Anda di halaman 1dari 8

Muhammad bin abdul wahab

Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di
kampung `Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab
Saudi sekarang. Beliau meninggal dunia pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92
tahun, setelah mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam memangku jawatan sebagai
menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi .

Pendidikan dan Pengalamannya


Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkembang dan dibesarkan dalam kalangan
keluarga terpelajar. Ayahnya adalah ketua jabatan agama setempat. Sedangkan kakeknya
adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala
sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama. Oleh karena itu, kita tidaklah hairan
apabila kelak beliau juga menjadi seorang ulama besar seperti datuknya.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab
sejak masih kanak-kanak telah dididik dan ditempa jiwanya dengan pendidikan agama, yang
diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh `Abdul Wahhab.
Sejak kecil lagi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab sudah kelihatan tanda-tanda
kecerdasannya. Beliau tidak suka membuang masa dengan sia-sia seperti kebiasaan tingkah
laku kebanyakan kanak-kanak lain yang sebaya dengannya.
Berkat bimbingan kedua ibu-bapaknya, ditambah dengan kecerdasan otak dan
kerajinannya, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah berjaya menghafal al-Qur’an 30
juz sebelum berusia sepuluh tahun.
Setelah beliau belajar pada orantuanya tentang beberapa bidang pengajian dasar yang
meliputi bahasa dan agama, beliau diserahkan oleh ibu-bapaknya kepada para ulama setempat
sebelum dikirim oleh ibu-bapaknya ke luar daerah.
Tentang ketajaman fikirannya, saudaranya Sulaiman bin `Abdul Wahab pernah menceritakan
begini:

“Bahwa ayah mereka, Syeikh `Abdul Wahab merasa sangat kagum atas kecerdasan
Muhammad, padahal ia masih di bawah umur. Beliau berkata: `Sungguh aku telah banyak
mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu
Fiqh.’ “
Syeikh Muhammad mempunyai daya kecerdasan dan ingatan yang kuat, sehingga apa
saja yang dipelajarinya dapat difahaminya dengan cepat sekali, kemudian apa yang telah
dihafalnya tidak mudah pula hilang dalam ingatannya. Demikianlah keadaannya, sehingga
kawan-kawan sepermainannya kagum dan heran kepadanya.

Belajar di Makkah, Madinah dan Basrah


Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab diajak oleh
ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang
kelima – mengerjakan haji di Baitullah. Dan manakala telah selesai menunaikan ibadah haji,
ayahnya terus kembali ke kampung halamannya. Adapun Muhammad, ia tidak pulang, tetapi
terus tinggal di Mekah selama beberapa waktu, kemudian berpindah pula ke Madinah untuk
melanjutkan pengajiannya di sana.
Di Madinah, beliau berguru pada dua orang ulama besar dan termasyhur di waktu itu.
Kedua-dua ulama tersebut sangat berjasa dalam membentuk pemikirannya, yaitu Syeikh
Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
Selama berada di Madinah, beliau sangat prihatin menyaksikan ramai umat Islam
setempat maupun penziarah dari luar kota Madinah yang telah melakukan perbuatan-
perbuatan tidak kesyirikan dan tidak sepatutnya dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya
Muslim.
Beliau melihat ramai umat yang berziarah ke maqam Nabi mahupun ke maqam-
maqam lainnya untuk memohon syafaat, bahkan meminta sesuatu hajat pada kuburan
mahupun penghuninya, yang mana hal ini sama sekali tidak dibenarkan oleh agama Islam.
Apa yang disaksikannya itu menurut Syeikh Muhammad adalah sangat bertentangan dengan
ajaran Islam yang sebenarnya.
Kesemua inilah yang semakin mendorong Syeikh Muhammad untuk lebih mendalami
pengkajiannya tentang ilmu ketauhidan yang murni, yakni Aqidah Salafiyah. Bersamaan
dengan itu beliau berjanji pada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika nanti, beliau akan
mengadakan perbaikan (Islah) dan pembaharuan (Tajdid) dalam masalah yang berkaitan
dengan ketauhidan, yaitu mengembalikan aqidah umat kepada sebersih-bersihnya tauhid yang
jauh dari khurafat, tahyul dan bid’ah. Untuk itu, beliau mesti mendalami benar- benar tentang
aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah
karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah
yang sangat terkenal.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya
dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah
semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus
dengan kejayaan Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian beliau berpindah
ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang
diperolehinya, terutaman di bidang hadith danmusthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika
(ilmu qawa’id) dan tidak ketinggalan pula lughatnya semua.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian
dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para
ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah
sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang
bersangkutan.

