakala.
Dalam perkembangannya kemudian, bangunan bioskop itu juga
menjadi "saksi bisu" beberapa peristiwa penting yang terjadi
belakangan. Lokasinya yang sangat strategis di pusat kota, menjadikan
halaman bioskop itu menjadi salah tempat berkumpulnya mahasiswa
dalam gerakan reformasi menumbangkan Orde Baru. Sebelumnya,
ketika terjadinya penyerbuan gedung PDI di Jalan Diponegoro pada
1996, halaman bioskop itu juga menjadi tempat banyak orang
berkumpul.
Itulah sebabnya, dari segi pembangunan kota, yang perlu dijaga bukan
sekedar bangunan fisik Megaria, tetapi juga secara kontekstual dengan
lingkungannya. Megaria saat ini masih bisa menjadi landmark
lingkungannya, tetapi sedikit perubahan kebijaksanaan pemerintah
terhadap fasilitas umum di depannya (misalnya pembangunan jalan
layang) akan menghancurkan keberadaan Megaria sebagai landmark.
Jadi penyelamatan Megaria bukan semata-mata terletak di tangan
investor barunya. Pemerintah dan warga kota Jakarta, juga turut
berperan.
Mari selamatkan Megaria!
http://khazanahpikir.blogspot.com/2007/03/selamatkan-sejarah-
panjang-bioskop.html

Megaria Sebagai Benda Cagar Budaya


Sabtu, 31-03-2007 15:00:03 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Opini

Dalam artikel "Mari Selamatkan Sejarah Panjang Megaria"


sudah diperkenalkan nilai sejarah Megaria dari sudut pandang
arsitektur, sejarah dunia film Indonesia, serta sedikit bahasan
mengenai perannya dalam sejarah pergerakan politik di
Indonesia.
Artikel kali ini ingin mengangkat telaah Megaria dari sudut
pandang Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun
1992 tentang Benda Cagar Budaya, serta PerDa DKI Jakarta
no 9 tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan
Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya. Tujuan utama
artikel ini ingin mengajak pembaca lebih mengenal istilah-
istilah yang dekat dengan benda cagar budaya, membagikan
sudut pandang berbeda dalam melihat bangunan tua. Supaya
bila ada diantara pembaca yang ketiban rezeki nomplok, dan
berminat investasi di Megaria bisa melihatnya dari kacamata
bisnis yang berbeda. Atau bila ada pembaca yang kebagian
merancang bangun kompleks atau lingkungan di sekitar
Megaria, bisa membantu menjaga salah satu asset bangsa ini.
Lebih baik lagi kalau bisa bermanfaat untuk semua bangunan
bersejarah di berbagai kota di Indonesia.
Definisi

Definisi benda cagar budaya menurut Undang-undang tentang


Cagar Budaya ada dua, yaitu:

1. Benda buatan manusia yang bergerak, maupun tidak


bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau
bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau
mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan.
2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
Dari kategori di atas jelas bahwa Megaria termasuk benda
buatan manusia yang sudah berumur lebih dari lima puluh
tahun, serta mewakili gaya khas yang juga sudah lebih dari
lima puluh tahun. Selain itu Megaria memiliki sejarah dalam
perkembangan kebudayaan dalam hal ini film, serta dalam
sejarah pergerakan politik (yang belum terungkap dalam
artikel lalu apakah ada peran Megaria pada saat perubahan
OrLa ke OrBa, mengingat kampus UI yang cukup bersejarah
terletak sangat dekat dengan Megaria).

Kepemilikan

Kepemilikan benda cagar budaya pada dasarnya merupakan


hak pemerintah, tapi dalam UURI no 5 tahun 1992 Bab III
pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa benda cagar budaya tertentu
dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap
memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang. Di
dalam penjelasan ayat ini dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan orang adalah perorangan atau badan
hokum/yayasan/perhimpunan/perkumpulan dan badan yang
sejenis. Sekalipun benda cagar budaya pada dasarnya dikuasai
oleh Negara, tetapi setiap orang juga dapat memiliki dan
menguasai benda cagar budaya tertentu, dalam arti
melaksanakan pengelolaan, pengampuan, atau tindakan
sejenis dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan
pemanfaatannya bagi kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan, serta pelestariannya.

