Anda di halaman 1dari 11

bioskot Metropole 11 Agustus 1949 dan selesai pada 1951.

SEJARAH BIOSKOP MEGARIA ( dahulu METROPOLE).....Jakarta..

Bioskop yang awalnya bernama Metropole ini dibangun pada 11 Agustus 1949 dan selesai pada 1951.[2]
Peresmian bioskop dihadiri oleh Rahmi Rachim, istri Wakil Presiden Mohammad Hatta; Sultan
Hamengkubuwono IX (1912 – 1988), dan Haji Agus Salim (1884 – 1954),[3] dengan menampilkan film Annie
Get Your Gun (George Sidney, 1950) sebagai pemutaran perdana.[4]

Banyak orang mengira bahwa bioskop ini dirancang oleh arsitek Belanda, Johannes Martinus (Han)
Groenewegen. Namun sebenarnya, bioskop Metropole dirancang oleh Liauw Goan Seng (sebelum dikoreksi
cucunya, Ifke M. Laquais pada 2007, Liauw Goan Seng disebut Lauw Goan Sing)[5] yang meninggalkan
Indonesia pada 1958 untuk pindah ke Belanda ketika terjadi naturalisasi.[6] Oleh Liauw Goan Seng, bioskop
Metropole dirancang dengan gaya arsitektur Art Deco—dari kata Art Decorative—sebagai bagian
perkembangan arsitektur dunia Art Nouveau. Tidak seperti Art Nouveau yang ditandai dengan banyaknya
ornamen dekoratif, seperti kaca mozaik, gambar, serta ukiran, unsur kerumitan pada Art Deco jauh berkurang
dan menjadi lebih sederhana.[7]

Dengan menggunakan blower dan exhaust, bioskop berkapasitas 1446 penonton ini cukup nyaman pada
masanya.[8] Ia pun tak sendirian di atas lahan seluas 11.623m² itu.[9] Seperti bioskop Capitol dan Menteng,
[10] area bioskop Metropole dikelilingi oleh toko-toko dan tempat hiburan. Di lantai atas bioskop terdapat
ruang dansa. Di samping kanan bioskop ada toko-toko tekstil.[11]

Selain kemegahan arsitektur, kesejukan ruangan, dan fasilitas lain dalam kompleksnya, faktor penting yang
membuat bioskop Metropole menjadi salah satu bioskop kelas satu saat itu adalah karena bioskop ini memutar
film-film populer Amerika. Dari War and Peace (King Vidor, 1956) sampai Gone with The Wind (Victor
Fleming, 1939), maupun aksi si pirang Marilyn Monroe atau Robert Mitchum pernah dinikmati di gedung
bioskop ini.[12]

Pada awal 1950-an itu, sebagai salah satu bioskop berkelas, bioskop Metropole juga tergabung dalam
organisasi antarbioskop kelas satu. Salah satu organisasi yang paling terkenal adalah United Cinemas
Combination, yang terdiri dari bioskop Menteng, Astoria, Capitol, Cinema Grand, Happy, Sin Thu, dan Globe.
Bioskop Metropole sendiri, bersama Bioskop Cathay, Garden Hall, Mayestic, Orion, Roxy, dan Podium
tergabung dalam Independent Cinemas.[13] Bioskop-bioskop kelas satu itu memutar film-film produksi
Paramount, United Artists, J. Arthur Rank, maupun MGM (Metro Goldwyn Mayer).[14] Bioskop Metropole
sendiri banyak memutar film-film produksi MGM.
===
Ad 3

Top of Form
22044 AQHQfd q 9J mUO 101539403871822 1

3737
8 Komentar13 Kali dibagikan
SukaTampilkan tanggapan lainnya
Komentari
Bagikan
Komentar
Paling Relevan

Bottom of Form

Megaria alias Metropole: Sejarah


Sebuah Bioskop
ARDI YUNANTO6 JANUARI 2018

LOKATINJAUAN0 COMMENTS 316 MIN READ

 Facebook
 Twitter
 Email
 Print
 149shares

Bioskop Metropole—yang kini bernama Metropole XXI—adalah bioskop tertua di Jakarta.


