Anda di halaman 1dari 6

Cerita Awal Taman Ismail Marzuki

Ketiadaan tempat berkumpul untuk seniman mendorong pembentukan Taman Ismail Marzuki. Kini sedang direvitalisasi.

Revitalisasi kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) berlanjut ke tahap baru pada awal Februari

2020. Gedung Graha Bhakti Budaya dan Galeri Cipta I mulai dibongkar. Dua gedung ini tadinya merupakan bioskop, tempat

pameran lukisan, pertunjukan teater, kantor Dewan Kesenian Jakarta, dan kantor pengeloka PKJ-TIM.

Pemerintah DKI Jakarta merevitalisasi kompleks PKJ-TIM sejak 20 Juli 2019. Sejak itu pula penolakan terhadap revitalisasi

muncul. Sejumlah seniman menilai pemerintah DKI Jakarta telah mengabaikan pertimbangan seniman, terlalu banyak turut

campur, dan menghapus makna serta sejarah PKJ-TIM. Sebaliknya, pemerintah DKI Jakarta berpendapat revitalisasi justru

demi memperkuat kembali citra TIM dan memenuhi kebutuhan generasi masa depan.

Kompleks PKJ-TIM sudah berusia 52 tahun. Sepanjang itu, banyak perubahan terjadi pada bangunannya. Ada penambahan,

ada pula pengurangan bangunan. Pendirian PKJ-TIM bermula dari gagasan tentang perlunya tempat untuk menampung dan

mengembangkan kegiatan berkesenian masyarakat.

Sebelum PKJ-TIM berdiri, Jakarta mempunyai dua tempat untuk para seniman berkumpul dan menampilkan karyanya. Tempat

pertama terletak di Prinsen Park, Lokasari, Sawah Besar. Tempat ini tenar dari 1930-an hingga 1940-an. Di sinilah Fifi Young

(aktris), Sam Saimun (penyanyi), Iskandar (musisi), Chairil Anwar (penyair), Bing Slamet (pelawak), dan Sutan Sjahrir (politisi)

melingkar bersama. "Predikatnya seniman Sawah Besar," catat Sutrisno dalam Bing Slamet: Hasil Karya dan Pengabdiannya.

Masa jaya Prinsen Park habis seiring waktu. Para seniman pindah ke wilayah Senen pada 1950-an. Di sini mereka lebih sering

mendiskusikan segala hal tentang kebudayaan dan kesenian. Diskusi itu menguar dari warung-warung kopi Senen. "Sering

timbul gagasan penting dalam penciptaan kesenian," ungkap Ajip Rosidi, sastrawan Sunda, dalam "Senen: Wajah Yang

Lama", termuat di Intisari, Februari 1968.

Tampilan para seniman Senen itu lusuh, dekil, dan kotor. Mereka jarang sekali tampil necis. Sampai-sampai Misbach Yusa

Biran, seniman dan arsiparis film, sulit membedakan antara seniman dan kaum jembel. Sering pula diantara kaum jembel

mengaku-ngaku sebagai seniman. Demikian cerita Misbach dalam Keajaiban di Pasar Senen.


Sebagaimana Prinsen Park, Senen juga punya akhir waktu. Tempat diskusi para seniman ini berubah menjadi pertokoan

modern pada 1960-an. Seniman kehilangan tempat berkumpul. Segelintir seniman kemudian menggunakan Balai Budaya di

daerah Menteng untuk berdiskusi dan menampilkan karya. Tapi tempat ini terlalu kecil dan terbatas pada seni rupa.  

Jakarta sebetulnya punya satu gedung kesenian untuk menampilkan seni tari, teater, dan musik. Gedung itu

bernama Schouwburg yang terletak di Pasar Baru. Ia sohor pada masa kolonial. Tapi pada 1960-an, gedung ini justru menjadi

bioskop untuk film-film Hollywood. Tak ada lagi tempat diskusi dan tampil untuk para seniman. Betapa keringnya sebuah ibu

kota tanpa tempat semacam itu.

Ajip lalu menulis karangan tentang pentingnya tempat diskusi dan berkesenian. Karangan itu muncul di majalah Intisari,

Februari 1968. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966—1977, membacanya. Keduanya telah saling mengenal. Ajip pernah

meminta bantuan dana dari Ali Sadikin untuk penerbitan majalah kebudayaan bernama Budaja Djaja.  