Di dalam ayat 2 dijelaskan lebih rinci mengenai benda cagar


budaya yang boleh dimiliki oleh pribadi, yaitu benda yang
sudah dimiliki dan dikuasai secara turun menurun atau
merupakan warisan, serta jumlah untuk setiap jenisnya cukup
banyak dan sebagian telah dimiliki oleh negara. Tetapi dalam
ayat 3 diperjelas bahwa yang boleh memiliki benda cagar
budaya ini adalah Warga Negara Indonesia, bagi warga negara
asing (ayat 4) hanya diperkenankan memiliki benda cagar
budaya yang jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan
sebagian sudah dimiliki negara.

Dalam pasal 7 disebutkan bahwa pengalihan benda cagar


budaya tertentu yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia
secara turun temurun atau karena warisan hanya dapat
dilakukan kepada Negara, dengan disertai imbalan yang wajar,
sementara tata cara pengalihan dan pemberian imbalan akan
ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. Imbalan ini tidak
berlaku bila pengalihan berlangsung secara hibah.

Dalam pasal 8 disebutkan bahwa setiap pemilikanm


pengambilan hak, dan pemindahan tempat benda cagar
budaya tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7
wajib didaftarkan sesuai dengan ketetapan pendaftaran yang
ditentukan oleh Peraturan Pemerintah.

Dalam pasal 9 disebutkan kewajiban pemilik untuk melaporkan


kerusakan atau kehilangan benda cagar budayanya kepada
pemerintah selambat-lambatnya 14 hari dari kejadian rusak
atau hilangnya benda tersebut.

Kalau merujuk pada Bab III pasal 7, seharusnya Megaria


hanya dapat dijual kepada pemerintah. Pertanyaannya,
siapakah pemilik kompleks Megaria sekarang ini? Yang akan
dijual apakah tanah dan bangunan atau hak pengelolaan? Dari
e-mail yang menjadi panduan kontributor wikimu.com
dikatakan yang dijual adalah tanah dan bangunan. Dalam
harian Warta Kota tanggal 13 Maret 2007 dikatakan bahwa
berdasarkan aturan yang berlaku tidak ada larangan bagi
pemilik gedung untuk menjual bangunan dan lahan tersebut.
Menurut penulis pribadi, kepemilikan swasta yang berorientasi
kepada kelangsungan dan pelestarian bangunan bersejarah
akan jauh lebih berguna daripada pemindah-tanganan ke
tangan pemerintah. Tetapi pada dasarnya sebuah Undang-
undang dibuat oleh orang-orang berkompeten dengan
pemikiran yang jauh lebih mendalam dan dengan pandangan
yang jauh lebih ke depan.

Kriteria, Tolok Ukur, dan Penggolongan benda cagar


budaya

Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999


bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar
budaya adalah:

1. Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-


peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya
yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat
nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2. Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-
kurangnya 50 tahun.
3. Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik
sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur,
material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
4. Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan
keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau
bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu
lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran
lingkungan tersebut.
5. Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan
rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya
tertentu.
Dari kriteria dan tolok ukur di atas lingkungan cagar budaya
diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni:

1. Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria,


termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi
masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
2. Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3
kriteria, telah mengalami perubahan namun masih
memiliki beberapa unsur keaslian.
3. Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3
kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang
mempunyai keaslian.
Bangunan cagar budaya sendiri dibagi dalam 3 golongan,
yaitu:

1. Bangunan cagar budaya Golongan A: bangunan yang


memenuhi kriteria nilai sejarah dan keaslian
2. Bangunan cagar budaya Golongan B: bangunan yang
memenuhi kriteria keaslian, kelangkaan, landmark,
arsitektur, dan umur.
3. Bangunan cagar budaya Golongan C: bangunan yang
memenuhi kriteria umur dan arsitektur
Megaria sebagai bangunan cagar budaya dalam pengamatan
saya telah memenuhi kelima tolok ukur yang ada, sehingga
bisa dimasukkan dalam penggolongan benda cagar budaya
golongan B dan lingkungannya juga bisa digolongkan dalam
lingkungan cagar budaya golongan I. Saya memasukkan
lingkungan Megaria dalam bahasan kali ini, karena melihat
betapa strategisnya posisi Megaria terhadap Tugu Proklamasi,
serta kemungkinan untuk mengangkatnya menjadi segitiga
parawisata bila dikaitkan dengan posisi Jl. Surabaya yang
sudah sangat terkenal di kalangan wisatawan asing sebagai
tempat mencari barang-barang antik. Kalau ditambahkan
dengan beberapa bangunan tua yang cukup menarik dari
daerah di sekitar Bappenas (dan Taman Suropati) menelusuri
sepanjang jalan Imam Bonjol sampai ke kompleks Universitas
Indonesia maka kawasan ini amat menarik untuk dikaji dalam
kaitannya sebagai kawasan bersejarah (historical district).

