http://www.arsitekturindis.com/?p=374
Reinkarnasi Metropole
Legenda Jakarta
Pada awal 2007, tersiar berita bahwa gedung bioskop ini akan dijual.
Lahan dan bangunannya ditawarkan dengan harga Rp 15 juta per m²
atau total sekitar Rp 151,099 miliar.
Namun hal itu tenyata tidak menjadi kenyataan, bioskop Metropole XXI
hingga kini masih berdiri megah meskipun sudah mengalami sejumlah
pembaharuan.
"Saat ini pengunjung memang tidak tahu nama Metropole, mereka pasti
bilangnya Megaria, karena itu lebih populer," katanya.
http://jakartanow.blogspot.com/2009/05/reinkarnasi-metropole.html
Sejarah Film
Selain dari segi arsitektur, Megaria juga merupakan salah satu bukti
sejarah perfilman di Indonesia. Bioskop itu memang bukan bangunan
bioskop pertama atau tertua di Tanah Air, namun paling tidak bisa
dikatakan Megarian adalah bioskop tua dan bersejarah yang masih
bertahan sampai sekarang. Lainnya, sudah "tertelan zaman",
dirubuhkan, atau hancur sendiri, dan berganti bentuk.
Bioskop itu juga memegang peranan penting saat penyelenggaraan
Festival Film Indonesia (FFI) untuk pertama kalinya pada akhir Maret
sampai pertengahan April 1955. Bioskop yang ketika itu masih
bernama Metropole merupakan salah satu bioskop yang ikut memutar
film-film peserta FFI.
Hebatnya bukan hanya sekadar memutar film peserta FFI. Namun pada
keberanian pemilik bioskop yang berani "memotong" kontrak.
Sebenarnya Metropole telah terikat kontrak untuk (hanya) memutar
film-film dari MGM, Amerika Serikat. Namun, saat berlangsungnya FFI,
Bioskop Metropole ikut memutar film Indonesia berjudul Krisis. Film
itu laris luar biasa. Selama sekitar lima minggu, penonton antre setiap
hari di depan pintu loket Bioskop Metropole untuk menonton Krisis.
Bioskop itu memang menjadi bioskop utama di Jakarta pada 1950-an
sampai awal 1980-an. Tak heran, film apa pun yang diputar di situ,
selalu laku keras. Soal pendiriannya memang belum jelas. Ada yang
mengatakan bioskop itu kabarnya diresmikan oleh Wakil Presiden RI,
Mohammad Hatta, pada 1949. Rumah Hatta di Jalan Diponegoro
memang hanya sekitar 3 menit berjalan kaki ke bioskop itu.
Ada lagi sumber lain yang mengatakan Bioskop Metropole diresmikan
pada tahun 1951. Saat diresmikan, tercatat kapasitas tempat duduk
mencapai 1.700 orang. Lalu di bioskop bertingkat tiga itu, ada pula
bagian untuk ruang dansa. Mungkin ruang dansa itulah yang kini
menjadi tempat bermain biliar.
Di gedung bioskop itu juga pernah diadakan rapat penting yang
akhirnya melahirkan persatuan bioskop secara nasional. Organisasi itu
kemudian dinamakan Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia
(GPBSI). Nama Metropole kemudian berubah menjadi Megaria, saat
Presiden Soekarno muncul dengan "instruksi"nya untuk mengubah
nama-nama asing menjadi nama yang berbau Indonesia. Maka
Metropole pun berubah menjadi Megaria.
Cagar Budaya
Sejarah panjang Bioskop Megaria itu agaknya yang juga menjadi dasar
Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI
Jakarta No. 475/1993 tentang Bangunan Cagar Budaya. Tercatat ada
lebih dari 200 bangunan bersejarah yang dilindungi, termasuk Bioskop
Megaria.
Peraturan itu, menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman
DKI Jakarta, Aurora Tambunan, mengharuskan siapa pun pemilik
Bioskop Megaria, maka bangunan utama bioskop yang kabarnya sedang
ditawarkan untuk dijual itu, tak boleh diubah bentuknya. Bangunan
pelengkap lain boleh saja dihancurkan atau diubah, tetapi bangunan
utamanya harus tetap sama seperti sediakala.