Gagasan dan Pemikiran Da’wah


Diantara gagasan dan pemikiran da'wah Muhammad bin Abdul Wahab adalah :
1. Mengembalikan Islam kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
2. Berpegang teguh kepada manhâj ahl al-Sunnah dalam mengambil dalil dan membangun
kerangka berfikir.
3. Membersihkan faham tauhid untuk kembali kepada pemahaman yang benar.
4. Berorientasi pada pemahaman tauhid ‘ubudiyah
5. Menghidupkan kewajiban jihad.
6. Menghentikan perbuatan bid'ah dan khurafat yang disebabkan oleh kebodohan.
Jamaluddin Al-Afghani

Dilahirkan di Asad abad pada tahun 1838[1], yakni sebuah distrik di Iran, Jamaluddin
al-Afghani lahir sebagai seorang pembaharu dalam dunia Islam. Ia adalah anak dari sayyid
Safder yang memiliki hubungan darah dengan seorang perawi hadist tekenal, Imam at-
Tirmidzi yang selanjutnya terhubung dengan sayyidina Ali bin Abi Thalib. Masa remajanya
banyak ia habiskan di Afghansitan. Ia adalah anak yang cerdas. Sejak umurnya 12 tahun ia
telah hafal al-Qur`an, kemudian saat usianya menginjak 18 tahun ia sudah mendalami
berbagai bidang ilmu keislaman dan ilmu umum. Al-Afghani dikenal sebagai orang yang
menghabiskan hidupnya hanya demi kemajuan islam. Ia rela beranjak dari suatu negara ke
negara lainnya demi menyuarakan pemikiran-pemikiran revolusionernya, tentunya demi
mengangkat posisi dan martabat Islam yang jauh tertinggal dari dunia barat.
Di zamannya Islam berada di bawah bayang-bayang imperialisme Barat. Kondisi
masyarakat muslim yang jauh dari Islam, menurutnya adalah salah satu penyebab utama
kemunduran dunia Islam. Fanatisme yang masih kental kala itu, belum lagi dengan tidak
adanya rasa persaudaraan di antara sesama muslim yang berkonsekwensi pada minimnya rasa
solidaritas menjadikan masyarakat muslim rentan terhadap perpecahan.

