Dalam Kitab “Tiga Serangkai Ulama Tanah Betawi” karya Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, terbitan tahun 2009, dikatakan bahwa ada tiang Pancang Ulama Betawi yang nantinya melahirkan geneologi ulama Betawi yang menjadi paku bumi rakyat Betawi dalam mengembangkan Islam dan menjadi inspirasi melawan penjajah dan penguasa yang lalim. Ketiga Ulama Betawi Habaib dimaksud adalah Al-Habib Ali Kwitang, Al-Habib Ali Bungur dan Al-Habib Salim Jindan. Sunggguhpun memiliki misi yang sama untuk mengembangkan Islam akan tetapi karakter ketiga ulama ini berbeda. Di bawah ini profile singkat ketiga ulama habaib tersebut. Nama lengkapnya adalah Al-Habib Ali Kwitang bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husien bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi bin Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Saw. Beliau lahir di tanah Betawi dari ibu asal Betawi Hajjah Salmah, Jatinegara, pada 20 April 1870 dan meninggal 13 Oktober 1968 dalam usia 102 tahun. Ketika di Hadramaut,Yaman, beliau studi di Rubat, sebuah istilah untuk Pondok Pesantren di sana. Beberapa gurunya dapat disebutkan antara lain adalah Al-Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Aydrus, Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Al-Imam al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas dan Al-Habib Alwi bin Abdurrahman al-Masyhur. Tahun 1886 beliau kembalil ke tanah air, Betawi. Di Betawi beliau meneruskan studinya dengan beberapa guru di antaranya adalah Al- Habis Utsman bin Abdullah bin Yahya, Guru Abdul Hamid, Jatinegara, KH. Mujtaba bin Ahmad, Jatinegara, Al-Habib Muhammad bin Alwi Shulaibiyah Al-Aydrus, Al-Habib Salim Al-Jufri, Al-Habib Husien Al-Attas, Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, Keramat Empang Bogor, Al-Habid Ahmad bin Muhsin Al-Haddar, Bangil, al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Bondowoso. Pada usia 21 tahun beliau menunaikan ibadah haji sembari rihlah ilmiah dan mendalami berbagai ilmu-ilmu keislaman antara lain kepada As-Sayid Umar bin Muhammad Syatha’, Syeikh Muhammad Said Babshil, Syeikh Umar bin Abubakar Bajunaid, dan Syeikh Umar Hamdan al-Maghribi. Di Madinah beliau berguru kepada Al-Habib Ali bin Ali al-Habsyi, Al- Habib Abdullah Jamalullail, dan Syeikh Sulaiman bin Muhammad al-Azabi. Di kota inilah beliau mendapat ijazah untuk menyiarkan Maulid Al-Azab dari Putera Shahibul Maulid, Syeikh Umar bin Muhammad bin Muhammad al-Azabi. Demikianlah paparan di atas menerangkan dengan jelas begitu banyak Guru Besar yang menjadi rujukan beliau dalam menimba ilmu-ilmu keislaman. Jadilah Al-Habi Ali Kwitang seorang ilmuwan Islam yang mumpuni di bidang Aqidah (Ushul), Ilmu Fiqh dengan kedalaman berbagai cabangnya, dan terakhir beliau menekuni dan mengamalkan Tasawwuf (Ihsan-Akhlaq) terkait dengan kebersihan hati dalam beramal dan berbuat. Bekal inilah yang dimiliki Al-Habib Ali Kwitang sebeluam terjum di Masyarakat. Pasca studi di Haramain beliau mulai aktif terjun di Masyarakat dengan mendirikan Majelis Taklim atas dorongan dari para jamaah dan muridnya. Perkiraan Tempat Studi Agama yang bersifat sorogan ini (Majelis Taklim pertama di Betawi) didirikan pada awal Abad ke-20 di Kwitang. Hal ini dikaitkan dengan kepulangan beliau dari ibadah haji pertama kali