Anda di halaman 1dari 5

Runutan cerita dalam buku ini mengajak kita untuk menelusuri lintasan paling mahsyur

di Kota Bandung pada awal abad ke-20. Jalan Braga adalah salah satu nama jalan di tengah
kota Bandung yang terkenal terutama pada awal abad ke-20. Jalan ini membentang dari
selatan ke utara sejauh 800 m dari Jalan Asia Afrika (dahulu Groote Postweg) hingga Jalan
Perintis Kemerdekaan. Rasanya tidak ada jalan lain di kota Bandung bahkan mungkin di
Nusantara sebuah nama jalan dan kisahnya dibuat menjadi sebuah buku. Di paruh pertama
abad ke 20 Bragaweg (Jalan Braga) adalah jalan paling mashyur dan telah menjadi landmark
kota Bandung. Jika Bandung pernah dikenal dengan sebutan Parijs van Java pada dasawarsa
1930-an (sebagai sanjungan Bandung), tampaknya hanya jalan Braga yang paling mewakili
sebutan itu serta yang paling mewakili rupa dari sanjungan itu karena Braga merupakan jalan
pertokoan yang paling bernuansa Eropa di seluruh Hindia yang memiliki keunikan dan daya
tarik yang khas. Julukannya sebagai de meest Europeesche winkelstraat van Indie atau
jalan pertokoan paling (bernuansa) Eropa di seluruh Hindia menunjukkan bahwa lintasan
yang satu ini punya keunikan dan daya tarik yang khas.
Istilah Parijs van Java sendiri hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan
tepatnya mulai digunakan. Namun demikian, setidaknya sebuah buku berjudul Boekoe
Penoenjoek Djalan Boeat Plesiran di Kota Bandoeng dan Daerahnja yang kemungkinan
diterbitkan tahun 1906 telah menyebutkan Bandung sebagai Parisnya tanah Jawa.
Kenyataannya

memang

pada

masa

itu

sudah

tampak

upaya-upaya

yang

mewujudkan Bandung seperti kota Paris seperti mulai dibangunnya societiet, bioskop, caf
dan restoran, gedung kesenian, serta taman hiburan rakyat yang mampu menghidupkan
suasana malam Bandung seperti suasana Paris di malam hari.
Jalan Braga berawal dari sebuah jalan pedati untuk mengangkut kopi dari sebuah
gudang kopi yang terletak dekat dengan ujung Jalan Braga sekarang ke Jalan Raya Pos.
Hingga tahun 1910 di kiri kanan jalan terdapat rumah-rumah dengan pekarangan yang luas.
Meskipun ada toko, tetap letaknya menjorok agak ke dalam. Barulah pada tahun 1920-an
dibangun trotoar yang lebar di kiri kanan jalan kemudian toko-toko berdiri pada sempadan
trotoar tanpa menyisakan pekarangan. Toko-toko di sini menjual keperluan orang-orang Eropa
yang bermukim di Bandung, baik keperluan sandang, restoran, dan gaya hidup umunya
bercita rasa Eropa.