Ajip dan Ali bertemu untuk mendiskusikan kemungkinan pembangunan tempat diskusi dan berkesenian di Jakarta. Ajip

sarankan tempat itu harus santai dan leluasa. Tak perlu megah dan besar. Sebagai bahan pertimbangan, dia menyodorkan

sketsa karya Oesman Effendi, pelukis, tentang Gelanggang Kesenian Jakarta kepada Ali.

Hari-hari setelahnya, Ali berupaya mewujudkan keinginan para seniman. Dia makan malam bersama mereka pada 9 Mei 1968.

Ali mengakui dirinya sama sekali tak mengerti kesenian. “Tetapi sebagai gubernur dia berpendapat bahwa kota yang modern

harus mempunyai kesenian yang maju,” kenang Ajip dalam Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan.

Ali berjanji akan membangun pusat kesenian. Tapi dia tak mau mengatur urusan seniman di tempat itu hingga tetek-

bengeknya. “Seniman itu susah diatur,” kata Ali. Dia menyerahkan sepenuhnya tempat itu kepada para seniman. Soal biaya

berkegiatan di tempat itu, dia siap menanggungnya. Tapi seniman harus mempertanggungjawabkan pengelolaannya.

Pertemuan itu menumbuhkan semangat para seniman. Mereka segera memilih orang-orang yang kelak akan menyusun acara

di pusat kesenian itu di bawah organisasi khusus. Nama organisasi itu Badan Pembina Kebudayaan. Karena terdengar

birokratis, seniman mengubahnya jadi Dewan Kesenian Djakarta (DKD). Anggotanya berjumlah 25 orang. Mereka rutin rapat

maraton untuk menyambut pembangunan pusat kesenian.


Saat mereka menggelar rapat, ada kabar bahwa Ali Sadikin telah menetapkan bekas kebun binatang Cikini sebagai pusat

kesenian. Tempat ini sangat luas untuk ukuran kompleks kesenian. Desain bangunannya sangat lengkap. Ruang pameran,

ruang latihan dan sanggar, perpustakaan, teater terbuka, teater halaman, teater arena, guest house, dan ruang kantor.

Berbeda jauh dari sketsa Gelanggang Kesenian Jakarta. “Tak ada yang tidak kaget mendengar hal itu,” tulis Ajip.

Ali Sadikin menugaskan salah seorang stafnya, Ir. Tjong Pragantha, untuk mempelajari kompeks bangunan kesenian di

Hawaii. Kepada Abrar Yusa dkk. dalam 25 Tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, Tjong mengaku kesulitan

merancang pusat kesenian itu. Sebab banyak pertimbangan dari gubernur, seniman, dan budayawan terkait desainnya. Tapi

semuanya tak mau lama berkutat pada utak-atik desain. Yang penting ada unsur Indonesianya.

Pembangunan pusat kesenian mulai berlangsung pada Juni 1968. Seluruh bangunannya semi-permanen mengingat keuangan

pemerintah Jakarta masih cekak. Tapi sisi lebihnya, tak perlu waktu lama untuk membangunnya. Hanya butuh lima bulan.

Pusat kesenian berbiaya Rp90 juta itu resmi dibuka pada 10 November 1968. Ali Sadikin menamainya Taman Ismail Marzuki

(TIM), komponis andal asal JakartaSaat peresmian, Ali Sadikin mengatakan TIM dibangun sebagai investasi kultural. “Hasilnya

tidak segera dapat dikecap, tapi memakan waktu yang lama,” kata Ali Sadikin dikutip Pelopor Baru, No 684 Tahun 1968.

Ali Sadikin juga menekankan TIM harus bersih dari intervensi politik. Dia tak mau lagi mendengar ada fitnah-memfitnah,

ganyang-mengganyang, dan polarisasi antarseniman tersebab urusan politik seperti pada masa Demokrasi Terpimpin (1959—

1965). “Filsafat politik sebagai panglima di bidang kebudayaan tidak boleh terjadi di Pusat Kesenian,” kata Ali dalam El Bahar,

12 November 1968.

Sepanjang masa Ali Sadikin, TIM berhasil menjadi barometer kesenian di Indonesia. Setiap penampil di TIM terseleksi benar.

Tak sembarang karya beroleh tempat di TIM. Keberadaan TIM juga menghidupkan kembali tradisi diskusi para seniman

sehingga memunculkan karya-karya baru. Misalnya persenyawaan antara seni tradisi dan modern.

