Anda di halaman 1dari 19

MESJID AGUNG PONDOK TINGGI

Lokasi Masjid Jami Pondok Tinggi kini berada ditengah tengah pemukiman warga di Jalan.
Depati Payung, RT.02 Desa Pondok Tinggi. Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Balai
pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi telah melakukan inventarisir dengan Nomer
Registrasi. REG.2/DJB/KRC/11/2011. Koordinat 02”03’57.97” dan 101”23’37.59” BT.
Koordinat UM 47M 766273 9771432. Surat Penetapan Benda Cagar Budaya dengan SK.
Mendiknas No. 0045/M/2000 dan Menbudpar No. KM.11/PW.007/MKP/2004.

Menurut masyarakat setempat, pembangunan masjid ini dimulai pada Rabu, 1 Juni 1874.
Dibangun dengan cara swadaya gotong royong warga muslim setempat, waktu itu
berjumlah 90 Kepala Keluarga. Sejak tahun 1874 – 1890, bangunan masjid ini walaupun
masih berdinding bambu, tapi oleh masyarakat Pondok Tinggi, sudah dijadikan tempat
sholat berjamaah dan juga sholat Jumat. Awalnya dinding masjid terbuat dari anyaman
bambu dan pada tahun 1890, oleh masyarakat setempat, dinding yang terbuat dari
anyaman bambu tersebut diganti dengan kayu yang diukir dengan indah. Tokoh tokoh yang
ikut menggagas pembangunan Mesjid tersebut antara lain H.Ridho dari Rio Mendaro,
H.Sudin dari Rio Senggaro, H.Thalib dari Rio Pati dan H.Rajo Saleh dari Rio Temenggung,
khusus untuk Desaian digunakan Desain yang dibuat oleh H.Ridho dari Rio Mendaro.

Untuk mengerjakan rancangan tersebut, dipilih 12 tukang bangunan yang dianggap memiliki
keahlian mumpuni. Ke 12 orang tukang bangunan tersebut bertugas membantu mengukur,
memotong, dan memilah berbagai komponen bangunan. Sementara itu, masyarakat
setempat turut serta membantu pembangunan secara bergotong royong, terutama dalam
menyediakan bahan-bahan untuk keperluan pembangunan.

Semangat gotong royong dan rasa kekeluargaan membangun masjid ini terasa sangat
kental, hal ini dibuktikan dengan secara bersam-sama melakukan peramuan kayu,
pembentukan materi dan setelah ramuan kayu gelondongan untuk bahan bangunan masjid
sudah siap, lalu ditarik secara bersama sama dengan menggunakan tali yang berasal dari
Rotan Manau, kegiatan menarik ramuan kayu-kayu tersebut oleh masyarakat disebut “
Naheik Pamau”.
Jenis ramuan kayu untuk bangunan mesjid menggunakan kayu berkualitas tinggi seperti
kayu Letou,Kayu Tuai,atau kayu medang Jangkat. Kegiatan pengambilan kayu mulai dari
proses penentuan jenis kayu, penebangan kayu hingga ditarik ke lokasi pembangunan
dilakukan secara bergotong royong yang pengerjaannya dikepalai oleh beberapa kepala
tukang yang ahli, para ahli adat dan ulama ulama, dengan diiringi kesenian tradisi Kerinci
“Tale asuh Sike” untuk memberi semangat bagi para pekerja bangunan, sedangkan untuk
makanan ringan mereka disuguhi makanan khas kerinci “Lempouk” Lemang” dan minuman
“air sebuk daun kawo” dengan campuran gula enau. Untuk makan siang para wanita
wanita dan ibu ibu rumah tangga mempersiapkan makanan masakan khas Kerinci berupa ,
gulai merah “Temedeak” ( gulai nangka muda masakan khas Kerinci) samban suhein,
samban kapanjang, samban puaing, samban umbu penyelang, dengan sayur ‘Cekehaa
anyang daun Sapilo mudea” dan gulai Kalado“.

Sebelum kedatangan Belanda di tahun 1903, tepatnya pada tahun 1902, Mesjid ini telah
dirampungkan pembuatannya. Hal ini dapat diketahui dari Salokoh adat Pondok Tinggi yang
mengatakan:

“Ditakeak kamintan tinggal


Babuah kamintan mudea.
Senan hatai uha Pondok Tinggi
Sjoik sudah Belanda tiba”.