Dalam perkembangannya kemudian, bangunan bioskop itu juga
menjadi "saksi bisu" beberapa peristiwa penting yang terjadi
belakangan. Lokasinya yang sangat strategis di pusat kota, menjadikan
halaman bioskop itu menjadi salah tempat berkumpulnya mahasiswa
dalam gerakan reformasi menumbangkan Orde Baru. Sebelumnya,
ketika terjadinya penyerbuan gedung PDI di Jalan Diponegoro pada
1996, halaman bioskop itu juga menjadi tempat banyak orang
berkumpul.
Itulah sebabnya, dari segi pembangunan kota, yang perlu dijaga bukan
sekedar bangunan fisik Megaria, tetapi juga secara kontekstual dengan
lingkungannya. Megaria saat ini masih bisa menjadi landmark
lingkungannya, tetapi sedikit perubahan kebijaksanaan pemerintah
terhadap fasilitas umum di depannya (misalnya pembangunan jalan
layang) akan menghancurkan keberadaan Megaria sebagai landmark.
Jadi penyelamatan Megaria bukan semata-mata terletak di tangan
investor barunya. Pemerintah dan warga kota Jakarta, juga turut
berperan.
Mari selamatkan Megaria!
http://khazanahpikir.blogspot.com/2007/03/selamatkan-sejarah-
panjang-bioskop.html
Kepemilikan
Sumber data:
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1939&post=14
Warta Kota/Pradaningrum
Gedung bioskop Megaria ketika masih bernama Metropole
Sabtu, 31 Januari 2009 | 08:07 WIB
Bicara soal film, tak bisa lepas dari bicara soal bioskop, tempat orang
berkumpul untuk menikmati produk budaya tersebut. Produk berupa gambar
bergerak (motion picture) itu dimulai sejak abad ke-19 di Eropa. Di
Indonesia, pada masa awal abad ke-20, bangsa ini menyebutnya sebagai
gambar idoep.
Adalah Lumiere bersaudara, Auguste dan Louis, yang pada 28 Desember -113
tahun lalu- dipercaya sebagai peletak batu pertama bagi lahirnya produksi
film dan bioskop. Di Grand Cafe, Boulevard des Capucines, Paris, dua
saudara itu mempertunjukkan beberapa film sangat pendek garapan
mereka, dan penonton diminta membayar. Mereka tak hanya membuat dan
memutar karya tapi juga menyebarkan demam gambar idoep tersebut ke
pelosok Bumi. Bioskop jadi sarana terpenting perkembangan film.
Demam yang dimulai di Eropa tahun 1895 itu pun sampai ke Hindia Belanda.
Surat kabar Bintang Betawi, 4 Desember 1900, menurunkan berita, “Besok
hari Rebo 5 December pertoendjoekan besar jang pertama didalem satoe
roemah di Tanah Abang, Kebondjae (Menage) disabelahnya Fabriek Kereta
dari Maatschappij Fuchs. Moelain poekoel toedjoe malem. Harga tempat
kelas satoe f2 klas doe - wa f1 klas tiga f0,50.” Pertunjukan film bisu yang
digagas De Nederlandsch Bioscope Maatschappij (Perusahaan Gambar Idoep)
ini tercatat sebagai pertunjukan pertama dan bioskop pertama di Batavia.
Dalam lima tahun, bioskop ternyata disambut baik. Jam pertunjukan
ditambah, kelas pun ditambah menjadi empat. Minat penonton untuk
melihat keajaiban gambar jang idoep makin tinggi. Buku Dari Gambar Idoep
ke Sinepleks terbitan GPBSI 1992 menyebutkan, orang Tionghoa pun mulai
terjun ke bisnis ini.
Tio Tek Hong, pedagang di Batavia, mendirikan Bioskop Elite di Jalan Pintu
Air. Bioskop ini menemani Rembrandt Theater yang sudah ada lebih dulu. Di
kemudian hari bioskop tak lagi dipisahkan dengan kelas tapi juga ras, yakni
antara kulit putih (Eropa) dan kulit sawo matang (pribumi).
