Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang
menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan
nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu
Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga
kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah
Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga
puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren
Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren
Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren
Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai
Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan
ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak
mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil
tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi
buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti
Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang
Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh
cara membaca Al-Quran).
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk
menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan
cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah
Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta
ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya,
akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena,
pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan
selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik
kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang
yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil
menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan
rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil
bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos
pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi,
sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal
tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil
belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten).
Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid
Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh
Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal
diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-
Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk
menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh
dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun
kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan.
Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh
yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka
ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup
mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-
Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-
Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan
temannya itu.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH.
Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu
punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan
dan dimuliakan di antara mereka.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah.
Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh,
tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang
telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa
Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun,
setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai
Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada
menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan,
hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten
Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren
lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja
dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama
yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu
dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge
winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah
Kholil lebih dikenal.
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah.
Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil
mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu,
berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun
bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir
dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri
Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih
banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk
memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah
Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para
pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat
pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka
mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus
berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam,
sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani.
Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur
lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang,
memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren
yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh
melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.
Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat
pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah
perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH.
Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH.
Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum
(pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum),
KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul
`Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).