Berusia lebih dari lima puluh tahun, peninggalan arsitektur ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya
Kelas A berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta no. 475 Tahun 1993. Lokasinya strategis, tepat di
sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pertemuan dari arah Bundaran
Hotel Indonesia, Cikini, Matraman, dan Manggarai.

Bioskop Metropole dibangun pada 11 Agustus 1949 dan selesai pada 1951.[i] Peresmian
bioskop ditandai dengan pemutaran film Annie Get Your Gun (1950) karya George Sidney.[ii]
Sejumlah tamu ternama yang hadir antara lain Rahmi Rachim, istri Wakil Presiden Mohammad
Hatta; Sultan Hamengkubuwono IX; dan Haji Agus Salim.[iii]

Banyak orang mengira gedung Bioskop Metropole dirancang oleh Johannes Martinus (Han)
Groenewegen, seorang arsitek Belanda. Nyatanya, menurut sejumlah catatan sejarah,
perancang gedung Metropole adalah Liauw Goan Seng[iv] yang meninggalkan Indonesia pada
1958 untuk pindah ke Belanda ketika terjadi naturalisasi.[v] Beliau mendesain Metropole
dengan gaya arsitektur Art Deco, yang berasal dari kata Art Decorative, sebagai bagian
perkembangan arsitektur Art Nouveau. Tidak seperti Art Nouveau yang ditandai dengan
banyaknya ornamen dekoratif seperti kaca mozaik, gambar, serta ukiran, unsur kerumitan
pada Art Deco jauh berkurang dan menjadi lebih sederhana.[vi] Sampai saat ini Metropole
merupakan satu-satunya bangunan besar bergaya arsitektur Art Deco yang masih bertahan di
ibukota.[vii]

Dengan menggunakan blower dan exhaust, bioskop berkapasitas 1.446 penonton ini cukup
nyaman pada masanya.[viii] Ia pun tak sendirian di atas lahan seluas 11.623m² itu.[ix] Seperti
bioskop Capitol dan Menteng, area Metropole dikelilingi oleh toko-toko dan tempat hiburan.[x]
Di lantai atas bioskop terdapat ruang dansa. Di samping kanan bioskop ada toko-toko tekstil.
[xi]

Melengkapi kemegahan arsitektur, kesejukan ruangan, dan fasilitas lain dalam kompleks
Bioskop Metropole adalah sajian filmnya. Bioskop tersebut identik dengan film-film populer
Amerika, yang menaikkan gengsi Metropole sebagai bioskop kelas satu. Dari War and Peace
(King Vidor, 1956) sampai Gone with The Wind (Victor Fleming, 1939), dari aksi Marilyn Monroe
sampai Robert Mitchum, pernah singgah di layar perak bioskop ini.[xii]

Pada awal 1950-an, sebagai salah satu bioskop kelas satu, Bioskop Metropole juga tergabung
dalam organisasi antarbioskop kelas satu. Salah satu yang paling terkenal adalah United
Cinemas Combination, yang terdiri dari Bioskop Menteng, Astoria, Capitol, Cinema Grand,
Happy, Sin Thu, dan Globe. Metropole sendiri bersama Bioskop Cathay, Garden Hall, Mayestic,
Orion, Roxy, dan Podium tergabung dalam Independent Cinemas.[xiii] Bioskop-bioskop kelas
satu itu memutar film-film produksi Paramount, United Artists, J Arthur Rank, maupun Metro
Goldwyn Mayer (MGM).[xiv] Bioskop Metropole sendiri banyak memutar film-film produksi
MGM.