Deca Park (di lapangan Monas/Gambir kini) dan Capitol (sekarang pertokoan
di Jalan Pintu Air/depan Masjid Istiqlal)) adalah bioskop yang khusus untuk
warga kulit putih. Alwi Shahab, penulis berbagai cerita tentang Jakarta di
masa silam, mengatakan, “Capitol hanya memutar film - film Barat (AS).
Beda dengan Metropole yang masih memutar film Indonesia.” Tak jauh dari
Capitol berdiri pula bioskop Astoria.
Bagi kelas menengah, ada Bioskop Kramat. Pada tahun 1911 warga Tionghoa
lain, Tan Koen Yauw, membangun bioskop di bekas gudang beras di Jalan
Senen Raya, yakni bioskop West Java. Pada 1920, nama bioskop rakyat ini
berubah menjadi Rialto (sekarang Gedung Kesenian Wayang Orang Bharata).
Di Tanahabang, Koen Yauw mendirikan bioskop dengan nama sama, Rialto,
dan kemudian berubah menjadi Surya.
FFI pertamaTeknologi perfilman dunia bergerak maju, film bisu pun
kemudian bersuara. Bisnis ini makin bergairah. Hingga tahun 1970-an,
bioskop yang masuk dalam bioskop mahal hanyalah berupa bangunan dari
batu dengan atap seng. Di kawasan Pancoran Glodok, bioskop adalah
bangunan dari dinding bambu dengan atap rumbia dan tidak menetap, bisa
berpindah-pindah.
Bioskop Orion (kini menjadi Plaza Orion/pertokoan elektronik) di Glodok
adalah kembang kawasan ini. Orion kemudian ditemani Bioskop Thalia,
Queen, Chandra (antara tahun 1950 dan 1970-an), namun kemudian satu per
satu akhirnya rontok.
Meski bangunan bioskop waktu itu belumlah permanen seperti sekarang,
penonton yang datang ke Bioskop Globe (Pasar Baru), Cinema Palace
(Krekot), Deca Park, ataupun Dierentuin Cikini (kini Kompleks Taman Ismail
Marzuki) selalu berpakaian rapi dan tertib. Berbeda dengan pengunjung di
Bioskop Rialto yang merupakan bioskop rakyat.
Jika hingga tahun 1936 tercatat hanya 15 bioskop di Jakarta, maka hingga
tahun 1970 Jakarta sudah dilengkapi 53 bioskop. Majalah Star News edisi 15
Desember 1955 menuliskan tentang bioskop di Ibu Kota yang siap menghibur
warga Jakarta. Disebutkan ada lebih dari 30 gedung bioskop, meski
kemudian tertulis, “Djumlahnja sulit dipastikan.”
Tahun 1950-an tercatat banyak peristiwa penting dalam dunia perbioskopan
Jakarta. Selain karena Bioskop Metropole (kini Megaria) muncul jadi bioskop
kelas satu dan sebagai bioskop kontrak dari Metro - Goldwyn - Mayer (MGM),
juga karena peristiwa terbakarnya bioskop Capitol di usia 45 tahun. Tapi
yang paling menarik adalah untuk pertama kali Festival Film Indonesia (FFI)
digelar di Bioskop Cathay (sekarang pertokoan di Jalan Gunung Sahari) pada
1955.
Star News juga menyebutkan, di tahun itu bioskop seperti Garden Hall,
Podium (terletak di kompleks Kebun Binatang Taman Raden Saleh - kini
kompleks Taman Ismail Marzuki), Majestic (Kebayoran Baru), Roxy, Rivoli,
bersama-sama menghibur warga Jakarta.
Hingga tahun 1980-an bioskop-bioskop tersebut masih jadi bioskop
primadona. Tapi kemudian, puluhan bahkan ratusan bioskop harus mengalah
pada perubahan zaman. Entah diubah agar sesuai, disulap menjadi
pertokoan, mati suri, atau memang mati sungguhan. (Pra/dari berbagai
sumber)