KH. Abdullah hadziq yang kerap di sapa dengan sebutan Mbah Dullah adalah putra dari pasangan KH. Hasbullah dan Nyai Hj. Suadah. Beliau lahir pada tahun 1900-an,di desa Balekambang. kecamatan Nalumsari, kabupaten Jepara. Ayah beliau (KH. Hasbullah) merupakan keturunan dari kesultanan Demak. Dan dari berbagai sumber mengatakan bahwa Mbah Hasbullah masih memiliki nasab dari sunan Kudus. Dan ada juga yang mengatakan bahwa Mbah Hasbullah merupakan putra dari seorang pria yang tinggal di desa Jati sari yang bekerja sebagai buruh tani. Beliau melepas masa lajangnya dengan menikahi Nyai Hj. Zumrotun,dan dari pernikahannya beliau dikarunia 6 anak yaitu Nyai Hj. Khoiriyyah, Nyai Azizah, Nyai Hj. Nayyiroh, KH. Ma’mun Abdullah Hadziq, Kh. Hayyatun Abdullah Hadziq, K. Muhammad Zumar. Beliau adalah penerus pertama pondok pesantren Balekambang setelah pendiri atau ayahnya (KH. Hasbullah) wafat beliau dikenal sebagai sosok yang wira’I dan zuhud terhadap dunia. “Gadah dunya tapi atine ora kumantil marang dunya”, (Punya harta tapi tidak bergantung kepada dunia.) begitulah istilah yang digambarkan para santri dan masyarakat sekitar terhadap sifat zuhud Mbah dullah. Kezuhudan beliau membuat hidupnya lebih sederhana bahkan dikalangan masyarakat beliau sering dikenal waliyullah atau kyai. Namun beliau hanya ingin dipanggil dengan panggilan “Mbah”. Ungkap Saad yang merupakan salah satu santri Beliau. Dalam berpenampilan,Beliau selalu berpenampilan sedrhana karena mempunyai rutinitas pergi ke pasar secara mandiri, bertopi leken, bercelana dan mendarai dokar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta para Santri-santrinya. Dan dalam menempuh pendidikan, Beliau di besarkan dalam lingkungan mulai dari belajar hingga pengabdiannya yang beliau lakukan dengan cara berpindah-pindah pesantren, seperti halnya di ponpes Yanbuul Qur’an Kudus, Tebu Ireng, Banten, Termas dll. Selain menempuh pendidikan di Jawa. Beliau juga pernah menuntut ilmu di Makkah selama 12 tahun, serta berguru dengan beberapa syekh terkenal disana, diantaranya adalah syech At-Tarmasi, Syekh Dimyati, Syekh Nahrawi Al-Makkiy dan beberapa ulama mashur tanah haromain lainnya. Selain Mbah Malik (Purwokerto), Habib Lutfi juga mengatakan bahwa Mbah Dullah Balekambang adalah sosok guru yang dianggap sebagai bapak, mengingat di masa keciilnya, Habib Lutfi pernah di “momong ngaji” Mbah Dullah selama 2 tahun di pesantren Balekambang daari tahun 1961 saat usia 13 tahun. Meskipun begitu, Habib Lutfi adalah mursyid Thariqoh Mbah Dullah karena ketika hendak bai’at Thariqoh kepada Syekh Nahrowi Al-Makkiy dan Syekh Mahfudz At-Tarmasiy, Beliau tidak langsuung mendapatkan izin oleh Syekh Nahrowi, akan tetapi Beliau di beritahu bahwa muridnya saat itu belum lahir dan masih dalam kandungan ibunda. ”Mursyidmu nanti adalah cucu dari Habib Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya Pekalongan, Carilah”. Demikian kata Syekh Nahrowi Karena perintah gurunya, Mbah Dullah akhirya calon mursyid nya tersebut, dan bersilaturrahim dengan Habib Hasyim, maka dipanggilah Putra-putranya untuk ditanyai “siapa yang istrinya mengandung”, ternyata istri Habib Ali bin Yahya dan setelah lahir di beri nama muhammad lutfi. Saat bertemu itulah, Mbah Dullah meminta kepada Habib Ali bin Yahya agar ketika sudah mukallaf Habib Lutfi muda dipondokkan di pesantren Balekambang meski sebentar. Dan setelah Habib memasuki usia baligh. Mbah Dullah pun Benar-benar berbai’t Thariqoh kepada Habib Lutfi. Yik Lutfi adlah panggilan keseharian untuk Habib Lutfi sebagai “putra” kinasih Mbah Dullah dan santri lain dipanggil oleh Beliau dengan sebutan yang futuristik. Jiika besok santrinya jadi kyai. Beliau memanggilnya dengan sebutan “Kyai” dan jika besok santrinya jadi pengusaha. Beliau memanggilnya dengan sebutan “Bos” semua santri Mbah Dullah di panggil secara terhormat dan bungahake (membanggakan) dan sebutan bagi santri pada umumnya adalah “Kang”. Habib Lutfi mengatakan bahwa Mbah Dullah adalah sosok kyai yang open dan telaten kepada para santrinya. Jika ada waktu senggang, para santri dibuat senang dengan mengajak para santri untuk mayoran (Makan-makan) hingga saat ini menjadi sebuah tradisi yang ditunggu para santri Pesantren Balekambang. Jika ada kabar Mbah Dullah akan mayoran, para santri langsung menyiapkan alat untuk memancing ikan Lele, Bethik, Kuthuk, dan jenis ikan lainnya yang terdapat di sungai belakang pesantren. Mbah Dullah paling suka jika santrinya gembira. Misalnya, saat Habib Lutfi muda ketahuan reflek menari karena kenthongan subuh di tabuh lebih lama saat Ramadhan, Mbah Dullah justru senang dan tertawa lepas, tidak bermuram. “Baru kali ini saya melihat guruku tertawa lepas” terang Habib Lutfi saat itu. Pada saat masa kolonial dan awal kemerdekaaan, Mbah Dullah juga dikenal sebagai penggerak pejuang NU pada tahun awal berdirinya NU. Saat terjadinya perang 10 November 1945 (pasca fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober), Mbah Dullah di tunjuk langsung oleh gurunya, Rais Akbar NU KH. Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) sebagai penyedia dan logistik para pejuang yang berada di Surabaya. Agar pengiriman logistik aman sampai tujuan. Mbah Dullah di bekali mbah hasyim yang membuat para tentara NICA pimpinan inggris terbutakan matanya. Pengabdianyya kepada NU sebagai penggerak inilah yang membuat pengaruh Mbah Dullah di Jepara semakin di segani. Jimat Mbah Hasyim mengingatkan sebuah tongkat komando dari KH. Asnawi Bendon Kudus, yang pernah di (putra Beliau). Tongkat tersebut adalah saksi sejarah saat Mbah Asnawi berjuang bersama Mbah Hasyim menghadapi momentum tersulit di Masa-masa awal berdirinya NU. Jika pendiri NU (Mbah Hasyim) di wasiati Syaikhona Cholil Bangkalan (disimpan oleh PBNU), maka Mbah Dullah juga diserahi tongkat komado oleh Mbah Arnawi Kudus, yang konon mempunyai keramat bisa di gunakan sebagai titik memulai atau membersihkan jagad angkara murka yang meluas tak terkendali. Jadi selain ulama yang alim allamah, Mbah Dullah adalah seorang pejuang, yang tidak tertulis di buku sejarah lokal daerah manapun kiprah besarnya. Padahal bukti masih bisu di deteksi jika ada keinginan. Disamping memiliki sifat zuhud Beliau juga memiliki sifat adab dan tawadlu’ yang membuat orang menjadi segan dan hormat. Termasuk kepada KH. Arnawi Amin Kudus. Walaupun Beliau sudah jadi kyai besar dan berpengaruh di jepara, ketika memondokkan putranya (hayatun), Beliau datang langsung ke kyai Arnawi tanpa perantara. Abdi ndalem atau orang lain “kang, anakku tak titipke supoyo bisa ikut bantu Nyapa-nyapa utawa ngepel lantai pondok. Aku pasrah”, begitu pinta Mbah Dullah kepada kyai Arnawi kala itu, pilihan kalimatnya sangat tawadlu’. Karena sudah dipasrahkan ngaji Al-Qur’an, bibarkatilah, Gus Hayatun muda mampu menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 Juz dalam waktu 7 bulan saja. Hal tersebut di karenakan Gus Hayatun selama ngaji di kudus, Beliau mengisi 24 jam full waktunya hanya untuk nderes ngaji Al- Qur’an dan tidur sekitar 1-2 jam saja. Tapi, sebelum di pondokkan ngaji Al-Qur’an ke