Selepas masa Ali Sadikin, TIM kehilangan pesona. Intervensi pemerintah terhadap pengelolaan dan penyusunan kegiatan seni

mulai terasa. Tapi subsidi untuk kegiatan seni justru berkurang. Banyak bangunan tak terawat. Muncul protes dari para

seniman untuk membangkitkan kembali marwah TIM. Tak hanya sekadar memperbaiki bangunannya, tapi juga meningkatkan

kualitas kegiatannya.
Taman Ismail Marzuki (disingkat TIM) merupakan salah satu landmark utama kota Jakarta. Tempat yang memiliki
nama lengkap 'Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki' ini menjadi simbol eksistensi Jakarta sebagai pusat
perkembangan seni dan budaya di Indonesia. Diresmikan pada tanggal 10 November 1968, secara rutin TIM
menjadi tempat penyelenggaraan berbagai event kesenian, antara lain pementasan musik, film, wayang, pagelaran
tari, drama serta pameran lukisan.

Nama TIM sendiri berasal dari nama seorang komponis pejuang Indonesia, Ismail Marzuki. Keberadaan TIM
merupakan penghargaan atas kontribusinya bagi khazanah musik indonesia. Selain diabadikan sebagai nama
pusat kesenian yang terletak di Jalan Cikini Raya 73 ini, Ismail Marzuki juga dianugerahi gelar pahlawan nasional
yang secara resmi di umumkan pada tanggal 10 November 2004.

TIM memiliki 6 ruang teater modern, balai pameran, galeri, gedung arsip serta bioskop. Didalam komplek TIM
terdapat pula Planetarium Jakarta, yang diresmikan pada 1964 oleh Presiden Soekarno sebagai wahana wisata
pendidikan bagi masyarakat. Selain itu, di komplek ini juga terdapat Institut Kesenian Jakarta sebagai salah satu
perguruan tinggi negeri yang secara khusus berkiprah dalam bidang seni, antara lain seni rupa, seni peran
dan perfilman.

Sejak berdirinya, TIM dikenal menjadi ruang bagi para seniman untuk menyalurkan
kreatifitasnya dalam bentuk berbagai karya Inovatif. TIM memang membuka seluas-luasnya
bagi para seniman untuk menghasilkan karya fenomenal dan berkualitas. Dari sinilah Rendra,
Sardono W. Kusumo, Farida Oetojo, Arifin C. Noer, Suyatnya Anrun, Affadi pernah merintis
karir berseninya disini. [Ardee/IndonesiaKaya]
Gedung Kesenian Jakarta
merupakan bangunan tua peninggalan bersejarah pemerintah Belanda yang hingga sekarang masih
berdiri kokoh di Jakarta. Terletak di Jalan Gedung Kesenian No. 1 Jakarta Pusat.
Gedung tersebut merupakan tempat para seniman dari seluruh Nusantara mempertunjukkan hasil kreasi
seninya, seperti drama, teater, film, sastra, dan lain sebagainya. [1]
Gedung ini memiliki bangunan bergaya neo-renaisans yang dibangun tahun 1821 di Weltevreden yang
saat itu dikenal dengan nama Theater Schouwburg Weltevreden, juga disebut dengan Gedung Komedi.
Gedung yang berpenampilan mewah ini pernah digunakan untuk Kongres Pemoeda yang pertama (1926). Dan, di
gedung ini pula pada 29 Agustus 1945, Presiden RI pertama Ir. Soekarno meresmikan Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) dan kemudian beberapa kali bersidang di gedung ini [5] Kemudian dipakai oleh Universitas Indonesia
Fakultas Ekonomi & Hukum (1951), dan sekitar tahun 1957-1961 dipakai sebagai Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI).
Selanjutnya tahun 1968 dipakai menjadi bioskop “Diana” dan tahun 1969 Bioskop “City Theater”. Baru pada akhirnya
pada tahun 1984 dikembalikan fungsinya sebagai Gedung Kesenian (Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibu kota Jakarta No. 24 tahun 1984). [6] Gedung ini direnovasi pada tahun 1987 dan mulai menggunakan nama
resmi Gedung Kesenian Jakarta. Sebelumnya gedung ini dikenal juga sebagai Gedung Kesenian Pasar Baru dan
Gedung Komidi.[7] Untuk penerangan digunakan lilin dan minyak tanah dan kemudian pada tahun 1864 digunakan
lampu gas. Pada tahun 1882 lampu listrik mulai digunakan untuk penerangan dalam gedung
Sebagai sebuah tempat pertunjukan seni, gedung Kesenian Jakarta memiliki fasilitas yang bagus dan memadai, di
antaranya ruang pertunjukan berukuran 24 x 17.5 meter dengan kapasitas penonton sekitar 475 orang, panggung
berukuran 10,75 x 14 x 17 meter, peralatan tata cahaya, kamera (CCTV) di setiap ruangan, TV monitor, ruang foyer
berukuran 5,80 x 24 meter, serta fasilitas outdoor berupa electric billboard untuk keperluan publikasinya.

Gedung Kesenian Jakarta berlokasi di Jalan Segara, kawasan Pasar Baru (Passer Baroe), Jakarta Pusat. Gedung
tersebut diresmikan pada tanggal 7 Desember 1821 dengan nama Schouwburg Weltevreden atau Comidiegebouw
yang masih berdiri megah hingga sekarang. Pembangunan gedung bergaya Romawi yang menghabiskan biaya sekitar
60.000 gulden itu diprakarsai oleh para anggota perkumpulan tonil Ut Desint yang tahun 1820 mencapai puncak
ketenaran. Hanya dalam waktu setahun gedung tersebut telah diselesaikan. Pada malam perdana peresmiannya Ut
Desint mementaskan tonil "Othelo" dan "Penabuh Genderang" karya Williem Shakespeare. Sebelum Schouwburg
Weltevreden dibangun, di lahan itu berdiri gedung Teater Militer Weltevreden yang dibangun oleh Gubernur Jendral
Belanda, Daendels, kemudian direalisasikan oleh Gubernur Jendral Inggris , Thomas Stamford Raffles bersama
sekelompok tentara Inggris pada tahun 1814. Gedung itu pada mulanya bernama Municipel Theatre, Schouwburg,
atau dengan lebih populer disebut "Gedung Komidi". Di zaman Jepang disebut dengan Kiritsu Gehitrzyoo, lalu
berubah menjadi bioskop Dana dan City Theatre. Masa jaya teater Inggris dengan Gedung Teater Militernya hanya
berlangsung sampai tahun 1816. Karena mengalami kekalahan dari Belanda, tentara Inggris harus meninggalkan
Batavia sehingga "Bamboe Teater" itu beralih ke tangan para seniman panggung bangsa Belanda. Dalam bangunan
Bamboe Teater itulah tanggal 21 April 1817 terbentuk perkumpulan teater Ut Desint. Empat tahun kemudian para
anggota perkumpulan itu membongkar bangunan tersebut dan mendirikan sebuah gedung kesenian yang ideal dan
permanen. Keberadaan gedung itu selain mengangkat gengsi kota Batavia juga dapat meningkatkan apresiasi
masyarakat terhadap seni pertunjukan. Beraneka ragam acara seperti pertunjukan, opera, musik klasik, tari dan
nyanyi, serta sirkus dan sulap, yang sebagian besar diselenggarakan oleh grup orang kulit putih, berlangsung hingga
akhir Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1906 rombongan sandiwara pimpinan Louis Bouwmeester, aktor terkenal
di seluruh Eropa, mengadakan pergelaran di gedung ini. Selain itu, beberapa grup terkenal pimpinan Von de Wall
atau Victor Ido, Jan Fabricius, dan Louis Couperus sering tampil di gedung ini. Bangunan yang mampu menampung
250 orang itu tidak pantas disebut "gedung" karena dindingnya terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan beratap
alang-alang. Oleh karena itu, orang Belanda menyebutnya "Bamboe Theater". Di gubuk itulah tentara Inggris dapat
menyaksikan pementasan tonil karya Shakespeare, yang dimainkan oleh para pemain amatir, yang membentuk
perkumpulan sandiwara pada tahun 1812. Pada masa penjajahan Jepang gedung itu bernama Kiritsu Gehitzzyoo
kemudian berubah menjadi Bioskoup Dana dan City Theatre. Gedung ini tetap berfungsi sebagai tempat pementasan
tonil dan berbagai acara hiburan lainnya, tetapi juga dipakai sebagai markas tentara Jepang. Dengan halus Jepang
melakukan propaganda lewat kesenian. Pembentukan Sendenbu (Barisan Propaganda) dan Keimin Bunka Shidosho
(Badan Urusan Kebudayaan) dimaksudkan agar orang Indonesia bergabung dengan perkumpulan sandiwara
bentukan Jepang itu. Istilah tonil yang berasal dari bahasa Belanda tooneel diganti dengan sandiwara, Schouwburg
Weltevreden diganti dengan Gedung Komidi Pasar Baru (Passer Baroe). Dalam waktu singkat bermunculanlah grup
sandiwara dan bintang panggung yang secara bergiliran diberi kesempatan beraksi di gedung pertunjukan yang
paling ideal pada zaman itu. Setelah Indonesia merdeka, gedung itu berubah fungsi menjadi ruang kuliah mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia dan gedung bioskop. Dalam perkembangannya, nama
Gedung Komidi diganti dengan Gedung Kesenian dan digunakan secara aktif walaupun kondisinya sudah agak rusak.
Pada awal tahun 1970-an Gedung Kesenian sudah jarang digunakan karena telah ada tempat pertunjukan baru di
kompleks Taman Ismail Marzuki. Pada tahun 1987 Gedung Kesenian dipugar secara besar-besaran. Pada peringatan
ulang tahunnya yang ke-6 setelah pemugaran, yaitu tahun 1993, Study Club Teater Bandung mementaskan tonil
"Karina Adinda" karangan Victor Ido. Sampai sekarang Gedung Kesenian Jakarta masih digunakan untuk
mementaskan beragam bentuk kesenian, baik kesenian modern maupun tradisonal. Selanjutnya, kegiatan untuk
menyambut Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menghadirkan Jakarta Anniversary Festival IV—2006 yang berlangsung
dan tanggal 9—26 Juni 2006, diawali dengan program Pra Festival: Teater Boneka dari Perancis, Preworld Choir dari
Bandung dan Jakarta. Mengenang 250 tahun Mozart bersama Yayasan Pendidikan Musik (YPM) dan Tari
Kontemporer "Allegoria Stanza" dari Perancis. Gedung Kesenian Jakarta, pada tanggal 9—26 Juni 2006 mengadakan
Jakarta Anniversary Festival (JAF) adalah sebuah forum pesta seni pertunjukan untuk kesenian urban yang
berlangsung setiap tahun dalam rangka memperingati ulang tahun kota Jakarta. Kegiatan ini merupakan program
khusus GKJ yang menampilkan keragaman kesenian terpilih dari dalam hingga luar negeri yang berbasis pada seni
urban. Selain kegiatan pesta seni, forum ini diharapkan menjadi wahana dialog budaya yang dapat membangun
keakraban antarbangsa. Gedung Kesenian Jakarta pada hari Jumat—Sabtu, 16—17 Juni 2006, pukul 20.00 Wib.
Diselenggarakan acara Sandiwara SMAS, "Short Marriage Simple" (Kawin Yuuk…!); Saduran naskah "Perkawinan"
karya Nikolai Gogol; dan sutradara: Ucok Siregar. Pada hari Selasa, 20 Juni 2006, pukul 20.00 Wib. STSI Bandung
menampilkan teater wayang Sunda dengan lakon MORHER "Kunti", direktur artistik. Arthur S. Nalam S.Sen, M.Hum,
dan tim kreatif, Sis Triadji S. Sen, Joko Kurnaen, Cahaya Hedy S. Sen, M. Hum, Suhendi Afriyanto S. Kar, MM, Didin
Rasidin S. Sen, M. Hum (Kunti sebagai ibu para ksatria, dihadapkan pada dilema batin yang dahsyat. Dua anaknya
Arjuna dan Karna minta diri didoakan untuk Jaya Perang. Kunti berdoa untuk keduanya. Pada hari Minggu, 25 Juni
2006, pukul 16.00 Wib. Teater Tanah Air menampilkan "WOW", sebuah tontonan teater visual. Skenario tontonan ini
disusun oleh Putu Wijaya, dengan sutradara: Jose Rizal Manua. Pemain sandiwara tersebut, antara lain, adalah
Nuansa Ayu Jawadwipa, Achmad Fadillah, Patnayanadi Paramita, Nusa Kalimasada, Nurria Animbung Ganes, Niken
Flora Rinjani, dan Ita Jayanti Puspitasari; Pimpinan Prosensi: Alika Chandra. "Wow" merupakan tontonan penuh
musik, gerak, tari, tata cahaya, dan berbagai situasi serta dinamika kreativitas seni layar.

Anda mungkin juga menyukai