Dominasi film Amerika tak menutup keterlibatan Bioskop Metropole dalam perkembangan film
Indonesia. Pada 1955, film Krisis tayang di Metropole—sebuah terobosan dalam sejarah film
Indonesia. Awalnya, film karya Usmar Ismail itu hendak diputar di Capitol Theater.[xv] Pada
masa-masa itu, setidaknya dari 1950-an sampai 1970-an, memutar film Indonesia di bioskop
kelas satu sangatlah sulit karena film Indonesia hanya diputar di bioskop-bioskop kelas C.[xvi]
Keyakinan Usmar Ismail atas Krisis sayangnya ditampik dengan hinaan oleh Weskin, manajer
Capitol Theater, hingga kabarnya Usmar Ismail tak bisa menahan diri lalu memukulnya.[xvii]

Untungnya ada Lie Khik Hwie, manajer utama Bioskop Metropole, yang menyambut baik film
Krisis. Sekalipun perwakilan MGM di Indonesia keberatan, Lie Khik Hwie tak gentar. Ia
mengatakan bahwa MGM yang tak memiliki saham sesenpun tak berhak mengaturnya. Ia
bahkan mengancam akan merobek kontrak dengan MGM.[xviii] Pihak MGM lalu membiarkan
film Krisis menggeser jadwal film-film distribusinya, dan ternyata film itu sukses besar.
Memecahkan rekor penonton film Terang Boelan (1937) karya Albert Balink,[xix] Krisis menjadi
film Indonesia pertama yang bisa sukses di bioskop kelas satu. Krisis tayang di Metropole
selama lima minggu, melebihi periode edar film-film Barat saat itu.[xx]
Terbukanya kesempatan bagi film Indonesia bisa diputar di Bioskop Metropole pada akhirnya
memang tak berimbas ke semua film Indonesia. Manajemen bioskop tetap memperhitungkan
larisnya penjualan tiket dalam menentukan film-film yang ditayangkan. Meski begitu, pada
1955, Metropole bersama sejumlah bioskop lain turut menayangkan film-film peserta Festival
Film Indonesia I yang berlangsung pada 30 Maret hingga 5 April, beberapa bulan sebelum
Pemilu pertama di Indonesia.[xxi] Sementara pada 1970, Metropole, yang kala itu sudah
berganti nama menjadi Megaria, juga menjadi salah satu bioskop penunjang pelaksanaan
Festival Film Asia ke-16 pada April sampai Mei 1970. Selain Metropole, bioskop lain yang ikut
serta adalah Apollo, Star, City, Gelora, Menteng, Royal, Krekot, Satria, dan Orient.[xxii]

Pasang Surut

Sepanjang sejarahnya, Bioskop Metropole hadir dengan sejumlah nama. Pada 1960, mengikuti
perintah Presiden Sukarno, Metropole mengganti namanya yang berbau asing menjadi
Megaria. Kemudian sepanjang Orde Baru sempat berganti nama menjadi Megaria Theatre.
Pada 1989, ketika gedung bioskop ini disewakan pada jaringan 21 Cineplex, namanya berubah
menjadi Metropole 21, dan sempat berganti kembali menjadi Megaria 21,[xxiii] sebelum
kemudian pada 2008—usai berita penjualan bioskop yang menggemparkan—kembali dipugar
oleh 21 Cineplex dan berganti nama menjadi Metropole XXI hingga kini. Namun, sampai
sekarang, orang-orang tetap akrab memanggilnya sebagai Bioskop Megaria.

Pada awal masa kejayaannya, Bioskop Megaria menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat
Jakarta. Warga ibukota dapat menonton film-film Amerika terbaru di sana. Dari artis seperti
Citra Dewi dan Rima Melati, para menteri, politisi, mahasiswa, pekerja kantoran, semua pernah
menonton di Metropole. “Dan yang paling membanggakan adalah membawa pasangan nonton
film di kelas loge,” kata Suditomo, mantan pegawai Sekretariat Negara yang pada pertengahan
1950-an masih berstatus mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Loge adalah
kelas satu, dengan harga karcis saat matinee show—pertunjukan murah Sabtu siang—Rp 4 per
orang atau setara dengan Rp 26 ribuan pada 2018.[xxiv] Masa kejayaan ini terus berlanjut
sampai 1970-an.