Dalam bab VI mengenai pelaksanaan pelestarian, dijelaskan


berbagai klasifikasi untuk setiap golongan di atas, tapi dalam
artikel ini saya hanya akan membahas yang bersentuhan
dengan yang perkirakan untuk Megaria yakni bangunan cagar
budaya golongan B, dan lingkungan cagar budaya golongan I.

Pelestarian lingkungan cagar budaya Golongan I harus


berdasarkan panduan bahwa lingkungan dan bangunan tidak
boleh diubah dari aslinya, serta bila kondisi fisik lingkungan
buruk dan rusak dapat dilakukan perbaikan dan pembangunan
kembali seperti semula sesuai dengan aslinya dengan
menggunakan baha/komponen yang sama/sejenis atau
memiliki karakter yang sama. Pada prakteknya yang terjadi di
lingkungan Megaria mungkin bisa dikatakan adalah tindakan
untuk pelestarian lingkungan cagar budaya Golongan II yaitu
penataan lingkungan yang dilakukan dengan tetap
mempertahankan keaslian unsur-unsur lingkungan serta
arsitektur bangunannya yang menjadi ciri khas kawasan, serta
dimungkin adanya adaptasi terhadap fungsi-fungsi baru sesuai
rencana kota tanpa mengurangi keaslian unsur-unsur
lingkungan dan arsitektur bangunan.

Pemugaran bangunan cagar budaya Golongan B merupakan


upaya preservasi bangunan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja, dan


apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar
atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran
untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai
dengan aslinya,
2. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan
tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna,
serta dengan mempertahankan detail dan ornament
bangunan yang penting.
3. Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan
adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak
mengubah struktur utama bangunan.
4. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya
dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi
suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.
Penulis sendiri belum meneliti terdaftar pada posisi apa
Megaria dan lingkungannya di Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman. Hanya menjadi satu catatan untuk bangunan
Megaria adalah kekhasan gaya arsitektural De Stijl yang
memungkinkan bangunan terapresiasi dari empat tampak
yang senantiasa berbeda. Kekhasan bangunan Megaria sendiri
adalah karena sepengetahuan penulis merupakan suatu
bangunan khas De Stijl yang penggunaannya untuk umum
(publicuse) bukan untuk rumah tinggal (seperti rumah sebuah
kedutaan yang ada di dekat Taman Suropati), dan gaya ini
sendiri kemudian kembali lagi sebagai penanda ciri bangunan
sebuah bank swasta sebelum bank-bank swasta berguguran.
Untuk lebih memperkuat posisi Megaria dalam sejarah bangsa,
ada baiknya kalau fungsi Megaria sebagai bioskop tetap
dipertahankan, mungkin dengan memberikan porsi besar
kepada pemutaran film dokumenter dan film indies. Sebagai
arsitek tentunya dalam benak penulis terpikir untuk
memindahkan poster-poster film yang menutupi tampak
depan Megaria agar memberi kesempatan pada ekspose
bentuk asli arsitekturnya.

Artikel ini hanya sebuah pengantar bagi pembaca yang


berminat menggali lebih dalam makna dan posisi sebuah
banguann tua, dan sebagai tambahan di bawah ini ada
beberapa istilah yang akan sering dijumpai dalam pembahasan
bangunan tua dan bersejarah, semoga berguna!

Pemugaran: Kegiatan memperbaiki atau memulihkan


kembali bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya ke
bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan
struktur yang bisa dipertanggungjawabkan sari segi arkeologi,
historis, dan teknis. Kegiatan pemulihan arsitektur bangunan
gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping
perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara
fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.

Restorasi (dalam konteks luas): kegiatan mengembalikan


bentukan fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya
dengan menghilangkan tambahan-tambahan atau merakit
kembali komponen eksisting tanpa menggunakan material
baru

Restorasi (dalam konteks terbatas): kegiatan pemugaran


untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya
semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data
pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada
keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan
terpenuhi.