Pemikiran
Tidak adanya kebersatuan di antara umat muslim merupakan titik strategis yang
digunakan oleh kolonialisme Barat untuk menjajah dan sedapat mungkin mengeruk kekayaan
negara-negara Islam. Lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat terhadap ilmu-
ilmu Islam sendiri bahkan dan juga ilmu-ilmu lainnya menjustifikasi bahwa semangat
intelektual yang sangat diagung-agungkan oleh Islam pudar kala itu.
Dengan segenap kesadaran dan semangat intelektual serta tanggung jawab sebagai
seorang muslim, ia hadir demi menegakkan nasionalisme, patriotisme serta yang paling
utama adalah izzul (kemuliaan) Islam. Ia berusaha menyadarkan masyarakat muslim yang
masih sakau dalam mengenang kejayaan Islam di masa lalu, padahal dihadapan mereka
berdiri kekuatan besar imperialisme Barat yang telah menghadang. Menurutnya, sudah
selayaknya Islam bangkit dan melakukan gerakan intelektual ke depan mengikuti gerak
pengetahuan modern.
Diperlukan perubahan radikal dalam pandangan umat, kecenderungan kepada
keyakinan tradisional yang kaku harus ditransformasi pada keterbukaan pikiran dan
rasionalisme yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Labih lanjut Al-Afghani menekankan
akan semangat pengetahuan yang kala itu sedang redup di dunia Islam, dan malah bersemi di
dunia Barat. Semangat yang ada di dunia Barat ini selaras dengan nilai-nilai Islam sejati yang
seharusnya juga bersemi di kalangan masyarakat muslim.
Dengan demikian demi terealisasinya keinginanya dalam memajukan islam,
setidaknya terdapat dua keadaan yang mesti dilakukan oleh umat muslim. Pertama,
perubahan radikal signifikan dalam pola pikir mengenai ilmu pengetahuan dari yang
sebelumnya bercirikan kekakuan kepada keterbukaan dan rasionalisme. Kedua, perlawanan
terhadap segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh imperialisme Barat.
Berkenaan dengan keadaan yang kedua, hal ini dapat kita lihat dari berbagai aktivitas
yang ia lakukan, baik melalui tulisan-tulisannya atau pun melalui dakwah-dakwah yang ia
sampaikan di berbagai belahan negara. Pada setiap negara yang ia pernah tinggal di sana, ia
selalu menyerukan nasionalisme ~terlepas dari agama yang dianut oleh suatu negara~. Di
India misalnya yang kala itu sedang mengalami kondisi kritis ~yakni berada di bawah
kolonialisme Inggris~, ia lebih mendukung nasionalisme urdu ketimbang Islam, karena tidak
ada kebahagiaan selain dalam kebangsaan, dan tidak ada kebangsaan selain dalam bahasa.
[2] Dengan demikian yang menjadi inti dari seruannya adalah perlawanan terhadap
imperialisme barat.
Pun demikian di Afghanistan dan Mesir yang juga berada di bawah imperialisme
barat, yakni Inggris. Usahanya dalam menghapus intervensi asing akhirnya harus kandas,
karena kedua penguasa di dua negara Islam tersebut berada di bawah bayang-bayang mereka
yang akhirnya membuatnya tersingkir serta terusir. Kendati demikian, ia tidak patah
semangat, melalui gerakan intelektual yang ia adakan di rumahnya sewaktu ia berada di
Mesir, ia berdakwah serta berdiskusi dengan para cendekiawan, mahasiswa, serta tokoh-
tokoh gerakan. Begitu juga dengan yang ia lakukan di Paris (Prancis) dengan mendirikan
suatu organisasi, al-Urwatul Wutsqa. Organisasi ini menerbitkan jurnal yang berisi seruan
kepada umat muslim agar bersatu serta meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan
menolak penjajahan, menepis berbagai propaganda Barat terhadap dunia Islam yang
menghasut kaum muslim agar meninggalkan Islam ~karena selama seseorang masih
berpegang teguh pada suatu agama niscaya ia tidak akan bangkit dari keterpurukan.
Muhammad abduh

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah dilahirkan di
desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada
tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan
bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam,
Umar bin Khattab.
Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al Qur'an, dan
berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci dalam
usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia dikirim ayahnya ke perguruan agama
di masjid Ahmadi yang terletak di desa Thantha. Namun karena sistim pembelajarannya yang
dirasa sangat membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syekh
Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang berpengetahuan luas dan
penganut pahamtasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke
Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877.

Manhaj Pemikiran keagamaannya


Islam adalah agama yang terdiri dari beberapaaspek yang saling berhubungan, satu
dengan yanglainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum Islam), dan Akhlak (tasawuf).
Namun dalam kesempatan ini, penulis memilih hanya membahas sedikit manhaj pemikiran
Muhammad Abduh tentang Syariah dan Aqidah. Karena inilah yang mungkin paling
mempengaruhi seseorang dalam bertindak.

Hukum Islam
Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu;
hukum yang pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti
dengan nash dan ijma. Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan
mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah
dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai
dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati
(mujma’‘alaîhi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum
yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh bertaklid. Yang kedua adalah hukum yang tidak
ditetapkan dengan tegas olehnash yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama di
dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah, maka
kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai jelas.
Disinilah peranan paramuj tahid, dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab
fiqh yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalam memahami nash-nash yang
tidak pasti tersebut.
Abduh sangat menghargai paramuj tahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka
adalah orang-orang yang telah mengorbangkan kemampuannya yang maksimal untuk
mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah.
Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi
kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda
tersebut dijadikan sebagai tempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja,
tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam
semua hal adalah kemustahilan.
Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu
sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil
umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli . Untuk itu, Abduh
menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam - sesuai dengan adanya dua
kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam- yaitu mereka yang memilki
ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib
melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut,
karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di
luar ketentuansyara’. Dalam perkembangan zaman, tidak dapat ditahan laju perkembangan
situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang
beberapa pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan
situasi dan kondisinya. Jadi yang merekaijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang
belum ada hukumnya, tetapi juga juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad
terdahulu.
Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti
pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan
ketaqwaan dari orang yang diikuti ya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam
mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu
perbuatan secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahaya
taklid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya
pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu.
Menurut Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih
ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang
mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu,
tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh
dalamberistinbath hukum . Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam,
seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab
tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab.

Anda mungkin juga menyukai