Pada awal 1980-an, suasana perbioskopan berubah. Tibalah masa bagi bioskop-bioskop yang
dulunya kelas satu itu untuk menggulung layar. Berbagai hal dituding sebagai penyebab, dari
maraknya acara televisi, penyewaan video—baik asli maupun bajakan—semakin macetnya
jalanan, jumlah bioskop yang mencapai 162 dan sudah dianggap berlebihan, hingga terlalu
banyaknya pembagian kelas dan terlalu lebarnya selisih harga tiket. Film-film yang beredar
pada masa itu, khususnya film nasional yang hanya berkisar pada “paha” dan “parang”, kurang
menerbitkan selera, sementara film-film impor semakin terbatas. Pada 1984 cuma ada 180
judul film impor, dibandingkan 600 judul film setahun pada dekade sebelumnya. Sebagian film
itu pun bisa dinikmati melalui kaset video bajakan.

Saat itu, Megaria termasuk bioskop yang masih bisa menahan penggulungan layar. Nasibnya
masih lebih baik daripada bioskop-bioskop lain, walau jumlah penonton masih 30 persen dari
kapasitas kursi. Sekalipun kabarnya, lokasi strategis dan lahannya yang luas sudah diincar
banyak pengusaha untuk pertokoan dan perkantoran.[xxv]

Masa menurunnya penonton dan ambruknya bisnis bioskop di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya, bertepatan dengan ditemukannya konsep sinepleks yang berasal dari Amerika.
Bioskop yang semula berkapasitas besar, seperti gedung teater dengan ribuan kursi, dipecah-
pecah menjadi beberapa ruang, sehingga bisa menayangkan lebih banyak film. Bioskop tak lagi
memerlukan penonton melimpah-ruah pada setiap pemutaran untuk bisa meraup untung.

Bioskop pertama yang menerapkan konsep sinepleks, yang diistilahkan saat itu sebagai
“bioskop kembar-dempet”,[xxvi] adalah bioskop Kartika Chandra di Jakarta Pusat. Pada 1984,
bioskop itu membelah dirinya menjadi tiga layar dalam tiga ruangan.[xxvii] Bioskop Megaria
mengikuti jejaknya pada akhir 1986. Tetapi hanya dalam memperbanyak layar, tidak
memenggal ruangan, karena yang digunakan adalah gedung lain yang ada di belakang bioskop,
sehingga bioskop Megaria memiliki dua studio: Megaria I dan II.

Nasib Bioskop Megaria sayangnya tak sebaik Kartika Chandra. Kapasitas Megaria I tetap saja
terhitung besar, sehingga menuntut jumlah minimum penonton yang besar pula. Hanya 300–
400 penonton yang berkunjung dari 1000-an lebih kursi yang tersedia. Penonton di Megaria II
pun tak melebihi 150 orang untuk empat kali pertunjukan. Supaya balik modal, Megaria I harus
bisa mendatangkan 500 penonton, sementara Megaria II memerlukan 200 penonton.[xxviii]

Ramainya bioskop bangkrut tak lantas membuat pebisnis bioskop ciut. Apalagi bagi
perusahaan yang bermodal besar dan memiliki akses birokrasi ampuh. Pada 1987, Subentra,
sebagai perusahaan patungan Sudwikatmono dan Benny Suherman, membuka bioskop baru
bernama Studio 21 di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Sejak dibukanya Studio 21 yang turut
menerapkan konsep sinepleks itu, Subentra dengan jaringan 21 Sinepleksnya, makin gesit
menggaet bioskop-bioskop “usang” ke dalam grupnya. Dalam waktu singkat, sejumlah bioskop
berubah paras dan sapaan, terutama angka di belakangnya. Tamara Theatre menjadi Amigo
21. Rawamangun Theatre jadi Astor 21. Tak terkecuali, Megaria Theatre berubah menjadi
Metropole 21.