Artinya:
“Ditakik kamiri tinggi
Berbuah kamiri muda.
Senang hati orang Pondok Tinggi
Mesjid sudah Belanda tiba”.

Pada tahun 1953, Wakil Presiden Republik Indonesia Muhamad Hatta yang ketika itu
mengunjungi Kerinci - pada saat itu Kerinci masih berada dalam lingkungan administrasi
Kabupaten Pesisir Selatan –Kerinci ( PSK ) Propinsi Sumatera Tengah - menambahkan nama
mesjid Pondok Tinggi menjadi mesjid Agung Pondok Tinggi. Muhammad Hatta mengagumi
konstruksi, seni ukiran dan keunikkan masjid ini dan menyarankan agar mesjid ini dibiarkan
dalam bentuk konstruksi asli dan jangan diberi loteng dengan tujuan dimasa mendatang
mesjid ini akan dijadikan objek penelitian bagi generasi generasi dimasa yang akan datang.
Hingga kini masjid ini tidak hanya sebagai tempat sholat saja tapi juga sebagai tempat
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan sosial.

Mesjid Agung Pondok Tinggi sekarang menjadi ikon Kota Sungai Penuh dan salah satu dari
lambang kota Sungai Penuh. Filosofi atap masjid berkaitan dengan 3 (tiga) filosofi hidup
yang dijalankan sehari-hari dengan makna yang lebih luas, yaitu :

- Berpucuk satu, melambangkan bahwa masyarakat Kota Sungai Penuh beriman


kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- Berjurai empat, melambangkan Kaum 4 jenis bersatu (Ulama, Adat, Cendikiawan
dan Pemuda) dalam pembangunan Kota Sungai Penuh;
- Bertumpang tiga, melambangkan keteguhan masyarakat dalam menjaga 3 pusaka
yang telah diwariskan secara turun temurun yaitu pusaka Teganai, pusaka Ninik
Mamak dan pusaka Depati.

Mesjid Agung Pondok Tinggi


Sumber: Dok.pribadi
Arsitekur Masjid Agung Pondok Tinggi dibangun mengikuti model arsitektur masjid asli
Nusantara dengan ciri atap limas tumpang tiga. Luas bangunan Mesjid Agung Pondok Tinggi
adalah 30 x 30 m, yang dibangun di atas lahan seluas 1.225 m. Pada bagian depan masjid ini
terdapat tanah mendapo yang menjadi pusat pelaksanaan upacara adat kenduri sko.
Dengan batas-batas sebagai berikut:
Utara : Jl. Depati Payung
Timur : Pemukiman Penduduk
Selatan : Pemukiman Penduduk
Barat : Jl. M.Kukuh

Sumber: BP3 Jambi

ATAP MESJID
Atap Mesjid Agung Pondok Tinggi berbentuk Atap Tumpang bersusun tiga, seperti halnya
masjid-mesjid kuno di Nusantara. Bentuk atap ini dalam bahasa Pondok Tinggi disebut:
“Bapucouk Satau, Barampek Jure, Batingkat Tigea”
Hal tersebut menunjukan susunan Pemerintahan Dusun Pondok Tinggi, yaitu:
a. Bapucouk Satu (Berpucuk Satu)
Melambangkan bahwa masyarakat setempat mempunyai satu kepala adat, Depati Payung
nan Sekaki, dan beriman kepada Tuhan Yang Esa (satu). Keatas satu pucuk kebawah satu
urat.

b. Barampek Jure (Berempat Jurai)


Empat Bidang Sudur. Melambangkan empat Luhah, empat Rio (Ninik Mamak), empat Imam
Pegawai. Mereka semua di atur oleh adat dan syarak.

c. Batingkat Tigea (Bertingkat Tiga)


Simbolisasi dari keteguhan masyarakat dalam menjaga 3 pusaka (tiga takah) yang telah
diwariskan secara turun-temurun, yaitu pusaka tegenai, pusaka ninik mamak, dan pusaka
depati.
Pada awalnya atap masjid ini terbuat dari sirap atau ijuk, namun karena sirap sulit untuk
diperoleh, saat ini atap masjid tersebut diganti dengan menggunakan seng.