tahun 1894 sembari beberapa tahun muqim dan belajar kepada Ulama Mekkah dan Madinah lebih kurang 6-7 tahun di sana. Sekarang ini majelis taklim ini bermetamorfosa menjadi Islamic Center Indonesia. Selain itu dapat diketahui juga beliau mendirikan madrasah yang diberi nama “Unwatun Falah” pada tahun 1911. Sistem belajar di lembaga pendidikan ini sudah menggunakan sistem kelas yang membedakan untuk Perempuan dan Laki-laki. Dari tempat inilah nantinya lahir Ulama Betawi Kondang yang meneruskan tradisi keilmuan Islam Ulama Betawi. Dapat disebutkan beberapa muridnya adalah KH. Abdullah Syafii, KH. Mu’allim Muhammad Syafii Hazdami, KH. Tohir Rohili, dan KH. Fathullah Harun. Kemudian dari murid-muris beliau meneruskan jaringan dan geneologi ulama Betawi hubungan murid-guru dan sampai sekarang masih diteruskan sanadnya. Kedua ulama Betawi Habaib yang disegani adalah Habi Ali Bungur yang dikenal dengan sikapnya yang bersahaja dan tegas menegakkan agama. Beliau lahir di Huraidhah tanah Hadramaut, Yaman, pada tahun 1891 dan meninggal di Betawi pada 16 Februari 1976 dalam usia 88 tahun. Nama lengkapnya adalah Ali bin Husien bin Muhammad bin Husien bin Jakfar bin Muhammad bin Ali bin Husien bin Umar bin Abdurahman al-Attas bin Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurahman Asegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Alwi al-Ghuyyur bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali Zainal Abidin bin Hussien bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahrah binti Rasulullah Saw. Beliau mendalami ilmu-ilmu keislaman awalnya kepada orang tuanya lalu dengan berbagai ulama yang ada di Hadramaut. Dan ketika di Betawi pada tahun 1920 pada usia 29 beliau sembari berdakwah juga menimba ilmu dengan para Habaib, antara lain Abdullah Muhsin al-Attas, Keramat Empang Bogor, Ahmad Abdullah bin Thalib Al-Attas, Pekalongan, Muhammad Idrus bin al-Habsyi, Surabaya, dan Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Bondowoao. Keahliannya di bidang Fiqih, Filsafat, Tasawwuf dan Perbandingan Mazhab. Selain mengaji model Salafi di rumahnya yang beralamat di Cikini kemudian pindah ke Bungur, sebuah perkampungan di wilayah Senin, Jakarta Pusat, beliau berdakwah dan mengajar juga di beberapa Majelis Taklim, di antaranya At-Thahiriyah, As-Syafiiyah, as- Syiratussafiiyah, al-Habib Abdurahman Asegaf Bukit Duri Jakarta Timur. Murid-muridnya yang terkenal menjadi ulama dapat disebutkan sebagai berikut al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Asegaf, Bukiut Duri, al-Habib Ahmad al-Habsyi, anak Habib Ali Kwitang, al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, pengasuh Potren Darul Hadis, Malang, KH. Mu’allim Syafii Hadzami, KH. Tohir Rohili, KH. Abdullah Syafii, KH, Abdurrazzaq Makmun, Prof. Abu Bakar Aceh, dan KH. Noor Ali, Bekasi. Ketika belia meninggal tahun 1976, surat Kabar Harian Pelita memberitakan pada 17 Februari 1976 demikian. “Penduduk Betawi sangat berduka atas berita wafatnya seorang Mu’allim Besar (wibawanya) al-Habib Ali Husien al-Attas”. Sedangkan Kantor Berita Antara Indonesia menyebutkan bahwa Ribuan jamaah al-Habib Ali Bungur meandengar wafatnya berduyun-duyun mendatangi kediaman beliau untuk memberikan penghormatan terakhir. Salah satu karya tulisnya yang sampai sekarang masih menjadi