Gaya rangkulan 21 Sinepleks adalah dengan menyewa bioskop sehingga pemilik lama tak
punya hak mengelola lagi. Sejak April 1989, pemilik Metropole 21 tinggal menikmati uang sewa
Rp 7,5 juta per bulan selama lima tahun (uang sewa itu naik 5% setiap tahun).[xxix] Oleh 21
Sinepleks, Bioskop Metropole 21 dipecah menjadi enam studio. Empat studio menempati
gedung depan dan dua studio di gedung belakang yang masih satu gedung dengan Hero
Supermarket saat itu. Bioskop Metropole 21 kemudian sempat berubah nama menjadi Megaria
21.
Ganti Wajah

Perubahan pada tampak depan Bioskop Megaria 21, setidaknya pada 2000-an, hanya pada
keberadaan enam papan reklame film. Selain itu, tak ada perubahan berarti selain beralihnya
fungsi ruang kecil di depan pintu utama: yang semula loket tiket menjadi tempat pijat refleksi
karena penjualan tiket kemudian dilakukan di dalam gedung. Ruang dansa di lantai atas
gedung menjadi tempat bola sodok alias biliar. Selain itu, tempat toko-toko tekstil menjadi
Barber Shop Megaria, Pempek Megaria, wartel, serta rumah makan Sop Buntut dan Ayam
Kambalijo. Di gedung belakang adalah Studio 5 dan 6—gedung ini semula adalah perumahan
militer. Bagian sampingnya, yang menghadap Jalan Diponegoro, sebelum disewa Giant
Supermarket sempat disewa oleh Hero Supermarket. Sementara itu, restoran ayam bakar yang
ada di belakang gedung utama kabarnya sudah beroperasi sejak 1970-an.

Segala fasilitas di dalam kompleks itu semakin menghidupkan aktivitas menonton film di
Bioskop Megaria. Lokasinya yang strategis, membuatnya tak hanya dikenang oleh orang
banyak dengan segala nostalgianya, tapi juga menjadikan bioskop ini saksi bisu atas banyak
kejadian bersejarah. Dekat dengan kantor PDI, PPP, Golkar, dan berada di pusat kota, halaman
Megaria sempat menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa dalam gerakan reformasi
menumbangkan Orde Baru. Sebelumnya, selain menjadi tempat berkumpul, halaman bioskop
itu juga menjadi tempat berlindung masyarakat sewaktu terjadi penyerbuan kantor PDI pada
peristiwa 27 Juli 1996.

Sejumlah kenangan itulah yang kemudian merebak kembali di banyak forum internet dan
media massa ketika tersiar kabar Bioskop Megaria akan dijual pemiliknya.[xxx] Pada 8 Maret
2007, pemilik Megaria menawarkan lahan dan bangunan bioskop dengan harga jual Rp 15 juta
per m2 atau total sekitar Rp 151 miliar pada situs indorealestates.com.[xxxi]

Iklan itu membuat banyak kalangan khawatir. Pasalnya, Megaria adalah satu-satunya bioskop
tua bersejarah yang tersisa di Jakarta. Statusnya sebagai Cagar Budaya Kelas A memang
melindunginya dari pembongkaran bangunan, tapi tak mencegah perubahan fungsi bangunan
dan tak pula melarang pemilik gedung menjual bangunan dan lahan tersebut.
Berbagai penawaran, kabarnya, sempat berdatangan. Ada yang ingin membangun jalan, ada
yang ingin membuat mal sambil mengaku sudah mengantongi izin dari Pemprov.[xxxii] Namun,
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta menegaskan kalau mereka tidak akan
membiarkan pembongkaran gedung terjadi. Kalaupun pemilik baru akan mengubah
penggunaan bangunan itu atau membangun kawasan sekitarnya, ia harus mendapat izin dari
Tim Sidang Pemugaran Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI. Perubahan fungsi bisa
terjadi, tapi tetap disesuaikan dengan kebutuhan sepanjang tidak mengganggu struktur dan
arsitektur bangunan. Bagian lain dari gedung Bioskop Megaria seperti pusat belanja dan
restoran boleh saja dihancurkan, karena tidak termasuk cagar budaya. Namun, jika calon
pemilik baru nanti akan membongkar gedung bioskop tersebut, Pemda DKI akan melawan dan
mengenakan sanksi.

