Anda di halaman 1dari 10

PENGANTAR ARSITEKTUR

“Kritik Dalam Arsitektur”

DOSEN : Dr. Sherly Asriany ST.MT

Oleh :

Suchi Rachmawati

07262011009

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE

2020/2021
MASJID KESULTANAN TERNATE
KRITIK DESKRIPTIF :

Analisis dan Interpretasi


Luas bangunan utama masjid Sultan Ternate adalah 597 m2, yang terdiri dari sejumlah ruang
yang mendukung fungsi masjid sebagai tempat ibadah. Ruang utama masjid Sultan Ternate
merupakan ruang inti yang berfungsi sebagai ruang shalat. Bentuk denah bujursangkar yang
melambangkan kesederhanaan duniawi dengan ukuran 22,0 x 22,0 meter. Ruang shalat utama
ini dilengkapi dengan tiga buah pintu, dan sebuah pintu utama. Tinggi keseluruhan bangunan
masjid ini adalah 20,0 meter.
Gambar 1. Denah Bangunan Utama Masjid Sultan Ternate Sumber: Team Artistik Sejarah
Masjid Sultan Moloku Kie Raha,

1. Tiang Saka Guru


Tiang saka guru pada masjid Sultan Ternate yang dikenal dengan nama tiang Ka’bah,
melambangkan empat buah gunung yang berada di Maluku Utara yang biasa disebut dengan
‘Kie Raha’. Kie dalam bahasa Ternate berarti gunung dan Raha yang berarti empat, yang juga
menjadi lokasi pusat empat kerajaan Islam terbesar di Maluku Utara. Empat kerajaan Islam
tersebut adalah Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.

Tiang/kolom saka guru pada masjid Sultan Ternate merupakan tiang utama penyangga
kerangka atap masjid yang bersusun lima. Masing-masing saka guru memiliki tinggi 11,60
meter yang terbuat dari kayu. Formasi tata letak soko guru dipancangkan pada empat penjuru
mata angin. Sedangkan ukuran dari tiang saka guru ini adalah 40 x 40 cm. Selain keempat
tiang/kolom saka guru, juga terdapat dua belas tiang lainnya yang dikenal dengan nama saka
rawa. Adapun ukuran tiang saka rawa adalah 30 x 30 cm dengan tinggi 9,70 meter dan terbu

Gambar 2. Keempat Tiang Saka Guru dan Dua Belas


Tiang Saka Rawa

Pada keempat kaki tiang saka guru dan kedua belas tiang saka rawa, masing-
masing memiliki umpak batu dengan tinggi 60 cm. Badan tiang soko rawa tidak
memiliki ornamen hanya dicat warna hijau dan warna kuning pada kaki tiang di
atas umpak. Sedangkan tiang saka guru memiliki ornamen kayu bermotif
suluran tumbuhan yang membungkus badan tiang. Adapun tinggi ornamen
adalah 165 cm, dan dicat dengan warna dasar kayu agar tampak mengkilat dan
menonjol. Ukiran saka guru ini dibuat di Ternate dan dipasang pada tiang tahun
2005. Setiap tiang baik saka guru maupun

saka rawa masing-masing dihubungkan dengan balok melintang yang dipasang


dengan sistem sambungan purus atau pen berupa pasak dari kayu ( k n o c k d o
w n s y s t e m ). Konstruksi usuk yang digunakan adalah sistem konstruksi
‘megar payung’ yaitu sistem yang susunan usuk memusat ke tengah seperti
payung.

Gambar 3. Detail Kaki Tiang Saka Guru dan Saka


Rawa

2. Atap

Bentuk atap pada bangunan utama Masjid Sultan Ternate adalah limasan dan
pada puncak atap terdapat kubah berbentuk kerucut. Pada ujung kubah terdapat
tiang Alif atau Memolo. Tiang alif atau memolo pada ‘Sigi Lamo’ berupa
sebuah tongkat dengan bulat dibagian bawah, tengah dan ujung atas. Bentuk
memolo inilah yang umum digunakan pada masjidmasjid klasik (tradisional) di
Maluku Utara. Menurut beberapa sumber, jenis ornamen yang terdapat pada
memolo atau tiang alif adalah bentuk mahktota raja, motif tumbuhan. Tiang alif
(memolo) ini melambangkan puncak dari kekuatan Sang Maha Pencipta.