rujukan para Habaib di Indonesia dan ulama Betawi berjudul “Tajul A’ras fi Manaqib al-Habib al-Qutub as-Shalih bin Abdullah at-Attas’ terdiri daru jilid, tebalnya jilid pertama 812 halaman lalu jidlid kedua 867 halaman diterbitkan tahun 1977. Kitab ini berisi kisah perjalan hidup para ulama, Auliya dan Para Shalihin, yang pernah mereka jumpai khususnya di Hadramaut dalam konteks Rihlah Ilmiah dan migrasi ke Indonesia. Ketiga Ulama Betawi Habaib yang kondang dan disegani baik umara, ulama dan umat dari berbagai kalangan pemeluk agama lain adalah al-Habib Salim bin Ahmad Jindan bin Husien bin Shakih bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan bin Syaeikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Jakfar Shadiq bin Muhammad Baqir bin Zainal Abidin bin Husien bin Ali bin Abi Thalin suami Fatimah az-Zahrah binti Rasulullah Saw. Ulama Betawi ini dikenal sebagai Orator Ulung lahir di kota Suarabaya, 7 September 1906 dan wafat 1 Juni 1969 di Jakarta. Sejak kecil mendalami ilmu-ilmu keislama dari keduanya orang tuanya Habb Ahmad bin Jindan dan ibunya Syarifah Maimunah binti Ali bin Mustafa dan Abu Bakar bin Salim. Menginjak usia remaja beliau mendalami keilmuan Islamnya kepada para Habaib di antaranya Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, Muhaddis dan Faqih waktu itu memimpin Madrasah al-Khairiyah di Surabaya, Abdullah bin Muhsin al-Attas, Keramat Empang Bogor, Muhammad Idrus al-Habsyi Surabaya, Muhammad Ahmad Muhdhor, Bondowoao, Abu Bakar Muhammad Asegaf, Gresik, Ali bin Abdurahman al-Habsyi Kwitang, Alwi Muhammad bin Thohir al-Haddad, Bogor, KH. Khalil bin Abdul Muthalib, Bangkalan Madura. Beliau dikenal ahli bidang Hadis, Tarikh (Sejarah), dan Nasab. Gelarnya adalah Muhaddis dan Musnid. Pada tahun 1940 beliau hijrah ke Betawi dan memulai dakwahnya dengan mendirikan Majelis Taklim Qashar al-Wafiddin seiring sejalan dengan para seniornya yang lain. Dakwahnya tidak hanya di Indonesia saja akan tetapi sampai ke Singapura, Malaysia, Kamboja, Vietnam sembari mengumpulkan dat-data tentang Islam di sana. Da beberapa karya tentang Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Sumatera, Jawa. Hanya sayangnya karya beliau ini belum terlihat sampai sekarang di Perpustakaan Jurusasn Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syahid Jakarta. Salah satu kecerdasan Ulama Betawi ini terlihat ketika beliau ditanya Pendeta. “Habib manakah yang lebih mulia, yang hidup atau sudah meninggal? Jawab beliau; semua orang akan mengatakan bahwa yang hidup lebih mulia. Sebab yang mati sudah menjadi tulang belulang. Lalu kata Pendeta: jika demikian Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdulla. Bukankah Muhammad bin Abdullah sudah meninggal sedangkan Isa bin Maryam menurut keyakinan kami belum meninggal”. “Lah kalau demikian Pendeta, ibu saya lebih mulia Maryam karena Bunda Maryam sudah meninggal sedangkan ibu saya ada di belakang masih hidup”, jawab Habib Salim santai. Tanpa banyak cakap Pendeta izin pamit pulang. Efek dari mujadalah (debat) ini banyak kaum Nasrani masuk Islam. Beliau dimakamkan di dalam Qubbah di Komplek Pemakaman al-Hawi, Cicilitan, Jakarta Timur. Jarang diketahui dan bahkan mungkin tidak tahu Masyarakat Sejarah Indonesia kontribusi Ulama Habaib Betawi terhadap kolonialisme di Indonesia