Sumber: Dok. Pribadi


Ornamen di bawah atap masjid Pondok Tinggi
(Sumber foto : pondoktinggi290.blogspot.com)

Detil ukiran dibawah ujung atap


(Sumber foto : tourismjambi.com)
Bagian puncak atap masjid sebelumnya terbuat dari batu, berbentuk gada dengan lapik
berbentu bulat pipih. tapi karena tersambar petir, maka sekarang diganti dengan
replikanya.

Puncak atap masjid Agung Pondok Tinggi


Sumber: Dok. Pribadi

MENARA ADZAN
Menara adzan masjid ini tidak berada di liuar masjid, tapi berada di dalam masjid.
Berbentuk segi empat, dengan ukuran 2.60 x 2.60 meter. Terbuat dari kayu yang dihiasi
ukiran-ukiran yang indah. Dari lantai menuju menara terhubung dengan tangga, dengan
jumlah anak tangga sebanyak 17 buah, Angka 17 dianggap sebagai angka yang baik dan juga
merupakan jumlah rakaat shalat wajib lima waktu, lalu dilanjutkan dengan titian gantung
sebanyak tiga anak tangga.
Menara Adzan Mesjid Agung Pondok Tinggi
Sumber: Dok. Pribadi

Menara Adzan Mesjid Agung Pondok Tinggi


Sumber: Dok. Pribadi

TIANG PENYANGGA
Masjid Agung Pondok Tinggi ditopang 36 tiang penyangga. Ke 36 tiang tersebut dibagi
menjadi 3 kelompok tiang, yaitu tiang panjang sembilan (tiang tuo), tiang panjang limau
(panjang lima), dan tiang panjang duea (tiang panjang dua). Tiang-tiang tersebut ditata
sesuai dengan ukuran, komposisi, dan letaknya masing-masing.
Sususnan letaknya adalah sebagai berikut:
a. Tiang panjang sembilan (Tiang Tuo) disebut juga “Sako Guru”
Berjumlah sebanyak empat buah tertata membentuk segi empat yang terletak di
ruangan bagian dalam. Panjang tiang ini 9 depa atau sekitar 15 meter, jarak antara
satu tiang dengan lainnya adalah 10-11 m. Pada dasar Tiang Tuo tersebut ditanam
benda logam dari emas (paku emas) untuk menolak bala, dan pada puncaknya diberi
kain berwarna merah dan putih sebagai lambang kemuliaan.
b. Tiang panjang limau (Panjang Lima)
Berjumlah 8 buah tertata membentuk segi empat dan tiang-tiang ini terletak di
ruangan bagian tengah. Panjang tiang 5 depa atau sekitar 8 m. Delapan buah tiang
ini menunjukan adanya adat yang mempunyai sanksi hukuman berat yaitu “pucuk
larangan yang 8”.
c. Tiang panjang duea (Panjang Dua)
Berjumlah 24 buah tertata membentuk segi empat dan terletak di ruangan bagian
luar. Panjangnya 2 depa atau sekitar 5.4 m
Tiang Penyangga Mesjid Agung Pondok Tinggi
Sumber: Dananwahyu.com

Selain ketiga tiang penyangga tersebut, ada juga yang disebut dengan Tiang Gantung.
“Tiang gantung” terdiri dari dua tiang yaitu tiang gantung dan tiang sambut, dimaksudkan
agar tiang tersebut memiliki daya lenting dan elastis sehingga tahan terhadap gempa bumi,
yang memang sering terjadi di akawasan tersebut. Dan juga berfungsi untuk menopang
puncak masjid yang tingginya sekitar 7 meter
Tiang Gantung Mesjid Agung Pondok Tinggi
Sumber: Robbihafzan

Ruangan Utama
Masjid Agung Pondok Tinggi berukuran 30 x 30 meter dengan tinggi bangunan setinggi 100
kaki atau sekitar 30,5 meter dari lantai dasar hingga ke puncak atap. Uniknya bangunan
masjid Agung pondok tinggi ini tidak menggunakan Paku atau logam, kayu yang digunakan
adalah jenis kayu yang keras dan tidak dimakan rayap, masyarakat menyebut jenis kayu ini
dengan “kayu latae” atau “kayu Tuai”, didapat dari hutan di sekitaran wilayah kerinci.
Dinding masjid dihias dengan ukiran motif tumbuhan dan mempunyai kisi-kisi yang
berfungsi sebagai ventilasi. Dilengkapi dengan berbagai hiasan motif geometris. Pada setiap
sudut dinding terdapat hiasan motif sulur-suluran. Sedangkan lantai masjid terbuat dari
ubin.