kudus, Mbah Dullah punya cara sendiri mendidik Gus Hayatun kecil yang dikenal jadzab. Trap ngaji bandengan bersama santri Balekambang, Mbah Dullah selalu memanggil putranya tersebut untuk memijat. Sambil ngaji, Gus Hayatun diperintah memijit pundak Mbah Dullah yang duduk membaca kuning. Jika hendak izin selesai memijit pundak kiri, Mbah Dullah minta di pijit lagi pundak kanannya. Begitu terus sampai ngaji bandongan selesai, setiap hari. Alhasil, saat di paksa memijit itulah, Gus Hayatun kecil otomatis mendengar kangsung isi kitab yang di baca Mbah Dullah. Karakter Beliau yang ”open dan telaten”, suka mayoran, rendah hati kepada yang lebih tua,dan taat pada guru, itulah yang agaknya ditiru dan diikuti oleh Gus Hayatun Al-Hafidz dari seorang ayahnya. Mbah Dullah, saat menjadi ketu NU Jepara hingga dinilai mampu menggerakkan NU, menyediakan dan mengamankan logistik para pejuang NU, karena sebagai mana Beliau dulu melakukan hal yang sama saat Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Beliau juga memiliki karomah yang dirasakan salah satu santrinya, yaitu ketika Mbah Dullah dan santrinya mau menyebrangi sungai, pada waktu itu dalam keadaan banjir bandang. Anehnya, santri tersebut hanya disuruh Beliau untuk berpegangan tangan dan memejamkan matanya, Tiba-tiba Mbah Dullah dan santrinya tadi sudah berada di sebrang sungai. Beliau juga memiliki sifat kemuliaan sesama makhluk ciptaan Allah. Suatu ketika Mbah Dullah dan salah satu santrinya hendak melewati sawah. Pada waktu itu Mbah Dullah Tiba-tiba berhenti, terus santrinya pun bertanya kepada Mbah Dullah “lho enten nopo kok berhenti mbah?” Tanya santrinya, “kulo mboten kengeng ngganggu manuk emprit engkang nembe mangan pari” jawab Mbah Dullah. Pernah suatu ketika Mbah Dullah dan Mbah Hasbullah (ayahandanya) berangkat mencari ilmu ke daerah Banyuwangi Jawa Timur. Anehnya adalah waktu temouh ke Banyuwangi, padahal jarak antara Balekambang dan Banyuwangi sangatlah jauh. Akan tetapi Mbah Dullah dan Mbah Hasbullah berangkat dari Balekambang jam 10.00 malam, anehnya Beliau dan ayahandanya sampai di Banyuwangi pada waktu shubuh. Selain Santri-santri Beliau, karomah beliau juga bisa dirasakan oleh Santri-santri di bawah asuhan putra Beliau yaitu KH. Ma’mun Abdullah Hadziq, pada saat Santri-santri akan mengikuti lomba MQKN (Musabaqoh Qiro’atil Kutub Nasional). Suatu hari sehari sebelum Beliau wafat, Beliau menyuruh Santri-santrinya untuk Bersih- bersih pondok dan berkata “Ayo kak santri do Resek-resek kesok ono tamu akeh”. Keesokan harinya Beliau sedang tiduran di atas kasur, lalu Beliau berkata pada putrinya “ndok cubo tilekke neng ngarep omah, ono tamu kon angger melbu”. Lalu putrinya keluar dan mencari tamunya tadi, tetapi sesudah putrinya keluar, putrinya tidak melihat seorangpun, seketika putrinya kembali kedalam rumah lagi dan Tiba-tiba Mbah Dullah sudah meninggal dan ternyata yang dimaksud Mbah Dullah tadi adalah malaikat Izrail. Beliau wafat pada jum’at 10 Ramadhan (1985 Masehi). Dimana para santri saat itu sedang sahur, sekitar jam 4 pagi,sehingga banyak yang tidak mengetahui hal tersebut. Anehnya pada hari itu hujan turun sangat deras sekali selama sehari penuh, padahal saat itu sedang musim kemarau, Sampai-sampai Habib Ali Mayong berkata”wog apik kui nek mati, langit wae melu nanges”. Sebelum wafiat berwasiat agar makamnya nati tidak di kijing dan bila melaksanakan haul, sebaiknya menghatamkan Al-Qur’an. Sumber: KH. Haidzun Tafdhila, Pak Saad, Gus Ali Syibro Malisi, M. Abdulloh Badri (Wakil Sekretaris PC LTN NU Jepara).