Pada 2008, semua kecemasan itu sirna. Bioskop Megaria batal dijual pemiliknya, lalu 21
Cineplex memperpanjang sewanya, gedung direstorasi, dan interiornya diubah sekelas Cinema
XXI—kategori bioskop kelas atas dari jaringan 21 Cineplex. Sampai dengan 2013, terjadi
sejumlah renovasi di kompleks Metropole untuk menyesuaikan peruntukan bioskop tersebut
sebagai bioskop kelas atas. Di lantai dasar, dekat pintu masuk gedung, sempat ada XXI Garden
Cafe, kedai milik 21 Cineplex, yang kemudian digantikan Starbucks pada 2014. Sekarang, kedai
pempek dan sejumlah restoran lainnya disatukan dalam sebuah food court di samping gedung
utama bioskop. Tempat biliar di lantai dua berganti menjadi Roemah Kuliner, restoran elit yang
menyajikan masakan nusantara. Gedung kedua di sebelah timur bekas pasar swalayan kini
menjadi ruang etalase Grohe, produk sanitasi mewah asal Jerman.

Meski sudah mengalami sejumlah perubahan, Bioskop Megaria tetap memberi ruang bagi
kebiasaan dari publik yang mengakrabinya. Sampai sekarang, penonton di bioskop ini masih
suka menunggu pintu studio dibuka dengan duduk lesehan di lantai berkarpet. Setidaknya
kebiasaan itu masih dilakukan di koridor Studio 5 dan 6, yang terdapat di sisi selatan gedung
utama, dan terkadang di tangga pintu masuk gedung. Penyebabnya, sepertinya karena jumlah
bangku yang disediakan tak sebanding dengan jumlah penonton yang menunggu, dan
karpetnya terbilang tebal, terlebih sekarang, sehingga nyaman untuk diduduki. Kebiasaan
duduk-duduk di lantai memang jamak dilakukan kebanyakan orang Indonesia di tempat-
tempat umum seperti rumah sakit, stasiun, maupun terminal bus. Namun, menariknya,
kebiasaan ini nyaris tak mungkin dilakukan di mal atau gedung perkantoran, apalagi yang
terbilang mewah. Selain karena mengganggu sirkulasi lalu lalang orang, perilaku ini juga
dianggap “kampungan”. Siapapun yang melakukannya akan ditegur pihak keamanan, kecuali di
Bioskop Megaria. Barangkali, kebiasaan yang sudah dilakukan penonton selama sekian
generasi itu sudah dianggap sebagai bagian dari sejarah panjang gedung ini.

Bioskop Megaria sendiri kembali ke nama asalnya, dengan tambahan angka 21 romawi,
menjadi Metropole XXI. Perubahan pun dilakukan pada tampak luarnya. Papan reklame yang
semula menutup sebagian sisi muka gedung, kini dicopot. Sementara tulisan Metropole dengan
huruf berjajar ke bawah yang dulu ditanggalkan, kini digunakan kembali. Metropole kini tampil
segar dengan wajah lama, setia menemani warga ibukota menjalani sejarahnya.
Naskah asli artikel ini terbit di jurnal Karbon pada 9 Februari 2010 dengan judul “Bioskop
Megaria di Jakarta”. Diterbitkan ulang di Cinema Poetica dengan sejumlah penyuntingan
dan pengembangan.

