Anda di halaman 1dari 6

“Museum” Angkut, Batu

Oleh Awaliyah Mudhaffarah

15213075

Perubahan dalam tren gaya hidup dan perkembangan teknologi di dunia memengaruhi
perkembangan arsitektur, baik itu berupa bangunan publik maupun privat. Sebagai
bangunan publik kultural, museum memiliki tantangan tersendiri ketika bersinggungan
dengan perkembangan zaman.

Beberapa museum lama merespon perkembangan zaman dengan mendigitalisasi koleksi.


Beberapa membenahi sistem penyajian pamerannya sehingga menjadi sesuatu yang lebih
futuristik dengan konsep pameran yang interaktif. Namun di lain sisi, ada bentuk respon
yang justru memanfaatkan cyber lifestyle jaman sekarang. Cyber lifestyle yang dimaksud
adalah kegandrungan masyarakat dengan media sosial, terutama media sosial dengan fitur
sharing foto seperti Instagram. Dengan adanya media sosial ini, setiap orang punya
keinginan untuk berfoto di tempat tempat-tempat yang menarik secara visual.

Perilaku ini mungkin yang dilihat sebagai potensi pasar oleh pengelola Museum Angkut,
sehingga mereka bisa keluar dengan terobosan konsep museum yang jarang ditemui di
Indonesia: pameran koleksi yang dipadukan dengan pengondisian latar yang cukup ekstrim
untuk menghasilkan sebuah tempat yang baik secara visual dan dapat dipakai berfoto.

Museum Angkut Batu, Malang adalah sebuah tempat rekreasi yang berlokasi di areal Jatim
Park 2, Batu, Malang. Museum ini didirikan di atas lahan seluas 3.8 hektar dan diresmikan
pada tanggal 9 Maret 2014. Museum ini memiliki lebih dari 300 koleksi yang terdiri dari alat
transportasi, baik darat hingga udara, tradisional hingga modern dari berbagai zaman dan
tempat di dunia. Koleksinya sebagian besar didapatkan dari kolektor mobil antik. Nilai
sejarah koleksinya pun beragam, dari bajaj biasa hingga helikopter kepresidenan pertama di
Indonesia. Dengan koleksi yang beragam jenis, asal, dan periodenya itu, Museum Angkut
dapat mengelompokkan koleksinya ke dalam beberapa zona yang menceritakan tempat
asalnya.

Gambar 1. Zona Pecinan pada Museum Angkut. Bangunan di kanan dan kiri hanya
fasad dan tidak askesibel.
(sumber: Dok. pribadi)
Menurut situs resmi Museum Angkut batu malang, terdapat 11 zona ditambah 1 zona untuk
Museum D’topeng Kingdom yang secara konten berbeda dengan Museum Angkut pada
kawasan museum seluas 3.8 hektar itu. Zona-zona tersebut diantaranya adalah Hall Utama,
Runway 27, Zona Pecinan, Zona Batavia, Gudang Batavia, Gangster Town, Zona Eropa,
Buckingham Palace, Las Vegas, Hollywood, dan Pasar Apung Nusantara. Masing masing zona
dikondisikan sedemikian rupa sehingga menyerupai tempat aslinya.

Pensuasanaan ini bahkan hingga dibawa ke level ekstrem dimana salah bangunan yang berisi
ruang pamer, yaitu zona Buckingham Palace, didandani dengan penggunaan ornamen pada
fasad sehingga terlihat menyerupai istana inggris terkenal itu. Bahkan taman di depannya
didesain menyerupai taman yang terdapat di depan Istana Buckingham.

Gambar 2. bangunan ruang pamer yang didekorasi menyerupai Buckingham palace (kiri)
dan interiornya. Bangunan aslinya berbentuk nyaris seperti gudang
(sumber: http://www.shellaherviana.id & http://museumangkut.com)

Bayangkan dengan variasi zona seperti itu, sebagai orang awam, kita pasti tertarik untuk
datang dan berfoto ‘ala-ala’ di negeri orang. Ingin berfoto cantik di depan cafe ala Paris?
Tidak usah jauh jauh ke Perancis, datang saja ke Museum Angkut dan berfoto di Zona Eropa
nya. Ingin berkunjung ke Buckingham Palace dan melihat koleksi mobil keluarga kerajaan
Inggris? Atau berfoto di bus double decker ala London? Tidak perlu ke Inggris pun kita sudah
dapat berfoto dengan kendaraan tersebut di Zona Buckingham palace.

Tak bisa dipungkiri, konsep baru ini cukup menarik minat masyarakat untuk
mengunjunginya--setidaknya jika dibandingkan dengan museum-museum konvensional di
Indonesia. Lokasinya yang terletak tidak pada kota besar bahkan tidak menjadi alasan bagi
menghambat orang-orang untuk datang berkunjung ke sana.