Preservasi (dalam konteks luas): kegiatan pemeliharaan


bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi eksisting dan
memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan.

Preservasi (dalam konteks terbatas): bagian dari


perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah
mempertahankan keadaaan sekarang dari bangunan dan
lingkungan cagar budaya agar keandalan kelaikan fungsinya
terjaga baik.

Konservasi (dalam konteks luas): semua proses


pengelolaan suatu tempat sehingga terjaga signifikansi
budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin
(karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi,
rekonstruksi, konsolidasi serta revitalisasi.

Konservasi (dalam konteks terbatas): upaya perbaikan


dalam rangka pemugaran yang menitik beratkan pada
pembersihan dan pengawasan bahan yang digunakan sebagai
konstruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan
terpenuhi.

Restorasi: kegiatan pemugaran untuk membangun kembali


dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan
yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak
akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah
satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan
bangunan yang tersisa atau terselamatkan dengan
penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan
dan lingkungan tersebut laik fungsi dan memenuhi
persyaratan teknis bangunan.

Konsolidasi: kegiatan pemugaran yang menitik beratkan


pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang
rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis
bangunan terpenuhi dan bangunan tetap laik fungsi. Bisa juga
disebut stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau
melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur.

Revitalisasi: pemugaran yang bersasaran untuk


mendapatkan nilai tambah yang optimal secara ekonomi,
sosial dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan
lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari
revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya
asset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut
mengalami penurunan produktivitas.

Sumber data:

Artikel-artikel tag Megaria dari wikimu.com

Undang-undang RI no 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar


Budaya

Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999

Pedoman Teknis Pemugaran Bangunan Gedung dan


Lingkungan (kaidah pemugaran), Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman

Gedung Bioskop Megaria Dilego, harian Warta Kota, 13 Maret


2007

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1939&post=14

Punahnya Bioskop Primadona


by on Jul.25, 2009, under Jakarta's/Batavia's Heritage (Clipping)