MIHRAB
Mihrab masjid mengarah 64 derajat dari titik utara. Denahnya berbentuk persegi apanjang
dengan ukuran 3.10 X 2. 40 m. Mihrab masjid bebentuk lengkung dan dihiasi dengan
tempelan porselen di bagian dindingnya.

MIMBAR
Mimbar mesjid berukuran 2.40 X 2.80 m, dihiasi dengan ukiran semacam bunga padma,
kala makara, daun-daunan dan bunga. Terdapat empat buah anak tangga yang menuju
mimbar. Dibagian atasnya terdapat atap yang berbentuk kubah.
Mimbar Mesjid Agung Pondok Tinggi
Sumber: Dok. Pribadi

PINTU MESJID
Masjid ini mempunyai 2 buah pintu masuk berdaun ganda, masing-masing berukuran 1.85 x
2.22 meter, yang berhiaskan ukiran dengan motif sulur-suluran, yang menyerupai huruf “S”.
Ukiran ini merupakan ciri khas kerinci, seperti terdapat pada Bejana Perunggu Kerinci dan
Bejana Perunggu Madura yang berada di Jakarta.
Pintu Masuk Mesjid Agung Pondok Tinggi
Sumber: Dok. Pribadi

DINDING MESJID
Dinding terbuat dari papan yang dipotong-potong pendek dan disusun berpetak-petak. Jika
dilihat susunanya dari bawah ke atas terdiri dari tiga petakan dinding. Hal ini berkaitan
denga fisofi adat berjenjang naik bertangga turun. Juga sejalan dengan bentuk atap yang
tumpang tiga. Satu sama lain antar dinding tidak menggunakan paku dan iktan, tapi
menggunakan orong-orong, sehingga saling pegang memegang (Djafar, Anas Madjid)

Dinding masjid agak miring keluar, seperti halnya bentuk bangunan rumah larik dan
lumbung padi yang ada di kawasan ini. Pada dinding masjid terdapat hiasan sulur-suluran
dan bunga.

Dinding Bagian Dalam Mesjid Agung Pondok Tinggi


Sumber: Dok. Pribadi
Dinding Luar Mesjid Agung Pondok Tinggi
Sumber: Dok. Pribadi

3.1.2.4 Tabuh Larangan

Mesjid Agung Pondok Tinggi mempunyai dua beduk besar. Yang besar disebut “Tabuh
Larangan”. Beduk ini dibunyikan, apabila ada kejadian seperti kebakaran, banjir, dan lain-
lain. Beduk besar ini berukuran : panjang 7,5 m, garis tengah bagian yang dipukul 1,15 m,
dan bagian belakang 1, 10 m. Beduk yang kecil berada di luar mesjid dengan ukuran :
panjang 4, 25 m, garis tengah yang dipukul (bagian depan 75 cm dan bagian belakang 69
cm). Beduk ini dibuat dari kayu yang sangat besar, ditarik beramai-ramai dari rimba
kemudian dilubangi. Semuanya dilakukan secara bergotong royong. Pada Tabuh Larangan
terdapat hiasan motif bunga dan Padma.

Tabuh atau bedug larangan tersebut berada di Masjid Agung Pondok Tinggi. Tabuh ini
terbuat dari satu batang pohon yang utuh tampa penambahan atau tempelan dan
penyambungan, permukaan tabuh dari sapi dan tali pengikatpun terbuat dari kulit. Tabuh
besar ini dibunyikan dikala kedatangan bahaya dan tabuh kecil dibunyikan untuk
pemberitahuan waktu shalat.

Tabuh Larangan
Sumber: Dok. Pribadi
Beduk di Mesjid Agung Pondok Tinggi
Sumber: Dok. Pribadi

Anda mungkin juga menyukai