Tercatat, dalam sehari pengunjung Museum Angkut mampu mencapai angka 2000
pengunjung. Pada high season seperti libur kenaikan kelas, pengunjung Museum Angkut
bahkan bisa mencapai lebih dari 300.000 orang per bulan1. Sebuah angka yang cukup
fantastis mengingat bahwa museum ini terletak jauh dari ibukota Jakarta, dan jika
dibandingkan dengan museum-museum lain di Indonesia jumlah pengunjung ini berada

1 Statistik Daerah Kota Batu tahun 2015, sumber: Badan Statistik Kota Batu
sangat jauh di atasnya. Bandingkan dengan museum Sejarah Jakarta/Museum Fatahilah
(rata-rata 50.000 pengunjung per bulan), Museum Nasional/Museum Gajah (rata-rata
pengunjung 20.000 per bulan), dan Museum Wayang (rata rata 30.000 pengunjung per
bulan)2

Namun, dengan kesuksesan dari segi jumlah pengunjung yang fenomenal, eksekusi dari
konsep ini sendiri memunculkan sebuah pertanyaan besar: Apakah Museum Angkut masih
bisa disebut sebagai museum?

Seperti telah disinggung sebelumnya, konsep utama dari Museum Angkut adalah
menghadirkan suasana dari negara-negara asal kendaraan yang menjadi koleksinya. Dalam
eksekusinya, konsep ini sangat bergantung pada pensuasanaan via dekorasi berupa
tempelan pada interior maupun bangunan dan furnitur lain yang mendukung. Secara
arsitektural, Museum Angkut ini bisa jadi hanya terdiri dari sekelompok bangunan gudang
yang diberi jalur sirkulasi.

Gambar 3. Interior salah satu ruang pamer menunjukkan kesederhanaan bentuk


ruangan dan struktur yang digunakan.
(sumber: Dok. pribadi)

Pilihan untuk menggunakan ‘tempelan dekorasi’ sendiri mungkin adalah kebijakan dari
museum yang membutuhkan komunikasi yang efektif dan gamblang dengan pengunjungnya.
Namun penggunaan dekorasi ini justru membuat objek utama pameran (alat transportasi)
menjadi sesuatu yang minor dibanding dengan backgroundnya.

Bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh museum ini pada laman
webnya,”Museum Angkut Plus Movie Star Studio merupakan museum dengan konsep
edukasi dan entertainment yang ditampilkan secara langsung.”, dengan fokus pada
pensuasanaan, konten yang ditampilkan museum justru kalah dengan dekorasinya. Konsep
edukasi dan entertainment yang dicanangkan kemudian menjadi tidak seimbang dan lebih
berat di entertainmentnya. Konten Museum Angkut yang harusnya bisa membawa misi
edukasi menjadi tidak lebih dari sekedar properti untuk mempercantik foto para
pengunjungnya.

2 Data Kunjungan Museum Tahun 2015. sumber: http://data.jakarta.go.id


Kita ambil contoh, jika seorang pengunjung yang datang ingin berfoto di Zona Gangster dan
mendapati bahwa ada sebuah mobil klasik yang tersedia disana, tentunya objek mobil
tersebut akan menjadi pemanis foto yang membuat kesan kota gangster itu menjadi
semakin nyata. Apakah orang-orang akan terpikir untuk mengecek sebuah plat kecil yang
memuat informasi tentang mobil yang mereka gunakan untuk berfoto itu?

Gambar 4. Penggunaan barang koleksi sebagai objek foto


(sumber: Dok. Pribadi)

Dari sekian banyak zona pada museum ini, hanya terdapat satu ruang pameran yang
benar-benar ditujukan sebagai tempat edukasi, dengan pencantuman informasi yang
dilakukan secara sesuai, dan tidak sepenuhnya ditujukan sebagai tempat untuk berfoto.
Zona ini berisikan sejarah angkutan dan beberapa penemuan angkutan fenomenal yang
terjadi di dunia. Pada ruangan ini terdapat panel panel besar yang berisi penjelasan tentang
kendaraan yang dipajang dan sejarahnya. Tidak seperti ruangan pamer lain dalam museum,
zona edukasi ini sangat bersih dari dekorasi sehingga menjadi sangat kontras dengan
ruangan pamer lain pada museum yang fokus pada entertainment.

Gambar 5. Ruang Edukasi pada museum yang berisi panel dan minim dekorasi
(sumber: Dok. Pribadi)
Gambar 6. Ruang edukasi (kiri) yang banyak berisi panel penjelasan dibandingkan dengan
Zona Gangster (kanan) yang penuh dengan dekorasi
(sumber: Dok. Pribadi)

Selain itu, fokus dari penyelenggaraan museumnya pun seakan bergeser kepada tujuan
komersial. Tiket masuk museum dibanderol dengan harga 80 ribu hingga 100 ribu rupiah,
harga yang sangat berlipat jauh dibanding dengan museum-museum yang dikelola
pemerintah. Selain itu, pengunjung yang ingin membawa kamera masuk ke dalam museum
dikenai biaya tambahan. Hal ini seakan mengukuhkan kesan bahwa yang di”jual” museum
bukanlah konten, tetapi kesempatan untuk berfoto dengan dekorasi.