Warta Kota/Pradaningrum
Gedung bioskop Megaria ketika masih bernama Metropole
Sabtu, 31 Januari 2009 | 08:07 WIB
Bicara soal film, tak bisa lepas dari bicara soal bioskop, tempat orang
berkumpul untuk menikmati produk budaya tersebut. Produk berupa gambar
bergerak (motion picture) itu dimulai sejak abad ke-19 di Eropa. Di
Indonesia, pada masa awal abad ke-20, bangsa ini menyebutnya sebagai
gambar idoep.
Adalah Lumiere bersaudara, Auguste dan Louis, yang pada 28 Desember -113
tahun lalu- dipercaya sebagai peletak batu pertama bagi lahirnya produksi
film dan bioskop. Di Grand Cafe, Boulevard des Capucines, Paris, dua
saudara itu mempertunjukkan beberapa film sangat pendek garapan
mereka, dan penonton diminta membayar. Mereka tak hanya membuat dan
memutar karya tapi juga menyebarkan demam gambar idoep tersebut ke
pelosok Bumi. Bioskop jadi sarana terpenting perkembangan film.
Demam yang dimulai di Eropa tahun 1895 itu pun sampai ke Hindia Belanda.
Surat kabar Bintang Betawi, 4 Desember 1900, menurunkan berita, “Besok
hari Rebo 5 December pertoendjoekan besar jang pertama didalem satoe
roemah di Tanah Abang, Kebondjae (Menage) disabelahnya Fabriek Kereta
dari Maatschappij Fuchs. Moelain poekoel toedjoe malem. Harga tempat
kelas satoe f2 klas doe - wa f1 klas tiga f0,50.” Pertunjukan film bisu yang
digagas De Nederlandsch Bioscope Maatschappij (Perusahaan Gambar Idoep)
ini tercatat sebagai pertunjukan pertama dan bioskop pertama di Batavia.
Dalam lima tahun, bioskop ternyata disambut baik. Jam pertunjukan
ditambah, kelas pun ditambah menjadi empat. Minat penonton untuk
melihat keajaiban gambar jang idoep makin tinggi. Buku Dari Gambar Idoep
ke Sinepleks terbitan GPBSI 1992 menyebutkan, orang Tionghoa pun mulai
terjun ke bisnis ini.
Tio Tek Hong, pedagang di Batavia, mendirikan Bioskop Elite di Jalan Pintu
Air. Bioskop ini menemani Rembrandt Theater yang sudah ada lebih dulu. Di
kemudian hari bioskop tak lagi dipisahkan dengan kelas tapi juga ras, yakni
antara kulit putih (Eropa) dan kulit sawo matang (pribumi).
Deca Park (di lapangan Monas/Gambir kini) dan Capitol (sekarang pertokoan
di Jalan Pintu Air/depan Masjid Istiqlal)) adalah bioskop yang khusus untuk
warga kulit putih. Alwi Shahab, penulis berbagai cerita tentang Jakarta di
masa silam, mengatakan, “Capitol hanya memutar film - film Barat (AS).
Beda dengan Metropole yang masih memutar film Indonesia.” Tak jauh dari
Capitol berdiri pula bioskop Astoria.
Bagi kelas menengah, ada Bioskop Kramat. Pada tahun 1911 warga Tionghoa
lain, Tan Koen Yauw, membangun bioskop di bekas gudang beras di Jalan
Senen Raya, yakni bioskop West Java. Pada 1920, nama bioskop rakyat ini
berubah menjadi Rialto (sekarang Gedung Kesenian Wayang Orang Bharata).
Di Tanahabang, Koen Yauw mendirikan bioskop dengan nama sama, Rialto,
dan kemudian berubah menjadi Surya.
FFI pertamaTeknologi perfilman dunia bergerak maju, film bisu pun
kemudian bersuara. Bisnis ini makin bergairah. Hingga tahun 1970-an,
bioskop yang masuk dalam bioskop mahal hanyalah berupa bangunan dari
batu dengan atap seng. Di kawasan Pancoran Glodok, bioskop adalah
bangunan dari dinding bambu dengan atap rumbia dan tidak menetap, bisa
berpindah-pindah.
Bioskop Orion (kini menjadi Plaza Orion/pertokoan elektronik) di Glodok
adalah kembang kawasan ini. Orion kemudian ditemani Bioskop Thalia,
Queen, Chandra (antara tahun 1950 dan 1970-an), namun kemudian satu per
satu akhirnya rontok.
Meski bangunan bioskop waktu itu belumlah permanen seperti sekarang,
penonton yang datang ke Bioskop Globe (Pasar Baru), Cinema Palace
(Krekot), Deca Park, ataupun Dierentuin Cikini (kini Kompleks Taman Ismail
Marzuki) selalu berpakaian rapi dan tertib. Berbeda dengan pengunjung di
Bioskop Rialto yang merupakan bioskop rakyat.
Jika hingga tahun 1936 tercatat hanya 15 bioskop di Jakarta, maka hingga
tahun 1970 Jakarta sudah dilengkapi 53 bioskop. Majalah Star News edisi 15
Desember 1955 menuliskan tentang bioskop di Ibu Kota yang siap menghibur
warga Jakarta. Disebutkan ada lebih dari 30 gedung bioskop, meski
kemudian tertulis, “Djumlahnja sulit dipastikan.”
Tahun 1950-an tercatat banyak peristiwa penting dalam dunia perbioskopan
Jakarta. Selain karena Bioskop Metropole (kini Megaria) muncul jadi bioskop
kelas satu dan sebagai bioskop kontrak dari Metro - Goldwyn - Mayer (MGM),
juga karena peristiwa terbakarnya bioskop Capitol di usia 45 tahun. Tapi
yang paling menarik adalah untuk pertama kali Festival Film Indonesia (FFI)
digelar di Bioskop Cathay (sekarang pertokoan di Jalan Gunung Sahari) pada
1955.
Star News juga menyebutkan, di tahun itu bioskop seperti Garden Hall,
Podium (terletak di kompleks Kebun Binatang Taman Raden Saleh - kini
kompleks Taman Ismail Marzuki), Majestic (Kebayoran Baru), Roxy, Rivoli,
bersama-sama menghibur warga Jakarta.
Hingga tahun 1980-an bioskop-bioskop tersebut masih jadi bioskop
primadona. Tapi kemudian, puluhan bahkan ratusan bioskop harus mengalah
pada perubahan zaman. Entah diubah agar sesuai, disulap menjadi
pertokoan, mati suri, atau memang mati sungguhan. (Pra/dari berbagai
sumber)

Anda mungkin juga menyukai