REFERENSI

Bioskop Metropole, Jakarta


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Metropole

Metropole XXI Cineplex in 2010

Nama lain Megaria

Informasi umum

Gaya arsitektur Art Deco

Lokasi Jakarta, Indonesia


Alamat Jalan Pegangsaan 21

Negara Indonesia

Penyewa saat ini Metropole XXI

Mulai dibangun 1932

Diresmikan 11 Agustus 1949

Pemilik Handoyo

Desain dan konstruksi

Arsitek Liauw Goan Sing

Bioskop Megaria (1960-80)

Bioskop Metropole di Kota Jakarta adalah sebuah gedung bioskop bersejarah yang dibangun
pada tahun 1932 dengan nama Bioscoop Metropool, sesuai dengan ejaan bahasa Belanda pada
waktu itu. Sejak tahun 1993, Metropole dimasukkan sebagai cagar budaya oleh gubernur Jakarta.
Selain bioskop yang kini dikelola oleh 21 Cineplex group, terdapat pula gerai kopi Starbucks,[1]
toko roti, dan restoran di lantai dua.[2] Sementara gedung kedua kini ditempati ruang pamer
Grohe, produk sanitasi air asal Jerman.[3]

Lokasi[sunting | sunting sumber]


Bioskop Metropole terletak di dekat persimpangan antara Jalan Pangeran Diponegoro, Jalan
Pegangsaan Timur, dan Jalan Proklamasi, di kawasan perumahan mewah Menteng, di Jakarta
Pusat. Gedung ini dekat dengan perlintasan kereta api yang menghubungkan Stasiun Cikini dan
Stasiun Manggarai (kini rel layang kereta api).

Metropole terdiri dari tiga gedung utama. Satu gedung digunakan sebagai bioskop, yang kini
dimiliki oleh grup 21 Cineplex. Dahulu bioskop ini hanya memiliki satu teater yang berukuran
sangat besar, yang mampu menampung sekitar 1.000 orang penonton termasuk kursi di balkon.
Gedung ini kemudian direnovasi dan dibagi menjadi empat teater, masing-masing berkapasitas
kurang dari 170 orang.[4] Dua gedung lainnya terletak di bagian pinggir dan belakang: satu
digunakan sebagai salah satu sinepleks (teater 4) dan ruang pertunjukan, dan satu lainnya sebagai
tempat perkantoran dan supermarket. Supermarket Hero yang menempati gedung kedua
kemudian digantikan dengan ruang pamer Grohe, produk sanitasi air (keran, pancuran air, dll.)
asal Jerman. Seluruh gedung ini berdiri di atas tanah 11.800-m² dan memiliki total 12
pengontrak.[5]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Bioskop yang terletak di sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat
dan berkapasitas 1.000 penonton ini adalah salah satu bioskop terbesar dan tertua, dengan
arsitektur bergaya Art Deco yang masih tersisa di Jakarta hingga sekarang.[5] Pada 1951, gedung
dan lahan seluas 11.623m² ini dimiliki oleh PT Bioskop Metropole. Bangunannya dirancang oleh
Liauw Goan Sing, dan awalnya diberi nama Bioscoop Metropool. Bioskop ini mulai dibangun
pada tahun 1932 dan diresmikan tahun 1949 oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta.[5][6] Nama
bioskop ini diganti menjadi Bioskop Megaria akibat adanya kebijakan anti-Barat dari Presiden
Soekarno pada tahun 1960.[7]

Pada tahun awalnya, Bioskop Metropole terikat kontrak sehingga hanya menayangkan film-film
yang diluncurkan oleh MGM, tetapi pada saat pelaksanaan Festival Film Indonesia (FFI)
pertama pada tahun 1955, Bioskop Metropole ikut serta menayangkan film-film Indonesia.[8]
Gedung Bioskop Metropole juga menjadi tempat dilaksanakannya rapat penting yang menjadi
cikal bakal pendirian Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI).[8]