Dekorasi tempel yang meriah, pencarian profit, dan fokus pada entertainment; Dengan
kondisi Museum Angkut yang sangat mengandalkan dekorasi dan kecenderungan isinya yang
lebih kepada hiburan apakah Museum Angkut masih bisa menyandang nama museum? Atau
justru sebenarnya Museum Angkut adalah theme park yang berkamuflase sebagai museum?

Untuk memastikan hal ini kita dapat meninjau kembali definisi dari museum itu sendiri.

Museum adalah sebuah institusi yang merawat atau mengkonservasi koleksi berupa artefak
dan benda-benda lain yang memiliki nilai artistik, budaya, sejarah, maupun ilmu
pengetahuan. Menurut definisi dari International Council of Museums (ICOM),”Sebuah
museum adalah institusi permanen non-profit yang melayani masyarakat dan
pengembangannya, terbuka untuk publik, yang menerima, mengkonservasi, meneliti,
mengkomunaksikan, dan memamerkan warisan budaya manusia berupa benda dan non
benda serta lingkungannya untuk kebutuhan edukasi, pembelajaran, dan hiburan”. ICOM
adalah satu-satunya organisasi internasional yang merepresentasikan museum dan staff
ahlinya. Definisi dari ICOM tersebut selalu berevolusi seiring dengan perkembangan dari
tipologi museum itu sendiri.

Dalam definisi tersebut dapat dilihat bahwa ada beberapa poin yang mendefinisikan
museum. Kita dapat menggarisbawahi beberapa kegiatan utama pada museum, yakni
kegiatan penyimpanan dan perawatan, pameran, edukasi, dan hiburan. Semua kegiatan itu
baiknya hadir dalam porsi yang berimbang dalam museum.

Museum angkut benar menyimpan, merawat, menggelar pameran, mengedukasi dan


menyediakan hiburan. Namun, pada Museum Angkut, fungsi edukasi tetapi menjadi sebuah
objek sampingan. Dekorasi yang seharusnya menjadi pendukung dari pameran justru
menjadi fokus utama dari museum, sehingga ketersampaian konten museum itu sendiri
menjadi minimal. Selain itu, dengan beratnya ketergantungan museum dengan dekorasi
pada interior, museum angkut menjadi tak ubahnya sebuah theme park indoor.

Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa museum angkut merupakan sebuah contoh
inovasi yang cukup berhasil menarik minat masyarakat sebagai sebuah pameran.
Penggunaan konsep pameran yang inovatif juga merupakan sebuah hal yang baik. Dengan
penggunaan konsep tersebut, museum dapat keluar dari paradigma yang ada pada
masyarakat, bahwa museum hanya terbatas sebagai pameran benda benda berdebu yang
monoton dengan kotak kotak display kaca. Namun, ketika pelaksanaan konsep itu justru
dilaksanakan secara tidak imbang sehingga malah berpaling dari tujuan asli museum itu
sendiri, tentunya ada hal yang perlu ditinjau ulang. Seharusnya ada keseimbangan antara
objek dan konten museum, penjelasan, serta dekorasi yang mendukung konten itu, sehingga
museum tetap edukatif walaupun menyajikan sesuatu yang sangat bersifat entertaining.

Wisata yang menawarkan edutainment sebenarnya telah menjadi salah satu alternatif
pilihan wisata keluarga sejak lama. Namun, Museum Angkut adalah tempat wisata pertama
dengan titel museum yang benar-benar mengeksekusi konsep ini secara lebih jauh. Inovasi
adalah sesuatu yang harus terus dilakukan untuk dapat bertahan menghadapi perubah
dinamika sosial dan budaya serta perkembangan teknologi yang ada. Namun inovasi seperti
apapun, perubahan semasif apapun yang dilakukan pada sebuah museum, jangan sampai
justru membuatnya lupa dengan hakikatnya sendiri seperti museum yang lupa diri.

Daftar pustaka

Museum Definition (2007). Diambil dari :

http://icom.museum/the-vision/museum-definition/

Tentang Museum Angkut (). Diambil Dari:

http://www.museumangkut.com/tentang-museum-angkut/http://www.museumangkut.co
m/tentang-museum-angkut/

Alexander, E.P. & Alexander, M. (2008) Museums in motion: an introduction to the history
and functions of museums. Rowman & Littlefield

Anda mungkin juga menyukai