Diantara tingkatan atap terdapat lubang angin tempat masuknya udara dan
cahaya ke dalam ruang utama shalat. Pada setiap sisi atap puncak (kubah)
terdapat jendela atap sebagai ventilasi. Bila dilihat dari depan nampak seperti
tujuh lapis/tingkatan atap, yang melambangkan tujuh tingkat langit dan tujuh
lapis bumi. Sedangkan bila dilihat dari tampak samping hanya terdiri dari lima
tingkatan atap, yang melambangkan shalat
wajib sehari semalam.
Gambar 4. Atap Masjid Sultan Ternate Sumber: Team Artistik Sejarah Masjid
Sultan Moloku Kie Raha

3. Serambi

Serambi/teras depan pada bangunan utama masjid Sultan Ternate berukuran


22,0 x 5,5 meter.Atap serambi/teras masjid pada bangunan utama ditopang oleh
dua buah tiang kayu, dengan ukuran 30 x 30 cm. Dalam perkembangannya,
ruang terbuka tanpa dinding ini juga dimanfaatkan sebagai tempat shalat bila
sewaktu-waktu jamaah membludak saat hari besar keagamaan umat Islam.
Tidak adanya dinding pada serambi/teras, selain berguna untuk kepentingan
vital juga berfungsi sebagai pencahayaan dan sirkulasi udara.

Pada serambi/teras, diletakkan beduk/tifa sebagai perangkat komunikasi


tradisional. Adapun ukuran beduk/tifa ini adalah panjang 105 cm dengan
diameter 55 cm. Salah satu ujung beduk dilubangi dan ditutup dengan lembaran
kulit sapi dan diikat dengan rotan. Beduk ini diletakkan di atas dudukan kayu
yang dicat senada dengan beduknya yaitu berwarna hijau, sedangkan pengikat
rotannya berwarna kuning. Pemukulan beduk sebagai tanda pemberitahuan
waktu shalat, dimana pukulan pertama sejumlah dua puluh sembilan kali dan
pukulan kedua sejumlah tiga puluh kali. Pukulan beduk sebanyak dua puluh
sembilan kali dan tiga puluh kali melambangkan bahwa dalam satu bulan
terdapat dua puluh sembilan hari (ganjil) dan tiga puluh hari (genap).
Gambar 5. Beduk Pada Serambi Masjid Sultan Ternate Sumber: Team Artistik
Sejarah Masjid Sultan Moloku Kie Raha

4. Ragam Hias

Ragam hias pada masjid Sultan Ternate sangat minim dengan hiasan-hiasan,
baik berupa tulisan kaligrafi maupun bentuk-bentuk ornamen lainnya. Bentuk
ornamen hanya di dapat pada tiang saka guru, mimbar dan gubah (tempat shalat
sultan). Motif dekorasi yang digunakan pada mimbar dan gubah berupa motif
tumbuhan dan bunga teratai. Dekorasi ini didatangkan langsung dari Jepara
yang merupakan simbol kesuburan tanah Moloku Kie Raha. Selain kaligrafi dan
motif dekorasi pahatan, terdapat pula warna-warna khas kesultanan yang
digunakan sebagai ragam hias. Warna khas kesultanan adalah hijau, putih,
kuning, dan keemasan.

Gambar 5. Mimbar dan Gubah Masjid Sultan Ternate Sumber: Team Artistik
Sejarah Masjid Sultan Moloku Kie Raha,

5. Kolam/Bak Tempat Wudhu

Air secara universal dianggap sebagai sarana bersuci dalam beribadah. Tak
terkecuali bagi umat Islam, air diutamakan sebagai sarana wudhu sebelum
shalat. Kolam dan sumur air wudhu berada pada sisi kiri satu buah, kanan dua
buah dan depan dua buah pada bangunan utama, serta lima buah tempayan yang
merupakan tempat penyimpan air wudhu. Hal ini menandakan air sangat
dibutuhkan untuk minum, mandi, wudhu, dan keperluan lainnya. Tempayan
yang digunakan selama ini merupakan hadiah dari Cina untuk Sultan Ternate
pada masa itu. Jadi tempayan ini telah ada sejak awal berdirinya Masjid Sultan
Ternate. Banyaknya tempayan mengandung makna penciptaan manusia melalui
air pengasihan yang disimbolkan ke dalam rukun Islam lima perkara.