khususnya di Jakarta sekitar. Hal ini karena di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI), yang 6 Jilid itu dipimpin Redakturnya Prof. Sartono Kartodirdjo, UGM, tidak ada dimuat dan dinarasikan perlawanan para Ulama Betawi terhadap penjajah, baik pra dan pasca kemerdekaan. Termasuk Sekolah-sekolah Negeri di DKI Jakarta mulai dari tingkat SD sd SLTA tidak diajarkan sebagai bahan Ajar Muatan Lokal (Mulok). Jadilah para Ulama Betawi baik yang Habaib maupun bukan, sebagai pejuang kemerdekaan tidak dikenal rakyat sendiri kecuali hanya diperkenalkan dalam pengajian-pengajian taklim. Kisah ini berawal dari kebijakan Belanda yang mengeluarkan UU Ordonansi Guru tahun 1905 dan tahun 1925. Latar belakang lahirnya UU Ordonansi ini karena Belanda mengalami kesulitan di bidang ekonomi dan financial yang berdampak luas bagi roda pemerintahan Kerajaan Protestan Belanda baik di Amsterdam dan Hindia Belanda akibat perlawan fisik Perang Jawa tahun 1825-1930 dan Perang Aceh tahun 1873-1904/5. Kesimpulan Belanda elan vital perlawan rakyat pribumi ini adalah ada dalam ajaran agama Islam yang diajarkan para ulama. Sebab itu perlu diawasi materi ajar agama yang disampaikan kepada para murid dan santri. Sebab itulah para ulama umumnya secara sembunyi-sembunyi di rumah mengajarkan agama Islam. Dalam konteks inilah ketika Habib Ali Kwitang mendirikan Majelis Taklim di Jakarta awal abad 20 dianggap secara tidak langsung sebagai perlawanan terhadap kebijakan kolonial di atas. Karena beliau perintis pertama dalam hal ini, yang kemudian diikuti mendirikan lembaga pendidikan formal seperti Unwan al-Falah serta Masyarakat Arab melahirkan Jam’iyah al-Khair di Tanah Abang tahun 1905. Selain itu beliau juga melalui tausiyahnya menyilipkan jiwa jihad terhadap penjajah yang ini dapat diketahui dari perlawawan muridnya seperti KH. Noor Ali dari Bekasi, selain dia juga menempatkan rumahnya untuk para aktivitas Jong Islaminten Bond (JIB) di Jakarta. Pada masa Jepang Salim Jinda ke luar masuk penjara karena mengkritis kebijakan Jepang yang begitu kasar terhadap rakyat Indonesia. Melalui murid-muridnya api dan jiwa perlawanan diteruskan pasca kemerdekaan dalam mempertahankan NKRI periode Revolusi Fisik (1945- 1949). Sayang sekali perlawanan para Ulama Betawi terhadap penjajah ini tidak diketahui rakyat Betawi khsusnya dan umumnya rakyat Indonesia. Habi Ali Bungur selalu menganjurkan jihad melawan penjajah. Fatwanya bahwa penjajah adalah penindas rakyat dan mereka adalah orang kafir yang wajib diperangi. Dalam hal pemberontakan PKI beliau mengatakan bahwa PKI dan komunisme akan lenyap dari NKRI dan semua rakyat Indonesia akan selalu melawan kekuatan atheis. Ini semua berkat perjuangan Ulama dan Auliya yang jasadnya bertebaran di seluruh bumi ini. Demikianlah ketiga Ulama Betawi Habaib di atas berjuang dengan akhlak dan ilmunya. Tentulah masih banyak lagi Ulama Habaib yang belum diangkat ke permukaan dalam bentuk tertulis. Dalam konteks Ulama Betawi setempat juga belum banyak ditulis. Padahal sudah jelas menulis biografi perlawanan Ulama terhadap penjajah dipandang menjadi api pemupuk rasa patriotism dan nasionalism rakyat Betawi ikut berkiprah membangun Bangsa Indonesia. Allah a’lam bi Shawab. Saidun Derani dosen Pascasarjana UM-Surabaya dan UIN Sayahid Jakarta.