Upaya-upaya mewujudkan Bandung yang bernuansa Paris mencapai puncaknya pada


masa 1920-1930 terlebih ketika Pasar malam tahunan Jaarbeurs pada tahun 1920 (sekarang
lokasi Gedung Kodiklat TNI AD Jl. Aceh) dipromosikan hingga ke luar negeri. Slogan Parijs
van Java juga makin populer setelah Boscha sering mengutipnya di berbagai pidatonya. Selain
itu di pada masa 1920-1940 Bandung juga dikenal sebagai pusat mode seperti halnya Paris.
Saat itu di Braga berdiri berbagai toko mode diantaranya toko mode Au Bon Marche milik
orang Perancis yang spesialis menjual pakaian-pakaian mode terbaru dari Perancis. Toko
mode Au Bon Marche yang dibuka tahun 1913 selalu menyajikan mode terbaru dan mahal
yang sedang 'trend' di Paris. Toko ini sering beriklan di media berbahasa Belanda dengan
istilah-istilah Perancis sehingga berperan dalam pencitraan kota Bandung dengan sebutan
Parijs van Java. Sayang gedungnya kini terbengkalai. Awal tahun 2011 atap gedung roboh
karena lapuk atau bocor pada atap yang dibiarkan.
Di masa kini Braga tak ubahnya seperti jalan-jalan umum lainnya yang padat dan
berdebu. Namun di tengah kemacetan Braga pada jam-jam sibuk kita atau suramnya Braga di
waktu malam kita masih bisa menikmati sedikit sisa-sisa kejayaan Bandung tempo dulu.
Bagaimana caranya? Bacalah buku berjudul Braga Jantung Parijs van Java, dan kita akan
diajak menyusuri sepanjang Braga sambil mengorek-ngorek apa saja yang tersisa dari masa
keemasan Braga. Buku setebal 167 halaman ini memang disusun laiknya panduan wisata jalan
kaki sehingga pembaca dapat menyusuri sepanjang Braga mulai dari sisi paling selatan di
pertigaan jalan Asia Afrika dan Jalan Braga hingga ke berakhir di ujung utaranya di
persimpangan Jalan Braga, Jalan Wastukencana, dan Jalan Perintis Kemerdekaan sekarang.
Mulai dari gedung bekas toko Van de Vries hingga berakhir di gedung Javasche Bank (kini
Bank Indonesia). Ada lebih dari 30 bangunan (sekitar 35 obyek) yang dibahas dalam buku ini,
ada yang masih ada hingga kini, namun ada juga yang sudah hilang tak berbekas dan
digantikan dengan bangunan yang lebih modern. Ada yang disebutkan di buku ini mulai dari
ujung selatan hingga utara ada berupa toko fesyen, bank, restoran, toko buku, show
room mobil lengkap dengan tempat test drive, perkampungan, maupun lokalisasi bisnis
syahwat kelas atas. Seolah-olah kita diajak berjalan kaki dari satu obyek ke obyek lainnya dan
diceritakan mengenai sejarahnya. Dengan dibuatnya buku Braga ini bukan untuk mengagungagungkan atau mencontoh gaya hidup Eropa-Belanda, tetapi ada teladan bagaimana
pengelolaan sebuah kota, tata kota dan peruntukannya.

Masing-masing bangunan penting sepanjang Braga itu dikisahkan dengan menarik dan
cukup detail lengkap dengan kondisinya di masa kini. Dari kisah puluhan bangunan yang
terdapat dalam buku ini yang mendapat porsi bahasan yang banyak dibahas adalah Gedung
Societeit Concordia (Gedung Merdeka) yang menjadi pusat hiburan masyarakat Belanda di
Bandung. Societeit Concordia awalnya adalah nama perkumpulan yang terdiri dari para
Preangerlpanter (pengusaha perkebunan di Priangan) dan para elite kota Bandung. Pada 1895
perkumpulan tersebut menempati gedung yang diberi nama Gedung Societeit Concordia. Pada
tahun 1940 gedung Societeit Concordia mengalami renovasi yang mengubah penampilannya
hingga berbentuk seperti sekarang. Di sinilah Societeit Concordia sebagai perkumpulan kaum
elite mencapai puncak popularitasnya
Gedung yang dapat menampung 1.200 orang ini dilengkapi dengan ruang makan, ruang
dansa yang luas, ruang bowling serta perpustakaan yang cukup lengkap dengan ruang bacanya
. Setiap akhir pekan gedung ini diadakan berbagai pertunjukan seni seperti konser musik
(Ismail Marzuki & WR Supratman pernah berkonser di tempat ini) , tonil, dan dansa.
Sedangkan di hari minggu pagi gedung ini juga dipakai oleh anak muda Belanda untuk
bermain sepatu roda. Maraknya kegiatan yang dilakukan di dalam gedung ini membuat
seorang pelancong Belanda, L.H.C. Horsting menyimpulkan bahwa tidak ada Societeit di
seluruh Hindia Belanda yang dapat mengalahkan Societeit Concordia Bandung. Setelah
melewati segala kemeriahan dan masa keemasan sebagai pusat hiburan bergengsi pada zaman
Hindia Belanda, gedung ini kemudian menjadi terkenal ke seluruh dunia karena menjadi
tempat Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Tentunya kita bisa membayangkan
bagaimana semaraknya suasana gedung ini di masa lampau, jauh berbeda dengan kondisinya
kini yang hanya menjadi sebuah museum bisu yang jarang sekali dipakai untuk aktivitas seni
seperti di masa lampau.
Setelah gedung Soceiteit Concordia, gedung legendaris yang mendapat porsi bahasan
agak panjang dalam buku ini adalah Maison Bogerijen (Braga Permai) dimana ada lambang
kerajaan Belanda yang terpampang di muka restoran ini. Restoran ini dikenal sebagai restoran
paling elite di seantero kota yang mendapat piagam restu langsung dari ratu Belanda. Maka
dari itu tidak heran jika Maison Bogerijen adalah satu-satunya restoran yang diizinkan
menyajikan berbagai hidangan istimewa khas kerajaan Belanda yang tidak bisa ditemukan di