Ukuran kolam depan sejumlah 2 buah adalah 7,5 x 0,4 meter dengan kedalaman
0,5 meter, sedangkan kolam kiri berukuran 2,4 x 0,8 meter, kedalaman 0,6
meter. Untuk kolam kanan masing-masing berukuran 3,7 x 0,8 meter dengan
kedalaman 0,6 meter, dan 1,40 x 1,20 meter dengan kedalaman 0,6 meter. Air
yang berada pada kolam dan tempayan merupakan air yang berasal dari sumur
yang dipompa keluar dengan menggunakan bantuan mesin pompa.

Gambar 6. Sumur dan Kolam/bak air tempat wudhu Sumber: Team Artistik
Sejarah Masjid Sultan Moloku Kie Raha, 2015.

Gambar 7. Telaga Sumber Mata Air


Masjid Sultan Sumber: Team Artistik Sejarah Masjid Sultan Moloku Kie Raha

6. Perayaan/Ritual Keagamaan

Selain sebagai tempat ibadah, masjid oleh umat Islam difungsikan pula sebagai
wadah kegiatan sosial, organisasi, dan kegiatan positif lainnya. Menurut pakar
kebudayaan Islam asal Palestina, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, masjid
tidak hanya berfungsi sebagai tempat ritual murni, ibadah mahdah seperti shalat
dan iktikaf, sebab Masjid Nabawi juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan,
sentra pendidikan, markas militer, bahkan lahan sekitar masjid pernah dijadikan
sebagai pusat perdagangan (Priyatmoko, dkk., 2014).

Masjid bisa difungsikan sebagai pusat ibadah ritual maupun pusat kegiatan umat
( islamic center ). Tak terkecuali dengan Masjid Sultan ‘Sigi Lamo’, Ternate,
aktivitas dakwah, ibadah, dan pendidikan berlangsung berkesinambungan tanpa
meninggalkan tradisi yang berakar pada budaya lokal. Masjid Sultan ‘Sigi
Lamo’ juga mengusung sejumlah adat tradisi yang bernafaskan keislaman,
diantaranya:

1. Masyarakat Adat Kesultanan Ternate secara tradisional memandang bahwa


sultan mereka selain merupakan pemimpin tertinggi lembaga adat dan
pemimpin tertinggi agama Islam di Ternate. Oleh karena itu sultan diberi gelar
‘Amirudin’ atau pemimpin Agama Islam.

2. Dalam pelaksanaan ritual-ritual keislaman oleh sultan, beberapa tradisi dan


adat istiadat berbaur dengan hal-hal yang bukan rukun dan syarat agama. Hal
tersebut tercermin dari pawai ‘Kabasarang Kolano’ yang digelar khusus saat
sultan akan melakukan shalat pada malam ‘Ela-ela (Lailatul Qadar) di Bulan
Ramadhan serta pada pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

3. Adzan dilakukan oleh empat orang muadzin secara bersamaan dalam tangga
nada suara yang sama.

4. Keharusan menggunakan pakaian jabatan (jubah dan daster) pada shalat-


shalat tertentu, seperti shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat tarwih, shalat Idul
Fitri dan Idul Adha. Hal serupa juga berlaku bagi para Bobato Dunia yang
berjubah hitam.

5. Ketika memasuki masjid dan usai shalat sunat, para Bobato Dunia yang
berjubah hitam mengambil tempat di saf pertama bagian kanan, dan para
Bobato Akhirat yang berjubah putih dan warna warni mengambil tempat pada
bagian kiri dan duduk menghadap ke depan. Ketika adzan akan dimulai,
semuanya berbalik duduk menghadap kiblat.

6. Masyarakat adat dan para jamaah lainnya yang bersembahyang di Sigi Lamo
harus menggunakan celana panjang dan penutup kepala pada saat shalat Jumat,
shalat malam Qunut, malam Lailatul Qadar, shalat Idul Fitri, dan Idul Adha.
Pemakaian sarung tidak diperkenankan. Pada pawai ‘Kabasarang Kolano’,
misalnya di malam Ela-ela (Lailatul Qadar), Sultan akan dibawa ke Sigi Lamo
dengan cara dipikul atau diusung menggunakan tandu oleh pasukan kerajaan
dengan diiringi tabuhan ‘Totobuang’ (semacam gamelan) yang ditabuh sekitar
dua belas anak kecil yang mengenakan pakaian adat lengkap dan berjalan di
depan tandu sultan. Konon alat musik ini merupakan pemberian Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik) ketika salah seorang Sultan Ternate berguru kepadanya.
Sedangkan permaisuri sultan ‘Boki’ pada jaman dahulu tidak terdapat tata cara
untuk memikul/mengusung ke Masjid Sultan.

Anda mungkin juga menyukai