Pada tahun 1984, konsep cineplex (membagi satu gedung menjadi beberapa kompleks teater)
mulai dikenal di Indonesia, pertama kali diterapkan oleh Teater Kartika Chandra. Bioskop
Megaria mengikuti strategi ini dan menambah satu teater tambahan di belakang gedung utama.
Namun, strategi Bioskop Megaria tidak sesukses Kartika Chandra, dan akhirnya bioskop ini
bangkrut. Kompleks teater ini kemudian dibeli oleh grup jaringan bioskop 21 Cineplex, yang
dikelola oleh Subentra Grup pada tahun 1989 dan diubah namanya menjadi Metropole 21. 21
Cineplex mengubah rancangan interior gedung itu dengan membagi ruang bioskop utama
menjadi 3 bioskop berukuran kecil dan satu teater di gedung tambahan, dengan kapasitas tempat
duduk sekitar kurang dari 170 kursi setiap ruangannya. Dengan demikian Metropole 21 menjadi
bioskop yang memiliki 4 teater. Namanya pun sempat berubah menjadi Megaria 21. Gedung ini
dinyatakan sebagai Bangunan Cagar Budaya Kelas A yang dilindungi dan tidak boleh dibongkar
oleh Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1993.[5][7]

Selain bioskop dengan 4 teater milik 21 Cineplex group, sepanjang dasawarsa 1990-an sampai
akhir dasawarsa 2000-an, gedung ini disewa oleh beberapa usaha kelas menengah, antara lain
terdapat pula sasana biliar di lantai dua yang luas. Sementara di lantai dasar terdapat tempat
cukur, dan beberapa restoran; antara lain kedai pempek megaria, rumah makan masakan
Tionghoa, dan rumah makan ayam bakar khas Jawa. Sementara gedung sekunder pada lantai
dasarnya disewa oleh gerai pasar swalayan Hero, dan perkantoran pada lantai di atasnya.

Karena lokasinya yang dekat dengan kantor pusat tiga partai dominan pada masa Orde Baru—
Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Golongan Karya
(Golkar)—Megaria menjadi salah satu lokasi populer untuk berkumpul bagi mahasiswa pada
masa reformasi pada akhir tahun 1990-an.[8]

Pada awal 2007, tersiar berita bahwa gedung bioskop ini akan dijual. Lahan dan bangunannya
ditawarkan dengan harga Rp 15 juta per m² atau total sekitar Rp 151,099 miliar. Namun pada
tahun 2008, rencana penjualan tersebut dibatalkan. Grup 21 Cineplex memperpanjang masa sewa
dan melakukan renovasi baik pada bagian interior maupun eksterior bangunan dan mengubahnya
menjadi bioskop untuk kalangan menengah ke atas, namanya pun diubah menjadi Metropole
XXI.[5]

Setelah renovasi yang digelar antara tahun 2008 dan 2013, penyewa gedung ini pun berubah
menyesuaikan dengan peruntukannya yang sebagai gerai kelas atas, yakni dengan penerapan
biaya sewa yang jauh lebih tinggi pula. Semula Grup Cineplex 21 sempat membuka kedai XXI
Garden Cafe, yang kemudian digantikan oleh gerai Starbucks pada 2014.[1] Sementara tempat
cukur, kedai pempek dan beberapa rumah makan di lantai dasar digantikan oleh bakery (toko
roti) dan beberapa toko. Sasana biliar di lantai dua kini telah digantikan oleh Roemah Kuliner,
sebuah restoran kelas atas dengan konsep food hall (mirip food court) yang menyajikan masakan
Indonesia.[2] Gedung kedua di sebelah timur bekas pasar swalayan, kini menjadi ruang pamer
Grohe, produk sanitasi air mewah (keran, bak, wastafel, dan perlengkapan mandi dan sanitasi
lainnya) asal Jerman.[3]

Anda mungkin juga menyukai