sembarang tempat. Untuk urusan perut tersebutlah Maison Bogerijen, kini masih ada
bekasnya dengan nama restoran Braga Permai. Restoran ini didirikan tahun 1918 di sudut
Jalan Braga dengan Jalan Lembong (dahulu Oude Hospitalweg) kemudian pindah ke bagian
tengah Jalan Braga pada tahun 1923 hingga sekarang.Di sini disajikan beberapa menu khas
Kerajaan Belanda.
Selain kedua gedung diatas, masih banyak gedung-gedung lain yang tak kalah
menariknya yang dibahas dalam buku ini seperti gedung DENIS Bank dengan gaya bangunan
unik yang merupakan bank pertama kali menggunakan system hipotek di Bandung, Het
Snopheus (Sumber Hidangan), toko mobil Fuchs en Rens yang menjual mobil-mobil terkenal
(Peugeot, Renault, Chlyser, Plymouth,dll). Lalu ada pula toko buku van Dorp (sekarang
gedung Landmark) yang memiliki cara pemasaran unik yang secara tidak langsung
menggiring warga Bandung untuk keranjingan menanam bunga.
Jalan Braga kini sudah kehilangan beberapa bangunan yang tergolong cagar budaya dan
seharusnya dilindungi. Tanpa bangunan-bangunan ini jalan Braga kehilangan ruhnya.
Berbagai festival dan acara lainnya yang diselelnggarakan bertema Braga atau dilangsungkan
di jalan ini tidak bisa mengangkat pamor Jalan Braga ke tingkat jaman keemasannya. Menarik
memang menyusuri sepanjang Braga bersama buku ini. Hanya saja satu hal yang disayangkan
adalah tak adanya kisah-kisah humanis dibalik keberadaan gedung-gedung yang dibahas
dalam buku ini karena buku ini hanya mendeskripisikan sejarah gedung, fungsi bangunan di
masa lampau, arsitek pembuatannya, dan lain-lain. Jika saja penulis memasukkan sedikit
kisah-kisah remeh temeh yang merupakan bagian dari orang-orang yang tingal di gedunggedung ini tentunya buku ini akan lebih menarik lagi dan gedung-gedung yang dibahas dalam
buku ini akan terasa lebih bernyawa jika kita mengunjunginya saat ini.
Karena format buku yang kecil, tidak terlalu tebal, bahasan yang runut, mudah dicerna
dan informatif karena dilengkapi dengan daftar istilah, indeks, peta, dan tampilan foto-foto
yang tajam membuat buku ini sangat nyaman dibawa sebagai pedoman dalam menyusuri
sepanjang Braga untuk menemukan serpihan-serpihan kejayaan Braga di masa lampau. Buku
ini dibuat laiknya panduan wisata jalan kaki menelusuri Jalan Braga. Kisah Braga dimulai
dari ujung selatan lintasannya hingga berakhir di ujung utaranya. Menelusuri Braga dipandu
buku ini adalah salah satu cara mengasyikan untuk mengenal sekelumit kisah kejayaan

Bandung tempo doeloe. Buku ini tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, melainkan lebih
sebagai buku populer yang diharapkan menjadi buku wisata sejarah. Tujuannya adalah
untuk meramaikan dan memberikan variasi dalam penulisan tentang Kota Bandung yang
sudah dibuat sebelumnya, sekaligus upaya pengembangan pariwisata lokal serta peningkatan
kesadaran sejarah, khususnya dalam lingkup Kota Bandung. Selain itu kehadiran buku ini
juga ikut melengkapi sejumlah buku tentang Bandung yang telah ditulis selama ini. Satu hal
yang menarik, walau dikemas dalam gaya popular, namun salah satu penulis dari buku ini
adalah lulusan dari jurusan sejarah. Selama ini buku-buku tentang Bandung ditulis oleh
budayawan, wartawan, dan ahli planologi. Namun siapapun yang menulisnya dan apapun
yang dibahas mengenai Bandung di masa lampau, buku-buku tersebut, termasuk buku ini
bukanlah sekedar hanya menigsahkan kembali sejarah panjang sebuah kota. Ada banyak hal
yang positif yang bisa dipelajari, ditimbang, dan mungkin dijadikan teladan khususnya
bagaimana mengelola sebuah kota baik untuk masa kini maupun di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai